0

Taksonomi Hijau Indonesia Dari Sisi Penerapan Keuangan Berkelanjutan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Perubahan Iklim yang menyebabkan naiknya suhu bumi yang mendekati ambang batas wajar yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang terus dieksploitasi, mengharuskan setiap negara membuat kebijakan dan aksi iklim untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius dan berupaya maksimal untuk tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri.[1]
 
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka banyak negara ikut menandatangani Perjanjian Paris 2016 (Paris Agreement), [na1] dimana Perjanjian Paris ini merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Indonesia ikut menandatangani Perjanjian Paris 2016, dan dalam hal mewujudkan hal yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut, Indonesia menerapkan aksi keuangan berkelanjutan (sustainable finance) , dimana aksi keuangan berkelanjutan merupakan praktek industri keuangan yang mengedepankan pertumbuhan berkelanjutan dengan menyelaraskan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. [2]
 
              Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik , yang berbunyi:
“Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.”[3]
 
              Untuk Penerapan keuangan berkelanjutan, maka lembaga jasa keuangan wajib menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) yang disampaikan setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan, dimana RAKB tersebut wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris, serta RAKB tersebut dilaksanakan secara efektif. [4]
 
Dalam Penerapan Pengembangan Keuangan berkelanjutan sebagaimana di jelaskan dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 – 2025) dijelaskan mengenai beberapa prioritas yang akan menjadi landasan pengembangan keuangan berkelanjutan ke depan, yaitu pengembangan taksonomi hijau, implementasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola; pelaksanaan program riil; inovasi produk dan layanan  keuangan serta kampanye nasional keuangan berkelanjutan. [5]
 
Pengembangan taksonomi hijau merupakan salah satu prioritas sekalipun menjadi kunci sukses ekosistem keuangan berkelanjutan , dimana Taksonomi Hijau adalah klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, atau  Taksonomi hijau dapat diartikan sebagai kerangka yang akan digunakan pemerintah untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan.[6]
 
Pengembangan taksonomi hijau yang bertujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia. Klasifikasi ini menjadi dasar bagi seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dalam aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Penyusunan taksonomi hijau tersebut dilakukan melalui pembentukan task force nasional keuangan berkelanjutan, yang melibatkan kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan terkait. Taksonomi yang dikembangkan akan mengakomodasi keseluruhan pedoman yang ada saat ini terkait sektor hijau.[7]
 
 
Beberapa tujuan strategis Taksonomi Hijau adalah :
1.       Mengembangkan standar definisi dan kriteria-kriteria hijau dari kegiatan sektor ekonomi yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan menerapkan pendekatan berbasis ilmiah/sains.
2.       Mendorong inovasi dan investasi di kegiatan ekonomi yang memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan menerapkan pendekatan berbasis ilmiah/sains.
3.       Mendorong pertumbuhan sektor keuangan dalam pendanaan dan pembiayaan kegiatan ekonomi hijau.
4.       Memberikan acuan bagi SJK, investor, pelaku bisnis (nasional maupun internasional) untuk mengungkapkan informasi terkait pembiayaan, pendanaan, atau investasi untuk kegiatan ekonomi hijau. [8]
 
Taksonomi Hijau ini didasari oleh empat prinsip sebagai berikut:
1.       Prinsip Investasi Bertanggung Jawab
Pendekatan yang mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, lingkungan hidup, dan tata kelola dalam aktivitas ekonomi.
2.       Prinsip Strategi dan Praktik Bisnis Berkelanjutan
Kewajiban untuk menetapkan dan menerapkan strategi dan praktik bisnis berkelanjutan pada setiap pengambilan keputusan.
3.       Prinsip Pengelolaan Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup
Mencakup prinsip kehati-hatian dalam mengukur risiko sosial dan lingkungan hidup melalui proses identifikasi, pengukuran, mitigasi, pengawasan, dan pemantauan.
4.       Prinsip Tata Kelola
Terkait penerapan penegakan tata kelola SJK melalui manajemen dan operasi bisnis yang mencakup antara lain: transparansi, akuntabel, bertanggung jawab, independen, profesional, setara dan wajar.[9]
 
Di dalam kegiatan usaha pada Taksonomi Hijau, maka akan terdapat 3 Klasifikasi , yaitu:
1.       Hijau
Kegiatan usaha yang melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mematuhi standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah dan menerapkan praktik terbaik di tingkat nasional ataupun tingkat internasional.
 
2.       Kuning
Kegiatan usaha yang memenuhi beberapa kriteria/ambang batas hijau. Penentuan manfaat kegiatan usaha ini terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan masih harus ditetapkan melalui pengukuran serta dukungan praktik terbaik lainnya.
 
3.       Merah
Kegiatan usaha tidak memenuhi kriteria/ambang batas kuning dan/atau hijau.
 
 
Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi (GKKT) dan satuan kerja terkait di OJK dengan melibatkan delapan kementerian antara lain:
1.   Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK);
2.   Kementerian Perindustrian (Kemenperin);
3.   Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP);
4.   Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM);
5.   Kementerian Perhubungan (Kemenhub);
6.   Kementerian Pertanian (Kementan);
7.   Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf); dan
8.   Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).[10]
 
Sehingga, sebagai wujud dari penerapan perjanjian paris yang ditandatangani oleh Indonesia, maka Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Roadmap mengenai Keuangan Berkelanjutan, dimana salah satu prioritas dalam penerapan keuangan berkelanjutan tersebut merupakan pengembangan taksonomi hijau di Indonesia
 
Pengembangan Taksonomi Hijau di Indonesia dilakukan dengan memiliki tujuan strategis didasari dengan Prinsip Investasi Bertanggung Jawab, Prinsip Strategi dan Praktik Bisnis Berkelanjutan, Prinsip Pengelolaan Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup, serta Prinsip Tata Kelola, melalui penentuan klasifikasi pada kegiatan-kegiatan usaha yang ada di Indonesia. Taksonomi hijau di Indonesia di Indonesia disusun oleh OJK melalui GKKT dan melibatkan 8 kementerian yakni KLHK, Kemenperin, KKP,  ESDM, Kemenhub, Kementan, Kemenparekraf, PUPR.
 
 
Dasar Hukum:
POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik
 
Referensi :
1.   Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Lima Tahun Perjanjian Paris: Kebijakan Iklim Indonesia Tidak Serius dan Ambisius, ( https://www.walhi.or.id/lima-tahun-perjanjian-paris-kebijakan-iklim-indonesia-tidak-serius-dan-ambisius , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
2.   Kurnia Hadi, Implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB), ( https://hrdspot.com/event/penerapan-keuangan-berkelanjutan/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
3.   Otoritas Jasa Keuangan, ROADMAP KEUANGAN BERKELANJUTAN TAHAP II (2021 – 2025), ( https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Roadmap-Keuangan-Berkelanjutan-Tahap-II-(2021-2025)/Roadmap%20Keuangan%20Berkelanjutan%20Tahap%20II%20(2021%20-%202025).pdf , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
4.   Desi Angriani, Apa itu Taksonomi Hijau, ( https://www.medcom.id/ekonomi/keuangan/ybDXMepb-apa-itu-taksonomi-hijau , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
5.   Otoritas Jasa Keuangan, Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 – 2022 (https://www.ojk.go.id/keuanganberkelanjutan/Uploads/Content/Regulasi/Regulasi_22012011321251.pdf, diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[1] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Lima Tahun Perjanjian Paris: Kebijakan Iklim Indonesia Tidak Serius dan Ambisius
, ( https://www.walhi.or.id/lima-tahun-perjanjian-paris-kebijakan-iklim-indonesia-tidak-serius-dan-ambisius , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[2] Kurnia Hadi, Implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB), ( https://hrdspot.com/event/penerapan-keuangan-berkelanjutan/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[3] Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik

[4] Pasal 4 jo. Pasal 5 POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik

[5] Otoritas Jasa Keuangan, ROADMAP KEUANGAN BERKELANJUTAN TAHAP II (2021 – 2025), ( https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Roadmap-Keuangan-Berkelanjutan-Tahap-II-(2021-2025)/Roadmap%20Keuangan%20Berkelanjutan%20Tahap%20II%20(2021%20-%202025).pdf , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[6] Desi Angriani, Apa itu Taksonomi Hijau, ( https://www.medcom.id/ekonomi/keuangan/ybDXMepb-apa-itu-taksonomi-hijau , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[7] Op.cit, Otoritas Jasa Keuangan, ROADMAP KEUANGAN BERKELANJUTAN TAHAP II (2021 – 2025)

[8] Otoritas Jasa Keuangan, Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 – 2022 (https://www.ojk.go.id/keuanganberkelanjutan/Uploads/Content/Regulasi/Regulasi_22012011321251.pdf, diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[9] Ibid.

[10] Ibid.

0

Pengaturan Kendaraan Listrik di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Bernando & Andreas Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan
  2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

Kendaraan Listrik pada dasarnya adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik, menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai atau tempat penyimpan energi lainnya, berbeda dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang secara langsung berdampak pada peningkatan polusi udara, kendaraan listrik memiliki potensi yang besar untuk mengurangi polusi karena sifat dari pengisian daya yang berbentuk listrik bersifat ramah lingkungan.

Pengertian dari Kendaraan Listrik itu sendiri diatur dalam Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019), dimana Pasal 1 Angka 3 Perpres 55/2019 menyatakan sebagai berikut:

Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.[1]

          Adapun pengertian Motor listrik sebagai mesin penggerak dari kendaraan listrik, serta Baterai sebagai media penyimpanan daya pada kendaraan listrik, dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 2 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Motor Listrik adalah peralatan elektromekanik yang mengonsumsi tenaga listrik untuk menghasilkan energi mekanik sebagai penggerak.
  2. Baterai atau Media Penyimpanan Energi Listrik yang selanjutnya disebut Baterai adalah sumber listrik yang digunakan untuk memberi pasokan energi listrik pada Motor Listrik.[2]

Kendaraan bermotor listrik tersebut merupakan salah satu inovasi dengan tujuan untuk peningkatan industri transportasi yang ramah lingkungan dan untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan peraturan yang mendasari mengenai program kendaraan bermotor listrik di Indonesia. Perpres 55/2019 tersebut menjadi payung hukum terhadap kendaraan bermotor listrik di Indonesia, melihat pada bagian menimbang huruf a Perpres 55/2019, peraturan mengenai kendaraan bermotor listrik ini pada dasarnya dibuat untuk peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, dan terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan, serta komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca, perlu mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.[3]

Selanjutnya, Perpres 55/2019 membahas tentang percepatan pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai yang mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional , dimana hal ini dibahas oleh forum tim koordinasi percepatan program kendaraan bermotor listrik Indonesia.[4]

Kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dilakukan melalui kegiatan industri baik industri kendaraan bermotor listrik itu sendiri, maupun industri komponen dari kendaraan bermotor listrik tersebut, dimana perusahaan industri yang memiliki kegiatan usaha di bidang kendaraan bermotor listrik tersebut harus memiliki izin usaha industri dan fasilitas manufaktur, dimana perusahaan industri tersebut harus membangun fasilitas manufaktur kendaraan bermotor listrik di Indonesia.[5]

Industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai di Indonesia merupakan salah satu industri yang baru, sehingga mengenai penelitian, pengembangan, dan inovasi industri mengenai inovasi teknologi pada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia dapat dilakukan oleh Perusahaan Industri, Perguruan Tinggi, dan/atau lembaga penelitian yang dapat bersinergi dengan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah.[6]

Penerapan industri transportasi yang ramah lingkungan diwujudkan melalui dorongan pemerintah untuk menggunakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, dimana pemerintah juga sekaligus melakukan pengendalian terhadap penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil dalam negeri, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 16

  • Dalam rangka percepatan penggunaan KBL Berbasis Baterai, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap.
  • Pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap dilakukan berdasarkan peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.[7]

Terkait dengan motor listrik yang energinya digerakan oleh media baterai, pengisian energi listrik untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai juga diatur di dalam Pasal 22 Perpres 55/2019 dimana pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan oleh pengguna Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai pada Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), yang berbunyi:

Pasal 22

  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai meliputi:
  • fasilitas pengisian ulang (charging) paling sedikit terdiri atas:
  • peralatan Catu Daya Listrik;
  • sistem kontrol arus, tegangan, dan komunikasi; dan
  • sistem proteksi dan keamanan; dan/atau
  • fasiiitas penukaran Baterai.
  • Pengisian ulang (charging) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan pada instalasi listrik privat dan/atau SPKLU.
  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyediaan infrastruktrur yang dijelaskan Pasal 22 Perpres 55/2019 tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, dimana pelaksanaan tersebut dilaksanakan bersama dengan penyedia jasa kelistrikan di Indonesia yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN).[9]

          Sehingga, melalui terbitnya Perpres 55/2019 yang menjadi payung hukum kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia, pemerintah memiliki program untuk mewujudkan iklim transportasi di Indonesia yang ramah lingkungan, serta mengurangi bahan bakar fosil secara bertahap, selain itu percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai tersebut juga didukung dengan infrastruktur yakni fasilitas pengisian daya baterai melalui Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Industri Kendaraan Bermotor Listrik di Indonesia harus memiliki izin sebelum melakukan kegiatan usaha dimana harus memiliki fasilitas manufaktur yang didirikan di Indonesia, dan mengenai penelitian, pengembangan mengenai inovasi teknologi terhadap industri kendaraan bermotor listrik yang cenderung baru ini dapat dilakukan oleh berbagai macam pihak seperti Perusahaan, Perguruan Tinggi, serta lembaga penilitian yang bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat polusi udara di Indonesia sekaligus menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan transportasi yang ramah lingkungan.


[1] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[2] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[3] Bagian menimbang huruf a Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[4] Pasal 4 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[5] Pasal 5 jo. Pasal 6 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[6] Pasal 7 ayat (1) & ayat (2) Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[7] Pasal 16 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[8] Pasal 22 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[9] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

0

Regulasi Terkait Pengaturan Restorasi Mangrove di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove

Mangrove atau dikenal sebagai hutan bakau merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat. Selain berguna untuk menahan laju air laut, mangrove diketahui dapat menurunkan emisi karbon 4 – 5 kali lipat daripada hutan hujan di darat. Karena alasan tersebut, Indonesia kemudian menargetkan untuk memulihkan 150.000 hektar kawasan mangrove,[1] dan sekarang sedang mempersiapkan peraturan khusus yang akan mengatur pelaksanaan program restorasi mangrove.[2]

Peraturan yang masih berlaku dalam hal restorasi mangrove saat ini adalah Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (Perpres 120/2020). Perpres 120/2020 menetapkan bahwa restorasi mangrove akan dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut, yang melalui Perpres ini kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Hal ini dimuat dalam bagian menimbang huruf c, yang berbunyi sebagai berikut:

“bahwa Pemerintah telah menetapkan kebijakan pemulihan mangrove di kawasan ekosistem mangrove yang terdegradasi atau kritis melalui percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove oleh Badan Restorasi Gambut;”[3]

Tugas dan fungsi dalam BRGM dalam melaksanakan restorasi mangrove diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 huruf g Perpres 120/2020, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 2

  • BRGM mempunyai tugas:
    • melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove pada areal kerja di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.”[4]

“Pasal 3

Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BRGM menyelenggarakan fungsi:

  • pelaksanaan percepatan rehabilitasi mangrove di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat;[5]

Pelaksanaan restorasi mangrove dilakukan dengan memperhatikan batasan seperti target luasan areal, norma, standar, prosedur dan kriteria. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 Perpres 120/2020, yang secara umum mengatur sebagai berikut:

  1. Luasan areal berupa target luasan 600.000 hektar yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.
  2. Norma, standar, prosedur dan kriteria yang meliputi kegiatan persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pembangunan persemaian modern ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan setelah mendapatkan masukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  3. BRGM melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan, baik sendiri dan/atau bersama-sama dengan direktorat jenderal yang menyelenggarakan fungsi di bidang peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan rehabilitasi hutan di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan serta direktorat jenderal yang menyelenggarakan fungsi di bidang pengelolaan ruang laut di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.[6]

Pasal 6 Perpres 120/2020 menyatakan bahwa BRGM terdiri atas kepala BRGM, sekretariat badan dengan 3 deputi, yakni: Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi, Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan, Deputi Bidang Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan dan Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat.[7]

Kegiatan restorasi mangrove secara khusus dilakukan oleh Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi. Pasal 9 Perpres 120/2020 mengatur bahwa Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi memiliki tugas untuk melaksanakan penyusunan rencana dan evaluasi percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, deputi ini memiliki fungsi untuk:

  1. Perencanaan teknis percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove
  2. Pengembangan data percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove
  3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove[8]

Sehingga, kewenangan untuk melaksanakan restorasi dan rehabilitasi mangrove dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang selanjutnya pengaturan mengenai kewenangan pentaruan sekaligus teknis pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi mangrove tersebut diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove yang berisi rencana pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi mangrove.


[1] Indonesia aims to get mangrove restoration back on track in 2022

(https://www.reuters.com/markets/commodities/indonesia-aims-get-mangrove-restoration-back-track-2022-2022-01-20/)

[2] Indonesia prepares regulation to help fund mangrove restoration
(https://www.thejakartapost.com/indonesia/2021/11/21/indonesia-prepares-regulation-to-help-fund-mangrove-restoration.html)

[3] Bagian menimbang huruf c Perpres 120/2020.

[4] Pasal 2 ayat (1) huruf b Perpres 120/2020

[5] Pasal 3 Perpres 120/2020

[6] Pasal 4 Perpres 120/2020

[7] Pasal 6 Perpres 120/2020

[8] Pasal 9 Perpres 120/2020


Referensi :

  1. Indonesia aims to get mangrove restoration back on track in 2022 (https://www.reuters.com/markets/commodities/indonesia-aims-get-mangrove-restoration-back-track-2022-2022-01-20/)
  2. Indonesia prepares regulation to help fund mangrove restoration (https://www.thejakartapost.com/indonesia/2021/11/21/indonesia-prepares-regulation-to-help-fund-mangrove-restoration.html)
0

Tindakan Mengunggah Dokumen Elektronik Pribadi Tanpa Izin Pemilik

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal basis:

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

         Pada era digital ini semua hal dapat kita akses melalui internet, semua hal dapat kita unggah ke internet ataupun kita unduh dari internet, akan tetapi apabila muatan yang akan kita unggah berkaitan dengan orang lain, atau dokumen yang akan kita unggah merupakan milik orang lain, kita harus meminta izin kepada pemilik dokumen tersebut. Adapun hal-hal yang termasuk dalam Dokumen Elektronik yang tercantum dalam pengertiannya menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[1]

         Tindakan mengunggah dokumen elektronik tanpa izin dari pemilik dokumen tersebut dilarang melalui penjelasan Pasal 32 UU ITE, yang berunyi:

Pasal 32

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
  • Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.[2]

         Terlebih pada pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE juga mengatur apabila dokumen elektronik yang diunggah  memiliki muatan yang berisi penghinaan , pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, yang berbunyi:


Pasal 27

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”[3]

         Pihak yang melakukan pengunggahan dokumen elektronik tanpa izin tersebut dapat dikenai dengan sanksi pidana serta denda, dalam hal melanggar Pasal 32 UU ITE, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak tersebut mengacu pada Pasal 48 UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 48

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[4]

         Bagi Pihak yang melakukan pengunggahan disertai dengan muatan yang berisi penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman pada dokumen elektronik tersebut, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) , maka sanksi terhadap tindakan tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 45

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

Sehingga, apabila ingin mengunggahsuatu dokumen elektronik ke internet, dan dokumen elektronik tersebut bukan milik anda, maka anda harus meminta izin kepada pemilik dokumen elektronik tersebut, hal ini harus dilakukan untuk memenuhi ketentuan privasi terhadap kepemiliki dokumen pribadi seseorang, sekaligus menghindari sanksi pidana berupa pidana penjara serta denda yang akan diberikan kepada pelaku tindakan pengunggahan dokumen elektronik tanpa seizin pemilik dokumen.


[1] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[2] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[4] Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[5] Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0

Pemberian Izin Usaha Pertambangan Baru Mineral Logam Tanah Jarang yang Baru Ditemukan pada Daerah Pertambangan

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
  4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

Negara Indonesia termasuk negara penghasil batu bara dan emas terbesar di dunia. Hal ini didukung dengan wilayah Indonesia yang menjadi tempat pertemuan lempeng-lempeng tektonik seperti Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Filipina. Pertemuan lempeng tektonik tersebut membuat kondisi geologis dan geomorfologis Indonesia menjadi kaya akan mineral dan produk-produk tambang.[1]

         Tidak hanya sejumlah komoditas tambang andalan seperti nikel, emas, tembaga, batu bara, maupun timah, namun ternyata Indonesia juga memiliki sumber daya tambang yang belum dikembangkan. Baru-baru ini juga ditemukan keberadaan logam tanah jarang (LTJ) atau Rare Earth Element di dalam sebuah wilayah pertambangan, Komoditas ini dinamai logam tanah jarang karena didasarkan pada asumsi yang menyatakan bahwa keberadaan logam tanah jarang ini tidak banyak dijumpai.[2]

         LTJ merupakan salah satu jenis sumber daya alam Indonesia yang merupakan bagian dari kekayaan bumi Indonesia, dan apabila mengacu pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3 Tahun 2020) menjelaskan bahwa Mineral dan Batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan yang merupakan kekayaan nasional, dimana kekayaan nasional tersebut dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. [3]

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [4]

Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.[5] Dalam Pasal 4 ayat (2) & ayat (3) UU 3 Tahun 2020 mengatur tentang Kewenangan penyelenggaraan penguasaan mineral dan batubara oleh Pemerintah Pusat, yang berbunyi:

Pasal 4

  • Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
  • Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengeloiaan, dan pengawasan.”[6]

Sehingga, pihak-pihak yang ingin mengelola LTJ tersebut harus mengajukan dan memperoleh izin dari pemerintah terkait dengan kegiatan usaha LTJ yang terdapat pada daerah pertambangan tersebut. Dimana LTJ merupakan bagian dari cakupan mineral logam yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara , yang menyatakan bahwa:

Pasal 2

  • Pertambangan Mineral dan Batubara dikelompokan ke dalam 5 (lima) golongan sebagai berikut:
  • Mineral logam meliputi aluminium, antimoni, arsenik, basnasit, bauksit, berilium, bijih besi, bismut, cadrnium, cesium, emas, galena, galium, germanium. hafnium, indium, iridium, khrom, kobal, kromit, litium, logam tanah jarang, magnesium, mangan, molibdenum, monasit, nikel, niobium, osmium, pasir besi, palladium, perak, platina, rhodium, ruthenium, selenium, seng, senotim, sinabar, stroniurn, tantalum, telurium, tembaga, timah, titanium, vanadium, wolfram, dan zirkonium;[7]

Pertambangan dapat dilakukan apabila pelaku usaha telah memiliki IUP pada wilayah yang mana menjadi wilayah usaha pertambangan (WUP) sebagaimana dimaksud dalam IUP tersebut (WIUP). Adapun kriteria untuk menentukan WUP tercantum dalam Pasal 14A UU 3/2020 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A

Wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WUP harus memenuhi kriteria:

  1. memiliki sebaran formasi batuan pembawa, data indikasi, data sumber daya, danf atau data cadangan Mineral dan/atau Batubara;
  2. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis Mineral termasuk Mineral ikutannya dan I atau Batubara;
  3. tidak tumpang tindih dengan WPR, WPN, dan/atau WUPK;
  4. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan Pertambangan secara berkelanjutan ;
  5. merupakan eks wilayah IUP yang telah berakhir atau dicabut; dan/atau
  6. merupakan wilayah hasil penciutan atau pengembalian wilayah IUP.[8]

Poin yang menarik dari Pasal 14A ini adalah WUP dapat berupa wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan Pertambangan secara berkelanjutan, merupakan eks WIUP yang telah berakhir atau dicabut, dan merupakan wilayah hasil penciutan atau pengembalian WIUP. Karena itu dapatlah diketahui bahwa WIUP yang sebelumnya telah diberikan IUP, apabila IUPnya telah dicabut, maka dapat dikenakan IUP yang baru sehingga menjadi WIUP yang baru.

Dalam hal pemegang Izin Usaha Pertambangan yang menemukan komoditas tambang lain dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang diatur dalam Pasal 50 (PP 96 Tahun 2021), yang berbunyi:

Pasal 50

  • Pemegang IUP yang menemukan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
  • Pemegang IUP yang berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) waiib mengajukan permohonan IUP baru.
  • Dalam hal pemegang IUP tidak berminat atas komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diseienggarakan dengan cara lelang atau permohonan wilayah.
  • Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mendapatkan IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah harus berkoordinasi dengan pemegang IUP pertama.
  • Dalam hal pemegang IUP komoditas Mineral bukan logam, IUP komoditas Mineral bukan logam jenis tertentu, atau IUP komoditas batuan menemukan komoditas Mirreral logam atau Batubara yang keterdapatannya berbeda di dalam WIUP yang dikelola tidak dapat diberikan prioritas untuk mengusahakannya.[9]

Dapat diketahui bahwa terkait dengan ditemukannya komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda didalam WIUP yang dikelola oleh Pemegang IUP, dimana pemberian IUP tersebut diprioritaskan kepada Pemegang IUP yang memiliki kegiatan usaha di Wilayah sesuai WIUP tersebut, adapun Pemegang IUP harus mengajukan IUP yang baru, dimana IUP tersebut harus diberikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (Menteri ESDM).[10] 

Mengacu pada Pasal 60 ayat (1) huruf i Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021, yang berbunyi:

“Pasal 60

  • Pemegang IUP dan IUPK dapat:
  • mengusahakan mineral ikutan termasuk mineral logam tanah jarang setelah mendapatkan persetujuan Studi Kelayakan;[11]

Dimana persetujuan Studi Kelayakan menurut Pasal 1 Angka 19 PP 96 Tahun 2021, yaitu:

Pasal 1

  1. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomrs dan teknis Usaha Pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.[12]

Adapun tahap studi kelayakan merupakan bagian dari tahap kegiatan Ekpslorasi, yang terdiri dari kegiatan Penyeledikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan, yang selanjutnya akan memasuki tahap kegiatan Operasi Produksi yang meliputi kegiatan Konstruksi, Pertambangan, Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan serta Pengangkutan dan Penjualan.  [13]

Apabila pihak pelaku usaha pertambangan yang menemukan komoditas lain dalam WIUP yang keterdapatannya berbeda dalam WIUP akan tetapi tidak mengajukan permohonan IUP yang baru, dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) PP 96 Tahun 2021 karena telah melanggar Pasal 50 ayat (2) PP 96 Tahun 2021, dimana sanksi tersebut bersifat administratif yang berupa :

  1. Peringatan Tertulis;
  2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau
  3. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Surat izin Penambangan Batuan (SIPB), atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk Penjualan.[14]

Sehingga, dalam suatu wilayah pertambangan memungkinan untuk ditemukannya lebih dari 1 komoditas tambang baik berupa mineral maupun batubara dan pihak pelaku usaha dalam kegiatan pertambangan yang menemukan komoditas lain yang keterdapatannya berbeda dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan , yang dalam hal ini merupakan mineral logam LTJ, harus mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan yang baru kepada Menteri ESDM sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai pengajuan permohonan IUP, tahap permohonan WIUP tidak perlu lagi dilakukan karena WIUP sudah diberikan terlebih dahulu kepada Pemegang IUP. Kegiatan usaha pertambangan mineral LTJ dapat dilakukan setelah Menteri ESDM memberikan IUP yang baru.

Pihak pelaku usaha yang menemukan komoditas lain yang keterdapatannya berbeda dalam WIUP yang tidak mengajukan permohonan IUP yang baru dapat diberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, serta pencabutan izin.


[1] Gisela Niken, “Ini Alasan Mengapa Indonesia Kaya Akan Sumber Daya Alam”, (https://ajaib.co.id/ini-alasan-mengapa-indonesia-kaya-akan-sumber-daya-alam/ ,diakses pada tanggal 6 Febuari 2022)

[2] Wilda Asmarani, CNBC Indonesia , “Harta Karun Super Langka RI Ternyata Ada Di Daerah-Daerah Ini”,https://www.cnbcindonesia.com/news/20210824100253-4-270714/harta-karun-super-langka-ri-ternyata-ada-di-daerah-daerah-ini , ,diakses pada tanggal 6 Febuari 2022)

[3] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[4] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

[5] Bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[6] Pasal 4 ayat (2) & ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[7] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[8] Pasal 14A UU 3/2020

[9] Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[10] Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[11] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[12] Pasal 1 Angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[13] Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[14] Pasal 185 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara


REFERENSI:

  1. Gisela Niken, “Ini Alasan Mengapa Indonesia Kaya Akan Sumber Daya Alam”, (https://ajaib.co.id/ini-alasan-mengapa-indonesia-kaya-akan-sumber-daya-alam/ ,diakses pada tanggal 6 Febuari 2022)
  2. Wilda Asmarani, CNBC Indonesia , “Harta Karun Super Langka RI Ternyata Ada Di Daerah-Daerah Ini”,https://www.cnbcindonesia.com/news/20210824100253-4-270714/harta-karun-super-langka-ri-ternyata-ada-di-daerah-daerah-ini , ,diakses pada tanggal 6 Febuari 2022)
1 13 14 15 16 17 18
Translate