0

Paten Sederhana Berbasis Bioteknologi Konvensional

Author : Alfredo Joshua Bernando

Co Author : Robby Malaheksa

Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dikenal sebagai hak paten atau hak khusus yang diberikan negara kepada inventor atas hasil karya invensinya di bidang teknologi. Hak paten diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Perlindungan hukum terhadap pemegang paten bertujuan untuk memotivasi inventor dalam menigkatkan hasil karyanya baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut pada Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 memberikan penjelasan tentang definisi dari Paten yaitu:

Pasal 1

  1. Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu teretntu melaksanakan sendiri invesi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya
  2. Invensi merupakan ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahnan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembanagan produk atau proses.
  3. Investor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. [1]

Dalam hak paten, objek yang diberikan perlindungan berupa invensi. Berdasarkan lingkupnya terdapat dua jenis paten yaitu paten sederhana an paten biasa, Paten sederhana merupakan invensi baru yang pengembangannya sudah ada dan dapat diterapkan di bidang industri, Sedangkan untuk paten biasa merupakan invensi baru yang memiliki langkah inventif dan dapat diterapkan pada bidang industri.

Seperti yang dijelaskan pada pengertian Paten, dimana Paten diberikan oleh negara yang dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Paten yang diberikan perlindungan bukan hanya terhadap temuan dibidang teknologi, tapi juga hak eksklusif yang melekat pada pemilik atau pemegang hak paten, sehingga apabila pihak lain yang yang menerima peralihan berkeinginan untuk mendapat manfaat ekonomi mengunakan hak paten tersebut wajib memperoleh lisensi (izin) dari pemiliknya atau pemegangnya.

Sebuah invensi dalam paten dapat ditemukan dalam berbagai bidang, salah satunya bidang Bioteknologi, Bioteknologi adalah Bioteknologi merupakan sebuah proses untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kepentingan manusia yang berasal dari pemanfaatan makhluk hidup maupun produk yang berasal dari makhluk hidup tersebut. Pemanfaatan biologis makhluk hidup yang dimaksud seperti bakteri, virus, fungi, dan lain sebagainya. Sedangkan, produk yang berasal dari makhluk hidup memiliki contoh seperti kandungan enzim. [2]

Terkait dengan perkembangannya, bioteknologi dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi konvesional dan bioteknologi modern. Bioteknologi konvesional dilakukan dengan bahan dan peralatan yang sederhana pada prosesnya. Sedangkan bioteknologi modern merupakan kemajuan bioteknologi konvesional yang perkembangannya terus berlanjut hingga sekarang.[3]

Pasal 2 UNCBD menyatakan definisi Bioteknologi sebagai penerapan teknologi yang menggunakan sistem-sistem hayati, makhluk hidup atau derivatifnya, untuk membuat atau memodifikasi produk-produk atau proses-proses untuk penggunaan khusus.[4] Bioteknologi konvensional disebut juga bioteknologi tradisional, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan mikroorganisme dan proses biokimia dengan menggunkan peralatan dan metode yang sederhana. Prinsip dasar proses bioteknologi konvensional adalah melibatkan proses fermentasi dalam menghasilkan produk. Mikroorganisme berperan dalam proses fermentasi untuk mengubah bahan mentah atau makanan menjadi produk baru dengan kandungan nutrisi yang lebih baik. Kelemahan dari bioteknologi konvensional adalah prosesnya yang relatif belum steril (bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan), sehingga kualitasnya belum terjamin. Contoh Produk bioteknologi konvensional dan telah digunakan mengahasilkan produk, baik dalam skala kecil maupun industri besar anatara lain roti, tempe, tapai, keju, yoghurt dan lain-lain.[5]

Fermentasi ialah bagian penting dalam proses bioteknologi konvensional yang merupakan suatu proses perubahan enzimatik secara anaerob yang berasal dari senyawa organik kompleks menjadi produk organik yang lebih sederhana. Proses fermentasi menggunakan mikroorganisme yang bersifat tidak patogen sehingga aman begi kesehatan tubuh. Proses ini dapat menghasilkan alkohol, asam dan gas. Salah satu tujuan utama fermentasi adalah untuk mengawetkan makanan. Adanya perubahan karbohidrat menjadi asam organik dapat membuat makanan menjadi tahan lama.

Keberhasilan proses fermentasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Hal ini terjadi karena mikroorganisme yang digunakan membutuhkan kesesuaian lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik. Ketidaksesuaian kondisi lingkungan saat proses inkubasi dapat menyebabkan fermentasi tidak berjalan atau produk yang di hasilkan bersifat toksik.

Contoh mengenai invensi pada bidang bioteknologi dapat berupa produk yang dikonsumsi seperti obat-obatan yang terbuat dari unsur hayati maupun hewani, serta produk-produk untuk dikonsumsi.

Pasal 5 huruf (c) Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik, menjelaskan jenis Produk Rekayasa Genetik (PRG) dimana salah satunya adalah Tanaman, bahan asal tanaman, dan hasil olahannya. Mengacu dalam jenis PRG tersebut maka yang merupakan hasil olahan dari Tanaman wajib di berikan perlindungan hukum, hal ini sejalan dengan tujuan dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) yaitu untuk meningkatkan hasil guna dan dayaguna bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan dan pengelolaan sumber daya Hayati, perlindungan konsumen, kepastian hukum dan kepastian dalam melakukan usaha.[6]

Tindakan lebih lanjut terhadap pemberian Paten untuk produk-produk bioteknologi memang perlu di lakukan penelitian mendalam di laboratorium sebelum diedarkan secara luas, guna mencegah dampak negatif yang di timbulkan, selain itu, untuk menjamin kemanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan produk tersebut sebagai bahan pangan harus bersumber pada persepsi resiko yang dapat diterima (acceptable risk).

Upaya perlindungan Paten terhadap produk-produk hasil dari bioteknologi konvensional dapat dimungkinkan, karena jika merujuk Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten, terkait Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi :

“Pasal 9

  1. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/ atau hewan;
  3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
  4. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.[7]

Selain itu, terkait dengan produk-produk yang merupakan hasil dari bioteknologi dapat diaplikasikan dengan paten sederhana , maka paten sederhana terhadap produk-produk tersebut memiliki jangka waktu maksimum perlindungan 10 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

Pasal 23

  1. Paten diberikan untuk jangka waktu sepuluh tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.[8]

Tidak hanya perlindungan bagi masa berlakunya, jika bioteknologi sudah terdaftar dalam paten, maka penemuan tersebut memiliki perlindungan berupa sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam hak paten, Perlindungan tersebut tertulis dalam Pasal 130, Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten sebagai berikut:

Pasal 130

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” [9]

“Pasal 131

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam Pasal 16 (melarang pihak lain tanpa persetujuan membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan untuk dijual atau disewakn produk yang diberi paten) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)[10]

Pasal 134

Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat memerintahkan agar barangbarang hasil pelanggaran Paten tersebut disita oleh Negara untuk dimusnahkan. [11]

Dapatdikatakan bahwa terdapat perlindungan hukum bagi penemuan bioteknologi karena penemuan bioteknologi yang sudah tercatat dan memiliki hak patennya sendiri sehingga jika adanya pelanggaran yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 130, Pasal 131, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Apabila diamati , maka terdapat keterbukaan peluang yang besar terhadap usaha untuk mematenkan produk-produk bioteknologi konvensional karena tidak termasuk ke dalam Pasal 9 UU Paten tersebut, seperti contoh yang sudah dijelaskan diatas yakni macam produk hasil dari bioteknologi baik dari bahan dasar hewani maupun hayati, Tujuan nya adalah sebagai bagian dari peningkatan produksi ekonomi kreatif, membuka lapangan kerja dan menjamin makanan khas yang merupakan warisan budaya terlindungi, agar produk-produk hasil dari bioteknologi tersebut dapat dipatenkan oleh pengusaha-pengusaha produk tersebut, hal ini dilakukan supaya menghindari didahuluinya produk-produk bioteknologi konvensional tersebut dipatenkan di luar negeri oleh pihak yang justru bukan pemilik invensi dari produk bioteknologi tersebut.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
  2. Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik
  3. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity 2000 Indonesia, Undang-Undang No 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 41)

REFERENSI

  1. Abdulkadir, Muhammad. 2007, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
  2. Krisnawati, Andriana. 2009, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Penerbit Grasindo
  3. Pendidikan Biologi. 2015, Materi penataran Guru MGMP Bidang Biologi. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
  4. Widya Karya Nasional 6-7  Juli 1995.  Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta
  5. Baharuddin Haryanto, Idrus Idham, 2020.Biologi untuk Hidup yang lebih Baik, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah-Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

[1] Pasal 1 Angka 1 , Angka 2 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi

[3] https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/19/135332069/bioteknologi-jenis-contoh-dan-penerapannya?page=all

[4] UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity), sebuah Konvensi Keanekaragaman Hayati yang di hasilkan dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio De Janeiro, 1992.

[5] Harianto Baharuddin, Idham Kahlik Idrus, 2020. Biologi untuk Hidup yang lebih baik, hlm. 5

[6] Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik

[7] Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten

[8] Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[9] Pasal 130 Undang-Undang Nomoe 14 Tahun 2001 tentang Paten

[10] Pasal 131 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

[11] Pasal 134 Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten

0

PENERAPAN PERCEPATAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Author : Ananta Mahatyanto
Co – Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

REFERENSI :

  1. Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)
  2. Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

            Indonesia memiliki Keindahan Alam yang diakui oleh dunia, dimana kekayaan alam di Indonesia sangat banyak dan beragam, hal ini juga dapat kita lihat pada banyaknya turis yang datang ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam di Indonesia. Oleh sebab itu, Industri Pariwisata merupakan salah satu industri yang penting untuk dikembangkan di Indonesia, akan tetapi Pengembangan Industri Pariwisata tersebut harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap lingkungan di Indonesia itu sendiri.

            Pemerintah menyadari bahwa industri pariwisata harus dilaksanakan sejalan dengan perlindungan terhadap lingkungan, selain itu terdapat pertimbangan mengenai pengelolaan tentang pariwisata, budaya dan manfaat sosial dan ekonomi yang terdapat pada Industri Pariwisata itu sendiri, oleh sebab itu pada tahun 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenpar 14/2016) yang sudah dicabut dengan  terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenparekraf 9/2021).

            Gagasan atau Ide mengenai Percepatan Pariwisata Berkelanjutan diterapkan melalui pembaharuan Peraturan terkait ide tersebut melalui diterbitkannya Permenparekraf 9/2021, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah untuk mewujudkan Pengembangan Industri Pariwisata yang berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev), dimana STDev tersebut meliputi Sustainable Tourism Destination (STD), Sustainable Tourism Observatory(STO), Sustainable Tourism Certification(STC), Sustainable Tourism Industry(STI), serta Sustainable Tourism Marketing & Management(STM).[1]

            Sebelumnya, Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Lembaga Akreditasi kuasi pemerintah yang dibentuk melalui surat Keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Nomor Km. 143/Kd.00/Menpar/2019, Tentang Dewan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council) atau biasa disebut dengan ISTC.[2]

            ISTC itu sendiri mempunyai tugas dan fungsi dalam hal mendukung dan mengadvokasi penerapan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu ISTC melakukan regulasi, memfasilitasi juga melakukan pendampingan agar destinasi-destinasi wisata sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pelaksanaannya dengan melakukan asesmen, memberikan award kepada destinasi yang berhasil menerapkan standar pariwisata berkelanjutan.[3]

            Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan dalam Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Permenparekraf 9/2021, yang berbunyi:

“ Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. “ [4]

Area yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan berkelanjutan ada 4 pilar. Pertama adalah pengelolaan yang berkelanjutan seperti bisnis pariwisata, kedua ekonomi berkelanjutan atau sosial ekonomi jangka panjang. Ketiga adalah keberlanjutan budaya agar terus dikembangkan tetapi tetap dijaga. Dan keempat adalah keberlanjutan aspek lingkungan. [5]

            4 pilar tersebut dijelaskan melalui Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021. Kriteria Destinasi tersebut dijabarkan dalam Huruf A sampai Huruf D Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021 sebagai berikut:[6]

  1. Pengelolaan Berkelanjutan
  2. Struktur dan Kerangka Pengelolaan
  3. Tanggung jawab pengelolaan destinasi
  4. Strategi dan rencana aksi pengelolaan destinasi
  5. Monitoring dan Pelaporan
  6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
  7. Pelibatan badan usaha dan standar keberlanjutan
  8. Pelibatan dan umpan-balik dari penduduk setempat
  9. Pelibatan dan umban-balik dari pengunjung
  10. Promosi dan Informasi
  11. Mengelola Tekanan dan Perubahan
  12. Mengelola jumlah dan kegiatan pengunjung
  13. Perencanaan peraturan dan pengendalian pembangunan
  14. Adaptasi perubahan iklim
  15. Pengelolaan risiko dan krisis
  • Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi
  • Memberi manfaat ekonomi lokal
  • Mengukur kontribusi ekonomi pariwisata
  • Peluang kerja dan karir
  • Menyokong kewirausahaan lokal dan perdagangan yang berkeadilan
  • Kesejahteraan dan dampak sosial
  • Dukungan dari masyarakat
  • Pencegahan eksploitasi dan diskriminasi
  • Hak kepemilikan dan pengguna
  • Keselamatan dan keamanan
  • Akses untuk semua
  • Keberlanjutan Budaya
  • Melindungi Warisan Budaya
  • Perlindungan aset budaya
  • Artefak Budaya
  • Warisan Tak Benda
  • Akses Tradisional
  • Hak Kekayaan Intelektual
  • Mengunjungi Situs Budaya
  • Pengelolaan pengunjung pada situs budaya
  • Interpretasi situs
  • Keberlanjutan Lingkungan
  • Konservasi Warisan Alam
  • Perlindungan lingkungan sensitif
  • Pengelolaan pengunjung pada situs alam
  • Interaksi dengan kehidupan liar
  • Eksploitasi spesies dan kesejahteraan satwa
  • Pengelolaan Sumberdaya
  • Konservasi energi
  • Penatalayanan air
  • Kualitas air
  • Pengelolaan limbah dan emisi
  • Air limbah
  • Limbah padat
  • Emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim
  • Transportasi berdampak rendah
  • Pencemaran cahaya dan kebisingan

Kriteria Destinasi Pariwisata tersebut diperjelas melalui terdapatnya Kriteria yang menjadi dasar penilaian atau penetapan pada standar destinasi pariwisata berkelanjutan, Sub Kriteria yang merupakan turunan dari kriteria dan memberikan detil pengelompokan dari indikator, Indikator yang merupakan sesuatu yang memperjelas dan dapat memberi petunjuk atau keterangan dari kriteria , serta Bukti Pendukung yang merupakan sesuatu yang menyatakan suatu kebenaran peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda baik berupa softcopyatau hardcopy.

            Terkait dengan Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, didasari pada Kriteria Destinasi Pariwisata yang harus terpenuhi sebelumnya sebagai pedoman Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri. Sehingga, Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri dapat mewujudkan keempat pilar yaitu Pengelolaan Berkelanjutan, Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi, Keberlanjutan Budaya serta Keberlanjutan Lingkungan yang sekaligus menjadi tujuan dari penerapan percepatan pariwisata berkelanjutan di Indonesia itu sendiri.


[1]Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[2]Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[3]Op. Cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[4]Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

[5]Op.cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[6]Bab II Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

0

Intellectual Property Copyright Related to State Event Mascot

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua Bernando

Maskot adalah bentuk atau benda yang dapat berbentuk seseorang, binatang, atau objek lainnya yang dianggap dapat membawa keberuntungan dan untuk menyemarakkan suasana acara yang diadakan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Maskot adalah orang, binatang, atau benda yang diperlakukan oleh suatu kelompok sebagai lambang pembawa keberuntungan atau keselamatan. [1] Maskot pada umumnya merepresentasikan kepada masyarakat luas dari sekolah, universitas, klub olahraga, ataupun pengembangan atas suatu produk komersial. Setiap maskot yang dibuat akan diberikan nama panggilan yang sesuai dengan karakter dari maskot itu sendiri.[2]

Penggunaan atas maskot sekarang telah semakin meluas dengan selalu digunakan dalam setiap acara olahraga di dunia ini, seperti Piala Dunia maupun Olimpiade sebagai bagian dari promosi dari acara olahraga saat ini. Pemilihan atas maskot akan disesuaikan dengan karakter dari acara yang akan dibuat ataupun dari organisasi, klub, maupun lembaga yang akan menggunakan maskot sebagai alat untuk berpromosi.[3]

Setiap maskot seperti yang mempresentasikan suatu negara dapat disebut maskot acara negara, maskot tersebut biasa dimunculkan pada suatu ajang antar negara seperti acara olahraga dunia, seperti contoh SEA Games, Piala Dunia dan sebagainya. Maskot tersebut diciptakan oleh masing-masing negara, dimana dalam hal ini memiliki pencipta baik ia perseorangan maupun kelompok, dan dalam hal ciptaan berupa maskot tersebut, tentunya memiliki hak cipta yang menimbulkan hak eksklusif pada penciptanya.

Terkait dengan karya cipta berupa maskot yang memiliki pencipta, maka maskot tersebut dapat dikategorikan sebagai objek kekayaan intelektual yang mendapat perlindungan hak cipta, dan apabila maskot tersebut didaftarkan melalui suatu merek tertentu, maka dapat dilindungi dengan hak atas merek. Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjelaskan tentang definisi Hak Cipta dan Ciptaan yang merupakan objek yang dilindungi oleh Hak Cipta, yang merupakan:

Pasal 1

  • Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[4]

Dalam penggunaan maskot tersebut, tidak jarang terdapat pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta maupun hak atas merek, melalui memproduksi kostum, boneka, baju ataupun membuat gambar yang memuat maskot tersebut tanpa persetujuan dari pencipta atau pemilik merek, dan hal tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan dan hal ini melanggar hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta berdasarkan hak kekayaan intelektual yang dimilikinya.

Dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak ekonomi milik pencipta berkaitan dengan hak cipta yang dilanggar , yang berbunyi:

Pasal 8

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.

Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan
    • penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3)
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”  [5]

Pengaturan mengenai pelanggaran Hak Ekonomi Pencipta terhadap Objek Ciptaan tersebut diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi:

“ Pasal 113

  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[6]

Selain perlindungan sebagai objek hak cipta, apabila suatu maskot telah didaftarkan oleh suatu merek, dapat dilindungi dengan hak atas merek apabila terjadi pembajakan merek terhadap suatu produksi maskot yang menggunakan merek dagang tersebut. Hak atas merek dijelaskan dalam Pasal 1 Ankga 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi:

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.[7]

Pembajakan merek atau penggunaan merek tanpa hak atau tanpa izin dari pemilik merek diatur dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi :

Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

  1. gugatan ganti rugi; dan/atau
    1. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.[8]

Sanksi atas Pembajakan Merek itu sendiri diatur dalam Pasal 100 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi :

Pasal 100

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).[9]

Sehingga, perlindungan hukum terhadap maskot acara negara, dikarenakan maskot acara negara tersebut merupakan suatu objek perlindungan hak cipta , dimana apabila terjadi pembajakan terhadap hak cipta yang dimiliki oleh pencipta maskot tersebut, terdapat perlindungan hukum terhadap hak ekonomi pencipta yang diatur dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang memiliki sanksi pidana serta denda.

Hal tersebut juga diatur apabila maskot acara negara tersebut dilindungi melalui merek terdaftar yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dimana terdapat perlindungan hak atas merek terkait dengan pembajakan merek yang memiliki sanksi pidana serta denda, serta pelanggar hak atas merek tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian atas pembajakan merek tersebut.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Referensi :

  1. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Wikipedia


[1] https://kbbi.web.id/maskot

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Maskot

[3] Ibid.

[4] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[5] Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[6] Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[7] Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[8] Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[9] Pasal 100 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

0

Going Private Company Through Voluntary Delisting

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua Bernando

           Going private atau Go-Private adalah perubahan status suatu perusahaan dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup, melalui prosedur tertentu.[1] Perseroan Tertutup adalah PT yang sahamnya tidak ditawarkan ke publik dan tidak terdaftar di bursa efek. Biasanya, jumlah pemegang saham Perseroan Tertutup hanya sedikit (minimal 2 orang saja bisa mendirikan Perseroan Tertutup). Oleh karena itu, terkait kegiatan RUPS Perseroan Tertutup juga relatif lebih sederhana dibandingkan Perseroan Terbuka.[2]

Cara melakukan perubahan status dari Perseroan Terbuka menjadi Perusahaan Tertutup adalah melalui Delisting Saham. Dimana secara singkat, delisting adalah penghapusan pencatatan saham pada Bursa Efek Indonesia (lebih lanjut disebut ‘Bursa’) yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa. Sedangkan, go-private merupakan perubahan status suatu perusahaan, dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup melalui prosedur tertentu. Beberapa alasan suatu perusahaan tercatat memilih untuk melaksanakan delisting adalah karena tidak likuidnya saham yang tercatat di Bursa yang disebabkan kepemilikan saham oleh publik yang tidak signifikan; atau karena perusahaan tercatat tersebut tidak lagi membutuhkan pendanaan yang bersumber dari pasar modal.[3]

Perusahaan dapat mengubah status Perseroan Terbuka menjadi Perseroan yang tertutup dengan menyampaikan permohonan pencabutan efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas atau Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik kepada OJK dengan wajib memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 64 & Pasal 65 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021), yakni:

  1. Memperoleh persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS;
  2. Melakukan pembelian kembali atas seluruh saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik sehingga jumlah pemegang saham menjadi kurang dari 50 (lima puluh) Pihak atau jumlah lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  3. Mengumumkan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan bersamaan dengan pengumuman RUPS.[4]

Dalam menyampaikan permohonan pencabutan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, perseroan harus menyertakan dokumen berupa:

  1. pernyataan dari:
    1. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
    1. Biro Administrasi Efek atau Perusahaan Terbuka yang menyelenggarakan administrasi Efek sendiri,

Bahwa pemegang saham Perusahaan Terbuka telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan dilampiri susunan pemegang saham terakhir;

  • pernyataan dari Bursa Efek bahwa Perusahaan Terbuka tersebut telah memenuhi seluruh kewajibannya kepada Bursa Efek;
  • pernyataan dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian bahwa Perusahaan Terbuka telah memenuhi kewajibannya kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
  • bukti penyelesaian kewajiban pembayaran sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga dan kewajiban lainnya kepada Otoritas Jasa Keuangan, jika terdapat kewajiban sanksi adminitratif berupa denda dan/atau bunga dan kewajiban lainnya; dan
  • salinan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia atas perubahan anggaran dasar. [5]

Jika permohonan pencabutan sudah diterima secara lengkap oleh OJK, OJK akan mencabut efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan/atau Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik paling lama 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 64 ayat (4)) dan menerbitkan surat perintah kepada (ayat 5):

  1. Bursa Efek untuk membatalkan pencatatan Efek di Bursa Efek
  2. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk membatalkan pendaftaran Efek pada penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. [6]

Bursa Efek memiliki kewajiban untuk membatalkan pencatatan Efek Perusahaan Terbuka paling lambat 14 hari setelah diterima surat perintah dari OJK, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memiliki kewajiban membatalkan pendaftaran Efek Perusahaan Terbuka pada penitipan kolektif paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya surat perintah dari OJK tersebut.[7] (Pasal 65)

Dalam proses perubahan status Perusahaan dari Perseroan Terbuka menjadi Perseroan Tertutup seperti yang diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65 POJK 3/2021, terdapat sanksi yang dapat dikenakan kepada Perusahaan dan pihak-pihak yang berhubungan dengan perusahaan tersebut apabila melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, hal tersebut diatur dalam Pasal 100 mengenai sanksi yang diterapkan kepada pihak yang melakukan pelanggaran Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 65 POJK 3/2021 yang berupa sanksi administratif.

Sanksi administratif tersebut diatur dalam Pasal 93 dan Pasal 94 POJK 3/2021, yang berbunyi:

Pasal 93

Emiten, Perusahaan Publik, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, lembaga penilaian harga Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal, Pihak penerbit daftar Efek syariah, Perusahaan Pemeringkat Efek, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, wakil Penjamin Emisi Efek, wakil Perantara Pedagang Efek, wakil Manajer Investasi, Agen Penjual Efek Reksa Dana, wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, ahli syariah pasar modal, Agen Perantara Pedagang Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, Wali Amanat, profesi penunjang Pasar Modal, dan Pihak lain yang telah memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan, anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan setiap Pihak yang memiliki secara langsung maupun tidak langsung paling sedikit 5% (lima persen) saham Emiten atau Perusahaan Publik, serta Pihak lain yang melakukan pelanggaran dan/atau menyebabkan terjadinya pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;
    1. denda berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
    1. pembatasan kegiatan usaha;
    1. pembekuan kegiatan usaha;
    1. pencabutan izin usaha;
    1. pembatalan persetujuan;
    1. pembatalan pendaftaran;
    1. pencabutan efektifnya Pernyataan Pendaftaran; dan/atau
    1. pencabutan izin orang perseorangan.

Pasal 94

Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu dan/atau memerintahkan Pihak yang melakukan pelanggaran dan/atau Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran untuk melakukan tindakan tertentu berupa: a. pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah; b. pembayaran ganti kerugian kepada Pihak tertentu; c. pembekuan atau pembatalan hak dan manfaat; d. pembatasan untuk melaksanakan kegiatan tertentu; dan/atau e. tindakan tertentu lainnya.”[8]

            Sehingga, apabila sebuah Perseroan Terbuka ingin melakukan perubahan status menjadi Perseroan Tertutup atau biasa disebut dengan Going Private, dimana perusahaan tersebut tidak akan mempunyai saham yang diperjualbelikan dalam Bursa Efek Indonesia , maka Perseroan harus melakukan Delisting Saham yang telah bereda melalui Pembatalan Pencatatan Efek dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 64 & Pasal 65 POJK 3/2021.

          Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Perseroan dalam proses Going Private, mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, dan apabila dilanggar dapat dikenai sanksi administratif dari peringatan tertulis, hingga pencabutan izin usaha serta pencabutan efektifnya Pernyataan Pendaftaran.

DASAR HUKUM:

  1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021)

REFERENSI :

  1. Hukumonline ,  Assegaf Hamzah & Partners,  Memahami Lebih Jauh tentang Delisting dan Go-Private, ( https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-lebih-jauh-tentang-delisting-dan-go-private-lt5d6f2b56bd9ff?page=all , diakses pada tanggal 25 Febuari 2022)
  2. Pusat Pengembangan Hukum & Bisnis Indonesia, Perbedaan Perseroan Tertutup dan Perseroan Terbuka, ( https://www.pphbi.com/perbedaan-perseroan-tertutup-dan-perseroan-terbuka/ , diakses pada tanggal 25 Febuari 2022)

[1] Hukumonline ,  Assegaf Hamzah & Partners. Memahami Lebih Jauh tentang Delisting dan Go-Private, ( https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-lebih-jauh-tentang-delisting-dan-go-private-lt5d6f2b56bd9ff?page=all , diakses pada tanggal 25 Febuari 2022)

[2] Pusat Pengembangan Hukum & Bisnis Indonesia, Perbedaan Perseroan Tertutup dan Perseroan Terbuka, (

https://www.pphbi.com/perbedaan-perseroan-tertutup-dan-perseroan-terbuka/ , diakses pada tanggal 25 Febuari 2022)

[3] Op. Cit, Hukum Online , Assegaf Hamzah & Partners.

[4] Pasal 64 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021)

[5] Pasal 64 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021)

[6] Pasal 64 ayat (4) & ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021)

[7] Pasal 65 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021)

[8] Pasal 93 & Pasal 94 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal (POJK 3/2021)

0

Kewajiban Keikutsertaan Masyarakat Dalam Program Jaminan Kesehatan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Salah satu tugas dan fungsi pemerintah adalah fungsi pelayanan (Service), yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat (publik), dimana pelayanan tersebut mencakup semua sektor yang ada pada masyarakat, salah satunya sektor kesehatan. Terdapat banyak bentuk pelayanan pada sektor kesehatan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, salah satunya melalui Program Jaminan Sosial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional , dimana Jaminan Kesehatan merupakan salah satu jenis yang yang tercakup dalam Program Jaminan Sosial tersebut.

          Jaminan Sosial diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dimana Jaminan Sosial dan BPJS menurut definisi dalam Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), adalah:

Pasal 1

  1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
  2. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. [1]

Dalam menyelenggarakan Program Jaminan Sosial yang dilakukan oleh BPJS, dibagi ke dalam 2 bentuk yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga Kerjaan, dimana dari pengertian bentuk tersebut BPJS Kesehatan adalah Pihak yang menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Jaminan Kesehatan itu sendiri dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (Permenkes 71/2013) yang telah mengalami 4 kali perubahan melalui Permenkes 99/2015, Permenkes 23/2017, Permenkes 5/2018, dan Perubahan ke-4 pada Permenkes 7/2021, dimana Jaminan Kesehatan memiliki definisi sebagai berikut:

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.[2]

Jaminan Kesehatan juga diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 82/2018) sebagaimana telah mengalami dua kali perubahan melalui Perpres 75/2019 serta Perpres 64/2020, dimana dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 82 Tahun 2018 mengatur mengenai kewajiban keikutsertaan setiap penduduk Indonesia dalam Program Jaminan Kesehatan melalui BPJS Kesehatan, yang berbunyi:

Pasal 6

  • Setiap Penduduk Indonesia wajib ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan.
  • Ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara mendaftarkan atau didaftarkan pada BPJS Kesehatan.[3]

Dalam Pasal 6 ayat (3) Perpres 82 Tahun 2018 juga menjelaskan bahwa calon peserta BPJS Kesehatan berhak untuk menentukan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang diinginkan oleh Calon Peserta. Dimana berkaitan dengan Pasal 2 Permenkes 5/2018 tentang Perubahan ke-3 Permenkes 71/2013 menjelaskan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat dilakukan oleh semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa :

  1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, yakni:
  2. puskesmas atau yang setara;
  3. praktik dokter;
  4. praktik dokter gigi;
  5. praktik dokter layanan primer;
  6. klinik pratama atau yang setara; dan
  7. rumah sakit kelas D pratama atau yang setara.
  • Fasilitas Kesehatan rujukan Tingkat Lanjutan, yakni:
  • klinik utama atau yang setara;
  • rumah sakit umum; dan
  • rumah sakit khusus. [4]

Mengacu Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Perpres 82/2018, Peserta Jaminan Kesehatan dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan, meliputi: [5]

  1. PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan, dimana definisi PBI Jaminan Kesehatan dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 5 Perpres 82/2018, yang menjelaskan bahwa :

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Kesehatan. [6]

  • Bukan PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan, yang terdiri dari:
  • PPU (Pekerja Penerima Upah) dan anggota keluarganya;
  • PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan anggota keluarganya; serta
  • BP (Bukan Pekerja) dan anggota keluarganya.

Didalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 82/2018 menjelaskan bahwa setiap calon peserta yang telah menjadi peserta BPJS Kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta berupa Kartu Indonesia Sehat yang memuat nama  dan nomor identitas peserta yang terintegrasi dengan Nomor Identitas Kependudukan, kecuali untuk bayi baru lahir. [7] Serta, Penduduk yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan dapat didaftarkan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. [8]

Selain itu, pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. Dalam hal pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai peserta jaminan kesehatan. [9]

Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui keikutsertaan seluruh penduduk Indonesia yang didaftarkan pada BPJS Kesehatan, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (Inpres 1/2022). Dimana optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional tersebut melibatkan seluruh perangkat-perangkat pemerintahan dari kementerian dalam hal pemerintah pusat, Jaksa Agung, Kepolisian, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, Gubernur dan Walikota/Bupati dalam hal pemerintah daerah, hingga Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Dalam Inpres 1/2022 tersebut dijelaskan mengenai instruksi yang melibatkan pihak-pihak yang telah disebutkan diatas untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan optimalisasi program Jaminan Kesehatan. Dimana secara singkat, tujuan diterbitkannya Inpres 1/2022 tersebut adalah untuk melakukan persiapan, sinkronisasi dan penyempurnaan regulasi terkait dengan kepemilikan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan peserta dari BPJS Kesehatan.

Contoh penerapan Kebijakan tersebut, dalam hal menginstruksikan perangkat-perangkat pemerintahan kepemilikan Kartu Indonesia Sehat sebagai peserta aktif program Jaminan Kesehatan dalam hal ingin mengurus perizinan berusaha melalui sistem OSS (Online Single Submission), Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, peralihan hak dari jual beli tanah, hingga syarat kepemilikan rumah yang diatur dalam Inpres 1/2022 tersebut.

Penerapan peraturan tersebut juga merupakan perwujudan yang selaras dengan Pasal 6 ayat (1) Perpres 82/2018 yang mengatur bahwa setiap Penduduk Indonesia wajib ikutserta dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Hal ini dijelaskan secara implisit, akan tetapi hal tersebut merupakan cara yang diambil pemerintah untuk melakukan program pemerataan kepemilikan Kartu Indonesia Sehat tersebut, yang secara langsung berimplikasi terhadap perwujudan pelayana kesehatan sebagaimana dijelaskan Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi :

Pasal 28

  • Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
  • Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.[10]

Terdapat sanksi administratif yang dapat diberikan kepada masyarakat yang tidak mengikuti program Jaminan Kesehatan, hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 17 Perpres 82/2018 jo. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU BPJS, yang berbunyi:

Pasal 17 Perpres 82/2018

  • Kewajiban melakukan pendaftaran sebagai Peserta Jaminan Kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan batas waktunya namun belum dilakukan maka dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17 UU BPJS

  • Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  • teguran tertulis;
  • denda; dan/atau
  • tidak mendapat pelayanan publik tertentu. [11]

“Tidak mendapat pelayan publik tertentu” sebagaimana dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) huruf c UU BPJS berkaitan dengan contoh penerapan dari optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional pada Inpres 1/2022 mengenai pembuatan izin berusaha, Surat Izin Mengemudi, kepemilikan rumah dan sebagainya. Dimana apabila masyarakat yang tidak ikut serta dalam Program Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) sebagai peserta, yakni memiliki Kartu Indonesia Sehat, maka tidak mendapat pelayanan publik seperti mengurus izin-izin yang telah dijelaskan diatas.

Sehingga, pada dasarnya program Jaminan Kesehatan merupakan perwujudan dari amanat Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 mengenai jaminan sosial dan pelayanan kesehatan yang harus diberikan oleh Pemerintah kepada Masyarakat. Oleh sebab itu, Pemerintah mewujudkan hal tersebut melalui program yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam hal ini BPJS Kesehatan, dan seiring berjalannya penerapan program tersebut, pemerintah terus melakukan penyempurnaan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui penerbitan peraturan seperti Perpres 82/2018 dan dalam hal melakukan optimalisasi Program Jaminan kesehatan tersebut Pemerintah dalam hal ini secara langsung memberikan instruksi kepada perangkat-perangkat pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat daerah melalui Inpres 1 Tahun 2022.

Hal ini dilakukan demi melakukan mewujudkan pelayanan kesehatan yang maksimal melalui pemerataan keikutsertaan seluruh penduduk Indonesia dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional melalui pendaftaran pada BPJS Kesehatan serta Kepemilikan Kartu Indonesia Sehat, serta Pemerintah sanksi administratif yang diberikan kepada masyarakat seperti teguran, denda, serta tidak mendapat pelayanan publik tertentu apabila tidak ikut serta dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional atau memiliki Kartu Indonesia Sehat.

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
  4. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang telah mengalam 2 kali perubahan melalui Perpres 75/2019, dan Perubahan ke-2 melalui Perpres 64/2020
  5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
  6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (Permenkes 71/2013) yang telah mengalami 4 kali perubahan melalui Permenkes 99/2015, Permenkes 23/2017, Permenkes 5/2018, dan Perubahan ke-4 pada Permenkes 7/2021

[1] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

[2] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

[3] Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[4] Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

[5] Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[6] Pasal 1 Angka 5 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[7] Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[8] Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[9] Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[10] Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[11] Pasal 17 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan jo. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

1 12 13 14 15 16 18
Translate