0

Sanksi Terhadap Pelanggaran Paten Perusahaan Telefon Genggam

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Sebuah perusahaan telefon genggam akan selalu memiliki kaitan dengan teknologi, sebuah teknologi yang diciptakan oleh perusahaan telefon genggam tersebut yang berbentuk  komponen atau fitur apabila ingin digunakan oleh perusahaan telefon genggam lainnya, maka harus melalui persetujuan pemilik hak paten tersebut, dan harus disetujui melalui suatu perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak.

         Apabila terdapat teknologi yang telah menjadi hak paten dari sebuah perusahaan telefon genggam yang dipakai oleh perusahaan lainnya dengan sengaja dan tanpa hak serta tanpa melalui persetujuan pemilik hak paten teknologi tersebut atau penggunaan paten tanpa lisensi, maka terdapat perlindungan hukum bagi pemilik hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten).

         Hak-hak pemegang paten diatur dalam Pasal 19 UU Paten ,yaitu:

Pasal 19

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
    • Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
    • dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi pelindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.”[1]

         Selain hak-hak yang diatur dalam Pasal 19 UU Paten, pemegang Paten juga memiliki hak untuk memberikan lisensi kepada Pihak ketiga. Hal ini diatur dalam Pasal 76 UU Paten yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 76

  • Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
  •  Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup semua atau sebagian perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”[2]

Dalam hal penyelesaian sengketa terkait dengan penggunaan teknologi tanpa hak pemilik paten, mengacu kepada Pasal 143 UU Paten yang berbunyi:

Pasal 143

(1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).

(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima jika produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi paten. “[3]

Undang-Undang Paten secara khusus mengatur lebih untuk melindungi hak-hak pemegang paten, yakni dengan mengatur perbuatan yang dilarang. Pasal 160 UU Paten mengatur perbuatan yang dilarang sebagai berikut:

Pasal 160

Setiap orang tanpa persetujuan pemegang Paten dilarang :

  1. Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten; dan/atau
  2. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”[4]

Sehingga jika terdapat Pihak yang membuat barang berdasarkan suatu invensi yang telah dipatenkan tanpa sepersetujuan pemegang Paten, maka Pihak tersebut dikategorikan telah melakukan perbuatan yang dilarang. Terhadap Pihak yang melakukan hal tersebut dapat dikenakan sanksi berupa sanksi pidana. Ketentuan mengenai sanksi ini termuat dalam Pasal 161 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

         Sehingga, sanksi perdata berupa denda atau ganti rugi dapat diterapkan kepada pihak yang memakai/menggunakan invensi atau suatu teknologi tanpa persetujuan pemegang paten, selain itu pemegang paten dapat menuntut sanksi pidana berupa pidana penjara atau pidana denda kepada pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak serta tanpa persetujuan menggunakan suatu teknologi paten milik perusahaan telefon genggam pemegang paten.


[1] Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[3] Pasal 143 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[4] Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[5] Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

0

Pandangan Hukum Terhadap Pihak Affiliator dalam Option yang Menyerupai Investasi

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

            Kegiatan investasi oleh masyarakat menjadi hal yang penting, melihat kesadaran masyarakat akan investasi yang meningkat terutama pada era globalisasi yang berkembang pesat seperti sekarang ini. Semakin banyak orang dari berbagai kalangan umur mengetahui dan menyadari pentingnya berinvestasi. Hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi sehingga membuat lebih mudahnya orang-orang untuk mendapatkan informasi mengenai manfaat berinvestasi. Investasi itu sendiri merupakan aktivitas menempatkan modal baik berupa uang atau aset berharga lainnya ke dalam suatu benda, lembaga, atau suatu pihak dengan harapan pemodal atau investor kelak akan mendapatkan keuntungan setelah kurun waktu tertentu.

            Akan tetapi, keuntungan yang diharapkan dalam kegiatan investasi tersebut kadang menjadi hal yang mengesampingkan legalitas dari suatu produk perdagangan berjangka yang menyerupai investasi / penanaman modal, terlebih produk perdagangan berjangka menawarkan atau memberi harapan kepada masyarakat tentang keuntungan yang akan didapatkan dan seringkali ditemui keuntungan yang ditawarkan bersifat tinggi hingga berkali-kali lipat, seperti halnya yang ditemui pada produk Binary Option.

            Binary Option merupakan Opsi biner atau jenis kontrak opsi di mana pembayarannya sepenuhnya bergantung pada hasil proposisi ya atau tidak dan biasanya berkaitan dengan apakah harga aset tertentu akan naik di atas atau turun di bawah jumlah yang ditentukan. Setelah opsi diperoleh, tidak ada keputusan lebih lanjut yang harus diambil oleh pemegangnya mengenai pelaksanaan binary option karena opsi tersebut dijalankan secara otomatis. Binary Option tidak memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli atau menjual aset yang ditentukan. Ketika opsi biner kedaluwarsa, pemegang opsi menerima jumlah uang tunai yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak sama sekali.[1]  Untuk dapat melaksanakan trading melalui binary option, pengguna harus melakukan registrasi dan menaruh deposit berupa uang. Dari deposit tersebut pengguna akan memasang nominal yang akan dipertaruhkan. Jika tebakan pengguna benar pada saat melakukan trading, maka pengguna akan mendapatkan keuntungan, dan jika tidak maka nominal yang dipertaruhkan akan hilang.[2]

Pada saat ini telah banyak pemberitaan mengenai binary option, khususnya karena dipromosikan oleh sebagian dari figur publik. Figur publik yang mengenalkan atau mempromosikan tersebut merupakan pihak yang memberikan pengaruh kepada masyarakat yang kemudian bertindak dan dikenal sebagai affiliator binary option, hal ini dikarenakan figur-figur publik tersebut menjadi pihak yang berafiliasi atau bekerja sama dengan pelaku usaha daripada binary option dengan melakukan promosi untuk aplikasi-aplikasi milik badan-badan usaha yang bergerak pada bidang binary option tersebut. Dalam mempromosikan binary option, para affiliator ini menjanjikan keuntungan dengan memamerkan aset yang diklaim didapat dari hasil trading melalui binary option.[3]

Affiliator binary option, merupakan pihak yang bekerja sama dengan pihak penyedia jasa, maka mereka dapat disebut sebagai pelaku usaha karena memperoleh keuntungan terhadap konsumen yang memakai produk binary option tersebut, mengacu pada Pasal 9 ayat (1) huruf K dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang berbunyi:

“ Pasal 9

  • Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
  • menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  • Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.”[4]

Sanksi bagi Affiliator yang melanggar ketentuan Pasal 9 UU PK yakni salah satunya adalah menawarkan atau mempromosikan suatu barang dan/atau jasa seolah-olah mengandung janji yang pasti memperoleh keuntungan dalam binary option tersebut, diatur dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 UU PK, yang berbunyi:

“ Pasal 62

  • Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 63

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:

  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
  6. pencabutan izin usaha.”[5]

Selain sanksi yang dapat diterapkan kepada affiliator, Praktek terhadap binary option tersebut dilarang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (UU 32/1997) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011. (UU 10/2011) yang mengatur tentang praktik-praktik perdagangan yang dilarang, secara khusus adalah mempengaruhi pihak lain (dalam arti ini adalah masyarakat) untuk melakukan transaksi dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran. Hal ini termuat dalam UU Pasal 57 ayat (2) huruf d UU 10/2011 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

  • Setiap Pihak dilarang
    • secara langsung atau tidak langsung memengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran[6]

Pelaku dari praktik-praktik perdagangan yang dilarang dapat dikenakan sanksi. Menurut UU 32/1997, terdapat dua macam sanksi yang dapat dikenakan untuk pelaku praktik perdagangan yang dilarang, yakni sanksi administrasi dan pidana. Sanksi administrasi termuat dalam Pasal 69 UU 32/1997 yang berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 69

  • Bappebti berwenang mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya yang dilakukan oleh setiap Pihak yang memperoleh izin usaha, izin, persetujuan, atau sertifikat pendaftaran dari Bappebti.
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    • peringatan tertulis;
    • denda administratif, yaitu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu;
    • pembatasan kegiatan usaha;
    • pembekuan kegiatan usaha;
    • pencabutan izin usaha;
    • pencabutan izin;
    • pembatalan persetujuan; dan/atau
    • pembatalan sertifikat pendaftaran.[7]

Adapun sanksi pidana untuk praktik perdagangan yang dilarang termuat dalam Pasal 72 UU 32/1997, yakni pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak sepuluh miliar rupiah, sebagaimana bunyi Pasal 72 UU 32/1997 sebagai berikut:

Setiap Pihak yang melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).[8]

            Sehingga, dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh badan – badan usaha selaku pelaku binary option merupakan tindakan ilegal atau tindakan yang melanggar hukum dalam hal ini melanggar Pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011. Selain itu, melakukan promosi terhadap produk yang seolah-olah menawarkan keuntungan yang pasti merupakan hal yang dilarang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, oleh sebab itu, figur publik yang berperan sebagai pihak terafiliasi (Affiliator ) dari Binary Option pada dasarnya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara serta pidana denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

DASAR HUKUM :

  1. UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2011.
  2. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

REFERENSI:

  1. U.S SECURITIES AND EXCHANGE COMISSION, BINARY OPTION (HTTPS://WWW.INVESTOR.GOV/INTRODUCTION-INVESTING/INVESTING-BASICS/GLOSSARY/BINARY-OPTIONS, DIAKSES PADA TANGGAL 31 JANUARI 2022 )
  2. KONTAN.CO.ID, CATAT! BINARY OPTION ADALAH TRADING ILLEGAL YANG LEBIH MIRIP JUDI (HTTPS://INVESTASI.KONTAN.CO.ID/NEWS/CATAT-BINARY-OPTION-ADALAH-TRADING-ILLEGAL-YANG-LEBIH-MIRIP-JUDI, DIAKSES PADA TANGGAL 31 JANUARI 2022)
  3. BUSINESS INSIGHT, SATGAS WASPADA INVESTASI : AFILIATOR BINARY OPTION BAKAL DIPROSES HUKUM (HTTPS://INSIGHT.KONTAN.CO.ID/NEWS/SATGAS-WASPADA-INVESTASI-AFILIATOR-BINARY-OPTION-BAKAL-DIPROSES-HUKUM , DIAKSES PADA TANGGAL 31 JANUARI 2022)

[1] Lihat dari U.S Securities and Exchange Comission, Binary option (https://www.investor.gov/introduction-investing/investing-basics/glossary/binary-options)

[2] Kontan.co.id, Catat! Binary Option Adalah Trading Illegal Yang Lebih Mirip Judi (https://investasi.kontan.co.id/news/catat-binary-option-adalah-trading-illegal-yang-lebih-mirip-judi)

[3] Business Insight, Satgas Waspada Investasi : Afiliator Binary Option Bakal Diproses Hukum (https://insight.kontan.co.id/news/satgas-waspada-investasi-afiliator-binary-option-bakal-diproses-hukum)

[4] Pasal 9 ayat (1) huruf k dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

[5] Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

[6] Pasal 57 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

[7] Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011.

[8] Pasal 72 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011.

1

Kebijakan terkait Pengetatan & Pengaturan Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu bahan baku di dunia yang memiliki banyak kegunaan, sebut saja minyak goreng. Produksi minyak sawit berawal dari benih kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit memiliki masa produktif 25-30 tahun, karena itu pemilihan benih akan memengaruhi produktivitas untuk beberapa dekade mendatang.[1] Selain batubara, sawit dan produk turunannya adalah komoditas perdagangan terpenting di Indonesia.

            Ekspor produk minyak sawit di Indonesia pada 2021 mencakup minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), olahan CPO, palm kernel oil (PKO), oleokimia (termasuk dengan kode HS 2905, 2915, 3401 dan 3823), dan biodiesel (kode HS 3826) telah mencapai 34,2 juta ton.[2] Adapun sepanjang 2021, Kementerian Perdagangan mencatat nilai ekspor CPO dan turunannya dalam kode HS 15 mencapai USD 32,83 miliar, naik 58,48% dibandingkan dengan realisasi ekspor pada 2020 sebesar USD 20,72 miliar.[3] Oleh sebab itu, kegiatan usaha di sektor perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya merupakan salah satu sektor yang paling berkembang di Indonesia.

            Kebijakan dan Pengaturan Ekspor di Indonesia berdasarkan perkembangannya saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (Permendag 19/2021), akan tetapi terdapat perubahan yang signifikan terhadap kebijakan dan pengaturan ekspor pada sektor minyak kelapa sawit, sehingga peraturan kebijakan dan pengaturan ekspor tersebut diubah dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (Permendag 2/2022).

            Adapun pengertian perkebunan kelapa sawit dan usaha perkebunan kelapa sawit tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan dan Perkebunan Kelapa Sawit, yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Perkebunan Kelapa Sawit adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait tanaman perkebunan Kelapa Sawit.
  2. Usaha Perkebunan Kelapa Sawit adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa Perkebunan Kelapa Sawit. [4]

Dalam melakukan kegiatan usaha di bidang ekspor, pelaku usaha harus memiliki izin usaha di bidang ekspor melalui Persyaratan Pengajuan Permohonan Perizinan Berusaha di Bidang Ekspor, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Permendag No. 19 Tahun 2021, sebagai berikut:

Pengajuan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan Perizinan Berusaha di bidang Ekspor sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.[5]

Adapun “Perizinan berusaha di bidang ekspor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diatur dalam Pasal 3 ayat (4), yang berbunyi sebagai berikut:

Perizinan Berusaha di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

  1. Eksportir Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau
  2. Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b [6]

Dengan demikian, eksportir wajib memberikan dokumen sebagaimana dimuat dalam Lampiran I agar dapat melakukan pengajuan permohonan Perizinan berusaha di bidang Ekspor. Kebijakan dan Pengaturan Ekspor komoditas minyak kelapa sawit yang berubah tercantum dalam Pasal 2 Angka 1 Permendag 2/2022 , yang berbunyi:

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil sebagaimana tercantum dalam Lampiran I angka romawi XVIII yang pengajuan permohonan pemuatan Barang untuk Ekspor dalam bentuk curah dan/atau pemeriksaan fisik sebelum pengajuan pemberitahuan ekspor barang telah disetujui kepala kantor pabean sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dilaksanakan tanpa dilengkapi dengan Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa Persetujuan Ekspor.[7]

Adapun alasan perubahan tersebut menurut bagian menimbang adalah sebagai berikut:

  1. bahwa untuk menjaga ketersediaan bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, perlu pengaturan mengenai ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai kebijakan dan pengaturan ekspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor;[8]

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perubahan pada Permendag terjadi untuk mengatur kebijakan dan pengaturan ekspor CPO, Refined, Bleached, dan Deodorized Palm. Pengaturan tersebut diperlukan untuk menjaga ketersediaan bahan baku minyak goreng dan minyak goreng itu sendiri.

Adapun persyaratan Persyaratan untuk Persetujuan Ekspor minyak sawit dan turunannya dalam Lampiran I Nomor XVIII Permendang 02/2022 ini adalah sebagai berikut:[9]

Persyaratan untuk Persetujuan Ekspor Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil:

  1. Surat Pernyataan Mandiri bahwa Eksportir telah menyalurkan Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil untuk kebutuhan dalam negeri, dilampirkan dengan kontrak penjualan;
  2. Rencana ekspor dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
  3. Rencana distribusi ke dalam negeri dalam jangka waktu 6 (enam) bulan

Penerbitan Persetujuan Ekspor dilakukan berdasarkan:

  1. Neraca Komoditas, dalam hal Neraca Komoditas telah ditetapkan; atau
  2. ketentuan dan Data yang tersedia, dalam hal Neraca Komoditas belum ditetapkan.

Dengan masa berlaku sebagai berikut:

  1. Selama 1 (satu) tahun takwim dalam hal Neraca Komoditas telah ditetapkan; atau
  2. Selama 6 (enam) bulan dalam hal Neraca Komoditas belum ditetapkan.

Adapun syarat perubahan Persetujuan Ekspor untuk Ekspor Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil adalah sebagai berikut:[10]

  1. Dalam hal perubahan identitas eksportir:
    • Persetujuan Ekspor Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil yang masih berlaku; dan
    • Dokumen yang mengalami perubahan.
  2. Dalam hal perubahan Pos Tarif/HS, uraian barang, jumlah dan satuan, pelabuhan muat, dan/atau negara tujuan:
    • Persetujuan Ekspor Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil yang masih berlaku; dan
    • Laporan Hasil Realisasi Ekspor.

Perubahan yang terakhir dalam Permendag 2/2022 yang mengatur mengenai masa berlaku Perubahan Persetujuan Ekspor Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil adalah selama masa sisa masa berlaku Persetujuan Ekspor Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil.[11]

Selain sebagai komoditas ekspor yang berperan penting bagi sektor perdagangan di Indonesia, kebutuhan pasokan minyak kelapa sawit dan produk turunannya juga dibutuhkan menjaga ketersediaan bahan baku minyak goreng dan minyak dalam negeri, sehingga, melalui pertimbangan tersebut, Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor, dimana dalam peraturan tersebut mengatur spesifik terhadap kebijakan dan pengaturan ekspor Crued Palm Oil (CPO), Refined, Bleached, dan Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil.

DASAR HUKUM:

  1. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan dan Perkebunan Kelapa Sawit
  2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor sebagaimana telah dibuah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022.

REFERENSI :

  1. ASIAN AGRI, “Bagaimanakah Minyak Kelapa Sawit Dibuat?” , (https://www.asianagri.com/id/media-id/faqs/bagaimana-minyak-kelapa-sawit-dibuat#:~:text=Selanjutnya%20CPO%20ditransfer%20ke%20pabrik,digunakan%20dalam%20kosmetik%20dan%20sabun , diakses pada 28 Januari 2022)
  2. Lim Fathhimah Timorria, “Volume Ekspor CPO Naik Tipis Imbas Pasokan Terbatas”,( https://ekonomi.bisnis.com/read/20220128/12/1494451/volume-ekspor-cpo-naik-tipis-imbas-pasokan-terbatas , diakses pada 28 Januari 2022)
  3. Lim Fathhimah Timorria, “Ekspor CPO Terkena Dampak DMO Minyak Sawit, Kemendag Beri Penjelasan”, ( https://ekonomi.bisnis.com/read/20220128/12/1494284/ekspor-cpo-terkena-dampak-dmo-minyak-sawit-kemendag-beri-penjelasan , diakses pada 28 Januari 2022)

[1] ASIAN AGRI, “Bagaimanakah Minyak Kelapa Sawit Dibuat?” , (https://www.asianagri.com/id/media-id/faqs/bagaimana-minyak-kelapa-sawit-dibuat#:~:text=Selanjutnya%20CPO%20ditransfer%20ke%20pabrik,digunakan%20dalam%20kosmetik%20dan%20sabun , diakses pada 28 Januari 2022)

[2] Lim Fathhimah Timorria, “Volume Ekspor CPO Naik Tipis Imbas Pasokan Terbatas”,( https://ekonomi.bisnis.com/read/20220128/12/1494451/volume-ekspor-cpo-naik-tipis-imbas-pasokan-terbatas , diakses pada 28 Januari 2022)

[3]   Lim Fathhimah Timorria, “Ekspor CPO Terkena Dampak DMO Minyak Sawit, Kemendag Beri Penjelasan”, ( https://ekonomi.bisnis.com/read/20220128/12/1494284/ekspor-cpo-terkena-dampak-dmo-minyak-sawit-kemendag-beri-penjelasan , diakses pada 28 Januari 2022)

[4] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan dan Perkebunan Kelapa Sawit

[5] Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor

[6] Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor

[7] Pasal 2 Angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor

[8] Bagian Menimbang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor

[9] Lampiran I Nomor XVIII Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor

[10] Ibid

[11] Ibid.

0

Aspek Pengawasan NFT menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang

Token yang tidak dapat ditukar atau yang lebih dikenal sebagai non-fungible token (NFT) merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis yang menunjukkan adanya kepemilikan digital terhadap suatu objek digital. Kode elektronis ini didapat dari objek digital, yang pada umumnya berupa gambar digital, cuitan, maupun bangunan atau tanah virtual. Keunikan tersebut yang membuat token tidak dapat diperoleh melalui transaksi pertukaran, sehingga token tersebut hanya dapat diperoleh melalui transaksi jual beli melalui mata uang kripto.

Memasuki akhir tahun 2021, NFT kemudian semakin diginakan oleh masyarakat. Berbagai NFT kemudian mulai dipasarkan dalam pasar khusus NFT, baik yang dikelola oleh pelaku usaha luar negeri maupun pelaku usaha dalam negeri. Namun, dalam memasarkan gambar digital sebagai NFT tersebut, terdapat permasalahan yang muncul. Objek NFT diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, foto yang diambil dari sosial media tanpa seizin pemilik foto tersebut, Atau contoh lainnya berupa gambar tidak senonoh yang melanggar kesusilaan. Selain itu, adanya gambar yang memuat identitas seperti foto Kartu Tanda Penduduk seseorang. Beragam contoh tersebut menunjukkan bahwa transaksi NFT haruslah memiliki pengawasan dari peraturan perundang-undangan.

Karena NFT pada dasarnya merupakan data elektronik, maka NFT menjadi objek dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (UU 19/2016  ITE) beserta peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019 PSTE).

Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan Pasal 1 angka 1 PP 71/2019 mengatur mengenai Informasi Elektronik sebagai:[1]

“…satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

NFT pada dasarnya merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis, maka NFT dapat diklasifikan sebagai Informasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada UU 19/2016 dan PP 71/2019.

Yang menyelenggarakan perdagangan NFT adalah pasar khusus NFT. Jika dilihat kepada PP 71/2019, maka pasar khusus NFT dapat diklasifikasikan sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik, sebagaimana Pasal 1 angka 4 PP 71/2019 berbunyi:

“Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluain dirinya dan/atau keperluan pihak lain.”

Sebagai akibat dari hal tersebut, maka kepada pasar khusus NFT dibebankan hak dan kewajiban sebagaimana termuat dalam PP 71/2019. Salah satu contoh kewajiban yang diatur dalam PP 71/2019 adalah kewajiban untuk memastikan bahwa sistemnya tidak memuat NFT yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adapun secara lengkap, kewajiban tersebut termuat dalam Pasal 5 PP 71/2019 , yang berbunyi sebagai berikut

“Pasal 5

  • Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Penyelenggara Sistem Elekronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Ketentuan mengenai kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.[2]

Pasar khusus NFT juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan penghapusan terhadap NFT yang memuat data pribadi seseorang. Kewajiban ini timbul jika adanya permintaan dari orang yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada Pasal 15 PP 71/2019, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 15

  • Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersanglmtan.
  • Kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
    • penghapusan (right to erasure); dan
    • pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delistingl.
  • Penyelenggara Sistem Elektronik yang wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Sistem Elektronik yang memperoleh dan/atau memproses Data Pribadi di bawah kendalinya.”[3]

Adapun alasan dari permintaan penghapusan tersebut dijabarkan dalam Pasal 16 ayat (1) PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan penghapusan (right to erasure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a terdiri atas Data Pribadi yang:
    • diperoleh dan diproses tanpa persetujuan pemilik Data Pribadi;
    • telah ditarik persetujuannya oleh pemilik Data Pribadi;
    • diperoleh dan diproses dengan cara melawan hukum;
    • sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan perolehan berdasarkan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ;
    • penggunaannya telah melampaui waktu sesuai dengan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ; dan / atau
    • ditampilkan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik Data Pribadi.”[4]

Mengingat banyak kasus yang terjadi bahwa NFT yang ada berisikan data pribadi dan privasi yang mana diunggah oleh pihak ketiga tanpa sepersetujuan pemilik data pribadi, maka pasar khusus NFT harus memberikan perlindungan kepada pemilik data pribadi yang bersangkutan dengan berupa melakukan penghapusan apabila pemilik data pribadi tersebut meminta agar gambar berisi data pribadinya untuk dihapus dari platform pasar khusus NFT.

Jika pasar khusus NFT tidak melaksanakan kewajibannya baik memastikan bahwa sistemnya tidak berisikan NFT yang melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 5 PP 71/2019 maupun tidak melindungi data pribadi dengan menghapus NFT berisi data pribadi tersebut atas permintaan pemilik data pribadi sebagaimana ketentuan dari Pasal 15 ayat (1) PP 71/2019, maka terdapat sanksi yang dapat dikenakan kepada PP 71/2019. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 100 PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100

  • Pelanggaran terhadap ketentuanPasal 5 ayat (1) dan ayat (2), … Pasal 15 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
  •  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    • teguran tertulis;
    • denda administratif;
    • penghentian sementara;
    • pemutusan Akses; dan/atau
    • dikeluarkan dari daftar.
  • Sanksi administratif diberikan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan melalui koordinasi dengan pimpinan Kementerian atau Lembaga terkait.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapuskan tanggung jawab pidana dan perdata.[5]

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

[1] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan PP PSTE

[2] Pasal 5 PP PSTE

[3] Pasal 15 PP PSTE

[4] Pasal 16 ayat (1) PP PSTE

[5] Pasal 100 PP PTSE

0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

1 14 15 16 17 18
Translate