PROTECTION AGAINST CYBERCRIME IN BANKING

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

REFERENSI: 

  1. Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021.
  2. Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan
    dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016.
  3. Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
  4. Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security
    Dan Forensik Digital, 1(2).
  5. Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  6. Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022

Ketergantungan terhadap pemanfaatan teknologi pada hampir semua kegiatan manusia sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang mengikuti pesatnya teknologi informasi berkembang.[1]

Perkembangan teknologi seperti ini telah menimbulkan revolusi komunikasi yang menyebabkan kehidupan masyarakat di berbagai negara tidak bisa terlepas dan bahkan telah ditentukan oleh informasi dan komunikasi.[2]

Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi, dari dampak tersebut terdapat dampak positif dan negatif dan oleh karena itu para pelaku bisnis harus mampu beradaptasi dengan mengantisipasi dampak negatif tersebut secara mengantisipasi ancaman dan menjaga kepercayaan konsumen untuk memberikan kenyamanan konsumen dan
perlindungan konsumen dalam bertransaksi.[3]

Semakin canggihnya suatu teknologi akan selalu berbanding lurus dengan kejahatan pada dunia maya. Sehingga akan selalu bermunculan jenis–jenis kejahatan baru yang mengikuti cybercrime tersebut. Metode yang sering digunakan oleh pelaku cybercrime pada sektor perbankan
dengan memanfaatkan teknologi informasi diantaranya adalah:[4]

  1. Skimming, yakni suatu bentuk kejahatan cyber dengan cara mencuri informasi nasabah pada saat bertransaksi menggunakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
  2. Malicious Software (Malware) , yakni perangkat lunak berbahaya untuk mencuri data, merusak sistem serta perangkat komputer;
  3. Hacking, yakni suatu bentuk kejahatan cyber dengan cara penyerangan terhadap program komputer dan mengeksploitasi komputer milik orang pribadi atau perusahaan yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun orang lain secara melawan hukum.

Bentuk–bentuk kejahatan cyber tersebut jelas berpotensi merugikan secara finansial bagi nasabah. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan bahwa hukum melalui instrumen–instrumennya harus dapat melindungi nasabah yang menjadi korban dari cybercrime. Nasabah bank dalam hal ini berkedudukan sebagai konsumen dari badan usaha bidang perbankan dilindungi oleh hukum sebagaimana pada Pasal 1 angka 1 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan:

“Pasal 1

  1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
    kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Kemudian dalam dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri memiliki asas dan tujuan hal tersebut terjamin pada Pasal 2 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan:

“Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Masalah kedudukan yang seimbang secara jelas dan tegas terdapat dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, kesimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Dengan berlakunya undang-undang tentang perlindungan konsumen, memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan oleh karenanya bank dalam memberikan layanan kepada nasabah dituntut untuk:[5]

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar dan jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin kegiatan usaha perbankannya berdasarkan ketentuan standard perbankan yang berlaku dan beberapa aspek lainnya.

Adapun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur perbuatan yang dilarang, yang terdapat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan:

“Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.

Sementara itu perbankan harus menjaga kerahasiannya dalam menjalankan kegiatannya hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Pasal 1

28. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.

Dengan berkembangya teknologi di dunia perbankan maka dalam rangka mewujudkan kemudahan serta keamanan dan kenyamanan dalam transaksi e-commerce. e-banking sebagai media pembayaran dari tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian. Pada dasarnya, media pembayaran e-banking menyediakan jasa transaksi pembelian barang dari konsumen kepada pelaku usaha.[6]

Mengenai e-banking sendiri tentu terjamin dalam Pasal 29 ayat (4) dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

Pasal 29

(4)Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”.

Pasal 40

(1)Bank Wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, dan
Pasal 44A.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi”.

Berkaitan dengan data-data kerahasiaan dalam perbankan itu terdapat sanksi, hal tersebut terdapat dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Pasal 47

(1)Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)”.

(2)Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Melihat dari pasal yang di atas, dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah terkait dengan permintaan rahasia bank oleh orang yang memaksa pihak bank atau pihak afiliasi untuk kepentingan perpajakan, piutang bank, dan kepentingan pengadilan untuk perkara pidana.

Perkembangan teknologi informasi dalam sektor perbankan di satu sisi memberikan kemudahan bagi industri perbankan dan juga nasabah, pada sisi lain berpotensi munculnya risiko cybercrime yang dapat merugikan nasabah secara finansial.

Industri perbankan sebagai suatu layanan jasa keuangan yang berlandaskan prinsip kepercayaan dari masyarakat maka harus tetap meningkatkan keamanan dari segi cyber security untuk selalu dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat tersebut.

Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah atas kejahatan dunia maya telah diatur melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, sangat penting adanya regulasi yang secara tujuannya lebih mengarah kepada upaya preventif sehingga tidak lebih dahulu mendatangkan kerugian kepada konsumen, mengingat secara tingkat kerumitan penyelesaian dan pengungkapan suatu kejahatan dunia maya. Perlindungan yang diberikan oleh bank sangat penting untuk menimbulkan
kepercayaan dan kenyaman nasabah. Karena resiko yang ditimbulkan dalam layanan ini sangat tinggi, ada kemungkinan
nasabah menderita kerugian karena disadap, Selain itu juga pihak bank demi menjaga
kerahasiaan identitas dan semua informasi keuangan nasabah pengguna.[7]


[1] Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021, hal 123.

[2] Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016, hal 21.

[3] Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
https://www.researchgate.net/profile/Nashrudin-Setiawan/publication/327335383_Impact_of_cybercrime_in_e-
business_and_trust/links/60559c8f92851cd8ce52afe8/Impact-of- cybercrime-in-e-business-and-trust.pdf

[4] Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security Dan Forensik Digital, 1(2), 57–61.

[5] Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015, hal 152.

[6] Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021, hal 129.

[7] Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022, hal 81

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 1998 concerning Banking;
  2. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection;
  3. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transaction

REFERENCE:

  1. Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021.
  2. Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan
    dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016.
  3. Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
  4. Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security
    Dan Forensik Digital, 1(2).
  5. Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  6. Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022

Dependence on the use of technology in almost all human activities has become a daily necessity. The banking sector is one of the sectors that follows the rapid development of information technology.

The Development of technology has led to a communication revolution that has caused people’s lives in various countries to be inseparable from and have even been determined by information and communication.

The rapid information and technology development today is the impact of the increasingly complex human need for information, in which there are positive and negative results, and therefore business people must adapt by anticipating these negative results. Business people must anticipate threats and maintain consumer trust to provide customer convenience and protection in transactions.

The more advanced technology will always be directly proportional to cyberspace crime. There will always be new types of crimes that follow cybercrime. Methods that are oftenly used by cybercrimecriminals in the banking sector by utilizing information technology include:

  1. Skimming, is a cybercrime by stealing customer information when transacting using Automated Teller Machines (ATM);
  2. Malware (malicious software), namely malicious software to steal data, damage computer systems and devices;
  3. Hacking, is a cybercrime by attacking computer programs and exploiting the computers owned by private persons or companies that are used for their own or other people’s interests against the law.

These forms of cybercrime clearly have the potential to be financially detrimental to customers. Therefore, it is imperative that the law through its instruments protect customers who becomes the victim of cybercrime. Bank customers in this case are consumers of banking business entities are protected by law as in Article 1 number 1 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, which states:

“Article 1

  1. Consumers protection defines every effort which means to guarantee the aim of legal certainty  in its provision to the protection of consumers”.

Then the Consumer Protection Law itself has a principle and purpose that is guaranteed in Article 2 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, which states:

“Article 2

Consumer protection is based on benefits, justice, balance, security and consumer safety, and legal certainty”.

Regarding the balanced position matter between consumer and bank is clearly and unequivocally contained in Article 2 which states that consumer protection is based on benefits, justice, balance, security and consumer safety as well as legal certainty. With the enactment of the law on consumer protection, it provides logical consequences for banking services, therefore banks in providing services to customers are required to:

  1. Have good intentions in carrying out their business activities;
  2. Provide true and clear information, and be honest about the conditions and guarantees of the services it provides;
  3. Treat or serve consumers correctly, honestly, and non-discriminatory;
  4. Ensuring its banking business activities are based on the provisions of applicable banking standards and several other aspects.

Meanwhile, Article 30 Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions regulates prohibited acts, which states:

“Article 30

(1)Any person intentionally and without right or against the law accessing Computers and/or Electronic Systems belonging to other Persons in any way.

(2)Any person intentionally and without rights or against the law accesses a computer and/or Electronic System in any way with the aim of obtaining Electronic Information and/or Electronic Documents.

(3)Any person intentionally and without rights or against the law accessing a computer and/or Electronic System in any way by violating, breaking through, exceeding, or breaking into the security system”.

Meanwhile, banks must maintain confidentiality in carrying out their activities, this is contained in Article 1 number 28 of Law Number 10 of 1998 concerning Banking, which states:

“Article 1

28. Bank secrecy is everything related to information regarding depositors and their deposits”.

With the development of technology in the banking world, in order to realize practicality, security and convenience in e-commerce. e-banking as a payment medium for actions that can result in losses. Basically, e-banking provides transaction services for purchasing goods from consumers to business actors.

Regarding e-banking itself, consumer information confidentiality is guaranteed in Article 29 paragraph (4) and Article 40 of Law Number 10 of 1998 concerning Banking, which states:

“Article 29

(4)For the benefit of customers, banks are required to provide information regarding the possible risk of loss in connection with customer transactions made through banks”.

Article 40

(1)Banks are required to keep information regarding Depositors and their deposits confidential, except in the case as referred to in Article 41, Article 41A, Article 42, Article 44, and Article 44A.

(2)The provisions as referred to in paragraph (1) shall also apply to Affiliated Parties”.

There are sanctions applicable for bank customer’s data confidentiality breach. Article 47 paragraph (1) and paragraph (2) of Law Number 10 of 1998 concerning Banking states:

“Article 47

(1)Whoever, without carrying written order or permission from the Management of Bank Indonesia as referred to in Article 41, Article 41A, and Article 42, intentionally forcing the bank or Affiliated Party to provide information as referred to in Article 40, is punishable by imprisonment of at least 2 (two) years and a maximum of 4 (four) years and a fine of at least Rp. 10,000,000,000.00 (ten billion rupiah) and a maximum of Rp. 200,000,000,000.00 (two hundred billion rupiah)”.

(2)Members of the Board of Commissioners, Board of Directors, bank employees or other Affiliated Parties who intentionally provide information that must be kept confidential according to Article 40, are threatened with imprisonment of at least 2 (two) years and a fine of at least Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah) and a maximum of Rp. 8,000,000,000.00 (eight billion rupiah)”. 

Based on the article above, the alleged violation is related to a request for bank secrecy by a person who forces the bank or affiliated parties for tax purposes, bank receivables, and court interests for criminal cases.

The development of information technology in the banking sector on the one hand provides convenience for the banking industry and customers. On the other hand, it has the potential for the emergence of cybercrime that can harm customers financially.

The banking industry, as a financial service based on the principle of trust from the public, must continue to improve cyber security to always be able to maintain credibility in the public’s eye. The forms of legal protection for customers against cybercrimes have been regulated through the Consumer Protection Act, Banking Law, Information and Electronic Transaction Law. Therefore, it is very important to have a regulation that aims more towards preventive efforts so that it does not cause harm to consumers, considering the level of complexity of solving and disclosing a cybercrime.

The protection provided by the bank is very important to create customer trust and convenience. The risk posed in this service is very high, there is a possibility that the customer will suffer losses due to being tapped. In addition, the bank also protects the confidentiality of the identity and every financial information of the user’s customer.

Implementasi Pengaturan Nomor Induk Kependudukan dalam Registrasi Nomor Seluler

Author: Bryan Hope Hope Putra Benedictus; Co-author: Alexandra Hartono Lee

Legal basis:

  1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

Kebocoran data yang tengah marak sesungguhnya mengandung sebuah kejanggalan. Diketahui bahwa data Subscriber Identity Module (SIM) Card yang bocor itu terdiri dari Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor telepon, provider, dan tanggal pendaftaran.[1] Jumlah penduduk di Indonesia hanya ada sekitar 300.000.000 atau terbilang tiga ratus juta orang, bagaimana mungkin data SIM Card yang dibocorkan mencapai angka 1.300.000.000 atau satu miliar tiga ratus juta lebih? Angka data SIM Card yang dibocorkan hampir lima kali lipat dari jumlah penduduk di Indonesia yang tercatat. Hal ini hanya mungkin apabila satu orang yang memiliki satu NIK mendaftarkan lebih dari satu nomor kartu SIM. Aturan yang diberlakukan sudah cukup jelas, namun apa yang menyebabkan membludaknya jumlah data SIM tersebut? Peneliti keamanan siber menemukan bahwa ternyata diam-diam satu nomor NIK bisa digunakan untuk mendaftarkan kartu SIM lebih dari banyak dari aturan yang ditetapkan.[2] Beberapa sampel data menunjukkan bahwa salah satu operator meloloskan pendaftaran 1.287 nomor menggunakan satu NIK, sedangkan operator lain meloloskan pendaftaran 1.368 nomor dengan NIK yang sama.[3]

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) terus menerus mengklaim bahwa mereka tidak tahu mengenai pemakaian satu NIK untuk registrasi ribuan kartu SIM. Dikatakan juga bahwa seluruh operator telekomunikasi selalu patuh pada aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan keamanan dan kerahasiaan data[4], dengan peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Pasal 168 ayat (5) mensyaratkan bahwa Penyelenggara Jasa Telekomunikasi wajib memiliki sertifikasi paling rendah ISO 27001 untuk keamanan informasi dalam pengelolaan data Pelanggan Jasa Telekomunikasi.

Pengertian mengenai SIM Card sebenarnya sudah mengalami perubahan penamaan menjadi nomor Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network (MSISDN) yang pengertiannya diatur dalam Pasal 1 angka 28 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang berbunyi:

Pasal 1

  • Nomor Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network yang selanjutnya disebut Nomor MSISDN adalah nomor yang secara unik mengidentifikasi Pelanggan pada jaringan bergerak seluler”.[5]

Ketentuan pendaftaran satu NIK untuk lebih dari satu nomor SIM Card bukanlah sebuah larangan, namun ada batasan mengenai jumlah nomor yang boleh didaftarkan menggunakan satu NIK. Menteri Komunikasi dan Informatika telah menetapkan bahwa satu NIK hanya boleh didaftarkan untuk paling banyak 3 (tiga) nomor SIM Card prabayar. Hal ini untuk mencegah angka penyalahgunaan nomor untuk penipuan, SMS spam, dan lain sebagainya.[6] Adapun pengaturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 160 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang berbunyi:

Pasal 160

  • Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dilarang melakukan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi lebih dari 3 (tiga) Nomor MSISDN atau Nomor Pelanggan Jasa Telekomunikasi untuk setiap identitas Pelanggan Jasa Telekomunikasi pada setiap Penyelenggara Jasa Telekomunikasi”.[7]

Namun terdapat pengecualian terkait pendaftaran lebih dari tiga nomor untuk kondisi-kondisi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang berbunyi:

Pasal 160

  • Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), Nomor MSISDN yang digunakan untuk keperluan:
  • komunikasi M2M;
  • pengujian, tes dan/atau deteksi pelanggaran oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi; atau
  • tertentu badan hukum, badan usaha non badan hukum dan atau organisasi lainnya, termasuk namun tidak terbatas untuk keperluan layanan Pelanggan Jasa Telekomunikasi,

dapat diregistrasi lebih dari 3 (tiga) Nomor MSISDN atau nomor Pelanggan Jasa Telekomunikasi untuk setiap identitas dan hanya dapat diregistrasi melalui gerai Penyelenggara Jasa Telekomunikasi”.[8]

Penyelenggara Jasa Telekomunikasi juga punya kewajiban untuk melakukan penonaktifan terhadap nomor yang terbukti atau diketahui didaftarkan menggunakan identitas palsu, tidak benar, atau milik orang lain tanpa hak atau melawan hukum, serta menonaktifkan nomor yang terbukti disalahgunakan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (1) dan Pasal 162 ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang berbunyi:[9]

Pasal 161

  • Penyelenggara Jasa Telekomunikasi wajib menonaktifkan (menghanguskan) Nomor MSISDN atau nomor Pelanggan Jasa Telekomunikasi Prabayar yang diketahui atau diindikasikan menggunakan identitas:
  • palsu;
  • tidak benar; atau
  • milik orang lain tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 162

  • Penyelenggara Jasa Telekomunikasi wajib menonaktifkan (menghanguskan) Nomor MSISDN atau Nomor Pelanggan Jasa Telekomunikasi yang diindikasikan atau diketahui disalahgunakan untuk tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum”.

Apabila Penyelenggara Jasa Telekomunikasi tidak menjalankan dua kewajiban ini, terdapat sanksi administratif yang dapat dikenakan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang berbunyi:

Pasal 225

  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  • teguran tertulis;
  • pengenaan denda administratif;
  • penghentian sementara kegiatan berusaha
  • pemutusan akses;
  • daya paksa polisional;
  • pencabutan layanan; dan/atau
  • pencabutan Perizinan Berusaha”.[10]

Namun sesungguhnya dalam tulisan ini, yang menjadi permasalahan bukanlah kebocoran data itu. Kebocoran data ini justru mengungkap fakta lain yang lebih memprihatinkan. Jangankan standar ISO, ketentuan dari Menteri Komunikasi dan Informatika mengenai batas penggunaan NIK dalam registrasi nomor prabayar saja bisa ditembus. Fakta bahwa hingga kini masih banyak pihak yang menerima SMS spam dan menjadi korban penipuan nomor-nomor tidak dikenal membuktikan bahwa penyelenggara sasa telekomunikasi tidak tegas dalam mengimplementasikan peraturan menteri tersebut. Atas pelanggaran ini, seharusnya semua penyedia jasa telekomunikasi di Indonesia dikenakan sanksi administratif hingga paling berat pencabutan izin.


[1] Maria Fransisca Lahur, “Bedah Data SIM Card yang Bocor: Satu NIK Bisa Seribu Nomor”, https://tekno.tempo.co/read/1631296/bedah-data-sim-card-yang-bocor-satu-nik-bisa-seribu-nomor, diakses 19 September 2022.

[2]  CNN Indonesia, “Asosiasi Operator soal 1 NIK Dipakai Ribuan SIM Card: Saya Tak Tahu”, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220908180308-192-845240/asosiasi-operator-soal-1-nik-dipakai-ribuan-sim-card-saya-tak-tahu diakses 19 September 2022.

[3] CNN Indonesia, “Asosiasi Operator: Saya Tak Tahu”.

[4] CNN Indonesia, “Asosiasi Operator: Saya Tak Tahu”.

[5] Pasal 1 angka 28 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

[6] “Aturan Baru Registrasi Kartu Prabayar, Satu KTP Tak Bisa Lebih dari 3 Nomor!”, https://www.kominfo.go.id/content/detail/15608/aturan-baru-registrasi-kartu-prabayar-satu-ktp-tak-bisa-lebih-dari-3-nomor/0/sorotan_media, diakses 19 September 2022.

[7] Pasal 160 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

[8] Pasal 160 ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

[9] Pasal 161 ayat (1) dan Pasal 162 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

[10] Pasal 225 ayat (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

Referensi

  • Maria Fransisca Lahur, “Bedah Data SIM Card yang Bocor: Satu NIK Bisa Seribu Nomor”, https://tekno.tempo.co/read/1631296/bedah-data-sim-card-yang-bocor-satu-nik-bisa-seribu-nomor, diakses 19 September 2022
  • “Aturan Baru Registrasi Kartu Prabayar, Satu KTP Tak Bisa Lebih dari 3 Nomor!”, https://www.kominfo.go.id/content/detail/15608/aturan-baru-registrasi-kartu-prabayar-satu-ktp-tak-bisa-lebih-dari-3-nomor/0/sorotan_media, diakses 19 September 2022
  • CNN Indonesia, “Asosiasi Operator soal 1 NIK Dipakai Ribuan SIM Card: Saya Tak Tahu”, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220908180308-192-845240/asosiasi-operator-soal-1-nik-dipakai-ribuan-sim-card-saya-tak-tahu diakses 19 September 2022
0

UTILIZATION OF INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY IN TOURISM DEVELOPMENT

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 2025

REFERENSI: 

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

Pada saat ini Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) telah mengubah pariwisata secara global khususnya pada era 4.0. Rekayasa ulang yang didorong oleh TIK telah secara bertahap menghasilkan pergeseran paradigma baru, mengubah struktur industri dan mengembangkan berbagai peluang dan ancaman. TIK memberdayakan konsumen untuk mengidentifikasi, menyesuaikan dan membeli produk-produk pariwisata dan mendukung globalisasi industri dengan menyediakan alat untuk mengembangkan, mengelola, dan mendistribusikan penawaran di seluruh dunia.[1]

Pengembangan dan promosi pariwisata merupakan salah satu bidang yang sedang gencar digalakkan oleh pemerintah, penggunaan website sebagai alat mempromosikan pariwisata semakin marak digunakan, dapat dilihat dengan maraknya situs-situs pariwisata di Internet.[2]

Pariwisata menjadi daya tarik suatu wilayah dengan objek unggulan lokasi wisata, seni, budaya, kuliner, sejarah serta kegiatan-kegiatan historis (pagelaran adat, upacara adat) di sebuah wilayah. Kegiatan kepariwisataan menjadikan banyak negara menempatkan pariwisata sebagai aspek penting dan integral dalam strategi pengembangan negara, di antaranya dari aspek pendapatan pemerintah, stimulus pengembangan regional dan penciptaan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan nasional hingga hubungan internasional.[3]

Konsep pariwisata yang memanfaatkan TIK dapat juga didefinisikan sebagai e-tourism atau smart tourism. Smart Tourism adalah pemanfaatan segala potensi dan sumber daya yang ada untuk meningkatkan pengalaman di bidang Pariwisata sebagai media promosi.[4] Sebuah destinasi dapat dikatakan smart apabila destinasi tersebut memanfaatkan infrastruktur teknologi secara intensif untuk:[5]

  1. Meningkatkan pengalaman berwisata bagi pengunjung pengunjung dengan mempersonalisasikan dan membuat mereka sadar akan layanan dan produk lokal dan pariwisata yang tersedia untuk mereka di tempat tujuan dan;
  2. Dengan memberdayakan organisasi manajemen destinasi, lembaga lokal dan perusahaan pariwisata untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan berdasarkan data yang dihasilkan di dalam tujuan, dikumpulkan, dikelola dan diproses melalui infrastruktur teknologi.

Mengenai pariwisata sendiri pemerintah telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengertian dari pariwisata terdapat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu:

“Pasal 1

3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,pengusaha,pemerintah, dan pemerintah daerah”.

Adapun pengertian dari pariwisata menurut Organisasi pariwisata dunia, mendefenisikan pariwisata sebagai aktivitas perjalanan dan tinggal seorang di luar tempat tinggal dan lingkungannya selama tidak lebih dari satu tahun berurutan untuk berwisata, bisnis atau tujuan lain dengan tidak untuk bekerja ditempat yang dikunjungi tersebut.[1] Selain menyatakan apa yang dimaksud dengan pariwisata dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 mengatur mengenai pembangunan dari pariwisata itu sendiri, hal ini tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, yang berbunyi:

“Pasal 6

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata”.

Adapun unsur-unsur yang meliputi pembangunan dalam pariwisata, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 7

Pembangunan pariwisata meliputi:

a. industri pariwisata;

b. destinasi pariwisata;

c.pemasaran; dan

d. kelembagaan kepariwisataan”.

Selain dalam undang-undang, mengenai pembangunan pariswisata juga terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 –2025, yang berbunyi:

“Pasal 5

Untuk mensinergikan penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Daerah dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri”.

Peran pemerintah dalam
mengembangkan dan mengelolah pariwisata secara garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata dan bertanggung jawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan pariwisata.[1] Sementara itu dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 10

pemerintah dan pemerintah daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”.

Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 17

pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:

a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan

b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar”.

Pemerintah selain memiliki peran memeberi perlindungan, mengembangkan dan memfasilitasi untuk para pelaku usaha pariwisata sebagaimana Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, akan memberikan sanksi hal tersebut terdapat dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 63

(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif;

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.teguran tertulis;

b.pembatasan kegiatan usaha; dan

c.pembekuan sementara kegiatan usaha”.

(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.

(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”.

Penggunaan teknologi yang berkaitan dengan sektor kepariwisataan harusnya dapat diimplementasikan secara optimal sehingga promosi dari pariwisata di daerah bisa diketahui secara umum secara maksimal. Pemerintah juga telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembangunan, peran pemerintah dan sanksi yang tegas di sektor pariwisata.


[1] Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN hlm 2.


[1] Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta. hal 30


[1] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 258.

[2] Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100 74, hal. 74.

[3] Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019, hal 14.

[4] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 261

[5] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;
  2. Government Regulation Number 50 of 2011 concerning National Tourism Development Master Plan 2010 2025.

REFERENCE:

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

At this time Information and Communication Technology (ICT) has changed tourism globally, especially in the 4.0 era. ICT-driven reengineering has gradually resulted in new paradigm shifts, changing industry structures and developing opportunities and threats. ICTs empower consumers to identify, customize and purchase tourism products and support the globalization of the industry by providing tools to develop, manage and distribute offerings worldwide.

The development and promotion of tourism is one area that is being intensively promoted by the government, the use of websites as a tool to promote tourism is increasingly being used, it can be seen by the rise of tourism sites on the Internet.

Tourism is the attraction of an area with superior tourist sites, arts, culture, culinary, history and historical activities (traditional performances, traditional ceremonies) in an area. Tourism activities have made many countries place tourism as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development stimulus and job creation as well as increasing national income to international relations.

The concept of tourism that utilizes Information and Communication Technology (ICT) can also be defined as e-tourism or smart tourism. Smart Tourism is the utilization of all existing potential and resources to improve experience in the tourism sector as a promotional medium. A destination can be classified to be smart if it makes intensive use of its technological infrastructure to:

  1. Improve the travel experience for visitors by personalizing and making the awareness of the local and tourism services and products available to them at their destination and;
  2. By empowering destination management organizations, local agencies and tourism companies to make decisions and take action based on the data generated within the destination, collected, managed and processed through the technological infrastructure.

By empowering destination management organizations, local agencies, and tourism companies to make decisions and take action based on the generated data within the destination, collected, managed, and processed through the technology infrastructure.
The development and promotion of those places where are being intensively promoted by the government by one of the way is using websites as a tool to promote tourism. It can be seen by the rise of tourism sites on the internet.

Regarding tourism, the government has regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, the meaning of tourism is contained in Article 1 number 3 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, namely:

“Article 1

3.Tourism is a variety of tourism activities and is supported by various facilities and services provided by the community, entrepreneurs, government, and local governments.

The definition of tourism according to the World Tourism Organization, defines tourism as a travel activity and the occupy of a person out of their origin residence and environment for no more than one continuous year for the purposes of travel, business, or others with no work activity at the visited place. Tourism activities have made many tourism countries as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development, and job creation as well as increasing national income to international relation.

In addition to stating what is meant by tourism in Law Number 10 of 2009 regulating the development of tourism itself, this is stated in Article 6 of Law Number 10 of 2009, which reads:

“Article 6

Tourism development is carried out based on the principles as referred to in Article 2 which is realized through the implementation of tourism development plans by taking into account the diversity, uniqueness, and uniqueness of culture and nature, as well as human needs for tourism.

Component of tourism development in tourism, as contained in Article 7 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, are stated as follow:

“Article 7

Tourism development includes:
a. tourism industry;
b. tourism destinations;
c. marketing; and
d. tourism institutions”.

In addition to the law, regarding tourism development is also contained in Article 5 of Government Regulation Number 50 of 2011 concerning the National Tourism Development Master Plan 2010-2025, which reads:

“Article 5

To synergize the preparation of the Provincial Tourism Development Master Plan and the Regency/City Tourism Development Master Plan, as referred to in Article 4, the Regional Government may conduct consultations and coordination with the Minister”.

The role of government in general, developing and managing tourism is to provide infrastructure (not only in physical form), to have authority in the regulation, provision, and allocation of various infrastructures related to tourism needs and to be responsible for determining the direction of tourism travel. Meanwhile in the legislation contained in Article 10 and Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 10”

The government and regional governments encourage domestic investment and foreign investment in the tourism sector in accordance with the national, provincial and district/city tourism development master plans”.

In Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 17”

The government and local governments are required to develop and protect micro, small, medium and cooperative businesses in the tourism business sector by:

a. made a policy for the provision of tourism business for micro, small, medium enterprises and cooperatives; and

b. facilitates partnerships of micro, small, medium and cooperative enterprises with large scale enterprises”.

The government in addition to having the role of protecting, developing and facilitating tourism business actors as stated in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, will provide sanctions for this matter contained in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 63”

(1) Every tourism entrepreneur who does not comply with the provisions as referred to in Article 15 and/or Article 26 shall be subject to administrative sanctions;

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:

a. written warning;

b. limitation of business activities; and

c. temporary suspension of business activities”.

(3) The written warning as referred to in paragraph (2) letter a shall be imposed on the entrepreneur at most 3 (three) times.

(4) Sanctions for limiting business activities are imposed on entrepreneurs who do not comply with the warning as referred to in paragraph (3).

(5) The sanction of temporary suspension of business activities is imposed on entrepreneurs who do not meet the provisions as referred to in paragraph (3) and paragraph (4)”.

The use of technology related to the tourism sector should be implemented optimally so that the promotion of tourism in the region can be known in general to the maximum. The government also has laws and regulations governing development, the role of the government and strict sanctions in the tourism sector.

0

Pemblokiran Platform Digital di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co Author: Ilham M. Rajab

Beberapa hari terakhir pemberitaan publik diramaikan dengan pemblokiran yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mengenai pemblokiran itu sendiri sebelumnya sudah Kominfo peringatkan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Aplikasi Informatika. Kominfo melalui Ditjen Aplikasi Informatika akan melakukan pemutusan akses atau pemblokiran terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang tidak terdaftar, per 20 Juli 2022 nanti setiap PSE yang beroperasi di Indonesia wajib terdaftar. Bila tidak terdaftar, maka sanksinya akan dilakukan pemutusan akses atau pemblokiran”.[1]

Pemblokiran yang terjadi sendiri bukan tanpa sebab, karena pemblokiran tersebut untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, yang mana dalam hal ini tedapat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, yang berbunyi:

“Pasal 2

(1) Setiap PSE Lingkup Privat wajib melakukan pendaftaran.

(2)PSE Lingkup Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:

a. Penyelenggara Sistem Elektronik yang diatur atau
diawasi oleh kementerian atau lembaga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan/atau

b. Penyelenggara Sistem Elektronik yang memiliki
portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan melalui
internet yang dipergunakan untuk:

  1. menyediakan, mengelola, dan/atau
    mengoperasikan penawaran dan/atau
    perdagangan barang dan/atau jasa;
  2. menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan layanan transaksi keuangan;
  3. pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh melalui portal atau situs, pengiriman lewat surat elektronik, atau melalui aplikasi lain ke perangkat Pengguna Sistem Elektronik;
  4. menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan layanan komunikasi meliputi namun tidak terbatas pada pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan percakapan dalam jaringan dalam bentuk platform digital, layanan jejaring dan media sosial;
  5. layanan mesin pencari, layanan penyediaan Informasi Elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, dan permainan atau kombinasi dari sebagian dan/atau seluruhnya; dan/atau
  6. pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat yang terkait dengan aktivitas Transaksi Elektronik.”

(3) Kewajiban melakukan pendaftaran bagi PSE Lingkup
Privat dilakukan sebelum Sistem Elektronik mulai
digunakan oleh Pengguna Sistem Elektronik”.

Adapun sanksi terhadap PSE lingkup privat yang tidak melakukan pendaftaran, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, yang berbunyi:

“Pasal 8

(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada
PSE lingkup privat berdasarkan permohonan dari
kementerian atau lembaga atas dasar pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang kementerian
atau lembaga yang memiliki kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal sanksi administratif yang diberikan kepada
PSE Lingkup Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Pemutusan Akses terhadap Sistem Elektronik
(access blocking), menteri melakukan normalisasi
berdasarkan pengajuan rekomendasi oleh kementerian
atau lembaga atas dasar layanan PSE lingkup privat
yang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan”.

Maka kebijakan yang dilakukan oleh Kominfo sangatlah jelas dan bukan tanpa sebab, karena dari kedua pasal yang ada Kominfo berniat untuk melakukan implementasi dari peraturan yang berlaku. Kebijakan pendaftaran bagi penyelenggara PSE menuai pro dan kontra. Kalangan yang tidak setuju dengan aturan ini mengkritik pemerintah lewat tagar “blokir Kominfo” di media sosial dan membuat gerakan untuk mengisi petisi secara online.[2] Gerakan tersebut karena berdampak bagi para pengguna jasa transfer uang melalui surat elektronik yang berprofesi sebagai desain grafis dan digital marketing ia merasa terkejut dan kecewa tidak dapat mengakses uangnya.[3] Sementara itu menurut salah satu organisasi yang bergerak di bidang perdagangan Indonesia menilai dengan terjadinya pemblokiran ini memiliki kekhawatiran kami mengkhawatirkan terjadinya pengaruh pada proses bisnis yang sudah banyak menggunakan digitalisasi.[4]

Adapun pendapat dari Non-Governmental Organization yang berfokus dalam memperjuangkan hak-hak digital hak untuk bebas berekspresi dan hak atas rasa aman di ranah digital tindakan yang dilakukan pemerintah saat ini membuat hak atas privasi dan kebebasan berekspresi terancam dengan platform digital mendaftar, berarti sudah mempertaruhkan data penggunanya, alasannya sebagai berikut:[5]

  1. Konten pengguna sewaktu-waktu bisa dihapus kalau dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum
  2. Sistem dan data pengguna dikasih akses ke kementerian dan aparat penegak hukum
  3. Komunikasi privat dibuka oleh aparat penegak hukum

Dari kebijakan pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintah pada akhirnya pemerintah melakukan pembukaan sementara kembali layanan yang diblokir tersebut karena banyaknya masukan dari berbagai pihak.[6] Dalam kejadian yang ada sudah sepatutnya pemerintah dan penyelenggara PSE maupun masyarakat sama-sama saling bekerja sama demi pengimplementasian suatu peraturan yang bisa dijalankan.

Dasar Hukum:

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat

Refrensi:

https://aptika.kominfo.go.id/2022/06/dirjen-aptika-kominfo-akan-blokir-pse-lingkup-privat-yang-tidak-terdaftar/
https://katadata.co.id/yuliawati/digital/62e7c0d407df1/ramai-tagar-blokir-kominfo-ini-pro-dan-kontra-aturan-pse

https://fokus.tempo.co/read/1618673/kominfo-blokir-platform-digital-dan-potensi-efek-domino-ke-ekonomi?page_num=1 https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220801072130-37-359986/kominfo-buka-blokir-paypal-hanya-5-hari-ini-alasannya


[1] https://aptika.kominfo.go.id/2022/06/dirjen-aptika-kominfo-akan-blokir-pse-lingkup-privat-yang-tidak-terdaftar/, diakses pada 7 Agustus 2022

[2] https://katadata.co.id/yuliawati/digital/62e7c0d407df1/ramai-tagar-blokir-kominfo-ini-pro-dan-kontra-aturan-pse diakses pada tanggal 7 Agustus 2022

[3] https://fokus.tempo.co/read/1618673/kominfo-blokir-platform-digital-dan-potensi-efek-domino-ke-ekonomi?page_num=1 diakses pada tanggal 7 Agustus 2022

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220801072130-37-359986/kominfo-buka-blokir-paypal-hanya-5-hari-ini-alasannya diakses pada tanggal 8 Agustus 2022

0

UTILIZATION AND APPLICATION OF TELECOMMUNICATION FROM LEGAL PERSPECTIVE

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  2. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

REFERENSI:

  1. Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010;
  2. Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017;
  3. https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022;

Telekomunikasi adalah salah satu kunci infrastuktur terpenting untuk memperluas tantangan nasional, dengan telekomunikasi kita memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi pada waktu dan tempat yang tepat serta isi yang tepat pula sehingga bisa memenangkan strategi dalam bisnis.[1] Telekomunikasi sebagai jenis industri juga merupakan obyek dari globalisasi.[2]

Pengertian Telekomunikasi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan: 

“Pasal 1

  1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari hasil informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Dari penjelesan yang ada, dapat dipahami bahwa telekomunikasi merupakan bagian yang tidak terpisah dari Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terdapat beberapa fungsi yang bisa didapatkan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini untuk memecahkan masalah, membuka kreativitas, dan meningkatkan efektivitas dan efesiensi dalam melakukan pekerjaan, diantaranya sebagaimana berikut ini:[3]

1.Menangkap (Capture)

Yaitu merupakan suatu proses pengakapan data yang akan menjadi data masukan;

2. Mengolah (Processing)

Mengkompilasikan catatan rinci dari aktivitas, misalnya menerima input dari keyboard, scanner, mic dan sebagainya. Mengolah/memproses data masukan yang diterima untuk menjadi informasi. Pengolahan/pemrosesan data dapat berupa konversi (pengubahan data kebentuk lain), analisis (analisis kondisi), perhitungan (kalkulasi), sintesis (penggabungan) segala bentuk data dan informasi:

  • Data processing, memproses dan mengolah data menjadi suatu informasi;
  • Information processing, suatu aktivitas computer yang memproses dan mengolah suatu tipe/bentuk dari informasi dan mengubahnya menjadi tipe/bentuk yang lain dari informasi;
  • Multimedia system, suatu sistem komputer yang dapat memproses berbagai tipe/bentuk dari informasi secara bersamaan (simultan).

3.Menghasilkan (Generating)

Menghasilkan atau mengorganisasikan informasi ke dalam bentuk yang berguna. Misalnya: laporan, tabel, grafik dan sebagainya;

4. Menyimpan (Storage)

Merekam atau menyimpan dan informasi dalam suatu media yang dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Misalnya disimpan ke harddisk, tape, disket, Compact Disc (CD) dan sebagainya;

5. Mencari kembali (Retrieval)

Menelusuri, mendapatkan kembali informasi atau menyalin (copy) data dan informasi yang sudah tersimpan, misalnya mencari supplier yang sudah lunas dan sebagainya;

6. Transmisi (Transmission)

Mengirimkan data dan informasi dari suatu lokasi ke lokasi lain melalui jaringan computer. Misalnya mengirimkan data penjualan dari user A ke user lainnya dan sebagainya.

Sementara itu terdapat tujuan dari Telekomunikasi, hal tersebut sebagaimana Pasal 3  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan:

“Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.”

Dalam rangka untuk mempermudah tujuan dari Telekomunikasi tentu terdapat pihak yang memberikan jasa pelayanan sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan:

“Pasal 8

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.Badan Usaha Swasta; atau d. koperasi. ”

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:

a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

Berkaitan dengan penyelenggaraan Telekomunikasi maka pihak yang memberikan jasa pelayanan tersebut dipertegas dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Telekomunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang menyatakan: 

“Pasal 4

(1) Menteri menetapkan kewajiban minimal pembangunan dan/atau penyediaan layanan yang wajib dipenuhi oleh setiap Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggara Jasa Telekomunikasi di wilayah yang bukan merupakan wilayah pelayanan universal Telekomunikasi dengan pertimbangan termasuk namun tidak terbatas pada:

a.efisiensi dan efektivitas;
b.ketersediaan, sebaran,dan kebutuhan layanan Telekomunikasi;
c.pemerataan pembangunan dan/atau layanan Telekomunikasi; dan/atau;
d.peningkatan kualitas layanan.

(2) Kewajiban minimal pembangunan dan/atau penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban tahunan untuk kurun waktu setiap 5 (lima) tahun”

(3) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membangun dan/atau menyediakan Jaringan Telekomunikasi.

Adapun manfaat dari Telekomunikasi sendiri sebagaimana penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi asas manfaat dari Telekomunikasi memiliki arti Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.

Selain memiliki tujuan dan manfaat terdapat dampak dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu:[4]

1. Dampak Positif:

a. Bidang Pendidikan Teknologi Informasi Komunikasi telah mengubah proses pembelajaran konvensional ke menjadi online;

b. Bidang Kesehatan dalam bidang kesehatan, salah satu penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada manajemen rekam medis menggunakan kartu pintar (smart card). Hanya dengan memasukkan data pada kartu itu, tenaga medis atau yang berkepentingan bisa memperoleh riwayat penyakit pasien dan penanganannya;

c. Bidang Transportasi penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada bidang transportasi, misalnya, di teknologi pesawat terbang. Pada pesawat terbang terdapat fitur pilot otomatis yang dikendalikan dengan program komputer;

d. Bidang Jasa Pengiriman jasa pengiriman saat ini makin maju. Jika dahulu mengirim paket tidak tahu kapan akan sampai, sekarang paket yang dikirim dapat dilacak posisinya secara realtime.

e. Bidang Bisnis dalam bisnis, penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi diterapkan pada perdagangan secara elektronik (e-commerce). Fitur ini memerlukan jaringan komunikasi internet. E-commerce memudahkan dua atau banyak pihak untuk melakukan transaksi tanpa harus bertemu langsung secara fisik;

f. Bidang Perbankan salah satu kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam perbankan adalah fitur internet banking. Kini, nasabah bisa dengan mudah melakukan berbagai transaksi perbankan.

2. Dampak Negatif:

a. Pelanggaran Hak Cipta, kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi ada yang disalahgunakan oleh orang tidak bertanggung jawab biasanya terkait pelanggaran hak cipta. Pelanggaran ini meliputi pembajakan software, penggandaan tanpa sizin pembuat karya, hingga pemakaian tanpa seizin pembuat. Pelanggaran hak cipta sudah pasti merugikan produsen dan merugikan konsumen saat mereka mendapatkan produk yang kualitasnya tidak setara dengan produk asli;

b. Kejahatan Siber (Cyber Crime), kejahatan ini dilakukan secara online dengan memanfaatkan teknologi atau jaringan komputer. Contoh kejahatannya seperti pembajakan kartu kredit, penipuan online, dan sebagainya. Kejahatan siber dapat terjadi lintas negara, memberikan kerugian besar, dan sering sulit dibuktikan secara hukum;

c. Pornografi, Perjudian, dan Penipuan Ketiga hal tersebut sangat marak di dunia online dan menjadi sisi negatif dari Teknologi Informasi dan Komunikasi. Namun, sebagian negara melegalkan pornografi dan perjudian terkait aturan-aturan tertentu. Sementara untuk penipuan, banyak oknum yang menyalahgunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi guna menipu orang lain demi mendapatkan sejumlah uang;

d. Penyebaran Malware, malware adalah program komputer yang sifatnya mencari kelemahan software. Penggunaannya seperti untuk membobol atau merusak sistem operasi maupun merusak software. Contoh malware adalah virus, worm, keylogger, trojan, spyware, dan sebagainya.

Kemajuan Telekomunikasi saat ini sendiri tentu tidak terlepas dari Industri Telekomunikasi, saat ini peran Industri Telekomunikasi terhadap negara memiliki kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto dengan laju pertumbuhan tertinggi (pada tahun 2021 tertinggi kedua setelah sektor kesehatan). Sektor infokom menyumbang 4,41% dari total PDB Indonesia tahun 2021. Selain itu, sektor infokom pada tahun 2017 mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 9,78%, atau kurang lebih sekitar 500 ribu orang. Jumlah tersebut juga terus bertambah setiap tahunnya hingga mencapai 1 juta orang pada tahun 2021.[5]

Dalam pelaksanaannya pada sektor Industri Telekomunikasi terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha industri telekomunikasi:[6]

  1. Kurangnya ketersediaan spektrum frekuensi untuk jaringan 5G. Transformasi digital ke depan tidak hanya berhenti pada konektivitas internet semata, namun juga implementasi IOT, AI, Big Data, cyber security, serta robotik yang harus didukung oleh jaringan internet berkecepatan tinggi, minimal setara 5G. Sementara implementasi 5G saat ini masih terkendala pada biaya yang besar serta spektrum frekuensi yang belum siap digunakan oleh jaringan 5G;
  2. Kesenjangan digital. Pembangunan infrastruktur jaringan internet yang selama ini hanya terfokus pada Pulau Jawa dan Sumatera, membuat konektivitas internet belum terdistribusi dengan baik, sehingga penetrasi market share industri telekomunikasi juga terhambat.

[1] Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010

[2] Ibid

[3]Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017

[4]  https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022

[5] Budget Issue Brief Politik & Keamanan, Vol. 02, Ed 5, April 2022, Pusat Kajian Anggaran, Hal 1

[6] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication;
  2. Ministerial Regulation of Communication and Information Technology Number 5 of 2021 concerning the Implementation of Telecommunication.

REFERENCE:

  1. Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010;
  2. Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017;
  3. https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022;

Telecommunication is one of the most important infrastructure keys to expand national challenges, with telecommunications we have the opportunity to get information at the right time and place as well as the right content so that we can win strategies in business. Telecommunication as a type of industry is also an object of globalization.

The definition of Telecommunication in Article 1 point 1 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 1

1.Telecommunication is any transmitting, sending and or receiving of information results in the form of signs, signals, writings, images, sounds and sounds through wire systems, optics, radio, or other electromagnetic systems.”

From the explanation, it can be understood that telecommunications is an inseparable part of Information and Communication Technology. There are several functions that can be obtained from today’s Information and Communication Technology to solve problems, open up creativity, and increase effectiveness and efficiency in doing work, including the following:

1. Capture

That is a process of capturing data that will become input data;

2. Processing

Compile detailed records of activities, for example receiving input from keyboard, scanner, mic and so on. Processing/processing the received input data to become information. Data processing/processing can be in the form of conversion (change of data into other forms), analysis (condition analysis), calculation (calculation), synthesis (merging) of all forms of data and information:

  • Data processing, processing and processing data into an information;
  • Information processing, a computer activity that processes and processes a type / form of information and converts it into other types / forms of information;
  • Multimedia system, a computer system that can process various types / forms of information simultaneously.

3. Generating

Generate or organize information into a useful form. For example: reports, tables, graphs and so on.

4. Storage

Record or store and information in a media that can be used for other purposes. For example, saved to a hard disk, tape, diskette, Compact Disc (CD) and so on.

5. Retrieval

Search, retrieve information or copy data and information that has been stored, for example looking for suppliers who have paid off and so on.

6.Transmission

Sending data and information from one location to another via a computer network. For example sending sales data from user A to other users and so on.

The purpose of Telecommunication, as stated in Article 3 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 3

Telecommunication is held with the aim of supporting the unity and integrity of the nation, increasing the welfare and prosperity of the people in a fair and equitable manner, supporting economic life and government activities, as well as improving international relations.”

In order to facilitate the purpose of Telecommunications, of course there are parties who provide services as telecommunications network operators, as stated in Article 8 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 8

(1) The operation of telecommunications networks and or the operation of telecommunications services as referred to in Article 7 paragraph (1) letters a and b, may be carried out by a legal entity established for this purpose based on the prevailing laws and regulations, namely:
a. State-Owned Enterprises (BUMN);
b. Regional Owned Enterprises (BUMD);
c. Private Business Entity; or
d. cooperative.”

(2) The operation of special telecommunication as referred to in Article 7 paragraph (1) letter c, may be carried out by:

a. individual;
b.government agencies;
c.legal entity other than telecommunications network operator and or telecommunication service provider.

In relation to the operation of Telecommunication, the party providing the service is emphasized in Article 4 of the 2. Ministerial Regulation of Communication and Information Technology Number 5 of 2021 concerning the Implementation of Telecommunication, which states:

“Article 4

(1) The Minister stipulates the minimum obligation for development and/or service provision that must be fulfilled by every Telecommunication Network Operator and/or Telecommunication Service Provider in areas which are not the areas of universal Telecommunication service with considerations including but not limited to:

a. efficiency and effectiveness;
b. availability, distribution, and needs of Telecommunication services;
c. equitable distribution of development and/or Telecommunication services; and/or;
d. improvement of service quality.

(2) The minimum obligation for development and/or service provision as referred to in paragraph (1) is in the form of an annual obligation for a period of every 5 (five) years;

(3) Telecommunication Network Operators in fulfilling the obligations as referred to in paragraph (2) are obligated to build and/or provide Telecommunication Networks.

There is also the benefit of Telecommunications itself as explained in Article 2 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunications. The principle of benefit from telecommunications means that the principle of benefit means that telecommunications development, especially telecommunications operations, will be more efficient and effective as infrastructure development, government administration facilities, educational facilities, transportation facilities as well as economic commodities that can further improve the physical and spiritual welfare of the community.

In addition to having goals and benefits, there are impacts from the development of Information and Communication Technology, namely:

1. Positive Impact:

The field of Information and Communication Technology Education has changed the conventional learning process to become online;

Health Sector In the health sector, one of the applications of Information and Communication Technology in medical record management is using a smart card. Only by entering data on the card, medical personnel or interested parties can obtain a patient’s disease history and treatment;

c. Transportation Sector The use of Information and Communication Technology in the transportation sector, for example, in aircraft technology. On airplanes there is an automatic pilot feature that is controlled by a computer program;

d. The field of Shipping Services Delivery services are currently increasingly advanced. If in the past you didn’t know when you sent a package, you can now track the position of the package sent in real time;

e. Business Sector In business, the use of Information and Communication Technology is applied to electronic commerce (e-commerce). This feature requires an internet communication network. E-commerce makes it easier for two or more parties to conduct transactions without having to meet physically directly;

f. Banking Sector One of the advances in Information and Communication Technology in banking is the internet banking feature. Now, customers can easily perform various banking transactions.

2. Negative Impact:
a. Copyright Infringement the progress of Information and Communication Technology has been misused by irresponsible people, usually related to copyright infringement. These violations include software piracy, reproduction without the author’s permission, to use without the author’s permission. Copyright infringement is sure to harm producers and harm consumers when they get a product that is not of the same quality as the original product;

b. Cyber ​​Crime This crime is committed online by utilizing technology or computer networks. Examples of crimes such as credit card hijacking, online fraud, and so on. Cybercrimes can occur across countries, inflict heavy losses, and are often difficult to prove legally;

c. Pornography, Gambling, and Fraud These three things are very prevalent in the online world and become a negative side of Information and Communication Technology. However, some countries legalize pornography and gambling according to certain rules. As for fraud, many people misuse Information and Communication Technology to deceive others in order to get some money;

d. Spread of Malware, malware is a computer program that is looking for software weaknesses. Its use is like to break into or damage the operating system or damage software. Examples of malware are viruses, worms, keyloggers, trojans, spyware, and so on.

The current progress of Telecommunication itself certainly cannot be separated from the Telecommunication Industry, currently the role of the Telecommunication Industry to the state has contributed to Gross Domestic Product with the highest growth rate (in 2021 the second highest after the health sector). The infocom sector contributed 4.41% of Indonesia’s total GDP in 2021. In addition, the infocom sector in 2017 was able to absorb a workforce of 9.78%, or approximately 500 thousand people. This number also continues to grow every year to reach 1 million people in 2021.

In its implementation in the telecommunications industry sector, there are several things that become obstacles for business actors in the telecommunications industry:

  1. Lack of availability of frequency spectrum for 5G network. Digital transformation in the future will not only stop at internet connectivity, but also the implementation of IoT, AI, Big Data, cyber security, and robotics which must be supported by a high-speed internet network, at least equivalent to 5G. While the current implementation of 5G is still constrained by high costs and frequency spectrum that is not ready for use by 5G networks;
  2. The digital divide. The development of internet network infrastructure, which has only focused on the islands of Java and Sumatra, has made internet connectivity not well distributed, so that market share penetration of the telecommunications industry is also hampered.

1 2
Translate