0

DUGAAN PENISTAAN AGAMA DENGAN MODIFIKASI GAMBAR YANG DIPUBLIKASIKAN DI MEDIA SOSIAL

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Anggie Fauziah Dwiliandri

Salah satu tokoh publik dilaporkan oleh dua orang berbeda ke pihak berwajib lantaran unggahan berbau Suku Agama Ras dan Antar golongan (SARA) diduga sebagai ikon salah satu agama yang diedit hingga mirip dengan Presiden. Unggahan tersebut berupa meme yang diunggah oleh salah satu tokoh publik tersebut melalui akun media sosialnya. Laporan pertama dibuat oleh perwakilan umat agama yang bersangkutan ke Polisi Daerah Metro Jaya (Polda Metro Jaya) yang telah terdaftar, tertanggal 20 Juni 2022.[1] Sedangkan, laporan kedua dibuat oleh perorangan ke Badan Reserse Kriminal Polisi Republik Indonesia yang kemudian dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut terdaftar tertanggal 20 Juni 2022.[2]

Dalam kedua laporan itu, dilaporkan terkait dugaan kasus penistaan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 45A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)dan atau Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun bunyi ketiga pasal tersebut ialah berikut ini:

Pasal 28

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Pasal 45A

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

  “Pasal 156A

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Diketahui unggahan tersebut bukan satu-satunya pengguna media sosial yang menyebarluaskan unggahan kontroversial tersebut. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan yang turut menyebarluaskan foto editan tempat ibadah salah satu agama dinilai sebagai tindakan pelecehan dan penistaan terhadap salah satu agama. Adapun sebagai tindak lanjut dalam proses hukum ini, penyidik juga melakukan penyitaan barang bukti untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ke laboratorium forensik. Selain itu, pemeriksaan lanjutan tambahan juga dilakukan, khususnya terkait dengan pemeriksaan terhadap sejumlah ahli, di antaranya ahli bahasa, ahli agama, dan ahli media sosial.[3]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Moeljatno)

Referensi:

https://megapolitan.kompas.com/read/2022/06/21/10271461/ketika-roy-suryo-melapor-dan-dilaporkan-soal-meme-patung-candi-borobudur?page=all

[1]https://megapolitan.kompas.com/read/2022/06/29/18413281/kasus-roy-suryo-di-tahap-penyidikan-polisi-minta-keterangan-tambahan-ahli?page=all


[1] https://megapolitan.kompas.com/read/2022/06/21/10271461/ketika-roy-suryo-melapor-dan-dilaporkan-soal-meme-patung-candi-borobudur?page=all diakses 1 Juli 2022

[2] Ibid

[3] https://megapolitan.kompas.com/read/2022/06/29/18413281/kasus-roy-suryo-di-tahap-penyidikan-polisi-minta-keterangan-tambahan-ahli?page=all, diakses 1 Juli 2022

0

PENYADAPAN DATA OLEH PETINGGI LEMBAGA PEMERINTAH DI LUAR KEWENANGAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri

Tindakan peretasan merupakan salah satu bagian dari cybercrimeatau kejahatan mayantara yang ditimbulkan karena adanya kemajuan teknologi. Peretasan mengacu pada aktivitas ilegal yaitu mengakses perangkat digital. Meskipun dengan hadirnya teknologi membawa keuntungan atau nilai-nilai positif, namun teknologi juga dapat mengakibatkan hal-hal yang dapat merugikan kehidupan bangsa.[1] Tentunya tindakan peretasan menimbulkan banyak kerugian secara materiil maupun non-materiil kepada korbannya. Tidak hanya dilakukan pada situs web, peretasan juga dapat dilakukan pada akun media sosial milik seseorang.[2] Tindakan tersebut tidak hanya dilakukan untuk mencari keuntungan melainkan menemukan titik lemah dari target peretasan. Seperti hal nya yang terjadi di Spanyol, yaitu direktur Pusat Intelijen Negara (CNI) yang memata-matai separatis Catalan dengan melakukan dugaan peretasan telepon terhadap lebih dari 60 aktivis, pengacara, dan aktivis Catalan.[3] Separatisme ini sendiri dipicu karena adanya faktor ekonomi, yaitu permasalahan defisit fiskal Catalan dengan pemerintah pusat.[4] Merujuk pada kasus tersebut, akan dikaji pengaturannya berdasarkan hukum Indonesia.

Di Indonesia, tindakan peretasan atau yang dalam definisi setara merupakan penyadapan “…adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.[5]

Tindakan penyadapan ini dapat dinyatakan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 30

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik miliki Orang lain dengan cara apa pun.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.[6]

Tindak pidana peretasan yang diatur dalam pasal 30 ayat (1), (2),dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung unsur sebagaimana berikut:

  1. Unsur setiap orang

Maksudnya ialah Orang sebagai subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan cakap secara hukum berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

  • Unsur dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum

Maksudnya ialah tindakan yang dilakukan didasari atas niat atau kesengajaan yang penuh dengan kesadaaran diri dari orang yang melakukan tindak peretasan.

  • Unsur mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain

Maksudnya ialah unsur ini memberi gambaran bahwa sistem elektronik milik orang lain itu ialah hal yang bersifat pribadi milik orang lain dan bukan bersifat untuk umum. Sehingga untuk melakukan akses terhadap data tersebut diperlukan izin dari pemilik data tersebut.

  • Unsur dengan cara apapun

Maksudnya ialah orang yang melakukan tindak peretasan melakukan berbagai cara untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik korban.[7]

Kemudian ancaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 46

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).[8]

Apabila yang melakukan tindak penyadapan adalah petinggi dari suatu lembaga resmi, negara, dan/atau  pemerintahan, maka hal itu dapat juga dirujuk kepada kode etik masing-masing dari setiap lembaga. Merujuk pada kasus peretasan yang terjadi di Spanyol baru-baru ini yang dilakukan oleh Pejabat Badan Intelejen Negara, di Indonesia sendiri diterapkan beberapa pengaturan dari kewenangan Badan Intelejen Negara dalam hal melakukan penyadapan yang mana kewenangan tersebut diatur pada Peraturan Perundang-undang, sebagaimana berikut:

“Pasal 31”

Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap Sasaran yang terkait dengan:

a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau

b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan penyadapan sebagaimana wewenangnya yang diatur pada pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, penyadapan tersebut diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan selama untuk dan guna penyelenggaran fungsi intelejen sebagaimana diaatur dalam pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, sebagaimana berikut:

Pasal 32

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundangan- undangan.

(2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:

a. untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;

b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan

c. jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

(3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri.

Namun, dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan penyadapan di luar fungsi penyelenggaran Intelejen sebagaimana dimaksud pada pasal 31 dan pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara,  personel yang melanggar dengan melakukan penyadapan diluar fungsi dan wewenanyanya sebagaimana diatur pada pasal 31 jo. pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara dimaksud dapat dikenakan sangsi pidana sebagai dituangkan pada pasal 47 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara sebagaimana berikut:

“Pasal 47

Setiap Personel Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”

Berdasakan hal sebagaimana pengaturan di atas, selain sanksi atas penyalahgunaan kewenangan tugas dan fungsi dari seorang pejabat negara , sanksi daripada penyadapan atau peretasan juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dasar Hukum

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Referensi

Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada

I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020

Ineu Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017

Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat


[1] Ineu Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017

[2] Ibid.

[3] Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat

[4] Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada, hal. vi

[5] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

[6] Pasal 30 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[7] I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020, hal. 337

[8] Pasal 46 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0

Tindakan Mengunggah Dokumen Elektronik Pribadi Tanpa Izin Pemilik

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal basis:

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

         Pada era digital ini semua hal dapat kita akses melalui internet, semua hal dapat kita unggah ke internet ataupun kita unduh dari internet, akan tetapi apabila muatan yang akan kita unggah berkaitan dengan orang lain, atau dokumen yang akan kita unggah merupakan milik orang lain, kita harus meminta izin kepada pemilik dokumen tersebut. Adapun hal-hal yang termasuk dalam Dokumen Elektronik yang tercantum dalam pengertiannya menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[1]

         Tindakan mengunggah dokumen elektronik tanpa izin dari pemilik dokumen tersebut dilarang melalui penjelasan Pasal 32 UU ITE, yang berunyi:

Pasal 32

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
  • Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.[2]

         Terlebih pada pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE juga mengatur apabila dokumen elektronik yang diunggah  memiliki muatan yang berisi penghinaan , pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, yang berbunyi:


Pasal 27

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”[3]

         Pihak yang melakukan pengunggahan dokumen elektronik tanpa izin tersebut dapat dikenai dengan sanksi pidana serta denda, dalam hal melanggar Pasal 32 UU ITE, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak tersebut mengacu pada Pasal 48 UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 48

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[4]

         Bagi Pihak yang melakukan pengunggahan disertai dengan muatan yang berisi penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman pada dokumen elektronik tersebut, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) , maka sanksi terhadap tindakan tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 45

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

Sehingga, apabila ingin mengunggahsuatu dokumen elektronik ke internet, dan dokumen elektronik tersebut bukan milik anda, maka anda harus meminta izin kepada pemilik dokumen elektronik tersebut, hal ini harus dilakukan untuk memenuhi ketentuan privasi terhadap kepemiliki dokumen pribadi seseorang, sekaligus menghindari sanksi pidana berupa pidana penjara serta denda yang akan diberikan kepada pelaku tindakan pengunggahan dokumen elektronik tanpa seizin pemilik dokumen.


[1] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[2] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[4] Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[5] Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Translate