Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri
Tindakan peretasan merupakan salah satu bagian dari cybercrimeatau kejahatan mayantara yang
ditimbulkan karena adanya kemajuan teknologi. Peretasan mengacu pada aktivitas
ilegal yaitu mengakses perangkat digital. Meskipun dengan hadirnya teknologi
membawa keuntungan atau nilai-nilai positif, namun teknologi juga dapat
mengakibatkan hal-hal yang dapat merugikan kehidupan bangsa.[1]
Tentunya tindakan peretasan menimbulkan banyak kerugian secara materiil maupun
non-materiil kepada korbannya. Tidak hanya dilakukan pada situs web, peretasan
juga dapat dilakukan pada akun media sosial milik seseorang.[2]
Tindakan tersebut tidak hanya dilakukan untuk mencari keuntungan melainkan
menemukan titik lemah dari target peretasan. Seperti hal nya yang terjadi di
Spanyol, yaitu direktur Pusat Intelijen Negara (CNI) yang memata-matai
separatis Catalan dengan melakukan dugaan peretasan telepon terhadap lebih dari
60 aktivis, pengacara, dan aktivis Catalan.[3]
Separatisme ini sendiri dipicu karena adanya faktor ekonomi, yaitu permasalahan
defisit fiskal Catalan dengan pemerintah pusat.[4]
Merujuk pada kasus tersebut, akan dikaji pengaturannya berdasarkan hukum Indonesia.
Di Indonesia, tindakan peretasan atau yang dalam definisi
setara merupakan penyadapan “…adalah kegiatan untuk mendengarkan,
merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik,
baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti
pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.[5]
Tindakan penyadapan ini dapat dinyatakan sebagai tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 30
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik miliki Orang lain dengan cara apa pun.
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk
memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.”[6]
Tindak pidana peretasan yang diatur dalam pasal
30 ayat (1), (2),dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
mengandung unsur sebagaimana berikut:
- Unsur
setiap orang
Maksudnya
ialah Orang sebagai subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan
cakap secara hukum berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
- Unsur dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum
Maksudnya ialah tindakan yang dilakukan didasari atas
niat atau kesengajaan yang penuh dengan kesadaaran diri dari orang yang
melakukan tindak peretasan.
- Unsur
mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain
Maksudnya
ialah unsur ini memberi gambaran bahwa sistem elektronik milik orang lain itu ialah
hal yang bersifat pribadi milik orang lain dan bukan bersifat untuk umum. Sehingga
untuk melakukan akses terhadap data tersebut diperlukan izin dari pemilik data
tersebut.
Maksudnya
ialah orang yang melakukan tindak peretasan melakukan berbagai cara untuk dapat
mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik korban.[7]
Kemudian ancaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal
30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 46
- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”[8]
Apabila yang melakukan tindak penyadapan adalah
petinggi dari suatu lembaga resmi, negara, dan/atau pemerintahan, maka hal itu dapat juga dirujuk
kepada kode etik masing-masing dari setiap lembaga. Merujuk pada kasus peretasan
yang terjadi di Spanyol baru-baru ini yang dilakukan oleh Pejabat Badan
Intelejen Negara, di Indonesia sendiri diterapkan beberapa pengaturan dari
kewenangan Badan Intelejen Negara dalam hal melakukan penyadapan yang mana kewenangan
tersebut diatur pada Peraturan Perundang-undang, sebagaimana berikut:
“Pasal 31”
Selain wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang
melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi
terhadap Sasaran yang terkait dengan:
a. kegiatan yang mengancam
kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk
pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau
b. kegiatan terorisme,
separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan
kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.
Dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan
penyadapan sebagaimana wewenangnya yang diatur pada pasal 31 UU No. 17 Tahun
2011 tentang Intelejen Negara, penyadapan tersebut diperbolehkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan selama untuk dan guna penyelenggaran fungsi
intelejen sebagaimana diaatur dalam pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang
Intelejen Negara, sebagaimana berikut:
Pasal 32
(1) Penyadapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundangan- undangan.
(2) Penyadapan terhadap
Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
dilaksanakan dengan ketentuan:
a. untuk penyelenggaraan
fungsi Intelijen;
b. atas perintah Kepala
Badan Intelijen Negara; dan
c. jangka waktu penyadapan
paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
(3) Penyadapan terhadap
Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan
penetapan ketua pengadilan negeri.
Namun, dalam hal Badan Intelejen Negara
melakukan penyadapan di luar fungsi penyelenggaran Intelejen sebagaimana
dimaksud pada pasal 31 dan pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen
Negara, personel yang melanggar dengan melakukan penyadapan
diluar fungsi dan wewenanyanya sebagaimana diatur pada pasal 31 jo. pasal 32 UU
No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara dimaksud
dapat dikenakan sangsi pidana sebagai dituangkan pada pasal 47 UU No. 17 Tahun 2011 tentang
Intelejen Negara sebagaimana berikut:
“Pasal 47
Setiap Personel
Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan,
pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”
Berdasakan hal sebagaimana pengaturan di atas, selain sanksi
atas penyalahgunaan kewenangan tugas dan fungsi dari seorang pejabat negara ,
sanksi daripada penyadapan atau peretasan juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Dasar
Hukum
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang
Intelejen Negara
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Referensi
Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme
Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada
I Gusti
Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha,
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan
Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020
Ineu
Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase
Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017
Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi
Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari
https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat
[1] Ineu
Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase
Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017
[2] Ibid.
[3] Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi
Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari
https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat
[4] Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme
Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada,
hal. vi
[5] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik
[6] Pasal 30 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
[7]
I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede
Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk
Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020,
hal. 337
[8] Pasal 46 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik