0

PENERAPAN PERCEPATAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Author : Ananta Mahatyanto
Co – Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

REFERENSI :

  1. Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)
  2. Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

            Indonesia memiliki Keindahan Alam yang diakui oleh dunia, dimana kekayaan alam di Indonesia sangat banyak dan beragam, hal ini juga dapat kita lihat pada banyaknya turis yang datang ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam di Indonesia. Oleh sebab itu, Industri Pariwisata merupakan salah satu industri yang penting untuk dikembangkan di Indonesia, akan tetapi Pengembangan Industri Pariwisata tersebut harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap lingkungan di Indonesia itu sendiri.

            Pemerintah menyadari bahwa industri pariwisata harus dilaksanakan sejalan dengan perlindungan terhadap lingkungan, selain itu terdapat pertimbangan mengenai pengelolaan tentang pariwisata, budaya dan manfaat sosial dan ekonomi yang terdapat pada Industri Pariwisata itu sendiri, oleh sebab itu pada tahun 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenpar 14/2016) yang sudah dicabut dengan  terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenparekraf 9/2021).

            Gagasan atau Ide mengenai Percepatan Pariwisata Berkelanjutan diterapkan melalui pembaharuan Peraturan terkait ide tersebut melalui diterbitkannya Permenparekraf 9/2021, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah untuk mewujudkan Pengembangan Industri Pariwisata yang berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev), dimana STDev tersebut meliputi Sustainable Tourism Destination (STD), Sustainable Tourism Observatory(STO), Sustainable Tourism Certification(STC), Sustainable Tourism Industry(STI), serta Sustainable Tourism Marketing & Management(STM).[1]

            Sebelumnya, Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Lembaga Akreditasi kuasi pemerintah yang dibentuk melalui surat Keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Nomor Km. 143/Kd.00/Menpar/2019, Tentang Dewan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council) atau biasa disebut dengan ISTC.[2]

            ISTC itu sendiri mempunyai tugas dan fungsi dalam hal mendukung dan mengadvokasi penerapan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu ISTC melakukan regulasi, memfasilitasi juga melakukan pendampingan agar destinasi-destinasi wisata sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pelaksanaannya dengan melakukan asesmen, memberikan award kepada destinasi yang berhasil menerapkan standar pariwisata berkelanjutan.[3]

            Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan dalam Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Permenparekraf 9/2021, yang berbunyi:

“ Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. “ [4]

Area yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan berkelanjutan ada 4 pilar. Pertama adalah pengelolaan yang berkelanjutan seperti bisnis pariwisata, kedua ekonomi berkelanjutan atau sosial ekonomi jangka panjang. Ketiga adalah keberlanjutan budaya agar terus dikembangkan tetapi tetap dijaga. Dan keempat adalah keberlanjutan aspek lingkungan. [5]

            4 pilar tersebut dijelaskan melalui Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021. Kriteria Destinasi tersebut dijabarkan dalam Huruf A sampai Huruf D Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021 sebagai berikut:[6]

  1. Pengelolaan Berkelanjutan
  2. Struktur dan Kerangka Pengelolaan
  3. Tanggung jawab pengelolaan destinasi
  4. Strategi dan rencana aksi pengelolaan destinasi
  5. Monitoring dan Pelaporan
  6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
  7. Pelibatan badan usaha dan standar keberlanjutan
  8. Pelibatan dan umpan-balik dari penduduk setempat
  9. Pelibatan dan umban-balik dari pengunjung
  10. Promosi dan Informasi
  11. Mengelola Tekanan dan Perubahan
  12. Mengelola jumlah dan kegiatan pengunjung
  13. Perencanaan peraturan dan pengendalian pembangunan
  14. Adaptasi perubahan iklim
  15. Pengelolaan risiko dan krisis
  • Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi
  • Memberi manfaat ekonomi lokal
  • Mengukur kontribusi ekonomi pariwisata
  • Peluang kerja dan karir
  • Menyokong kewirausahaan lokal dan perdagangan yang berkeadilan
  • Kesejahteraan dan dampak sosial
  • Dukungan dari masyarakat
  • Pencegahan eksploitasi dan diskriminasi
  • Hak kepemilikan dan pengguna
  • Keselamatan dan keamanan
  • Akses untuk semua
  • Keberlanjutan Budaya
  • Melindungi Warisan Budaya
  • Perlindungan aset budaya
  • Artefak Budaya
  • Warisan Tak Benda
  • Akses Tradisional
  • Hak Kekayaan Intelektual
  • Mengunjungi Situs Budaya
  • Pengelolaan pengunjung pada situs budaya
  • Interpretasi situs
  • Keberlanjutan Lingkungan
  • Konservasi Warisan Alam
  • Perlindungan lingkungan sensitif
  • Pengelolaan pengunjung pada situs alam
  • Interaksi dengan kehidupan liar
  • Eksploitasi spesies dan kesejahteraan satwa
  • Pengelolaan Sumberdaya
  • Konservasi energi
  • Penatalayanan air
  • Kualitas air
  • Pengelolaan limbah dan emisi
  • Air limbah
  • Limbah padat
  • Emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim
  • Transportasi berdampak rendah
  • Pencemaran cahaya dan kebisingan

Kriteria Destinasi Pariwisata tersebut diperjelas melalui terdapatnya Kriteria yang menjadi dasar penilaian atau penetapan pada standar destinasi pariwisata berkelanjutan, Sub Kriteria yang merupakan turunan dari kriteria dan memberikan detil pengelompokan dari indikator, Indikator yang merupakan sesuatu yang memperjelas dan dapat memberi petunjuk atau keterangan dari kriteria , serta Bukti Pendukung yang merupakan sesuatu yang menyatakan suatu kebenaran peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda baik berupa softcopyatau hardcopy.

            Terkait dengan Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, didasari pada Kriteria Destinasi Pariwisata yang harus terpenuhi sebelumnya sebagai pedoman Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri. Sehingga, Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri dapat mewujudkan keempat pilar yaitu Pengelolaan Berkelanjutan, Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi, Keberlanjutan Budaya serta Keberlanjutan Lingkungan yang sekaligus menjadi tujuan dari penerapan percepatan pariwisata berkelanjutan di Indonesia itu sendiri.


[1]Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[2]Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[3]Op. Cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[4]Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

[5]Op.cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[6]Bab II Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

0

Regulasi Terkait Pengaturan Restorasi Mangrove di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove

Mangrove atau dikenal sebagai hutan bakau merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat. Selain berguna untuk menahan laju air laut, mangrove diketahui dapat menurunkan emisi karbon 4 – 5 kali lipat daripada hutan hujan di darat. Karena alasan tersebut, Indonesia kemudian menargetkan untuk memulihkan 150.000 hektar kawasan mangrove,[1] dan sekarang sedang mempersiapkan peraturan khusus yang akan mengatur pelaksanaan program restorasi mangrove.[2]

Peraturan yang masih berlaku dalam hal restorasi mangrove saat ini adalah Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (Perpres 120/2020). Perpres 120/2020 menetapkan bahwa restorasi mangrove akan dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut, yang melalui Perpres ini kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Hal ini dimuat dalam bagian menimbang huruf c, yang berbunyi sebagai berikut:

“bahwa Pemerintah telah menetapkan kebijakan pemulihan mangrove di kawasan ekosistem mangrove yang terdegradasi atau kritis melalui percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove oleh Badan Restorasi Gambut;”[3]

Tugas dan fungsi dalam BRGM dalam melaksanakan restorasi mangrove diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 huruf g Perpres 120/2020, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 2

  • BRGM mempunyai tugas:
    • melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove pada areal kerja di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.”[4]

“Pasal 3

Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BRGM menyelenggarakan fungsi:

  • pelaksanaan percepatan rehabilitasi mangrove di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat;[5]

Pelaksanaan restorasi mangrove dilakukan dengan memperhatikan batasan seperti target luasan areal, norma, standar, prosedur dan kriteria. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 Perpres 120/2020, yang secara umum mengatur sebagai berikut:

  1. Luasan areal berupa target luasan 600.000 hektar yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.
  2. Norma, standar, prosedur dan kriteria yang meliputi kegiatan persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pembangunan persemaian modern ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan setelah mendapatkan masukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  3. BRGM melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan, baik sendiri dan/atau bersama-sama dengan direktorat jenderal yang menyelenggarakan fungsi di bidang peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan rehabilitasi hutan di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan serta direktorat jenderal yang menyelenggarakan fungsi di bidang pengelolaan ruang laut di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.[6]

Pasal 6 Perpres 120/2020 menyatakan bahwa BRGM terdiri atas kepala BRGM, sekretariat badan dengan 3 deputi, yakni: Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi, Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan, Deputi Bidang Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan dan Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat.[7]

Kegiatan restorasi mangrove secara khusus dilakukan oleh Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi. Pasal 9 Perpres 120/2020 mengatur bahwa Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi memiliki tugas untuk melaksanakan penyusunan rencana dan evaluasi percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, deputi ini memiliki fungsi untuk:

  1. Perencanaan teknis percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove
  2. Pengembangan data percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove
  3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove[8]

Sehingga, kewenangan untuk melaksanakan restorasi dan rehabilitasi mangrove dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang selanjutnya pengaturan mengenai kewenangan pentaruan sekaligus teknis pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi mangrove tersebut diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove yang berisi rencana pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi mangrove.


[1] Indonesia aims to get mangrove restoration back on track in 2022

(https://www.reuters.com/markets/commodities/indonesia-aims-get-mangrove-restoration-back-track-2022-2022-01-20/)

[2] Indonesia prepares regulation to help fund mangrove restoration
(https://www.thejakartapost.com/indonesia/2021/11/21/indonesia-prepares-regulation-to-help-fund-mangrove-restoration.html)

[3] Bagian menimbang huruf c Perpres 120/2020.

[4] Pasal 2 ayat (1) huruf b Perpres 120/2020

[5] Pasal 3 Perpres 120/2020

[6] Pasal 4 Perpres 120/2020

[7] Pasal 6 Perpres 120/2020

[8] Pasal 9 Perpres 120/2020


Referensi :

  1. Indonesia aims to get mangrove restoration back on track in 2022 (https://www.reuters.com/markets/commodities/indonesia-aims-get-mangrove-restoration-back-track-2022-2022-01-20/)
  2. Indonesia prepares regulation to help fund mangrove restoration (https://www.thejakartapost.com/indonesia/2021/11/21/indonesia-prepares-regulation-to-help-fund-mangrove-restoration.html)
0

Tindakan Mengunggah Dokumen Elektronik Pribadi Tanpa Izin Pemilik

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal basis:

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

         Pada era digital ini semua hal dapat kita akses melalui internet, semua hal dapat kita unggah ke internet ataupun kita unduh dari internet, akan tetapi apabila muatan yang akan kita unggah berkaitan dengan orang lain, atau dokumen yang akan kita unggah merupakan milik orang lain, kita harus meminta izin kepada pemilik dokumen tersebut. Adapun hal-hal yang termasuk dalam Dokumen Elektronik yang tercantum dalam pengertiannya menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[1]

         Tindakan mengunggah dokumen elektronik tanpa izin dari pemilik dokumen tersebut dilarang melalui penjelasan Pasal 32 UU ITE, yang berunyi:

Pasal 32

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
  • Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.[2]

         Terlebih pada pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE juga mengatur apabila dokumen elektronik yang diunggah  memiliki muatan yang berisi penghinaan , pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, yang berbunyi:


Pasal 27

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”[3]

         Pihak yang melakukan pengunggahan dokumen elektronik tanpa izin tersebut dapat dikenai dengan sanksi pidana serta denda, dalam hal melanggar Pasal 32 UU ITE, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak tersebut mengacu pada Pasal 48 UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 48

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[4]

         Bagi Pihak yang melakukan pengunggahan disertai dengan muatan yang berisi penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman pada dokumen elektronik tersebut, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) , maka sanksi terhadap tindakan tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 45

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

Sehingga, apabila ingin mengunggahsuatu dokumen elektronik ke internet, dan dokumen elektronik tersebut bukan milik anda, maka anda harus meminta izin kepada pemilik dokumen elektronik tersebut, hal ini harus dilakukan untuk memenuhi ketentuan privasi terhadap kepemiliki dokumen pribadi seseorang, sekaligus menghindari sanksi pidana berupa pidana penjara serta denda yang akan diberikan kepada pelaku tindakan pengunggahan dokumen elektronik tanpa seizin pemilik dokumen.


[1] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[2] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[4] Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[5] Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

1

Electronic Evidence as Court Evidence

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Didalam persidangan baik perdata maupun pidana, terdapat dalil-dalil yang diberikan oleh para pihak, pihak-pihak yang mendalilkan tersebut harus membuktikan apa yang sudah didalilkan, dalam pembuktian dalil tersebut, maka pihak akan dibantu dengan adanya alat bukti yang sah menurut pengadilan pada saat persidangan.

Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan , dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat di pergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Menurut M. Yahya Hararap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menyatakan, bahwa alat bukti (bewijsmiddle) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberikan keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.[1]

Seiring dengan perkembangannya waktu, alat-alat bukti yang dapat dipakai dalam persidangan tidak hanya berupa bukti tertulis, keterangan ahli dan semacamnya, terlebih di di dalam era perkembangan teknologi yang berkembang pesat. Selain berbentuk nyata, alat bukti juga dapat berbentuk audio dan visual yang berada dalam perangkat elektronik, hal ini disebut dengan alat bukti elektronik.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), Alat Bukti Elektronik didefinisikan sebagai Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik, dimana dalam Pasal 1 Angka 1 jo. Pasal 1 Angka 4 UU ITE menyatakan sebagai berikut:

Pasal 1

  1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  2. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”[2]

Di dalam Pasal 1865 dan 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang Alat Bukti Menurut Hukum Perdata, yakni :

“ Pasal 1865

Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.

Pasal 1866

Alat pembuktian meliputi:

  • bukti tertulis;
  • bukti saksi;
  • persangkaan;
  • pengakuan;
  • sumpah.”[3]

Selain itu, pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatur mengenai Alat Bukti yang sah menurut hukum pidana, yakni:

“Alat bukti yang sah ialah :

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa. “[4]

Pengaturan mengenai Keabsahan alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE , yang berbunyi:

Pasal 5

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.[5]

Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 19/2016 (ITE), yang berbunyi:

“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”[6]

Sebagai contoh, Handphone atau Komputer merupakan perangkat elektronik, dan transaksi jual beli , email, chat dan rekaman-rekaman berupa audio dan visual yang terdapat dalam perangkat elektronik didefinisikan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik.

         Bukti elektronik dihadirkan dalam persidangan dengan berbagai alasan, baik untuk membuktikan kronologis suatu peristiwa maupun keterlibatan seseorang dalam suatu peristiwa. Bukti Elektronik juga tidak mengenal batas geografis dan batas yuridiksi , sehingga bisa digunakan sebagai bukti pada tindak pidana kejahatan lintas negara misalnya tindakan pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

         Bukti elektronik biasanya menyimpan data-data yang sifatnya sangat pribadi, mulai dari data diri, keluarga, sampai dengan data-data yang berhubungan dengan pekerjaan dan keuangan, karena itu penggunaannya yang tidak tepat berpotensi melanggar batas privasi dan kerahasiaan data pribadi.

Terdapat perbedaan mengenai keabsahan antara bukti otentik dalam wujud nyata dan bukti elektronik, di dalam hukum perdata terdapat akta otentik atau akta yang dibuat oleh notaris dimana dalam pembuktian di persidangan, akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi pihak yang bersengketa, selama tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya.

Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE, menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. [7] Mengacu kepada KUHAP Pasal 183 mengenai syarat formil dan materil, terhadap alat bukti elektronik pun harus terpenuhi syaratnya yaitu:

  • Syarat formil: bukti elektronik harus sah yaitu otentik (diambil dari pemilik yang sah) dan terjaga integritasnya.
  • Syarat materil: bukti elektronik harus relevan atau sesuai dengan tindak pidana dan identitas terdakwa.

Berbeda dengan Bukti Elektronik, dengan sifatnya yang mudah dirusak, mudah dipindahkan, mudah digandakan dan disebarluaskan. Sehingga, dalam pembuktian melalui Bukti Elektronik harus melalui proses autentifikasi dan menjaga integritas data yang merupakan syarat formil alat bukti elektronik, adapun syarat formil yang perlu dilakukan, sebagai berikut:

  1. Autentifikasi

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik asli dan tidak dimanipulasi:

  1. Terdapat dokumentasi yang dapat menunjukkan data adalah yang sebenarnya seperti:
  2. Berita Acara yang memuat deskripsi perangkat elektronik yang disita, orang yang melakukan dan persetujuan para pihak.
  3. Chain of Custody yang berisi informasi deskripsi lengkap perangkat elektronik dan bukti elektronik (merek, nomor model, nomor seri, kapasitas, dll) serta seluruh aktivitas forensik digital.
    1. Dokumentasi pada poin sebelumnya disertai dengan validasi seperti tandatangan baik digital maupun tertulis, keterangan tanggal, dan cap baik digital maupun tertulis.
    1. Dokumentasi pada poin sebelumnya mencantumkan dengan jelas sumber data, pemilik sumber data dan orang yang mengakuisisinya.
  • Integritas Data (Pasal 16 UU ITE)

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik terjaga integritasnya (kondisi ketika dihadirkan di persidangan sama seperti ketika bukti elektronik ditemukan)

  • Terdapat dokumentasi yang dapat menunjukkan data terjaga keutuhannya seperti Chain of Custody dan foto hasil verifikasi integritas data (seperti hash).
  • Terdapat Chain of Custody yang mencatat seluruh aktivitas yang dilakukan terhadap bukti elektronik untuk membuktikan bahwa prosedur forensik digital sesuai dengan standar Chain of custody didukung oleh bukti lainnya seperti keterangan saksi dan keterangan ahli.

Selain syarat formil, terdapat syarat materiil yang harus dipenuhi dalam pembuktian alat bukti elektronik, dengan melakukan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Relevan

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik relevan dengan tindak pidana dan terdakwa yang terdapat dalam dakwaan.

  • Bukti elektronik mencantumkan dengan jelas nama terdakwa.
  • Tanggal yang terdapat dalam bukti elektronik sesuai dengan ruang  lingkup penyidikan/perkara.
  • Tidak menyangkut privasi seseorang yang tidak sesuai dengan tuntutan.
  • Reliabel
  • Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik menunjukkan fakta yang sebenarnya.
  • Interpretasi fakta dari bukti elektronik tidak bermakna ganda.
  • Terdapat alat bukti lain yang mendukung fakta yang ditunjukkan oleh bukti elektronik seperti keterangan saksi dan keterangan ahli.
  • Kecukupan

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik yang dikumpulkan telah cukup dari seluruh pihak yang terlibat dan Bukti elektronik telah diperoleh dari seluruh pihak yang terlibat.

Penilaian tersebut di atas tidak bersifat mutlak. Hakim harus pula mempertimbangkan bukti elektronik sesuai dengan bobot pembuktiannya dalam suatu perkara. Berikut adalah dokumen dan informasi yang dapat diperiksa oleh Hakim untuk mendapatkan keyakinan atas pemenuhan syarat formil dan materil suatu bukti elektronik.

Syarat Formil pada dokumen dan Informasi Elektronik:

  1. Surat tugas penunjukan ahli atau legalitas lainnya yang menunjukkan sahnya akses terhadap bukti elektronik :
  2. Jika berkaitan dengan tindak pidana, Surat Tugas Penunjukkan Ahli yang diberikan oleh penyidik harus dapat dibuktikan.
  3. Jika berkaitan dengan perkara lain, legalitas yang dapat menjadi bukti adalah perse- tujuan pemilik perang kat elektronik.
  4. Berita Acara :
  5. Jika berkaitan dengan tindak pidana, dibutuhkan Berita Acara Penyitaan yang di dalamnya memuat deskripsi lengkap perangkat elektronik yang disita, kondisi bukti dan nama ahli yang melakukannya. Nama ahli harus sesuai dengan yang tertera pada Surat Tugas Penunjukkan Ahli.
  6. Jika berkaitan dengan perkara lain, isi berita acara yang dibuat sama seperti yang ditulis pada Berita Acara Penyitaan. Yang membedakan adalah harus adanya tanda tangan dari pihak yang berwe- nang memberikan perangkat elektronik.
  7. Chain of Custody (CoC) dimana CoC harus berisi kondisi ditemukannya bukti elektronik, deskripsi lengkap perangkat elektronik, hasil verifikasi intergritas, proses preservasi, proses akuisisi, proses analisis, dan ahli yang melakukannya.
  8. Laporan Ahli Forensik :
  9. Otentikasi dan integritas bukti elektronik dapat diperiksa dari verifikasi integritas data seperti mencocokkan message digest, verifikasi hashing, pengecekan nomor genggam konfirmasi telepon dengan nama pengguna, dan pengecekan registry.
  10. Apabila nilai hashing, tidak dapat diverifikasi dan/atau nilainya berbeda, maka Hakim harus memastikan adanya justifikasi yang terdokumentasi dalam laporan.

Syarat Materiil pada dokumen dan Informasi Elektronik:

  1. Chain of Custody (CoC) dimana jika dibutuhkan, Hakim dapat melakukan pengecekan syarat relevan dan kecukupan bukti elektronik dari CoC. Di antaranya dengan cara menelusuri semua tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik dan informasi lain yang ditulis dalam CoC seperti kelengkapan fisik (kabel, interface) dan kelengkapan logika (akun, password, aplikasi).
  2. Laporan Ahli Forensik terhadap bukti elektronik harus diperiksa relevansi dan reliabilitasnya dari transkrip, rekonstruksi dan kronologis peristiwa yang tercantum dalam laporan forensik.[8]

Mengacu pada regulasi standar internasional, yakni Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers (ACPO) yang merupakan asosiasi para pimpinan kepolisian di Inggris yang berkerja sama dengan 7Safe dengan melahirkan 4 prinsip dasar penanganan bukti elektronik, yaitu:

  1. Intergritas Data

Bukti Elektronik memiliki karakteristik yang sangat rentan karena mudah direkayasa, dihapus, digandakan, atau disebarluaskan sehingga membutuhkan penanganan khusus agar data dan informasi yang terkandung dalam perangkat elektronik terjaga keutuhannya.

Setiap tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik, tidak boleh mengubah atau merusak data yang tersimpan di dalamnya. Membuktikan terjaganya integritas data antara lain dengan melakukan : Verifikasi Hash, Dokumentasi seluruh tindakan terhadap bukti elektronik, dan penggunaan write blocker ketika mengakuisisi bukti elektronik.

  • Dilakukan oleh Personel yang kompeten

Personel yang kompeten merupakan personel yang terlatih menangani bukti elektronik, kompeten, dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang diambil dalam proses penanganan bukti elektronik.

  • Audit Trail / Chain of Custody (Coc) / Berita Acara

Bahwa setiap tindakan dalam prosedur penangan bukti elektronik dari awal sampai akhir harus didokumentasikan dipelihara dan dapat dievaluasi oleh pihak lain termasuk hakim. Hal ini dapat membuktikan bahwa setiap tindakan terhadap bukti elektronik dapat dipertanggungjawabkan.

  • Kepatuhan Hukum dan Peraturan Perundangan.

Harus melekat dalam penerapan seluruh prinsip pada setiap tahapan penanganan bukti elektronik, setiap personel yang bertanggung jawab atas bukti elektronik, harus memastikan bahwa proses berlangsung sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku sesuai dengan yurisdiksi hukum terkait.[9]

Ke 4 prinsip tersebut harus dijaga sejak bukti elektronik tersebut ditemukan hingga dihadirkan dalam persidangan.

Proses penanganan bukti elektronik :

  1. Identifikasi

Menurut ISO / SNI 27037 dalam tahapan identifikasi, terdiri dari kegiatan:

  1. Identifikasi

Personel mengidentifikasi data apa saja yang berpotensi menjadi bukti, dan menentukan beberapa pertimbangan atas penanganan pertama di lapangan antara lain, pengamanan area, perangkat yang berpotensi ditemukannya bukti elektronik, perangkat forensi apa yang harus disiapkan, dan prosedur akusisi apa yang digunakan, dan potensi resiko apa yang dapat terjadi.

  • Pengumpulan & Akuisisi

Saat melakukan pengumpulan dan akuisisi peralatan forensik harus memenuhi regulasi yang mengatur ketentuan atas perangkat dan perangkat lunak, prosedur pengumpulan terhadap bukti elektronik harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan keadaan dan status perangkat saat disita.

  • Preservasi (pengamanan data)

Personel harus memastikan data potensial yang mengandung bukti tidak rusak atau berubah karena kelembapan, medan magnet, suhu , debu, atau guncangan. Perangkat yang mengandung bukti elektronik harus dikemas dengan benar dan aman.

  • Eksaminasi

Dalam tahapan ini, data yang terdapat dalam perangkat elektronik disalin secara identik atau imaging, proses ini menghasilkan data yang identik seperti yang terdapat dalam perangkat elektronik asal yang disebut file image. File image dibuat dalam 2 salinan yaitu master copy dan working copy, master copy dan perangkat asal harus dijaga keutuhannya dan tidak boleh diakses siapapun, hingga nanti dihadirkan di persidangan. Sedangkan working copy digunakan oleh data examiner untuk diperiksa di olah dan dianalisis guna menemukan data informasi yang terkait dengan perkara.

  • Analisis

Dilakukan oleh seorang analis terhadap data yang telah diambil untuk mencari bukti bukti pendukung perkara.

  • Pelaporan

Seluruh rangkaian tahapan penanganan bukti elektronik beserta dengan hasil akhir bukti elektronik yang akan dihadirkan dalam persidangan harus dicatat dalam laporan hasil pemeriksaan forensik, laporan ini harus disertakan dalam berkas perkara.

Hakim harus dapat meneliti pemenuhan syarat formil dan syarat materiil, sehingga dapat keyakinan dalam memutuskan perkara di persidangan, syarat formil bahwa bukti diperoleh dengan sah, syarat materiil bahwa bukti tersebut relevan dengan dalil yang akan dibuktikan.

Walaupun Bukti Elektronik menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE diakui keabsahannya sebagai Alat Bukti, akan tetapi dalam penerapannya, penegak hukum tidak serta merta dapat mengambil bukti elektronik sebagai bukti di persidangan, terkait dengan sifat bukti elektronik yang tersimpan di perangkat elektronik yaitu mudah rusak, mudah dipindahkan dan mudah digandakan. Oleh karena itu, jika data yang menyimpan informasi yang sangat pribadi dan harus dipakai dalam bukti persidangan, maka harus terdapat perlindungan data elektronik sehingga data tersebut tidak rusak dan tidak disebarluaskan.

Penanganan Data-data elektronik oleh penegak hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak boleh diambil dan dipindahtangankan tanpa melalui sebuah rangkaian prosedur dan dengan metode digital forensik yang benar. Pada prinsipnya, dalam pemeriksaan bukti elektronik di persidangan hakim harus memastikan bahwa Isi atau data perangkat elektronik tetap utuh dan tidak berubah, Informasi di dalamnya berasal dari sumber yang di claim para pihak, Informasi tersebut akurat dan diperoleh melalui prosedur yang sah, Informasi dinilai kesesuaiannya dengan bukti-bukti lain.


[1] Dimas Hutomo, S.H., “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana”,(https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana-lt5c4ac8398c012 , diakses pada tanggal 2 Febuari 2022)

[2] Pasal 1 Angka 1 jo. Pasal 1 Angka 4 UU ITE

[3] Pasal 1865 dan 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[4] Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[5] Pasal 5 ayat (1) UU ITE

[6] Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 19/2016 (ITE)

[7] Pasal 5 ayat (2) UU ITE

[8] Happy Try Sulistiyono, S.H., M.H. , Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, “Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan”, Varia Peradilan Edisi Digital 1, Ikatan Hakim Indonesia Varia Peradilan, 2020, (https://www.varia-peradilan.id/articles/read/7/prosedur-autentifikasi-alat-bukti-elektronik-pada-pemeriksaan-persidangan , diakses pada 3 Febuari 2022)

[9]Eka Fitri Hidayati, Pengadilan Agama Kotabumi, https://pa-kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel-makalah/1037-keabsahan-pembuktian-elektronik-dalam-persidangan-perdata-di-pengadilan-agama.html#:~:text=Dalam%20Pasal%205%20ayat%20(1,yang%20diatur%20dalam%20UU%20ITE, diakses pada tanggal 3 Febuari 2022)

 ​In both civil and criminal trials, there are arguments given by the parties, the parties who postulate must prove what has been argued, in proving these arguments, the parties will be assisted by the existence of valid evidence according to the court at the time the judge.

 Evidence means everything that has to do with an act, where with the evidence, it can be used as evidence to raise the judge’s belief in the truth of a criminal act that has been committed by the defendant.

 According to M. Yahya Hararap in his book entitled Civil Procedure Law states that evidence (bewijsmiddle) is a form and type that can assist in providing information and explanations about a case problem to assist the judge’s assessment in court.

 Along with the development of time, the evidence that can be used in the trial is not only in the form of written evidence, expert testimony and the like, especially in this era of rapidly developing technology.  In addition to being tangible, evidence can also be in the form of audio and visual that is in an electronic device, this is called electronic evidence.

 In Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (UU ITE), Electronic Evidence is defined as Electronic Information and/or electronic documents, which in Article 1 Number 1 jo.  Article 1 Number 4 of the ITE Law states as follows:

” Article 1

 1. Electronic Information is one or a set of electronic data, including but not limited to writing, sound, pictures, maps, designs, photographs, electronic data interchange (EDI), electronic mail (electronic mail), telegram, telex, telecopy or the like,  processed letters, signs, numbers, Access Codes, symbols, or perforations that have meaning or can be understood by people who are able to understand them.

 4. Electronic Document is any Electronic Information that is created, forwarded, sent, received, or stored in the like, which can be seen, displayed, and/or heard through a Computer or Electronic System, including but not limited to writing, sound, pictures, maps,  designs, photos or the like, letters, signs, numbers, Access Codes, symbols or perforations that have meaning or meaning or can be understood by people who are able to understand them.”

In Articles 1865 and 1866 of the Civil Code regulates the Evidence according to Civil Law, namely:

“Article 1865”

Every person who claims to have a right, or points to an event to confirm his right or to refute a right of another person, must prove the existence of that right or the event that is stated.

Article 1866

Evidence tools include:

• written evidence;

• witness evidence;

• conjecture;

• confession;

• oath.”

In addition, Article 184 of the Criminal Procedure Code regulates the legal evidence according to criminal law, namely:

“Legal evidence is:

a. witness testimony;

b. expert testimony;

c. letter;

d. instruction;

e. defendant’s statement. “

The regulation regarding the validity of electronic evidence in the form of electronic information and electronic documents is regulated in Article 5 paragraph (1) of the ITE Law, which reads:

“Article 5”

(1) Electronic Information and/or Electronic Documents and/or their printouts are valid legal evidence.”

Elucidation of Article 5 Paragraph (1) of Law 19/2016 (ITE), which reads:

 “That the existence of Electronic Information and/or Electronic Documents is binding and recognized as legal evidence to provide legal certainty for the Operation of Electronic Systems and Electronic Transactions, especially in evidence and matters relating to legal actions carried out through the Electronic System.”

 ​

 For example, a cellphone or computer is an electronic device, and buying and selling transactions, e-mail, chat and audio and visual recordings contained in electronic devices are defined as electronic information and electronic documents.

 ​Electronic evidence is presented in court for various reasons, both to prove the chronology of an event or someone’s involvement in an event.  Electronic evidence also knows no geographical boundaries and jurisdictional boundaries, so it can be used as evidence in transnational crimes such as corruption and money laundering.

 ​Electronic evidence usually stores very personal data, ranging from personal, family data, to data related to work and finances, therefore its improper use has the potential to violate the privacy and confidentiality of personal data.

 There is a difference regarding the validity between authentic evidence in tangible form and electronic evidence, in civil law there is an authentic deed or a deed made by a notary where in proof at trial, an authentic deed is a perfect proof tool for the disputing parties, as long as neither party is contradicting each other.  prove otherwise.

 Article 5 paragraph (2) of the ITE Law states that electronic evidence is an extension of legal evidence in accordance with the procedural law applicable in Indonesia.  Referring to Article 183 of the Criminal Procedure Code regarding formal and material requirements, the conditions for electronic evidence must also be met, namely:

 • Formal requirements: electronic evidence must be valid, namely authentic (taken from the rightful owner) and its integrity maintained.

 • Material requirements: electronic evidence must be relevant or in accordance with the crime and the identity of the accused.

 In contrast to Electronic Evidence, by its nature that is easy to destroy, easy to move, easy to be copied and disseminated.  So, in proving through Electronic Evidence, you must go through the authentication process and maintain data integrity which is a formal requirement for electronic evidence, while the formal requirements that need to be done are as follows:

1. Authentication

 Assess that electronic evidence is genuine and not manipulated:

 a.  There is documentation that can show the data is real such as:

 – Minutes containing a description of the confiscated electronic device, the person who carried it out and the agreement of the parties.

 – Chain of Custody which contains complete description information of electronic devices and electronic evidence (brand, model number, serial number, capacity, etc.) as well as all digital forensic activities.

 b.  The documentation in the previous point is accompanied by validation such as digital and written signatures, date information, and digital or written stamps.

 c.  The documentation in the previous point clearly lists the data source, the owner of the data source and the person who acquired it.

 2. Data Integrity (Article 16 of the ITE Law)

 Conduct an assessment that the integrity of electronic evidence is maintained (the conditions when presented at trial are the same as when electronic evidence is found)

 – There is documentation that can show data integrity is maintained such as Chain of Custody and photos of data integrity verification results (such as hashes).

 – There is a Chain of Custody that records all activities carried out on electronic evidence to prove that digital forensic procedures are in accordance with Chain of custody standards supported by other evidence such as witness statements and expert statements.

 In addition to formal requirements, there are material requirements that must be met in proving electronic evidence, by fulfilling the following requirements:

1. Relevant

 Conduct an assessment that the electronic evidence is relevant to the crime and the defendants contained in the indictment.

 • Electronic evidence clearly states the name of the accused.

 • The date contained in the electronic evidence is in accordance with the scope of the investigation/case.

 • Does not concern someone’s privacy that is not in accordance with the demands.

 2. Reliable

 • Conduct an assessment that electronic evidence shows the actual facts.

 • Interpretation of facts from electronic evidence is not ambiguous.

 • There are other evidences that support the facts shown by electronic evidence such as witness statements and expert statements.

 3. Adequacy

 Assessing that the electronic evidence collected is sufficient from all parties involved and that electronic evidence has been obtained from all parties involved.

 The above assessment is not absolute.  Judges must also consider electronic evidence in accordance with the weight of the evidence in a case.  The following are documents and information that can be examined by a judge to obtain confidence in the fulfillment of the formal and material requirements of an electronic evidence.

Formal requirements on documents and Electronic Information:

 1. Assignment letter of expert appointment or other legality that shows the legal access to electronic evidence:

 • If it is related to a criminal act, the Letter of Assignment of Expert Appointment given by the investigator must be proven.

 • If it is related to other cases, the legality that can be evidenced is the consent of the owner of the electronic device.

 2. Minutes of Events:

 • If it is related to a criminal act, a Minutes of Confiscation is required which contains a complete description of the confiscated electronic device, the condition of the evidence and the name of the expert who did it.  The name of the expert must match what is stated in the Letter of Assignment of Expert Appointment.

 • If it is related to other cases, the contents of the minutes made are the same as those written in the Minutes of Confiscation.  The difference is that there must be a signature from the party authorized to provide the electronic device.

 3. Chain of Custody (CoC) where the CoC must contain the conditions for the discovery of electronic evidence, a complete description of the electronic device, the results of the integrity verification, the preservation process, the acquisition process, the analysis process, and the expert who did it.

 4. Forensic Expert Report:

 • Authentication and integrity of electronic evidence can be checked by verifying data integrity such as matching message digests, hashing verification, checking mobile phone confirmation numbers with usernames, and checking registry.

 • If the hashing value cannot be verified and/or the value is different, the Judge must ensure that there is a documented justification in the report.

Material requirements on documents and Electronic Information:

 1. Chain of Custody (CoC) where if needed, the Judge can check the relevant requirements and the adequacy of electronic evidence from the CoC.  Among other things, by tracing all actions taken against electronic evidence and other information written in the CoC such as physical completeness (cables, interfaces) and logical completeness (accounts, passwords, applications).

 2. Forensic Expert’s report on electronic evidence must be checked for relevance and reliability of the transcript, reconstruction and chronology of events listed in the forensic report.

 Referring to international standard regulations, namely the Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence issued by the Association of Chief Police Officers (ACPO), which is an association of police leaders in the UK in collaboration with 7Safe by giving birth to 4 basic principles for handling electronic evidence, namely  :

1. Data Integrity

 Electronic Evidence has characteristics that are very vulnerable because it is easily manipulated, deleted, duplicated, or disseminated so that it requires special handling so that the data and information contained in electronic devices are maintained in their integrity.

 Every action taken on electronic evidence, must not change or damage the data stored in it.  Proving that data integrity is maintained, among others, by performing: Hash Verification, Documentation of all actions against electronic evidence, and the use of write blockers when acquiring electronic evidence.

 2. Conducted by competent personnel

 Competent personnel are personnel who are trained to handle electronic evidence, are competent, and are able to provide explanations for every decision taken in the process of handling electronic evidence.

 3. Audit Trail / Chain of Custody (Coc) / Minutes

 That every action in the electronic evidence handling procedure from start to finish must be documented, maintained and can be evaluated by other parties including judges.  This can prove that every action against electronic evidence can be accounted for.

 4. Legal Compliance and Legislation.

 Must be embedded in the application of all principles at every stage of handling electronic evidence, every personnel responsible for electronic evidence, must ensure that the process takes place in accordance with applicable laws and regulations in accordance with the relevant legal jurisdiction.

 These 4 principles must be maintained from the time the electronic evidence is found until it is presented in court.

Process for handling electronic evidence:

 1. Identification

 According to ISO / SNI 27037 in the identification stage, it consists of the following activities:

 a.  Identification

 Personnel identify what data has the potential to become evidence, and determine several considerations for first handling in the field, including, area security, devices that have the potential to be found electronic evidence, what forensic devices must be prepared, and what acquisition procedures are used, and what potential risks.  that can happen.

 b.  Collection & Acquisition

 When carrying out the collection and acquisition of forensic equipment must comply with regulations governing the provisions of devices and software, collection procedures for electronic evidence must be carried out appropriately according to the circumstances and status of the equipment when it was confiscated.

 c.  Preservation (data security)

 Personnel must ensure that potential data containing evidence is not damaged or altered by humidity, magnetic fields, temperature, dust or shock.  Devices containing electronic evidence must be packaged properly and securely.

2. Examination

 In this stage, the data contained in the electronic device is copied identically or imaging, this process produces identical data as contained in the original electronic device called an image file.  The image file is made in 2 copies, namely the master copy and working copy, the master copy and the original device must be kept intact and may not be accessed by anyone until they are presented in court.  While the working copy is used by the data examiner to be examined, processed and analyzed in order to find information data related to the case.

 3. Analysis

 Conducted by an analyst on the data that has been taken to look for evidence supporting the case.

 4. Reporting

 The entire series of stages of handling electronic evidence along with the final results of electronic evidence that will be presented at the trial must be recorded in the report on the results of the forensic examination, this report must be included in the case file.

The judge must be able to examine the fulfillment of formal requirements and material requirements, so that they can be confident in deciding cases at trial, formal requirements that the evidence is obtained legally, material requirements that the evidence is relevant to the arguments to be proven.

 Although Electronic Evidence according to Article 5 paragraph (1) of the ITE Law is recognized for its validity as Evidence, but in its application, law enforcement does not necessarily take electronic evidence as evidence at trial, related to the nature of electronic evidence stored in electronic devices, which is easily damaged.  , easy to move and easy to duplicate.  Therefore, if data that stores information that is very personal and must be used in court evidence, then there must be protection of electronic data so that the data is not damaged and is not disseminated.

 Handling of electronic data by law enforcement must be in accordance with applicable law, may not be taken and transferred without going through a series of procedures and with the correct digital forensic method.  In principle, in examining electronic evidence at trial the judge must ensure that the contents or data of the electronic device remain intact and unchanged, the information in it comes from sources claimed by the parties, the information is accurate and obtained through legal procedures, the information is assessed for conformity with  other evidence.


REFERENSI :

  1. Dimas Hutomo, S.H., “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana”,(https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana-lt5c4ac8398c012 , diakses pada tanggal 2 Febuari 2022)
  2. Happy Try Sulistiyono, S.H., M.H. , Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, “Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan”, Varia Peradilan Edisi Digital 1, Ikatan Hakim Indonesia Varia Peradilan, 2020, (https://www.varia-peradilan.id/articles/read/7/prosedur-autentifikasi-alat-bukti-elektronik-pada-pemeriksaan-persidangan , diakses pada 3 Febuari 2022)
  3. Eka Fitri Hidayati, Pengadilan Agama Kotabumi, https://pa-kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel-makalah/1037-keabsahan-pembuktian-elektronik-dalam-persidangan-perdata-di-pengadilan-agama.html#:~:text=Dalam%20Pasal%205%20ayat%20(1,yang%20diatur%20dalam%20UU%20ITE, diakses pada tanggal 3 Febuari 2022)
0

Sanksi Terhadap Pelanggaran Paten Perusahaan Telefon Genggam

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Sebuah perusahaan telefon genggam akan selalu memiliki kaitan dengan teknologi, sebuah teknologi yang diciptakan oleh perusahaan telefon genggam tersebut yang berbentuk  komponen atau fitur apabila ingin digunakan oleh perusahaan telefon genggam lainnya, maka harus melalui persetujuan pemilik hak paten tersebut, dan harus disetujui melalui suatu perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak.

         Apabila terdapat teknologi yang telah menjadi hak paten dari sebuah perusahaan telefon genggam yang dipakai oleh perusahaan lainnya dengan sengaja dan tanpa hak serta tanpa melalui persetujuan pemilik hak paten teknologi tersebut atau penggunaan paten tanpa lisensi, maka terdapat perlindungan hukum bagi pemilik hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten).

         Hak-hak pemegang paten diatur dalam Pasal 19 UU Paten ,yaitu:

Pasal 19

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
    • Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
    • dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi pelindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.”[1]

         Selain hak-hak yang diatur dalam Pasal 19 UU Paten, pemegang Paten juga memiliki hak untuk memberikan lisensi kepada Pihak ketiga. Hal ini diatur dalam Pasal 76 UU Paten yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 76

  • Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
  •  Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup semua atau sebagian perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”[2]

Dalam hal penyelesaian sengketa terkait dengan penggunaan teknologi tanpa hak pemilik paten, mengacu kepada Pasal 143 UU Paten yang berbunyi:

Pasal 143

(1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).

(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima jika produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi paten. “[3]

Undang-Undang Paten secara khusus mengatur lebih untuk melindungi hak-hak pemegang paten, yakni dengan mengatur perbuatan yang dilarang. Pasal 160 UU Paten mengatur perbuatan yang dilarang sebagai berikut:

Pasal 160

Setiap orang tanpa persetujuan pemegang Paten dilarang :

  1. Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten; dan/atau
  2. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”[4]

Sehingga jika terdapat Pihak yang membuat barang berdasarkan suatu invensi yang telah dipatenkan tanpa sepersetujuan pemegang Paten, maka Pihak tersebut dikategorikan telah melakukan perbuatan yang dilarang. Terhadap Pihak yang melakukan hal tersebut dapat dikenakan sanksi berupa sanksi pidana. Ketentuan mengenai sanksi ini termuat dalam Pasal 161 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

         Sehingga, sanksi perdata berupa denda atau ganti rugi dapat diterapkan kepada pihak yang memakai/menggunakan invensi atau suatu teknologi tanpa persetujuan pemegang paten, selain itu pemegang paten dapat menuntut sanksi pidana berupa pidana penjara atau pidana denda kepada pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak serta tanpa persetujuan menggunakan suatu teknologi paten milik perusahaan telefon genggam pemegang paten.


[1] Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[3] Pasal 143 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[4] Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[5] Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

1 2 3 4
Translate