0

Tindakan Mengunggah Dokumen Elektronik Pribadi Tanpa Izin Pemilik

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal basis:

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

         Pada era digital ini semua hal dapat kita akses melalui internet, semua hal dapat kita unggah ke internet ataupun kita unduh dari internet, akan tetapi apabila muatan yang akan kita unggah berkaitan dengan orang lain, atau dokumen yang akan kita unggah merupakan milik orang lain, kita harus meminta izin kepada pemilik dokumen tersebut. Adapun hal-hal yang termasuk dalam Dokumen Elektronik yang tercantum dalam pengertiannya menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[1]

         Tindakan mengunggah dokumen elektronik tanpa izin dari pemilik dokumen tersebut dilarang melalui penjelasan Pasal 32 UU ITE, yang berunyi:

Pasal 32

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
  • Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.[2]

         Terlebih pada pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE juga mengatur apabila dokumen elektronik yang diunggah  memiliki muatan yang berisi penghinaan , pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, yang berbunyi:


Pasal 27

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”[3]

         Pihak yang melakukan pengunggahan dokumen elektronik tanpa izin tersebut dapat dikenai dengan sanksi pidana serta denda, dalam hal melanggar Pasal 32 UU ITE, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak tersebut mengacu pada Pasal 48 UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 48

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[4]

         Bagi Pihak yang melakukan pengunggahan disertai dengan muatan yang berisi penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman pada dokumen elektronik tersebut, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) , maka sanksi terhadap tindakan tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:

Pasal 45

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

Sehingga, apabila ingin mengunggahsuatu dokumen elektronik ke internet, dan dokumen elektronik tersebut bukan milik anda, maka anda harus meminta izin kepada pemilik dokumen elektronik tersebut, hal ini harus dilakukan untuk memenuhi ketentuan privasi terhadap kepemiliki dokumen pribadi seseorang, sekaligus menghindari sanksi pidana berupa pidana penjara serta denda yang akan diberikan kepada pelaku tindakan pengunggahan dokumen elektronik tanpa seizin pemilik dokumen.


[1] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[2] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[4] Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[5] Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0

Aspek Pengawasan NFT menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang

Token yang tidak dapat ditukar atau yang lebih dikenal sebagai non-fungible token (NFT) merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis yang menunjukkan adanya kepemilikan digital terhadap suatu objek digital. Kode elektronis ini didapat dari objek digital, yang pada umumnya berupa gambar digital, cuitan, maupun bangunan atau tanah virtual. Keunikan tersebut yang membuat token tidak dapat diperoleh melalui transaksi pertukaran, sehingga token tersebut hanya dapat diperoleh melalui transaksi jual beli melalui mata uang kripto.

Memasuki akhir tahun 2021, NFT kemudian semakin diginakan oleh masyarakat. Berbagai NFT kemudian mulai dipasarkan dalam pasar khusus NFT, baik yang dikelola oleh pelaku usaha luar negeri maupun pelaku usaha dalam negeri. Namun, dalam memasarkan gambar digital sebagai NFT tersebut, terdapat permasalahan yang muncul. Objek NFT diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, foto yang diambil dari sosial media tanpa seizin pemilik foto tersebut, Atau contoh lainnya berupa gambar tidak senonoh yang melanggar kesusilaan. Selain itu, adanya gambar yang memuat identitas seperti foto Kartu Tanda Penduduk seseorang. Beragam contoh tersebut menunjukkan bahwa transaksi NFT haruslah memiliki pengawasan dari peraturan perundang-undangan.

Karena NFT pada dasarnya merupakan data elektronik, maka NFT menjadi objek dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (UU 19/2016  ITE) beserta peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019 PSTE).

Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan Pasal 1 angka 1 PP 71/2019 mengatur mengenai Informasi Elektronik sebagai:[1]

“…satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

NFT pada dasarnya merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis, maka NFT dapat diklasifikan sebagai Informasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada UU 19/2016 dan PP 71/2019.

Yang menyelenggarakan perdagangan NFT adalah pasar khusus NFT. Jika dilihat kepada PP 71/2019, maka pasar khusus NFT dapat diklasifikasikan sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik, sebagaimana Pasal 1 angka 4 PP 71/2019 berbunyi:

“Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluain dirinya dan/atau keperluan pihak lain.”

Sebagai akibat dari hal tersebut, maka kepada pasar khusus NFT dibebankan hak dan kewajiban sebagaimana termuat dalam PP 71/2019. Salah satu contoh kewajiban yang diatur dalam PP 71/2019 adalah kewajiban untuk memastikan bahwa sistemnya tidak memuat NFT yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adapun secara lengkap, kewajiban tersebut termuat dalam Pasal 5 PP 71/2019 , yang berbunyi sebagai berikut

“Pasal 5

  • Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Penyelenggara Sistem Elekronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Ketentuan mengenai kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.[2]

Pasar khusus NFT juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan penghapusan terhadap NFT yang memuat data pribadi seseorang. Kewajiban ini timbul jika adanya permintaan dari orang yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada Pasal 15 PP 71/2019, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 15

  • Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersanglmtan.
  • Kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
    • penghapusan (right to erasure); dan
    • pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delistingl.
  • Penyelenggara Sistem Elektronik yang wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Sistem Elektronik yang memperoleh dan/atau memproses Data Pribadi di bawah kendalinya.”[3]

Adapun alasan dari permintaan penghapusan tersebut dijabarkan dalam Pasal 16 ayat (1) PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan penghapusan (right to erasure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a terdiri atas Data Pribadi yang:
    • diperoleh dan diproses tanpa persetujuan pemilik Data Pribadi;
    • telah ditarik persetujuannya oleh pemilik Data Pribadi;
    • diperoleh dan diproses dengan cara melawan hukum;
    • sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan perolehan berdasarkan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ;
    • penggunaannya telah melampaui waktu sesuai dengan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ; dan / atau
    • ditampilkan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik Data Pribadi.”[4]

Mengingat banyak kasus yang terjadi bahwa NFT yang ada berisikan data pribadi dan privasi yang mana diunggah oleh pihak ketiga tanpa sepersetujuan pemilik data pribadi, maka pasar khusus NFT harus memberikan perlindungan kepada pemilik data pribadi yang bersangkutan dengan berupa melakukan penghapusan apabila pemilik data pribadi tersebut meminta agar gambar berisi data pribadinya untuk dihapus dari platform pasar khusus NFT.

Jika pasar khusus NFT tidak melaksanakan kewajibannya baik memastikan bahwa sistemnya tidak berisikan NFT yang melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 5 PP 71/2019 maupun tidak melindungi data pribadi dengan menghapus NFT berisi data pribadi tersebut atas permintaan pemilik data pribadi sebagaimana ketentuan dari Pasal 15 ayat (1) PP 71/2019, maka terdapat sanksi yang dapat dikenakan kepada PP 71/2019. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 100 PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100

  • Pelanggaran terhadap ketentuanPasal 5 ayat (1) dan ayat (2), … Pasal 15 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
  •  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    • teguran tertulis;
    • denda administratif;
    • penghentian sementara;
    • pemutusan Akses; dan/atau
    • dikeluarkan dari daftar.
  • Sanksi administratif diberikan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan melalui koordinasi dengan pimpinan Kementerian atau Lembaga terkait.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapuskan tanggung jawab pidana dan perdata.[5]

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

[1] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan PP PSTE

[2] Pasal 5 PP PSTE

[3] Pasal 15 PP PSTE

[4] Pasal 16 ayat (1) PP PSTE

[5] Pasal 100 PP PTSE

Translate