0

PENERAPAN PERCEPATAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Author : Ananta Mahatyanto
Co – Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

REFERENSI :

  1. Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)
  2. Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

            Indonesia memiliki Keindahan Alam yang diakui oleh dunia, dimana kekayaan alam di Indonesia sangat banyak dan beragam, hal ini juga dapat kita lihat pada banyaknya turis yang datang ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam di Indonesia. Oleh sebab itu, Industri Pariwisata merupakan salah satu industri yang penting untuk dikembangkan di Indonesia, akan tetapi Pengembangan Industri Pariwisata tersebut harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap lingkungan di Indonesia itu sendiri.

            Pemerintah menyadari bahwa industri pariwisata harus dilaksanakan sejalan dengan perlindungan terhadap lingkungan, selain itu terdapat pertimbangan mengenai pengelolaan tentang pariwisata, budaya dan manfaat sosial dan ekonomi yang terdapat pada Industri Pariwisata itu sendiri, oleh sebab itu pada tahun 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenpar 14/2016) yang sudah dicabut dengan  terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenparekraf 9/2021).

            Gagasan atau Ide mengenai Percepatan Pariwisata Berkelanjutan diterapkan melalui pembaharuan Peraturan terkait ide tersebut melalui diterbitkannya Permenparekraf 9/2021, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah untuk mewujudkan Pengembangan Industri Pariwisata yang berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev), dimana STDev tersebut meliputi Sustainable Tourism Destination (STD), Sustainable Tourism Observatory(STO), Sustainable Tourism Certification(STC), Sustainable Tourism Industry(STI), serta Sustainable Tourism Marketing & Management(STM).[1]

            Sebelumnya, Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Lembaga Akreditasi kuasi pemerintah yang dibentuk melalui surat Keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Nomor Km. 143/Kd.00/Menpar/2019, Tentang Dewan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council) atau biasa disebut dengan ISTC.[2]

            ISTC itu sendiri mempunyai tugas dan fungsi dalam hal mendukung dan mengadvokasi penerapan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu ISTC melakukan regulasi, memfasilitasi juga melakukan pendampingan agar destinasi-destinasi wisata sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pelaksanaannya dengan melakukan asesmen, memberikan award kepada destinasi yang berhasil menerapkan standar pariwisata berkelanjutan.[3]

            Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan dalam Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Permenparekraf 9/2021, yang berbunyi:

“ Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. “ [4]

Area yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan berkelanjutan ada 4 pilar. Pertama adalah pengelolaan yang berkelanjutan seperti bisnis pariwisata, kedua ekonomi berkelanjutan atau sosial ekonomi jangka panjang. Ketiga adalah keberlanjutan budaya agar terus dikembangkan tetapi tetap dijaga. Dan keempat adalah keberlanjutan aspek lingkungan. [5]

            4 pilar tersebut dijelaskan melalui Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021. Kriteria Destinasi tersebut dijabarkan dalam Huruf A sampai Huruf D Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021 sebagai berikut:[6]

  1. Pengelolaan Berkelanjutan
  2. Struktur dan Kerangka Pengelolaan
  3. Tanggung jawab pengelolaan destinasi
  4. Strategi dan rencana aksi pengelolaan destinasi
  5. Monitoring dan Pelaporan
  6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
  7. Pelibatan badan usaha dan standar keberlanjutan
  8. Pelibatan dan umpan-balik dari penduduk setempat
  9. Pelibatan dan umban-balik dari pengunjung
  10. Promosi dan Informasi
  11. Mengelola Tekanan dan Perubahan
  12. Mengelola jumlah dan kegiatan pengunjung
  13. Perencanaan peraturan dan pengendalian pembangunan
  14. Adaptasi perubahan iklim
  15. Pengelolaan risiko dan krisis
  • Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi
  • Memberi manfaat ekonomi lokal
  • Mengukur kontribusi ekonomi pariwisata
  • Peluang kerja dan karir
  • Menyokong kewirausahaan lokal dan perdagangan yang berkeadilan
  • Kesejahteraan dan dampak sosial
  • Dukungan dari masyarakat
  • Pencegahan eksploitasi dan diskriminasi
  • Hak kepemilikan dan pengguna
  • Keselamatan dan keamanan
  • Akses untuk semua
  • Keberlanjutan Budaya
  • Melindungi Warisan Budaya
  • Perlindungan aset budaya
  • Artefak Budaya
  • Warisan Tak Benda
  • Akses Tradisional
  • Hak Kekayaan Intelektual
  • Mengunjungi Situs Budaya
  • Pengelolaan pengunjung pada situs budaya
  • Interpretasi situs
  • Keberlanjutan Lingkungan
  • Konservasi Warisan Alam
  • Perlindungan lingkungan sensitif
  • Pengelolaan pengunjung pada situs alam
  • Interaksi dengan kehidupan liar
  • Eksploitasi spesies dan kesejahteraan satwa
  • Pengelolaan Sumberdaya
  • Konservasi energi
  • Penatalayanan air
  • Kualitas air
  • Pengelolaan limbah dan emisi
  • Air limbah
  • Limbah padat
  • Emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim
  • Transportasi berdampak rendah
  • Pencemaran cahaya dan kebisingan

Kriteria Destinasi Pariwisata tersebut diperjelas melalui terdapatnya Kriteria yang menjadi dasar penilaian atau penetapan pada standar destinasi pariwisata berkelanjutan, Sub Kriteria yang merupakan turunan dari kriteria dan memberikan detil pengelompokan dari indikator, Indikator yang merupakan sesuatu yang memperjelas dan dapat memberi petunjuk atau keterangan dari kriteria , serta Bukti Pendukung yang merupakan sesuatu yang menyatakan suatu kebenaran peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda baik berupa softcopyatau hardcopy.

            Terkait dengan Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, didasari pada Kriteria Destinasi Pariwisata yang harus terpenuhi sebelumnya sebagai pedoman Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri. Sehingga, Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri dapat mewujudkan keempat pilar yaitu Pengelolaan Berkelanjutan, Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi, Keberlanjutan Budaya serta Keberlanjutan Lingkungan yang sekaligus menjadi tujuan dari penerapan percepatan pariwisata berkelanjutan di Indonesia itu sendiri.


[1]Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[2]Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[3]Op. Cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[4]Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

[5]Op.cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[6]Bab II Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

0

Pengaturan Kendaraan Listrik di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Bernando & Andreas Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan
  2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

Kendaraan Listrik pada dasarnya adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik, menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai atau tempat penyimpan energi lainnya, berbeda dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang secara langsung berdampak pada peningkatan polusi udara, kendaraan listrik memiliki potensi yang besar untuk mengurangi polusi karena sifat dari pengisian daya yang berbentuk listrik bersifat ramah lingkungan.

Pengertian dari Kendaraan Listrik itu sendiri diatur dalam Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019), dimana Pasal 1 Angka 3 Perpres 55/2019 menyatakan sebagai berikut:

Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.[1]

          Adapun pengertian Motor listrik sebagai mesin penggerak dari kendaraan listrik, serta Baterai sebagai media penyimpanan daya pada kendaraan listrik, dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 2 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Motor Listrik adalah peralatan elektromekanik yang mengonsumsi tenaga listrik untuk menghasilkan energi mekanik sebagai penggerak.
  2. Baterai atau Media Penyimpanan Energi Listrik yang selanjutnya disebut Baterai adalah sumber listrik yang digunakan untuk memberi pasokan energi listrik pada Motor Listrik.[2]

Kendaraan bermotor listrik tersebut merupakan salah satu inovasi dengan tujuan untuk peningkatan industri transportasi yang ramah lingkungan dan untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan peraturan yang mendasari mengenai program kendaraan bermotor listrik di Indonesia. Perpres 55/2019 tersebut menjadi payung hukum terhadap kendaraan bermotor listrik di Indonesia, melihat pada bagian menimbang huruf a Perpres 55/2019, peraturan mengenai kendaraan bermotor listrik ini pada dasarnya dibuat untuk peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, dan terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan, serta komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca, perlu mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.[3]

Selanjutnya, Perpres 55/2019 membahas tentang percepatan pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai yang mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional , dimana hal ini dibahas oleh forum tim koordinasi percepatan program kendaraan bermotor listrik Indonesia.[4]

Kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dilakukan melalui kegiatan industri baik industri kendaraan bermotor listrik itu sendiri, maupun industri komponen dari kendaraan bermotor listrik tersebut, dimana perusahaan industri yang memiliki kegiatan usaha di bidang kendaraan bermotor listrik tersebut harus memiliki izin usaha industri dan fasilitas manufaktur, dimana perusahaan industri tersebut harus membangun fasilitas manufaktur kendaraan bermotor listrik di Indonesia.[5]

Industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai di Indonesia merupakan salah satu industri yang baru, sehingga mengenai penelitian, pengembangan, dan inovasi industri mengenai inovasi teknologi pada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia dapat dilakukan oleh Perusahaan Industri, Perguruan Tinggi, dan/atau lembaga penelitian yang dapat bersinergi dengan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah.[6]

Penerapan industri transportasi yang ramah lingkungan diwujudkan melalui dorongan pemerintah untuk menggunakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, dimana pemerintah juga sekaligus melakukan pengendalian terhadap penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil dalam negeri, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 16

  • Dalam rangka percepatan penggunaan KBL Berbasis Baterai, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap.
  • Pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap dilakukan berdasarkan peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.[7]

Terkait dengan motor listrik yang energinya digerakan oleh media baterai, pengisian energi listrik untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai juga diatur di dalam Pasal 22 Perpres 55/2019 dimana pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan oleh pengguna Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai pada Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), yang berbunyi:

Pasal 22

  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai meliputi:
  • fasilitas pengisian ulang (charging) paling sedikit terdiri atas:
  • peralatan Catu Daya Listrik;
  • sistem kontrol arus, tegangan, dan komunikasi; dan
  • sistem proteksi dan keamanan; dan/atau
  • fasiiitas penukaran Baterai.
  • Pengisian ulang (charging) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan pada instalasi listrik privat dan/atau SPKLU.
  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyediaan infrastruktrur yang dijelaskan Pasal 22 Perpres 55/2019 tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, dimana pelaksanaan tersebut dilaksanakan bersama dengan penyedia jasa kelistrikan di Indonesia yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN).[9]

          Sehingga, melalui terbitnya Perpres 55/2019 yang menjadi payung hukum kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia, pemerintah memiliki program untuk mewujudkan iklim transportasi di Indonesia yang ramah lingkungan, serta mengurangi bahan bakar fosil secara bertahap, selain itu percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai tersebut juga didukung dengan infrastruktur yakni fasilitas pengisian daya baterai melalui Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Industri Kendaraan Bermotor Listrik di Indonesia harus memiliki izin sebelum melakukan kegiatan usaha dimana harus memiliki fasilitas manufaktur yang didirikan di Indonesia, dan mengenai penelitian, pengembangan mengenai inovasi teknologi terhadap industri kendaraan bermotor listrik yang cenderung baru ini dapat dilakukan oleh berbagai macam pihak seperti Perusahaan, Perguruan Tinggi, serta lembaga penilitian yang bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat polusi udara di Indonesia sekaligus menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan transportasi yang ramah lingkungan.


[1] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[2] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[3] Bagian menimbang huruf a Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[4] Pasal 4 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[5] Pasal 5 jo. Pasal 6 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[6] Pasal 7 ayat (1) & ayat (2) Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[7] Pasal 16 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[8] Pasal 22 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[9] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

0

1 DAY TRAINING CLASS: TRADEMARK

Sabtu, 26 Februari 2022

Pelajari tujuan merek dagang, proses pendaftarannya, tujuannya dalam bisnis, dan perselisihan yang mungkin timbul darinya

Kontak: +62 877 7776 1447 (Afina)

Registrasi

Link: https://bit.ly/AfiaandcoTrademarkClass

Tanggal pendaftaran: 14 Januari 2022 – 24 Februari 2022

Biaya pendaftaran kelas & modul:

BCA 2940950832 a/n Aprilia Purwanto

Umum: IDR 1,250,000
Mahasiswa: IDR 650,000

Rundown

(09:00 – 10.30) Ananta Mahatyanto, S.H – Attorney at Afia & Co Attorneys

  • Pelajari tujuan merek dagang
  • Proses pendaftarannya
  • Tujuannya dalam bisnis
  • Perselisihan yang mungkin timbul darinya

(10:30 – 12:00) Raden Ayumas Zisni, S.H – Asisten Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Biokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

  • Pencegahan penolakan merek
  • Lisensi & izin terkait merek
  • Branding merek

(13:00 – 14:30) Rizki Haryo Kusumo, S.H – Partner at Afia & Co Attorneys

  • Merek dalam bisnis
  • Agreement, Kerjasama & Investment merek

(14:30 – 16:00) Nirma Afianita, S.H., CTL – Managing Partner at Afia & Co Attorneys

  • Perselisihan merek
  • Penyelesaian sengketa merek

0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0

Sanksi Terhadap Shooting Film yang Tidak Memiliki Izin

Monday, 3rd January 2022

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Joshua Bernando

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial, maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum. Seperti contoh, apabila pelaku usaha perfilman ingin melakukan usaha pembuatan film, melalui proses shooting film dan penyiaran, maka harus melakukan proses perizinan dan mendapatkan izin dari pihak yang mempunyai kewenangan dalam hal tersebut.

Memperoleh izin tersebut harus mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku, dan izin tersebut harus sudah didapatkan sebelum shooting dilaksanakan. Izin biasanya diperlukan apabila pelaku usaha film menggunakan tempat umum, dan bukti pemberian izin oleh pihak yang berwenang biasanya berbentuk surat yang berisi perihal dan tanda tangan oleh pihak yang berwenang (dalam bentuk tulisan).

Selain itu, permintaan izin juga merupakan bagian dari etika yang berkaitan dengan moral, dimana etika merupakan unsur yang diterapkan dalam kode etik profesi pelaku usaha perfilman memiliki kode etik yang harus dipatuhi.

Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menjelaskan bahwa pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film dalam hal ini harus didahului menyampaikan pemberitahuan film kepada Menteri, dengan disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Serta dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1) & ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa Pelaku Usaha pembuatan film yang akan membuat film wajib memiliki Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF) dimana TPPF tersebut harus meliputi : 

  1. nama pemilik hak cipta atas film yang dibuat; 
  2. judul film; 
  3. isi cerita/sinopsis dalam bahasa Indonesia; 
  4. nama produser, sutradara, dan penulis; dan 
  5. jadwal dan lokasi pembuatan film. [2]

Apabila tidak terpenuhinya izin lokasi atau izin tidak diberikan oleh pihak yang berwenang pada tempat/lokasi tersebut, maka dapat dikatakan tidak terpenuhinya syarat untuk memperoleh izin pembuatan film melalui Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF).

Selain itu, mengacu pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan, dinyatakan bahwa: 

“ Pasal 6

  • Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif. 
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    • teguran tertulis; 
    • denda administratif; 
    • penutupan sementara; 
    • pengenaan daya paksa polisional; dan/atau 
    • pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha. [3]

Pada Pasal 5 jo. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Yang dimaksud menjunjung tinggi adalah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.

Terkait dengan proses shooting izin dan terdapat pelanggaran etika dan moral yang dilakukan oleh rumah produksi, maka film tersebut tidak boleh ditayangkan atau disiarkan terkait dengan pelanggaran kode etik penyiaran yang harus dipatuhi oleh stasiun televisi, tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran : 

“(1) Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan etika profesi yang dimiliki oleh profesi tertentu yang ditampilkan dalam isi siaran agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif di masyarakat.”[4]

 Berkaitan dengan kewenangan KPI pada Pasal 8 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjelaskan bahwa KPI dalam menjalankan fungsinya mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program penyiaran. [5]

Pemenuhan syarat dalam perizinan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pelaku usaha perfilman, perlu dilakukan untuk dalam hal melaksanakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi, pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi yang bersifat administratif hingga pembubaran/pencabutan perizinan berusaha.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
  4. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan
  5. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Legal Basis: Law Number 33 of 2009 concerning Film

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government. The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection. For example, if a film business actor wants to do a film-making business, through the film shooting and broadcasting process, then they must carry out a licensing process and get permission from the party who has the authority in this regard.

Obtaining the permit must follow the applicable procedures, and the permit must be obtained before shooting is carried out. Permits are usually required if the film business actor uses a public place, and evidence of granting a permit by the competent authority is usually in the form of a letter containing the subject matter and signature by the authorized party (in writing).

Aside from that, the request for permission is also part of ethics related to morals, where ethics is an element that is applied in the professional code of ethics for film business actors who have a code of ethics that must be obeyed.

Referring to Article 17 paragraph (1) of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that filmmaking by film-making business actors in this case must be preceded by submitting a film notification to the Minister, accompanied by the title of the film, the content of the story, and the plan for making the film. As well as explained in Article 18 paragraph (1) & paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector, it is explained that filmmaking Business Actors who will make films are required to have a Film Making Notification Sign (TPPF) where the TPPF must include:

  1. the name of the copyright owner for the film made;
  2. movie title;
  3. the content of the story/synopsis in Indonesian;
  4. names of producers, directors and writers; and
  5. filming schedule and location

If the location permit is not fulfilled or the permit is not granted by the competent authority at the place/location, it can be said that the requirements for obtaining a filmmaking permit are not met through the Film Making Notification Sign (TPPF).

Aside from that, referring to Article 6 paragraph (1) and paragraph (2) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector, it is stated that:

” Article 6

  • Every Business Actor, based on the results of Supervision found a discrepancy or violation of the Business Licensing in the cultural sector, is subject to administrative sanctions.
  • The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:
    • written warning; 
    • administrative fines; 
    • temporary closure; 
    • the imposition of police coercion; and/or
    • dissolution or revocation of Business License.“

In Article 5 jo. Elucidation of Article 5 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that film activities and film business are carried out based on freedom to be creative, innovate, and work by upholding religious values, ethics, morals, decency, and national culture. What is meant by upholding is that it must be in line and must not be contradictory.

Related to the shooting permit process and there are ethical and moral violations committed by the production house, the film may not be shown or broadcast related to violations of the broadcasting code of ethics that must be obeyed by television stations, as stated in Article 10 paragraph (1) of the Indonesian Broadcasting Commission Regulation. Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct:

“(1) Broadcasting institutions are required to pay attention to the professional ethics of certain professions that are displayed in broadcast content so as not to harm and cause negative impacts in society.”

In relation to the authority of KPI in Article 8 paragraph (2) letter d of Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting which explains that KPI in carrying out its functions has the authority to provide sanctions for violations of regulations and guidelines for broadcasting behavior as well as broadcasting program standards.

Fulfillment of requirements in licensing a business activity carried out by business actors, in this case film business actors, needs to be carried out in order to carry out legal obligations that must be fulfilled, business actors who do not have permits may be subject to administrative sanctions up to the dissolution/revocation of business licenses.

Legal Basis :

  1. Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting
  2. Law Number 33 of 2009 concerning Film
  3. Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector
  4. Minister of Education Regulation Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector
  5. Regulation of the Indonesian Broadcasting Commission Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct
1 2 3
Translate