0

PENERAPAN PERCEPATAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Author : Ananta Mahatyanto
Co – Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

REFERENSI :

  1. Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)
  2. Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

            Indonesia memiliki Keindahan Alam yang diakui oleh dunia, dimana kekayaan alam di Indonesia sangat banyak dan beragam, hal ini juga dapat kita lihat pada banyaknya turis yang datang ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam di Indonesia. Oleh sebab itu, Industri Pariwisata merupakan salah satu industri yang penting untuk dikembangkan di Indonesia, akan tetapi Pengembangan Industri Pariwisata tersebut harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap lingkungan di Indonesia itu sendiri.

            Pemerintah menyadari bahwa industri pariwisata harus dilaksanakan sejalan dengan perlindungan terhadap lingkungan, selain itu terdapat pertimbangan mengenai pengelolaan tentang pariwisata, budaya dan manfaat sosial dan ekonomi yang terdapat pada Industri Pariwisata itu sendiri, oleh sebab itu pada tahun 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenpar 14/2016) yang sudah dicabut dengan  terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenparekraf 9/2021).

            Gagasan atau Ide mengenai Percepatan Pariwisata Berkelanjutan diterapkan melalui pembaharuan Peraturan terkait ide tersebut melalui diterbitkannya Permenparekraf 9/2021, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah untuk mewujudkan Pengembangan Industri Pariwisata yang berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev), dimana STDev tersebut meliputi Sustainable Tourism Destination (STD), Sustainable Tourism Observatory(STO), Sustainable Tourism Certification(STC), Sustainable Tourism Industry(STI), serta Sustainable Tourism Marketing & Management(STM).[1]

            Sebelumnya, Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Lembaga Akreditasi kuasi pemerintah yang dibentuk melalui surat Keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Nomor Km. 143/Kd.00/Menpar/2019, Tentang Dewan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council) atau biasa disebut dengan ISTC.[2]

            ISTC itu sendiri mempunyai tugas dan fungsi dalam hal mendukung dan mengadvokasi penerapan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu ISTC melakukan regulasi, memfasilitasi juga melakukan pendampingan agar destinasi-destinasi wisata sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pelaksanaannya dengan melakukan asesmen, memberikan award kepada destinasi yang berhasil menerapkan standar pariwisata berkelanjutan.[3]

            Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan dalam Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Permenparekraf 9/2021, yang berbunyi:

“ Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. “ [4]

Area yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan berkelanjutan ada 4 pilar. Pertama adalah pengelolaan yang berkelanjutan seperti bisnis pariwisata, kedua ekonomi berkelanjutan atau sosial ekonomi jangka panjang. Ketiga adalah keberlanjutan budaya agar terus dikembangkan tetapi tetap dijaga. Dan keempat adalah keberlanjutan aspek lingkungan. [5]

            4 pilar tersebut dijelaskan melalui Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021. Kriteria Destinasi tersebut dijabarkan dalam Huruf A sampai Huruf D Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021 sebagai berikut:[6]

  1. Pengelolaan Berkelanjutan
  2. Struktur dan Kerangka Pengelolaan
  3. Tanggung jawab pengelolaan destinasi
  4. Strategi dan rencana aksi pengelolaan destinasi
  5. Monitoring dan Pelaporan
  6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
  7. Pelibatan badan usaha dan standar keberlanjutan
  8. Pelibatan dan umpan-balik dari penduduk setempat
  9. Pelibatan dan umban-balik dari pengunjung
  10. Promosi dan Informasi
  11. Mengelola Tekanan dan Perubahan
  12. Mengelola jumlah dan kegiatan pengunjung
  13. Perencanaan peraturan dan pengendalian pembangunan
  14. Adaptasi perubahan iklim
  15. Pengelolaan risiko dan krisis
  • Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi
  • Memberi manfaat ekonomi lokal
  • Mengukur kontribusi ekonomi pariwisata
  • Peluang kerja dan karir
  • Menyokong kewirausahaan lokal dan perdagangan yang berkeadilan
  • Kesejahteraan dan dampak sosial
  • Dukungan dari masyarakat
  • Pencegahan eksploitasi dan diskriminasi
  • Hak kepemilikan dan pengguna
  • Keselamatan dan keamanan
  • Akses untuk semua
  • Keberlanjutan Budaya
  • Melindungi Warisan Budaya
  • Perlindungan aset budaya
  • Artefak Budaya
  • Warisan Tak Benda
  • Akses Tradisional
  • Hak Kekayaan Intelektual
  • Mengunjungi Situs Budaya
  • Pengelolaan pengunjung pada situs budaya
  • Interpretasi situs
  • Keberlanjutan Lingkungan
  • Konservasi Warisan Alam
  • Perlindungan lingkungan sensitif
  • Pengelolaan pengunjung pada situs alam
  • Interaksi dengan kehidupan liar
  • Eksploitasi spesies dan kesejahteraan satwa
  • Pengelolaan Sumberdaya
  • Konservasi energi
  • Penatalayanan air
  • Kualitas air
  • Pengelolaan limbah dan emisi
  • Air limbah
  • Limbah padat
  • Emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim
  • Transportasi berdampak rendah
  • Pencemaran cahaya dan kebisingan

Kriteria Destinasi Pariwisata tersebut diperjelas melalui terdapatnya Kriteria yang menjadi dasar penilaian atau penetapan pada standar destinasi pariwisata berkelanjutan, Sub Kriteria yang merupakan turunan dari kriteria dan memberikan detil pengelompokan dari indikator, Indikator yang merupakan sesuatu yang memperjelas dan dapat memberi petunjuk atau keterangan dari kriteria , serta Bukti Pendukung yang merupakan sesuatu yang menyatakan suatu kebenaran peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda baik berupa softcopyatau hardcopy.

            Terkait dengan Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, didasari pada Kriteria Destinasi Pariwisata yang harus terpenuhi sebelumnya sebagai pedoman Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri. Sehingga, Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri dapat mewujudkan keempat pilar yaitu Pengelolaan Berkelanjutan, Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi, Keberlanjutan Budaya serta Keberlanjutan Lingkungan yang sekaligus menjadi tujuan dari penerapan percepatan pariwisata berkelanjutan di Indonesia itu sendiri.


[1]Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[2]Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[3]Op. Cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[4]Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

[5]Op.cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[6]Bab II Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

0

Pengaturan Kendaraan Listrik di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Bernando & Andreas Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan
  2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

Kendaraan Listrik pada dasarnya adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik, menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai atau tempat penyimpan energi lainnya, berbeda dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang secara langsung berdampak pada peningkatan polusi udara, kendaraan listrik memiliki potensi yang besar untuk mengurangi polusi karena sifat dari pengisian daya yang berbentuk listrik bersifat ramah lingkungan.

Pengertian dari Kendaraan Listrik itu sendiri diatur dalam Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019), dimana Pasal 1 Angka 3 Perpres 55/2019 menyatakan sebagai berikut:

Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.[1]

          Adapun pengertian Motor listrik sebagai mesin penggerak dari kendaraan listrik, serta Baterai sebagai media penyimpanan daya pada kendaraan listrik, dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 2 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Motor Listrik adalah peralatan elektromekanik yang mengonsumsi tenaga listrik untuk menghasilkan energi mekanik sebagai penggerak.
  2. Baterai atau Media Penyimpanan Energi Listrik yang selanjutnya disebut Baterai adalah sumber listrik yang digunakan untuk memberi pasokan energi listrik pada Motor Listrik.[2]

Kendaraan bermotor listrik tersebut merupakan salah satu inovasi dengan tujuan untuk peningkatan industri transportasi yang ramah lingkungan dan untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan peraturan yang mendasari mengenai program kendaraan bermotor listrik di Indonesia. Perpres 55/2019 tersebut menjadi payung hukum terhadap kendaraan bermotor listrik di Indonesia, melihat pada bagian menimbang huruf a Perpres 55/2019, peraturan mengenai kendaraan bermotor listrik ini pada dasarnya dibuat untuk peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, dan terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan, serta komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca, perlu mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.[3]

Selanjutnya, Perpres 55/2019 membahas tentang percepatan pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai yang mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional , dimana hal ini dibahas oleh forum tim koordinasi percepatan program kendaraan bermotor listrik Indonesia.[4]

Kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dilakukan melalui kegiatan industri baik industri kendaraan bermotor listrik itu sendiri, maupun industri komponen dari kendaraan bermotor listrik tersebut, dimana perusahaan industri yang memiliki kegiatan usaha di bidang kendaraan bermotor listrik tersebut harus memiliki izin usaha industri dan fasilitas manufaktur, dimana perusahaan industri tersebut harus membangun fasilitas manufaktur kendaraan bermotor listrik di Indonesia.[5]

Industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai di Indonesia merupakan salah satu industri yang baru, sehingga mengenai penelitian, pengembangan, dan inovasi industri mengenai inovasi teknologi pada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia dapat dilakukan oleh Perusahaan Industri, Perguruan Tinggi, dan/atau lembaga penelitian yang dapat bersinergi dengan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah.[6]

Penerapan industri transportasi yang ramah lingkungan diwujudkan melalui dorongan pemerintah untuk menggunakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, dimana pemerintah juga sekaligus melakukan pengendalian terhadap penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil dalam negeri, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 16

  • Dalam rangka percepatan penggunaan KBL Berbasis Baterai, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap.
  • Pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap dilakukan berdasarkan peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.[7]

Terkait dengan motor listrik yang energinya digerakan oleh media baterai, pengisian energi listrik untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai juga diatur di dalam Pasal 22 Perpres 55/2019 dimana pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan oleh pengguna Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai pada Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), yang berbunyi:

Pasal 22

  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai meliputi:
  • fasilitas pengisian ulang (charging) paling sedikit terdiri atas:
  • peralatan Catu Daya Listrik;
  • sistem kontrol arus, tegangan, dan komunikasi; dan
  • sistem proteksi dan keamanan; dan/atau
  • fasiiitas penukaran Baterai.
  • Pengisian ulang (charging) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan pada instalasi listrik privat dan/atau SPKLU.
  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyediaan infrastruktrur yang dijelaskan Pasal 22 Perpres 55/2019 tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, dimana pelaksanaan tersebut dilaksanakan bersama dengan penyedia jasa kelistrikan di Indonesia yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN).[9]

          Sehingga, melalui terbitnya Perpres 55/2019 yang menjadi payung hukum kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia, pemerintah memiliki program untuk mewujudkan iklim transportasi di Indonesia yang ramah lingkungan, serta mengurangi bahan bakar fosil secara bertahap, selain itu percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai tersebut juga didukung dengan infrastruktur yakni fasilitas pengisian daya baterai melalui Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Industri Kendaraan Bermotor Listrik di Indonesia harus memiliki izin sebelum melakukan kegiatan usaha dimana harus memiliki fasilitas manufaktur yang didirikan di Indonesia, dan mengenai penelitian, pengembangan mengenai inovasi teknologi terhadap industri kendaraan bermotor listrik yang cenderung baru ini dapat dilakukan oleh berbagai macam pihak seperti Perusahaan, Perguruan Tinggi, serta lembaga penilitian yang bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat polusi udara di Indonesia sekaligus menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan transportasi yang ramah lingkungan.


[1] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[2] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[3] Bagian menimbang huruf a Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[4] Pasal 4 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[5] Pasal 5 jo. Pasal 6 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[6] Pasal 7 ayat (1) & ayat (2) Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[7] Pasal 16 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[8] Pasal 22 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[9] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

0

Regulasi Terkait Pengaturan Restorasi Mangrove di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove

Mangrove atau dikenal sebagai hutan bakau merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat. Selain berguna untuk menahan laju air laut, mangrove diketahui dapat menurunkan emisi karbon 4 – 5 kali lipat daripada hutan hujan di darat. Karena alasan tersebut, Indonesia kemudian menargetkan untuk memulihkan 150.000 hektar kawasan mangrove,[1] dan sekarang sedang mempersiapkan peraturan khusus yang akan mengatur pelaksanaan program restorasi mangrove.[2]

Peraturan yang masih berlaku dalam hal restorasi mangrove saat ini adalah Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (Perpres 120/2020). Perpres 120/2020 menetapkan bahwa restorasi mangrove akan dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut, yang melalui Perpres ini kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Hal ini dimuat dalam bagian menimbang huruf c, yang berbunyi sebagai berikut:

“bahwa Pemerintah telah menetapkan kebijakan pemulihan mangrove di kawasan ekosistem mangrove yang terdegradasi atau kritis melalui percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove oleh Badan Restorasi Gambut;”[3]

Tugas dan fungsi dalam BRGM dalam melaksanakan restorasi mangrove diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 huruf g Perpres 120/2020, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 2

  • BRGM mempunyai tugas:
    • melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove pada areal kerja di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.”[4]

“Pasal 3

Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BRGM menyelenggarakan fungsi:

  • pelaksanaan percepatan rehabilitasi mangrove di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat;[5]

Pelaksanaan restorasi mangrove dilakukan dengan memperhatikan batasan seperti target luasan areal, norma, standar, prosedur dan kriteria. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 Perpres 120/2020, yang secara umum mengatur sebagai berikut:

  1. Luasan areal berupa target luasan 600.000 hektar yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.
  2. Norma, standar, prosedur dan kriteria yang meliputi kegiatan persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pembangunan persemaian modern ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan setelah mendapatkan masukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  3. BRGM melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan, baik sendiri dan/atau bersama-sama dengan direktorat jenderal yang menyelenggarakan fungsi di bidang peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan rehabilitasi hutan di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan serta direktorat jenderal yang menyelenggarakan fungsi di bidang pengelolaan ruang laut di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.[6]

Pasal 6 Perpres 120/2020 menyatakan bahwa BRGM terdiri atas kepala BRGM, sekretariat badan dengan 3 deputi, yakni: Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi, Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan, Deputi Bidang Edukasi dan Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan dan Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat.[7]

Kegiatan restorasi mangrove secara khusus dilakukan oleh Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi. Pasal 9 Perpres 120/2020 mengatur bahwa Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi memiliki tugas untuk melaksanakan penyusunan rencana dan evaluasi percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, deputi ini memiliki fungsi untuk:

  1. Perencanaan teknis percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove
  2. Pengembangan data percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove
  3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi percepatan pelaksanaan rehabilitasi mangrove[8]

Sehingga, kewenangan untuk melaksanakan restorasi dan rehabilitasi mangrove dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang selanjutnya pengaturan mengenai kewenangan pentaruan sekaligus teknis pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi mangrove tersebut diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove yang berisi rencana pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi mangrove.


[1] Indonesia aims to get mangrove restoration back on track in 2022

(https://www.reuters.com/markets/commodities/indonesia-aims-get-mangrove-restoration-back-track-2022-2022-01-20/)

[2] Indonesia prepares regulation to help fund mangrove restoration
(https://www.thejakartapost.com/indonesia/2021/11/21/indonesia-prepares-regulation-to-help-fund-mangrove-restoration.html)

[3] Bagian menimbang huruf c Perpres 120/2020.

[4] Pasal 2 ayat (1) huruf b Perpres 120/2020

[5] Pasal 3 Perpres 120/2020

[6] Pasal 4 Perpres 120/2020

[7] Pasal 6 Perpres 120/2020

[8] Pasal 9 Perpres 120/2020


Referensi :

  1. Indonesia aims to get mangrove restoration back on track in 2022 (https://www.reuters.com/markets/commodities/indonesia-aims-get-mangrove-restoration-back-track-2022-2022-01-20/)
  2. Indonesia prepares regulation to help fund mangrove restoration (https://www.thejakartapost.com/indonesia/2021/11/21/indonesia-prepares-regulation-to-help-fund-mangrove-restoration.html)
0

Kententuan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
  4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021.

Indonesia memiliki banyak sumber daya alam terlebih dalam bentuk Mineral dan Batubara, oleh sebab itu terdapat banyak sekali perusahaan pertambangan di Indonesia, dimana pengertian usaha pertambangan itu sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020), yakni:

Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.[1]

            Terkait dengan sumber daya alam dalam bentuk Mineral dan Batubara dalam usaha pertambangan, Pasal 4 ayat (1) UU 3/2020 menjelaskan bahwa Mineral dan Batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan yang merupakan kekayaan nasional, dimana kekayaan nasional tersebut dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. [2]

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [3]

Selain pertambangan batubara, terdapat pengertian mengenai Mineral dan Pertambangan Mineral pada Pasal 1 Angka 2 jo. Pasal 1 Angka 4 UU 3/2020, yang berbunyi:

Pasal 1

1. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

4. Pertambangan Mineral adalah Pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.[4]

Cakupan jenis mineral logam tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara , yang menyatakan bahwa:

Pasal 2

(1) Pertambangan Mineral dan Batubara dikelompokan ke dalam 5 (lima) golongan sebagai berikut:

(b) Mineral logam meliputi aluminium, antimoni, arsenik, basnasit, bauksit, berilium, bijih besi, bismut, cadrnium, cesium, emas, galena, galium, germanium. hafnium, indium, iridium, khrom, kcbai, kromit, litium, logam tanah jarang, magnesium, mangan, moiibdenum, monasit, nikel, niobium, osmium, pasir besi, palladium, perak, platina, rhodium, ruthenium, selenium, seng, senodm, sinabar, stroniurn, tantalum, telurium, tembaga, timah, titanium, vanadium, wolfram, dan zirkonium;[5]

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial untuk memperoleh keuntungan , maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum.

            Dalam hal perizinan Pertambangan Mineral Logam, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut PP 96/2021), dimana Pada Pasal 6 dan Pasal 7 PP 96/2021 mengatur mengenai dasar perizinan dan prinsip pemberian sertifikat standar dan/atau izin, yang menyatakan bahwa:

Pasal 6

  1. Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah pusat.
  2. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:
    • nomor induk berusaha;
    • sertifikat standar; dan/atau
    • izin.
  3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (21) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. lzin sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas: IUP; IUPK; IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak / perjanjian; IPR; SIPB; Izin penugasan; Izin Pengangkutan dan penjualan; IUJP; dan IUP untuk Penjualan
  5. Perizinan Berusaha dalam bentuk pemberian sertifikat standar dan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah provinsi berdasarkan prinsip:
    • Efektivitas;
  6. Efisiensi;
  7. Akuntabilitas; dan
  8. Eksternalitas.

Pasal 7

Selain berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), pendelegasian kewenangan pemberian sertifikat standar dan izin harus mempertimbangkan sifat strategis komoditas Pertambangan untuk:

  1. Penyediaan bahan baku industri dalam negeri; dan/atau
  2. Penyediaan energi dalam negeri. “[6]

Sehingga, dalam pemberian sertifikat standar dan izin berusaha yang merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri, didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi yakni kepala daerah yaitu Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Selanjutnya, yang dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 96/2021, yang berbunyi:

Pasal 9

(1) IUP diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:

a. Badan Usaha;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan perseorangan.[7]

Adapun Badan Usaha yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) PP 96/2021 didefinisikan dalam Pasal 1 angka 28 PP 96/2021 sebagai berikut:

“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang Pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Kemudian, tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam diatur dalam Pasal 16 PP 96/2021, yang berbunyi:

IUP diperoleh melalui tahapan:

a. Pemberian WIUP ; dan

b. Pemberian IUP. “[8]

Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam yang diperoleh dengan cara lelang, diatur dalam Pasal 17 ayat (3), yang berbunyi:

Pasal 17

  • WIUP Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hunrf c diperoleh dengan cara lelang.[9]

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021 (Permen ESDM 7/2020), Direktur Jenderal menyiapkan WIUP Mineral Logam yang telah ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan hasil koordinasi dengan Bupati/Walikota dengan cara lelang kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Perseorangan. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam didasarkan pada Data dan Informasi yang berasal dari :[10]

  1. Hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya;
  2. Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang dikembalikan atau diciutkan oleh Pemegang IUP; dan/atau
  3. Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang IUP-nya berakhir atau dicabut.

Terdapat 2 tahap kegiatan Pemberian IUP dimana hal ini diatur dalam Pasal 28 PP 96/2021, yakni:

  1. Eksplorasi, dimana dalam tahap ini terdiri atas:
  2. Penyelidikan Umum;
  3. Eksplorasi; dan
  4. Studi Kelayakan.
  5. Operasi Produksi, dimana dalam tahap ini terdiri atas:
  6. Konstruksi;
  7. Penambangan;
  8. Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan; dan
  9. Pengangkutan dan Penjualan.[11]

Di dalam UU 3/2020 Terkait dengan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mengatur tentang Eksplorasi mineral logam WIUP diberikan dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 Sementara, untuk pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUPKdengan luas paling banyak 25.000 hektare.[12]

Pemberian IUP dijelaskan pada Pasal 32 PP 96/2021, yang menyatakan bahwa:

IUP diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi, perusahaan Perseorangan setelah memenuhi persyaratan :

  1. Administratif
  2. Teknis;
  3. Lingkungan; dan
  4. Finansial. [13]

Izin Usaha Eksplorasi, diberikan ketika hendak melakukan tahapan kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan. Sesuai Pasal 37 Permen ESDM 7/2020, IUP Eksplorasi diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila WIUP-nya:
    • Berada pada lintas daerah provinsi;
    • Berada pada wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; atau
    • Berbatasan langsung dengan negara lain; atau
  2. Gubernur, apabila WIUP-nya berada:
    • Dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
    • Pada wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
    • Khusus untuk gubernur, dalam hal wilayah laut antar dua daerah provinsi kurang dari 24 mil laut, maka dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut.[14]

Jangka waktu IUP Eksplorasi menurut Pasal 41 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 sebagai berikut:[15]

a.     8 (delapan) tahun untuk IUP Eksplorasi mineral logam;

b.    7 (tujuh) tahun, untuk:

  1. IUP Eksplorasi Batubara;
  2. IUP Eksplorasi mineral bukan logam jenis tertentu;

c.     3 (tiga) tahun, untuk:

  1. IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam; atau
  2. IUP Eksplorasi Batuan.

Setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi dalam rangka melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Sesuai Pasal 42 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus:
    1. Berada pada lintas daerah provinsi; atau
    2. Berbatasan langsung dengan negara lain;
  2. Gubernur, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[16]

Jangka waktu IUP Operasi Produksi menurut Pasal 45 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 adalah sebagai berikut:[17]

  1. 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun untuk:
    1. IUP Operasi Produksi mineral logam;
    2. IUP Operasi Produksi batubara;
    3. IUP Operasi Produksi mineral bukan logam jenis tertentu;
  2. 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam; atau
  3. 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi batuan

Jika ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan, pengolahan dan pemurnian termasuk penjualan komoditas tambang mineral atau batubara hasil olahannya, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian

Sesuai Pasal 47 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila:
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari daerah provinsi lain di luar lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian;
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari luar negeri; dan/atau
    • Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian berada pada lintas daerah provinsi;
  2. Gubernur, apabila:
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) daerah provinsi yang sama dengan lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian; dan/atau
    • Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[18]

Pasal 49 ayat (5) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagai berikut:

IUP Operasi Produksi khusus unutk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh_ tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh tahun) setiap kali perpanjangan.”

Apabila badan usaha ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan dan penjualan komoditas tambang mineral atau batubara, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan. Sesuai Pasal 50 Permen ESDM 7/2020, maka IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan pada lintas darah provinsi dan/atau lintas negara; atau
  2. Gubernur, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan dalam 1 (satu) daerah provinsi.[19]

Pasal 52 ayat (1) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan sebagai berikut:

“IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setiap kali perpanjangan.”

Terkait dengan Pelanggaran-Pelanggaran dalam kegiatan pertambangan mineral dan batubara terutama bagi Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan Pasal 185 sampai dengan Pasal 188 PP 96/2021, yakni sebagai pelanggaran terhadap kewajiban berikut:[20]

  1. Memindahtangankan Izin Usaha Pertambangan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri. (Pasal 10 ayat (1))
  2. Mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri. (Pasal 13 ayat (1) & ayat (9))
  3. Selain melakukan kegiatan Operasi Produksi, Pemegang Izin Usaha Pertambangan Kegiatan tahap Operasi Produksi wajib melakukan kegiatan eksplorasi lanjutan setiap tahun. (Pasal 48 ayat (1) & ayat (3))
  4. Melaksanakan pemasangan tanda batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi. (Pasal 49 ayat (1))
  5. Pemegang IUP yang berminat mengusahakan komoditas tambang lain yang berbeda Wilayah Izin Usaha Pertambangannya, wajib mengajukan permohonan IUP baru. (Pasal 50 ayat (2))
  6. Dalam mengambil dan menggunakan batuan yang terdapat dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan, pemegang Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi wajib:
    1. Melaporkan pengambilan dan penggunaan batuan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
    2. Membayar Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 51 ayat (2))

Pencabutan izin terkait pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada Sektor Pertambangan serta sanksi diatur dalam Pasal 185 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana sanksi tersebut bersifat administratif yang berupa :

  1. Peringatan Tertulis;
  2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau
  3. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Surat izin Penambangan Batuan (SIPB), atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk Penjualan.[21]

Peringatan tertulis diberikan paling banyak 3 kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing 30 hari,[22] dan apabila setelah diberikan peringatan ke-3 Perusahaan Pertambangan tersebut masih belum melaksanakan kewajibannya, maka dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak jangka waktu peringatan tertulis berakhir dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau Operasi Produksi, dan apabila Perusahaan Pertambangan tersebut yang telah diberikan sanksi penghentian sementara masih belum melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu penghentian sementara, maka dapat dikenai sanksi berupa pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, dan IUP untuk Penjualan.[23]

Menteri ESDM melalui Ditjen Minerba dapat memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin tanpa melalui tahap pemberian sanksi peringatan tertulis dan penghentian sementara apabila terdapat putusan pengadilan bahwa Perusahaan Pertambangan melakukan pelanggaran pidana dan berkuatan hukum tetap, hasil evaluasi Menteri terhadap Perusahaan Pertambangan yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak menerapkan kaidah teknik Pertambangan yang baik, serta Perusahaan Pertambangan dinyatakan pailit.[24]


[1] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[2] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[3] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

[4] Pasal 1 Angka 2 jo. Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[5] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[6] Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[7] Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[8] Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[9] Pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[10] Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[11] Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[12] Pasal 52 jo. Pasal 61 jo. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[13] Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[14] Pasal 37 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[15] Pasal 41 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[16] Pasal 42 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[17] Pasal 45 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[18] Pasal 47 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[19] Pasal 50 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[20] Pasal 185 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[21] Pasal 185 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[22] Pasal 186 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[23] Pasal 187 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[24] Pasal 188 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

 ​Indonesia has a lot of natural resources especially in the form of Minerals and Coal, therefore there are a lot of mining companies in Indonesia, where the definition of mining business itself is stated in Article 1 point 6 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to the Law  Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining (UU 3/2020), namely:

 “Mining business is an activity within the framework of mineral or coal business which includes the stages of general investigation, exploration, feasibility study, construction, mining, processing and/or refining or development and/or utilization, transportation and sales, as well as post-mining activities.”

 Regarding natural resources in the form of Mineral and Coal in the mining business, Article 4 paragraph (1) of Law 3/2020 explains that Mineral and Coal are non-renewable natural resources which are national assets, where the national wealth is controlled by the state for  used for the welfare of the people.

 This is in line with Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which reads:

 “Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In addition to coal mining, there is an understanding regarding Minerals and Mineral Mining in Article 1 Point 2 jo.  Article 1 Number 4 of Law 3/2020, which reads:

 ” Article 1

 1. Minerals are inorganic compounds formed in nature, which have certain physical and chemical properties as well as regular crystal structure or combinations thereof that form rock, either in loose or solid form.

 4. Mineral Mining is Mining of a collection of Minerals in the form of ore or rock, excluding geothermal, oil and gas, and groundwater.”

 The scope of metallic mineral types is stated in Article 2 paragraph (1) letter b of Government Regulation Number 96 of 2021 concerning the Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities, which states that:

 ” Section 2

 (1) Mineral and Coal Mining is grouped into 5 (five) groups as follows:

 b.  Metallic minerals include aluminum, antimony, arsenic, basnasite, bauxite, beryllium, iron ore, bismuth, cadrnium, cesium, gold, galena, gallium, germanium.  hafnium, indium, iridium, chrome, kcbai, chromite, lithium, rare earth metals, magnesium, manganese, moiibdenum, monazite, nickel, niobium, osmium, iron sands, palladium, silver, platinum, rhodium, ruthenium, selenium, zinc, senodm  , cinnabar, strontium, tantalum, tellurium, copper, tin, titanium, vanadium, tungsten, and zirconium;  “

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector to gain profit, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government.  The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection.

 ​In terms of metallic mineral mining licensing, it is carried out based on Government Regulation Number 96 of 2021 concerning the Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities (hereinafter referred to as PP 96/2021), where Article 6 and Article 7 of PP 96/2021 regulates the basis for licensing and principles  granting standard certificates and/or permits, stating that:

 “Article 6”

 (1) Mining business is carried out based on a business license from the central government.

 (2) Business Licensing as referred to in paragraph (1) is implemented through the granting of:

 a.  trying main number;

 b.  standard certificate;  and/or

 c.  permission.

 (3) The Business Licensing as referred to in paragraph (21) is carried out in accordance with the provisions of the legislation.

 (4) The permit as referred to in paragraph (2) letter c consists of:

 a.  IUP;

 b.  IUPK;

 c.  IUPK as Continuation of Operation Contract/agreement;

 d.  IPR;

 e.  SIPB;

 f.  assignment permit;

 g.  Transport and sales permits;

 h.  IUJP;  and

 i.  IUP for Sales

 (5) Business Licensing in the form of granting standard certificates and permits as referred to in paragraph (2) letter b and letter c can be delegated to the Provincial Government based on the following principles:

 a.  effectiveness;

 b.  efficiency;

 c.  accountability;  and

 d.  externality.

 Article 7

 In addition to the principles as referred to in Article 6 paragraph (5), the delegation of authority to grant standard certificates and permits must consider the strategic nature of Mining commodities for:

 a.  supply of domestic industrial raw materials;  and/or

 b.  domestic energy supply.  “

Thus, in granting standard certificates and business permits which are the authority of the Central Government in this case the President of the Republic of Indonesia who holds the power of the state government of the Republic of Indonesia assisted by the Vice President and the Minister, delegated to the Provincial Government, namely the regional head, namely the Governor as an element of government administration.  regions that lead the implementation of government affairs which are the authority of the autonomous regions.

 Furthermore, regarding business entities that can apply for Metal Mineral Mining Business Permits, it is regulated in Article 9 paragraph (1) PP 96/2021, which reads:

 “Article 9”

 (1) IUP is granted by the Minister based on the application submitted by:

 a.  Business entity;

 b.  Cooperative;  or

 c.  sole proprietorship.”

 Then, the steps that must be passed to obtain a Metal Mineral Mining Business Permit are regulated in Article 16 of PP 96/2021, which reads:

 “IUP is obtained through the following stages:

 a.  granting of WIUP;  and

 b.  granting IUP.  “

 Metallic Mineral Mining Business Permit area obtained by way of auction, is regulated in Article 17 paragraph (3), which reads:

 “Article 17”

 (3) Metal Mineral WIUP as referred to in paragraph (1) letter b and Coal WIUP as referred to in paragraph (1) letter c shall be obtained by way of auction.  “

Based on Article 5 of the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources Number 7 of 2020 concerning Procedures for Regional Grants, Licensing, and Reporting on Mineral and Coal Mining Business Activities as amended by Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources Number 16 of 2021 (ESDM Ministerial Regulation 7  /2020), the Director General prepares the Metal Mineral WIUP which has been determined by the Governor based on the results of coordination with the Regent/Mayor by way of auction to Business Entities, Cooperatives, and Individuals.  The granting of Metal Mineral Mining Business Permit Areas is based on Data and Information originating from:

 a.  The results of the mining investigation and research activities carried out by the Minister and/or the Governor in accordance with their respective authorities;

 b.  The results of the evaluation of the Metal Mineral WIUP returned or reduced by the IUP holder;  and/or

 c.  The results of the evaluation of the Metal Mineral WIUP whose IUP expires or is revoked.

 There are 2 stages of IUP Granting activities where this is regulated in Article 28 PP 96/2021, namely:

 1. Exploration, which in this stage consists of:

 a.  General Investigation;

 b.  Exploration;  and

 c.  Feasibility study.

 2. Production Operations, which in this stage consist of:

 a.  Construction;

 b.  Mining;

 c.  Processing and/or Purification or Development and/or Utilization;  and

 d.  Transportation and Sales.

 In Law 3/2020 Regarding Mining Business Permit Areas (WIUP), Mining Business Permit (IUP) holders stipulate that metal mineral exploration WIUP is granted with an area of ​​at least 5,000 hectares and a maximum of 100,000.  a maximum area of ​​25,000 hectares.

 The granting of an IUP is explained in Article 32 of PP 96/2021, which states that:

 “IUP is granted to Business Entities, Cooperatives, Individual companies after fulfilling the following requirements:

  1. Administrative
  2. Technical;
  3. Environment;  and
  4. Financial.  “

Exploration Business Permit, is given when you want to carry out the stages of General Investigation, Exploration, and Feasibility Study activities.  In accordance with Article 37 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, Exploration IUPs are granted by:

  1. Minister, if the WIUP:
    • Being in a cross-provincial area
      Is in a sea area of ​​more than 12 (twelve) nautical miles measured from the coastline towards the high seas and/or towards the archipelagic waters;  or
    • Directly adjacent to other countries;  or
  2. Governor, if the WIUP is located:
    • In 1 (one) province;  or
    • In the sea area up to 12 (twelve) nautical miles measured from the coastline towards the high seas and/or towards the archipelagic waters.
    • Especially for the governor, in the case that the sea area between two provinces is less than 24 nautical miles, then the distance is divided equally or measured according to the principle of the center line of the area between the two provinces.

 The term of the Exploration IUP according to Article 41 paragraph (2) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 is as follows:

 a.​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​ 8 years for the IUP Exploration of metal minerals

 b.​ 7 (seven) years, for:

  1. Coal Exploration IUP;
  2. IUP Exploration of certain types of non-metallic minerals;

 c.​ 3 (three) years, for:

  1. IUP for Non-Metal Mineral Exploration;  or
  2. IUP for Rock Exploration.

 After completion of the Exploration IUP implementation, the business entity is obliged to take care of the Production Operation IUP in order to carry out the stages of production operation activities.  In accordance with Article 42 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, IUP Production Operations are granted by:

  1. Minister, if the Mining location, processing and/or refining location, and special port location:
    1. Located across provinces;  or
    2. Direct borders with other countries;
  2. Governor, if the Mining location, processing and/or refining location, and special port location are in 1 (one) provincial area.

 The term of the Production Operation IUP according to Article 45 paragraph (2) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 is as follows:

  1. 20 (twenty) years and can be extended 2 (two) times for 10 (ten) years each for:
    1. Metal mineral Production Operation IUP;
    2. Mining Business License (IUP) for Coal Production Operation;
    3. Production Operation Mining Permit for certain types of non-metallic minerals;
  2. 10 (ten) years and can be extended 2 (two) times each 5 (five) years for IUP Production Operations for non-metallic minerals;  or
  3. 5 (five) years and can be extended 2 (two) times for 5 (five) years each for IUP Rock Production Operations

 If you wish to purchase, transport, process and purify, including the sale of mineral or coal mining commodities from their processed products, the business entity is obliged to arrange for a Special Production Operation IUP for Processing and/or Purification.

 In accordance with Article 47 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, IUP Special Production Operations for Processing and/or Purification are granted by:

  1. Minister, if:
    • Mining commodities to be processed come from other provincial areas outside the location of the processing and/or refining facilities;
    • Mining commodities to be processed come from abroad;  and/or
    • If the location of the processing and refining facilities is in a cross-provincial area;
  2. Governor, if:
    1. The mining commodity to be processed comes from 1 (one) same province as the location of the processing and/or refining facility;  and/or
    2. If the location of the processing and/or refining facility is within 1 (one) province.

 Article 49 paragraph (5) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 regulates the period of IUP for Special Production Operations for Processing and/or Purification as follows:

 “IUP Production Operation specifically for Processing and/or Purification as referred to in paragraph (1) is granted for a period of 30 (thirty_ years and can be extended for a period of 20 (twenty years) each time.”

 If a business entity wishes to purchase, transport and sell mineral or coal mining commodities, the business entity is required to arrange for a Special Production Operation IUP for Transportation and Sales.  In accordance with Article 50 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, the IUP for Special Production Operations for Transportation and Sales is granted by:

  1. The Minister, if the transportation and sales activities are carried out on provincial and/or cross-country lines;  or
  2. Governor, if the Transportation and Sales activities are carried out in 1 (one) provincial area.

 Article 52 paragraph (1) of Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 regulates the period of IUP Production Operation specifically for transportation and sales as follows:

 “IUP Production Operations specifically for transportation and sales are granted for a period of 5 (five) years and can be extended for a period of 5 (five) years each time.”

Regarding violations in mineral and coal mining activities, especially for Mining Business Permit (IUP) holders in accordance with Article 185 to Article 188 of PP 96/2021, namely as a violation of the following obligations:

  1. Transferring the Mining Business Permit to another party without the approval of the Minister.  (Article 10 paragraph (1))
  2. Transferring share ownership without the approval of the Minister.  (Article 13 paragraph (1) & paragraph (9))
  3. In addition to carrying out Production Operation activities, the holder of a Mining Business License for Production Operation stage is required to carry out further exploration activities every year.  (Article 48 paragraph (1) & paragraph (3))
  4. Carry out the installation of boundary markings for the Mining Business Permit Area for the Production Operation stage.  (Article 49 paragraph (1))
  5. Mining Permit holders who are interested in operating other mining commodities with different Mining Business Permit Areas are required to apply for a new IUP.  (Article 50 paragraph (2))
  6. In taking and using the rock contained in the Mining Business Permit Area, the holder of a Mining Business Permit in the Production Operation stage must:
    1. Report the extraction and use of rocks to the Regency/Municipal Government;  and
    2. Paying Regional Taxes in accordance with the provisions of the Legislation.  (Article 51 paragraph (2))

 Revocation of permits related to violations in the implementation of business activities in the Mining Sector as well as sanctions are regulated in Article 185 of Government Regulation Number 96 of 2021 concerning Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities, where the sanctions are administrative in nature in the form of:

  1. Written Warning;
  2. Temporary suspension of part or all of Exploration activities or Production Operations;  and/or
  3. Revocation of Mining Business Permit (IUP), Special Mining Business Permit (IUPK), People’s Mining Permit (IPR), Rock Mining Permit (SIPB), or Mining Business Permit (IUP) for Sales.

 Written warnings are given at most 3 times with a warning period of 30 days each, and if after being given the 3rd warning the Mining Company still has not carried out its obligations, then within a maximum period of 60 days from the end of the written warning period, an administrative sanction will be imposed.  in the form of temporary suspension of part or all of exploration activities or Production Operations, and if the Mining Company that has been given a temporary suspension of sanctions still does not carry out its obligations until the end of the temporary suspension period, it may be subject to sanctions in the form of revocation of IUP, IUPK, IPR, SIPB, and  IUP for Sales.

The Minister of Energy and Mineral Resources through the Directorate General of Mineral and Coal can impose administrative sanctions in the form of revocation of permits without going through the stages of giving written warnings and temporary suspensions if there is a court decision that the Mining Company has committed a criminal offense and has a permanent legal force, the results of the Minister’s evaluation of Mining Companies that have caused environmental damage and have not  apply the principles of good Mining techniques, and the Mining Company is declared bankrupt.

0

1 DAY TRAINING CLASS: TRADEMARK

Sabtu, 26 Februari 2022

Pelajari tujuan merek dagang, proses pendaftarannya, tujuannya dalam bisnis, dan perselisihan yang mungkin timbul darinya

Kontak: +62 877 7776 1447 (Afina)

Registrasi

Link: https://bit.ly/AfiaandcoTrademarkClass

Tanggal pendaftaran: 14 Januari 2022 – 24 Februari 2022

Biaya pendaftaran kelas & modul:

BCA 2940950832 a/n Aprilia Purwanto

Umum: IDR 1,250,000
Mahasiswa: IDR 650,000

Rundown

(09:00 – 10.30) Ananta Mahatyanto, S.H – Attorney at Afia & Co Attorneys

  • Pelajari tujuan merek dagang
  • Proses pendaftarannya
  • Tujuannya dalam bisnis
  • Perselisihan yang mungkin timbul darinya

(10:30 – 12:00) Raden Ayumas Zisni, S.H – Asisten Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Biokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

  • Pencegahan penolakan merek
  • Lisensi & izin terkait merek
  • Branding merek

(13:00 – 14:30) Rizki Haryo Kusumo, S.H – Partner at Afia & Co Attorneys

  • Merek dalam bisnis
  • Agreement, Kerjasama & Investment merek

(14:30 – 16:00) Nirma Afianita, S.H., CTL – Managing Partner at Afia & Co Attorneys

  • Perselisihan merek
  • Penyelesaian sengketa merek

1 2 3
Translate