0

Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Shafa Atthiyyah Raihana

Crude Palm Oil (CPO) adalah salah satu jenis minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat di dunia. Penggunaan CPO bisa mencapai sekitar 40% dari seluruh jenis minyak nabati. Pemanfaatan minyak juga beragam, terutama seperti penggunaan bahan pangan pada minyak goreng, industri kosmetik, industri kimia, dan industri pakan ternak. [1]

Terkait dengan produksi CPO di Indonesia, beberapa industri di Indonesia menunjukkan perkembangan secepat industri minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ini tampak dalam jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Didorong oleh permintaan global yang terus meningkat dan keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia (dengan imbas negatif pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi hasil-hasil pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit). Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor.[2]

Walaupun mayoritas minyak kelapa sawit di Indonesia banyak diekspor, namun seiring dengan berkembangnya populasi masyarakat di Indonesia dan dukungan pemerintah untuk program diesel terus meningkat, permintaan minyak sawit domestik di Indonesia juga berkembang. Meningkatnya permintaan minyak sawit dalam negeri sebenarnya bisa berarti bahwa pengiriman minyak sawit mentah dari Indonesia akan berkurang di tahun-tahun mendatang. [3]

Pada saat ini, pemerintah telah melakukan tindakan pelarangan ekspor terhadap CPO di Indonesia ke sejumlah negara. Pelarangan ekspor ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kuota kebutuhan pasar dalam negeri akan minyak goreng. Produksi kelapa sawit dalam negeri seharusnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, apalagi dilihat dari segi volumenya, kebutuhan minyak goreng domestik sangat kecil dibandingkan yang selama ini diekspor keluar negeri. Jika semua pihak mengutamakan stok kebutuhan dalam negeri, maka masyarakat tidak perlu dibuat resah dengan kelangkaan minyak goreng. Namun, kondisi saat ini justru sebaliknya mengingat persediaan minyak goreng saat ini yang semakin langka. Dengan adanya permasalahan tersebut, pemerintah akhirnya mengambil tindakan untuk melarang ekspor CPO dan minyak goreng. Keputusan ini baru akan dicabut jika persediaan minyak goreng di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak ada lagi kelangkaan yang diakibatkan.[4]

Kemudian, pemerintah juga sudah membuat aturan resmi terkait dengan larangan ekspor CPO yang dimuat pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein dan Used Cooking Oil. Pernyataan pelarangan ekspor CPO juga dipertegas dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tersebut yaitu:

“Pasal 2

  • Dengan Peraturan Menteri ini, Menteri mengatur larangan sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized palm olein dan Used Cooking Oil.”[5]

Akibat dari kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor CPO tersebut, sejumlah saham emiten perusahaan kelapa sawit dalam negeri mengalami penurunan. Penurunan pergerakan saham emiten sawit tersebut terjadi setelah pengumuman adanya pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng dimulai.[6] Pengertian dari emiten merupakan pihak yang dapat berbentuk orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok terorganisasi yang melakukan penawaran umum, yaitu penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam peraturan Undang-undang yang berlaku.

Salah satu tata cara dalam penerbitan emiten dijelaskan dalam penjelasan Pasal 40 tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:

“Pasal 40

Pada dasarnya Emiten dapat menerbitkan Efek tanpa menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek. Dalam hal ini penetapan harga dilaksanakan oleh Emiten yang bersangkutan. Pengguna jasa Penjamin Emisi Efek dimaksudkan untuk membantu Emiten memasarkan dan atau menjual Efek yang ditawarkan sehingga ada kepastian perolehan dana hasil penjualan Efek dimaksud. Sedangkan keputusan untuk melakukan investasi terhadap Efek yang ditawarkan sepenuhnya berada di tangan pemodal. Oleh karena itu, penggunaan jasa Penjamin Emisi Efek yang terafiliasi dengan Emiten pada dasarnya dapat dipersamakan dengan penawaran Efek tanpa menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek. Namun, penjaminan tersebut harus benar-benar memperhatikan adanya kemungkinan benturan penting.”[7]

Dengan adanya penjelasan bahwa emiten yang seharusnya melakukan penetapan harga bersangkutan, namun, saat ini malah timbul permasalahan pada saham emiten karena adanya pelarangan ekspor CPO yang menyebabkan beberapa saham emiten dalam negeri berguguran. Salah satunya saham sebuah perusahaan yang memproduksi minyak sawit mentah, karet, kakao, teh, dan biji-bijian tercatat turun 6,94% dari 1.440 menjadi 1.340 per saham. Penurunan tertinggi lainnya tercatat pada perusahaan yang memiliki 24 perkebunan kelapa sawit dan karet di Sumatera dan Jambi yang mengalami penurunan sebanyak 6,92% dari 650 menjadi 605 dan harga saham salah satu perusahaan industri perkebunan yang juga anjlok 6,98% atau 45 poin ke angka Rp 600 dari level harga Rp 645 pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. [8]

Dampak pelarangan ekspor CPO terhadap emiten di sektor minyak sawit juga akan memicu oversupply CPO dan minyak goreng di dalam negeri. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak sawit dalam negeri hanya setara 35% dari gabungan konsumsi domestik dan ekspor, sedangkan jumlah minyak sawit Indonesia yang diekspor mencapai 65%.[9]

Selain berpotensi memicu terjadinya oversupply, larangan ekspor minyak sawit atau CPO juga dapat mempengaruhi hal-hal yang merupakan bagian dari pelaksanaan aktivitas ekspor tersebut, seperti bentuk-bentuk dari kerjasama antar pihak yang terjalin terkait aktivitas ekspor dan distributor, sebut saja salah satunya perjanjian kontrak dengan pihak lain yang telah terjalin sebelumnya berkenaan dengan aktivitas ekspor dan bisnis minyak sawit tersebut. Dengan adanya larangan ekspor pada sektor tertentu, dalam hal ini minyak sawit, dapat menyebabkan berakhirnya kerjasama eksportir dengan pihak terkait lainnya secara force majeure atau tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak yang telah disepakati sebelumnya.  Force majeure sendiri terdapat dalam Pasal 1245 KUH Perdata, sebagai berikut :

“Pasal 1245 KUH Perdata

Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”[10]

Pelarangan ekspor sementara minyak goreng ini merupakan komitmen kuat pemerintah untuk memprioritaskan masyarakat, dalam hal dianggap perlu, akan dilakukan penyesuaian kebijakan dengan situasi yang ada.[11] Dengan adanya pelarangan terkait ekspor CPO hal ini akan sejalan dengan peluang adanya transisi aturan baru terkait suplai CPO untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Nantinya perubahan tersebut akan membuat tingkat penjualan CPO di pasar dalam negeri bisa lebih besar. Pelarangan ekspor tersebut diharapkan berdampak terhadap peningkatan suplai minyak goreng domestik, sehingga harga jual produk ini bisa ditekan dan akhirnya inflasi bisa diredam. Berdasarkan hasil analisa, setiap penurunan harga minyak goreng mencapai 1%, inflasi diprediksi bisa turun hingga 0,15%. [12]Para pengusaha kelapa sawit juga menyatakan akan mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit dan berharap penurunan saham emiten sektor minyak sawit ini juga tidak akan berlangsung secara lama walaupun akan terjadinya penurunan untuk beberapa waktu kedepan.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
  2. Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein dan Used Cooking Oil;
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Referensi:

Mutu Institute, https://mutuinstitute.com/post/crude-palm-oil/, diakses pada 28 April 2022

Indonesia Investments, https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 April 2022

Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4950557/jokowi-soal-larangan-ekspor-cpo-negara-perlu-devisa-tapi-kebutuhan-rakyat-prioritas, diakses pada 28 April 2022

Bisnis Tempo, https://bisnis.tempo.co/read/1585171/analis-larangan-ekspor-cpo-berdampak-negatif-ke-saham-emiten-kelapa-sawit, diakses pada 28 April 2022

KataData, https://www.katadata.co.id/lavinda/finansial/62664fabb901a/jokowi-larang-ekspor-cpo-harga-saham-perusahaan-sawit-kompak-anjlok, diakses pada 28 April 2022

Investasi Kontan, https://investasi.kontan.co.id/news/ekspor-cpo-dilarang-saham-emiten-sawit-diramal-terdampak-dalam-jangka-pendek, diakses pada 28 April 2022

Investor. ID, https://investor.id/market-and-corporate/291821/saham-cpo-berguguran-dampak-negatif-larangan-ekspor-bersifat-sementara, diakses pada 28 April 2022

CNBC. https://www.cnbcindonesia.com/news/20220428020301-4-335532/review-ekspor-cpo-resmi-dilarang-per-28-april-2022 diakses pada 28 April 2022


[1] Mutu Institute, https://mutuinstitute.com/post/crude-palm-oil/, diakses pada 28 April 2022

[2] Indonesia Investment. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 April 2022

[3] Indonesia Investments, https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 April 2022

[4] Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4950557/jokowi-soal-larangan-ekspor-cpo-negara-perlu-devisa-tapi-kebutuhan-rakyat-prioritas, diakses pada 28 April 2022

[5] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized palm olein dan Used Cooking Oil.

[6] Bisnis Tempo, https://bisnis.tempo.co/read/1585171/analis-larangan-ekspor-cpo-berdampak-negatif-ke-saham-emiten-kelapa-sawit, diakses pada 28 April 2022

[7] Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

[8] KataData, https://www.katadata.co.id/lavinda/finansial/62664fabb901a/jokowi-larang-ekspor-cpo-harga-saham-perusahaan-sawit-kompak-anjlok, diakses pada 28 April 2022

[9] Investasi Kontan, https://investasi.kontan.co.id/news/ekspor-cpo-dilarang-saham-emiten-sawit-diramal-terdampak-dalam-jangka-pendek, diakses pada 28 April 2022

[10] Pasal 1245 KUH Perdata

[11] CNBC. https://www.cnbcindonesia.com/news/20220428020301-4-335532/review-ekspor-cpo-resmi-dilarang-per-28-april-2022 diakses pada 28 April 2022

[12] Investor. ID, https://investor.id/market-and-corporate/291821/saham-cpo-berguguran-dampak-negatif-larangan-ekspor-bersifat-sementara, diakses pada 28 April 2022

0

Taksonomi Hijau Indonesia Dari Sisi Penerapan Keuangan Berkelanjutan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Perubahan Iklim yang menyebabkan naiknya suhu bumi yang mendekati ambang batas wajar yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang terus dieksploitasi, mengharuskan setiap negara membuat kebijakan dan aksi iklim untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius dan berupaya maksimal untuk tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri.[1]
 
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka banyak negara ikut menandatangani Perjanjian Paris 2016 (Paris Agreement), [na1] dimana Perjanjian Paris ini merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Indonesia ikut menandatangani Perjanjian Paris 2016, dan dalam hal mewujudkan hal yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut, Indonesia menerapkan aksi keuangan berkelanjutan (sustainable finance) , dimana aksi keuangan berkelanjutan merupakan praktek industri keuangan yang mengedepankan pertumbuhan berkelanjutan dengan menyelaraskan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. [2]
 
              Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik , yang berbunyi:
“Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.”[3]
 
              Untuk Penerapan keuangan berkelanjutan, maka lembaga jasa keuangan wajib menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) yang disampaikan setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan, dimana RAKB tersebut wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris, serta RAKB tersebut dilaksanakan secara efektif. [4]
 
Dalam Penerapan Pengembangan Keuangan berkelanjutan sebagaimana di jelaskan dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 – 2025) dijelaskan mengenai beberapa prioritas yang akan menjadi landasan pengembangan keuangan berkelanjutan ke depan, yaitu pengembangan taksonomi hijau, implementasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola; pelaksanaan program riil; inovasi produk dan layanan  keuangan serta kampanye nasional keuangan berkelanjutan. [5]
 
Pengembangan taksonomi hijau merupakan salah satu prioritas sekalipun menjadi kunci sukses ekosistem keuangan berkelanjutan , dimana Taksonomi Hijau adalah klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, atau  Taksonomi hijau dapat diartikan sebagai kerangka yang akan digunakan pemerintah untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan.[6]
 
Pengembangan taksonomi hijau yang bertujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia. Klasifikasi ini menjadi dasar bagi seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dalam aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Penyusunan taksonomi hijau tersebut dilakukan melalui pembentukan task force nasional keuangan berkelanjutan, yang melibatkan kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan terkait. Taksonomi yang dikembangkan akan mengakomodasi keseluruhan pedoman yang ada saat ini terkait sektor hijau.[7]
 
 
Beberapa tujuan strategis Taksonomi Hijau adalah :
1.       Mengembangkan standar definisi dan kriteria-kriteria hijau dari kegiatan sektor ekonomi yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan menerapkan pendekatan berbasis ilmiah/sains.
2.       Mendorong inovasi dan investasi di kegiatan ekonomi yang memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan menerapkan pendekatan berbasis ilmiah/sains.
3.       Mendorong pertumbuhan sektor keuangan dalam pendanaan dan pembiayaan kegiatan ekonomi hijau.
4.       Memberikan acuan bagi SJK, investor, pelaku bisnis (nasional maupun internasional) untuk mengungkapkan informasi terkait pembiayaan, pendanaan, atau investasi untuk kegiatan ekonomi hijau. [8]
 
Taksonomi Hijau ini didasari oleh empat prinsip sebagai berikut:
1.       Prinsip Investasi Bertanggung Jawab
Pendekatan yang mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, lingkungan hidup, dan tata kelola dalam aktivitas ekonomi.
2.       Prinsip Strategi dan Praktik Bisnis Berkelanjutan
Kewajiban untuk menetapkan dan menerapkan strategi dan praktik bisnis berkelanjutan pada setiap pengambilan keputusan.
3.       Prinsip Pengelolaan Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup
Mencakup prinsip kehati-hatian dalam mengukur risiko sosial dan lingkungan hidup melalui proses identifikasi, pengukuran, mitigasi, pengawasan, dan pemantauan.
4.       Prinsip Tata Kelola
Terkait penerapan penegakan tata kelola SJK melalui manajemen dan operasi bisnis yang mencakup antara lain: transparansi, akuntabel, bertanggung jawab, independen, profesional, setara dan wajar.[9]
 
Di dalam kegiatan usaha pada Taksonomi Hijau, maka akan terdapat 3 Klasifikasi , yaitu:
1.       Hijau
Kegiatan usaha yang melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mematuhi standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah dan menerapkan praktik terbaik di tingkat nasional ataupun tingkat internasional.
 
2.       Kuning
Kegiatan usaha yang memenuhi beberapa kriteria/ambang batas hijau. Penentuan manfaat kegiatan usaha ini terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan masih harus ditetapkan melalui pengukuran serta dukungan praktik terbaik lainnya.
 
3.       Merah
Kegiatan usaha tidak memenuhi kriteria/ambang batas kuning dan/atau hijau.
 
 
Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi (GKKT) dan satuan kerja terkait di OJK dengan melibatkan delapan kementerian antara lain:
1.   Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK);
2.   Kementerian Perindustrian (Kemenperin);
3.   Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP);
4.   Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM);
5.   Kementerian Perhubungan (Kemenhub);
6.   Kementerian Pertanian (Kementan);
7.   Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf); dan
8.   Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).[10]
 
Sehingga, sebagai wujud dari penerapan perjanjian paris yang ditandatangani oleh Indonesia, maka Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Roadmap mengenai Keuangan Berkelanjutan, dimana salah satu prioritas dalam penerapan keuangan berkelanjutan tersebut merupakan pengembangan taksonomi hijau di Indonesia
 
Pengembangan Taksonomi Hijau di Indonesia dilakukan dengan memiliki tujuan strategis didasari dengan Prinsip Investasi Bertanggung Jawab, Prinsip Strategi dan Praktik Bisnis Berkelanjutan, Prinsip Pengelolaan Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup, serta Prinsip Tata Kelola, melalui penentuan klasifikasi pada kegiatan-kegiatan usaha yang ada di Indonesia. Taksonomi hijau di Indonesia di Indonesia disusun oleh OJK melalui GKKT dan melibatkan 8 kementerian yakni KLHK, Kemenperin, KKP,  ESDM, Kemenhub, Kementan, Kemenparekraf, PUPR.
 
 
Dasar Hukum:
POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik
 
Referensi :
1.   Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Lima Tahun Perjanjian Paris: Kebijakan Iklim Indonesia Tidak Serius dan Ambisius, ( https://www.walhi.or.id/lima-tahun-perjanjian-paris-kebijakan-iklim-indonesia-tidak-serius-dan-ambisius , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
2.   Kurnia Hadi, Implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB), ( https://hrdspot.com/event/penerapan-keuangan-berkelanjutan/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
3.   Otoritas Jasa Keuangan, ROADMAP KEUANGAN BERKELANJUTAN TAHAP II (2021 – 2025), ( https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Roadmap-Keuangan-Berkelanjutan-Tahap-II-(2021-2025)/Roadmap%20Keuangan%20Berkelanjutan%20Tahap%20II%20(2021%20-%202025).pdf , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
4.   Desi Angriani, Apa itu Taksonomi Hijau, ( https://www.medcom.id/ekonomi/keuangan/ybDXMepb-apa-itu-taksonomi-hijau , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
5.   Otoritas Jasa Keuangan, Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 – 2022 (https://www.ojk.go.id/keuanganberkelanjutan/Uploads/Content/Regulasi/Regulasi_22012011321251.pdf, diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[1] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Lima Tahun Perjanjian Paris: Kebijakan Iklim Indonesia Tidak Serius dan Ambisius
, ( https://www.walhi.or.id/lima-tahun-perjanjian-paris-kebijakan-iklim-indonesia-tidak-serius-dan-ambisius , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[2] Kurnia Hadi, Implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB), ( https://hrdspot.com/event/penerapan-keuangan-berkelanjutan/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[3] Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik

[4] Pasal 4 jo. Pasal 5 POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik

[5] Otoritas Jasa Keuangan, ROADMAP KEUANGAN BERKELANJUTAN TAHAP II (2021 – 2025), ( https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Roadmap-Keuangan-Berkelanjutan-Tahap-II-(2021-2025)/Roadmap%20Keuangan%20Berkelanjutan%20Tahap%20II%20(2021%20-%202025).pdf , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[6] Desi Angriani, Apa itu Taksonomi Hijau, ( https://www.medcom.id/ekonomi/keuangan/ybDXMepb-apa-itu-taksonomi-hijau , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[7] Op.cit, Otoritas Jasa Keuangan, ROADMAP KEUANGAN BERKELANJUTAN TAHAP II (2021 – 2025)

[8] Otoritas Jasa Keuangan, Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 – 2022 (https://www.ojk.go.id/keuanganberkelanjutan/Uploads/Content/Regulasi/Regulasi_22012011321251.pdf, diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[9] Ibid.

[10] Ibid.

Translate