0

LARANGAN PENGGUNAAN PARACETAMOL DALAM KANDUNGAN KOPI

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan sejumlah merek kopi yang mengandung bahan kimiat obat yaitu Paracetamol dan Sildenafi.[1] Bahan Kimia Obat (BKO) adalah zat kimia yang digunakan sebagai bahan utama obat kimiawi yang ditambahkan dalam sediaan obat tradisional/jamu untu memperkuat indikasi dari obat tradisional tersebut.[2]

Paracetamol adalah salah satu obat yang masuk ke dalam golongan analgesik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam). Obat ini dipakai untuk meredakan rasa sakit ringan hingga menengah, serta menurunkan demam. Paracetamol mengurangi rasa sakit dengan cara menurunkan produksi zat dalam tubuh yang disebut prostaglandin. Prostaglandin adalah unsur yang dilepaskan tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan jaringan atau infeksi, yang memicu terjadinya peradangan, demam, dan rasa nyeri. Paracetamol menghalangi produksi prostaglandin, sehingga rasa sakit dan demam berkurang.[3]

Paracetamol jarang menyebabkan efek samping, namun ada beberapa yang mungkin terjadi, di antaranya: Penurunan jumlah sel-sel darah, sepeti sel darah putih atau trombosit. Muncul ruam, terjadi pembengkakan, atau kesulitan bernapas karena alergi. Tekanan darah rendah (hipotensi) dan jantung berdetak cepat (takikardi).Kerusakan pada hati dan ginjal jika menggunakan obat ini secara Bisa menyebabkan overdosis jika digunakan lebih dari 200 mg/kg, atau lebih dari 10 gram, dalam 24 jam.[4]

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan pemantauan dan analisis terhadap penjualan online produk pangan olahan mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) dengan salah satu merek Kopi dengan kandungan Paracetamol  pada periode Oktober-November 2021. Hasil penjualan produk tersebut memiliki nilai transaksi rata-rata sebesar Rp 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah) setiap bulannya.[5] Hal tersebutlah yang menjadi alasan produsen untuk memproduksi dan memasarkan Kopi Paracetamol melalui e-commerce karena memiliki nilai jual dan minat masyarakat yang tinggi terhadap Kopi Paracetamol. Hingga saat ini banyak masyarakat yang belum mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat dari mengkonsumsi Kopi Paracetamol.

Paracetamol yang digunakan dalam bahan pangan dapat menimbulkan efek samping seperti mual, alergi, tekanan darah renda, kelainan darah, apabila digunakan terus- menerus dapat menimbulkan efek yang lebih fatal seperti kerusakan pada hati dan ginjal, sedangkan Sildanefi dapat menimbulkan efek samping seperti mual, diare, kemerahan pada kulit, kejang, kebutaan, hingga kematian.[6]

Pelaku produksi dan pengedar pangan ilegal dapat dikenakan sanksi sebagaimana tercantum didalam Pasal 136 dan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu :

“ Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan pangan yang digunakan sebagaimana dimasud dalam Pasal 64 ayat (1) dan yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”[7]

Pelaku usaha yang memproduksi dan mengedarkan obat tradisional ilegal mengandung bahan kimia obat  tradisional ilegal mengandung bahan kimia obat dapat dipidana sesuai dengan Pasal 196 jo. Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagaimana diubah dengan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu :

“Setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”[8]

Terhadap pelaku usaha yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan pangan dapat dikenakan sanksi berupa Sanksi Pidana dan Sanksi Perdata. Sebagaimana tercantum dalam Pasal  60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen, Sanksi Administratif yang dapat diberikan terhadap pelaku usaha, yaitu :

  1. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).[9]

Penuntutan Pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

  1. Pelaku usaha  yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[10]

Kemudian terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Jo Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat dijadikan hukuman tambahan berupa :

  1. Perampasan barang tertentu
  2. Pengumuman keputusan hakim
  3. Pembayaran ganti rugi
  4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
  5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
  6. Pencabutan izin usaha. [11]

Masyarakat dihimbau untuk memperhatikan dan melakukan cek KLIK ( Kemasan, Label, Izin Edar dan Kadaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan produk pangan.[12] Pastikan kemasan dalam kondisi baik dan utuh, informasi produk pada label kemasan, memiliki izin edar BPOM dan belum melewati tanggal kadaluwarsa, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban konsumen adalah :

“Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.”[13]

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan sejumlah merek kopi yang mengandung bahan kimiat obat yaitu Paracetamol dan Sildenafi. Paracetamol adalah obat untuk meredakan demam dan nyeri, termasuk nyeri haid atau sakit gigi. Paracetamol yang digunakan dalam bahan pangan dapat menimbulkan efek samping seperti mual, alergi, tekanan darah renda, kelainan darah, apabila digunakan terus- menerus dapat menimbulkan efek yang lebih fatal seperti kerusakan pada hati dan ginjal, sedangkan Sildanefi dapat menimbulkan efek samping seperti mual, diare, kemerahan pada kulit, kejang, kebutaan, hingga kematian.

Terhadap pelaku usaha yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan pangan dapat dikenakan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah dan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Masyarakat dihimbau untuk memperhatikan dan melakukan cek KLIK ( Kemasan, Label, Izin Edar dan Kadaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan produk pangan. Pastikan kemasan dalam kondisi baik dan utuh, informasi produk pada label kemasan, memiliki izin edar BPOM dan belum melewati tanggal kadaluwarsa.

DASAR HUKUM :

  1. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
  3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

REFERENSI :

  1. BPOM Ungkap Kopi yang mengandung Paracetamol, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220306180624-20-767458/bpom-ungkap-merek-kopi-mengandung-Paracetamol
  2. BPOM, BAHAYA BAHAN KIMIA OBAT (BKO) YANG DIBUBUHKAN KEDALAM OBAT TRADISIONAL (JAMU), diakses dari https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT%E2%80%93BKO%E2%80%93YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL%E2%80%93JAMU-.html#:~:text=BKO%20atau%20bahan%20kimia%20obat,umumnya%20digunakan%20pada%20pengobatan%20modern.pada tanggal 14 Maret 2022
  3. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pangan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia),Bahan Ajar Farmasi, Farmasi Klinik, diakses dari http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2018/09/Farmasi-Klinik_SC.pdf , pada tanggal 14 Maret 2022)
  4. BPOM Ungkap kopi yang mengandung Paracetamol dan Sildenafi, diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/bpom-ungkap-daftar-kopi-mengandung-Paracetamol-dan-sildenafil.html
  5. Paracetamol (Acetaminophen), diakses dari https://www.alodokter.com/Paracetamol
  6. Tahukan kamu  apa itu bahan kimia obat, diakses dari https://bbpompadang.id/read-artikel?slug=tahukah-kamu-apa-itu-bahan-kimia-obat.

[1] BPOM Ungkap Kopi yang mengandung Paracetamol, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220306180624-20-767458/bpom-ungkap-merek-kopi-mengandung-Paracetamol, pada tanggal 8 Maret 2022

[2] BAHAYA BAHAN KIMIA OBAT (BKO) YANG DIBUBUHKAN KEDALAM OBAT TRADISIONAL (JAMU), diakses dari

https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/144/BAHAYA-BAHAN-KIMIA-OBAT%E2%80%93BKO%E2%80%93YANG-DIBUBUHKAN-KEDALAM-OBAT-TRADISIONAL%E2%80%93JAMU-.html#:~:text=BKO%20atau%20bahan%20kimia%20obat,umumnya%20digunakan%20pada%20pengobatan%20modern.pada tanggal 14 Maret 2022

[3] Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pangan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia),Bahan Ajar Farmasi, Farmasi Klinik, diakses dari http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2018/09/Farmasi-Klinik_SC.pdf , pada tanggal 14 Maret 2022)

[4] Ibid.

[5] BPOM Ungkap kopi yang mengandung Paracetamol dan Sildenafi, diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/bpom-ungkap-daftar-kopi-mengandung-Paracetamol-dan-sildenafil.html, pada tanggal 8 Maret 2021

[6] Ibid.

[7] Pasal 136 dan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Jo Pasal 64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta Kerja

[8] Pasal 196 dan Pasal Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Jo Pasal 140 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

[9] Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[10] Pasal 62 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[11] Pasal 63 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[12] https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/110/PENJELASAN-BADAN-POM-RI–Tentang-Produk-Herbal-dan-Suplemen-Kesehatan-Yang-Digunakan-Untuk-Membantu-Memelihara-Daya-Tahan-Tubuh.html

[13] Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

0

Kewajiban Keikutsertaan Masyarakat Dalam Program Jaminan Kesehatan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Salah satu tugas dan fungsi pemerintah adalah fungsi pelayanan (Service), yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat (publik), dimana pelayanan tersebut mencakup semua sektor yang ada pada masyarakat, salah satunya sektor kesehatan. Terdapat banyak bentuk pelayanan pada sektor kesehatan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, salah satunya melalui Program Jaminan Sosial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional , dimana Jaminan Kesehatan merupakan salah satu jenis yang yang tercakup dalam Program Jaminan Sosial tersebut.

          Jaminan Sosial diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dimana Jaminan Sosial dan BPJS menurut definisi dalam Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), adalah:

Pasal 1

  1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
  2. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. [1]

Dalam menyelenggarakan Program Jaminan Sosial yang dilakukan oleh BPJS, dibagi ke dalam 2 bentuk yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga Kerjaan, dimana dari pengertian bentuk tersebut BPJS Kesehatan adalah Pihak yang menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Jaminan Kesehatan itu sendiri dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (Permenkes 71/2013) yang telah mengalami 4 kali perubahan melalui Permenkes 99/2015, Permenkes 23/2017, Permenkes 5/2018, dan Perubahan ke-4 pada Permenkes 7/2021, dimana Jaminan Kesehatan memiliki definisi sebagai berikut:

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.[2]

Jaminan Kesehatan juga diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 82/2018) sebagaimana telah mengalami dua kali perubahan melalui Perpres 75/2019 serta Perpres 64/2020, dimana dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 82 Tahun 2018 mengatur mengenai kewajiban keikutsertaan setiap penduduk Indonesia dalam Program Jaminan Kesehatan melalui BPJS Kesehatan, yang berbunyi:

Pasal 6

  • Setiap Penduduk Indonesia wajib ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan.
  • Ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara mendaftarkan atau didaftarkan pada BPJS Kesehatan.[3]

Dalam Pasal 6 ayat (3) Perpres 82 Tahun 2018 juga menjelaskan bahwa calon peserta BPJS Kesehatan berhak untuk menentukan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang diinginkan oleh Calon Peserta. Dimana berkaitan dengan Pasal 2 Permenkes 5/2018 tentang Perubahan ke-3 Permenkes 71/2013 menjelaskan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat dilakukan oleh semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa :

  1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, yakni:
  2. puskesmas atau yang setara;
  3. praktik dokter;
  4. praktik dokter gigi;
  5. praktik dokter layanan primer;
  6. klinik pratama atau yang setara; dan
  7. rumah sakit kelas D pratama atau yang setara.
  • Fasilitas Kesehatan rujukan Tingkat Lanjutan, yakni:
  • klinik utama atau yang setara;
  • rumah sakit umum; dan
  • rumah sakit khusus. [4]

Mengacu Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Perpres 82/2018, Peserta Jaminan Kesehatan dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan, meliputi: [5]

  1. PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan, dimana definisi PBI Jaminan Kesehatan dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 5 Perpres 82/2018, yang menjelaskan bahwa :

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Kesehatan. [6]

  • Bukan PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan, yang terdiri dari:
  • PPU (Pekerja Penerima Upah) dan anggota keluarganya;
  • PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan anggota keluarganya; serta
  • BP (Bukan Pekerja) dan anggota keluarganya.

Didalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 82/2018 menjelaskan bahwa setiap calon peserta yang telah menjadi peserta BPJS Kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta berupa Kartu Indonesia Sehat yang memuat nama  dan nomor identitas peserta yang terintegrasi dengan Nomor Identitas Kependudukan, kecuali untuk bayi baru lahir. [7] Serta, Penduduk yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan dapat didaftarkan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. [8]

Selain itu, pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. Dalam hal pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai peserta jaminan kesehatan. [9]

Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui keikutsertaan seluruh penduduk Indonesia yang didaftarkan pada BPJS Kesehatan, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (Inpres 1/2022). Dimana optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional tersebut melibatkan seluruh perangkat-perangkat pemerintahan dari kementerian dalam hal pemerintah pusat, Jaksa Agung, Kepolisian, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, Gubernur dan Walikota/Bupati dalam hal pemerintah daerah, hingga Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Dalam Inpres 1/2022 tersebut dijelaskan mengenai instruksi yang melibatkan pihak-pihak yang telah disebutkan diatas untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan optimalisasi program Jaminan Kesehatan. Dimana secara singkat, tujuan diterbitkannya Inpres 1/2022 tersebut adalah untuk melakukan persiapan, sinkronisasi dan penyempurnaan regulasi terkait dengan kepemilikan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan peserta dari BPJS Kesehatan.

Contoh penerapan Kebijakan tersebut, dalam hal menginstruksikan perangkat-perangkat pemerintahan kepemilikan Kartu Indonesia Sehat sebagai peserta aktif program Jaminan Kesehatan dalam hal ingin mengurus perizinan berusaha melalui sistem OSS (Online Single Submission), Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, peralihan hak dari jual beli tanah, hingga syarat kepemilikan rumah yang diatur dalam Inpres 1/2022 tersebut.

Penerapan peraturan tersebut juga merupakan perwujudan yang selaras dengan Pasal 6 ayat (1) Perpres 82/2018 yang mengatur bahwa setiap Penduduk Indonesia wajib ikutserta dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Hal ini dijelaskan secara implisit, akan tetapi hal tersebut merupakan cara yang diambil pemerintah untuk melakukan program pemerataan kepemilikan Kartu Indonesia Sehat tersebut, yang secara langsung berimplikasi terhadap perwujudan pelayana kesehatan sebagaimana dijelaskan Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi :

Pasal 28

  • Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
  • Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.[10]

Terdapat sanksi administratif yang dapat diberikan kepada masyarakat yang tidak mengikuti program Jaminan Kesehatan, hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 17 Perpres 82/2018 jo. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU BPJS, yang berbunyi:

Pasal 17 Perpres 82/2018

  • Kewajiban melakukan pendaftaran sebagai Peserta Jaminan Kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan batas waktunya namun belum dilakukan maka dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17 UU BPJS

  • Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  • teguran tertulis;
  • denda; dan/atau
  • tidak mendapat pelayanan publik tertentu. [11]

“Tidak mendapat pelayan publik tertentu” sebagaimana dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) huruf c UU BPJS berkaitan dengan contoh penerapan dari optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional pada Inpres 1/2022 mengenai pembuatan izin berusaha, Surat Izin Mengemudi, kepemilikan rumah dan sebagainya. Dimana apabila masyarakat yang tidak ikut serta dalam Program Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) sebagai peserta, yakni memiliki Kartu Indonesia Sehat, maka tidak mendapat pelayanan publik seperti mengurus izin-izin yang telah dijelaskan diatas.

Sehingga, pada dasarnya program Jaminan Kesehatan merupakan perwujudan dari amanat Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 mengenai jaminan sosial dan pelayanan kesehatan yang harus diberikan oleh Pemerintah kepada Masyarakat. Oleh sebab itu, Pemerintah mewujudkan hal tersebut melalui program yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam hal ini BPJS Kesehatan, dan seiring berjalannya penerapan program tersebut, pemerintah terus melakukan penyempurnaan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui penerbitan peraturan seperti Perpres 82/2018 dan dalam hal melakukan optimalisasi Program Jaminan kesehatan tersebut Pemerintah dalam hal ini secara langsung memberikan instruksi kepada perangkat-perangkat pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat daerah melalui Inpres 1 Tahun 2022.

Hal ini dilakukan demi melakukan mewujudkan pelayanan kesehatan yang maksimal melalui pemerataan keikutsertaan seluruh penduduk Indonesia dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional melalui pendaftaran pada BPJS Kesehatan serta Kepemilikan Kartu Indonesia Sehat, serta Pemerintah sanksi administratif yang diberikan kepada masyarakat seperti teguran, denda, serta tidak mendapat pelayanan publik tertentu apabila tidak ikut serta dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional atau memiliki Kartu Indonesia Sehat.

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
  4. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang telah mengalam 2 kali perubahan melalui Perpres 75/2019, dan Perubahan ke-2 melalui Perpres 64/2020
  5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
  6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (Permenkes 71/2013) yang telah mengalami 4 kali perubahan melalui Permenkes 99/2015, Permenkes 23/2017, Permenkes 5/2018, dan Perubahan ke-4 pada Permenkes 7/2021

[1] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

[2] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

[3] Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[4] Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

[5] Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[6] Pasal 1 Angka 5 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[7] Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[8] Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[9] Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

[10] Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[11] Pasal 17 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan jo. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Translate