0

PERMASALAHAN TERHADAP PRODUK IMPOR YANG DILABELI PRODUK MILIK DALAM NEGERI

Written by : Alfredo Joshua Bernando, Co Written by : Shafa Atthiyyah Raihana 

Impor merupakan bentuk transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal atau resmi dan umumnya berada dalam proses perdagangan. Prosesnya berupa tindakan memasukan barang atau komoditas negara lain ke dalam negeri. Impor barang membutuhkan campur tangan bea cukai di negara pengirim dan penerima. [1] Pengertian dari impor berdasarkan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagai berikut:

“Pasal 1

  1. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah kepabeanan” [2]

Dapat dikatakan secara singkatnya bahwa impor adalah barang dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri membutuhkan capur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Kegiatan impor memiliki manfaat atau keuntungan antara lain seperti memperoleh barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkan oleh negara penerima karena adanya keterbatasan, adanya bahan baku, dan teknologi yang lebih modern. Namun, di samping dari keuntungannya tersebut, terdapat kekurangan dari adanya proses impor tersebut seperti masyarakat yang menjadi konsumen dan membeli produk luar negeri secara terus menerus yang menimbulkan ketergantungan.

Permasalahan terhadap kekurangan tersebut, saat ini sedang terjadi di Indonesia karena ditemukannya barang impor yang dicap sebagai produk milik dalam negeri. Lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, menemukan sejumlah pengadaan barang dan jasa impor yang diberikan label produk dalam negeri di Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di sejumlah daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta beberapa supermarket perbelanjaan dan marketplace di Indonesia. Penemuan ini mendapat perintah langsung dari Presiden RI. [3]

Beberapa barang impor yang ditemukan berlabel produk dalam negeri antara lain alat kesehatan, alat pertanian, tekstil, besi/baja, dan beberapa barang lain yang sedang berusaha dideteksi. Sebelumnya, Presiden RI telah meminta lembaga kekuasaan negara tersebut untuk untuk mengawasi dan menindak peredaran barang-barang impor yang dicap sebagai produk lokal. Hal ini sesuai dengan tugas yang dimiliki lembaga tersebut seperti dalam Pasal 30B huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu:

“Pasal 30B

  1. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum”[4]

Tidak hanya lembaga negara di bidang penuntutan yang melakukan pengawasan, namun instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai serta Menteri Perdagangan juga dihimbau untuk melakukan pemantauan terhadap adanya barang impor yang dicap milik negara.

Padahal, di Indonesia telah menetapkan peraturan yang mencantumkan perlu adanya identitas dari pelaku usaha sehingga tidak adanya kecurangan dari produk lokal yang menganggap bahwa produk impor adalah buatan miliknya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan yaitu:

“Pasal 23

  • Keterangan mengenai identitas Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    • nama dan alamat Produsen untuk Barang produksi dalam negeri;
    • nama dan alamat Importir untuk Barang asal Impor;
    • nama dan alamat Pengemas, untuk Barang yang diproduksi dalam negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah Republik Indonesia; atau
    • nama dan alamat Pedagang Pengumpul jika memperoleh dan memperdagangkan Barang hasil produksi usaha mikro dan usaha kecil.” [5]

Dalam permasalahan ini juga, beberapa alat impor seperti alat kesehatan dan alat pertanian yang berasal dari luar negeri bisa mendapatkan perlindungan Paten apabila alat-alat tersebut sudah didaftarkan secara resmi. Sistem Paten secara umum berlaku di seluruh dunia, termasuk pada alat kesehatan dan alat pertanian. Hal ini dikarenakan alat-alat tersebut merupakan bentuk inovasi dari adanya penemuan di bidang teknologi. Di Indonesia, perlindungan Paten dijelaskan Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

“Pasal 1

Hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atau hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan invensi sendiri atau memberikan persetujuan terhadap pihak lain untuk melaksanakannya.” [6]

Sehingga, jika ingin mengimpor suatu produk terhadap pihak tertentu dan mau melabeli sendiri sebagai produk lokal, maka harus memastikan bahwa produk impor tersebut telah diselesaikan penuh haknya oleh pembuat barang. Tidak hanya itu, pendaftaran paten juga merupakan hal yang penting terhadap barang impor tersebut karena dengan adanya pendaftaran paten, barang tersebut mendapatkan perlindungan hukum, mengantisipasi pelanggaran dari paten, mencegah adanya duplikasi, dan pencipta bisa mendapatkan manfaat ekonomis dari karya yang sudah ia ciptakan.  Maka dari itu, jika seseorang ingin mengklaim suatu barang yang merupakan invesi dari orang lain, perlu adanya izin dari pemilik atau pencipta barang melalui perjanjian resmi yang mengikat antara pemilik barang dengan seseorang yang ingin mengakui bahwa produk milik diri sendiri atau produk lokal agar tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan.

Jika produk impor pada alat kesehatan dan alat pertanian dilabeli menjadi produk lokal tanpa adanya persetujuan dari pemegang paten, maka hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Seperti yang diketahui, dengan adanya hak paten maka hal ini dapat memberi perlindungan terhadap suatu invensi dari orang lain yang berniat untuk menggunakannya tanpa izin dari inventor. Pelarangan dari tidak adanya izin dari pemegang paten atas penggunaan barang dan melakukan perubahan label produk impor ke lokal, dijelaskan berdasarkan Pasal 19 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

“Pasal 16

  • Pemegang Paten memiliki hak eksekutif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya :
  • Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten.”  [7]

Berdasarkan pengaturan Undang-Undang Paten yang baru ini, ketentuan pidana tersebut diatur dalam delik aduan yaitu pada Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[8]

Selain mendapatkan perlindungan paten, produk impor pada alat kesehatan, alat pertanian, dan besi/baja tersebut juga bisa mendapatkan perlindungan merek terlebih jika produk tersebut sudah didaftarkan secara resmi. Merek memegang peranan penting dalam perdagangan. Hal ini dikarenakan merek adalah bentuk dari jaminan dari suatu produk barang dan jasa. Di Indonesia, perlindungan merek dijelaskan pada Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu:

“Pasal 1

  • Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri -Meiek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” [9]

Sehingga pemilik merek terdaftar mempunyai hak ekslusif yang berkaitan dengan mereknya, hal ini diberikan kepadanya untuk mencegah pihak tidak sah yang ingin menggunakan merek tersebut atau merek serupa yang membingungkan. Namun dalam kasus kasus ini, jika sebuah produk impor dilabeli menjadi produk lokal pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak dijelaskan adanya sanksi pidana bagi  seseorang yang mengganti merek terdaftar pada suatu produk lalu menempelkan merek sendiri. Tetapi ada hukum lain yang dapat menjerat pelaku usaha jika produk yang dijual kembali menggunakan label miliknya ternyata mengalami kerusakan atau dalam komposisinya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya diperdagangkan.

Dengan adanya permasalahan tersebut, salah satu marketplace di Indonesia memberikan tanggapan karena adanya barang impor yang dicap menjadi produk dalam negeri. Mereka memastikan bahwa semua barang yang dijual dalam platform tersebut sudah melalui rangkaian proses di Bea Cukai dan kemudian dijual oleh pedagang domestik. [10]

Akibat dari adanya barang-barang impor yang dilabeli milik dalam negeri juga, hal tersebut dapat menghambat produksi anak bangsa yang tidak bisa bersaing di pasar lokal dan dapat menganggu pertumbuhan dari ekonomi Indonesia ini. Walaupun produk impor juga turut membantu perekonomian di Indonesia, namun pemerintah juga berharap untuk mengutamakan penggunaan dari produk lokal sendiri agar bisa berkembang untuk kedepannya.

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021tentang Penyelangaraan Bidang Perdagangan

REFERENSI:

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Impor, diakses 04 April 2022
  2. Kompas, https://nasional.kompas.com/read/2022/03/28/16305721/kejagung-temukan-barang-impor-yang-dicap-sebagai-produk-dalam-negeri, diakses pada 04 April 2022
  3. Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4922176/respons-tokopedia-atas-kekesalan-jokowi-soal-banyak-produk-impor-dicap-buatan-dalam-negeri, diakses 05 April 2022

[1] Impor, Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Impor, diakses pada 4 April 2022

[2] Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995

[3] Kompas, https://nasional.kompas.com/read/2022/03/28/16305721/kejagung-temukan-barang-impor-yang-dicap-sebagai-produk-dalam-negeri, diakses pada 04 April 2022

[4] Pasal 30B huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 

[5] Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021tentang Penyelangaraan Bidang Perdagangan

[6] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[7] Pasal 19 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[8] Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[9] Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[10] Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4922176/respons-tokopedia-atas-kekesalan-jokowi-soal-banyak-produk-impor-dicap-buatan-dalam-negeri, diakses 05 April 2022

0

Paten Sederhana Berbasis Bioteknologi Konvensional

Author : Alfredo Joshua Bernando

Co Author : Robby Malaheksa

Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dikenal sebagai hak paten atau hak khusus yang diberikan negara kepada inventor atas hasil karya invensinya di bidang teknologi. Hak paten diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Perlindungan hukum terhadap pemegang paten bertujuan untuk memotivasi inventor dalam menigkatkan hasil karyanya baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut pada Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 memberikan penjelasan tentang definisi dari Paten yaitu:

Pasal 1

  1. Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu teretntu melaksanakan sendiri invesi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya
  2. Invensi merupakan ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahnan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembanagan produk atau proses.
  3. Investor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. [1]

Dalam hak paten, objek yang diberikan perlindungan berupa invensi. Berdasarkan lingkupnya terdapat dua jenis paten yaitu paten sederhana an paten biasa, Paten sederhana merupakan invensi baru yang pengembangannya sudah ada dan dapat diterapkan di bidang industri, Sedangkan untuk paten biasa merupakan invensi baru yang memiliki langkah inventif dan dapat diterapkan pada bidang industri.

Seperti yang dijelaskan pada pengertian Paten, dimana Paten diberikan oleh negara yang dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Paten yang diberikan perlindungan bukan hanya terhadap temuan dibidang teknologi, tapi juga hak eksklusif yang melekat pada pemilik atau pemegang hak paten, sehingga apabila pihak lain yang yang menerima peralihan berkeinginan untuk mendapat manfaat ekonomi mengunakan hak paten tersebut wajib memperoleh lisensi (izin) dari pemiliknya atau pemegangnya.

Sebuah invensi dalam paten dapat ditemukan dalam berbagai bidang, salah satunya bidang Bioteknologi, Bioteknologi adalah Bioteknologi merupakan sebuah proses untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kepentingan manusia yang berasal dari pemanfaatan makhluk hidup maupun produk yang berasal dari makhluk hidup tersebut. Pemanfaatan biologis makhluk hidup yang dimaksud seperti bakteri, virus, fungi, dan lain sebagainya. Sedangkan, produk yang berasal dari makhluk hidup memiliki contoh seperti kandungan enzim. [2]

Terkait dengan perkembangannya, bioteknologi dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi konvesional dan bioteknologi modern. Bioteknologi konvesional dilakukan dengan bahan dan peralatan yang sederhana pada prosesnya. Sedangkan bioteknologi modern merupakan kemajuan bioteknologi konvesional yang perkembangannya terus berlanjut hingga sekarang.[3]

Pasal 2 UNCBD menyatakan definisi Bioteknologi sebagai penerapan teknologi yang menggunakan sistem-sistem hayati, makhluk hidup atau derivatifnya, untuk membuat atau memodifikasi produk-produk atau proses-proses untuk penggunaan khusus.[4] Bioteknologi konvensional disebut juga bioteknologi tradisional, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan mikroorganisme dan proses biokimia dengan menggunkan peralatan dan metode yang sederhana. Prinsip dasar proses bioteknologi konvensional adalah melibatkan proses fermentasi dalam menghasilkan produk. Mikroorganisme berperan dalam proses fermentasi untuk mengubah bahan mentah atau makanan menjadi produk baru dengan kandungan nutrisi yang lebih baik. Kelemahan dari bioteknologi konvensional adalah prosesnya yang relatif belum steril (bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan), sehingga kualitasnya belum terjamin. Contoh Produk bioteknologi konvensional dan telah digunakan mengahasilkan produk, baik dalam skala kecil maupun industri besar anatara lain roti, tempe, tapai, keju, yoghurt dan lain-lain.[5]

Fermentasi ialah bagian penting dalam proses bioteknologi konvensional yang merupakan suatu proses perubahan enzimatik secara anaerob yang berasal dari senyawa organik kompleks menjadi produk organik yang lebih sederhana. Proses fermentasi menggunakan mikroorganisme yang bersifat tidak patogen sehingga aman begi kesehatan tubuh. Proses ini dapat menghasilkan alkohol, asam dan gas. Salah satu tujuan utama fermentasi adalah untuk mengawetkan makanan. Adanya perubahan karbohidrat menjadi asam organik dapat membuat makanan menjadi tahan lama.

Keberhasilan proses fermentasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Hal ini terjadi karena mikroorganisme yang digunakan membutuhkan kesesuaian lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik. Ketidaksesuaian kondisi lingkungan saat proses inkubasi dapat menyebabkan fermentasi tidak berjalan atau produk yang di hasilkan bersifat toksik.

Contoh mengenai invensi pada bidang bioteknologi dapat berupa produk yang dikonsumsi seperti obat-obatan yang terbuat dari unsur hayati maupun hewani, serta produk-produk untuk dikonsumsi.

Pasal 5 huruf (c) Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik, menjelaskan jenis Produk Rekayasa Genetik (PRG) dimana salah satunya adalah Tanaman, bahan asal tanaman, dan hasil olahannya. Mengacu dalam jenis PRG tersebut maka yang merupakan hasil olahan dari Tanaman wajib di berikan perlindungan hukum, hal ini sejalan dengan tujuan dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) yaitu untuk meningkatkan hasil guna dan dayaguna bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan dan pengelolaan sumber daya Hayati, perlindungan konsumen, kepastian hukum dan kepastian dalam melakukan usaha.[6]

Tindakan lebih lanjut terhadap pemberian Paten untuk produk-produk bioteknologi memang perlu di lakukan penelitian mendalam di laboratorium sebelum diedarkan secara luas, guna mencegah dampak negatif yang di timbulkan, selain itu, untuk menjamin kemanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan produk tersebut sebagai bahan pangan harus bersumber pada persepsi resiko yang dapat diterima (acceptable risk).

Upaya perlindungan Paten terhadap produk-produk hasil dari bioteknologi konvensional dapat dimungkinkan, karena jika merujuk Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten, terkait Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi :

“Pasal 9

  1. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/ atau hewan;
  3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
  4. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.[7]

Selain itu, terkait dengan produk-produk yang merupakan hasil dari bioteknologi dapat diaplikasikan dengan paten sederhana , maka paten sederhana terhadap produk-produk tersebut memiliki jangka waktu maksimum perlindungan 10 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

Pasal 23

  1. Paten diberikan untuk jangka waktu sepuluh tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.[8]

Tidak hanya perlindungan bagi masa berlakunya, jika bioteknologi sudah terdaftar dalam paten, maka penemuan tersebut memiliki perlindungan berupa sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam hak paten, Perlindungan tersebut tertulis dalam Pasal 130, Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten sebagai berikut:

Pasal 130

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” [9]

“Pasal 131

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam Pasal 16 (melarang pihak lain tanpa persetujuan membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan untuk dijual atau disewakn produk yang diberi paten) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)[10]

Pasal 134

Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat memerintahkan agar barangbarang hasil pelanggaran Paten tersebut disita oleh Negara untuk dimusnahkan. [11]

Dapatdikatakan bahwa terdapat perlindungan hukum bagi penemuan bioteknologi karena penemuan bioteknologi yang sudah tercatat dan memiliki hak patennya sendiri sehingga jika adanya pelanggaran yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 130, Pasal 131, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Apabila diamati , maka terdapat keterbukaan peluang yang besar terhadap usaha untuk mematenkan produk-produk bioteknologi konvensional karena tidak termasuk ke dalam Pasal 9 UU Paten tersebut, seperti contoh yang sudah dijelaskan diatas yakni macam produk hasil dari bioteknologi baik dari bahan dasar hewani maupun hayati, Tujuan nya adalah sebagai bagian dari peningkatan produksi ekonomi kreatif, membuka lapangan kerja dan menjamin makanan khas yang merupakan warisan budaya terlindungi, agar produk-produk hasil dari bioteknologi tersebut dapat dipatenkan oleh pengusaha-pengusaha produk tersebut, hal ini dilakukan supaya menghindari didahuluinya produk-produk bioteknologi konvensional tersebut dipatenkan di luar negeri oleh pihak yang justru bukan pemilik invensi dari produk bioteknologi tersebut.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
  2. Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik
  3. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity 2000 Indonesia, Undang-Undang No 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 41)

REFERENSI

  1. Abdulkadir, Muhammad. 2007, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
  2. Krisnawati, Andriana. 2009, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Penerbit Grasindo
  3. Pendidikan Biologi. 2015, Materi penataran Guru MGMP Bidang Biologi. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
  4. Widya Karya Nasional 6-7  Juli 1995.  Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta
  5. Baharuddin Haryanto, Idrus Idham, 2020.Biologi untuk Hidup yang lebih Baik, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah-Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

[1] Pasal 1 Angka 1 , Angka 2 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi

[3] https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/19/135332069/bioteknologi-jenis-contoh-dan-penerapannya?page=all

[4] UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity), sebuah Konvensi Keanekaragaman Hayati yang di hasilkan dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio De Janeiro, 1992.

[5] Harianto Baharuddin, Idham Kahlik Idrus, 2020. Biologi untuk Hidup yang lebih baik, hlm. 5

[6] Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik

[7] Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten

[8] Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[9] Pasal 130 Undang-Undang Nomoe 14 Tahun 2001 tentang Paten

[10] Pasal 131 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

[11] Pasal 134 Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten

0

Intellectual Property Copyright Related to State Event Mascot

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua Bernando

Maskot adalah bentuk atau benda yang dapat berbentuk seseorang, binatang, atau objek lainnya yang dianggap dapat membawa keberuntungan dan untuk menyemarakkan suasana acara yang diadakan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Maskot adalah orang, binatang, atau benda yang diperlakukan oleh suatu kelompok sebagai lambang pembawa keberuntungan atau keselamatan. [1] Maskot pada umumnya merepresentasikan kepada masyarakat luas dari sekolah, universitas, klub olahraga, ataupun pengembangan atas suatu produk komersial. Setiap maskot yang dibuat akan diberikan nama panggilan yang sesuai dengan karakter dari maskot itu sendiri.[2]

Penggunaan atas maskot sekarang telah semakin meluas dengan selalu digunakan dalam setiap acara olahraga di dunia ini, seperti Piala Dunia maupun Olimpiade sebagai bagian dari promosi dari acara olahraga saat ini. Pemilihan atas maskot akan disesuaikan dengan karakter dari acara yang akan dibuat ataupun dari organisasi, klub, maupun lembaga yang akan menggunakan maskot sebagai alat untuk berpromosi.[3]

Setiap maskot seperti yang mempresentasikan suatu negara dapat disebut maskot acara negara, maskot tersebut biasa dimunculkan pada suatu ajang antar negara seperti acara olahraga dunia, seperti contoh SEA Games, Piala Dunia dan sebagainya. Maskot tersebut diciptakan oleh masing-masing negara, dimana dalam hal ini memiliki pencipta baik ia perseorangan maupun kelompok, dan dalam hal ciptaan berupa maskot tersebut, tentunya memiliki hak cipta yang menimbulkan hak eksklusif pada penciptanya.

Terkait dengan karya cipta berupa maskot yang memiliki pencipta, maka maskot tersebut dapat dikategorikan sebagai objek kekayaan intelektual yang mendapat perlindungan hak cipta, dan apabila maskot tersebut didaftarkan melalui suatu merek tertentu, maka dapat dilindungi dengan hak atas merek. Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjelaskan tentang definisi Hak Cipta dan Ciptaan yang merupakan objek yang dilindungi oleh Hak Cipta, yang merupakan:

Pasal 1

  • Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[4]

Dalam penggunaan maskot tersebut, tidak jarang terdapat pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta maupun hak atas merek, melalui memproduksi kostum, boneka, baju ataupun membuat gambar yang memuat maskot tersebut tanpa persetujuan dari pencipta atau pemilik merek, dan hal tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan dan hal ini melanggar hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta berdasarkan hak kekayaan intelektual yang dimilikinya.

Dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak ekonomi milik pencipta berkaitan dengan hak cipta yang dilanggar , yang berbunyi:

Pasal 8

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.

Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan
    • penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3)
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”  [5]

Pengaturan mengenai pelanggaran Hak Ekonomi Pencipta terhadap Objek Ciptaan tersebut diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi:

“ Pasal 113

  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[6]

Selain perlindungan sebagai objek hak cipta, apabila suatu maskot telah didaftarkan oleh suatu merek, dapat dilindungi dengan hak atas merek apabila terjadi pembajakan merek terhadap suatu produksi maskot yang menggunakan merek dagang tersebut. Hak atas merek dijelaskan dalam Pasal 1 Ankga 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi:

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.[7]

Pembajakan merek atau penggunaan merek tanpa hak atau tanpa izin dari pemilik merek diatur dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi :

Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

  1. gugatan ganti rugi; dan/atau
    1. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.[8]

Sanksi atas Pembajakan Merek itu sendiri diatur dalam Pasal 100 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi :

Pasal 100

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).[9]

Sehingga, perlindungan hukum terhadap maskot acara negara, dikarenakan maskot acara negara tersebut merupakan suatu objek perlindungan hak cipta , dimana apabila terjadi pembajakan terhadap hak cipta yang dimiliki oleh pencipta maskot tersebut, terdapat perlindungan hukum terhadap hak ekonomi pencipta yang diatur dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang memiliki sanksi pidana serta denda.

Hal tersebut juga diatur apabila maskot acara negara tersebut dilindungi melalui merek terdaftar yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dimana terdapat perlindungan hak atas merek terkait dengan pembajakan merek yang memiliki sanksi pidana serta denda, serta pelanggar hak atas merek tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian atas pembajakan merek tersebut.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Referensi :

  1. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Wikipedia


[1] https://kbbi.web.id/maskot

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Maskot

[3] Ibid.

[4] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[5] Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[6] Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[7] Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[8] Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[9] Pasal 100 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

0

Inventor Creation Patent in Construction Activities

Author: Rizki Haryo Kusumo; Co-Author: Ananta Mahatyanto

Dalam proyek konstruksi, dikenal Teknologi Konstruksi yang merupakan berbagai macam perkembangan yang ada di bidang konstruksi baik itu dari material, komponen konstruksi, dan juga metode konstruksi. Teknologi Konstruksi memiliki peran penting dalam dunia proyek konstruksi, yaitu agar tercapainya target proyek konstruksi dengan waktu dan biaya yang minimal, dan mutu yang maksimal. Teknologi Konstruksi itu sendiri adalah produk dari arsitektur yang merupakan Inventor dalam proyek konstruksi tersebut dimana dapat dipatenkan oleh arsitektur konstruksi dengan melihat ketentuan-ketentuan tentang paten itu sendiri.

Paten

Sebelumnya, perlu dipahami apa itu paten. Paten diatur Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UUP) disebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 butir 2 UUP). Inventor adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi (Pasal 1 butir 3). Rumusan di atas dapat menjelaskan bahwa paten merupakan hasil kreativitas seseorang dalam bidang teknologi. Istilah invensi seseorang dalam bidang teknologi, selain membawa dampak pengembangan dalam ilmu pengetahuan juga ada nilai ekonomisnya.

Ruang lingkup paten dan sederhana (Pasal 2 UUP). Maksud dari paten dan sederhana, dijabarkan dalam Pasal 107 UU cipta kerja perubahan terhadap pasal 3 UUP sebagai berikut:

  1. Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
  2. Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
  3.  Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. produk sederhana;
    2. proses sederhana; atau
    3. metode sederhana.

Pada Pasal 10 UUP disebutkan yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau jika invensi ditemukan secara bersama maka disebut para inventor, dan yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. Pada Pasal 24 UUP disebutkan paten diberikan atas dasar permohonan. Namun perlu diperhatikan, bahwa tidak setiap invensi dapat diberikan Paten. Pasal 9 UUP bahwa Paten tidak diberikan untuk invensi tentang:

  1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  3. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
  4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.

Berdasarkan ketentuan di atas, paten tidak begitu saja diberikan, melainkan inventor harus mengajukan permohonan kepada negara. Jika suatu invensi hendak diajukan ke Kantor Paten, agar permohonan atau tepatnya pendaftaran dikabulkan, harus memenuhi syarat-syarat sesuai pasal 3 ayat 1 UUP yaitu berikut:

  1. Invensi itu harus baru (Novelty)
  2. Mengandung langkah inventif (Inventive step)
  3. Dapat diterapkan dalam industri (Industrial applicability)

Apabila segala persyaratan yang ditentukan sudah dipenuhi, maka kepada pihak yang melakukan pendaftaran paten akan diberikan hak eksklusif. Hak eksklusif tersebut adalah hak kepada pemegang paten untuk merealisasikan penemuan barunya, baik dalam bentuk suatu produk atau mempergunakan suatu proses tertentu. Hak eksklusif yang diberikan paten adalah bersifat teknis, tetapi dampak dari hak eksklusif tersebut merupakan permasalahan hukum.

Masalah tersebut berkaitan dengan apa yang di dalam hukum paten disebut sebagai non obviousness, yaitu disamping persyaratan tentang barunya suatu penemuan (novelty), sebelum paten diberikan ingin diketahui terlebih dahulu, apakah penemuan baru tersebut sudah cukup canggih di dalam bidang bersangkutan sehingga kepada penemu dapat diberikan hak eksklusif selama berlakunya paten bersangkutan. Sebagai upaya untuk membantu mengadakan evaluasi dari diberikan atau tidaknya paten untuk penemuan, hukum paten mengembangkan teori subtest of invention.

Perlindungan Karya Arsitektur

Karya arsitektur mengandung bagian-bagian Kekayaan Intelektual yang dapat dilindungi hukum. Adapun Kekayaan Intelektual yang terkait yaitu Hak Cipta, Desain Industri dan Paten. Hak Cipta karena karya arsitektur merupakan ide dan gagasan yang berasal dari pemikiran (intelektual) seorang arsitek yang mempunyai unsur seni, teknologi, nilai guna. Desain Industri karena karya arsitektur mengandung unsur pola, kesan estetis, dan dapat diproduksi dalam bentuk produk industri secara masal. Paten karena karya arsitektur merupakan invensi yang dihasilkan oleh inventor di bidang teknologi yang memenuhi tiga syarat, yaitu novelty, inventive step dan industrial applicability.

Dalam perlindungan hasil karya arsitektur, apabila disambungkan oleh paten, sistem perlindungan yang diterapkan adalah konstitutif, yaitu setiap hak kekayaan intelektual wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang yang dibuktikan dengan Sertifikat Pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum dan menimbulkan kepastian hukum. Sistem konstitutif dianut oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten.

Secara teoritis, sebenarnya tidak ada masalah apabila hasil invensi tersebut tidak didaftarkan inventor, karena inventor tersebut tetap dapat memiliki hasil invensinya. Inventor berhak menggunakan dan mempertahankannya. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang yuridis, tidak ada perlindungan hukum terhadap inventor tersebut dan tidak ada jaminan hukum bahwa orang lain tidak akan ikut serta menggunakannya. Apabila invensi tersebut digunakan oleh orang lain, maka bagi inventor akan sulit membuktikan kebenaran haknya.

Klausul Kepemilikan Paten Yang Belum Didaftarkan Dalam Kontrak

Dalam pembahasan kontrak pastinya mengacu kepada Kitab Undang-Undang perdata. Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak.

Kontrak memiliki beberapa syarat sah yang harus di penuhi. Syarat sah tersebut di atur pada pasal 1320 KUHper, ada 4 syarat yaitu:

  1. Kecakapan para pihak
  2. Kesepakatan antara pihak
  3. Adanya suatu hal atau objek tertentu
  4. Suatu sebab yang halal ( tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum )

Dalam pembuatan kontrak tersebut ada asa yang dinamakan asas kepatutan dimana di atur pada pasal 1339 KUHper yang berbunyi:

            “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas       dinyatakan       di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat   perjanjian,       diharuskan oleh (1) kepatutan, (2) kebiasaan, (3) undang-undang.”

Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan dan keadilan menurut undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini Inventor melakukan perjanjian kontrak bersama pihak kedua. Dalam kontrak tersebut adanya klausul tentang kepemilikan hak atas objek paten yang dimana merupakan ciptaan inventor. Hal tersebut di perbolehkan dengan adanya kebebasan berkontrak namun perlu di lihat kembali apakah ciptaan inventor tersebut telah didaftarkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten. Apabila ciptaan inventor tersebut belum didaftarkan maka tidak bisa dikatan dalam kontrak tersebut bahwa objek ciptaan merupakan milik inventor.

Hal tersebut dapat dilihat nya bedasarkan dari 1339 KUHper yang dimana pembuatan kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan undang-undang yang berlaku. Terhadap hal tersebut mengacu kepada UU 13/2016 tentang paten. Karena ciptaan tersebut belum didaftarkan oleh inventor maka untuk ciptaan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat umum.

Mitigasi Penyalahgunaan atau Pelanggaran Hak Paten

Menurut Edmon Makarim, langkah untuk mencegah timbulnya sengketa penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten adalah semua pihak yang berkepentingan dapat secara aktif atau memiliki sumber daya untuk memantau informasi dan mencermati publikasi paten yang bisa menimbulkan resiko pada masa yang akan datang. Serta bagi Pemerintah untuk memperbaiki sistem, terkait dengan proses pemeriksaan substantif yang lebih ketat dalam menentukan kelayakan suatu invensi untuk mendapatkan perlindungan paten.

Perbaikan hal-hal tersebut akan berjalan lebih baik apabila disertai dengan pengawasan yang lebih ketat, terutama pada komunikasi antara petugas penerima paten dan pemohon paten, terkait dengan mencegah lolosnya paten yang tidak memenuhi syarat invensi.

Upaya Hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten:

Pasal 19 jo. Pasal 160 jo. Pasal 161 jo. Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten, yang menjelaskan bahwa:

“ Pasal 19″

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  • Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  • Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi perlindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.

Pasal 160

Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang:

  1. Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  2. Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 162

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Construction Technology is known for a variety of developments in the construction sector, both in terms of materials, construction components, and construction methods.  Construction technology has an important role in the world of construction projects, namely in order to achieve project targets with minimum time and cost, and with maximum quality.  Construction technology itself is a product of architecture which is an investor in the construction project and can be patented by construction architecture by looking at the provisions of the patent itself.

 Patent

 First, it is necessary to understand what a patent is.  Patents are regulated in Law Number 13 of 2016 concerning Patents (UUP) it is stated that patents are exclusive rights granted by the State to inventors for their inventions in the field of technology, which for a certain period of time carry out the invention themselves or give approval to other parties to carry it out.

 The invention is an inventor’s idea that is poured into a specific problem-solving activity in the field of technology, it can be in the form of a product or process or product or process improvement and development (Article 1 point 2 of the UUP).  An inventor is a person or several people who jointly implement ideas that are poured into activities that produce inventions (Article 1 point 3).  The above formula can explain that patents are the result of someone’s creativity in the field of technology.  The term someone’s invention in the field of technology, in addition to having an impact on the development of science, also has economic value.

The scope of the patent and simple (Article 2 UUP).  The meaning of patent and simple is described in Article 107 of the Copyright Act, amendments to Article 3 of the UUP as follows:

 1. The patent as referred to in Article 2 letter a is granted for an invention that is new, contains inventive steps, and can be applied in industry.

 2. A simple patent as referred to in Article 2 letter b is granted for every new invention, development of an existing product, or process that has practical uses, and can be applied in industry.

 3. Development of existing products or processes as referred to in paragraph (2) includes:

a. simple product;

b. simple process;  or

c. Simple method.

 Article 10 of the UUUP states that those who are entitled to a patent are inventors or if the inventions are found together, they are called inventors, and those who further receive the rights of the investor concerned.  Article 24 of the UUUP states that patents are granted on the basis of an application.  However, it should be noted that not every invention can be granted a patent.  Article 9 UUUP that Patents are not granted for inventions concerning:

 a.  Process or product whose announcement and use or implementation is contrary to applicable laws and regulations, religious morality, public order, or decency;

 b.  Methods of examination, treatment, treatment, and/or surgery applied to humans and/or animals;

 c.  Theories and methods in the fields of science and mathematics;  or

 d.  all living things, except micro-organisms;

 e.  biological processes that are essential for the production of plants or animals, except for non-biological processes or microbiological processes.

 Based on the above provisions, patents are not simply granted, but the inventor must submit an application to the state.  If an invention is to be submitted to the Patent Office, in order for the application or to be precise the registration to be granted, it must meet the requirements in accordance with Article 3 paragraph 1 of the UUP, namely the following:

 1. The invention must be new (Novelty)

 2. Contains inventive steps

 3. Can be applied in the industry (Industrial applicability)

 If all the specified requirements have been met, then the party who registers the patent will be granted exclusive rights.  The exclusive right is the right of the patent holder to realize his new invention, either in the form of a product or using a certain process.  The exclusive rights granted by patents are technical in nature, but the impact of these exclusive rights is a legal matter.

 This problem is related to what is referred to in patent law as non-obviousness, namely in addition to the requirements regarding the newness of an invention (novelty), before the patent is granted, it is necessary to know in advance whether the new invention is sophisticated enough in the relevant field so that the inventor can be given it.  exclusive rights during the validity of the relevant patent.  In an effort to help conduct an evaluation of whether or not a patent is granted for an invention, patent law develops the theory of the subtest of invention.

 Architectural Protection

 Architectural works contain IP parts that can be protected by law.  The related Intellectual Property are Copyrights, Industrial Designs and Patents.  Copyright because architectural works are ideas and ideas that come from the (intellectual) thoughts of an architect who have elements of art, technology, use value.  Industrial Design because architectural works contain elements of patterns, aesthetic impressions, and can be mass produced in the form of industrial products.  Patents because architectural works are inventions produced by inventors in the field of technology meet three requirements, namely novelty, inventive step and industrial applicability.

 In the protection of architectural works, if connected by a patent, the protection system applied is constitutive, i.e. every intellectual property right must be registered.  Registration that meets the requirements of the law is an acknowledgment and justification of a person’s intellectual property rights as evidenced by a Registration Certificate so as to obtain legal protection and create legal certainty.  The constitutive system is adopted by Law Number 13 of 2016 concerning Patents.

 Theoretically, there is actually no problem if the invention is not registered by the inventor, because the inventor can still own the invention.  Inventor has the right to use and maintain it.  However, from a juridical point of view, there is no legal protection for the inventor and there is no legal guarantee that other people will not participate in using it.  If the invention is used by other people, it will be difficult for the inventor to prove the truth of his rights.

 Unregistered Patent Ownership Clause in the Contract

 In the discussion of the contract, of course, it refers to the Civil Code.  According to the translation of the Black’s Law Dictionary, the definition of a contract is an agreement between two or more people that creates an obligation to do or not to do something specific.  Based on the Civil Code (KUHPer), a contract creates an agreement between the parties who bind themselves.  So that from this contract an engagement was born in which the parties who bind themselves have their respective obligations as specified in the contract.

 The contract has several legal conditions that must be met.  The legal requirements are regulated in Article 1320 of the Criminal Code, there are 4 conditions, namely:

 1. Skills of the parties

 2. Agreement between parties

 3. There is a certain thing or object

 4. A lawful cause (not contrary to applicable law, decency and public order)

 In making the contract there is a principle called the principle of propriety which is regulated in Article 1339 of the Criminal Code which reads:

 “An agreement is not only binding for things that are expressly stated in it, but also for everything which according to the nature of the agreement, is required by (1) propriety, (2) custom, (3) law  .”

 Based on this, it can be concluded that the contract must be made with due regard to propriety and fairness according to the applicable law.

 In this case the Inventor enters into a contract agreement with the second party.  In the contract there is a clause regarding the ownership of rights to the patent object which is the inventor’s creation.  This is allowed with the freedom of contract but it is necessary to review whether the inventor’s creation has been registered in accordance with Law Number 13 of 2016 concerning Patents.  If the inventor’s creation has not been registered, it cannot be stated in the contract that the object of creation is the property of the inventor.

 This can be seen based on the 1339 KUHper in which the making of a contract must be made with due regard to the appropriateness of the applicable law.  This refers to Law 13/2016 on patents.  Because the work has not been registered by the inventor, the creation can be used by the general public.

 Mitigation of Patent Abuse or Infringement

 According to Edmon Makarim, the step to prevent disputes over misuse or infringement of patent rights is that all interested parties can actively or have resources to monitor information and observe patent publications that may pose risks in the future.  As well as for the Government to improve the system, related to a more stringent substantive examination process in determining the feasibility of an invention to obtain patent protection.

 Improvements in these matters will run better if accompanied by stricter supervision, especially on communication between patent recipients and patent applicants, related to preventing the passage of patents that do not meet the invention requirements.

Legal remedies that can be taken in the event of misuse or infringement of patent rights as regulated in Law Number 3 of 2016 concerning Patents:

Article 19 jo.  Article 160 jo.  Article 161 jo.  Article 162 of Law Number 3 of 2016 concerning Patents, which explains that:

 “Article 19”

 (1) A Patent Holder has the exclusive right to exercise his/her patent and to prohibit other parties who without his/her consent:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 (2) The prohibition on using a production process that is granted a Patent as referred to in paragraph (1) letter b applies only to imports of products that are solely produced from the use of a process that is protected by a Patent.

 (3) In the case of educational, research, experimental, or analytical purposes, the prohibitions as referred to in paragraphs (1) and (2) may be excluded as long as they do not harm the legitimate interests of the Patent Holder and are not commercial in nature.

 Article 160

 Any person without the approval of the Patent Holder is prohibited from:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 Article 161

 Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).

 Article 162

 Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”

1

Joint Webinar:Afia & Co – IP March: Intellectual Property Indonesia & China

14.30-16.05 (GMT+7) Jakarta 雅加达
Session – I (Presented in Chinese)
Why Prioritize Intellectual Property in Indonesia is Important?
(Investment and Intellectual Property Protection related to Regulation in Indonesia)

第一节(中文)
第一个链接-优先级为何重要印度尼西亚的知识产权保护?
(印度尼西亚投资与知识产权相关法规。)

Speakers 演讲人:
Yunarto Zeng 曾伟龙
Lawyer | 律师
Partner Afia & Co. | 合伙人 Afia & Co.

Nirma Afianita
Registered IP Consultant | 知识产权顾问
Managing Partner Afia & Co.| 管理合伙人 Afia & Co.


16.15-17.50 (GMT+7) Jakarta 雅加达
Session II – Session – II (Presented in English)
What You Need to Know about Protecting Your Intellectual Property Rights in China?
(Trademark and Invention Protection related to China Intellectual Property Regulation)

第二场(英语发言)
了解怎么在中国保护您的知识产权?
(与中国知识产权的相关法规。)

Speakers 演讲人:
Stephen Yang 杨勇
Patent Attorney | 专利律师
Managing Partner IP March | 管理合伙人 IP March

Nina Li 李娜
Trademark Attorney | 商标律师
Partner IP March | 合伙人 IP March

Host | 主持人:
Yanhong Yang 杨彦鸿 – Patent Attorney | 专利律师
Partner IP March | 合伙人 IP March

Renat Sofie
Research & Public Relation Afia & Co.
研究与公共关系 – Afia & Co.

📆  *Date 日期 : Thursday, 4 March 2021 / 2021年3月4日,星期四
⏰  *Time 时间 : 14.30 – 17.50 (GMT+7) Jakarta 雅加达
🏣  *Location 地点: (online/网络) zoom

Translate