0

TINJAUAN STRUKTUR PASAR OLIGOPOLI PADA MINYAK GORENG NASIONAL MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA

Author: Alfredo Joshua Bernando; Co-author: Natasya Oktavia & Shafa Atthiyyah Raihanna

Minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, minyak goreng memiliki kontribusi yang sangat besar karena minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok.[1]Belakangan ini terjadi kenaikan harga minyak goreng dan kelangkaan di seluruh wilayah Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan minyak goreng dan jika terdapat stoknya dijual dengan harga yang tinggi.[2] Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan Harga Eceran Maksimum (HET) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 untuk minyak goreng kemasan sederhana sebesar 13.500 dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter .[3] Namun pada tanggal 16 Maret 2022 kebiajakan Harga Eceran Maksimum (HET) tersebut dicabut dan pemerintah mengembalikan harga minyak goreng pada mekanisme pasar. Sehingga, saat ini harga minyak goreng melonjak hingga Rp 26.250 per liter, naik 87,5%. [4]

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Indonesia (KPPU) menduga ada beberapa pihak yang mempengaruhi pasar minyak goreng.  Ketua KPPU menyatakan ada kenaikan harga yang kompak pada awal Januari 2022 meskipun masing-masing prosedur tersebut memperoleh bahan bakunya, sehingga KPPU mengindikasi adanya praktik kartel.[5]

Struktur Pasar Oligopoli

Pasar oligopoly adalah pasar yang terdiri dari sedikit produsen, sehingga memiliki kekuatan melakukan kontrol harga. Para pelaku usaha tersebut untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bekerja sama antar satu dengan pelaku usaha lain untuk mengurangi pasokan dan menaikkan harga jual.[6]Oleh karena itu, produsen bertindak sebagai penentu harga. Berikut penjelasan mengenai ciri- ciri pasar oligopolistik :[7]

  • Jumlah produsen yang sedikit

Dalam hal struktur pasar oligopoli, hanya ada sedikit produsen, meskipun jumlah pasti perusahaan tidak ditentukan, sebagian besar diasumsikan kurang dari sepuluh. Setiap perusahaan memiliki kekuasaan mengatur jumlah produksi barang dan atau jasa sehingga berpengaruh pada harga yang harus dibayarkan konsumen.

  • Saling ketergantungan

Keputusan satu perusahaan untuk menentukan harga dan kuantitas akan mempengaruhi perusahaan lain, baik perusahaan yang sudah ada maupun yang akan datang. Hal ini tentunya menciptakan suatu hambatan (barrier) bagi perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri tersebut. Berdasarkan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Seha Indonesia, praktek oligopoli dibuat melalui suatu kesepakatan. Perusahaan-perusahaan tersebut sepakat untuk menetapkan harga pokok penjualan dan kuantitas produk.

  • Kompetisi Non-harga

Adapun bentuk kompetisi non-harga dapat berupa pelayanan purna jual serta iklan untuk memberikan informasi, membentuk citra yang baik terhadap perusahaan dan mempengaruhi perilaku konsumen. Tidak tertutup kemungkinan perusahaan melakukan kegiatan intelijen industri untuk memperoleh informasi (mengetahui) keadaan, kekuatan dan kelemahan pesaing nyata maupun potensial. Informasi-informasi ini sangat penting agar perusahaan dapat memprediksi reaksi pesaing terhadap setiap keputusan yang diambil.[8]

Perjanjian Oligopoli

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat,  menyatakan untuk memberikan larangan bahwa:

“ Pasal 4

Badan usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan badan usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.” [9]

Sedangkan, pengertian dari perjanjian sendiri dijelaskan menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, menyatakan bahwa :

“ Pasal 1

  • Perjanjian adalah perbuatan seorang atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” [10]

Hal ini mengandung pengertian perjanjian persaingan usaha tidak hanya secara tertulis tetapi juga tidak secara tertulis.

Perjanjian Penetapan Harga yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdiri atas Perjanjian Penetapan Harga yang diatur dalam Pasal 5, Diskriminasi Harga yang diatur dalam Pasal 6, Perjanjian Predatory Pricing yang diatur dalam Pasal 7, dan Pemeliharaan Harga Jual Kembali yang diatur dalam Pasal 8, Selaku usaha melakukan praktik Monopoli untuk menentukan harga, kualitas, dan kuantitas suatu produk yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya kartel. Secara umum, praktek ini dilakukan oleh beberapa produsen/pedagang dengan bekerjasama dengan tujuan mengendalikan dan menentukan harga, system pemasaran, dan atau produksi. Dalam hal pelaku usaha mengurangi jumlah yang diproduksi, maka permintaan barang tersebut akan meningkat, sehingga secara langsung menyebabkan kenaikan harga barang tersebut.[11]

Temuan KPPU

KPPU menemukan bukti adanya kecurangan di balik isu perminyakan yang diduga melanggar Pasal 5 dan Pasal 11, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia.[12] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa,

“Pasal 5

  1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”

Tingginya harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi disebabkan permainan oknum-oknum terlibat. Dugaan pelanggaran pasal diatas, bermula dari sidak yang dilakukan oleh Satgas Pangan Provinsi Sumatera dengan Polda Sumatera Utara dengan ditemukan 1,1 juta kilogram minyak goreng siap edar dengan 3 merek berbeda. Barang bukti tersebut ditemukan di 3 (tiga) gudang berbeda di daerah Deli, Serdang.[13]  Dengan adanya tindakan oknum-oknum tersebut, hal ini merupakan termasuk ke dalam pelanggaran di mana dijelaskan menurut Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa :

“Pasal 11

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dana tau pemasaran suatu barang dana tau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dana tau persaingan usaha tidak sehat.”

Dugaan pelanggaran pasal ini didasarkan pada fakta di lapangan, yang mana KPPU melihat terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng yang ada di Indonesia.[14]  

Berdasarkan temuan KPPU yang telah dijabarkan di atas jelas terdapat indikasi adanya praktik kartel karena pasar dominasi oleh sejumlah produsen dalam jumlah yang sedikit. Serta, permainan harga karena adanya pembatasan jumlah minyak goreng baik yang diproduksi maupun yang dijual ke pasar oleh oknum-oknum produsen tersebut.

Akibat Hukum bagi Pelaku Usaha yang Melanggar Ketentuan Persaingan Usaha

Sebagai konsekuensi bagi perusahaan yang melakukan praktek kartel, KPPU dapat mengenakan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Undang-Undang No. 5 1999, antara lain membatalkan ketentuan perjanjian diantara produsen yang bersepakat, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat hingga dapat mengenakan sanksi administratif berupa uang.[15]Berdasarkan pasal 47 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, denda administrasi berkisar antara Rp 1 miliar sampai Rp 25 miliar.

Namun, dalam Omnibus Law ketentuan tersebut diamandemen, denda administrasi maksimum kini dinaikkan menjadi 50 persen dari laba bersih atau 10 persen dari total omzet di pasar bersangkutan selama masa pelanggaran. Dalam beberapa hal, KPPU juga dapat memerintahkan penghentian kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.[16]Pada tahun 2021, KPPU mengumumkan Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif untuk melaksanakan regulasi teknis denda administratif. Peraturan No. 2/2021 lebih lanjut merumuskan laba bersih sebagai laba kotor dikurangi jumlah biaya tetap, pajak, dan retribusi, bukan dikurangi total biaya (biaya tetap dan variabel) dari laba kotor. Keuntungan bersih ditunjukkan berdasarkan data dukung laporan keuangan yang sah dan meyakinkan, dan dilengkapi dengan rekapitulasi dan bukti penjualan; rekapitulasi, rincian, dan bukti biaya tetap yang dibebankan; rekapitulasi dan bukti pembayaran pajak; dan rekapitulasi dan bukti pembayaran atas pungutan negara lainnya selain pajak.[17]

Ketentuan dari sanksi administratif lainnya yang dilakukan terhadap pelanggaran terkait dengan persaingan usaha dijelaskan berdasarkan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa,

“Pasal 48

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 hingga Pasal 14, Pasal 16 hingga Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5, Pasal 8 hingga Pasal 15, Pasal 20 hingga Pasal 24, Pasal 26 Undang-Undang ini diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000,00, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41, Undang-Undang ini diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.”

Namun, Omnibus law mengamandemen pasal 48 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sehingga diatur hanya pelanggaran Pasal 41 yang diancam dengan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar atau kurungan selama satu tahun.[18]

Kesimpulan

Melalui Pemeriksaan KPPU ditemukan adanya dugaan praktik kartel, khususnya pelanggaran pasal-pasal perjanjian oligopoli, praktik kartel, dan pengendalian harga. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama melonjaknya harga minyak goreng dan kelangkaan di pasaran. KPPU sebagai organ pelengkap negara berwenang menjatuhkan sanksi administratif. Di lain sisi, jika terbukti terdapat pelanggaran pada Pasal 48 Omnibus Law, para penegak hukum yang berwenang dapat memproses secara pidana pelaku usaha tersebut. Pada akhirnya, pelaku usaha harus bersaing secara sehat agar tidak melanggar ketentuan persaingan usaha. Karena, praktik

kartel cenderung merugikan baik negara (dan pembangunan ekonominya), khususnya konsumen.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Hukum Persaingan Usaha Indonesia.
  2. Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Harga Eceran Maksimal Minyak Goreng

REFERENSI

  1. Catur Agus Saptono, Economic Analysis of Law dalam Merger, retrived from https://repository.uai.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/Economic-Anlysisi-Of-Law_Hukum-Persaingan-Usaha_Editor.pdf
  2. CNBC Indonesia, Senjata KPPU Bongkar Dugaan Kartel minyak Goreng , retrived from https://www.youtube.com/watch?v=d57CxYLFAwE
  3. CNN Indonesia, Pasar Oligopoli: Pengertian, Ciri-ciri, dan Contoh, retrived from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220120090010-97-748912/pasar-oligopoli-pengertian-ciri-ciri-dan-contoh
  4. Emeria, D. C., Jreng! KPPU Panggil 19 Perusahaan Soal Dugaan Kartel Migor,retrived from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220411161946-4-330689/jreng-kppu-panggil-19-perusahaan-soal-dugaan-kartel-migor
  5. Jawani, L., (2022) Prinsip Rule of Reason Terhadap Praktik Dugaan Kartel di Indonesia, Lex Renaissance No.1(7), 31-41
  6. Kompas, Berawal dari Sidak, Ini Kronologi Penemuan 1,1 Juta kg Minyak Goreng di Deli Serdang, retrived fromhttps://regional.kompas.com/read/2022/02/20/083500878/berawal-dari-sidak-ini-kronologi-penemuan-1-1-juta-kg-minyak-goreng-di-deli?page=all
  7. Kusumawardhani, A., HET Minyak Goreng Curah Rp 14.000 per liter, Kemendag: Ada Potensi Kelangkaan, retrived fromhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20220325/12/1515014/het-minyak-goreng-curah-rp14000-per-liter-kemendag-ada-potensi-kelangkaan
  8. Nicholas, H., For Indonesians, Palm Oil is Everywhere but on Supermarket Shelves, retrived from https://news.mongabay.com/2022/04/for-indonesians-palm-oil-is-everywhere-but-on-supermarket-shelves/
  9. Oswaldo, I. G.,  Harga Minyak Goreng 12 April di Alfamart&Indomaret : Bimoli, Filma, Sania, SunCo,retrived from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6028488/harga-minyak-goreng-12-april-di-alfamart–indomaret-bimoli-filma-sania-sunco
  10. Putra, R. I. (2012). Indikasi Perjanjian Oligopoli aan Perjanjian Tertutup PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) TBK (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2001) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
  11. Sandi, F., Blak-Blakan KPPU Soal Dugaan Kartel Minyak Gorengretrived from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220222081106-4-317176/blak-blakan-kppu-soal-dugaan-kartel-minyak-goreng
  12. Sariamas, Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia Menurut Pakar Ekonomi,retrived from https://sarimas.com/id/post/detail/3-causes-of-scarcity-of-cooking-oil-in-indonesia-according-to-economists
  13. Susanto, V. Y., Soal Minyak Goreng, KPPU dalami Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha Tidak Sehat, retrived from https://nasional.kontan.co.id/news/soal-minyak-goreng-kppu-dalami-dugaan-pelanggaran-persaingan-usaha-tidak-sehat

[1]Sarimas, Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia Menurut Pakar Ekonomi, retrived from https://sarimas.com/id/post/detail/3-causes-of-scarcity-of-cooking-oil-in-indonesia-according-to-economists

[2] Hans Nicholas, For Indonesians, Palm Oil is Everywhere but on Supermarket Shelves, retrived from https://news.mongabay.com/2022/04/for-indonesians-palm-oil-is-everywhere-but-on-supermarket-shelves/

[3] Amanda Kusumawardhani, HET Minyak Goreng Curah Rp 14.000 per liter, Kemendag: Ada Potensi Kelangkaan, retrived from https://ekonomi.bisnis.com/read/20220325/12/1515014/het-minyak-goreng-curah-rp14000-per-liter-kemendag-ada-potensi-kelangkaan

[4] Ignacio Geordi Oswaldo, Harga Minyak Goreng 12 April di Alfamart&Indomaret : Bimoli, Filma, Sania, SunCo, retrived from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6028488/harga-minyak-goreng-12-april-di-alfamart–indomaret-bimoli-filma-sania-sunco

[5]CNBC Indonesia, Senjata KPPU Bongkar Dugaan Kartel Minyak Goreng, retrived from https://www.youtube.com/watch?v=d57CxYLFAwE

[6]CNN Indonesia, Pasar Oligopoli: Pengertian, Ciri-ciri, dan Contoh”, retrived from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220120090010-97-748912/pasar-oligopoli-pengertian-ciri-ciri-dan-contoh

[7] Catur Agus Saptono, Economic Analysis of Law dalam Merger, retrived from https://repository.uai.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/Economic-Anlysisi-Of-Law_Hukum-Persaingan-Usaha_Editor.pdf

[8] Rizky Ichwansyah Putra, Dissertasi : “Indikasi Perjanjian Oligopoli dan Perjanjian Tertutup PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) TBK (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2001)” (Surabaya: UNAIR, 2012),  hal.22

[9] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat

[11] Lunita Jawani, Prinsip Rule of Reason Terhadap Praktik Dugaan Kartel di Indonesia, Lex Renaissance No.1(7). 2022. page 35

[12] Damiana Cut Emeria, Jreng! KPPU Panggil 19 Perusahaan Soal Dugaan Kartel Migor, retrived from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220411161946-4-330689/jreng-kppu-panggil-19-perusahaan-soal-dugaan-kartel-migor

[13] Kompas, Berawal dari Sidak, Ini Kronologi Penemuan 1,1 Juta kg Minyak Goreng di Deli Serdang, retrived fromhttps://regional.kompas.com/read/2022/02/20/083500878/berawal-dari-sidak-ini-kronologi-penemuan-1-1-juta-kg-minyak-goreng-di-deli?page=all

[14] Vendy Yhulia Susanto, Soal Minyak Goreng, KPPU dalami Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha Tidak Sehat, retrived from https://nasional.kontan.co.id/news/soal-minyak-goreng-kppu-dalami-dugaan-pelanggaran-persaingan-usaha-tidak-sehat

[15] Pasal 47 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[16] Pasal 49 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[17] Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Denda Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[18] Fitri Novia Heriani, 4 Poin Penting Terkait Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam UU Cipta Kerja, retrived from  https://www.hukumonline.com/berita/a/4-poin-penting-terkait-penegakan-hukum-persaingan-usaha-dalam-uu-cipta-kerja-lt5fa38acac9fab/?page=all

0

GUGATAN PEMBATALAN MEREK TERKAIT ADANYA PERSAMAAN DENGAN MEREK LAIN

Author : Alfredo Joshua Bernando, Co-Author : Robby Malaheksa & Shafa Atthiyyah Raihana

Merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal, cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya. [1] Dalam segi perlindungannya, merek merupakan salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual yang diakui di Indonesia dalam lingkup Hak Milik Perindustrian.[2] Perlindungan hukum terhadap hak merek di Indonesia diatur secara resmi di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pada pengertian dari merek dijelaskan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah :

“Pasal 1

  1. Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.” [3]

Dengan adanya pengertian dan perlindungan hukum terkait dengan merek, sehingga dalam melakukan pendaftaran merek, proses pendaftarannya sendiri memiliki sistem yang termasuk dalam sistem konstitutif.[4] Sistem Konstitutif maksudnya bahwa hak atas merek diperoleh karena proses pendaftaran, yaitu pendaftaran merek pertama yang mendapat atau berhak atas merek. Pemohon pertama yang mengajukan pendaftaran dengan itikad baik adalah pihak yang berhak atas merek.[5]

Walaupun perlindungan atas merek sudah diatur resmi secara hukum, namun permasalahan dalam penggunaan merek ternyata masih belum bisa dihindari. Salah satunya yaitu dengan adanya kesamaan dalam suatu merek dengan merek lainnya. Jika pada merek yang terdaftar ternyata ditemukan adanya kesamaan dalam merek yang ternyata sudah lebih dulu terdaftar, maka hal tersebut dikatakan sebagai dasar dari itikad tidak baik pendaftar karena itikad tidak baik dalam suatu pendaftaran sendiri memiliki arti yaitu perbuatan sengaja yang dilakukan pihak lain dengan meniru merek yang sudah terdaftar sebelumnya. Terhadap pendaftaran yang dilakukan dengan dasar itikad tidak baik dapat dilakukan upaya hukum yaitu pembatalan merek. Pembatalan merek adalah suatu prosedur yang ditempuh pleh salah satu pihak untuk mencari dan menghilangkan eksistensi pendaftaran dari suatu merek dari Daftar Umum Merek atau membatalkan keabsahan hak berdasarkan sertifikat merek. Umumnya suatu pihak yang merasa telah dirugikan oleh pendaftaran tersebut boleh mengajukan gugatan untuk pembatalan. [6]

Dengan adanya permasalahan kesamaan merek yang dilakukan terhadap suatu merek lainnya, maka merek yang sudah terdahulu terdaftar atau yang ditiru dapat mengajukan gugatan pembatalan terhadap merek yang melakukan peniruan tersebut.  Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) sampai ayat (3) Undang-undang nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 21:

  • Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:
  • Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
  • Indikasi Geografis terdaftar.
  • Permohonan ditolak jika Merek tersebut:
  • merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali  persetujuan tertulis dari yang berhak;
  • merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau
  • merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
  •  Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang bertikad tidak baik. [7]

Pada penjelasan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Merek, inti dari “persamaan pada pokoknya” yang dimaksud yaitu kemiripan karena adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan, atau kombinasi antar unsur, termasuk pula persamaan bunyi ucapan pada merek tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka suatu merek harus memiliki daya pembeda sebagai alasan relatif ditolak atau diterimanya pendaftaran merek.[8]

Untuk melakukan gugatan pembatalan merek, terdapat tata cara yang dapat dilakukan dan sudah diatur secara resmi pada pasal 76 Undang-Undang 20 tahun 2016 tentang Merek yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 76

  • Gugatan pembatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 danlatau Pasal 21.
  • Pemilik Merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mengajukan
  • Permohonan kepada Menteri. Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik Merek terdaftar.” [9]

Singkatnya, dalam melakukan pembatalan atau menghapuskan merek yang terdaftar, yaitu Pihak yang memiliki kepentingan seperti pemilik merek terdaftar, jaksa, yayasan, atau lembaga di bidang konsumen, dan majelis atau lembaga keagamaan mengajukan Gugatan Pembatalan atau Penghapusan Merek Terdaftar Ke Pengadilan Niaga. Jangka waktu pengajuan gugatan pembatalan merek hanya di ajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek dan gugatan pembatalan merek dapat diajukan tanpa jangka waktu apabila yang merek yang bersangkutan bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Apabila pengadilan niaga telah memutuskan bahwa merek tersebut harus dibatalkan, maka pihak yang berkepentingan tersebut (dalam hal ini pihak yang menggugat) dapat memberikan salinan bukti putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap kepada Subdirektorat Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek.  Kemudian, panitera akan menyampaikan kepada Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual dan Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual melaksanakan pembatalan pendafataran merek yang bersangkutan dari daftar umum merek dan mengumumkannya dalam berita resmi merek sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek maka Sertifikat Merek yang bersangkutan serta dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan adanya Penghapusan pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum merek yang bersangkutan. [10]

Upaya lainnya yang dapat dilakukan selain mengajukan gugatan pembatalan merek, dalam kasus pelanggaran penggunaan hak atas penggunaan merek yang sama dengan merek yang sudah terdaftar sebelumnya, tindakan ini juga dapat dikenakan sanksi pidana yang dijelaskan berdasarkan Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yang menjelaskan bahwa:

“Pasal 100

  • Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 Miliar.”[11]

Merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. Merek merupakan salah satu hak kekayaan intelektual yang diakui di Indonesia. Perlindungan Merek sendiri tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pelindungan merek di Indonesia sudah ada secara resmi, tetapi masih adanya permasalahan dalam penggunaan salah satunya yaitu dengan adanya kesamaan dalam suatu merek dengan merek lainnya. Untuk menyelesaikan permasalahan dari adanya kesamaan merek dengan merek lainnya, maka dapat dilakukan upaya pembatalan merek yang ketentuan tata caranya diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan adanya sanksi pidana yang juga dijelaskan pada Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Referensi:

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merek, diakses pada 12 April 2022
  2. Optimasi HKI, https://optimasihki.id/sistem-konstitutif-dalam-kepemilikan-hak-atas-merek/, diakses pada 12 April 2022
  3. Ni Ketut Supati Dharmawan, 2016, Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Deepublish, Yogyakarta, h.55
  4. Rahmi Jened, 2015, Hukum Merek dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi, PT Kharisma Putra Utama, Jakarta, h.291.

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Merek, https://kbbi.web.id/merek

[2] Ni Ketut Supati Dharmawan, 2016, Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Deepublish, Yogyakarta, h.54

[3] Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[4] Optimasi HKI, https://optimasihki.id/sistem-konstitutif-dalam-kepemilikan-hak-atas-merek/, diakses pada 12 April 2022

[5] Ni Ketut Supati Dharmawan,Op.Cit ., h.55

[6] Rahmi Jened, 2015, Hukum Merek dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi, PT Kharisma Putra Utama, Jakarta, h.291.

[7] Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[8] Rahmi Jened.,Op. Cit., h.181

[9] Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[10] Mandras Januari Siregar, 2013, Pembatalan Merek di Pengadilan Niaga Medan (Studi Putusan No. 03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan), Mercatoria Vol.6 No.2, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Medan, h.198.

[11] Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

0

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH TERHADAP KEGAGALAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-Author : Robby Malaheksa

Asuransi adalah suatu perjanjian yang mengikat antara penanggung kepada tertanggung dengan menerima premi yang nantinya akan di berikan timbal balik berupa penggantian karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang mungkin terjadi kapan saja, hal ini di atur dalam Pasal 246 KUHD yang berbunyi:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.[1]

Namun pada pasal tersebut hanya mendefinisikan asuransi kerugian (Schadeverzekeing : Loss Insurance) yang obyeknya adalah harta kekayaan. Sedangkan di pasal 246 KUHD tidak termasuk tentang asuransi jiwa, karena jiwa manusia bukanlah harta yang bisa dinilai dengan uang. [2]

Pengertian Asuransi yang mencakup tentang kedua jenis asuransi tersebut terdapat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang mengatakan bahwa :

Pasal 1

  1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
  2. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  3. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.[3]

Perusahaan asuransi sangat mengandalkan kepercayaan untuk melindungi dan memastikan bahwa masyarakat sebagai pemegang polis sebagaimana di jelaskan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi:

Pasal 53

  • Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program pemegang polis. [4]

Melihat kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan akhir ini menyebabkan beberapa perusahaan asuransi tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengembalikan dana nasabah dan/atau membayar ganti kerugian akibat terjadinya kelalaian perusahaan asuransi dalam pengelolaan dana nasabah, apalagi jika perusahaan asuransi mengalami pailit maka akan lebih bermasalah terhadap dana yang dimiliki nasabah karena kemungkinan tidak dapat kembali.[5]

Persoalan lainnya juga terkait jangka waktu perlindungan asuransi yang disepakati adalah dengan tenggat waktu yang relatif cukup lama. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi terhadap perusahaan asuransi pada jangka waktu lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun ke depan, suatu perusahaan asuransi di kemudian hari dapat dinyatakan pailit, atau dilikuidasi. Putusan pengadilan yang menyatakan suatu perusahaan asuransi pailit akan sangat berdampak kepada seluruh nasabah. Premi nasabah baik yang belum jatuh tempo maupun yang telah jatuh tempo saat perusahaan asuransi dinyatakan pailit harus dilindungi oleh hukum. Sehubungan dengan itu pula diperlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah dalam rangka pengamanan kepentingan nasabah.[6]

Perjanjian asuransi mempunyai tujuan bahwa pihak yang mempunyai kemungkinan menderita risiko kerugian (pihak tertanggung) melimpahkan kemungkinan dari risiko kerugian yang terjadi kepada pihak lain yang bersedia membayar ganti rugi (pihak penanggung), dan perjanjian tersebut berguna sebagai pembuktian. Dalam perjanjian asuransi jiwa para pihak yaitu pemegang polis, penanggung dan tertunjuk (penikmat asuransi) mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang bersifat timbal balik dimana hak dan kewajiban pemegang polis sebaliknya juga merupakan hak dan kewajiban perusahaan asuransi sebagai penanggung. Adapun hak dan kewajiban yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

  1. Hak-hak dari pemegang polis antara lain:
  2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian apabila terjadi  Evenemen.[7] Menurut Pasal 1 ayat (1) huruf a & huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan :

Pasal 1

  • Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan Asuransi sebagai imbala untuk :
  • memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  • memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” [8]
  • Hak untuk mendapatkan jumlah pertanggungan apabila tidak terjadi Evenemen dalam masa asuransi. Pada masa asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen, pemegang polis atau tertunjuk berhak mendapatkan pengembalian sejumlah uang tertentu dari penanggung sesuai dengan perjanjian dalam polis.[9]
  • Hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan dana nasabah , dimana jaminan perlindungan dana nasabah adalah yang paling utama dan wajib didahulukan penyerahannya apabila perusahaan asuransi mengalamai pailit atau dilikuidasi, hal tersebut telah di atur secara tegas dalam Pasal 52 ayat (1) & (2) Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang berbunyi :

Pasal 52

  • Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.
  • Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.[10]
  • Kewajiban Pemegang polis antara lain:
  • Kewajiban membayar premi kepada penanggung sebagai kontraprestasi dari ganti kerugian atau uang santunan yang akan penanggung berikan padanya, premi merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi.
  • Kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan yang di perlukan oleh penanggung dengan i’tikad baik.[11]

Terhadap perusahaan asuransi yang gagal bayar atau tidak mau membayar polis jatuh tempo nasabahnya, maka nasabah dapat mengadukannya kepada pihak yang memeriksa pada sektor jasa keuangan sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan sehingga lembaga pemeriksa tersebut dapat mengambil langkah tegas untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang berbunyi :

Pasal 30

  • Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi:
  • memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
  • mengajukan gugatan:
  • untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau
  • untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[12]

Sehingga, hak dan kewajiban nasabah maupun pihak asuransi tertera dalam perjanjian premi dan polis-polis yang diatur dalam perjanjian nasabah, akan tetapi hak dan kewajibannya secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai titik yang menjadi panduan.

Mekanisme Perlindungan hukum bagi nasabah sangatlah penting mengingat tidak adanya jaminan perusahaan asuransi akan selalu berada dalam kondisi ekonomi yang baik, nasabah yang berpotensi mengalami kerugian harus di perhatikan kedudukannya dalam upaya memberikan perlindungan hukum yang adil.

DASAR HUKUM

  1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang
  2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
  3. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

REFRENSI

  1. Mulhadi, Dasar-dasar Hukum Asuransi, Rajawali Pers, Depok, 2017
  2. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980),
  3. Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[1] Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[2] Mulhadi, Dasar-dasar Hukum Asuransi, Rajawali Pers, Depok, 2017. Hlm.5

[3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

[4] Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[5] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm 75.

[6] Ibid., hlm 76

[7] Evenemen adalah semua peristiwa yang dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan/musnahnya barang yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak pasti terjadinya seperti tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir dari jalan termasuk juga dari kesalahan material, kontruksi, cacat sendiri, perbuatan jahat orang lain, pencurian termasuk pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan atau ancaman, kebakaran atau sebab sebab lainnya

[8] Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[9] Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[10] Pasal 52 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

[11] Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[12] pasal 30 ayat 1) UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK

0

PERMASALAHAN TERHADAP PRODUK IMPOR YANG DILABELI PRODUK MILIK DALAM NEGERI

Written by : Alfredo Joshua Bernando, Co Written by : Shafa Atthiyyah Raihana 

Impor merupakan bentuk transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal atau resmi dan umumnya berada dalam proses perdagangan. Prosesnya berupa tindakan memasukan barang atau komoditas negara lain ke dalam negeri. Impor barang membutuhkan campur tangan bea cukai di negara pengirim dan penerima. [1] Pengertian dari impor berdasarkan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagai berikut:

“Pasal 1

  1. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah kepabeanan” [2]

Dapat dikatakan secara singkatnya bahwa impor adalah barang dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri membutuhkan capur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Kegiatan impor memiliki manfaat atau keuntungan antara lain seperti memperoleh barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkan oleh negara penerima karena adanya keterbatasan, adanya bahan baku, dan teknologi yang lebih modern. Namun, di samping dari keuntungannya tersebut, terdapat kekurangan dari adanya proses impor tersebut seperti masyarakat yang menjadi konsumen dan membeli produk luar negeri secara terus menerus yang menimbulkan ketergantungan.

Permasalahan terhadap kekurangan tersebut, saat ini sedang terjadi di Indonesia karena ditemukannya barang impor yang dicap sebagai produk milik dalam negeri. Lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, menemukan sejumlah pengadaan barang dan jasa impor yang diberikan label produk dalam negeri di Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di sejumlah daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta beberapa supermarket perbelanjaan dan marketplace di Indonesia. Penemuan ini mendapat perintah langsung dari Presiden RI. [3]

Beberapa barang impor yang ditemukan berlabel produk dalam negeri antara lain alat kesehatan, alat pertanian, tekstil, besi/baja, dan beberapa barang lain yang sedang berusaha dideteksi. Sebelumnya, Presiden RI telah meminta lembaga kekuasaan negara tersebut untuk untuk mengawasi dan menindak peredaran barang-barang impor yang dicap sebagai produk lokal. Hal ini sesuai dengan tugas yang dimiliki lembaga tersebut seperti dalam Pasal 30B huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu:

“Pasal 30B

  1. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum”[4]

Tidak hanya lembaga negara di bidang penuntutan yang melakukan pengawasan, namun instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai serta Menteri Perdagangan juga dihimbau untuk melakukan pemantauan terhadap adanya barang impor yang dicap milik negara.

Padahal, di Indonesia telah menetapkan peraturan yang mencantumkan perlu adanya identitas dari pelaku usaha sehingga tidak adanya kecurangan dari produk lokal yang menganggap bahwa produk impor adalah buatan miliknya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan yaitu:

“Pasal 23

  • Keterangan mengenai identitas Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    • nama dan alamat Produsen untuk Barang produksi dalam negeri;
    • nama dan alamat Importir untuk Barang asal Impor;
    • nama dan alamat Pengemas, untuk Barang yang diproduksi dalam negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah Republik Indonesia; atau
    • nama dan alamat Pedagang Pengumpul jika memperoleh dan memperdagangkan Barang hasil produksi usaha mikro dan usaha kecil.” [5]

Dalam permasalahan ini juga, beberapa alat impor seperti alat kesehatan dan alat pertanian yang berasal dari luar negeri bisa mendapatkan perlindungan Paten apabila alat-alat tersebut sudah didaftarkan secara resmi. Sistem Paten secara umum berlaku di seluruh dunia, termasuk pada alat kesehatan dan alat pertanian. Hal ini dikarenakan alat-alat tersebut merupakan bentuk inovasi dari adanya penemuan di bidang teknologi. Di Indonesia, perlindungan Paten dijelaskan Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

“Pasal 1

Hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atau hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan invensi sendiri atau memberikan persetujuan terhadap pihak lain untuk melaksanakannya.” [6]

Sehingga, jika ingin mengimpor suatu produk terhadap pihak tertentu dan mau melabeli sendiri sebagai produk lokal, maka harus memastikan bahwa produk impor tersebut telah diselesaikan penuh haknya oleh pembuat barang. Tidak hanya itu, pendaftaran paten juga merupakan hal yang penting terhadap barang impor tersebut karena dengan adanya pendaftaran paten, barang tersebut mendapatkan perlindungan hukum, mengantisipasi pelanggaran dari paten, mencegah adanya duplikasi, dan pencipta bisa mendapatkan manfaat ekonomis dari karya yang sudah ia ciptakan.  Maka dari itu, jika seseorang ingin mengklaim suatu barang yang merupakan invesi dari orang lain, perlu adanya izin dari pemilik atau pencipta barang melalui perjanjian resmi yang mengikat antara pemilik barang dengan seseorang yang ingin mengakui bahwa produk milik diri sendiri atau produk lokal agar tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan.

Jika produk impor pada alat kesehatan dan alat pertanian dilabeli menjadi produk lokal tanpa adanya persetujuan dari pemegang paten, maka hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Seperti yang diketahui, dengan adanya hak paten maka hal ini dapat memberi perlindungan terhadap suatu invensi dari orang lain yang berniat untuk menggunakannya tanpa izin dari inventor. Pelarangan dari tidak adanya izin dari pemegang paten atas penggunaan barang dan melakukan perubahan label produk impor ke lokal, dijelaskan berdasarkan Pasal 19 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

“Pasal 16

  • Pemegang Paten memiliki hak eksekutif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya :
  • Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten.”  [7]

Berdasarkan pengaturan Undang-Undang Paten yang baru ini, ketentuan pidana tersebut diatur dalam delik aduan yaitu pada Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[8]

Selain mendapatkan perlindungan paten, produk impor pada alat kesehatan, alat pertanian, dan besi/baja tersebut juga bisa mendapatkan perlindungan merek terlebih jika produk tersebut sudah didaftarkan secara resmi. Merek memegang peranan penting dalam perdagangan. Hal ini dikarenakan merek adalah bentuk dari jaminan dari suatu produk barang dan jasa. Di Indonesia, perlindungan merek dijelaskan pada Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu:

“Pasal 1

  • Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri -Meiek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” [9]

Sehingga pemilik merek terdaftar mempunyai hak ekslusif yang berkaitan dengan mereknya, hal ini diberikan kepadanya untuk mencegah pihak tidak sah yang ingin menggunakan merek tersebut atau merek serupa yang membingungkan. Namun dalam kasus kasus ini, jika sebuah produk impor dilabeli menjadi produk lokal pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak dijelaskan adanya sanksi pidana bagi  seseorang yang mengganti merek terdaftar pada suatu produk lalu menempelkan merek sendiri. Tetapi ada hukum lain yang dapat menjerat pelaku usaha jika produk yang dijual kembali menggunakan label miliknya ternyata mengalami kerusakan atau dalam komposisinya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya diperdagangkan.

Dengan adanya permasalahan tersebut, salah satu marketplace di Indonesia memberikan tanggapan karena adanya barang impor yang dicap menjadi produk dalam negeri. Mereka memastikan bahwa semua barang yang dijual dalam platform tersebut sudah melalui rangkaian proses di Bea Cukai dan kemudian dijual oleh pedagang domestik. [10]

Akibat dari adanya barang-barang impor yang dilabeli milik dalam negeri juga, hal tersebut dapat menghambat produksi anak bangsa yang tidak bisa bersaing di pasar lokal dan dapat menganggu pertumbuhan dari ekonomi Indonesia ini. Walaupun produk impor juga turut membantu perekonomian di Indonesia, namun pemerintah juga berharap untuk mengutamakan penggunaan dari produk lokal sendiri agar bisa berkembang untuk kedepannya.

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021tentang Penyelangaraan Bidang Perdagangan

REFERENSI:

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Impor, diakses 04 April 2022
  2. Kompas, https://nasional.kompas.com/read/2022/03/28/16305721/kejagung-temukan-barang-impor-yang-dicap-sebagai-produk-dalam-negeri, diakses pada 04 April 2022
  3. Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4922176/respons-tokopedia-atas-kekesalan-jokowi-soal-banyak-produk-impor-dicap-buatan-dalam-negeri, diakses 05 April 2022

[1] Impor, Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Impor, diakses pada 4 April 2022

[2] Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995

[3] Kompas, https://nasional.kompas.com/read/2022/03/28/16305721/kejagung-temukan-barang-impor-yang-dicap-sebagai-produk-dalam-negeri, diakses pada 04 April 2022

[4] Pasal 30B huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 

[5] Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021tentang Penyelangaraan Bidang Perdagangan

[6] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[7] Pasal 19 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[8] Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[9] Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[10] Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4922176/respons-tokopedia-atas-kekesalan-jokowi-soal-banyak-produk-impor-dicap-buatan-dalam-negeri, diakses 05 April 2022

0

PEMBLOKIRAN DANA YANG TERJADI KARENA AKSI INVESTASI ILEGAL

Author : Alfredo Joshua Bernando, Co-Author : Shafa Atthiyyah Raihana 

Kasus investasi ilegal pada saat ini sedang marak menjadi pembahasan bagi kalangan masyarakat. Kasus investasi ilegal saat ini berkedok melalui penggunaan aplikasi. Dengan adanya kasus yang sedang diperbincangkan ini, sebuah lembaga resmi yang mengawasi transaksi keuangan mulai melakukan pemantauan terhadap aliran dana dari investor ke berbagai pihak yang diduga menjual produk investasi ilegal yang berakhir dengan adanya pertambahan nilai transaksi sehingga dihentikan dan diblokir sementara.[1]

             Investasi ilegal adalah penipuan yang dilakukan dalam bentuk investasi atau penanaman modal yang dalam pelaksanaannya tidak memiliki izin oleh lembaga terkait. Investasi ilegal juga termasuk ke dalam tindakan pencucian uang dikarenakan aliran dana yang dilakukan oleh pelaku investasti ilegal tidak dilaporkan kepada lembaga resmi milik pemerintah.  Pencucian uang sendiri merupakan tindakan menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang yang diperoleh dari hasil krimimal. Dalam investasi ilegal, tindak pidana penipuan yang dilakukan kemudian dicuci ke produk investasi investor dan seolah-olah investor mendapatkan keuntungan tersebut, sehingga hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencuican Uang yaitu:

“Pasal 2

  1. Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan cukai, perdagangan, orang perdagangan, senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, dan pemalsuan uang perjudian prostitusi.” [2]

Berdasarkan tindakan tersebut, pemberantasan dan pencegahan pencucian uang dari investasi ilegal ini dilakukan oleh PPATK sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden RI.[3] Hal ini dijelaskan secara resmi pada Pasal 39 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang memberi penjelasan berikut:

“Pasal 39

PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.” [4]

            Pada Pasal 41 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, lembaga ini juga mempunyai wewenang dalam melaksanakan tugasnya yaitu:

“Pasal 41

Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang:

  1. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
  2. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;
  3. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait;
  4. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang;
  5. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
  6. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan
  7. menyelenggarakan sosisalisai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.”[5]

Dengan adanya tugas dan wewenang yang dimiliki oleh lembaga terkait, saat ini lembaga tersebut melakukan penghentian sementara transaksi dan blokir yang mencapai nilai Rp 150,4 miliar. Nominal tersebut berasal dari delapan rekening dari satu Penyedia Jasa Keuangan. Sebelumnya, lembaga ini telah melakukan penghentian sementara terhadap transaksi yang diduga melibatkan para penjual produk investasi bodong yang mencapai angka Rp 202 miliar dan berasal dari seratus sembilan rekening dan lima puluh lima Penyedia Jasa Keuagan. Sehingga berdasarkan penghitungan, total penghentian transaksi yang dilakukan oleh investasi ilegal ini senilai Rp 352 miliar. [6]

Penghentian sementara ini dilakukan selama dua puluh hari kerja dan jumlah transaksi ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan proses analisis yang dilakukan oleh lembaga berwenang. Tidak hanya itu, selanjutnya akan ikut berkoordinasi serta melaporkan kepada penegak hukum terhadap transaksi yang mencurigakan dan dalam nomial yang fantastis terkait dengan investasi ilegal. [7]

Kondisi pemblokiran tersebut menarik perhatian di tengah adanya permasalahan pihak-pihak yang sedang terlibat dalam kasus investasi ilegal yang menyebabkan pihak tersebut ditetapkan menjadi tersangka oleh pihak kepolisian. Sebelumnya, tersangka tersebut berprofesi sebagai afiliator yang berperan untuk mengajak seseorang melakukan investasi. Namun, investasi yang dilakukan oleh keduanya berada di platform yang tidak resmi dan dilarang oleh pemerintah sehingga menimbulkan kerugian terhadap masyarakat yang telah mengikuti investasi ilegal tersebut.

Akibat pelanggaran tersebut, salah satu pihak tersangka dikenakan pasal berlapis karena telah melanggar Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 27 ayat 2 dan/atau Pasal 45 A ayat (1) jo 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 378 KUHP serta pada Pasal 55 KUHP ayat (1) angka 1 dan 2 serta ayat (2) yang pada pasal tersebut dijelaskan bentuk pelanggaran yang dilakukan tersangka dalam investasi ilegal sebagai berikut:

“Pasal 55

  • Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
    • mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
    • mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
  • Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”[8]

            Tidak hanya itu, tersangka juga dijerat dalam pelanggaran tindak pidana pencucian uang. Hal ini dikarenakan kedua tersangka tidak melaporkan kepada lembaga resmi terkait setiap transaksi yang dilakukan dan diduga setiap transaksi tersebut berasal dari investasi ilegal yang selama ini dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, maka kedua tersangka juga dijerat dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berisikan ancaman bagi pelaku pencucian uang seperti berikut:

“Pasal 3

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyampaikan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000

Pasal 5

  • Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000

Pasal 10

Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.”[9]

Kasus ini dapat terungkap dikarenakan para korban dari investasi bodong tersebut melaporkan ke pihak berwajib pada beberapa waktu lalu. Mereka mengaku terpengaruh oleh konten-konten promosi yang dibuat oleh tersangka melalui berbagai platform dan social media yang ada. Tersangka mengatakan bahwa aplikasi yang digunakan untuk melakukan investasi ilegal tersebut sudah resmi di Indonesia padahal pada kenyataannya hal itu merupakan sebaliknya. Pihak berwajib kini melakukan tracing asset milik tersangka dan melakukan pelacakan terhadap rekan-rekan terdekat tersangka. Penyidik juga akan menyita aset milik rekan teman hingga keluarga jika terbukti menerima uang dari tersangka serta hukuman penjara bagi tersangka selama dua puluh tahun.

Sedangkan salah satu pihak lainnya juga kini sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus investasi legal yang dilakukannya juga. Hampir sama dengan tersangka sebelumnya, ia juga dijerat dalam pasal Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 45 ayat (1) jo. 28 ayat 1 Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik yang menjelaskan:

“Pasal 45

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 28

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”[10]

            Kemudian juga dalam Pasal 378 KUHP yaitu:

“Pasal 378

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[11]

Pihak-pihak tersangka tersebut diancam akan dikenakan sanksi dua puluh tahun penjara dan penyitaan aset milik keduanya serta terhadap penerima aliran dana dari para tersangka. Sehingga, pada dasarnya terdapat lembaga resmi di Indonesia yang mengawasi segala transaksi baik legal maupun ilegal menemukan adanya transaksi ilegal yang berasal dari investasi bodong. Dengan begitu, lembaga tersebut melakukan penghentian transaksi untuk sementara dan pemblokiran yang berdasarkan penghitungan, total penghentian transaksi dari investasi ilegal ini senilai Rp 352 miliar. Bersamaan dengan hal tersebut, saat ini sedang marak diberitakan bahwa terdapat dua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang terlibat dalam kasus investasi bodong yang dijerat dalam pasal berlapis karena dianggap telah melanggar Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 27 ayat 2 dan/atau Pasal 45 A ayat (1) jo 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 KUHP ayat (1) angka 1 dan 2 serta ayat (2).

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
  2. Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

REFERENSI:

  1. CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220307153852-17-320688/ppatk-blokir-dana-rp-352-m-dari-aksi-tipu-tibu-robot-trading, diakses pada 23 Maret 2022
  2. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan, diakses pada 23 Maret 2022

[1] CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220307153852-17-320688/ppatk-blokir-dana-rp-352-m-dari-aksi-tipu-tibu-robot-trading, diakses pada 23 Maret 2022

[2] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

[3] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan, diakses pada 23 Maret 2022

[4] Pasal 39 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

[5] Pasal 41 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

[6] CNCB Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220307153852-17-320688/ppatk-blokir-dana-rp-352-m-dari-aksi-tipu-tibu-robot-trading, diakses pada 01 April 2022

[7] Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/1174/ppatk-pantau-terkait-transaksi-investasi-bodong.html, diakses pada 01 April 2022

[8] Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[9] Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

[10] Pasal 45 ayat (1) juncto 28 ayat 1 Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[11] Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

1 10 11 12 13 14 18
Translate