0

PELARANGAN OBAT YANG BEREDAR SECARA ILEGAL DI PASARAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Shafa Atthiyyah Raihana

Di Indonesia, pada saat ini permasalahan yang paling marak beredar saat ini yaitu terkait dengan pengedaran obat-obatan terlarang atau obat keras yang belum memiliki izin. Berdasarkan pengertian dari obat sendiri, penjelasan tersebut tercantum pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu:

“Pasal 1

  • Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.”[1]

Berdasarkan pengertian terebut, memang obat memiliki fungsi untuk mencegah, menyembuhkan, dan memulihkan penyakit yang ada pada manusia. Tetapi perlu diketahui, tidak semua obat-obatan memiliki legalitas perizinan untuk beredar. Salah satu pelarangan obat yang tidak mendapatkan izin yaitu pengedaran obat jenis tramadol dan hexymer. Baru-baru ini, kepolisian baru saja melakukan penangkapan terhadap pelaku pengedar obat-obatan terlarang tersebut. Penangkapan terhadap pengedar obat terlarang tersebut dilakukan di kediamannya sendiri tepatnya di Kabupaten Serang. Setelah digeledah oleh petugas, kemudian ditemukan  barang bukti berupa 3.875 butir pil tramadol dan 9.140 butir pil hexymer, sebuah HP dan plastik klip bening yang diduga digunakan untuk membungkus obat-obatan untuk dijual yang disita pihak berwajib.[2]

Penyebab dilarangnya kedua jenis obat tersebut yaitu tramadol dan hexymer dikarenakan Tramadol merupakan obat yang dapat digolongkan sebagai narkotika, bukan psikotropika. Alasannya, tramadol masuk dalam golongan opioid yang biasa diresepkan dokter sebagai analgesik atau pereda rasa sakit dan tidak memberikan perubahan perilaku penggunanya.[3] Sehingga, jenis obat ini dapat mengubah respons otak dalam merasakan sakit sehingga terjadi efek untuk meredakan nyeri. Tubuh manusia sendiri juga menghasilkan opioid yang dikenal dengan endorfin. Maka, dapat dikatakan tramadol mirip dengan zat di otak yang disebut endorfin, yaitu senyawa yang berikatan dengan reseptor (bagian sel yang menerima zat tertentu). Reseptor kemudian mengurangi pesan rasa sakit yang dikirim tubuh seseorang ke otak. [4]

Efek yang ditimbulkan dari obat tramadol yang sangat kompeten dalam mengurangi rasa nyeri dengan skala berat, serta harga jual yang cukup murah, maka banyak orang menyalah gunakan obat ini, dan digunakan sebagai obat yang dapat menimbulkan efek penenang (melayang bahkan halusinasi) seperti golongan obat narkotika pada umumnya. Sedangkan, pada obat jenis Trihexyphenidil (Hexymer) adalah obat yang berfungsi untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal (kaku, tremor, gerakan tidak normal dan tidak terkendali pada tubuh) seperti pada penyakit Parkinson atau efek samping dari pengobatan yang menggunakan obat antipsikotik. THP (Trihexyphenidil) merupakan obat yang perlu pengawasan dokter karena obat ini termasuk kedalam golongan obat psikotropika sehingga untuk mendapatkannya memang perlu dengan resep dokter dan dibawah pengawasan dokter.[5] Psikotropika adalah zat atau obat yang bekerja menurunkan fungsi otak serta merangsang susunan syaraf pusat sehingga menumbulkan reaksi berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.[6]

Akibat dari adanya pengedaran ilegal dari kedua jenis obat-obatan tersebut, maka pengedar dapat ditetapkan menjadi tersangka akibat adanya tindak pidana dan dapat dijerat ke dalam Pasal 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dalam penjelasannya sebagai berikut:

“Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).“ [7]

Tidak hanya itu, pelaku pengedar jenis obat-obatan terlarang tersebut juga dapat dijerat dalam Pasal 60 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika akibat obat hexymer yang tergolong ke dalam psikotropika yaitu:  

“Pasal 60

  • memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggungjawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”[8]

Peredaran obat-obatan terlarang atau obat keras yang belum memiliki izin saat ini tentu sangatlah berbahaya bagi para konsumen yang mengkonsumsinya jika tidak diimbangi dengan anjuran resep dari dokter sebagaimana mestinya. Di Indonesia sendiri juga memberikan sanksi bagi pelaku pengedar obat-obatan terlarang yang mana terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Referensi:

Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2022/05/19/213213978/warga-serang-edarkan-obat-keras-ilegal-ribuan-pil-diamankan, diakses pada 27 Mei 2022.

Halodoc, https://www.halodoc.com/artikel/tramadol-termasuk-narkotika-atau-psikotropika, diakses pada 27 Mei 2022

Alodokter, https://www.alodokter.com/komunitas/topic/tramadol-dan-hexymer, diakses pada 27 Mei 2022


[1] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan

[2] Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2022/05/19/213213978/warga-serang-edarkan-obat-keras-ilegal-ribuan-pil-diamankan, diakses pada 27 Mei 2022.

[3] Halodoc, https://www.halodoc.com/artikel/tramadol-termasuk-narkotika-atau-psikotropika, diakses pada 27 Mei 2022

[4] Ibid

[5] Alodokter, https://www.alodokter.com/komunitas/topic/tramadol-dan-hexymer, diakses pada 27 Mei 2022

[6] Bnn, https://bnn.go.id/apa-itu-psikotropika-dan-bahayanya/ diakses pada 27 Mei 2022

[7] Pasal 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

[8] Pasal 60 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

0

Kebijakan Moneter Bank Indonesia terkait Peningkatan Suku Bunga

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

Kebijakan moneter adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang aktivitas ekonomi melalui berbagai hal yang berkaitan dengan penetapan jumlah peredaran uang di masyarakat. Kebijakan moneter mulai dinormalisasikan oleh Bank Indonesia sebagai upaya antisipasi menekan inflasi di tengah kenaikan harga. Salah satu Bank swasta menyebutkan langkah Bank Indonesia yaitu menetapkan kenaikan bertahap rasio Giro Wajib Minimum untuk mulai memperketat likuiditas. Selain itu, inflasi dipengaruhi oleh meningkatnya Input Cost dan harga-harga komoditas secara eksternal. Bank Indonesia sudah menunjukkan indikasi untuk melakukan normalisasi kebijakan moneter. Sejak bulan Maret sampai September, Bank Indonesia sudah mulai menaikkan Giro Wajib Minimum secara perlahan. Selain itu, Bank Indonesia juga berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator, Kementerian Keuangan, dan melakukan pemantauan harga di pasar yang diikuti dengan langkah antisipasi.[1]

Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan dana atau simpanan minimum yang wajib dijaga oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di Bank Indonesia. Penetapan besarnya GWM ditentukan oleh Bank Indonesia berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan. GWM merupakan instrumen moneter atau makroprudensial sebagai pengatur uang yang beredar di masyarakat yang memberikan pengaruh secara langsung terhadap indeks inflasi. Kebijakan GWM dibuat sebagai tujuan mempengaruhi likuiditas agar dapat mempengaruhi suku bunga maupun kapasitas penyaluran kredit bank.[2]

Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan inflasi yang rendah dan stabil ialah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi agar mengacu kepada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mewujudkan upaya tersebut telah ditetapkan melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Setelah adanya Undang-Undang tersebut, sebagai upaya meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia, maka sasaran inflasi mulai ditetapkan oleh Pemerintah.[3]

Untuk mengatasi inflasi tindakan yang harus diambil oleh Bank Indonesia adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga, yang kemudian kebijakan moneter akan mengurangi investasi dan pengeluaran rumah tangga.[4] Tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia ialah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 7

  • Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
  • Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian”

Tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia ialah antara lain mengendalikan jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektivitas pelaksanaannya diperlukan adanya dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal, yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi Bank. Kemudian, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan melalui sistem perbankan.[5]

Penetapan target atau sasaran inflasi merupakan hal yang harus Bank Indonesia capai, yang berkoordinasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10

  •  Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a Bank Indonesia berwenang:
  • Menetapkan sasaran-sasaran dan moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya;
  • Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
  • Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
  • Penetapan tingkat diskonto;
  • Penetapan cadangan wajib minimum;
  • Pengaturan kredit atau pembiayaan”.[6]

Sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan dijamin melalui Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/2021 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2022, Tahun 2023, dan Tahun 2024 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 2

  • tingkat dan periode Sasaran Inflasi IHK ditetapkan sebagai berikut :
  • 3,0% (tiga persen) untuk Tahun 2022;
  • 3,0% (tiga persen) untuk Tahun 2023;
  • dan 2,5% (dua koma lima persen) untuk Tahun 2024, dengan deviasi sebesar 1,0%.”

Kenaikan suku bunga merupakan salah satu upaya untuk menekan inflasi sebab apabila suku bunga naik, maka perilaku konsumtif akan berkurang, begitu juga dengan investasi. Melemahnya konsumsi dan investasi akan memberikan dampak pada pengurangan permintaan agregat. Namun di sisi lain, dengan suku bunga yang tinggi, Bank Indonesia ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dollar AS sebab akan banyak pemilik dollar AS yang melakukan konversi ke rupiah yang kemudian akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Selain itu, berdasarkan sejarah, Bank Indonesia kerap menggunakan suku bunga tinggi untuk menyurutkan krisis ekonomi.[7] Kenaikan suku bunga memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah uang beredar di Bank begitu pun sebaliknya penurunan suku bunga bank akan mendorong peningkatan jumlah uang beredar.[8]

Instrumen Kebijakan Moneter

  1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Bank Indonesia dapat memengaruhi sasaran operasionalnya dengan Operasi Pasar Terbuka, yaitu suku bunga atau jumlah uang beredar secara lebih efektif sebab arah kebijakan moneter dapat disampaikan dari pasar terbuka dan membentuk suku bunga berdasarkan mekanisme pasar. Selain itu, Operasi Pasar Terbuka juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif Bank Indonesia sesuai dengan frekuensi dan kuantitas yang diinginkan. Bentuk kegiatan Operasi Pasar Terbuka antara lain, kegiatan jual beli surat berharga (Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang) oleh Bank Indonesia di pasar primer maupun pasar sekunder.

  • Fasilitas Diskonto (Discount Policy)

Fasilitas Diskonto merupakan fasilitas kredit yang diberikan kepada bank dengan jaminan surat berharga dan tingkat diskonto sesuai dengan arah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia menaikkan tingkat diskonto fasilitas, maka disitu Bank Indonesia menginginkan terjadinya kenaikan suku bunga. Fasilitas Diskonto berguna untuk alat pengaman dalam menjaga stabilitas di pasar uang, sehingga bank diharapkan untuk tidak sering menggunakan fasilitas ini.

  • Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement)

Cadangan Wajib Minimum dibagi menjadi 2 yang sebagai berikut:

  1. Cadangan Primer

Cadangan primer merupakan ketentuan Bank Indonesia yang memberikan kewajiban kepada bank-bank memelihara sejumlah likuid sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya alat likuid tersebut yang berupa rekening gito dan uang kas di bank sentral.

  • Cadangan Sekunder

Cadangan sekunder merupakan fasilitas kredit yang diberikan kepada bank-bank dengan jaminan surat berharga dan tingkat diskonto yang diberikan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan arah kebijakan moneter.

  • Imbauan (Moral Suasion)

Imbauan untuk melakukan kebijakan tertentu kepada bank-bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Imbauan tersebut tidak bersifat mengikat tetapi memiliki dampak yang efektif dalam kebijakan moneter.[9]

Dalam hal ini Bank Indonesia juga melakukan upaya optimalisasi strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi dengan langkah-langkah berikut:

  1. Memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah;
  2. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK);
  3. Memastikan kecukupan dalam kebutuhan uang, layanan kas, dan distribusi uang dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 2022;
  4. Mendorong kesiapan Penyedia Jasa Pembayaran dalam mengimplementasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP);
  5. Memperkuat kebijakan internasional dengan melakukan perluasan kerja sama dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya.[10]

Wewenang Bank Indonesia juga sebagai upaya menanggulangi krisis ekonomi dalam waktu yang singkat dengan sasaran terkendalinya nilai kurs rupiah pada tingkat yang wajar. Hal ini sesuai sebagaimana diatur dalam BAB IV huruf A butir 1a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter ditanggungkan keharusan untuk membangun sistem kelembagaan yang kuat dan independen dalam mengelola dan mendayagunakan devisa. Dalam hal pengelolaan keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia harus mandiri dalam artian bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain, yang kinerjanya juga perlu diawasi dan dipertanggungjawabkan.[11]

Sebab pada hakikatnya, tujuan kebijakan moneter adalah menjaga kestabilan jumlah uang yang beredar, sementara jumlah uang yang beredar tersebut berkaitan dengan tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan menaiknya tingkat suku bunga, jumlah uang beredar akan menurun begitu juga sebaliknya, sementara itu peningkatan harga-harga umum juga akan menaikan jumlah uang beredar, demikian juga kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan memberi dampak pada kenaikan jumlah uang yang beredar, sedangkan krisis finansial, politik, dan militer merupakan gangguan terhadap kinerja ekonomi nasional yang memberi dampak kepada kenaikan jumlah uang yang beredar.[12]

Kesimpulan

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satu caranya dengan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kestabilan nilai rupiah berkaitan dengan jumlah uang beredar, sementara jumlah uang beredar tersebut berkaitan dengan tingkat suku bunga. Dengan melakukan penaikan suku bunga, maka perilaku konsumtif akan berkurang, sehingga memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah uang beredar. Hal ini akan mewujudkan kestabilan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga kemudian menguatkan nilai tukar rupiah.

Dasar Hukum

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998;

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/2021 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2022, Tahun 2023, dan Tahun 2024.

Referensi

Bank Indonesia. (2022). Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2022.

CNBC Indonesia, Harga & Inflasi Mulai Menanjak, Kapan BI Naikkan Suku Bunga?, retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411142542-19-330618/harga-inflasi-mulai-menanjak-kapan-bi-naikkan-suku-bunga.

Maria, J. A., Sedana, I B. P., dan Artini, L. G. S. (2017). Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Pertumbuhan Gross Domestic Product terhadap Jumlah Uang Beredar di Timor-Leste, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana No. 10(6).

Sikapi Uangmu OJK, Giro Wajib Minimum: Instrumen Moneter untuk Atur Uang Beredar, retrieved from https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/333

Safuridar. (2018). Peranan Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, Jurnal Samudra Ekonomika No. 1(2).

Silangit, P. K. H., Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia, retrieved from https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-bunga-bank-indonesia/

Triwahyuni. (2021). Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6).


[1] CNBC Indonesia, Harga & Inflasi Mulai Menanjak, Kapan BI Naikkan Suku Bunga?, retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411142542-19-330618/harga-inflasi-mulai-menanjak-kapan-bi-naikkan-suku-bunga

[2] Sikapi Uangmu OJK, Giro Wajib Minimum: Instrumen Moneter untuk Atur Uang Beredar, retrieved from https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/333

[3] Triwahyuni, Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6). 2021. page 202

[4] Triwahyuni, Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6). 2021. page 203

[5] Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[6] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[7] Patrick Kuntara Harpranata Silangit, Analisis Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia, retrieved from https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-bunga-bank-indonesia/

[8] José Augusto Maria, I B. Panji Sedana, dan Luh Gede Sri Artini, Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Pertumbuhan Gross Domestic Product terhadap Jumlah Uang Beredar di Timor-Leste, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana No. 10(6). 2017. page 3490

[9] Safuridar, Peranan Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, Jurnal Samudra Ekonomika No. 1(2). 2018. page 45

[10] Bank Indonesia, Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2022. 2022. page 5

[11] Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[12] José Augusto Maria, I B. Panji Sedana, dan Luh Gede Sri Artini, Op. Cit., page 3494

0

PENERAPAN PERCEPATAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Author : Ananta Mahatyanto
Co – Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

REFERENSI :

  1. Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)
  2. Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

            Indonesia memiliki Keindahan Alam yang diakui oleh dunia, dimana kekayaan alam di Indonesia sangat banyak dan beragam, hal ini juga dapat kita lihat pada banyaknya turis yang datang ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam di Indonesia. Oleh sebab itu, Industri Pariwisata merupakan salah satu industri yang penting untuk dikembangkan di Indonesia, akan tetapi Pengembangan Industri Pariwisata tersebut harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap lingkungan di Indonesia itu sendiri.

            Pemerintah menyadari bahwa industri pariwisata harus dilaksanakan sejalan dengan perlindungan terhadap lingkungan, selain itu terdapat pertimbangan mengenai pengelolaan tentang pariwisata, budaya dan manfaat sosial dan ekonomi yang terdapat pada Industri Pariwisata itu sendiri, oleh sebab itu pada tahun 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenpar 14/2016) yang sudah dicabut dengan  terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenparekraf 9/2021).

            Gagasan atau Ide mengenai Percepatan Pariwisata Berkelanjutan diterapkan melalui pembaharuan Peraturan terkait ide tersebut melalui diterbitkannya Permenparekraf 9/2021, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah untuk mewujudkan Pengembangan Industri Pariwisata yang berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev), dimana STDev tersebut meliputi Sustainable Tourism Destination (STD), Sustainable Tourism Observatory(STO), Sustainable Tourism Certification(STC), Sustainable Tourism Industry(STI), serta Sustainable Tourism Marketing & Management(STM).[1]

            Sebelumnya, Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Lembaga Akreditasi kuasi pemerintah yang dibentuk melalui surat Keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Nomor Km. 143/Kd.00/Menpar/2019, Tentang Dewan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council) atau biasa disebut dengan ISTC.[2]

            ISTC itu sendiri mempunyai tugas dan fungsi dalam hal mendukung dan mengadvokasi penerapan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu ISTC melakukan regulasi, memfasilitasi juga melakukan pendampingan agar destinasi-destinasi wisata sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pelaksanaannya dengan melakukan asesmen, memberikan award kepada destinasi yang berhasil menerapkan standar pariwisata berkelanjutan.[3]

            Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan dalam Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Permenparekraf 9/2021, yang berbunyi:

“ Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. “ [4]

Area yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan berkelanjutan ada 4 pilar. Pertama adalah pengelolaan yang berkelanjutan seperti bisnis pariwisata, kedua ekonomi berkelanjutan atau sosial ekonomi jangka panjang. Ketiga adalah keberlanjutan budaya agar terus dikembangkan tetapi tetap dijaga. Dan keempat adalah keberlanjutan aspek lingkungan. [5]

            4 pilar tersebut dijelaskan melalui Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021. Kriteria Destinasi tersebut dijabarkan dalam Huruf A sampai Huruf D Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021 sebagai berikut:[6]

  1. Pengelolaan Berkelanjutan
  2. Struktur dan Kerangka Pengelolaan
  3. Tanggung jawab pengelolaan destinasi
  4. Strategi dan rencana aksi pengelolaan destinasi
  5. Monitoring dan Pelaporan
  6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
  7. Pelibatan badan usaha dan standar keberlanjutan
  8. Pelibatan dan umpan-balik dari penduduk setempat
  9. Pelibatan dan umban-balik dari pengunjung
  10. Promosi dan Informasi
  11. Mengelola Tekanan dan Perubahan
  12. Mengelola jumlah dan kegiatan pengunjung
  13. Perencanaan peraturan dan pengendalian pembangunan
  14. Adaptasi perubahan iklim
  15. Pengelolaan risiko dan krisis
  • Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi
  • Memberi manfaat ekonomi lokal
  • Mengukur kontribusi ekonomi pariwisata
  • Peluang kerja dan karir
  • Menyokong kewirausahaan lokal dan perdagangan yang berkeadilan
  • Kesejahteraan dan dampak sosial
  • Dukungan dari masyarakat
  • Pencegahan eksploitasi dan diskriminasi
  • Hak kepemilikan dan pengguna
  • Keselamatan dan keamanan
  • Akses untuk semua
  • Keberlanjutan Budaya
  • Melindungi Warisan Budaya
  • Perlindungan aset budaya
  • Artefak Budaya
  • Warisan Tak Benda
  • Akses Tradisional
  • Hak Kekayaan Intelektual
  • Mengunjungi Situs Budaya
  • Pengelolaan pengunjung pada situs budaya
  • Interpretasi situs
  • Keberlanjutan Lingkungan
  • Konservasi Warisan Alam
  • Perlindungan lingkungan sensitif
  • Pengelolaan pengunjung pada situs alam
  • Interaksi dengan kehidupan liar
  • Eksploitasi spesies dan kesejahteraan satwa
  • Pengelolaan Sumberdaya
  • Konservasi energi
  • Penatalayanan air
  • Kualitas air
  • Pengelolaan limbah dan emisi
  • Air limbah
  • Limbah padat
  • Emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim
  • Transportasi berdampak rendah
  • Pencemaran cahaya dan kebisingan

Kriteria Destinasi Pariwisata tersebut diperjelas melalui terdapatnya Kriteria yang menjadi dasar penilaian atau penetapan pada standar destinasi pariwisata berkelanjutan, Sub Kriteria yang merupakan turunan dari kriteria dan memberikan detil pengelompokan dari indikator, Indikator yang merupakan sesuatu yang memperjelas dan dapat memberi petunjuk atau keterangan dari kriteria , serta Bukti Pendukung yang merupakan sesuatu yang menyatakan suatu kebenaran peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda baik berupa softcopyatau hardcopy.

            Terkait dengan Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, didasari pada Kriteria Destinasi Pariwisata yang harus terpenuhi sebelumnya sebagai pedoman Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri. Sehingga, Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri dapat mewujudkan keempat pilar yaitu Pengelolaan Berkelanjutan, Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi, Keberlanjutan Budaya serta Keberlanjutan Lingkungan yang sekaligus menjadi tujuan dari penerapan percepatan pariwisata berkelanjutan di Indonesia itu sendiri.


[1]Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[2]Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[3]Op. Cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[4]Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

[5]Op.cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[6]Bab II Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0

Nominee Arrangement Related to Indonesian Regulations

Author: Ananta Mahatyanto

Legal Basis:

  1. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation
  2. Presidential Regulation (Perpres) No. 10 of 2021
  3. Presidential Regulation No.49 of 2021
  4. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  5. Law No. 25 of 2007 concerning Investment

Nominee   adalah    sebuah   perjanjian innominaat, yang mana perjanjian Innominaat adalah perjanjian yang tumbuh dan   berkembang   di   dalam   praktek   dan belum dikenal saat KUH perdata diundangkan     Di     Indonesia.     Nominee adalah     satu     contoh     dari     perjanjian Innominaat.  Praktek  nominee  saham   ini timbul   di   Indonesia   karena   faktor regulasi dan juga faktor lainnya yaitu   alasan   yang   bersifat   pribadi   dari pihak beneficiary itu sendiri, merupakan  rahasia  maupun kepentingan  pribadi dari pihak beneficiary itu sendiri. 

 
Pembatasan kepmilikan Saham

  kepemilikan    saham dalam   perseroan   juga   sering   dilakukan dalam  bentuk nominee (orang  atau  badan hukum     yang     dipinjam     dan     dipakai namanya   sebagai  pemegang  saham  oleh Beneficiary),  biasanya  karena Beneficiary mempunyai  keinginan  untuk  memperoleh saham   melebihi   pembatasan   pemilikan saham     di Indonesia.     Terlebih lagi Beneficiary dalam  hal  ini  juga  melingkupi investor   asing   dimana   dalam   regulasi pembatasan pemilikan saham juga mengatur   pembatasan   pemilikan   saham yang    boleh    dimiliki     investor    asing. Regulasi  pembatasan  diatur dalam Peraturan  Presiden  No.  10  Tahun  2021 Tentang Daftar bidang usaha  yang tertutup dan  bidang  usaha   yang  terbuka  dengan persyaratan di bidang penanaman modal.

Hubungan  Pembatasan  kepemilikan saham di Indonesia dengan nominee

Dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang kini sudah diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal itu menyebut bahwa investasi sektor riil di Indonesia terbagi atas tiga golongan, yaitu:

1. Bidang usaha terbuka
2. Bidang usaha terbuka dengan persyaratan
3. Bidang usaha tertutup, yang kemudian dicatat dalam daftar negatif investasi

Dalam   pengertiannya   sesuai   dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021, Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha yang tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2OO7 tentang Penanaman Modai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Sebagaimana yang di maksud dengan daftar negative investasi meliputi 6 sektor menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021 yaitu;

  1. Budi daya atau industri narkoba
  2. Segala bentuk perjudian
  3. Penangkapan spesies ikan yang tercantum di dalam appendiks I the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)
  4. Pengambilan atau pemanfaatan koral dari alam
  5. Industri senjata kimia
  6. Industri kimia perusak ozon.

Dan penambahan pada Peraturan Presiden nomor 49 tahun 2021 yaitu

  1. Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol
  2. Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur
  3. Industri Minuman Mengandung Malt

Melihat    pasal 7   Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun  2021  sangat   jelas   membatasi kepemilikan  saham  bagi  pemegang  saham asing tetapi untuk  tetap  dapat  berusaha untuk dapat memegang saham lebih dari yang ditentukan  oleh  peraturan   yang  berlaku, biasanya  para  pemegang  saham  asing  ini menggunakan  pihak  ketiga/nominee  yang berupa   individu/badan   hukum   Indonesia untuk   menjadi   pemegang   saham   dalam salah satu bidang perusahaan tersebut.  Jika  pemegang  saham  asing  tersebut menggunakan  nama  atau  meminjam  nama individu/badan  hukum  Indonesia  tentunya pembatasan tersebut menjadi tidak masalah   karena   nama   dari   pihak   asing tersebut  tidak  diketahui,  dan  akhirnya  bisa memiliki  saham  lebih  dari  apa  yang  sudah diatur  Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021.  Dapat   dikatakan   faktor   utama   yang melatar  belakangi  timbulnya  praktek  dari nominee  saham  itu  sendiri  adalah  regulasi pembatasan kepemilikan saham ini.

Ketentuan nominee dalam Perundang-undangan di Indonesia

Konsep    nominee    dalam    beberapa transaksi bisnis antara lain dalam kepemilikan saham (nominee Shareholder) oleh  pihak  asing,  kepemilikan  tanah  oleh warga  negara  asing  (WNA)  dengan  status hak  milik di  Indonesia,  serta  penunjukan seseorang  untuk  menjabat  sebagai  direktur dari  perusahaan  /  direktur nominee.  Pihak asing   yang   menunjuk   pihak   Indonesia sebagai nominee bertujuan untuk mengatasi   pembatasan-pembatasan   yang ditetapkan    oleh    pemerintah    Indonesia dalam   hal   kepemilikan   saham   ataupun asset  oleh  warga  Negara  asing. Nominee secara garis besar bertujuan agar kepemilikan saham oleh pihak asing, nama dan  identitas  dari  pihak Beneficiary tidak diketahui oleh umum dan pemerintah.  Hal ini sangatlah merugikan   dan mempunyai   dampak   negatif   dari   segi perekonomian nasional.

Dalam Undang –   Undang   No.40   Tahun   2007 Tentang Perseroan Terbatas

Dapat dikaitkan dalam pasal 48  ayat (1) Undang-undang  No.40   Tahun   2007   tentang    Perseroan    Terbatas    mengatur bahwa     kepemilikan     saham    Perseroan Terbatas  atas  nama  pemiliknya.  Dengan demikian,  saham  tersebut  harus  atas  nama pemegang   saham   yang   sebenarnya,   dan tidak  bisa  nama  pemegang  saham   yang berbeda  seperti  sebagaimana  pemahaman mengenai praktek nominee ini. Pengaturan  mengenai  kepemilikan saham  oleh  lebih  dari  satu  orang  memang diperbolehkan    menurut    Undang-undang No.40   Tahun   2007   tentang   Perseroan Terbatas   (UUPT),   dimana   diatur   dalam pasal  52  ayat (5)  bahwa  beberapa  orang yang    memiliki    saham    tersebut    harus menunjuk  1  (satu)  orang   sebagai   wakil bersama. Praktek  pasal  ini  berbeda dengan  praktek nominee,  dimana  dalam pasal  ini  apabila  saham dimiliki  oleh  lebih dari satu orang, maka orang-orang tersebut tetap   harus   dicatatkan   namanya   sebagai menunjuk satu orang wakil untuk menggunakan  hak  yang  timbul  dari  saham tersebut.   Dalam   kasus   nominee  pihak Beneficiary tidak   tercatat   namanya,   dimana hanya pihak nominee saja yang tercatat.

Dalam Undang –Undang  No.25  Tahun  2007  Tentang Penanaman Modal

Pada  pasal  33 ayat (1)   dan   ayat (2)   Undang-Undang No. 25   Tahun   2007   tentang   Penanaman Modal,   dimana   diatur   dalam   ayat (1) disebutkan  bahwa  penanam  modal  dalam negeri   dan   penanam   modal   asing   yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat  perjanjian  dan  / atau  pernyataan yang    menegaskan    bahwa    kepemilikan saham  dalam  perseroan  terbatas  untuk  dan atas  nama  orang   lain.  Kemudian  dalam ayat (2)   disebutkan   bahwa   dalam   hal penanaman    modal    dalam    negeri    dan penanaman modal asing membuat perjanjian dan / atau pernyataan sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat (1),perjanjian    dan    /    atau    pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa para penanam modal yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas    dilarang    membuat    perjanjian dan/atau    pernyataan    yang    menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan    terbatas    dilarang     membuat perjanjian     dan/atau     pernyataan     yang menegaskan   bahwa   kepemilikan   saham dalam  perseroan  terbatas  untuk  dan  atas nama orang  lain.

Larangan adanya praktek nominee  pada  Undang-undang  Penanaman Modal  diperjelas  oleh  penjelasan  pasal  33 ayat (1)     Undang-undang     Penanaman Modal   yang   menyatakan   bahwa   tujuan pengaturan pasal tersebut adalah menghindari   terjadinya   perseroan   yang secara  Formil  dimiliki  seseorang,  tetapi secara  materil  pemilik  perseroan  tersebut adalah  orang  lain.  Isi  ketentuan  pasal  33 ayat (1)Undang-undang     Penanaman Modal  ini  tidak  memberikan  batasan  akan jenis   perjanjian   yang   dapat   dikenakan pasal    tersebut,    sehingga    segala    jenis perjanjian     selama     terdapat     ketentuan mengenai nominee  berupa  penegasan  akan kepemilikan     saham     dalam     perseroan terbatas  untuk  dan  atas  nama  orang  lain sehingga    pada    akhirnya    menyebabkan adanya    perbedaan    kepemilikan    saham nominee    dan    kepemilikan Beneficiary dapat  dikenakan  pasal 33 angka (1)  Undang-undang Penanaman Modal.

Konsep dan Struktur Nominee

karakteristik   yang terdapat dalam penggunaan konsep nominee adalah    terdapatnya nominee agreement antara beneficiary dan nominee. Nominee agreement merupakan suatu trust atau kepercayaan  yang   lahir dari perjanjian   dan   merupakan   suatu   bentuk perjanjian  tidak    bernama    yang    lahir  berdasarkan   asas   kebebasan   berkontrak, asas  kekuatan  mengikat  dan  itikad  baik yang   terdapat   dalam   buku  II  KUHper. Berdasarkan nominee   agreement, dapat dilihat   bahwa   unsur-unsur   atau   ciri-ciri dalam penggunaan nominee memperlihatkan terdapatnya 2 pihak, yaitu pihak yang diakui  secara hukum dan pihak yang berada di belakang pihak yang diakui secara  hukum  tersebut,  dimana  2  pihak tersebut dalam kepemilikan saham ataupun kepemilikan  tanah  melahirkan  pemisahan kepemilikan atas suatu benda yaitu pemilik yang diakui secara hukum (pihak nominee) dan  pemilik  yang  sebenarnya  atas  benda (pihak beneficiary). Setelah    terjadi    kesepakatan    antara nominee dan beneficiary, maka    akan terdapat nominee agreement yang ditandatangani oleh nominee dan beneficiary dalam    kepemilikan    saham dengan   konsep nominee akan   menjadi pihak    yang    terdaftar    sebagai    pemilik secara   hukum   dalam   perseroan   namun seluruh    keuntungan    yang    timbul    dari saham yang bersangkutan termasuk dividen  yang  dibagikan  akan  menjadi  hak dari beneficiary dan  karenanya  pemegang saham nominee hanya   bertindak   selaku kuasa dari pihak beneficiary.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, karakteristik atau ciri-ciri penggunaan konsep nominee antara lain:

  1. Terdapatnya  jenis   kepemilikan yaitu   kepemilikan   secara   hukum dan secara tidak langsung.
  2. Nama  dan  identitas nominee  akan didaftarkan   sebagai   pemilik   dari saham  di  Daftar  Pemegang  Saham perusahaan     dalam kepemilikan saham oleh nominee.
  3. Terdapat   nominee  agreement  yang wajib ditandatangani antara nominee   dan   beneficiary   sebagai landasan  dari  penggunaan  konsep nominee.
  4. Pihak nominee menerima fee dalam jumlah tertentu sebagai kompensasi penggunaan   nama   dan    identitas dirinya untuk kepentingan beneficiary.

Selain nominee   agreement terdapat beberapa    perjanjian    dan    kuasa    yang biasanya  ditandangani  oleh  pihak nominee dan  pihak beneficiary sebagai  komponen pendukung.   Perjanjian   dan   kuasa-kuasa tersebut   dibutuhkan   untuk   memberikan kepastian   ataupun   perlindungan   kepada beneficiary sebagai   pemilik   sebenarnya atas   benda   yang   dimiliki   oleh nominee secara hukum. Dalam  rangka  melaksanakan  praktek nominee saham  di  Indonesia,  tidak  dibuat perjanjian nominee saham   yang   hanya terdiri  dari  satu  perjanjian  saja,  melainkan terdiri    dari    beberapa    perjanjian    yang apabila  dihubungkan  satu  sama  lain  akan menghasilkan nominee saham  inilah  yang dapat dikatakan sebagai nominee arrangement, tetapi   biasanya Nominee Arrangement ini dapat dibuat tanpa nomiee agreement. Hal ini dapat dikatakan sebagai penyelundupan   hukum   pada   perjanjian nominee saham   dalam prakteknya   di Indonesia. Komponen pendukung    lain yang  umum  yang  dapat  ditemukan  dalam penilitian  mengenai  praktek nominee atau dapat disebut dengan nominee arrangement dalam   kepemilikan   saham adalah sebagai berikut:

  1.  Akta    Pengakuan    Hutang    (Loan agreement). Dalam  akta  ini  disebutkan  bahwa nominee  menggunakan  dana  yang disediakan  oleh beneficiary  untuk melakukan  penyetoran  atas  saham yang  akan  dimilikinya  kelak  dalam perusahaan.
  2. Perjanjian  Gadai  Saham (Pledge  of shares agreement). Setelah    perjanjian    gadai    saham ditandangani,  maka nominee  wajib menyerahkan  surat  saham    kepada beneficiary.
  3. Surat Kuasa Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ). Berdasarkan surat kuasa ini, nominee memberikan  kuasa kepada beneficiary  untuk  dapat  secara  sah menghadiri  RUPS  yang  diadakan oleh  perusahaan  serta  memberikan suaranya dalam RUPS .
  4. Surat Kuasa untuk menjual saham. Surat    kuasa    ini    mencantumkan pemberian    kuasa    dari nomineekepada beneficiary  secara  hukum berhak  untuk  menjual  saham  yang dimiliki     oleh nominee     dalam perusahaan.

Akibat hukum yang terjadi terhadap praktik saham pinjam nama (Nominee arrangement)

Dalam prakteknya, pemakaian nominee  ini  sering  dijumpai,  tidak  jarang juga  sengketa  yang  yang  diakibatkan  oleh adanya   praktek nominee   tersebut.   Hal tersebut   dapat   terjadi   juga   jika   pihak nominee tidak mau mengembalikan saham-saham     yang     telah     dimilikinya tersebut   kepada beneficiary.   Kesulitan-kesulitan  lain  yang  akan  dihadapi  adalah masalah  pembuktian   kepemilikan   saham serta   mengenai   tanggung   jawab   secara hukum kepada pihak ketiga. Secara de Jure saham nominee   tersebut   adalah   mutlak milik nominee,  sebab  nama   mereka   lah yang   akan   tercatat   dalam   buku   daftar pemegang    saham   perseroan   disamping adanya   bukti   sertifikat   saham,   namun sebaliknya  secara  de  Facto  saham  tersebut adalah     kepunyaan     pihak beneficiary.

Akibat   yang   ditimbulkan Nominee dalam Penanaman Modal

Dapat  dilihat  bahwa  Undang-undang Penanaman  Modal  telah  mengatur  secara tegas  pelarangan  praktek nominee saham pada perseroan yang berbentuk penanaman modal  dalam  negeri  maupun  penanaman modal asing. Akibat Hukum dari melanggar   ketentuan   pasal   33   ayat   (1) Undang-undang  Penanaman  Modal  diatur pada  ayat  berikutnya,  yaitu  pasal  33  ayat (2)   Undang-undang   Penanaman   Modal. Pasal     33     ayat     (2)     Undang-undang Penanaman  modal  menyatakan  bahwa  bila penanam    modal,    baik    dalam    negeri maupun asing, membuat perjanjian dan/atau    pernyataan    yang    menegaskan kepemilikan    saham    perseroan    terbatas untuk  dan  atas  nama  orang  lain  sehingga menyebabkan    adanya    perbedaan    pada kepemilikan    saham    perseroan    terbatas secara   normatif   (nominee)   dan   secara substansial  (beneficiary)  maka  perjanjian dan/atau   pernyataan   tersebut   akan   batal demi  hukum.  Dengan  demikian  bila  ada perjanjian  yang melanggar  ketentuan pasal 33  ayat  (1)  Undang-undang  Penanaman Modal maka perjanjian  tersebut akan batal demi  hukum.  Dimana  artinya,  perjanjian yang   dibuat   oleh   para   pihak   tersebut dianggap tidak pernah ada.  Akibat  hukum  yang  diatur  pada  pasal 33  angka  (2)  Undang-undang  Penanaman Modal  bahwa  suatu  perjanjian  akan  batal demi  hukum   karena   telah  terlanggarnya ketentuan   pasal   33   angka   (1)   Undang-undang    Penanaman    Modal    ini    sesuai dengan  ketentuan hukum diatur pada pasal 1320   KUHper.   Berdasarkan   pasal   1320 KUHper,   terdapat   perjanjian   Indonesia. Dimana  berdasarkan  hukum  perjanjian  di Indonesia  agar   suatu  perjanjian   menjadi sah   maka   perlu   untuk   mentaati   syarat sahnya  perjanjian,  dimana  ada  4  (empat) syarat   yang   harus   terpenuhi   agar   suatu perjanjian  menjadi  sah,  dan  salah  satunya adalah “suatu  sebab  yang  halal”.  Syarat “suatu sebab yang halal” ini mensyaratkan bahwa   isi   suatu   perjanjian   harus   tetap memperhatikan  ketentuan  selain perjanjian itu sendiri, seperti Undang-undang, kesusilaan,     kepatutan,    dan     ketertiban umum.   Menurut   subekti,   syarat  “syarat sebab  yang  halal”  ini  termasuk  dalam syarat  obyektif dari  suatu  perjanjian  dan akibat  hukum  dari  pelanggarannya  adalah perjanjian  tersebut  batal  demi  hukum.  Hal ini  sesuai  dengan   ketentuan  pasal  1335 KUHper   dimana   bila   sebuah   perjanjian dibuat  berdasarkan  sebab  yang  terlarang maka tidak memiliki  kekuatan hukum, dan hal   ini   sesuai  dengan   ketentuan  hukum perjanjian Indonesia bila perjanjian melanggar  syarat  obyektif    “sebab  yang halal”  maka  perjanjian  tersebut  akan  batal demi hukum.

Akibat Hukum Terhadap Pemegang Saham Nominee

Berdasarkan ketentuan Undang-undang  Perseroan  Terbatas diatur  dalam  pasal  48  angka  (1)  bahwa saham  perseroan  dikeluarkan  atas  nama pemiliknya yang berarti bahwa kepemilikan   saham   sepenuhnya   dimiliki oleh  pihak nominee.  Berdasarkan  hukum di  Indonesia,  hak  dan  kewajiban nominee shareholder  / atau  pihak nominee adalah hak  dan  kewajiban  selayaknya  pemegang saham   biasa,   karena   pemegang   saham nominee merupakan  pemilik  saham  yang terdaftar menurut hukum.

Akibat   Hukum   Terhadap   Pihak Beneficiary

pihak nominee diakui  sebagai pemegang   saham   yang   terdaftar,   maka pihak beneficiary tidak   diakui   sebagai pemegang   saham   milik   pihak nominee tersebut. Pihak beneficiary ini tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai pemegang saham atas saham milik nominee tersebut.

Akibat  Hukum  Terhadap  Perseroan Terbatas

Karena nominee dianggap seperti pemilik  saham  yang  sesungguhnya,  akibat hukum  dari  suatu  perseroan  terbatas  yang menggunakan  perjanjian nominee tersebut tetap  sah dan mempunyai  kekuatan hukum jika    memenuhi    syarat-syarat    normatif pendirian perseroan terbatas dan melakukan  penanaman  modal,  akan  tetapi dalam   hal   ini   perseroan   terbatas   dapat dibubarkan berdasarkan penetapan pengadilan. Pembubaran ini pada umumnya   sama   seperti   proses   perkara perdata, yaitu adanya pihak yang mengajukan   permohonan   ke   pengadilan terlebih  dahulu.  Di  dalam  Undang-undang Perseroan  terbatas  pada  pasal  146  diatur bahwa    suatu    pengadilan    negeri    dapat membubarkan    perseroan    terbatas    atas dasar:

  1. Permohonan kejaksaan berdasarkan alasan perseroan terbatas melanggar  kepentingan  umum  atau perseroan terbatas melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
  2. Permohonan pihak yang berkepentingan  berdasarkan  alasan adanya   cacat   hukum   dalam   akta pendirian;
  3. Permohonan     pemegang     saham, direksi     atau     dewan     komisaris berdasarkan alasan perseroan terbatas tidak mungkin dilanjutkan.

Berdasarkan alasan-alasan diatas bahwa pengadilan negeri dapat membubarkan   suatu   perseroan   terbatas yang  menerapkan  praktek nominee karena suatu   perseroan   terbatas   yang   terdapat praktek nominee dalam   saham   adalah perseroan terbatas yang melakukan perbuatan     melanggar     hukum.     Selain perbuatan  yang  melanggar  hukum,  suatu perseroan  terbatas  yang  terdapat  praktek nominee dalam  saham  mempunyai  cacat hukum dalam akta pendirian  karen a terjadi pelanggaran     dalam     keterangan yang memuat     keterangan     mengenai     nama pemegang  saham  yang  telah  mengambil bagian  saham,  rincian  jumlah  saham  dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan   dan   disetor   sesuai   dengan pasal  8  angka  (2)  huruf  c  Undang-undang Perseroan Terbatas.

Nominee is an innominate agreement, an agreement that grows and develops in practice and was not known when the Civil Code was enacted in Indonesia. The nominee is an example of an Innominaat agreement. The practice of nominee shares arose in Indonesia due to regulatory factors and other factors, namely personal reasons from the beneficiary itself, which are private secrets from the beneficiary itself.

Restrictions on share ownership

Share ownership in a company is also often carried out in the form of a nominee (a person or legal entity chosen and used as a shareholder by the owner) usually because the owner has a desire to own shares more than the share ownership in Indonesia.  What’s more, the Beneficiary in this case also covers foreign investors, in which the ownership of shares is also the owner of shares that foreign investors may own.  Regulations are regulated in Presidential Regulation No.10 of 2021 concerning the list of business fields that are open with conditions in the investment sector.

Relation of Restrictions on share ownership in Indonesia with nominees

In Article 12 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, amended to Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation.  The article states that real sector investment in Indonesia is divided into three groups, namely:

  1. Open business field

  2. Open business fields with conditions

  3. Closed business fields, which are then recorded in the negative investment list

In the sense that according to Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, Closed Business Fields are the Business Fields listed in Article 12 of Law Number 25 of 2OO7 concerning Capital Investment as amended by Law Number 11 of 2O2O concerning Job Creation.  As meant by the negative investment list, it covers 6 sectors according to Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, namely;

  1. Cultivation or drug industry

  2. Form of gambling

  3. Catching fish species listed in appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)

  4. Retrieval or use of coral from nature

  5. Chemical weapons industry

  6. Ozone-depleting chemical industry.

  And additions to Presidential Regulation number 49 of 2021 are:

  1. Liquor Industry Containing Alcohol

  2. Beverage Industry Containing Wine Alcohol

  3. Beverage Industry Containing Malt

  Looking at Article 7 of Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, it severely limits the share ownership of foreign shareholders who still strives to be able to hold more shares than is determined by the applicable regulations. To do so, usually, foreign shareholders use third parties/candidates in the form of Indonesian individuals / legal entities to become shareholders in one the field of the company.  If the shareholder uses the name or borrows the name of an Indonesian individual/legal entity, of course, there is no problem because the name of the foreign party is unknown, and in the end, they can own more shares than what has been regulated by Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021. It can be said that the factor behind the emergence of the practice of share nominees itself is the regulation of share ownership.

Nominee provisions in Indonesian legislation

The nominee concept in several transactions includes ownership of shares by foreign parties, ownership of land by citizens (foreigners) with property rights in Indonesia, as well as the appointment of a person’s business as director of the company/nominee director.  Foreign parties appointing Indonesian parties as nominees aim to overcome the restrictions set by the Indonesian government on ownership or assets by foreign nationals.  Candidates broadly aim to ensure that foreign ownership of shares, names, and identities of the Beneficiaries are not shared with the public and the government.  This is detrimental and has a negative impact in terms of the national economy.

Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

  It can be accessed in Article 48 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which stipulates that the ownership of shares of Limited Liability Companies is in the name of the owner.  Thus, these shares must be in the name of the actual shareholder, and cannot be named a different shareholder as the nominee’s understanding of practice is.  Regulations regarding share ownership by more than one person are indeed permitted according to Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies (UUPT), which is regulated in article 52 paragraph (5) that several people who own the shares must appoint 1 (one) person as joint representatives.  The practice of this article is different from the practice of nominees. In this article, if it is owned by more than one person, then the names of those people must still be recorded as appointing one representative to exercise the rights arising from the shares. In the case of the nomination of the Recipient party, the name is not mentioned, where only the candidate party is listed.

Law No. 25 of 2007 concerning Investment

  In article 33 paragraph (1) and paragraph (2) of Law no.  25 of 2007 on Investment, which is regulated in paragraph (1), it is stated that domestic investors and foreign investors who invest in the form of a limited liability company are prohibited from making agreements and/or statements confirming that share ownership in a limited liability company and on behalf of a person other. In paragraph (2), it is stated that in the event that domestic investment and foreign investment make an agreement and/or statement as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement are declared null and void.  In this article, it is explained that investors who invest in the form of a limited liability company are prohibited from making agreements and/or statements confirming that share ownership in a limited liability company makes an agreement and/or statement stating that share ownership in a limited liability company is for and on behalf of another person.  other.

  The prohibition on the practice of candidates in the Investment Law is clarified by the explanation of article 33 paragraph (1) of the Investment Law which states that the purpose of the regulation of this article is to avoid the occurrence of a company owned by someone, but materially the owner of the company is someone else.  The contents of the provisions of article 33 paragraph (1) of this Investment Law do not provide restrictions on the types of agreements that can be subject to that article, so that all types of agreements as long as the provisions regarding nominees are in the form of affirmation of share ownership in a limited liability company for and on behalf of other people, in the end, causing differences in the nominee’s share ownership and the Beneficiary’s ownership may be subject to Article 33 number (1) of the Investment Law.

  Nominee Concept and Structure

  The characteristic contained in the use of the nominee concept is the existence of a nominee agreement between the beneficiary and the nominee.  A nominee agreement is a trust born from an agreement, a form of an anonymous agreement, based on the principle of freedom of contract, as well as binding strength and good faith contained in book II of the Criminal Code.  Based on the nominee agreement, it can be seen that the elements or characteristics in the use of the nominee are 2 parties, namely the legally recognized party and the party behind the legally recognized party, where the 2 parties are in share ownership or land ownership.  the birth of ownership of an object, namely the legally recognized owner (the candidate) and the actual owner of the object (the recipient).  After there is an agreement between the nominee and the beneficiary, there will be a nominee agreement signed by the nominee and beneficiary in share ownership with the concept that the nominee will be the registered party as the legal owner in the company, but all profits arising from the shares concerned include dividends distributed the rights of the beneficiary and therefore becoming a nominee shareholder only acts as a proxy for the beneficiary.

  Based on the explanations above, the characteristics or characteristics of the use of the candidate concept include:

  1. There are types of ownership, namely legal ownership and indirect ownership.

  2. The name and identity of the candidate will be the owner of the shares in the Register of Shareholders of the company in the share ownership by the candidate.

  3. There is a nominee agreement that must be signed between the nominee and the beneficiary as the basis for the use of the nominee concept.

  4. Prospective parties receive a certain amount of fees as compensation for the use of their name and identity for the benefit of the beneficiary.

  In addition to the nominee agreement, there are several agreements and powers of attorney which are usually signed by the nominee and the beneficiary as a supporting component.  The agreement and the powers of attorney are needed to provide certainty or protection to the beneficiary as the actual owner of the object legally owned by the nominee.  In order to carry out the practice of prospective shareholders in Indonesia, a prospective shareholder agreement is not made which only consists of one agreement, but consists of several agreements if each other will produce prospective shareholders.  This can be made without the nominee’s consent.  This can be considered as legal smuggling of nominee share agreements in practice in Indonesia.  Other common supporting components that can be found in research on nominee practices or can be referred to as nominee arrangements in share ownership are as follows:

  1. Deed of Debt Recognition (Loan Agreement).  This deed states that the candidate uses the funds provided by the beneficiary to make a deposit for the shares to be deposited in the company.

  2. Share Pledge Agreement.  After the share pledge agreement is signed, the candidate must submit share certificates to the heirs.

  3. Power of Attorney General Meeting of Shareholders ( GMS ).  Letter Based on this power of attorney, the nominee grants power to the beneficiary to attend the GMS held by the company and cast his/her vote in the GMS.

  4. Power of attorney to sell shares.  This power of attorney is a power of attorney from the nominee to the beneficiary legally entitled to sell what the nominee owns in the company.

  Legal consequences that occur on the practice of borrowing shares (Nominee arrangement)

  In practice, using this nominee is often encountered, not infrequently disputes are caused by the practice of the nominee.  This can also happen if the appointed party does not want to return the shares that have been given to the beneficiary.  other difficulties that will be faced are the problem of proving share ownership and legal responsibility to third parties.  In de Jure nominee the shares absolutely belong to the nominees, because their names will be recorded in the company’s shareholder register in addition to proof of share certificates, but on the other hand, de facto the shares are the beneficiary parties.

  Consequences of Nominees in Investment

  It can be seen that the Investment Law has clearly regulated the prohibition of the practice of prospective shares in companies in the form of domestic investment or foreign investment.  The legal consequences of violating the provisions of article 33 paragraph (1) of the Investment Law are regulated in the next paragraph, namely article 33 paragraph (2) of the Investment Law.  Article 33 paragraph (2) of the Investment Law states that if an investor, both domestic and foreign, makes an agreement and/or statement which is declared as ownership of a limited liability company and on behalf of another person, there will be differences in the ownership of the shares of the limited liability company.  normatively (nominee) and substantially (beneficiary), the agreement and/or statement will be null and void.  Thus, if there is an agreement that violates Article 33 paragraph (1) of the Investment Law, the agreement will be null and void by law.  Where it means, the agreement made by the parties is considered never existed.  The legal consequences regulated in article 33 number (2) of the Investment Law are that an agreement will be null and void due to the violation of the provisions of article 33 number (1) of this Investment Law in accordance with the legal provisions stipulated in article 1320 of the Criminal Code.  Based on article 1320 of the Criminal Code, there is an Indonesian agreement.  Where based on contract law in Indonesia, in order for an agreement to be valid, it is necessary to comply with the conditions for the validity of the agreement, where there are 4 (four) conditions that must be met for an agreement to be valid, and one of them is “a lawful cause”.  The term “a lawful cause” requires that the contents of an agreement must still pay attention to provisions other than the agreement itself, such as law, morality, propriety, and generality.  According to subekti, the conditions for this lawful cause are included in the objective conditions of an agreement and the legal consequence of its violation is that the agreement is null and void.  This is in accordance with the provisions of Article 1335 of the Civil Code where if an agreement is made based on a prohibited cause it has no legal force, and this is in accordance with the provisions of Indonesian treaty law if the agreement violates the objective conditions then the agreement will be null and void.

  Legal Consequences for Nominee Shareholders

  Based on the provisions of the Limited Liability Company Law, it is regulated in article 48 number (1) that a limited liability company is issued in the name of the owner, which means that the ownership is wholly owned by the appointed party.  Under Indonesian law, the rights and obligations of nominee shareholders / or nominee parties are the rights and obligations of ordinary shareholders, because nominee shareholders are shareholders who are registered according to law.

  Legal Consequences on the Recipient

  the nominee party is recognized as a registered shareholder, then the entitled party is not recognized as a shareholder belonging to the nominee party.  The beneficiary of this party has no rights and obligations as a shareholder of the prospective shareholder.

Legal Consequences for Companies

  Because the candidate is considered a real shareholder, the legal consequences of a limited company using the candidate’s agreement are still valid and have legal force if they meet the normative requirements of a limited company and invest, but in this case the limited liability company can be dissolved based on a court order. This dissolution is generally the same as the civil case process, namely that there are parties who submit an application to the court first.  Article 146 of the Limited Liability Company Law provides that a district court may dissolve a limited liability company on the basis of:

  1. The prosecutor’s application is based on the reason that the limited liability company commits an act that violates the laws and regulations;

  2. An application from an interested party based on the reasons for the existence of a legal defect in the deed of establishment;

  3. The application of the shareholders, the board or the board of commissioners based on the reasons for the limited liability company cannot be continued.

Based on the reasons above, that the district court may dissolve a limited liability company that applies a candidate because a limited liability company has the practice of a candidate in a limited liability company committing an unlawful act.  In addition to violating the law, a company that has a nominee practice in the deed of establishment due to a violation in the statement containing registered shares, is limited in the number of shares and nominal shares issued and paid up in accordance with article 8 number (2) letter c of the Company Law. 


Translate