0

DISTRIBUTION PROCESS PERFORMED IN PHARMACEUTICAL BIOTECHNOLOGY

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
  3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi.

Bioteknologi moderen memiliki ptensi yang besar untuk peningkatan kehidupan dan kesejahteraan manusia baik di sektor pertanian, pangan, industri, kesehatan manusia, dan lingkungan hidup. Pengertian bioteknologi moderen sendiri tertulis secara resmi dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yaitu:

“Pasal 1

  • Bioteknologi moderen adalah aplikasi dari teknik perekayasaan genetik yang meliputi teknik Asam Nukleat in-vitro dan fusi sel dari dua jenis atau lebih organismo di luar kekerabatan taksonomis”[1]

Bioteknologi moderen memiliki beberapa jenis atau cabang ilmu salah satunya yaitu Bioteknologi merah. Bioteknologi merah (red biotechnology) adalah cabang ilmu bioteknologi yang mempelajari aplikasi bioteknologi di bidang medis dan farmasi. Hal ini mencakup kepada seluruh objek pengobatan manusia mulai dari preventif, diagnosis, dan pengobatan. Contoh pemanfaatannya terdapat pada obat dan vaksin.[2]

Pada penggunaannya di bidang farmasi, bioteknologi digunakan unutk obat manufaktur, terapi gen, pengujian genetik, dan pharmacogenomics. Bioteknologi farmasi menggunakan teknologi DNA rekombinan yang memerlukan manipulasi genetik sela tau antibodi monoklonal untuk membuat produknya. Formulasi dalam farmasi konvesional merupakan molekul relatif sederhana yang diproduksi, melalui teknik trial and error untuk mengobati berbagai gejala-gejala penyakit.[3]

Dalam pemanfaatannya untuk mengobati gejala-gejala penyakit, maka penyediaan farmasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk pelayanan kesehatan. Sehingga, distribusi sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan penyaluran baik obat maupun bahan obat sesuai dengan persyaratan guna menjaga kualitas dari sediaan farmasi yang didistribusikan tersebut. Distribusi merupakan kegiatan penting yang terintegrasi dengan manajemen rantai pasok sediaan farmasi. Pemerintah sendiri mewajibkan adanya fasilitas distribusi untuk menunjang adanya penyaluran penyediaan kebutuhan farmasi. Penjelasan terkait pendistribusian farmasi dijelaskan pada Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menjelaskan sebagai berikut:

Pasal 1

10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.”[4]

Kegiatan pendistribusian obat-obatan ini dilakukan oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memiliki izin berupa Sertifikat Distribusi Farmasi dari Kementerian Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018.[5] Sedangkan, Instalansi Sediaan Farmasi atau Instalansi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat menyimpan dan menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.

Dalam hal kegiatan pendistribusian dan penyaluran atau menyalurkan sediaan farmasi erat kaitannya dengan pekerjaan kefarmasian sebab menjadi salah satu tugasnya. Definisi Pekerjaan Kefarmasian sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan pelaksanaan pekerjaannya diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 1 angka 1

Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.[6]

“Pasal 5

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:

  1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
  2. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
  3. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
  4. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.”[7]

PBF dan PBF Cabang sebagai sarana fasilitas distribusi dan saluran sediaan farmasi memiliki kewajiban untuk memiliki apoteker sebagai penanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi. Diatur lebih rinci dalam Pasal 14 ayat (2) yang menegaskan bahwa,

“Pasal 14 ayat (2)

Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”[8]

Kewenangan apoteker yang merupakan tenaga kefarmasian terdapat dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 108 ayat (1)

Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”[9]

Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi atau Kegiatan Distribusi Obat, merupakan suatu kegiatan diantara kegiatan produksi dan kegiatan pelayanan sediaan farmasi kepada masyarakat. Kegiatan teknis dalam fasilitas distribusi ini mengacu pada peraturan dan perundang-undangan sebagai berikut :

  1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi

Peraturan yang mengatur Pedagang Besar Farmasi, yaitu perusahaan dengan bentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat;

  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2018 tetang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan

Peraturan yang mengatur mengenai penerapan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yang berfungsi untuk percepatan dan peningkatan modal dan berusaha sektor kesehatan;

  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik

Peraturan yang mengatur pedoman teknis cara pendistribusian obat yang baik untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya;

  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik;

Peraturan yang mengatur mengenai distribusi obat untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar agar pelaksanaan distribusi obat dapat diterapkan dalam setiap aspek dan rangkaiannya.

Secara garis besar peraturan dan perundang-undangan tentang PBF mengatur mengenai perizinan, gudang, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan, kemudian Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memliki ruang lingkup pedoman untuk distribusi obat, bahan obat dan produk biologi termasuk vaksin.

Salah satu cara pemerintah dalam menjamin mutu sediaan pendistribusian farmasi adalah dengan menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.[10] Regulasi CDOB ini dijelaskan Peraturan Kepala BOM No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.

Untuk menerapkan cara distribusi obat yang baik, hal yang harus diperhatikan yaitu pada jalur distribusi sediaan farmasi. Jalur distribusi obat diawali dari Industri Farmasi yang kemudian disalurkan kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan selanjutnya PBF akan menyalurkan dan mendistribusikan obat kepada PBF cabang, apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Balai Pengobatan, dan Gudang Farmasi. Namun, tidak semua jalur distribusi sediaan farmasi sama. Khusus pada penyediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika memiliki jalur distribusi khusus.[11] Narkotika hanya bisa disalurkan dari Industri Farmasi kepada pedagang besar farmasi tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, dan rumah sakit. [12]

Selanjutnya, pada pendistribusian obat-obatan yang baik juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu pada proses pengiriman obat-obatan tersebut, seperti: [13]

  1. Kondisi khusus yang diperlukan produk selama proses pengiriman harus dipantau dan dicatat.
  2. Proses pengiriman tidak boleh memberikan efek negative terhadap integritas dan kualitas dari sediaan farmasi
  3. Prosedur tertulis harus disertai selama proses untuk dilakukan investigasi terhadap segala penyimpangan terkait kondisi penyimpanan, contohnya jika suhu tempat penyimpanan produk saat proses pengiriman tidak sesuai.
  4. Produk yang dikirim harus dapat dilacak selama proses distribusi
  5. Semua produk farmasi harus disimpan dan didistribusikan dalam wadah yang tidak memberikan efek buruk terhadap kualitas produk, dan memberikan perlindungan memadai dari pengaruh eksternal, termasuk kontaminasi mikroba. Label yang ditempelkan di wadah harus jelas, tidak ambigu, secara permanen tertuju pada wadah dan tidak mudah terhapuskan. Informasi tentang label harus sesuai dengan produk. Produk yang mengandung dari bahan aktif dan radioaktif obat dan bahan berbahaya lainnya yang memberikan risiko penyalahgunaan, kebakaran, atau ledakan (misalnya, cairan yang mudah terbakar, padatan dan gas bertekanan) harus disimpan dan diangkut di dalam wadah yang aman.

Rekap data juga diperlukan pada saat melakukan pengiriman produk farmasi yang dalam dokumennya harus memuat informasi sebagai berikut:[14]

  1. Waktu pengiriman
  2. Nama dan alamat yang bertanggung jawab untuk pengiriman
  3. Nama, alamat, status instansi seperti retail farmasi, rumah sakit dan komunitas klinik
  4. Deskripsi produk meliputi nama, bentuk dan kekuatan sediaan
  5. Jumlah produk, seperti jumlah container dan jumlah produk per container
  6. No batch dan tanggal kadaluarsa
  7. Kondisi transportasi dan penyimpanan
  8. Nomor unik untuk memungkinkan identifikasi pesanan pengiriman.

Tidak hanya data-data tersebut yang harus diperlukan, pada sistem dan prosedur tertulis diperlukan untuk mendeteksi secara cepat dan efektif produk farmasi yang diketahui atau diduga cacat, dengan personil yang bertanggung jawab untuk melakukan recall. Pihak manufaktur juga harus diberi tahu jika dilakukan recall. Semua produk farmasi yang ditarik harus disimpan di area terpisah yang aman untuk menunggu tindakan yang tepat. Kondisi penyimpanan yang sesuai untuk produk farmasi yang ditarik kembali harus dipertahankan selama penyimpanan sampai saat keputusan telah dibuat terkait produk tersebut. Dokumentasi harus tersedia untuk personil yang ditunjuk bertanggung jawab atas penarikan kembali. Dokumen harus memuat informasi yang cukup tentang produk farmasi yang diberikan kepada pelanggan (termasuk jika produk diekspor). Proses recall harus dicatat dan laporan akhir dikeluarkan, mencakup rekonsiliasi antara jumlah produk yang dikirim dan yang diperoleh kembali.[15]


[1] Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik

[2] Gramedia, https://www.gramedia.com/literasi/bioteknologi/, diakses pada 28 April 2022

[3] Porosilmu, https://www.porosilmu.com/2016/04/bioteknologi-farmasi-dan-kedokteran.html, diakses pada 28 April 2022

[4] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[5] Fakultas MIPA Universitas Garut, https://fmipa.uniga.ac.id/read/2020/07/mengenal-pekerjaan-kefarmasian-di-bidang-distribusi.html, diakses pada 28 April 2022

[6] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian

[7] Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian

[8] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi

[9] Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan

[10] IHC Rumah Sakit Krakatau Media, https://krakataumedika.com/info-media/artikel/cdob-cara-distribusi-obat-yang-baik, diakses pada 28 April 2022

[11] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[12] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[13] IHC Rumah Sakit Krakatau Media, https://krakataumedika.com/info-media/artikel/cdob-cara-distribusi-obat-yang-baik, diakses pada 28 April 2022

[14] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[15] Farmasi Industri, https://farmasiindustri.com/cpob/penarikan-kembali-produk-obat.html, diakses pada 28 April 2022

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 36 of 2009 on Health Workers.
  2. Government Regulation No. 51 of 2009 on Pharmaceutical Works.
  3. Regulation of The Minister of Health No. 34 of 2014 concerning Pharmaceutical Wholesalers.

Modern biotechnology has great tension for the improvement of human life and well-being in the agricultural, food, industrial, human health, and environmental sectors. The definition of modern biotechnology itself is officially written in Article 1 number 8 of Government Regulation No. 21 of 2005 concerning Biosafety of Genetically Engineered Products, namely:

“Article 1

  • Modern biotechnology is the application of genetic engineering techniques that include in-vitro Nucleic Acid techniques and cell fusion of two or more types of organisms outside of taxonomic kinship.”

Modern Biotechnology has several types or branches of science, one of which is red biotechnology. Red biotechnology (red biotechnology) is a branch of biotechnology that studies the application of biotechnology in the medical and pharmaceutical fields. This includes all objects of human medicine starting from prevention, diagnosis, and treatment. Examples of its use are found in drugs and vaccines.

In pharmaceutical applications, biotechnology is used for drug manufacturing, gene therapy, genetic testing, and pharmacogenomics. Pharmaceutical biotechnology uses recombinant DNA technology which requires genetic manipulation of monoclonal antibodies to make its products. Formulations in conventional pharmacy are relatively simple molecules that are produced, through trial and error techniques, to treat various symptoms of disease.

In its use to treat the symptoms of disease, the supply of pharmacy is a very important part of health services. Thus, the distribution of pharmaceutical preparations is an activity of distributing both drugs and medicinal ingredients in accordance with the requirements in order to maintain the quality of the pharmaceutical preparations being distributed. Distribution is an important activity that is integrated with pharmaceutical supply chain management. The government itself requires distribution facilities to support the distribution of pharmaceutical needs. The explanation regarding the distribution of pharmaceuticals is explained in Article 1 Number 10 of Government Regulation No. 51 of 2009 on Pharmaceutical Works which explains as follows:

“Article 1

10. Facilities of Distribution or Distribution of Pharmaceutical Supply are facilities used to distribute Pharmaceutical Supply, namely Pharmaceutical Wholesalers and Pharmaceutical Supply Installations.”

The distribution of these drugs is carried out by Pharmaceutical Wholesalers (PBF). PBF is a legal entity company that has a permit for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug ingredients in large quantities in accordance with the provisions of laws and regulations and has a permit in the form of a Pharmacy Distribution Certificate from the Ministry of Health based on the Regulation of the Minister of Health Number 26 of 2018. Meanwhile, Pharmaceutical Supply Installation or Government Pharmaceutical Installation is a facility for storing and distributing pharmaceutical supply and medical devices owned by the Government, both the Central Government and Regional Governments in the context of health services.

In terms of distribution activities or distributing pharmaceutical supply, it is closely related to pharmaceutical works because it is one of their duties. The definition of Pharmaceutical Works itself is regulated in Article 1 number 1 and the implementation of its work is regulated in Article 5 of Government Regulation Number 51 of 2009 on Pharmaceutical Works, which reads as follows:

“Article 1 number 1

Pharmaceutical works is the manufacture including quality control of Pharmaceutical Supply, security, procurement, storage and distribution or distribution of drugs, drug management, drug services based on doctor’s prescriptions, drug information services, as well as drug development, medicinal ingredients and traditional medicines.”

“Article 5

Implementation of Pharmaceutical Works include:

  1. Pharmaceutical Work in the Procurement of Pharmaceutical Supply;
  2. Pharmaceutical Work in the Production of Pharmaceutical Supply;
  3. Pharmaceutical Work in the Distribution of Pharmaceutical Supply; and
  4. Pharmacy Work in the Service of Pharmaceutical Supply.”

Pharmaceutical Wholesaler and Pharmaceutical Wholesaler Branches as distribution facilities and pharmaceutical supply channel have an obligation to have a pharmacist as the person in charge of the implementation of the provisions for the procurement, storage and distribution of drugs and/or drug ingredients as regulated in Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Health Number 34 of 2014 about Pharmaceutical Wholesalers. It is regulated in detail in Article 14 paragraph (2) which confirms that,

“Article 14 paragraph (2)

Pharmacist’s responsible as referred to in paragraph (1) must have a permit in accordance with the provisions of the legislation.”

The authority of pharmacists who are pharmaceutical worker is regulated in Article 108 paragraph (1) of Law Number 36 of 2009 on Health Workers which reads:

“Article 108 paragraph (1)

Pharmaceutical practice which includes manufacture including quality control of pharmaceutical supply, security, procurement, storage and distribution of drugs, drug services based on doctor’s prescriptions, drug information services and development of drugs, medicinal ingredients and traditional medicines must be carried out by health workers who have the expertise and authority in accordance with the provisions of the legislation.”

Pharmaceutical work in the distribution of pharmaceutical supply or drug distribution activities is an activity between production activities and service activities for pharmaceutical supply to the public. Technical activities in this distribution facility refer to the following laws and regulations:

  1. Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;

Regulation governing pharmaceutical wholesalers, namely legal entity company that have permits for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug ingredients.

  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 34 of 2014 on Amendments to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;
  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 30 of 2017 on the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;
  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 26 of 2018 on Electronically Integrated Business Licensing Services for the Health Sector;

Regulation governing the application of electronically integrated business licensing services that function to accelerate and increase capital and business in the health sector.

  • Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 9 of 2019 on Technical Guide for Good Method of Drug Distribution;

Regulation governing the technical guide for good method of drug distribution to ensure its quality along the distribution channel according to the requirements and purposes of use.

  • Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 6 of 2020 on Amendments to the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 9 of 2019 on Technical Guidel for Good Method of Drug Distribution.

Regulation governing the distribution of drugs to ensure the safety, efficacy, and quality of circulating drugs so that the implementation of drug distribution can be applied in every aspects and steps.

According to the regulations and laws regarding Pharmaceutical Wholesalers regulate licensing, warehouses, implementation and supervision as well as guidance, then the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control has the scope of guidelines for the distribution of drugs, medicinal ingredients and biological products including vaccines.

One of the government’s ways to ensure the quality of pharmaceutical distribution preparations is to apply Good Method of Drug Distribution. Good Method of Drug Distribution is a method of drug and/or drug ingredients distribution with the aim of ensuring quality along the distribution channel according to the requirements and purposes of their use. This Good Method of Drug Distribution arrangement is explained by the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control No. 6 of 2020 on Amendments to the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control No. 9 of 2019 on Technical Guide for Good Method of Drug Distribution.

To apply a good method of drug distribution, the thing that must be considered is the distribution channel of pharmaceutical supply. The drug distribution channel starts from the Pharmaceutical Industry which is then distributed to Pharmaceutical Wholesalers and then Pharmaceutical Wholesalers will distribute drugs to Pharmaceutical branches, pharmacies, Hospital Pharmacy Installations, Medical Centers, and Pharmacy Warehouses. However, not all distribution channels of pharmaceutical preparations are the same. Especially in the supply of pharmaceuticals in the form of narcotics and psychotropics, they have special distribution channels. Narcotics can only be distributed from the Pharmaceutical Industry to certain pharmaceutical wholesalers, pharmacies, certain government pharmaceutical storage facilities, and hospitals.

Furthermore, in the distribution of good drugs, there are also several things that need to be considered, namely in the delivery process of the drugs, such as:

  1. The special conditions that requires during the shipping process should be monitored and recorded;
  2. The delivery process must not have a negative effect on the integrity and quality of pharmaceutical supply;
  3. Written procedures must be followed during the process to investigate any deviations related to storage conditions, for example if the temperature of the product storage area during the shipping process is not appropriate;
  4. Products shipped must be traceable during the distribution process;
  5. All pharmaceutical products must be stored and distributed in containers that do not adversely affect its quality, and provide adequate protection from external effects, including microbial contamination. The label affixed to the container must be clear, unambiguous, permanently fixed on the container and not easily erased. Information on labels must match the product. Products containing active and radioactive drugs and other hazardous materials that present a risk of misuse, fire or explosion (for example, flammable liquids, compressed solids and gases) must be stored and transported in secure containers.

Data recapitulation is also required at the time of delivery of pharmaceutical products which in the document must contain the following information:

  1. Delivery time
  2. Name and address responsible for the delivery
  3. Name, address, status of agencies such as retail pharmacy, hospitals and community clinics
  4. Product description includes name, form and strength of the supply
  5. Number of products, such as number of containers and number of products per container
  6. Batch number and expiration date
  7. Transport and storage conditions
  8. Unique number to allow identification of shipping orders.

Not only those data must be required, written systems and procedures are needed to quickly and effectively detect pharmaceutical products that are known or suspected to be defective, with personnel who are responsible for carrying out recalls. The manufacturer must also be notified if a recall is carried out. All recalled pharmaceutical products should be stored in a separate safe area to await appropriate action. Appropriate storage conditions for recalled pharmaceutical products must be maintained during storage until a decision has been made regarding the product. Documentation shall be made available to the designated personnel responsible for recalls. The document must contain sufficient information about the pharmaceutical product provided to the customer (including if the product is exported). The recall process should be recorded and a final report should be issued, including a reconciliation between the number of products that is shipped and recovered.

0

Paten Sederhana Berbasis Bioteknologi Konvensional

Author : Alfredo Joshua Bernando

Co Author : Robby Malaheksa

Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dikenal sebagai hak paten atau hak khusus yang diberikan negara kepada inventor atas hasil karya invensinya di bidang teknologi. Hak paten diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Perlindungan hukum terhadap pemegang paten bertujuan untuk memotivasi inventor dalam menigkatkan hasil karyanya baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut pada Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 memberikan penjelasan tentang definisi dari Paten yaitu:

Pasal 1

  1. Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu teretntu melaksanakan sendiri invesi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya
  2. Invensi merupakan ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahnan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembanagan produk atau proses.
  3. Investor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. [1]

Dalam hak paten, objek yang diberikan perlindungan berupa invensi. Berdasarkan lingkupnya terdapat dua jenis paten yaitu paten sederhana an paten biasa, Paten sederhana merupakan invensi baru yang pengembangannya sudah ada dan dapat diterapkan di bidang industri, Sedangkan untuk paten biasa merupakan invensi baru yang memiliki langkah inventif dan dapat diterapkan pada bidang industri.

Seperti yang dijelaskan pada pengertian Paten, dimana Paten diberikan oleh negara yang dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Paten yang diberikan perlindungan bukan hanya terhadap temuan dibidang teknologi, tapi juga hak eksklusif yang melekat pada pemilik atau pemegang hak paten, sehingga apabila pihak lain yang yang menerima peralihan berkeinginan untuk mendapat manfaat ekonomi mengunakan hak paten tersebut wajib memperoleh lisensi (izin) dari pemiliknya atau pemegangnya.

Sebuah invensi dalam paten dapat ditemukan dalam berbagai bidang, salah satunya bidang Bioteknologi, Bioteknologi adalah Bioteknologi merupakan sebuah proses untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kepentingan manusia yang berasal dari pemanfaatan makhluk hidup maupun produk yang berasal dari makhluk hidup tersebut. Pemanfaatan biologis makhluk hidup yang dimaksud seperti bakteri, virus, fungi, dan lain sebagainya. Sedangkan, produk yang berasal dari makhluk hidup memiliki contoh seperti kandungan enzim. [2]

Terkait dengan perkembangannya, bioteknologi dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi konvesional dan bioteknologi modern. Bioteknologi konvesional dilakukan dengan bahan dan peralatan yang sederhana pada prosesnya. Sedangkan bioteknologi modern merupakan kemajuan bioteknologi konvesional yang perkembangannya terus berlanjut hingga sekarang.[3]

Pasal 2 UNCBD menyatakan definisi Bioteknologi sebagai penerapan teknologi yang menggunakan sistem-sistem hayati, makhluk hidup atau derivatifnya, untuk membuat atau memodifikasi produk-produk atau proses-proses untuk penggunaan khusus.[4] Bioteknologi konvensional disebut juga bioteknologi tradisional, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan mikroorganisme dan proses biokimia dengan menggunkan peralatan dan metode yang sederhana. Prinsip dasar proses bioteknologi konvensional adalah melibatkan proses fermentasi dalam menghasilkan produk. Mikroorganisme berperan dalam proses fermentasi untuk mengubah bahan mentah atau makanan menjadi produk baru dengan kandungan nutrisi yang lebih baik. Kelemahan dari bioteknologi konvensional adalah prosesnya yang relatif belum steril (bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan), sehingga kualitasnya belum terjamin. Contoh Produk bioteknologi konvensional dan telah digunakan mengahasilkan produk, baik dalam skala kecil maupun industri besar anatara lain roti, tempe, tapai, keju, yoghurt dan lain-lain.[5]

Fermentasi ialah bagian penting dalam proses bioteknologi konvensional yang merupakan suatu proses perubahan enzimatik secara anaerob yang berasal dari senyawa organik kompleks menjadi produk organik yang lebih sederhana. Proses fermentasi menggunakan mikroorganisme yang bersifat tidak patogen sehingga aman begi kesehatan tubuh. Proses ini dapat menghasilkan alkohol, asam dan gas. Salah satu tujuan utama fermentasi adalah untuk mengawetkan makanan. Adanya perubahan karbohidrat menjadi asam organik dapat membuat makanan menjadi tahan lama.

Keberhasilan proses fermentasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Hal ini terjadi karena mikroorganisme yang digunakan membutuhkan kesesuaian lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik. Ketidaksesuaian kondisi lingkungan saat proses inkubasi dapat menyebabkan fermentasi tidak berjalan atau produk yang di hasilkan bersifat toksik.

Contoh mengenai invensi pada bidang bioteknologi dapat berupa produk yang dikonsumsi seperti obat-obatan yang terbuat dari unsur hayati maupun hewani, serta produk-produk untuk dikonsumsi.

Pasal 5 huruf (c) Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik, menjelaskan jenis Produk Rekayasa Genetik (PRG) dimana salah satunya adalah Tanaman, bahan asal tanaman, dan hasil olahannya. Mengacu dalam jenis PRG tersebut maka yang merupakan hasil olahan dari Tanaman wajib di berikan perlindungan hukum, hal ini sejalan dengan tujuan dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) yaitu untuk meningkatkan hasil guna dan dayaguna bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan dan pengelolaan sumber daya Hayati, perlindungan konsumen, kepastian hukum dan kepastian dalam melakukan usaha.[6]

Tindakan lebih lanjut terhadap pemberian Paten untuk produk-produk bioteknologi memang perlu di lakukan penelitian mendalam di laboratorium sebelum diedarkan secara luas, guna mencegah dampak negatif yang di timbulkan, selain itu, untuk menjamin kemanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan produk tersebut sebagai bahan pangan harus bersumber pada persepsi resiko yang dapat diterima (acceptable risk).

Upaya perlindungan Paten terhadap produk-produk hasil dari bioteknologi konvensional dapat dimungkinkan, karena jika merujuk Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten, terkait Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi :

“Pasal 9

  1. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/ atau hewan;
  3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
  4. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.[7]

Selain itu, terkait dengan produk-produk yang merupakan hasil dari bioteknologi dapat diaplikasikan dengan paten sederhana , maka paten sederhana terhadap produk-produk tersebut memiliki jangka waktu maksimum perlindungan 10 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

Pasal 23

  1. Paten diberikan untuk jangka waktu sepuluh tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.[8]

Tidak hanya perlindungan bagi masa berlakunya, jika bioteknologi sudah terdaftar dalam paten, maka penemuan tersebut memiliki perlindungan berupa sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam hak paten, Perlindungan tersebut tertulis dalam Pasal 130, Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten sebagai berikut:

Pasal 130

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” [9]

“Pasal 131

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam Pasal 16 (melarang pihak lain tanpa persetujuan membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan untuk dijual atau disewakn produk yang diberi paten) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)[10]

Pasal 134

Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat memerintahkan agar barangbarang hasil pelanggaran Paten tersebut disita oleh Negara untuk dimusnahkan. [11]

Dapatdikatakan bahwa terdapat perlindungan hukum bagi penemuan bioteknologi karena penemuan bioteknologi yang sudah tercatat dan memiliki hak patennya sendiri sehingga jika adanya pelanggaran yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 130, Pasal 131, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Apabila diamati , maka terdapat keterbukaan peluang yang besar terhadap usaha untuk mematenkan produk-produk bioteknologi konvensional karena tidak termasuk ke dalam Pasal 9 UU Paten tersebut, seperti contoh yang sudah dijelaskan diatas yakni macam produk hasil dari bioteknologi baik dari bahan dasar hewani maupun hayati, Tujuan nya adalah sebagai bagian dari peningkatan produksi ekonomi kreatif, membuka lapangan kerja dan menjamin makanan khas yang merupakan warisan budaya terlindungi, agar produk-produk hasil dari bioteknologi tersebut dapat dipatenkan oleh pengusaha-pengusaha produk tersebut, hal ini dilakukan supaya menghindari didahuluinya produk-produk bioteknologi konvensional tersebut dipatenkan di luar negeri oleh pihak yang justru bukan pemilik invensi dari produk bioteknologi tersebut.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
  2. Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik
  3. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity 2000 Indonesia, Undang-Undang No 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 41)

REFERENSI

  1. Abdulkadir, Muhammad. 2007, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
  2. Krisnawati, Andriana. 2009, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Penerbit Grasindo
  3. Pendidikan Biologi. 2015, Materi penataran Guru MGMP Bidang Biologi. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
  4. Widya Karya Nasional 6-7  Juli 1995.  Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta
  5. Baharuddin Haryanto, Idrus Idham, 2020.Biologi untuk Hidup yang lebih Baik, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah-Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

[1] Pasal 1 Angka 1 , Angka 2 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi

[3] https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/19/135332069/bioteknologi-jenis-contoh-dan-penerapannya?page=all

[4] UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity), sebuah Konvensi Keanekaragaman Hayati yang di hasilkan dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio De Janeiro, 1992.

[5] Harianto Baharuddin, Idham Kahlik Idrus, 2020. Biologi untuk Hidup yang lebih baik, hlm. 5

[6] Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik

[7] Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten

[8] Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[9] Pasal 130 Undang-Undang Nomoe 14 Tahun 2001 tentang Paten

[10] Pasal 131 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

[11] Pasal 134 Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten

Translate