REGULATION AND SECURITY IMPLEMENTATION RELATED TO INVESTMENT IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja

REFERENSI: 

  1. Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018.
  2. IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II.
  3. Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung.
  4. H. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Divisi Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
  5. Kusnowibowo, 2013, Hukum Investasi Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung.
  6. Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan (Jakarta: Pembangunan, 1965), hal 28-41 & 4996; Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Pembangunan & Ghalia Indonesia, 1987), hal 25-32, Beberapa pikiran Sekitar Pancasila (Bandung: Alumni,1983).
  7. Grandnaldo Yohanes Tindangen, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Lex Administratum, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2016.
  8. Lovienna Renisitoresmi, Perlindungan Hukum Bagi Investor di Sektor Pariwisata Indonesia, Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1.

Pariwisata adalah sektor dengan relevansi ekonomi yang signifikan di beberapa negara.[1] Kegiatan pariwisata yang beragam menimbulkan pergerakan bisnis di berbagai daerah dan berbagai bidang, termasuk investasi. Hal tersebut sebagaimana terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan:

a.meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

b.meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c.menghapus kemiskinan;

d.mengatasi pengangguran;

e.melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;

f.memajukan kebudayaan;

g.mengangkat citra bangsa;

h.memupuk rasa cinta tanah air;

i.memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan

j.mempererat persahabatan antar bangsa”.

Kegiatan investasi di bidang pariwisata merupakan kegiatan yang berorientasi untuk memberikan pengembalian investasi yang cepat dan aman.[2]

Bahwa kontribusi sektor pariwisata memberikan peningkatan kontribusi untuk roda perekonomian nasional, sektor pariwisata memiliki potensi yang bernilai ekonomi dengan daya saing yang tinggi, bahwa bahan baku pariwisata tidak akan habis-habis, sedangkan bahan baku usaha–usaha lainnya sangatlah terbatas jumlahnya.[3]

Pada konstitusional, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan:

“Pasal 33

(1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Berkaitan dengan mencapai sasaran tersebut, pemerintah memberikan prioritas dan arah kebijakan pembangunan salah satunya adalah peningkatan investasi dan ekspor nonmigas, arah kebijakan investasi selayaknya mendasari ekonomi kerakyatan berdasarkan asas kekeluargaan dan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Tujuan investasi tersebut ialah
mempercepat laju pembangunan di negara tersebut.[4]

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan penanaman modal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sistem hukum investasi secara garis besar
terdiri dari bidang hukum mengenai perizinan, permodalan, bentuk usaha, status pelakunya (investor), lokasi, lingkungan obyek, dan lain sebagainya.[5] Izin investasi bukanlah merupakan sesuatu yang dapat diberikan secara cuma-cuma, namun
haruslah didasarkan pada adanya pertimbangan penilaian. Aspek perizinan dalam hukum investasi merupakan kewenangan untuk memberikan atau menolak.[6]

Indonesia merupakan negara yang sedang membangun. Untuk membangun diperlukan adanya modal atau investasi yang besar. Kegiatan penanaman modal sudah dimulai sejak tahun 1967, yaitu sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Keberadaan kedua instrumen hukum itu, diharapkan agar investor, baik investor asing maupun investor domestik untuk dapat menanamkan investasinya di Indonesia.[7]

Dengan adanya kedua peraturan tersebut maka menjamin dan menciptakan keamanan berinvestasi, memberikan perlindungan hukum terhadap investasi yang ditanamkan oleh investor atau penanaman modal.[8]

Mengenai perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan aspek keadilan. Orang sebagai subjek hukum merupakan pendukung atau pembawa hak sejak ia dilahirkan hidup sampai ia mati walaupun ada pengecualian bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah menjadi sebagai subjek hukum sepanjang kepentingannya mendukung untuk itu.[9]

Menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan perlindungan hukum terdapat perlindungan hukum preventif, perlindungan hukum preventif yakni subyek hukum mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan dan pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil keputusan akhir. Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu. Artinya bahwa perlindungan hukum preventif mencegah terjadinya timbul sengketa.[10]

Bentuk perlindungan preventif dalam pelaksanaan penanaman investasi di indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menyatakan:

“Pasal 1

1.Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha
di wilayah negara Republik Indonesia”.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga mengatur bentuk usaha dari penanaman modal, yang berbunyi:

“Pasal 5

(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam
bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak
berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Berkaitan dengan investasi sendiri, maka dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan kewajiban penanam modal, yang berbunyi:

“Pasal 15

Setiap penanam modal berkewajiban:

  1. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal
    dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi
    Penanaman Modal;menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi
    kegiatan usaha penanaman modal; danmematuhi semua ketentuan peraturan perundang-
    undangan”.

Dalam kegiatan penanaman modal, investor harus mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, terutama mengenai jenis pendirian usaha. Meskipun pemerintah membuka seluas-luasnya bagi investor untuk masuk ke Indonesia, masih ada bisnis tertentu yang tidak diperbolehkan. Usaha yang dibatasi tersebut tercantum dalam daftar negatif penanaman modal yang diatur dalam Pasal 77 Nomor 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyatakan:
“Pasal 12”
(1) Semua bidang usaha terbuka untuk kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dilakukan oleh Pemerintah;
(2) Bidang-bidang usaha yang ditutup untuk penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
sebuah. budidaya dan industri narkotika golongan I;
b. segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino;
c. Jenis penangkapan ikan sebagaimana tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);
d. pemanfaatan atau ekstraksi karang dan pemanfaatan atau ekstraksi karang dari alam yang digunakan untuk bahan bangunan kalsium kapur, akuarium, dan cinderamata/perhiasan, serta karang hidup atau mati dari alam;
e. industri pembuatan senjata kimia; dan
f. industri kimia dan industri bahan perusak lapisan ozon”.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak hanya menjamin dan memberikan perlindungan hukum bagi para penanam modal melainkan juga memberikan sanksi, hal ini terdapat dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang berbunyi:

“Pasal 34

  • Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban
    sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai
    sanksi administratif berupa:
  • peringatan tertulis;
  • pembatasan kegiatan usaha;
  • pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
    penanaman modal; atau
  • pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
    penanaman modal”.
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
    undangan.
  • Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau
    usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Selain memiliki sanksi yang tegas pemerintah akan menjamin kepastian hukum, berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanaman modal sejak proses
pengurusan perizinan hingga berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta membuka kesempatan-kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro,kecil,menengah dan koperasi.[11]

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah berusaha agar dalam praktek tidak ada lagi perlakuan perbedaan antara penanaman modal dalam negeri dan luar negeri. Agar orang atau badan mau menanamkan modalnya maka bermacam cara yang dilakukan pemerintah agar penanaman modalnya membuahkan hasil atau margin yang diinginkannya.[12] Pengaturan mengenai investasi pada bidang bisnis jasa pariwisata berbentuk perlindungan bagi investor di sektor pariwisata tidak jauh berbeda dengan perlindungan hukum bagi investor yang lain, yaitu terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, karena dalam Undang-Undang Kepariwisataan tidak terdapat aturan yang khusus mengenai investasi.


[1] Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018, hal 157.

[2] Ibid

[3] IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II), hal. 69

[4] Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018, hal 158

[5] Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, hal. 3-4.

[6] Ibid

[7] H. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Divisi Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 1.

[8] Kusnowibowo, 2013, Hukum Investasi Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung, hal. 2

[9] Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan (Jakarta: Pembangunan, 1965), hal 28-41 & 4996; Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Pembangunan & Ghalia Indonesia, 1987), hal 25-32, Beberapa pikiran Sekitar Pancasila (Bandung: Alumni,1983), hal 47-64

[10] Ibid

[11] Grandnaldo Yohanes Tindangen, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Lex Administratum, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2016, Universitas Sam Ratulangi, hal. 18

[12] Lovienna Renisitoresmi, Perlindungan Hukum Bagi Investor di Sektor Pariwisata Indonesia, Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1, hal 4.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 25 of 2007 concerning investment capital;
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;
  4. Law Number 11 of 2020 concerning Capital Invesment

REFERENCE:

  1. Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018.
  2. IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II.
  3. Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung.
  4. H. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Divisi Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
  5. Kusnowibowo, 2013, Hukum Investasi Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung.
  6. Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan (Jakarta: Pembangunan, 1965), hal 28-41 & 4996; Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Pembangunan & Ghalia Indonesia, 1987), hal 25-32, Beberapa pikiran Sekitar Pancasila (Bandung: Alumni,1983).
  7. Grandnaldo Yohanes Tindangen, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Lex Administratum, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2016.
  8. Lovienna Renisitoresmi, Perlindungan Hukum Bagi Investor di Sektor Pariwisata Indonesia, Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1.

Tourism is a sector with significant economic relevance in several countries. Diverse tourism activities lead to business movements in various regions and various fields, including investment. This is as contained in Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

a.increase economic growth;

b.improve people’s welfare;

c.eradicating poverty;

d.overcoming unemployment;

e.conserving nature, environment, and resources;

f.promote culture;

g.raise the image of the nation;

h.fostering a sense of love for the homeland;

i.strengthen national identity and unity; and

j.strengthen the friendship between nations.

Investment activities in the tourism sector are activities that are oriented toward providing a fast and safe return on investment.

That the contribution of the tourism sector provides an increasing contribution to the national economy, the tourism sector has potential economic value with high competitiveness, that tourism raw materials will not run out, while the raw materials for other businesses are very limited in number.

In the constitution, Article 33 of the 1945 Constitution, states:

“Article 33

(1) The economy is structured as a joint effort based on the principle of kinship”.

In relation to achieving these targets, the government gives priorities and directions for development policies, one of which is increasing investment and non-oil and gas exports, the direction of investment policies should be to base a people’s economy based on the principle of kinship and based on economic democracy to achieve prosperity and welfare of the people as stipulated in Article 33 paragraph (1) the 1945 Constitution with the principles of togetherness, efficiency, justice, sustainability, environmental insight, independence, and maintaining a balance of progress and national economic unity. The purpose of the investment is to accelerate the pace of development in the country.

In relation to the implementation of investment, based on Law Number 25 of 2007 concerning Investment, the investment legal system broadly

Consists of the legal fields regarding licensing, capital, a form of business, the status of the perpetrator (investor), location, object environment, and others. etc. permit investment that can be given free of charge but must be based on an appraisal consideration. The aspect of licensing in investment is the authority to grant or refuse.

Indonesia is a developing country. To build requires a large capital or investment. Investment activities have been started since 1967, namely since the issuance of Law Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment and Law Number 6 of 1968 concerning Domestic Investment. With the existence of these two legal instruments, it is hoped that investors, both foreign and domestic investors, can invest in Indonesia.

The existence of these two regulations, it guarantees and creates investment security and provides legal protection for investments made by investors or investment.

Legal protection is closely related to the aspect of justice. People as legal subjects are supporters or bearers of rights since they are born alive until they die, although there are exceptions that babies who are still in their mother’s womb are considered to have become legal subjects as long as their interests support it.

According to Philipus M. Hadjon related legal protection, there is preventive legal protection, preventive legal protection, namely legal subjects have the opportunity to file objections and opinions before the government gives the final decision. This legal protection is contained in laws and regulations that contain signs and limitations in doing something. This means that preventive legal protection prevents disputes from arising.

The form of preventive protection in the implementation of investment in Indonesia is regulated in Law Number 25 of 2007 concerning Investment. Article 1 number 1 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, states:

“Article 1

  1. Investment is all forms of investment activities, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the territory of the Republic of Indonesia”.

Article 5 paragraph (1) of Law Number 5 of 2007 concerning Investment also regulates the form of business of investment, which reads:

“Article 5

(1) Domestic investment can be carried out in the form of a business entity in the form of a legal entity, not a legal entity or individual business, in accordance with the provisions of the legislation”.

With regard to own investment, Article 15 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment states the obligations of investors, which reads:

“Article 15

Every investor is obliged to:

a.    apply the principles of good corporate governance;

b.    carry out corporate social responsibility;

c.    make a report on investment activities

Coordinating

Investment

d.    respecting the cultural traditions of the community around the location

of investment business activities; and

e.    comply with all statutory provisions”.

In the invesment activity, investors must comply with rules made by the government, especially regarding the type of business establishment. Although the government is open to many investors as possible to Indonesia, there are still specific businesses in particular which are not allowed. The restricted businesses are listed on the negative list of investment which is regulated in Article 77 Number 2 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, which states:
“Article 12
(1) All business sectors are open for investment activities, except for business sectors which are stated as closed for investment or activities that only be carried out by Government;
(2) The business sectors are closed for investment as refer to paragraph (1) as follow:
a. cultivation and the narcotics industry of class I;
b. all forms of gambling and/or casino activities;
c. Fish catching species as listed in Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);
d. utilization or extraction of corals and utilization or extraction of corals from nature which are used for building calcium lime materials, aquariums, and souvenirs/jewelry, as well as live or death corals from nature;
e. chemical weapons manufacturing industry; and
f. chemical industry and ozone layer depleting material industry”.

In Law Number 25 of 2007 concerning Investment, not only guarantees and provides legal protection for investors but also provides sanctions, this is contained in Article 34 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, which reads:

“Article 34

(1)The business entity or individual business as referred to in Article 5 which does not fulfill the obligations as stipulated in Article 15 may be subject to administrative sanctions in the form of:

a.written warning;

b.limitation of business activities;

c. suspension of business activities and/or investment facilities; or

d. revocation of business activities and/or investment facilities”.

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) shall be imposed by the competent agency or institution in accordance with the provisions of the legislation.

(3) In addition to being subject to administrative sanctions, business entities or individual businesses may be subject to other sanctions in accordance with the provisions of laws and regulations”.

Having strict sanctions, the government will guarantee legal certainty, business, and business security for investment from the licensing process until the end of activities investment the provisions of laws and regulations, as well as opening opportunities for development and providing protection to micro-enterprises. small, medium, and cooperative.

In Law Number 25 of 2007 concerning Investment, it has been attempted so that in practice there is no longer any difference in treatment between domestic and foreign investments. For people or entities to invest their capital, the government uses various methods so that their investment produces the desired results or margins.

The regulation regarding investment in the tourism service business sector in the form of protection for investors in the tourism sector is not much different from the legal protection for other investors, which is contained in Law Number 25 of 2007 concerning Investment, because in the Tourism Law there are no rules that especially regarding investment.

1

SETTLEMENT OF LAND DISPUTES IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

REFERENSI: 

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

Pesatnya perkembangan pariwisata memunculkan persoalan baru di bidang pertanahan. Klaim kepemilikan tanah menjadi persoalan yang semakin menonjol sehingga menimbulkan konflik pertanahan antara pemerintah (sebagai regulator dan pihak yang mengeluarkan izin), pemodal (investor) dan masyarakat.[1]

Pemanfaatan tanah untuk kepentingan pembangunan, terutama di bidang pariwisata, telah mendorong terjadinya peralihan penggunaan dan kepemilikan tanah dalam skala besar.[2]

Sementara itu pemanfaatan tanah sendiri dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan:

                               “Pasal 3

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Adapun peraturan turunan dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi:

“Pasal 2

  • Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
    dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
    didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
    seluruh rakyat.
    • Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
      bumi, air dan ruang angkasa tersebut;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
      dan ruang angkasa;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
      perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
    • Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
      digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
      kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
      berdaulat, adil dan makmur.
    • Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
      daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
      bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Negara dengan hak menguasainya berkewajiban untuk mengatur dan menentukan peruntukan, penggunaan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya tanah, hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan:

“Pasal 14

  • Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)
    serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
    suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
    ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:untuk keperluan Negara;untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan
    dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
    kesejahteraan;untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
    serta sejalan dengan itu;untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
  • Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-
    peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
    penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
    daerah masing-masing.
  • Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
    mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari
    Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/
    Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan”.

Pemanfaatan tanah sebagai
bagian dari sumber daya alam Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk sektor pariwisata.[3] Adapun dalam tujuan pariwisata sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan untuk:

  1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
  2. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  3. menghapus kemiskinan;
  4. mengatasi pengangguran;
  5. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
  6. memajukan kebudayaan;
  7. mengangkat citra bangsa;
  8. memupuk rasa cinta tanah air;
  9. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
  10. mempererat persahabatan antarbangsa”.

Adanya pembangunan berskala besar terutama dalam bidang pariwisata tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Situasi dan kondisi ini muncul akibat salah satu pihak yang mengorbankan kepentingan pihak lainnya.[4] Akan tetapi persoalan hukum dan konflik pertanahan muncul ketika pemerintah tidak mampu menjadi pihak yang netral dalam menyelesaikan persoalan pertanahan dan terjadinya salah tafsir terhadap hak menguasai negara.[5]

Konflik pertanahan di berbagai daerah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tindakan pemerintah (badan pertanahan) yang lemah dalam melakukan penelitian dan mengidentifikasikan tanah terlantar.[6] Jika terjadi konflik pertanahan maka penyelesaian sengketa terdapat dua jenis yaitu jalur litigasi dan non litigasi, litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.[7] Sedangkan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution.[8] Salah satunya dengan cara mediasi, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, di mana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri.[9] Penyelesaian sengketa melalui mediasi pribadi, diatur oleh para pihak itu sendiri dibantu oleh mediator terkait atau mengikuti pendapat/pandangan para ahli yang tehnik dan caranya sangat bervariasi, tetapi tujuannya sama, yaitu membantu para pihak dalam rangka menegosiasikan persengketaan yang dihadapi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama secara damai dan saling menguntungkan.[10]


[1] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[2] Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019 h 113

[3] Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018: 87-100, hal 88

[4] I gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018, hal 58

[5] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[6] Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, hal 2.

[7] Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), hal 16.

[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 236.

[9] I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009, hlm. 2.

[10] Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014, hlm 60.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;

REFERENCE:

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

The rapid development of tourism raises new problems in the land sector. Land ownership claims are becoming increasingly prominent issues, resulting with land conflicts between the government (as regulator and the party issuing permits), investors (that invests) and the community.

The use of land for development purposes, especially in the tourism sector, has led to a shift in land use and ownership on a large scale.

Meanwhile, the use of land itself is guaranteed in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which states:

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people”.

The derivative regulations from Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, namely Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, are emphasized in Article 2 of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations of Agrarian Principles, which reads:

“Article 2

  • On the basis of the provisions in Article 33 paragraph (3) of the Constitution and the matters referred to in Article 1, the earth, water and space, including the natural resources contained therein, are at the highest level. controlled by the State, as an organization of power for all the people.
  • The State’s right of control as referred to in paragraph (1) of this article authorizes to:
    • regulate and administer the designation, use, supply and maintenance of the said earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and the earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and legal actions concerning earth, water and space.

(3) The authority stemming from the state’s right to control as referred to in paragraph (2) of this article is used to achieve the greatest prosperity of the people in the sense of nationality, welfare and independence in society and an independent, sovereign, just and prosperous Indonesian legal state.

(4) The state’s control rights mentioned above can be exercised to autonomous regions and customary law communities, only as necessary and not in conflict with national interests, according to the provisions of Government Regulations”.

The state with the right to control is obliged to regulate and determine the allocation, use, control, supply and maintenance of land resources, this is described in Article 14 paragraph (1) of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, which states:

“Article 14

(1) With the stipulations in Article 2 paragraphs (2) and (3), Article 9 paragraph (2) and Article 10 paragraph (1) and (2) the Government in the context of Indonesian socialism draws up a general plan regarding the supply, designation and use of the earth, water and space as well as the natural resources contained therein:

a. for the needs of the State;

b. for the purposes of worship and other sacred purposes, in accordance with the basis of the One Godhead;

c. for the purposes of community, social, cultural and other welfare centers;

d. for the purpose of developing agricultural, animal husbandry and fishery production and in line with that;

e. for the purposes of developing industry, transmigration and mining.

(2) Based on the general plan as referred to in paragraph (1) of this article and in view ofthe relevant regulations, the Regional Government shall regulate the supply, designation and use of earth, water and space for their respective regions, in accordance with the conditions of their respective regions.

(3) The Regional Government Regulations referred to in paragraph (2) of this article shall come into force after obtaining ratification, concerning Level I Regions from the President, Level II Regions from the Governor/Head of the Region concerned and Level III Regions from the Regent/Mayor/Head of the Region concerned”.

Utilization of land as part of Indonesia’s natural resources must be done wisely for the prosperity and welfare of the Indonesian people, including the tourism sector. As for tourism destinations, as Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

  1. increase economic growth;
  2. improve people’s welfare;
  3. eradicating poverty;
  4. overcoming unemployment
  5. conserving nature, environment, and resources;
  6. promote culture;
  7. raise the image of the nation;
  8. foster a sense of love for the homeland;
  9. strengthen national identity and unity; and
  10. strengthen friendship between nations.

The existence of large-scale development, especially in the field of tourism, often causes pros and cons. These situations and conditions arise as a result of one party sacrificing the interests of the other. However, legal issues and land conflicts arise when the government is unable to be a neutral party in resolving land issues and there is a misinterpretation of the right to control the state.

Land conflicts in various regions are caused by several factors, namely the actions of the government (land agency) which are weak in conducting research and in identifying abandoned land. If there is a land conflict, there are two types of dispute resolution, namely litigation and non-litigation, litigation is a dispute resolution process in court, where all disputing parties face each other to defend their rights before the court. The final result of a dispute resolution through litigation is a decision that states a win-lose solution. Meanwhile, dispute resolution through non-litigation is much more effective and efficient because in recent times, various methods of dispute settlement (settlement methods) outside the courts have been developed, known as Alternative Dispute Resolutions. One of them is by means of mediation, mediation is a dispute resolution process between the parties which is carried out with the help of a neutral and impartial third party (mediator) as a facilitator, where the decision to reach an agreement is still taken by the parties themselves. Settlement of disputes through private mediation, regulated by the parties themselves assisted by the relevant mediator or following the opinions/views of experts whose techniques and methods vary widely, but the goal is the same, namely to assist the parties in negotiating the disputes they face in order to reach mutual agreement collectively. peaceful and mutually beneficial.

0

UTILIZATION OF INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY IN TOURISM DEVELOPMENT

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 2025

REFERENSI: 

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

Pada saat ini Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) telah mengubah pariwisata secara global khususnya pada era 4.0. Rekayasa ulang yang didorong oleh TIK telah secara bertahap menghasilkan pergeseran paradigma baru, mengubah struktur industri dan mengembangkan berbagai peluang dan ancaman. TIK memberdayakan konsumen untuk mengidentifikasi, menyesuaikan dan membeli produk-produk pariwisata dan mendukung globalisasi industri dengan menyediakan alat untuk mengembangkan, mengelola, dan mendistribusikan penawaran di seluruh dunia.[1]

Pengembangan dan promosi pariwisata merupakan salah satu bidang yang sedang gencar digalakkan oleh pemerintah, penggunaan website sebagai alat mempromosikan pariwisata semakin marak digunakan, dapat dilihat dengan maraknya situs-situs pariwisata di Internet.[2]

Pariwisata menjadi daya tarik suatu wilayah dengan objek unggulan lokasi wisata, seni, budaya, kuliner, sejarah serta kegiatan-kegiatan historis (pagelaran adat, upacara adat) di sebuah wilayah. Kegiatan kepariwisataan menjadikan banyak negara menempatkan pariwisata sebagai aspek penting dan integral dalam strategi pengembangan negara, di antaranya dari aspek pendapatan pemerintah, stimulus pengembangan regional dan penciptaan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan nasional hingga hubungan internasional.[3]

Konsep pariwisata yang memanfaatkan TIK dapat juga didefinisikan sebagai e-tourism atau smart tourism. Smart Tourism adalah pemanfaatan segala potensi dan sumber daya yang ada untuk meningkatkan pengalaman di bidang Pariwisata sebagai media promosi.[4] Sebuah destinasi dapat dikatakan smart apabila destinasi tersebut memanfaatkan infrastruktur teknologi secara intensif untuk:[5]

  1. Meningkatkan pengalaman berwisata bagi pengunjung pengunjung dengan mempersonalisasikan dan membuat mereka sadar akan layanan dan produk lokal dan pariwisata yang tersedia untuk mereka di tempat tujuan dan;
  2. Dengan memberdayakan organisasi manajemen destinasi, lembaga lokal dan perusahaan pariwisata untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan berdasarkan data yang dihasilkan di dalam tujuan, dikumpulkan, dikelola dan diproses melalui infrastruktur teknologi.

Mengenai pariwisata sendiri pemerintah telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengertian dari pariwisata terdapat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu:

“Pasal 1

3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,pengusaha,pemerintah, dan pemerintah daerah”.

Adapun pengertian dari pariwisata menurut Organisasi pariwisata dunia, mendefenisikan pariwisata sebagai aktivitas perjalanan dan tinggal seorang di luar tempat tinggal dan lingkungannya selama tidak lebih dari satu tahun berurutan untuk berwisata, bisnis atau tujuan lain dengan tidak untuk bekerja ditempat yang dikunjungi tersebut.[1] Selain menyatakan apa yang dimaksud dengan pariwisata dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 mengatur mengenai pembangunan dari pariwisata itu sendiri, hal ini tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, yang berbunyi:

“Pasal 6

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata”.

Adapun unsur-unsur yang meliputi pembangunan dalam pariwisata, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 7

Pembangunan pariwisata meliputi:

a. industri pariwisata;

b. destinasi pariwisata;

c.pemasaran; dan

d. kelembagaan kepariwisataan”.

Selain dalam undang-undang, mengenai pembangunan pariswisata juga terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 –2025, yang berbunyi:

“Pasal 5

Untuk mensinergikan penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Daerah dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri”.

Peran pemerintah dalam
mengembangkan dan mengelolah pariwisata secara garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata dan bertanggung jawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan pariwisata.[1] Sementara itu dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 10

pemerintah dan pemerintah daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”.

Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 17

pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:

a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan

b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar”.

Pemerintah selain memiliki peran memeberi perlindungan, mengembangkan dan memfasilitasi untuk para pelaku usaha pariwisata sebagaimana Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, akan memberikan sanksi hal tersebut terdapat dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 63

(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif;

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.teguran tertulis;

b.pembatasan kegiatan usaha; dan

c.pembekuan sementara kegiatan usaha”.

(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.

(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”.

Penggunaan teknologi yang berkaitan dengan sektor kepariwisataan harusnya dapat diimplementasikan secara optimal sehingga promosi dari pariwisata di daerah bisa diketahui secara umum secara maksimal. Pemerintah juga telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembangunan, peran pemerintah dan sanksi yang tegas di sektor pariwisata.


[1] Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN hlm 2.


[1] Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta. hal 30


[1] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 258.

[2] Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100 74, hal. 74.

[3] Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019, hal 14.

[4] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 261

[5] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;
  2. Government Regulation Number 50 of 2011 concerning National Tourism Development Master Plan 2010 2025.

REFERENCE:

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

At this time Information and Communication Technology (ICT) has changed tourism globally, especially in the 4.0 era. ICT-driven reengineering has gradually resulted in new paradigm shifts, changing industry structures and developing opportunities and threats. ICTs empower consumers to identify, customize and purchase tourism products and support the globalization of the industry by providing tools to develop, manage and distribute offerings worldwide.

The development and promotion of tourism is one area that is being intensively promoted by the government, the use of websites as a tool to promote tourism is increasingly being used, it can be seen by the rise of tourism sites on the Internet.

Tourism is the attraction of an area with superior tourist sites, arts, culture, culinary, history and historical activities (traditional performances, traditional ceremonies) in an area. Tourism activities have made many countries place tourism as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development stimulus and job creation as well as increasing national income to international relations.

The concept of tourism that utilizes Information and Communication Technology (ICT) can also be defined as e-tourism or smart tourism. Smart Tourism is the utilization of all existing potential and resources to improve experience in the tourism sector as a promotional medium. A destination can be classified to be smart if it makes intensive use of its technological infrastructure to:

  1. Improve the travel experience for visitors by personalizing and making the awareness of the local and tourism services and products available to them at their destination and;
  2. By empowering destination management organizations, local agencies and tourism companies to make decisions and take action based on the data generated within the destination, collected, managed and processed through the technological infrastructure.

By empowering destination management organizations, local agencies, and tourism companies to make decisions and take action based on the generated data within the destination, collected, managed, and processed through the technology infrastructure.
The development and promotion of those places where are being intensively promoted by the government by one of the way is using websites as a tool to promote tourism. It can be seen by the rise of tourism sites on the internet.

Regarding tourism, the government has regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, the meaning of tourism is contained in Article 1 number 3 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, namely:

“Article 1

3.Tourism is a variety of tourism activities and is supported by various facilities and services provided by the community, entrepreneurs, government, and local governments.

The definition of tourism according to the World Tourism Organization, defines tourism as a travel activity and the occupy of a person out of their origin residence and environment for no more than one continuous year for the purposes of travel, business, or others with no work activity at the visited place. Tourism activities have made many tourism countries as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development, and job creation as well as increasing national income to international relation.

In addition to stating what is meant by tourism in Law Number 10 of 2009 regulating the development of tourism itself, this is stated in Article 6 of Law Number 10 of 2009, which reads:

“Article 6

Tourism development is carried out based on the principles as referred to in Article 2 which is realized through the implementation of tourism development plans by taking into account the diversity, uniqueness, and uniqueness of culture and nature, as well as human needs for tourism.

Component of tourism development in tourism, as contained in Article 7 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, are stated as follow:

“Article 7

Tourism development includes:
a. tourism industry;
b. tourism destinations;
c. marketing; and
d. tourism institutions”.

In addition to the law, regarding tourism development is also contained in Article 5 of Government Regulation Number 50 of 2011 concerning the National Tourism Development Master Plan 2010-2025, which reads:

“Article 5

To synergize the preparation of the Provincial Tourism Development Master Plan and the Regency/City Tourism Development Master Plan, as referred to in Article 4, the Regional Government may conduct consultations and coordination with the Minister”.

The role of government in general, developing and managing tourism is to provide infrastructure (not only in physical form), to have authority in the regulation, provision, and allocation of various infrastructures related to tourism needs and to be responsible for determining the direction of tourism travel. Meanwhile in the legislation contained in Article 10 and Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 10”

The government and regional governments encourage domestic investment and foreign investment in the tourism sector in accordance with the national, provincial and district/city tourism development master plans”.

In Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 17”

The government and local governments are required to develop and protect micro, small, medium and cooperative businesses in the tourism business sector by:

a. made a policy for the provision of tourism business for micro, small, medium enterprises and cooperatives; and

b. facilitates partnerships of micro, small, medium and cooperative enterprises with large scale enterprises”.

The government in addition to having the role of protecting, developing and facilitating tourism business actors as stated in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, will provide sanctions for this matter contained in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 63”

(1) Every tourism entrepreneur who does not comply with the provisions as referred to in Article 15 and/or Article 26 shall be subject to administrative sanctions;

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:

a. written warning;

b. limitation of business activities; and

c. temporary suspension of business activities”.

(3) The written warning as referred to in paragraph (2) letter a shall be imposed on the entrepreneur at most 3 (three) times.

(4) Sanctions for limiting business activities are imposed on entrepreneurs who do not comply with the warning as referred to in paragraph (3).

(5) The sanction of temporary suspension of business activities is imposed on entrepreneurs who do not meet the provisions as referred to in paragraph (3) and paragraph (4)”.

The use of technology related to the tourism sector should be implemented optimally so that the promotion of tourism in the region can be known in general to the maximum. The government also has laws and regulations governing development, the role of the government and strict sanctions in the tourism sector.

0

PENERAPAN PERCEPATAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Author : Ananta Mahatyanto
Co – Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

REFERENSI :

  1. Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)
  2. Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

            Indonesia memiliki Keindahan Alam yang diakui oleh dunia, dimana kekayaan alam di Indonesia sangat banyak dan beragam, hal ini juga dapat kita lihat pada banyaknya turis yang datang ke tempat-tempat yang memiliki keindahan alam di Indonesia. Oleh sebab itu, Industri Pariwisata merupakan salah satu industri yang penting untuk dikembangkan di Indonesia, akan tetapi Pengembangan Industri Pariwisata tersebut harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap lingkungan di Indonesia itu sendiri.

            Pemerintah menyadari bahwa industri pariwisata harus dilaksanakan sejalan dengan perlindungan terhadap lingkungan, selain itu terdapat pertimbangan mengenai pengelolaan tentang pariwisata, budaya dan manfaat sosial dan ekonomi yang terdapat pada Industri Pariwisata itu sendiri, oleh sebab itu pada tahun 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenpar 14/2016) yang sudah dicabut dengan  terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (Permenparekraf 9/2021).

            Gagasan atau Ide mengenai Percepatan Pariwisata Berkelanjutan diterapkan melalui pembaharuan Peraturan terkait ide tersebut melalui diterbitkannya Permenparekraf 9/2021, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah untuk mewujudkan Pengembangan Industri Pariwisata yang berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev), dimana STDev tersebut meliputi Sustainable Tourism Destination (STD), Sustainable Tourism Observatory(STO), Sustainable Tourism Certification(STC), Sustainable Tourism Industry(STI), serta Sustainable Tourism Marketing & Management(STM).[1]

            Sebelumnya, Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Lembaga Akreditasi kuasi pemerintah yang dibentuk melalui surat Keputusan Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Nomor Km. 143/Kd.00/Menpar/2019, Tentang Dewan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council) atau biasa disebut dengan ISTC.[2]

            ISTC itu sendiri mempunyai tugas dan fungsi dalam hal mendukung dan mengadvokasi penerapan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Karena itu ISTC melakukan regulasi, memfasilitasi juga melakukan pendampingan agar destinasi-destinasi wisata sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pelaksanaannya dengan melakukan asesmen, memberikan award kepada destinasi yang berhasil menerapkan standar pariwisata berkelanjutan.[3]

            Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan dalam Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Permenparekraf 9/2021, yang berbunyi:

“ Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya. “ [4]

Area yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan berkelanjutan ada 4 pilar. Pertama adalah pengelolaan yang berkelanjutan seperti bisnis pariwisata, kedua ekonomi berkelanjutan atau sosial ekonomi jangka panjang. Ketiga adalah keberlanjutan budaya agar terus dikembangkan tetapi tetap dijaga. Dan keempat adalah keberlanjutan aspek lingkungan. [5]

            4 pilar tersebut dijelaskan melalui Kriteria Destinasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021. Kriteria Destinasi tersebut dijabarkan dalam Huruf A sampai Huruf D Bab II Lampiran Permenparekraf 9/2021 sebagai berikut:[6]

  1. Pengelolaan Berkelanjutan
  2. Struktur dan Kerangka Pengelolaan
  3. Tanggung jawab pengelolaan destinasi
  4. Strategi dan rencana aksi pengelolaan destinasi
  5. Monitoring dan Pelaporan
  6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
  7. Pelibatan badan usaha dan standar keberlanjutan
  8. Pelibatan dan umpan-balik dari penduduk setempat
  9. Pelibatan dan umban-balik dari pengunjung
  10. Promosi dan Informasi
  11. Mengelola Tekanan dan Perubahan
  12. Mengelola jumlah dan kegiatan pengunjung
  13. Perencanaan peraturan dan pengendalian pembangunan
  14. Adaptasi perubahan iklim
  15. Pengelolaan risiko dan krisis
  • Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi
  • Memberi manfaat ekonomi lokal
  • Mengukur kontribusi ekonomi pariwisata
  • Peluang kerja dan karir
  • Menyokong kewirausahaan lokal dan perdagangan yang berkeadilan
  • Kesejahteraan dan dampak sosial
  • Dukungan dari masyarakat
  • Pencegahan eksploitasi dan diskriminasi
  • Hak kepemilikan dan pengguna
  • Keselamatan dan keamanan
  • Akses untuk semua
  • Keberlanjutan Budaya
  • Melindungi Warisan Budaya
  • Perlindungan aset budaya
  • Artefak Budaya
  • Warisan Tak Benda
  • Akses Tradisional
  • Hak Kekayaan Intelektual
  • Mengunjungi Situs Budaya
  • Pengelolaan pengunjung pada situs budaya
  • Interpretasi situs
  • Keberlanjutan Lingkungan
  • Konservasi Warisan Alam
  • Perlindungan lingkungan sensitif
  • Pengelolaan pengunjung pada situs alam
  • Interaksi dengan kehidupan liar
  • Eksploitasi spesies dan kesejahteraan satwa
  • Pengelolaan Sumberdaya
  • Konservasi energi
  • Penatalayanan air
  • Kualitas air
  • Pengelolaan limbah dan emisi
  • Air limbah
  • Limbah padat
  • Emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim
  • Transportasi berdampak rendah
  • Pencemaran cahaya dan kebisingan

Kriteria Destinasi Pariwisata tersebut diperjelas melalui terdapatnya Kriteria yang menjadi dasar penilaian atau penetapan pada standar destinasi pariwisata berkelanjutan, Sub Kriteria yang merupakan turunan dari kriteria dan memberikan detil pengelompokan dari indikator, Indikator yang merupakan sesuatu yang memperjelas dan dapat memberi petunjuk atau keterangan dari kriteria , serta Bukti Pendukung yang merupakan sesuatu yang menyatakan suatu kebenaran peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda baik berupa softcopyatau hardcopy.

            Terkait dengan Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, didasari pada Kriteria Destinasi Pariwisata yang harus terpenuhi sebelumnya sebagai pedoman Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri. Sehingga, Penerapan Percepatan Pariwisata Berkelanjutan itu sendiri dapat mewujudkan keempat pilar yaitu Pengelolaan Berkelanjutan, Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi, Keberlanjutan Budaya serta Keberlanjutan Lingkungan yang sekaligus menjadi tujuan dari penerapan percepatan pariwisata berkelanjutan di Indonesia itu sendiri.


[1]Kemenparekraf/Baparekraf RI, ISTC: Mendorong Percepatan Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, (https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/ISTC:-Mendorong-Percepatan-Pariwisata-Berkelanjutan-di-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[2]Indonesia Sustainable Tourism Council (IST-Council), (https://ist-council.kemenparekraf.go.id/, diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

[3]Op. Cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[4]Angka 6 Huruf C Bab I Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

[5]Op.cit, Kemenparekraf/Baparekraf RI

[6]Bab II Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Translate