0

Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Pinjaman

Author : Nirma Afianita
Co – Author : Ilham M. Rajab


Saat ini Kekayaan Intelektual para pelaku ekonomi kreatif nasional menjadi salah satu jaminan untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Keputusan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif.[1] Pada umumnya terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengikat jaminan utang, yaitu: gadai, hak tanggungan, jaminan fidusia dan cessie. Dengan cara:[2]

  1. Tahapan pertama, Pengajuan Permohonan Kredit;
  2. Tahap kedua, Analisis Kredit;
  3. Tahap Ketiga, Persetujuan Kredit;
  4. Tahap keempat, Perjanjian Kredit;
  5. Tahap kelima Pencairan Kredit.

Sementara itu, kaitan antara jaminan utang dengan Kekayaan Intelektual sangatlah berbeda. Perlu diketahui bahwa Kekayaan Intelektual timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karyanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.[3] Pelaku ekonomi kreatif bisa mengajukan kredit berbasis kekayaan intelektual tersebut. Ada empat syarat yang harus dipenuhi, yakni:[4]

  1. Proposal pembiayaan
  2. Memiliki usaha ekonomi kreatif
  3. Memiliki perikatan terkait Kekayaan Intelektual produk ekonomi kreatif
  4. Memiliki surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual

Untuk pembiayaan pelaku ekonomi kreatif, pemerintah memfasilitasi hal tersebut sebagaimana mana Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 4

  • Pemerintah memfasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank bagi Pelaku Ekonomi Kreatif;
  • Fasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Ekonomi Kreatif dilakukan melalui:
  1. pemanfaatan Kekayaan Intelektual yang bernilai ekonomi; dan
  2. penilaian Kekayaan lntelektual”.

Adapun pengimplementasian skema pembiayaan sebagaimana terjamin dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 7

  • Pemerintah memfasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank bagi Pelaku Ekonomi Kreatif;
  • Fasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Ekonomi Kreatif dilakukan melalui:
  1. pemanfaatan Kekayaan Intelektual yang bernilai ekonomi; dan
  2. penilaian Kekayaan lntelektual”.

Para Pelaku Ekonomi Kreatif dalam mengajukan pinjaman harus menjaminkan objek sebagai jaminan hutang, hal tersebut terdapat dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 10

Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang berupa:

a. Kekayaan Intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementerian

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan

b. Kekayaan Intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau

dialihkan haknya kepada pihak lain”.

Dengan terdapatnya perbedaan mengenai jaminan dan cara yang berkaitan dengan pemberian kredit atau skema pembiayaan antara jaminan utang pada umumnya dan jaminan utang pada Kekayaan Intelektual sebagaimana ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang ada maka mempertegas dan merinci secara khusus untuk apa-apa dan prosedur bagi subjek hukum yang akan melakukan pinjaman.

Refrensi:

  1. https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/news/20220719081748-4-356605/aturan-jokowi-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang/amp
  2. Posuma, Adrian Alexander. Pengikatan Jaminan dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017
  3. https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1613245/jokowi-teken-pp-ekonomi-kreatif-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang-di-bank diakses pada 25 Juli 2022

Dasar hukum:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif



[1] https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/news/20220719081748-4-356605/aturan-jokowi-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang/amp, diakses pada 25 Juli 2022

[2] Posuma, Adrian Alexander. Pengikatan Jaminan dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

[3] https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1613245/jokowi-teken-pp-ekonomi-kreatif-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang-di-bank diakses pada 25 Juli 2022

[4] Ibid

0

Paten Sederhana Berbasis Bioteknologi Konvensional

Author : Alfredo Joshua Bernando

Co Author : Robby Malaheksa

Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dikenal sebagai hak paten atau hak khusus yang diberikan negara kepada inventor atas hasil karya invensinya di bidang teknologi. Hak paten diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Perlindungan hukum terhadap pemegang paten bertujuan untuk memotivasi inventor dalam menigkatkan hasil karyanya baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut pada Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 memberikan penjelasan tentang definisi dari Paten yaitu:

Pasal 1

  1. Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu teretntu melaksanakan sendiri invesi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya
  2. Invensi merupakan ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahnan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembanagan produk atau proses.
  3. Investor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. [1]

Dalam hak paten, objek yang diberikan perlindungan berupa invensi. Berdasarkan lingkupnya terdapat dua jenis paten yaitu paten sederhana an paten biasa, Paten sederhana merupakan invensi baru yang pengembangannya sudah ada dan dapat diterapkan di bidang industri, Sedangkan untuk paten biasa merupakan invensi baru yang memiliki langkah inventif dan dapat diterapkan pada bidang industri.

Seperti yang dijelaskan pada pengertian Paten, dimana Paten diberikan oleh negara yang dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Paten yang diberikan perlindungan bukan hanya terhadap temuan dibidang teknologi, tapi juga hak eksklusif yang melekat pada pemilik atau pemegang hak paten, sehingga apabila pihak lain yang yang menerima peralihan berkeinginan untuk mendapat manfaat ekonomi mengunakan hak paten tersebut wajib memperoleh lisensi (izin) dari pemiliknya atau pemegangnya.

Sebuah invensi dalam paten dapat ditemukan dalam berbagai bidang, salah satunya bidang Bioteknologi, Bioteknologi adalah Bioteknologi merupakan sebuah proses untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kepentingan manusia yang berasal dari pemanfaatan makhluk hidup maupun produk yang berasal dari makhluk hidup tersebut. Pemanfaatan biologis makhluk hidup yang dimaksud seperti bakteri, virus, fungi, dan lain sebagainya. Sedangkan, produk yang berasal dari makhluk hidup memiliki contoh seperti kandungan enzim. [2]

Terkait dengan perkembangannya, bioteknologi dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi konvesional dan bioteknologi modern. Bioteknologi konvesional dilakukan dengan bahan dan peralatan yang sederhana pada prosesnya. Sedangkan bioteknologi modern merupakan kemajuan bioteknologi konvesional yang perkembangannya terus berlanjut hingga sekarang.[3]

Pasal 2 UNCBD menyatakan definisi Bioteknologi sebagai penerapan teknologi yang menggunakan sistem-sistem hayati, makhluk hidup atau derivatifnya, untuk membuat atau memodifikasi produk-produk atau proses-proses untuk penggunaan khusus.[4] Bioteknologi konvensional disebut juga bioteknologi tradisional, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan mikroorganisme dan proses biokimia dengan menggunkan peralatan dan metode yang sederhana. Prinsip dasar proses bioteknologi konvensional adalah melibatkan proses fermentasi dalam menghasilkan produk. Mikroorganisme berperan dalam proses fermentasi untuk mengubah bahan mentah atau makanan menjadi produk baru dengan kandungan nutrisi yang lebih baik. Kelemahan dari bioteknologi konvensional adalah prosesnya yang relatif belum steril (bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan), sehingga kualitasnya belum terjamin. Contoh Produk bioteknologi konvensional dan telah digunakan mengahasilkan produk, baik dalam skala kecil maupun industri besar anatara lain roti, tempe, tapai, keju, yoghurt dan lain-lain.[5]

Fermentasi ialah bagian penting dalam proses bioteknologi konvensional yang merupakan suatu proses perubahan enzimatik secara anaerob yang berasal dari senyawa organik kompleks menjadi produk organik yang lebih sederhana. Proses fermentasi menggunakan mikroorganisme yang bersifat tidak patogen sehingga aman begi kesehatan tubuh. Proses ini dapat menghasilkan alkohol, asam dan gas. Salah satu tujuan utama fermentasi adalah untuk mengawetkan makanan. Adanya perubahan karbohidrat menjadi asam organik dapat membuat makanan menjadi tahan lama.

Keberhasilan proses fermentasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Hal ini terjadi karena mikroorganisme yang digunakan membutuhkan kesesuaian lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik. Ketidaksesuaian kondisi lingkungan saat proses inkubasi dapat menyebabkan fermentasi tidak berjalan atau produk yang di hasilkan bersifat toksik.

Contoh mengenai invensi pada bidang bioteknologi dapat berupa produk yang dikonsumsi seperti obat-obatan yang terbuat dari unsur hayati maupun hewani, serta produk-produk untuk dikonsumsi.

Pasal 5 huruf (c) Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik, menjelaskan jenis Produk Rekayasa Genetik (PRG) dimana salah satunya adalah Tanaman, bahan asal tanaman, dan hasil olahannya. Mengacu dalam jenis PRG tersebut maka yang merupakan hasil olahan dari Tanaman wajib di berikan perlindungan hukum, hal ini sejalan dengan tujuan dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) yaitu untuk meningkatkan hasil guna dan dayaguna bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan dan pengelolaan sumber daya Hayati, perlindungan konsumen, kepastian hukum dan kepastian dalam melakukan usaha.[6]

Tindakan lebih lanjut terhadap pemberian Paten untuk produk-produk bioteknologi memang perlu di lakukan penelitian mendalam di laboratorium sebelum diedarkan secara luas, guna mencegah dampak negatif yang di timbulkan, selain itu, untuk menjamin kemanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam penggunaan produk tersebut sebagai bahan pangan harus bersumber pada persepsi resiko yang dapat diterima (acceptable risk).

Upaya perlindungan Paten terhadap produk-produk hasil dari bioteknologi konvensional dapat dimungkinkan, karena jika merujuk Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten, terkait Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi :

“Pasal 9

  1. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/ atau hewan;
  3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
  4. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.[7]

Selain itu, terkait dengan produk-produk yang merupakan hasil dari bioteknologi dapat diaplikasikan dengan paten sederhana , maka paten sederhana terhadap produk-produk tersebut memiliki jangka waktu maksimum perlindungan 10 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yaitu:

Pasal 23

  1. Paten diberikan untuk jangka waktu sepuluh tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.[8]

Tidak hanya perlindungan bagi masa berlakunya, jika bioteknologi sudah terdaftar dalam paten, maka penemuan tersebut memiliki perlindungan berupa sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran dalam hak paten, Perlindungan tersebut tertulis dalam Pasal 130, Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten sebagai berikut:

Pasal 130

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” [9]

“Pasal 131

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam Pasal 16 (melarang pihak lain tanpa persetujuan membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan untuk dijual atau disewakn produk yang diberi paten) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)[10]

Pasal 134

Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat memerintahkan agar barangbarang hasil pelanggaran Paten tersebut disita oleh Negara untuk dimusnahkan. [11]

Dapatdikatakan bahwa terdapat perlindungan hukum bagi penemuan bioteknologi karena penemuan bioteknologi yang sudah tercatat dan memiliki hak patennya sendiri sehingga jika adanya pelanggaran yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 130, Pasal 131, dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Apabila diamati , maka terdapat keterbukaan peluang yang besar terhadap usaha untuk mematenkan produk-produk bioteknologi konvensional karena tidak termasuk ke dalam Pasal 9 UU Paten tersebut, seperti contoh yang sudah dijelaskan diatas yakni macam produk hasil dari bioteknologi baik dari bahan dasar hewani maupun hayati, Tujuan nya adalah sebagai bagian dari peningkatan produksi ekonomi kreatif, membuka lapangan kerja dan menjamin makanan khas yang merupakan warisan budaya terlindungi, agar produk-produk hasil dari bioteknologi tersebut dapat dipatenkan oleh pengusaha-pengusaha produk tersebut, hal ini dilakukan supaya menghindari didahuluinya produk-produk bioteknologi konvensional tersebut dipatenkan di luar negeri oleh pihak yang justru bukan pemilik invensi dari produk bioteknologi tersebut.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
  2. Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik
  3. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity 2000 Indonesia, Undang-Undang No 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 41)

REFERENSI

  1. Abdulkadir, Muhammad. 2007, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
  2. Krisnawati, Andriana. 2009, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Penerbit Grasindo
  3. Pendidikan Biologi. 2015, Materi penataran Guru MGMP Bidang Biologi. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
  4. Widya Karya Nasional 6-7  Juli 1995.  Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta
  5. Baharuddin Haryanto, Idrus Idham, 2020.Biologi untuk Hidup yang lebih Baik, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah-Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

[1] Pasal 1 Angka 1 , Angka 2 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi

[3] https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/19/135332069/bioteknologi-jenis-contoh-dan-penerapannya?page=all

[4] UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity), sebuah Konvensi Keanekaragaman Hayati yang di hasilkan dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio De Janeiro, 1992.

[5] Harianto Baharuddin, Idham Kahlik Idrus, 2020. Biologi untuk Hidup yang lebih baik, hlm. 5

[6] Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) tentang Keamanan Hayati produk Rekayasa Genetik

[7] Pasal 9 Undang-Undang No 13 Tahun 2016 tentang Paten

[8] Pasal 23 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[9] Pasal 130 Undang-Undang Nomoe 14 Tahun 2001 tentang Paten

[10] Pasal 131 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

[11] Pasal 134 Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten

0

ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY IN INFORMATION TECHNOLOGY INFRASTRUCTURE

Author: Ananta Mahatyanto

Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak CiptaUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten   REFERENSI : Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id/ )Fitriawati, Mia. “Perkembangan Infrastruktur Teknologi Informasi dari Evolusi Infrastruktur.” Jurnal Teknologi dan Informasi 7.1 (2017): 79-87.Khulafa Pinta Winastya, Teknologi Adalah Ilmu Pengetahuan Untuk Mencapai Tujuan Praktis, Simak Jenisnya, ( https://www.merdeka.com/trending/teknologi-adalah-ilmu-pengetahuan-untuk-mencapai-tujuan-praktis-simak-jenisnya-kln.html )ZathCo, IT Infrastruktur, (https://zathco.com/it-infrastruktur/ )Izin.co.id, Definisi dan Panduan Lengkap tentang HAKI, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/ )Nafebra, Andika Carsya. “HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Osf. Io (2018).Novita Ayuningtias, Fungsi Motherboard dan Bagian-Bagiannya, Anak IT Wajib Tahu, ( https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/fungsi-motherboard-dan-bagian-bagiannya-anak-it-wajib-tahu#:~:text=Fungsi%20utama%20dari%20motherboard%20sendiri,sistem%20perangkat%20keras%20yang%20tersedia. )  
Pada era perkembangan teknologi masa kini, memerlukan suatu sistem untuk menjalankan suatu pekerjaan dengan cepat, efektif , efisien dan akurat, hal ini diperlukan karena berimplikasi langsung pada produktivitas pekerjaan yang dilakukan. [1] Teknologi berkembang dengan pesat, melalui ciptaan-ciptaan, inovasi, invensi terhadap teknologi itu sendiri, Perkembangan yang terjadi pada teknologi informasi dibangun melalui suatu “fondasi” dalam bentuk infrastruktur.             Teknologi Informasi memiliki unsur dasar pada kata “teknologi”, dimana berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Teknologi merupakan suatu metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis atau keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.[2]             Selain itu, Informasi dalam konteks teknologi berkaitan dengan Informasi yang berbentuk elektronik, dimana hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi: “Pasal 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[3]   Sehingga pada kesimpulan definisi mengenai Teknologi Informasi adalah Penggunaan teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, untuk mengolah dan mendistribusikan informasi dalam bentuk digital,[4] serta apabila mengacu pada Pasal 1 Angka 3 UU ITE, Teknologi Informasi didefinisikan sebagai:
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. [5]   Selain membahas tentang Teknologi Informasi, Infrastruktur juga merupakan hal yang penting, karena semua hal dapat terjadi apabila hal tersebut melalui pembangunan. Infrastruktur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai Prasarana,[6] dimana pengertian prasarana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya).[7]             Sehingga, Infrastruktur Teknologi Informasi merupakan suatu prasarana atau hal pendukung sekaligus menunjang terselenggaranya suatu proses pembangunan teknologi informasi itu sendiri. Infrastruktur teknologi informasi didefinisikan secara luas sebagai seperangkat komponen teknologi informasi (IT) yang merupakan dasar dari layanan IT, biasanya komponen fisik (komputer dan perangkat keras serta fasilitas jaringan), tetapi juga berbagai komponen perangkat lunak dan jaringan.[8]   Dalam komputasi, infrastruktur teknologi informasi terdiri dari sumber daya fisik dan virtual yang mendukung arus, penyimpanan, pengolahan dan analisis data. Infrastruktur teknologi informasi dapat dipusatkan di dalam pusat data (data center). Infrastruktur teknologi informasi perusahaan biasanya mengacu pada komponen yang diperlukan untuk keberadaan, pengoperasian, dan pengelolaan lingkungan teknologi informasi perusahaan. Infrastruktur teknologi informasi terdiri dari satu set perangkat fisik dan aplikasi perangkat lunak yang diperlukan untuk mengoperasikan seluruh perusahaan. Semua perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan, menguji, mengirim, memantau, mengontrol atau mendukung layanan teknologi informasi.[9]   Tujuan dari manajemen Infrastruktur Teknologi Informasi adalah untuk mencapai efektivitas dari keseluruhan proses teknologi informasi, kebijakan, data, sumber daya manusia, peralatan dan lainnya. Dan tujuan lainnya adalah untuk mengoperasikan Teknologi Informasi agar bias diakses ke semua orang. [10] Dalam Infrastruktur Teknologi Informasi tidak lepas dari suatu ciptaan-ciptaan, inovasi serta invensi dari teknologi yang baru, dimana hal-hal tersebut berkaitan erat dengan Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh pencipta teknologi tersebut.             Berbicara tentang Kekayaan Intelektual (KI) perlu kita pahami terlebih dahulu tentang KI itu sendiri. Kekayaan Intelektual atau bisa kita singkat dengan KI adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia. Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain : Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia.[11]   Berikut Hak-Hak Kekayaan Intelektual yang terkandung dalam suatu Infrastruktur Teknologi Informasi , yakni: Hak Cipta Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjelaskan tentang definisi Hak Cipta dan Ciptaan yang merupakan objek yang dilindungi oleh Hak Cipta, yang merupakan: “ Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.   Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[12]

Sehingga, Hak cipta diberikan kepada sebuah ciptaan yang dihasilkan dan diekspresikan dalam bentuk nyata atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian.   Sebagai contoh, infrastruktur teknologi informasi dapat bekerja apabila menggunakan komputer, dimana komputer tidak dapat dipisahkan dengan perangkat lunak (software) untuk mengaplikasikan maksud dan tujuan dari penggunaan komputer tersebut, perangkat lunak (software) itu sendiri merupakan sekumpulan perintah yang ditulis oleh bahasa pemograman yang dimengerti oleh komputer sehingga perangkat lunak tersebut mampu menginstruksikan perintah tertentu yang akan dikerjakan oleh komputer. Contoh dari software itu sendiri seperti Windows, Microsoft, Antivirus, Internet Explorer. [13]   Menciptakan perangkat lunak bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena banyak sekali aturan-aturan dan kemampuan intelektual yang dibutuhkan dari seorang analis sistem (system analyst) dan pemrograman. Oleh karena itulah, dengan berlakunya Undang-Undang Hak Cipta, hasil kerja seorang analis sistem dan pemrograman dapat dilindungi. [14]   Salah satu pelanggaran Hak Cipta terhadap infrastruktur teknologi informasi dapat berupa pemakaian teknologi tersebut tanpa seizin pencipta , pembajakan, pengadaan, atau hacking yang kerap terjadi dalam penerapan teknologi informasi sehari-hari.   Pasal 8 jo. Pasal 9 jo. Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak ekonomi milik pencipta berkaitan dengan hak cipta yang dilanggar , yang berbunyi: “ Pasal 8   Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.   Pasal 9   Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan Ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; pendistribusian Ciptaan atau salinannya; pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan penyewaan Ciptaan.   Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[15] Selain pelanggaran hak cipta terkait dengan hak ekonomi, hacking juga merupakan salah satu pelanggaran terkait dengan pengaksesan teknologi informasi tanpa seizin pencipta atau pemilik, yang diatur dalam Pasal 30 jo. Pasal 46 UU ITE, yang berbunyi:   “ Pasal 30 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun melanggar, menerobos, melampaui  atau menjebol sistem pengamanan.   Pasal 46 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).[16]           Hak Paten Selain Hak Cipta, Hak atas Paten juga merupakan salah satu Hak Kekayaan Intelektual yang harus dilindungi dalam Infrastruktur Teknologi Informasi, terlebih Paten berkaitan erat dengan suatu invensi suatu teknologi, dimana pengertian Paten menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten), yang berbunyi: “ Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.[17]   Seperti Hak Cipta, terdapat manfaat ekonomi yang diberikan kepada pemegang paten, dan terdapat perbuatan yang dilarang terhadap selain pemegang paten seperti membuat keuntungan kepada diri sendiri tanpa seizin pemegang paten, yang secara lengkap perbuatan yang dilarang tersebut dijelaskan dalam Pasal 160  UU Paten beserta dengan sanksi yang diatur dalam Pasal 161 dan Pasal 162 UU Paten, yang berbunyi sebagai berikut: “ Pasal 160   Setiap Orang tanpa persetujuan pemegang paten dilarang: dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten; dan/ataudalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.   Pasal 161   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).   Pasal 162   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[18]             Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) Terdapat 2 hal yang tergabung dalam DTLST, yakni Desain Tata Letak dan Sirkuit Terpadu, hal tersebut dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu (UU DTLST), yang berbunyi: “ Pasal 1 Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.[19]   Sehingga dapat disimpulkan bahwa Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu merupakan kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.   Selanjutnya mengenai Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang definisinya dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 UU DTLST, yang berbunyi: “ Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.[20]   Berbeda dengan pembahasan pada Hak Cipta yang berkaitan dengan Perangkat Lunak (software), DTLST berkaitan erat dengan komponen perangkat keras yang diperlukan dalam infrastruktur teknologi informasi, seperti papan utama atau motherboard yang berfungsi sebagai pusat penghubung perangkat dengan perangkat lainnya, atau sebagai penyatu dari sistem perangkat keras yang tersedia, [21] dimana apabila pendesain motherboard tersebut ingin mengajukan permohonan atas perlindungan karya ciptaannya dapat diajukan permohonan hak DTLST.   Ada dua hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang hak desain tata letak dan sirkuit terpadu, yakni: Hak melaksanakan desain yang dimiliki;Hak untuk melarang pihak lain tanpa persetujuannya membuat, memakai, mengimpor, ekspor, dan mengedarkan barang yang berhubungan dengan hal ini.   Pelanggaran Hak DTLST pada dasarnya memiliki kriteria yang sama seperti Hak Kekayaan Intelektual lainnya , yakni terkait dengan perizinan kepada pendesain DTLST tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 42 ayat (1) UU DTLST , yang berbunyi: “ Pasal 8 Pemegang Hak memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian Desain yang telah diberi Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Pasal 42 Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[22] Sehingga, dapat dilihat bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Infrastruktur Teknologi Informasi dijamin keberadaanya baik melalui Undang-Undang ITE maupun Undang-Undang yang mengatur tentang masing-masing Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini diberlakukan karena Pemerintah mengetahui pentingnya Hak Kekayaan Intelektual khususnya dalam bidang Infrastruktur Teknologi Informasi dan Teknologi Informasi itu sendiri.   Pentingnya menghargai kreativitas milik orang lain dalam hal ini menghargai kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seseorang terhadap infrastruktur teknologi informasi, dapat diwujudkan dengan : Menggunakan software yang asli atau dengan membeli nomor lisensi. Tidak melakukan duplikasi, membajak ataupun menyalin tanpa seizin perusahaan atau pemilik Tidak menggunakan untuk tindakan kriminal atau kejahatan Tidak memodifikasi (mengubah), mengurangi atau menambah hasil karya tanpa seizin perusahaan atau pemilik. Terlebih hadirnya teknologi informasi yang terus berkembang dengan pesat melalui pembangunan infrastruktur dari teknologi informasi itu sendiri memiliki tujuan untuk memecahkan masalah, membuka kreativitas, meningkatkan efektivitas dan      efisiensi dalam melakukan pekerjaan. Sehingga, Aspek-aspek Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan Infrastruktur Teknologi Informasi harus dilindungi melalui perlindungan hukum, dan terdapat penerapan pemberian sanksi baik pidana penjara, denda pidana karena pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual merupakan salah satu perbuatan yang masuk kedalam kategori kejahatan.  

[1] Fitriawati, Mia. “Perkembangan Infrastruktur Teknologi Informasi dari Evolusi Infrastruktur.” Jurnal Teknologi dan Informasi 7.1 (2017): 79-87.

[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Khulafa Pinta Winastya, Teknologi Adalah Ilmu Pengetahuan Untuk Mencapai Tujuan Praktis, Simak Jenisnya, ( https://www.merdeka.com/trending/teknologi-adalah-ilmu-pengetahuan-untuk-mencapai-tujuan-praktis-simak-jenisnya-kln.html )

[4] https://kbbi.lektur.id/teknologi-informasi

[5] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[6] https://kbbi.web.id/infrastruktur

[7] https://kbbi.web.id/prasarana

[8] ZathCo, IT Infrastruktur, (https://zathco.com/it-infrastruktur/ )

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Izin.co.id, Definisi dan Panduan Lengkap tentang HAKI, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/ )

[12] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[13] Nafebra, Andika Carsya. “HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Osf. Io (2018).

[14] Ibid.

[15] Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[16] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[17] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[18] Pasal 160 sampai Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[19] Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu

[20] Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

[21] Novita Ayuningtias, Fungsi Motherboard dan Bagian-Bagiannya, Anak IT Wajib Tahu, ( https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/fungsi-motherboard-dan-bagian-bagiannya-anak-it-wajib-tahu#:~:text=Fungsi%20utama%20dari%20motherboard%20sendiri,sistem%20perangkat%20keras%20yang%20tersedia. )

[22] Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Legal basis :  1. Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits  2. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016  3. Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights  4. Law Number 13 of 2016 concerning Patents    REFERENCE :  1. Big Indonesian Dictionary (https://kbbi.web.id/ )  2. Fitriawati, Mia.  “Information Technology Infrastructure Development of Infrastructure Evolution.”  Journal of Technology and Information 7.1 (2017): 79-87.  3. Khulafa Pinta Winastya, Technology Is Science To Achieving Practical Goals, Check Out Its Kinds, (https://www.merdeka.com/trending/technology-is-ilmu-knowledge-to-menreach-aim-praktis-simak-types  -kln.html )  4. ZathCo, IT Infrastructure, (https://zathco.com/it-infraktur/ )  5. Permission.co.id, Definition and Complete Guide to Intellectual Property Rights, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-dalam/ )  6. Nafebra, Andika Carsya.  “IPR (Intellectual Property Rights) in Information and Communication Technology.”  osf.  Io (2018).  7. Novita Ayuningtias, Motherboard Functions and Its Parts, IT Children Must Know, (https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/function-motherboard-dan-parts-anak-it-dunia-  know#:~:text=Function%20main%20of%20motherboard%20own,system%20device%20hard%20which%20 is available.)
In today’s era of technological development, it requires a system to run a job quickly, effectively, efficiently and accurately, this is necessary because it has direct implications for the productivity of the work done.  Technology is developing rapidly, through creations, innovations, inventions of the technology itself. Developments that occur in information technology are built through a “foundation” in the form of infrastructure.    Information Technology has a basic element in the word “technology”, which according to the Big Indonesian Dictionary, Technology is a scientific method to achieve practical goals or the overall means to provide goods needed for the survival and comfort of human life.   In addition, information in the context of technology is related to information in electronic form, which is explained in Article 1 Number 1 of Law 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended in Law Number 19 of 2016 (UU ITE),  which reads:  “Article 1  1. Electronic Information is one or a set of electronic data, including but not limited to writing, sound, pictures, maps, designs, photographs, electronic data interchange (EDI), electronic mail (electronic mail), telegram, telex, telecopy or the like,  processed letters, signs, numbers, Access Codes, symbols, or perforations that have meaning or can be understood by people who are able to understand them.”   So that in conclusion the definition of Information Technology is the use of technology such as computers, electronics, and telecommunications, to process and distribute information in digital form, and when referring to Article 1 Number 3 of the ITE Law, Information Technology is defined as:    “Information Technology is a technique for collecting, preparing, storing, processing, publishing, analyzing, and/or disseminating information.  “    Apart from discussing Information Technology, Infrastructure is also important, because anything can happen if it is through development.  Infrastructure based on the Big Indonesian Dictionary is defined as infrastructure, where the definition of infrastructure in the Big Indonesian Dictionary is everything that is the main support for the implementation of a process (business, development, project, and so on).   Thus, Information Technology Infrastructure is an infrastructure or supporting thing as well as supporting the implementation of an information technology development process itself.  Information technology infrastructure is defined broadly as a set of information technology (IT) components that form the basis of IT services, usually physical components (computers and hardware and network facilities), but also various software and network components.    In computing, the information technology infrastructure consists of physical and virtual resources that support the flow, storage, processing and analysis of data.  Information technology infrastructure can be centralized in a data center (data center).  An enterprise information technology infrastructure typically refers to the components required for the existence, operation, and management of the enterprise information technology environment.  The information technology infrastructure consists of a set of physical devices and software applications required to operate the entire enterprise.  All hardware, software, networks, facilities necessary to develop, test, deliver, monitor, control or support information technology services.   The purpose of Information Technology Infrastructure management is to achieve the effectiveness of the entire information technology process, policies, data, human resources, equipment and others.  And another goal is to operate Information Technology so that it can be accessed by everyone.  Information Technology Infrastructure cannot be separated from creations, innovations and inventions from new technologies, where these things are closely related to the Intellectual Property Rights owned by the creator of the technology.   Talking about Intellectual Property (IP) we need to understand first about IP itself.  Intellectual Property or we can shorten it with IP is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.  The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:  As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with the economic value contained therein.  Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.  Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because with the recognition of Intellectual Property, it will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.  It can be used as a material for consideration in determining research and industry strategies in Indonesia.   The following are the Intellectual Property Rights contained in an Information Technology Infrastructure, namely:  1. Copyright  Article 1 Number 1 and Number 3 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, explains the definition of Copyright and Works which are objects protected by Copyright, which are:  ” Article 1  (1) Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is manifested in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.    (3) Creation is any copyrighted work in the fields of science, art, and literature which is produced on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill, or expertise which is expressed in a tangible form.”  Thus, Copyright is granted to a work that is produced and expressed in a tangible form based on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill or expertise.   For example, information technology infrastructure can work when using a computer, where a computer cannot be separated from software (software) to apply the intent and purpose of using the computer, the software itself is a set of commands written by a programming language that is understood.  by the computer so that the software is able to instruct certain commands to be carried out by the computer.  Examples of the software itself such as Windows, Microsoft, Antivirus, Internet Explorer.   Creating software is not an easy job because a lot of rules and intellectual abilities are required from a systems analyst (system analyst) and programming.  Therefore, with the enactment of the Copyright Act, the work of a systems analyst and programming can be protected.   One of the copyright violations against information technology infrastructure can be in the form of using the technology without the permission of the creator, piracy, procurement, or hacking that often occurs in the daily application of information technology.    Article 8 jo.  Article 9 jo.  Article 113 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights regulates the violation of the author’s economic rights in relation to the infringed copyright, which reads:  “Article 8”    Economic rights are the exclusive rights of the Author or Copyright Holder to obtain economic benefits from the Works.    Article 9    (1) The Creator or Copyright Holder as referred to in Article 8 has economic rights to:  a.  publication of Works;  b.  Reproduction of Works in all its forms;  c.  translation of Works;  d.  adapting, arranging, or transforming the Works;  e.  distribution of Works or copies thereof;  f.  performances of Creation;  g.  Announcement of Works;  h.  Creative Communications;  and  i.  rental of Works.    (2) Everyone exercising economic rights as referred to in paragraph (1) is required to obtain permission from the Author or Copyright Holder.  (3)  (3) Any person without permission from the Author or Copyright Holder is prohibited from Reproduction and/or Commercial Use of Works.  Article 113  1. Any person who unlawfully violates the economic rights as referred to in Article 9 paragraph (1) letter i for Commercial Use shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year and/or a maximum fine of Rp. 100,000,000 (one hundred  million rupiah).  2. Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter c, letter d, letter f, and/or letter h for Commercial Use  shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).  3. Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use  shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).  4. Any person who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) committed in the form of piracy, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and/or a maximum fine of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah).”   In addition to copyright infringement related to economic rights, hacking is also one of the violations related to accessing information technology without the permission of the creator or owner, which is regulated in Article 30 jo.  Article 46 of the ITE Law, which reads:    “Article 30”  (1) Any person intentionally and without rights or against the law Accessing Computers and/or Electronic Systems belonging to other Persons in any way.  (2) Any person intentionally and without rights or against the law accesses a Computer and/or Electronic System with the aim of obtaining Electronic Information and/or Electronic Documents.  (3) Any person intentionally and without rights or against the law accessing a Computer and/or Electronic System in any way violates, breaks through, exceeds or breaks the security system.    Article 46  (1) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 6 (six) years and/or a maximum fine of Rp. 600,000,000.00 (six hundred million rupiah).  (2) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (2) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 7 (seven) years and/or a maximum fine of Rp. 700,000,000.00 (seven hundred million rupiah). (3) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (3) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 8 (eight) years and/or a maximum fine of Rp. 800,000,000.00 (eight hundred million rupiahs).”   2. Patents  In addition to Copyright, Patent Rights are also one of the Intellectual Property Rights that must be protected in Information Technology Infrastructure, especially Patents are closely related to an invention of a technology, where the definition of Patent according to Article 1 Number 1 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents (  Patent Law), which reads: “Patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.”   Like Copyright, there are economic benefits granted to the patent holder, and there are actions that are prohibited against other than the patent holder such as making profits for themselves without the permission of the patent holder, which in full is explained in Article 160 of the Patent Law along with the sanctions imposed.  regulated in Article 161 and Article 162 of the Patent Law, which reads as follows:  “Article 160”    Any person without the approval of the patent holder is prohibited:  a.  in the case of a product-Patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the patented product;  and/or  b.  in the case of Process-Patent: using a production process that is granted a Patent to manufacture goods or other actions as referred to in letter a.    Article 161    Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).    Article 162    Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”   3. Integrated Circuit Layout Design (DTLST)  There are 2 things that are incorporated in DTLST, namely Layout Design and Integrated Circuit, this is explained through Article 1 Number 1 and Article 1 Number 3 of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits (UU DTLST), which reads:  ” Article 1  1. Integrated Circuit is a product in finished or semi-finished form, in which there are various elements and at least one of these elements is an active element, which are partially or wholly interconnected and formed in an integrated manner in a semiconductor material intended to  generate electronic functions.  2. Layout Design is a creation in the form of a three-dimensional laying design of various elements, at least one of these elements is an active element, as well as part or all of the interconnections in an Integrated Circuit and the three-dimensional placement is intended to prepare for the manufacture of an Integrated Circuit.”   So it can be concluded that the Integrated Circuit Layout Design is a creation in the form of a three-dimensional laying design of various elements, at least one of these elements is an active element, as well as some or all of the interconnections in an integrated circuit and the three-dimensional placement is intended to prepare the circuit.  integrated.    Furthermore, regarding the Right to Layout Design for Integrated Circuits, the definition of which is explained in Article 1 Point 6 of the DTLST Law, which reads:  “The Right to Layout Design of an Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer of his creation, to carry out his own creation for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise that right.”   In contrast to the discussion on Copyright which relates to Software, DTLST is closely related to the hardware components needed in information technology infrastructure, such as the main board or motherboard that functions as a center for connecting devices to other devices, or as an integral part of the device system.  available hardware, where if the motherboard designer wants to apply for the protection of his work, a DTLST rights application can be submitted.   There are two exclusive rights owned by the holder of layout design rights and integrated circuits, namely:  • The right to implement the own design;  • The right to prohibit other parties without their consent from making, using, importing, exporting, and distributing goods related to this matter.    Infringement of DTLST Rights basically has the same criteria as other Intellectual Property Rights, namely related to licensing to the DTLST designer, this is regulated in Article 8 paragraph (1) jo.  Article 42 paragraph (1) of the DTLST Law, which reads:  “Article 8”  (1) The right holder has the exclusive right to exercise his Right to Layout Design of an Integrated Circuit and to prohibit other people without his consent from making, using, selling, importing, exporting and/or distributing goods in which all or part of the Design has been  granted the Right to Layout Design of Integrated Circuit.  Article 42  (1) Anyone who intentionally and without rights commits any of the acts as referred to in Article 8 shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 300,000,000.00 (three hundred million rupiahs).”   Thus, it can be seen that the protection of Intellectual Property Rights in Information Technology Infrastructure is guaranteed both through the ITE Law and the Law governing each Intellectual Property Rights.  This is enforced because the Government knows the importance of Intellectual Property Rights, especially in the field of Information Technology Infrastructure and Information Technology itself.    The importance of respecting the creativity of others, in this case respecting the intellectual property owned by someone on the information technology infrastructure, can be realized by:  • Using the original software or by purchasing a license number.  • Do not duplicate, hijack or copy without the permission of the company or owner  • Do not use for criminal acts or crimes  • Do not modify (change), reduce or add to the work without the permission of the company or owner.  Moreover, the presence of information technology which continues to grow rapidly through infrastructure development from information technology itself has the aim of solving problems, opening up creativity, increasing effectiveness and efficiency in doing work.  Thus, Intellectual Property Aspects related to Information Technology Infrastructure must be protected through legal protection, and there is the application of sanctions, both imprisonment, criminal fines for violating Intellectual Property Rights is one of the acts that fall into the category of crime.
0

The Use of Intellectual Property as Guarantees

Author: Nirma Afianita; Co-author: Ananta Mahatyanto

Jaminan (Guarantee)

Jaminan, yang  berasal dari Bahasa Belanda, zekerheid atau cautie, merupakan suatu barang, harta, atau benda yang diberikan oleh debitur kepada kreditur dalam pengajuan suatu pinjaman. Selain itu, dalam perbankan, jaminan disebut juga sebagai agunan.

Walaupun konsep hukum tentang jaminan tidak ada dalam undang-undang, namun KUH Perdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum. Dinyatakan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, menurut Pasal 1131 KUH Perdata “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” berdasarkan pasal ini, seluruh harta benda seseorang otomatis menjadi jaminan atas utang.

Barang-barang tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadap mereka, menurut Pasal 1132 KUH Perdata, dan hasil penjualan barang tersebut dibagi sesuai dengan rasio hutang masing-masing, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.

Perjanjian jaminan harus didasari dengan perjanjian sementara atau perjanjian pokok. Karenanya, pengaturan jaminan adalah kesepakatan (accessoire), tambahan, atau lanjutan. Karena tidak ada yang dapat menjamin hutang jika tidak berwujud, perjanjian jaminan akan diselesaikan setelah perjanjian pokok diselesaikan.

Jaminan dibagi menjadi 2 yaitu umum dan khusus.

  1. Jaminan Umum

Sesuai Pasal 1131 KUHPerdata (“KUHPer”), semua barang yang dimiliki oleh pehutang, baik yang bergerak atau tidak bergerak, saat ini atau yang akan datang, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Inilah yang disebut sebagai Jaminan umum.

  • Jaminan Khusus

Ada pasal-pasal dalam hukum jaminan yang mengatur barang-barang yang dijadikan agunan hutang, atau yang dikenal sebagai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah jaminan dengan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditor jika debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditor di masa mendatang.

            Berikut adalah jenis-jenis jaminan kebendaan.

  1. Gadai

Barang yang digadaikan adalah barang bergerak yang terdiri dari barang berwujud dan tidak berwujud, seperti perhiasan dan hak untuk mendapat uang (surat piutang). Jika debitur tidak dapat melunasi pinjaman, kreditur dapat memiliki barang yang digadaikan.

Menurut Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, eksekusi barang gadai dapat dilakukan dalam salah satu dari dua bentuk yakni eksekusi langsung atau eksekusi berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya.

  • Fidusia

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan, selama benda yang dialihkan hak kepemilikannya tersebut tetap berada di bawah kendali pemilik benda. Fidusia diatur oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999. Benda fidusia mencakup benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, seperti bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Collateral, which comes from the Dutch language, zekerheid or cautie, is an item, property, or object given by the debtor to the creditor in the application of a loan.

Although the legal concept of guarantees does not exist in law, the Civil Code contains rules governing guarantees in general. Article 1131 of the Civil Code states that “All movable and immovable property belonging to the debtor, both existing and future, shall become collateral for the debtor’s individual engagements”. Based on this article, all of one’s property automatically becomes collateral for the debt.

 These goods become mutual guarantees for all creditors against them, according to Article 1132 of the Civil Code, and the proceeds from the sale of these goods are divided according to their respective debt ratios, unless there is a valid reason to prioritize them.

The guarantee agreement must be based on a provisional agreement or a principal agreement.  Accordingly, the guarantee arrangement is an accessoire, additional, or continuation.  Since no one can guarantee the debt if it is intangible, the guarantee agreement will be finalized after the principal agreement is completed.

 Guarantees are divided into 2, namely general and specific.

 1. General Guarantee

 In accordance with Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”), all goods owned by the debtor, whether movable or immovable, currently or in the future, are dependent on all individual engagements.  This is known as general guarantee.

 2. Special Guarantee

 There are articles in the security law that regulate goods that are used as collateral for debt, or what is known as material security.  Material collateral is a guarantee with an object in the form of movable or immovable property which is intended to guarantee the debtor’s debt to the creditor if the debtor is unable to pay his debts to the creditor in the future.

 Here are the types of material guarantees.

 a.  Pawn

 Pawned goods are movable goods consisting of tangible and intangible goods, such as jewelry and the right to receive money (receipts).  If the debtor is unable to repay the loan, the creditor can have the goods pawned.

 According to Articles 1155 and 1156 of the Civil Code, the execution of pawned goods can be carried out in one of two forms, namely direct execution or execution based on a previous court decision.

 b.  Fiduciary

 Fiduciary is the transfer of ownership rights to an object on the basis of trust, as long as the object whose ownership rights are transferred remains under the control of the owner of the object.  Fiduciary is regulated by Fiduciary Guarantee Law No.  42 of 1999.

 Fiduciary objects include movable or immovable objects, both tangible and intangible, such as buildings that are not encumbered with mortgage rights as referred to in Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights​

Kekayaan Intelektual (Intellectual Property)

Kekayaan Intelektual (KI) adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia.

Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain :

  • Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
  • Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.
  • Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.
  • Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia

Pada dasarnya, Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomis, sehingga Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai  Kekayaan Intelektual sebagai agunan atau jaminan ini diatur berdasarkan bentuknya, antara lain:

  • Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dimana hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan gadai maupun fidusia, berdasarkan jenis karya cipta yang dimiliki (material/tangible dan immaterial/intangible)

Berdasarkan perspektif hukum jaminan, karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Contoh, jika kita memiliki karya cipta material/ tangible berupa lukisan maka kita dapat menjaminkan lukisan tersebut melalui skema Gadai atau Fidusia. Sedangkan karya cipta yang bersifat immaterial/ intangible (contoh: film, musik, buku) hanya bisa dijaminkan melalui skema Fidusia. UU Hak Cipta terbaru (UU No. 28 Tahun 2014) hanya mengatur penjaminan Hak Cipta melalui skema Fidusia, sehingga diperlukan revisi UU tersebut agar penjaminan Hak Cipta juga bisa dilakukan melalui skema Gadai.

Mengacu Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa :

“ Pasal 16

  • Hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “

Pada dasarnya Hak Cipta dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia melalui pendaftaran jaminan fidusia dan pembuatan akta fidusia terhadap hak cipta yang dijadikan sebagai objek jaminan, dimana hal mengenai tata cara pendaftaran dan pembuatan akta tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Proses permohonan hak cipta yang didaftarkan sebagai objek jaminan fidusia ini diajukan oleh penerima fidusia, sebelumnya melalui proses penilaian hak cipta tersebut yang ingin dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, setelah itu permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan akan memperoleh bukti pendaftaran, setelah memperoleh bukti pendaftaran maka penerima fidusia harus melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dan setelah melakukan pembayaran baru Pendaftaran Jaminan Fidusia dicatatakan.

Jaminan Fidusia tersebut lahir bersamaan dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatatkan, dan akan mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang ditandatangani oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

  • Hak atas Merek

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dinyatakan bahwa:

“ Pasal 41

  • Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena:
  • pewarisan;
  • wasiat;
  • wakaf;
  • hibah;
  • perjanjian;
  • sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. “

Secara normatif, dapat dikatakan bahwa hak atas merek tersebut, baik merek dagang maupun merek jasa dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia melalui perjanjian seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, sehingga apabila dalam klausula perjanjian mengatur tentang pengalihan ataupun menjadikan hak atas merek sebagai jaminan fidusia (melalui permohonan), maka hal tersebut dapat dilakukan.

  • Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.

Paten dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, dimana dijelaskan bahwa:

“ Pasal 108

  • Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai syarat dan tata cara hak atas Paten sebagai objek jaminan fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam hal pendaftaran hak atas paten sebagai objek jaminan fidusia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

  • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dijelaskan bahwa:

            “ Pasal 23

  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan:
  • pewarisan;
  • hibah;
  • wasiat;
  • perjanjian tertulis; atau
  • sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.”

Apabila pada perjanjian tertulis terdapat klausula terkait penjaminan produk DTLST  sebagai objek jaminan fidusia, dan disepakati oleh kedua belah pihak, maka Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang setelah itu melakukan permohonan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu menjadi Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai 2 (dua bentuk) objek jaminan, yakni jaminan gadai dan fidusia. Terkait dengan karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Sehingga, melalui skema gadai dapat disimpulkan harus disertakan dengan hasil ciptaan dan sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dimana dalam skema gadai tersebut tidak wajib menggunakan akta notaris sebab objek jaminannya berada pada tangan kreditor.

Berbeda halnya dengan, jaminan fidusia yang memerlukan akta notaris dan harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum dan Ham. Pengaturan fidusia lebih ketat dibandingkan dengan gadai, sebab objek jaminan fidusia berada di tangan debitor dengan status hak pakai.

Dalam hal objek jaminan berupa kekayaan intelektual dalam skema gadai, maka apabila pihak-pihak tersebut akan mengikuti pihak-pihak dalam skema gadai, yakni pemberi gadai dan penerima gadai, pengaturan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana secara garis besar hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemberi dan Penerima gadai adalah sebagai berikut:

 Intellectual Property (IP) is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.

 The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:

  • As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with economic value contained therein.
  • Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.
  • Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because the recognition of Intellectual Property will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.
  • Can be used as material for consideration to determine research and industry strategies in Indonesia

Basically, Intellectual Property has economic value, so Intellectual Property can be used as collateral or guarantee.

 The provisions governing Intellectual Property as collateral or guarantee are regulated based on their form, among others:

  • Copyright

 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.

 Where copyright can be used as an object of pledge or fiduciary collateral, based on the type of copyrighted work owned (material/tangible and immaterial/intangible)

 Based on the perspective of guarantee law, copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible) can be bound by Pledge and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  For example, if we have a tangible/material copyrighted work in the form of a painting, then we can guarantee the painting through a Pawn or Fiduciary scheme.  Meanwhile, copyrighted works that are immaterial/intangible (eg films, music, books) can only be guaranteed through a fiduciary scheme.  The latest Copyright Law (Law No. 28 of 2014) only regulates Copyright guarantees through the Fiduciary scheme, so it is necessary to revise the Law so that Copyright guarantees can also be carried out through the Pawn scheme.

 Referring to Article 16 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright it is explained that:

 “Article 16”

 (3) Copyright can be used as an object of fiduciary guarantee.

 (4) Provisions regarding Copyrights as objects of fiduciary guarantees as referred to in paragraph (3) are implemented in accordance with the provisions of laws and regulations.  “

Basically, Copyrights can be used as objects of fiduciary guarantees through registration of fiduciary guarantees and the making of fiduciary deeds of copyrights which are used as objects of guarantees, where matters regarding the procedures for registration and making the deed are regulated in Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Guarantees.  Fiduciary and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

 The process of applying for a copyright that is registered as an object of fiduciary security is submitted by a fiduciary recipient, before going through the process of assessing the copyright that wants to be used as an object of fiduciary security, after that an application for registration of a fiduciary guarantee that has met the conditions will obtain proof of registration, after obtaining proof of registration  then the fiduciary recipient must pay the registration fee for the fiduciary guarantee and after making a new payment the registration of the fiduciary guarantee is recorded.

 The Fiduciary Guarantee is born at the same time as the date the Fiduciary Guarantee is registered, and will get a Fiduciary Guarantee Certificate signed by the Official at the Fiduciary Registration Office.

  • Trademark Rights

 Right to a Mark is an exclusive right granted by the state to the owner of a registered Mark for a certain period of time by using the Mark himself or giving permission to other parties to use it.

 Based on Article 41 paragraph (1) of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, it is stated that:

 “Article 41”

 (1) Rights to registered Marks may be transferred or transferred because:

 a.  inheritance;

 b.  will;

 c.  waqf;

 d.  grant;

 e.  agreement;

 f.  other reasons justified by legislation.  “

 Normatively, it can be said that the rights to the mark, both trademarks and service marks can be used as objects of fiduciary guarantees through agreements as described in Article 41 letter e of Law Number 20 of 2016, so that if the clause of the agreement regulates the transfer or make the right to the mark as a fiduciary guarantee (through an application), then this can be done.

  • Patent

 A patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.

 Patents can be used as fiduciary guarantees as regulated in Article 108 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents, where it is explained that:

 “Article 108

 (1) Patent rights may be used as objects of fiduciary security.

 (2) Provisions regarding the terms and procedures for the right to a Patent as an object of fiduciary security shall be regulated by a Government Regulation.”

 In the case of registration of patent rights as objects of fiduciary security, it refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantees and Fees for Making Fiduciary Guarantee Deeds.

  • Integrated Circuit Layout Design (DTLST)

 The right to Layout Design for Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer for his creation, to carry it out himself for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise the right.

 ​Based on Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits, it is explained that:

 “Article 23

 (1) Right to Layout Design of Integrated Circuit can be transferred or transferred by:

 a.  inheritance;

 b.  grant;

 c.  will;

 d.  written agreement;  or

 e.  other reasons justified by legislation.

If in the written agreement there is a clause related to guaranteeing DTLST products as objects of fiduciary guarantees, and it is agreed by both parties, then the Right to Layout Design of Integrated Circuits can be used as Objects of Fiduciary Guarantees referring to Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000  concerning Layout Design of Integrated Circuit, after which the application for registration of Right to Layout Design of Integrated Circuit as Object of Fiduciary Security refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantee and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

Thus, it can be concluded that Intellectual Property can be used as 2 (two) forms of collateral objects, namely pledges and fiduciary guarantees.  In relation to copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible), they can be bound by Pawn and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  So, through the pawn scheme, it can be concluded that it must be accompanied by the creation and copyright certificate (as the main collateral), where in the pawn scheme it is not required to use a notary deed because the object of the guarantee is in the hands of the creditor.

Unlike the case with fiduciary guarantees, which require a notarial deed and must be registered with the Fiduciary Registration Office at the Ministry of Law and Human Rights.  Fiduciary arrangements are stricter than pawning, because the object of the fiduciary guarantee is in the hands of the debtor with usufructuary status.

In the case of the object of collateral in the form of intellectual property in the pawn scheme, then if the parties will follow the parties in the pawn scheme, namely the pawner and the pawn recipient, the pawn arrangement is regulated in Article 1150 to Article 1160 of the Civil Code,  In general, the rights and obligations of the Giver and Receiver of pawn are as follows:

Hak dan Kewajiban (Rights and Obligations)

Penerima Gadai

Hak :

  1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan tersebut, yaitu apabila pemberi gadai tersebut pada saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedang hasil penjualan barang jaminan tersebut diambil untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya dikembalikan pada pemberi gadai.
  2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
  3. Selama hutangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak rentetie).

Kewajiban :

  1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya.
  2. Penerima gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
  3. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan penjualan atas barang gadai.

Pemberi gadai

Hak :

  1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya.
  2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
  3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan hutang, bunga dan biaya lainnya.
  4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

Kewajiban :

  1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi hutang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai.
  2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atau barang gadai miliknya, apabila dalam jangka yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi hutangnya kepada pemegang gadai.

Pawnee

Right :

  1. The pawnee has the right to sell the pawned goods, that is, if the pawnbroker at maturity or at a specified time cannot fulfill his obligations as a debtor.  While the proceeds from the sale of the collateral are taken to pay off the debt of the pawner and the rest is returned to the pawner.
  2. The recipient of the pledge has the right to be reimbursed for the costs that have been incurred to maintain the safety of the collateral.
  3. As long as the debt has not been repaid, the pledge holder has the right to hold the collateral submitted by the pawnbroker (rentie rights).

 Obligation :

  1. The recipient of the pledge is responsible for the loss or decline in the price of the pawned item if it is all due to his negligence.
  2. The pawnee is not allowed to use the pawned goods for his own benefit.
  3. The pledge holder is obliged to notify the pawnbroker prior to the sale of the pawned goods.

The Pledger

 Right :

  1. The pawnbroker has the right to get his property back after the pawnbroker has paid off his debt.
  2. The pawnbroker has the right to claim compensation for the damage and loss of the pledged goods if it is caused by the negligence of the pawnee.
  3. The lender has the right to get the remainder from the sale of his goods after deducting the cost of paying off debt, interest and other costs.
  4. The pawnbroker has the right to ask for the goods back if the pawnbroker has clearly misused the goods.

 Obligation :

  1. The pawnbroker is obliged to pay off the debt he has received from the pawnbroker within a predetermined timeframe including interest and other fees determined by the pawnbroker.
  2. The pawnbroker is obliged to give up the sale or his/her own pawned goods, if within a predetermined period the pawner cannot pay off his debt to the pawnbroker.

Berakhirnya Hak Gadai (Expiration of Lien)

Suatu perjanjian hutang piutang pada dasarnya tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal, demikian pula dengan perjanjian gadai. Namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak lain. Hak gadai dikatakan batal apabila:

  1. Hutang piutang yang telah terjadi telah dibayarkan dan dilunasi.
  2. Barang gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai, yaitu bukan lagi menjadi hak milik pemberi gadai.
  3. Para pihak tidak lagi melaksanakan yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pemberi gadai maupun penerima gadai.
  4. Barang gadai tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun sebaliknya atas kemauan yang berpiutang.

Berkaitan dengan KI dengan objek jaminan fidusia yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, memiliki pihak yang sama dengan gadai yakni pemberi fidusia dan penerima fidusia, dimana hak dan kewajiban mereka sebagai berikut:

Penerima Fidusia

Hak:

  1. Mengawasi benda fidusia
  2. Menjual benda fidusia jika debitur wanprestasi
  3. Mengambil piutangnya dari hasil penjualan benda fidusia

Kewajiban:

  1. Melaksanakan pendaftaran akta jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia
  2. Memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia atas benda fidusia secara pinjam pakai
  3. Menyerahkan harga kelebihannya kepada pemberi fidusia dan menyerahkan kembali hak milik atas benda fidusia kepada pemberi fidusia jika piutangnya telah dilunasi oleh debitur.

Pemberi Fidusia

Hak :

  1. Menguasai benda fidusia
  2. Menerima hasil penjualan benda fidusia
  3. Menerima kembali hak milik atas benda fidusia jika telah melunasi hutangnya.

Kewajiban :

  1. Menjaga dan merawat benda fidusia agar tidak turun nilainya
  2. Melaporkan keadaan benda fidusia kepada penerima fidusia
  3. Melunasi utangnya

A debt agreement basically nothing lasts forever, meaning that the agreement can end or be canceled at any time, as well as a pawn agreement.  However, the cancellation of the lien will be very different from other rights.  A lien is said to be void if:

 a) Accounts payable that have been incurred have been paid and repaid.

 b) The pawned goods are out of the power of the pawnbroker, that is, they are no longer the property of the pawnbroker.

 c) The parties no longer carry out the rights and obligations of each party, both the pawner and the pawnee.

 d) The pawned goods are left in the power of the pawnbroker or vice versa at the will of the debtor.

With regard to KI with the object of fiduciary security which refers to Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it has the same party as the pawn, namely the fiduciary giver and fiduciary recipient, where their rights and obligations are as follows:

Fiduciary Recipient

 Right:

  1. Supervise fiduciary objects
  2. Selling fiduciary objects if the debtor defaults
  3. Taking the receivables from the sale of fiduciary objects

 Obligation:

  1. Carry out the registration of the fiduciary guarantee deed to the fiduciary registration office
  2. Giving power to the fiduciary giver over the fiduciary object on a borrowed basis
  3. Submit the excess price to the fiduciary giver and return the ownership rights to the fiduciary object to the fiduciary if the debt has been paid off by the debtor.

Fiduciary Giver:

 Right :

 1. Mastering fiduciary objects

 2. Receive the proceeds from the sale of fiduciary objects

 3. Receiving ownership rights to fiduciary objects if they have paid off their debts.

 Obligation :

 1. Maintain and care for fiduciary objects so that they do not decrease in value

 2. Reporting the condition of the fiduciary object to the fiduciary recipient

 3. Pay off the debt

Berakhirnya Hak Jaminan Fidusia (Expiration of Fiduciary Guarantee Rights)

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia berakhir karena:

  1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
  2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
  3. Musnahya benda yang menjadi objek jaminan fidusia

According to Article 25 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, Fiduciary Security ends because:

  1. Elimination of debt guaranteed by fiduciary
  2. Release of rights to fiduciary guarantees by fiduciary recipients
  3. The destruction of objects that are objects of fiduciary guarantees

Eksekusi Objek Jaminan (Guarantee Object Execution)

Terkait dengan apabila terjadinya sengketa terhadap KI yang dijadikan objek jaminan, seperti pada prosesnya penjaminan KI dapat dijadikan objek jaminan melalui 2 skema, sehingga pada proses eksekusi objek jaminan melalui 2 skema pula, yakni skema gadai dan skema fidusia.

1. Eksekusi Objek Jaminan Skema Gadai

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 2 jenis, yakni Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan. Dimana Parate Eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan. Hak eksekusi yang selalu siap dengan namanya “paraat” yang berarti hak itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan, objek hak gadai biasanya dilelang melalui pelelangan umum. Acuan pelaksanaan Parate Eksekusi mengacu pada Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Yang kedua, Penjualan Bawah Tangan, pada jaminan gadai dimungkinkan untuk melakukan penjualan bawah tangan, beranjak dari kalimat yang tertera di awal Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain” maka eksekusi barang gadainya dilakukan di hadapan umum. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tangan atas objek jaminan gadai bilmana mereka memperjanjikannya.

2. Eksekusi Objek Jaminan Skema Fidusia

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 3 jenis, yakni Titel Eksekutorial (melalui fiat pengadilan), Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan.

Terkait dengan mekanisme pertama yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana dijelaskan tentang pelaksanaan titel eksekutorial, yakni dalam sertifikat jaminan fidusia wajib dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Yang kedua, Parate Eksekusi, yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf b jo. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana apabila terjadi cidera janji/wanprestasi, maka penerima dapat melakukan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasa piutangnya dari hasil penjualan.

Yang ketiga, Penjualan Bawah Tangan, mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan bahwa penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

In the case of a dispute over IP which is used as an object of collateral, as in the process, IP guarantee can be used as a guarantee object through 2 schemes, so that in the process of executing the object of guarantee there are also 2 schemes, namely a pawn scheme and a fiduciary scheme.

 1. Execution of the Guaranteed Object of the Pawn Scheme

 The execution mechanism for collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 2 types, namely Parate Execution (without asking for court assistance) and Underhand Sales.  Where Parate Execution is an execution that can be carried out by the creditor without asking for court assistance or the process of placing a confiscation of collateral.  The right of execution which is always ready with the name “paraat” which means the right is ready in the hands of the creditor to be executed, the object of lien is usually auctioned through a public auction.  The reference for the implementation of the Execution Parate refers to Article 1155 of the Civil Code.

 Second, underhand sales, under pledged collateral it is possible to carry out underhand sales, starting from the sentence stated at the beginning of Article 1155 of the Civil Code, namely “If the promised parties do not agree otherwise” then the execution of the pawned goods is carried out  in public.  From these provisions, it can be concluded that the hand over the object of the pledge of collateral when they make an agreement.

 2. Execution of Object of Fiduciary Scheme Guarantee

 The mechanism for execution of collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 3 types, namely Executional Title (through court fiat), Execution Parate (without asking for court assistance) and Underhand Sales.

 Related to the first mechanism which refers to Article 29 paragraph (1) letter a jo.  Article 15 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security, which explains the implementation of the executive title, namely that the fiduciary guarantee certificate must include the words “For the sake of Justice Based on God Almighty” with the aim of having the same executive power as court decisions  which has obtained permanent legal force.

 The second, Parate Execution, which refers to Article 29 paragraph (1) letter b jo.  Article 15 paragraph (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, where in the event of a breach of contract/default, the recipient can sell objects that are the object of the fiduciary guarantee on the power of the fiduciary recipient himself through a public auction and take payment of his receivables from the proceeds.  sale.

 Third, underhand sales, referring to Article 29 paragraph (1) letter c of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is explained that underhand sales are carried out based on an agreement between the Giver and the Fiduciary Recipient if in this way the highest price can be obtained.  which benefits the parties.

Metode Appraisal KI (IP Appraisal Method)

Tiga metode yang berlaku umum untuk penilaian jaminan juga dapat berlaku bagi penilaian Kekayaan Intelektual dan dapat juga berlaku untuk analisis Hak Cipta. Pendekatan biaya yang kurang umum digunakan daripada pendekatan pendapatan atau pendekatan pasar. Karena hak cipta memberikan hak monopoli kepada pemilik, pendekatan biaya tidak selalu berlaku untuk analisis penilaian hak cipta. Metode tersebut yaitu:

a) Metode pendekatan biaya

Penilaian ini didasarkan pada biaya yang dikeluarkan dalam mengembangkan atau menciptakan suatu karya cipta, atau biaya untuk menciptakan atau mengembangkan produk atau layanan serupa, tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi dari karya cipta tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai suatu obyek atau bagian dari kekayaan intelektual tidak lebih besar daripada biaya untuk memproduksinya. Pendekatan biaya memang memiliki keterbatasan tertentu dalam menganalisis nilai ekonomis suatu hak cipta. Karena keterbatasan ini, pendekatan biaya sering dianggap hanya dapat memberikan patokan bagi estimasi nilai ekonomi terendah.

b) Metode Pendekatan Nilai Pasar

Metode pendekatan pasar merupakan metode dimana Hak Kekayaan Intelektual atau aset tidak berwujud dinilai dengan membandingkannya dengan penjualan baru-baru ini, transfer, dan transaksi yang melibatkan aset yang sama di pasar yang sama. Kendala dari metode pendekatan nilai pasar ini adalah kesulitan untuk menganalisa berapa nilai jual suatu karya cipta.

c) Metode Pendekatan Pendapatan

Metode pendekatan pendapatan menentukan nilai ekonomi berdasarkan pendapatan masa depan yang dapat, atau akan, dihasilkan dari kekayaan intelektual atau aset tidak berwujud. Pendekatan pendapatan bagi Hak Kekayaan intelektual merupakan metode penilaian yang digunakan secara luas; namun, hal itu dapat menjadi kompleks, karena harus memutuskan bagaimana mengukur “pendapatan”. Yang menjadi parameter dasar dari pendekatan pendapatan adalah:

  1. aliran pendapatan masa depan
  2. durasi aliran pendapatan
  3. tingkat risiko atau pengurangan yang mungkin terjadi

The three generally accepted methods for assurance assessments may also apply to Intellectual Property assessments and may also apply to Copyright analysis.  The cost approach is less commonly used than the revenue or market approach.  Because copyright grants the owner monopoly rights, the cost approach does not always apply to copyright assessment analysis.  The methods are:

 a) Cost approach method

 This assessment is based on the costs incurred in developing or creating a copyrighted work, or the costs of creating or developing a similar product or service, without considering the economic value of the copyrighted work.  This principle states that the value of an object or piece of intellectual property is not greater than the cost of producing it.  The cost approach does have certain limitations in analyzing the economic value of a copyright.  Because of these limitations, the cost approach is often considered to only provide a benchmark for the lowest estimated economic value.

 b) Market Value Approach Method

 The market approach method is a method by which Intellectual Property Rights or intangible assets are valued by comparing them with recent sales, transfers, and transactions involving the same asset in the same market.  The problem with this market value approach is that it is difficult to analyze how much the selling value of a copyrighted work is.

 c) Income Approach Method

 The income approach method determines economic value based on the future income that can, or will, be generated from intellectual property or intangible assets.  The revenue approach to Intellectual Property Rights is a widely used valuation method;  however, it can be complex, having to decide how to measure “revenues”.  The basic parameters of the revenue approach are:

 1. future income stream

 2. duration of income stream

 3. the level of risk or reduction that may occur

Valuasi KI (IP Valuation)

Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan apprasial KI tersebut ada beberapa cara untuk menghitung nya dengan menggunakan metode Discounted Future Economic Benefits atau disingkat DFEB dan Relief-from-Royalty

Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Modul 11 berjudul IP Valuation sebagai salah satu topik dalam IP Panorama yang dikeluarkan oleh WIPO menjelaskan bagaimana cara menentukan pendapatan ekonomi yaitu:

  1. Proyeksikan aliran pendapatan (atau penghematan biaya) yang dihasilkan oleh aset KI selama sisa masa manfaat dari aset KI tersebut.
  2. Imbangi pendapatan/penghematan dengan biaya yang berhubungan secara langsung dengan aset KI, antara lain biaya tenaga kerja, bahan, investasi modal yang dibutuhkan, dan setiap sewa atau biaya modal lainnya.
  3. Hitung risiko untuk mengurangi jumlah pendapatan dari nilai saat ini (present value) dengan menggunakan tingkat diskonto atau tingkat kapitalisasi.

Beberapa perhitungan yang mungkin diperlukan pada metode pendapatan adalah perhitungan pendapatan kotor atau bersih (gross or net revenue), laba kotor (gross profit), pendapatan operasional bersih (net operating income), pendapatan sebelum pajak (pretax income), laba bersih (setelah pajak), arus kas operasi, arus kas bersih, pendapatan tambahan, dan penghematan biaya. Perhitungan-perhitungan tersebut merupakan bagian dari analisis finansial dalam menyusun studi kelayakan bisnis. Oleh karena itu, beberapa asumsi dalam menghitung atau melakukan analisis finansial harus dibuat, antara lain umur teknologi/paten dan tingkat diskonto.

Relief-from-Royalty Method merupakan satu mekanisme alih teknologi/paten yang banyak digunakan adalah lisensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP 20/2005) dimana KI milik Negara tidak diperkenankan dialihkan kepada pihak lain, artinya tidak dapat menggunakan mekanisme jual putus. Dalam mekanisme lisensi harus ditentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi teknologi. Metode relief-from-royalty dilakukan untuk menentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi suatu teknologi. Pembayaran royalti merupakan salah satu mekanisme bagi hasil (profit sharing). Metode yang paling umum digunakan untuk mengekspresikan royalti adalah persentase dari pendapatan (a percentage of revenue) (Heberden, 2011). Selain itu, besaran royalti juga dapat dihitung berdasarkan persentase dari keuntungan kotor, persentase dari keuntungan bersih, atau persentase dari unit penjualan. Penentuan besaran dan metode royalti umumnya bersifat negotiable antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Penentuan besaran royalti menurut Hadjiloucas (2014) dapat dilakukan berdasarkan data pasar atau hasil survei tentang royalti/lisensi sebagai pembanding (benchmarks).

Untuk menghitung nilai yang bisa diperoleh dari royalti diperlukan perhitungan nilai teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (income approach). Secara umum Reilly (2008) menjelaskan perhitungan tingkat pasar royalti menggunakan pendekatan pendapatan yang memproyeksikan nilai sekarang (present value / PV). Berdasarkan perhitungan dengan pendekatan pendapatan dapat diketahui prediksi arus kas pendapatan (revenue), keuntungan kotor, keuntungan bersih, dan nilai unit penjualan, yang selanjutnya dapat disimulasikan dan ditentukan beberapa alternatif besaran royalti dan dhitung PV-nya dengan tingkat diskonto tertentu sesuai umur teknologi atau perlindungan patennya.

When viewed from the IP appraisal approaches, there are several ways to calculate it using the Discounted Future Economic Benefits method or abbreviated as DFEB and Relief-from-Royalty.

 Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Module 11 entitled IP Valuation as one of the topics in IP Panorama issued by WIPO explains how to determine economic income, namely:

 a) Project the revenue stream (or cost savings) generated by the IP asset over the remaining useful life of the IP asset.

 b) Balance income/savings with costs directly related to IP assets, including labor costs, materials, required capital investment, and any rent or other capital costs.

 c) Calculate the risk of reducing the amount of revenue from the present value using the discount rate or capitalization rate.

 Some calculations that may be needed in the income method are the calculation of gross or net income (gross or net revenue), gross profit (gross profit), net operating income (net operating income), income before tax (pretax income), net profit (after tax).  ), operating cash flow, net cash flow, additional revenue, and cost savings.  These calculations are part of the financial analysis in compiling a business feasibility study.  Therefore, several assumptions in calculating or conducting financial analysis must be made, including the age of the technology/patent and the discount rate.

 Relief-from-Royalty Method is a technology/patent transfer mechanism that is widely used is licensing.  This is in accordance with the provisions in Government Regulation Number 20 of 2005 concerning Transfer of Intellectual Property Technology and Research and Development Results by Universities and Research and Development Institutions (PP 20/2005) wherein State-owned IP is not allowed to be transferred to other parties, meaning that it cannot be transferred to other parties.  using a sell-out mechanism.  In the licensing mechanism, the amount of royalty that will be offered to the party who will license the technology must be determined.  The relief-from-royalty method is used to determine the amount of royalty that will be offered to the party who will license a technology.  Payment of royalties is one of the mechanisms for profit sharing.  The most common method used to express royalty is a percentage of revenue (Heberden, 2011).  In addition, the amount of royalties can also be calculated based on a percentage of gross profit, a percentage of net profit, or a percentage of unit sales.  The determination of the amount and method of royalty is generally negotiable between the licensor and the licensee.  The determination of the royalty amount according to Hadjiloucas (2014) can be done based on market data or the results of a survey on royalties/licences as a comparison (benchmarks).

 To calculate the value that can be obtained from royalties, it is necessary to calculate the value of technology/patent with an income approach.  In general, Reilly (2008) explains the calculation of the market rate of royalties using an income approach that projects present value (PV).  Based on the calculation with the income approach, it can be seen that the prediction of cash flow income (revenue), gross profit, net profit, and unit sales value, which can then be simulated and determined several alternative amounts of royalties and calculated PV with a certain discount rate according to the age of technology or protection.  the patent.

1 2 3
Translate