0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

Gugatan Terhadap Restoran Dengan Sistem Waralaba Karena Kelalaian Penyedia Jasa Waralaba

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua Bernando

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
  3. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Restoran
  4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Restoran adalah Rumah Makan,[1] .” dimana restoran itu sendiri terbagi dalam beberapa jenis yaitu Fast Casual Dining, Cafe, Casual Style Dining, Fine Dining maupun Restoran Cepat Saji (Fast Food).[2] Usaha Restoran atau rumah makan ini bertujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Restoran (Permenparekraf 11/2014), yang menyatakan bahwa:

“ Usaha Restoran adalah usaha penyediaan jasa makanan dan minuman dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan dan penyajian di suatu tempat tetap yang tidak berpindah-pindah dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba”

Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Restoran

Jenis-Jenis Restoran tersebut memiliki perbedaan pada jenis hidangan, desain, serta pelayanan dengan menyesuaikan kebutuhan target atau lingkup konsumen tertentu yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan melalui penjualan makanan dan minuman serta pelayanan kepada konsumen. Sehingga, sebagai pelaku usaha yang memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba yang lebih banyak, opsi untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah membuka cabang (outlet) yang baru, dengan demikian semakin banyak cabang dari restoran tersebut maka akan semakin banyak potensi keuntungan yang akan didapat. Hal ini dalam prakteknya sering diaplikasikan pada jenis Restoran Cepat Saji (Fast Food) dan Fast Casual Dining terkait dengan pelayanan yang cepat dan dengan harga yang relatif terjangkau.

Pembukaan cabang baru dari Restoran dapat dilakukan oleh pihak pemilik restoran, baik secara langsung oleh pemilik restoran tersebut maupun melalui sistem waralaba (franchise) dimana dalam sistem waralaba tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (selanjutnya disebut sebagai PP 42/2007), yang menyebutkan bahwa:

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba

Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Di dalam pengertian waralaba tersebut menjelaskan bahwa pemanfaatan dan/atau penggunaan oleh pihak lain terkait waralaba didasari oleh Perjanjian Waralaba, dimana di dalam perjanjian tersebut terdapat 2 pihak yakni Pihak Pemberi Waralaba (Franchisor) dan Pihak Penerima Waralab (Franchisee). Adapun kriteria yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan waralaba diatur dalam Pasal 3 PP 42/2007, yaitu:

“Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha;
  2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;
  3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
  4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
  5. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
  6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar”

[Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba]

Selain pemenuhan kriteria waralaba, terdapat pengaturan mengenai klausula-klausula yang paling sedikit harus dimuat dalam Perjanjian Waralaba, hal ini dimuat di dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (selanjutnya disebut Permendag 71/2019), yakni:

  1. Nama dan alamat para pihak
  2. Jenis Hak Kekayaan Intelektual yang diwaralabakan
  3. Kegiatan usaha
  4. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu hak dan kewajiban yang meliputi: Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan – hak untuk menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan; dan kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan; Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan – hak untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba; dan kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang diberikan Pemberi Waralaba.
  5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan oleh Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.
  6. Wilayah usaha
  7. Jangka Waktu Perjanjian Waralaba
  8. Tata cara pembayaran imbalan
  9. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris
  10. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan forum penyelesaian sengketa, dengan menggunakan pilihan hukum Indonesia.
  11. Tata cara perpanjangan dan pengakhiran Perjanjian Waralaba
  12. Jaminan dari Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan sesuai dengan isi Perjanjian Waralaba hingga jangka waktu Perjanjian Waralaba berakhir.
  13. Jumlah gerai/tempat usaha yang akan dikelola oleh Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan dalam jangka waktu Perjanjian Waralaba

[Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Waralaba]

Dalam klausula ke- 4 huruf a angka 2 yang telah dijelaskan dalam Lampiran II Permendag 71/2019 diatas sejalan dengan Pasal 8 PP 42/2007 yang mengatur tentang kewajiban pembinaan oleh Franchisor kepada Franchisee, yang berbunyi:

“Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan”

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Franchisor mempunyai kewajiban untuk memberikan pembinaan kepada franchisee mengenai SOP (Standard Operation Procedure)  atau dukungan yang berkesinambungan, dimana mengacu pada Penjelasan Pasal 3 huruf e PP 42/2007 dijelaskan mengenai pengertian “dukungan yang berkesinambungan” yang artinya adalah dukungan yang diberikan secara terus menerus, salah satu hal teknis yang masuk ke dalam bentuk dukungan tersebut adalah Quality Control.

Hubungan kausalitas tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, yang berbunyi:

Pasal 24

  • Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan wajib memberikan pembinaan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan.
  • Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
    • pendidikan dan pelatihan mengenai sistem manajemen pengelolaan Waralaba yang dikerjasamakan, sehingga Penerima Waralaba dapat menjalankan kegiatan usaha Waralaba dengan baik dan menguntungkan;
    • secara rutin memberikan bimbingan operasional manajemen, sehingga apabila ditemukan kesalahan operasional dapat diatasi dengan segera;
    • membantu pengembangan pasar melalui promosi, seperti melalui iklan, leaflet/ katalog/ brosur atau pameran; dan
    • penelitian dan pengembangan pasar dan produk yang dipasarkan, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan dapat diterima pasar dengan baik.” [3]

Dalam kegiatan usaha, kelalaian bisa saja terjadi terutama pada pihak restoran selaku pelaku usaha, sebagai contoh terkait dengan kualitas bahan makanan atau minuman yang disajikan kepada pihak konsumen, hal ini dapat disebabkan oleh tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak Franchisee maupun pihak Franchisor seperti yang dijelaskan pada klausula perjanjian waralaba diatas, yaitu dalam bentuk tidak diberikannya pembinaan secara berkesinambungan oleh pihak franchisor maupun tidak terpenuhinya kewajiban franchisee yang tidak menjaga standard operational procedure dalam penyelenggaraan waralaba tersebut.

Pada dasarnya, apabila terjadi kerugian terhadap konsumen yang di sebabkan oleh kelalaian tersebut,  konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha yakni pihak restoran, dimana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU PK) memberikan hak bagi konsumen untuk menuntut pihak restoran atas kerugian yang dialami terkait dengan kelalaian yang disebabkan oleh pihak restoran. Adapun hak penerimaan penggantian kerugian yang dimiliki oleh pihak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 huruf e UUPK, yang berbunyi:

“Hak Konsumen adalah”

e. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

Pasal 4 huruf e UU Nomor 8 Tahhun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sehingga, apabila Penerima Waralaba (Franchisee) melakukan kelalaian terhadap pihak konsumen yang disebabkan oleh tidak dilakukannya Pembinaan mengenai SOP (Standard Operational Procedure) serta Quality Control secara berkesinambunganyang dilakukan oleh pihak Pemberi Waralaba (Franchisor), maka selain pihak franchisee , pihak franchisor juga bertanggung jawab dalam penggantian kerugian yang dialami oleh Pihak Konsumen.

Oleh karena itu, pihak konsumen berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap kerugian yang dialami tersebut, hal ini mengacu pada hak yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal pelaku usaha merupakan pihak yang menyelenggarakan waralaba, maka selain pihak franchisee yang wajib memberikan ganti rugi, pihak franchisor jugadapat turut bertanggung jawab atas penggantian ganti rugi terhadap pihak konsumen sebagaimana perjanjian antar franchisee dan franchisor yang telah disepakati bersama dan/atau apabila tidak dilakukannya pembinaan secara rutin sebagaimana telah diatur pada Pasal 24 Permendag 71/2019.


[1] Restoran (Def.1) (n.d) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Diakses melalui https://kbbi.web.id/restoran , diakses pada tanggal 24 Januari 2022

[2] Restomart , “5 Macam Jenis Restoran Yang Harus Kalian Tahu” , (https://restomart.com/5-macam-jenis-restoran-yang-harus-kalian-tahu/ , diakses pada tanggal 24 Januari 2022)

[3] Pasal 24 Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba


REFERENSI :

  1. Restoran (Def.1) (n.d) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Diakses melalui https://kbbi.web.id/restoran , diakses pada tanggal 24 Januari 2022
  2. Restomart , “5 Macam Jenis Restoran Yang Harus Kalian Tahu” , (https://restomart.com/5-macam-jenis-restoran-yang-harus-kalian-tahu/ , diakses pada tanggal 24 Januari 2022)
0

Inventor Creation Patent in Construction Activities

Author: Rizki Haryo Kusumo; Co-Author: Ananta Mahatyanto

Dalam proyek konstruksi, dikenal Teknologi Konstruksi yang merupakan berbagai macam perkembangan yang ada di bidang konstruksi baik itu dari material, komponen konstruksi, dan juga metode konstruksi. Teknologi Konstruksi memiliki peran penting dalam dunia proyek konstruksi, yaitu agar tercapainya target proyek konstruksi dengan waktu dan biaya yang minimal, dan mutu yang maksimal. Teknologi Konstruksi itu sendiri adalah produk dari arsitektur yang merupakan Inventor dalam proyek konstruksi tersebut dimana dapat dipatenkan oleh arsitektur konstruksi dengan melihat ketentuan-ketentuan tentang paten itu sendiri.

Paten

Sebelumnya, perlu dipahami apa itu paten. Paten diatur Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UUP) disebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 butir 2 UUP). Inventor adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi (Pasal 1 butir 3). Rumusan di atas dapat menjelaskan bahwa paten merupakan hasil kreativitas seseorang dalam bidang teknologi. Istilah invensi seseorang dalam bidang teknologi, selain membawa dampak pengembangan dalam ilmu pengetahuan juga ada nilai ekonomisnya.

Ruang lingkup paten dan sederhana (Pasal 2 UUP). Maksud dari paten dan sederhana, dijabarkan dalam Pasal 107 UU cipta kerja perubahan terhadap pasal 3 UUP sebagai berikut:

  1. Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
  2. Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
  3.  Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. produk sederhana;
    2. proses sederhana; atau
    3. metode sederhana.

Pada Pasal 10 UUP disebutkan yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau jika invensi ditemukan secara bersama maka disebut para inventor, dan yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. Pada Pasal 24 UUP disebutkan paten diberikan atas dasar permohonan. Namun perlu diperhatikan, bahwa tidak setiap invensi dapat diberikan Paten. Pasal 9 UUP bahwa Paten tidak diberikan untuk invensi tentang:

  1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  3. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
  4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.

Berdasarkan ketentuan di atas, paten tidak begitu saja diberikan, melainkan inventor harus mengajukan permohonan kepada negara. Jika suatu invensi hendak diajukan ke Kantor Paten, agar permohonan atau tepatnya pendaftaran dikabulkan, harus memenuhi syarat-syarat sesuai pasal 3 ayat 1 UUP yaitu berikut:

  1. Invensi itu harus baru (Novelty)
  2. Mengandung langkah inventif (Inventive step)
  3. Dapat diterapkan dalam industri (Industrial applicability)

Apabila segala persyaratan yang ditentukan sudah dipenuhi, maka kepada pihak yang melakukan pendaftaran paten akan diberikan hak eksklusif. Hak eksklusif tersebut adalah hak kepada pemegang paten untuk merealisasikan penemuan barunya, baik dalam bentuk suatu produk atau mempergunakan suatu proses tertentu. Hak eksklusif yang diberikan paten adalah bersifat teknis, tetapi dampak dari hak eksklusif tersebut merupakan permasalahan hukum.

Masalah tersebut berkaitan dengan apa yang di dalam hukum paten disebut sebagai non obviousness, yaitu disamping persyaratan tentang barunya suatu penemuan (novelty), sebelum paten diberikan ingin diketahui terlebih dahulu, apakah penemuan baru tersebut sudah cukup canggih di dalam bidang bersangkutan sehingga kepada penemu dapat diberikan hak eksklusif selama berlakunya paten bersangkutan. Sebagai upaya untuk membantu mengadakan evaluasi dari diberikan atau tidaknya paten untuk penemuan, hukum paten mengembangkan teori subtest of invention.

Perlindungan Karya Arsitektur

Karya arsitektur mengandung bagian-bagian Kekayaan Intelektual yang dapat dilindungi hukum. Adapun Kekayaan Intelektual yang terkait yaitu Hak Cipta, Desain Industri dan Paten. Hak Cipta karena karya arsitektur merupakan ide dan gagasan yang berasal dari pemikiran (intelektual) seorang arsitek yang mempunyai unsur seni, teknologi, nilai guna. Desain Industri karena karya arsitektur mengandung unsur pola, kesan estetis, dan dapat diproduksi dalam bentuk produk industri secara masal. Paten karena karya arsitektur merupakan invensi yang dihasilkan oleh inventor di bidang teknologi yang memenuhi tiga syarat, yaitu novelty, inventive step dan industrial applicability.

Dalam perlindungan hasil karya arsitektur, apabila disambungkan oleh paten, sistem perlindungan yang diterapkan adalah konstitutif, yaitu setiap hak kekayaan intelektual wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang yang dibuktikan dengan Sertifikat Pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum dan menimbulkan kepastian hukum. Sistem konstitutif dianut oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten.

Secara teoritis, sebenarnya tidak ada masalah apabila hasil invensi tersebut tidak didaftarkan inventor, karena inventor tersebut tetap dapat memiliki hasil invensinya. Inventor berhak menggunakan dan mempertahankannya. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang yuridis, tidak ada perlindungan hukum terhadap inventor tersebut dan tidak ada jaminan hukum bahwa orang lain tidak akan ikut serta menggunakannya. Apabila invensi tersebut digunakan oleh orang lain, maka bagi inventor akan sulit membuktikan kebenaran haknya.

Klausul Kepemilikan Paten Yang Belum Didaftarkan Dalam Kontrak

Dalam pembahasan kontrak pastinya mengacu kepada Kitab Undang-Undang perdata. Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak.

Kontrak memiliki beberapa syarat sah yang harus di penuhi. Syarat sah tersebut di atur pada pasal 1320 KUHper, ada 4 syarat yaitu:

  1. Kecakapan para pihak
  2. Kesepakatan antara pihak
  3. Adanya suatu hal atau objek tertentu
  4. Suatu sebab yang halal ( tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum )

Dalam pembuatan kontrak tersebut ada asa yang dinamakan asas kepatutan dimana di atur pada pasal 1339 KUHper yang berbunyi:

            “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas       dinyatakan       di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat   perjanjian,       diharuskan oleh (1) kepatutan, (2) kebiasaan, (3) undang-undang.”

Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan dan keadilan menurut undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini Inventor melakukan perjanjian kontrak bersama pihak kedua. Dalam kontrak tersebut adanya klausul tentang kepemilikan hak atas objek paten yang dimana merupakan ciptaan inventor. Hal tersebut di perbolehkan dengan adanya kebebasan berkontrak namun perlu di lihat kembali apakah ciptaan inventor tersebut telah didaftarkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten. Apabila ciptaan inventor tersebut belum didaftarkan maka tidak bisa dikatan dalam kontrak tersebut bahwa objek ciptaan merupakan milik inventor.

Hal tersebut dapat dilihat nya bedasarkan dari 1339 KUHper yang dimana pembuatan kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan undang-undang yang berlaku. Terhadap hal tersebut mengacu kepada UU 13/2016 tentang paten. Karena ciptaan tersebut belum didaftarkan oleh inventor maka untuk ciptaan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat umum.

Mitigasi Penyalahgunaan atau Pelanggaran Hak Paten

Menurut Edmon Makarim, langkah untuk mencegah timbulnya sengketa penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten adalah semua pihak yang berkepentingan dapat secara aktif atau memiliki sumber daya untuk memantau informasi dan mencermati publikasi paten yang bisa menimbulkan resiko pada masa yang akan datang. Serta bagi Pemerintah untuk memperbaiki sistem, terkait dengan proses pemeriksaan substantif yang lebih ketat dalam menentukan kelayakan suatu invensi untuk mendapatkan perlindungan paten.

Perbaikan hal-hal tersebut akan berjalan lebih baik apabila disertai dengan pengawasan yang lebih ketat, terutama pada komunikasi antara petugas penerima paten dan pemohon paten, terkait dengan mencegah lolosnya paten yang tidak memenuhi syarat invensi.

Upaya Hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten:

Pasal 19 jo. Pasal 160 jo. Pasal 161 jo. Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten, yang menjelaskan bahwa:

“ Pasal 19″

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  • Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  • Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi perlindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.

Pasal 160

Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang:

  1. Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  2. Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 162

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Construction Technology is known for a variety of developments in the construction sector, both in terms of materials, construction components, and construction methods.  Construction technology has an important role in the world of construction projects, namely in order to achieve project targets with minimum time and cost, and with maximum quality.  Construction technology itself is a product of architecture which is an investor in the construction project and can be patented by construction architecture by looking at the provisions of the patent itself.

 Patent

 First, it is necessary to understand what a patent is.  Patents are regulated in Law Number 13 of 2016 concerning Patents (UUP) it is stated that patents are exclusive rights granted by the State to inventors for their inventions in the field of technology, which for a certain period of time carry out the invention themselves or give approval to other parties to carry it out.

 The invention is an inventor’s idea that is poured into a specific problem-solving activity in the field of technology, it can be in the form of a product or process or product or process improvement and development (Article 1 point 2 of the UUP).  An inventor is a person or several people who jointly implement ideas that are poured into activities that produce inventions (Article 1 point 3).  The above formula can explain that patents are the result of someone’s creativity in the field of technology.  The term someone’s invention in the field of technology, in addition to having an impact on the development of science, also has economic value.

The scope of the patent and simple (Article 2 UUP).  The meaning of patent and simple is described in Article 107 of the Copyright Act, amendments to Article 3 of the UUP as follows:

 1. The patent as referred to in Article 2 letter a is granted for an invention that is new, contains inventive steps, and can be applied in industry.

 2. A simple patent as referred to in Article 2 letter b is granted for every new invention, development of an existing product, or process that has practical uses, and can be applied in industry.

 3. Development of existing products or processes as referred to in paragraph (2) includes:

a. simple product;

b. simple process;  or

c. Simple method.

 Article 10 of the UUUP states that those who are entitled to a patent are inventors or if the inventions are found together, they are called inventors, and those who further receive the rights of the investor concerned.  Article 24 of the UUUP states that patents are granted on the basis of an application.  However, it should be noted that not every invention can be granted a patent.  Article 9 UUUP that Patents are not granted for inventions concerning:

 a.  Process or product whose announcement and use or implementation is contrary to applicable laws and regulations, religious morality, public order, or decency;

 b.  Methods of examination, treatment, treatment, and/or surgery applied to humans and/or animals;

 c.  Theories and methods in the fields of science and mathematics;  or

 d.  all living things, except micro-organisms;

 e.  biological processes that are essential for the production of plants or animals, except for non-biological processes or microbiological processes.

 Based on the above provisions, patents are not simply granted, but the inventor must submit an application to the state.  If an invention is to be submitted to the Patent Office, in order for the application or to be precise the registration to be granted, it must meet the requirements in accordance with Article 3 paragraph 1 of the UUP, namely the following:

 1. The invention must be new (Novelty)

 2. Contains inventive steps

 3. Can be applied in the industry (Industrial applicability)

 If all the specified requirements have been met, then the party who registers the patent will be granted exclusive rights.  The exclusive right is the right of the patent holder to realize his new invention, either in the form of a product or using a certain process.  The exclusive rights granted by patents are technical in nature, but the impact of these exclusive rights is a legal matter.

 This problem is related to what is referred to in patent law as non-obviousness, namely in addition to the requirements regarding the newness of an invention (novelty), before the patent is granted, it is necessary to know in advance whether the new invention is sophisticated enough in the relevant field so that the inventor can be given it.  exclusive rights during the validity of the relevant patent.  In an effort to help conduct an evaluation of whether or not a patent is granted for an invention, patent law develops the theory of the subtest of invention.

 Architectural Protection

 Architectural works contain IP parts that can be protected by law.  The related Intellectual Property are Copyrights, Industrial Designs and Patents.  Copyright because architectural works are ideas and ideas that come from the (intellectual) thoughts of an architect who have elements of art, technology, use value.  Industrial Design because architectural works contain elements of patterns, aesthetic impressions, and can be mass produced in the form of industrial products.  Patents because architectural works are inventions produced by inventors in the field of technology meet three requirements, namely novelty, inventive step and industrial applicability.

 In the protection of architectural works, if connected by a patent, the protection system applied is constitutive, i.e. every intellectual property right must be registered.  Registration that meets the requirements of the law is an acknowledgment and justification of a person’s intellectual property rights as evidenced by a Registration Certificate so as to obtain legal protection and create legal certainty.  The constitutive system is adopted by Law Number 13 of 2016 concerning Patents.

 Theoretically, there is actually no problem if the invention is not registered by the inventor, because the inventor can still own the invention.  Inventor has the right to use and maintain it.  However, from a juridical point of view, there is no legal protection for the inventor and there is no legal guarantee that other people will not participate in using it.  If the invention is used by other people, it will be difficult for the inventor to prove the truth of his rights.

 Unregistered Patent Ownership Clause in the Contract

 In the discussion of the contract, of course, it refers to the Civil Code.  According to the translation of the Black’s Law Dictionary, the definition of a contract is an agreement between two or more people that creates an obligation to do or not to do something specific.  Based on the Civil Code (KUHPer), a contract creates an agreement between the parties who bind themselves.  So that from this contract an engagement was born in which the parties who bind themselves have their respective obligations as specified in the contract.

 The contract has several legal conditions that must be met.  The legal requirements are regulated in Article 1320 of the Criminal Code, there are 4 conditions, namely:

 1. Skills of the parties

 2. Agreement between parties

 3. There is a certain thing or object

 4. A lawful cause (not contrary to applicable law, decency and public order)

 In making the contract there is a principle called the principle of propriety which is regulated in Article 1339 of the Criminal Code which reads:

 “An agreement is not only binding for things that are expressly stated in it, but also for everything which according to the nature of the agreement, is required by (1) propriety, (2) custom, (3) law  .”

 Based on this, it can be concluded that the contract must be made with due regard to propriety and fairness according to the applicable law.

 In this case the Inventor enters into a contract agreement with the second party.  In the contract there is a clause regarding the ownership of rights to the patent object which is the inventor’s creation.  This is allowed with the freedom of contract but it is necessary to review whether the inventor’s creation has been registered in accordance with Law Number 13 of 2016 concerning Patents.  If the inventor’s creation has not been registered, it cannot be stated in the contract that the object of creation is the property of the inventor.

 This can be seen based on the 1339 KUHper in which the making of a contract must be made with due regard to the appropriateness of the applicable law.  This refers to Law 13/2016 on patents.  Because the work has not been registered by the inventor, the creation can be used by the general public.

 Mitigation of Patent Abuse or Infringement

 According to Edmon Makarim, the step to prevent disputes over misuse or infringement of patent rights is that all interested parties can actively or have resources to monitor information and observe patent publications that may pose risks in the future.  As well as for the Government to improve the system, related to a more stringent substantive examination process in determining the feasibility of an invention to obtain patent protection.

 Improvements in these matters will run better if accompanied by stricter supervision, especially on communication between patent recipients and patent applicants, related to preventing the passage of patents that do not meet the invention requirements.

Legal remedies that can be taken in the event of misuse or infringement of patent rights as regulated in Law Number 3 of 2016 concerning Patents:

Article 19 jo.  Article 160 jo.  Article 161 jo.  Article 162 of Law Number 3 of 2016 concerning Patents, which explains that:

 “Article 19”

 (1) A Patent Holder has the exclusive right to exercise his/her patent and to prohibit other parties who without his/her consent:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 (2) The prohibition on using a production process that is granted a Patent as referred to in paragraph (1) letter b applies only to imports of products that are solely produced from the use of a process that is protected by a Patent.

 (3) In the case of educational, research, experimental, or analytical purposes, the prohibitions as referred to in paragraphs (1) and (2) may be excluded as long as they do not harm the legitimate interests of the Patent Holder and are not commercial in nature.

 Article 160

 Any person without the approval of the Patent Holder is prohibited from:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 Article 161

 Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).

 Article 162

 Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”

0

Pengambilalihan Bank Terhadap Bisnis Konsumer bank

Author: Alfredo Joshua Bernando

  Akuisisi merupakan hal yang lazim dilakukan baik oleh Bank maupun oleh Perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan jasa keuangan pada berbagai sektor, terlebih pada Bisnis Konsumer yang dijalankan oleh Bank Konsumer atau Retail Banking, di mana Bank Konsumer adalah jenis bank yang layanannya ditujukan kepada publik, bukan kepada perusahaan ataupun pihak bank lain, yang biasanya disebut sebagai bank komersial, sehingga terhadap Bank yang melakukan bisnis konsumer sering terjadi pengambilalihan atau akuisisi oleh Pihak Bank lain.

Akuisisi merupakan bagian dari aksi korporasi / tindakan korporasi (Corporate Action), di mana aksi korporasi merupakan sebuah langkah atau tindakan yang diambil oleh perusahaan terbuka yang memiliki dampak langsung terhadap kepemilikan saham investor (pemegang saham). Akuisisi juga dikenal sebagai pengambilalihan, aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan membeli sebagian besar atau seluruh saham dari perusahaan lainnya untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tersebut.

Pada Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan menjelaskan bahwa Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank. [1] Dalam hal bentuk hukum Bank Umum berupa Perseroan Terbatas, maka proses akuisisi akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan tentang definisi Pengambilalihan, yang berbunyi:

“ Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. “ [2]

Ketentuan Hukum mengenai Akuisisi atau Pengambilalihan terhadap Perseroan terbatas, diatur secara spesifik dalam Pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana Pada Pasal 125 ayat (1) UU a quo dijelaskan bahwa:

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perusahaan melalui direksi perusahaan atau langsung dari pemegang saham.[3]

          Terkait dengan peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),[4] maka Peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank telah diterbitkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum (yang selanjutnya disebut POJK 41/2019).

Secara khusus, POJK  mendefinisikan akuisisi / pengambilalihan sebagai berikut:

“  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut .”[5]

Akuisisi, sebagaimana merger dan konsolidasi, integrasi dan konversi dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan.[6] Jika hal tersebut terjadi, maka bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menerima izin dari Otoritas Jasa Keuangan.[7] Dan dalam pelaksanaannya, bank pelaksana harus memperhatikan kepentingan bank, masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Akuisisi Bank dilaksanakan melalui cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan/atau akan dikeluarkan oleh Bank, yang karena pengambilalihan tersebut menyebabkan beralihnya pengendalian bank kepada akuisitor.[9] Akuisisi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 PP 28/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuisitor harus memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank, rakyat banyak, dan persaingan sehat. Sebagaimana diketahui, akuisisi menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan, dan karena itu terdapat perubahan kebijakan yang terjadi di dalam bank sebagai akibat dari perubahan kepemilikan tersebut. Perubahan kebijakan tersebut tentunya sangat jelas berdampak bagi pihak yang terkait, yakni kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank dan nasabah.

Secara prinsip, kreditor tidak dapat terkena dampak negatif dari akuisisi pada bank yang diambil alih. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 POJK 41/2019 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan keberatan kepada bank paling lambat 14 hari setelah pengumuman ringkasan rancangan  mengenai akuisisi, dan jika tidak ada keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui akusisi. Jika ada keberatan, maka keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian, dan selama belum ada penyelesaian yang tercapai maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.[10]

POJK 41/2019 memberikan hak khusus kepada pemegang saham minoritas apabila tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai akuisisi[11], Perlindungan hukum terhadap pemegang saham adalah dengan memberikan hak kepada pemegang saham untuk dapat meminta sahamnya dibeli Bank dengan harga wajar[12]. Hal ini juga disebutkan dalam perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam UUPT[13], dan secara khusus dalam UU PT dijelaskan bahwa jika melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan, perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[14]

Karyawan bank merupakan pihak yang selanjutnya terkena dampak dari akuisisi. Pada dasarnya, karena akuisisi sejatinya merupakan pengambilalihan kepemilikan, maka akuisisi tidak mengubah status karyawan. Status karyawan akan berubah apabila pemilik yang baru melakukan restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan, yang mana hal tersebut dapat saja merubah status, hak dan kewajiban dari perusahaan maupun karyawan. Oleh karena itu, Dalam Pasal 26 huruf b Angka 7 POJK 41/2019 dijelaskan mengenai restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan terkait dengan cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah, dan karyawan Bank yang akan diambil alih merupakan bagian dari syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan atau akuisisi.[15]

Bank pada dasarnya merupakan badan usaha yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[16], maka bank dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga tunduk kepada ketentuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UU PK). Sebagai pelaku usaha, bank memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 7 UU PK dan ketentuan yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam UU PK.[17] Oleh karena itu, perubahan kepemilikan bank tidak dapat menyangkal adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bank sebagai pelaku usaha, sehingga siapapun pemilik dari bank tersebut harus melaksanakan kewajiban dan ketentuan lain bagi pelaku usaha sebagaimana termuat dalam UU PK.

          Akuisisi atau pengambilalihan pada dasarnya harus dilakukan melalui Persetujuan RUPS, akibat hukum yang ditimbulkan terkait dengan aksi korporasi yang dilakukan tersebut adalah beralihnya pengendalian terhadap Bank tersebut, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan serta diperhatikan terkait dengan kepentingan Bank, Masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[1] Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan

[2] Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[5] Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[6] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum            

[7] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[8] Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[9] Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[10] Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[11] Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[13] Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[14] Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[15] Pasal 26 huruf b Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[16] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


0

1 DAY TRAINING CLASS: TRADEMARK

Sabtu, 26 Februari 2022

Pelajari tujuan merek dagang, proses pendaftarannya, tujuannya dalam bisnis, dan perselisihan yang mungkin timbul darinya

Kontak: +62 877 7776 1447 (Afina)

Registrasi

Link: https://bit.ly/AfiaandcoTrademarkClass

Tanggal pendaftaran: 14 Januari 2022 – 24 Februari 2022

Biaya pendaftaran kelas & modul:

BCA 2940950832 a/n Aprilia Purwanto

Umum: IDR 1,250,000
Mahasiswa: IDR 650,000

Rundown

(09:00 – 10.30) Ananta Mahatyanto, S.H – Attorney at Afia & Co Attorneys

  • Pelajari tujuan merek dagang
  • Proses pendaftarannya
  • Tujuannya dalam bisnis
  • Perselisihan yang mungkin timbul darinya

(10:30 – 12:00) Raden Ayumas Zisni, S.H – Asisten Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Biokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

  • Pencegahan penolakan merek
  • Lisensi & izin terkait merek
  • Branding merek

(13:00 – 14:30) Rizki Haryo Kusumo, S.H – Partner at Afia & Co Attorneys

  • Merek dalam bisnis
  • Agreement, Kerjasama & Investment merek

(14:30 – 16:00) Nirma Afianita, S.H., CTL – Managing Partner at Afia & Co Attorneys

  • Perselisihan merek
  • Penyelesaian sengketa merek

1 20 21 22 23 24
Translate