0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

Nominee Arrangement Related to Indonesian Regulations

Author: Ananta Mahatyanto

Legal Basis:

  1. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation
  2. Presidential Regulation (Perpres) No. 10 of 2021
  3. Presidential Regulation No.49 of 2021
  4. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  5. Law No. 25 of 2007 concerning Investment

Nominee   adalah    sebuah   perjanjian innominaat, yang mana perjanjian Innominaat adalah perjanjian yang tumbuh dan   berkembang   di   dalam   praktek   dan belum dikenal saat KUH perdata diundangkan     Di     Indonesia.     Nominee adalah     satu     contoh     dari     perjanjian Innominaat.  Praktek  nominee  saham   ini timbul   di   Indonesia   karena   faktor regulasi dan juga faktor lainnya yaitu   alasan   yang   bersifat   pribadi   dari pihak beneficiary itu sendiri, merupakan  rahasia  maupun kepentingan  pribadi dari pihak beneficiary itu sendiri. 

 
Pembatasan kepmilikan Saham

  kepemilikan    saham dalam   perseroan   juga   sering   dilakukan dalam  bentuk nominee (orang  atau  badan hukum     yang     dipinjam     dan     dipakai namanya   sebagai  pemegang  saham  oleh Beneficiary),  biasanya  karena Beneficiary mempunyai  keinginan  untuk  memperoleh saham   melebihi   pembatasan   pemilikan saham     di Indonesia.     Terlebih lagi Beneficiary dalam  hal  ini  juga  melingkupi investor   asing   dimana   dalam   regulasi pembatasan pemilikan saham juga mengatur   pembatasan   pemilikan   saham yang    boleh    dimiliki     investor    asing. Regulasi  pembatasan  diatur dalam Peraturan  Presiden  No.  10  Tahun  2021 Tentang Daftar bidang usaha  yang tertutup dan  bidang  usaha   yang  terbuka  dengan persyaratan di bidang penanaman modal.

Hubungan  Pembatasan  kepemilikan saham di Indonesia dengan nominee

Dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang kini sudah diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal itu menyebut bahwa investasi sektor riil di Indonesia terbagi atas tiga golongan, yaitu:

1. Bidang usaha terbuka
2. Bidang usaha terbuka dengan persyaratan
3. Bidang usaha tertutup, yang kemudian dicatat dalam daftar negatif investasi

Dalam   pengertiannya   sesuai   dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021, Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha yang tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2OO7 tentang Penanaman Modai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Sebagaimana yang di maksud dengan daftar negative investasi meliputi 6 sektor menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021 yaitu;

  1. Budi daya atau industri narkoba
  2. Segala bentuk perjudian
  3. Penangkapan spesies ikan yang tercantum di dalam appendiks I the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)
  4. Pengambilan atau pemanfaatan koral dari alam
  5. Industri senjata kimia
  6. Industri kimia perusak ozon.

Dan penambahan pada Peraturan Presiden nomor 49 tahun 2021 yaitu

  1. Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol
  2. Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur
  3. Industri Minuman Mengandung Malt

Melihat    pasal 7   Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun  2021  sangat   jelas   membatasi kepemilikan  saham  bagi  pemegang  saham asing tetapi untuk  tetap  dapat  berusaha untuk dapat memegang saham lebih dari yang ditentukan  oleh  peraturan   yang  berlaku, biasanya  para  pemegang  saham  asing  ini menggunakan  pihak  ketiga/nominee  yang berupa   individu/badan   hukum   Indonesia untuk   menjadi   pemegang   saham   dalam salah satu bidang perusahaan tersebut.  Jika  pemegang  saham  asing  tersebut menggunakan  nama  atau  meminjam  nama individu/badan  hukum  Indonesia  tentunya pembatasan tersebut menjadi tidak masalah   karena   nama   dari   pihak   asing tersebut  tidak  diketahui,  dan  akhirnya  bisa memiliki  saham  lebih  dari  apa  yang  sudah diatur  Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021.  Dapat   dikatakan   faktor   utama   yang melatar  belakangi  timbulnya  praktek  dari nominee  saham  itu  sendiri  adalah  regulasi pembatasan kepemilikan saham ini.

Ketentuan nominee dalam Perundang-undangan di Indonesia

Konsep    nominee    dalam    beberapa transaksi bisnis antara lain dalam kepemilikan saham (nominee Shareholder) oleh  pihak  asing,  kepemilikan  tanah  oleh warga  negara  asing  (WNA)  dengan  status hak  milik di  Indonesia,  serta  penunjukan seseorang  untuk  menjabat  sebagai  direktur dari  perusahaan  /  direktur nominee.  Pihak asing   yang   menunjuk   pihak   Indonesia sebagai nominee bertujuan untuk mengatasi   pembatasan-pembatasan   yang ditetapkan    oleh    pemerintah    Indonesia dalam   hal   kepemilikan   saham   ataupun asset  oleh  warga  Negara  asing. Nominee secara garis besar bertujuan agar kepemilikan saham oleh pihak asing, nama dan  identitas  dari  pihak Beneficiary tidak diketahui oleh umum dan pemerintah.  Hal ini sangatlah merugikan   dan mempunyai   dampak   negatif   dari   segi perekonomian nasional.

Dalam Undang –   Undang   No.40   Tahun   2007 Tentang Perseroan Terbatas

Dapat dikaitkan dalam pasal 48  ayat (1) Undang-undang  No.40   Tahun   2007   tentang    Perseroan    Terbatas    mengatur bahwa     kepemilikan     saham    Perseroan Terbatas  atas  nama  pemiliknya.  Dengan demikian,  saham  tersebut  harus  atas  nama pemegang   saham   yang   sebenarnya,   dan tidak  bisa  nama  pemegang  saham   yang berbeda  seperti  sebagaimana  pemahaman mengenai praktek nominee ini. Pengaturan  mengenai  kepemilikan saham  oleh  lebih  dari  satu  orang  memang diperbolehkan    menurut    Undang-undang No.40   Tahun   2007   tentang   Perseroan Terbatas   (UUPT),   dimana   diatur   dalam pasal  52  ayat (5)  bahwa  beberapa  orang yang    memiliki    saham    tersebut    harus menunjuk  1  (satu)  orang   sebagai   wakil bersama. Praktek  pasal  ini  berbeda dengan  praktek nominee,  dimana  dalam pasal  ini  apabila  saham dimiliki  oleh  lebih dari satu orang, maka orang-orang tersebut tetap   harus   dicatatkan   namanya   sebagai menunjuk satu orang wakil untuk menggunakan  hak  yang  timbul  dari  saham tersebut.   Dalam   kasus   nominee  pihak Beneficiary tidak   tercatat   namanya,   dimana hanya pihak nominee saja yang tercatat.

Dalam Undang –Undang  No.25  Tahun  2007  Tentang Penanaman Modal

Pada  pasal  33 ayat (1)   dan   ayat (2)   Undang-Undang No. 25   Tahun   2007   tentang   Penanaman Modal,   dimana   diatur   dalam   ayat (1) disebutkan  bahwa  penanam  modal  dalam negeri   dan   penanam   modal   asing   yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat  perjanjian  dan  / atau  pernyataan yang    menegaskan    bahwa    kepemilikan saham  dalam  perseroan  terbatas  untuk  dan atas  nama  orang   lain.  Kemudian  dalam ayat (2)   disebutkan   bahwa   dalam   hal penanaman    modal    dalam    negeri    dan penanaman modal asing membuat perjanjian dan / atau pernyataan sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat (1),perjanjian    dan    /    atau    pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa para penanam modal yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas    dilarang    membuat    perjanjian dan/atau    pernyataan    yang    menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan    terbatas    dilarang     membuat perjanjian     dan/atau     pernyataan     yang menegaskan   bahwa   kepemilikan   saham dalam  perseroan  terbatas  untuk  dan  atas nama orang  lain.

Larangan adanya praktek nominee  pada  Undang-undang  Penanaman Modal  diperjelas  oleh  penjelasan  pasal  33 ayat (1)     Undang-undang     Penanaman Modal   yang   menyatakan   bahwa   tujuan pengaturan pasal tersebut adalah menghindari   terjadinya   perseroan   yang secara  Formil  dimiliki  seseorang,  tetapi secara  materil  pemilik  perseroan  tersebut adalah  orang  lain.  Isi  ketentuan  pasal  33 ayat (1)Undang-undang     Penanaman Modal  ini  tidak  memberikan  batasan  akan jenis   perjanjian   yang   dapat   dikenakan pasal    tersebut,    sehingga    segala    jenis perjanjian     selama     terdapat     ketentuan mengenai nominee  berupa  penegasan  akan kepemilikan     saham     dalam     perseroan terbatas  untuk  dan  atas  nama  orang  lain sehingga    pada    akhirnya    menyebabkan adanya    perbedaan    kepemilikan    saham nominee    dan    kepemilikan Beneficiary dapat  dikenakan  pasal 33 angka (1)  Undang-undang Penanaman Modal.

Konsep dan Struktur Nominee

karakteristik   yang terdapat dalam penggunaan konsep nominee adalah    terdapatnya nominee agreement antara beneficiary dan nominee. Nominee agreement merupakan suatu trust atau kepercayaan  yang   lahir dari perjanjian   dan   merupakan   suatu   bentuk perjanjian  tidak    bernama    yang    lahir  berdasarkan   asas   kebebasan   berkontrak, asas  kekuatan  mengikat  dan  itikad  baik yang   terdapat   dalam   buku  II  KUHper. Berdasarkan nominee   agreement, dapat dilihat   bahwa   unsur-unsur   atau   ciri-ciri dalam penggunaan nominee memperlihatkan terdapatnya 2 pihak, yaitu pihak yang diakui  secara hukum dan pihak yang berada di belakang pihak yang diakui secara  hukum  tersebut,  dimana  2  pihak tersebut dalam kepemilikan saham ataupun kepemilikan  tanah  melahirkan  pemisahan kepemilikan atas suatu benda yaitu pemilik yang diakui secara hukum (pihak nominee) dan  pemilik  yang  sebenarnya  atas  benda (pihak beneficiary). Setelah    terjadi    kesepakatan    antara nominee dan beneficiary, maka    akan terdapat nominee agreement yang ditandatangani oleh nominee dan beneficiary dalam    kepemilikan    saham dengan   konsep nominee akan   menjadi pihak    yang    terdaftar    sebagai    pemilik secara   hukum   dalam   perseroan   namun seluruh    keuntungan    yang    timbul    dari saham yang bersangkutan termasuk dividen  yang  dibagikan  akan  menjadi  hak dari beneficiary dan  karenanya  pemegang saham nominee hanya   bertindak   selaku kuasa dari pihak beneficiary.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, karakteristik atau ciri-ciri penggunaan konsep nominee antara lain:

  1. Terdapatnya  jenis   kepemilikan yaitu   kepemilikan   secara   hukum dan secara tidak langsung.
  2. Nama  dan  identitas nominee  akan didaftarkan   sebagai   pemilik   dari saham  di  Daftar  Pemegang  Saham perusahaan     dalam kepemilikan saham oleh nominee.
  3. Terdapat   nominee  agreement  yang wajib ditandatangani antara nominee   dan   beneficiary   sebagai landasan  dari  penggunaan  konsep nominee.
  4. Pihak nominee menerima fee dalam jumlah tertentu sebagai kompensasi penggunaan   nama   dan    identitas dirinya untuk kepentingan beneficiary.

Selain nominee   agreement terdapat beberapa    perjanjian    dan    kuasa    yang biasanya  ditandangani  oleh  pihak nominee dan  pihak beneficiary sebagai  komponen pendukung.   Perjanjian   dan   kuasa-kuasa tersebut   dibutuhkan   untuk   memberikan kepastian   ataupun   perlindungan   kepada beneficiary sebagai   pemilik   sebenarnya atas   benda   yang   dimiliki   oleh nominee secara hukum. Dalam  rangka  melaksanakan  praktek nominee saham  di  Indonesia,  tidak  dibuat perjanjian nominee saham   yang   hanya terdiri  dari  satu  perjanjian  saja,  melainkan terdiri    dari    beberapa    perjanjian    yang apabila  dihubungkan  satu  sama  lain  akan menghasilkan nominee saham  inilah  yang dapat dikatakan sebagai nominee arrangement, tetapi   biasanya Nominee Arrangement ini dapat dibuat tanpa nomiee agreement. Hal ini dapat dikatakan sebagai penyelundupan   hukum   pada   perjanjian nominee saham   dalam prakteknya   di Indonesia. Komponen pendukung    lain yang  umum  yang  dapat  ditemukan  dalam penilitian  mengenai  praktek nominee atau dapat disebut dengan nominee arrangement dalam   kepemilikan   saham adalah sebagai berikut:

  1.  Akta    Pengakuan    Hutang    (Loan agreement). Dalam  akta  ini  disebutkan  bahwa nominee  menggunakan  dana  yang disediakan  oleh beneficiary  untuk melakukan  penyetoran  atas  saham yang  akan  dimilikinya  kelak  dalam perusahaan.
  2. Perjanjian  Gadai  Saham (Pledge  of shares agreement). Setelah    perjanjian    gadai    saham ditandangani,  maka nominee  wajib menyerahkan  surat  saham    kepada beneficiary.
  3. Surat Kuasa Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ). Berdasarkan surat kuasa ini, nominee memberikan  kuasa kepada beneficiary  untuk  dapat  secara  sah menghadiri  RUPS  yang  diadakan oleh  perusahaan  serta  memberikan suaranya dalam RUPS .
  4. Surat Kuasa untuk menjual saham. Surat    kuasa    ini    mencantumkan pemberian    kuasa    dari nomineekepada beneficiary  secara  hukum berhak  untuk  menjual  saham  yang dimiliki     oleh nominee     dalam perusahaan.

Akibat hukum yang terjadi terhadap praktik saham pinjam nama (Nominee arrangement)

Dalam prakteknya, pemakaian nominee  ini  sering  dijumpai,  tidak  jarang juga  sengketa  yang  yang  diakibatkan  oleh adanya   praktek nominee   tersebut.   Hal tersebut   dapat   terjadi   juga   jika   pihak nominee tidak mau mengembalikan saham-saham     yang     telah     dimilikinya tersebut   kepada beneficiary.   Kesulitan-kesulitan  lain  yang  akan  dihadapi  adalah masalah  pembuktian   kepemilikan   saham serta   mengenai   tanggung   jawab   secara hukum kepada pihak ketiga. Secara de Jure saham nominee   tersebut   adalah   mutlak milik nominee,  sebab  nama   mereka   lah yang   akan   tercatat   dalam   buku   daftar pemegang    saham   perseroan   disamping adanya   bukti   sertifikat   saham,   namun sebaliknya  secara  de  Facto  saham  tersebut adalah     kepunyaan     pihak beneficiary.

Akibat   yang   ditimbulkan Nominee dalam Penanaman Modal

Dapat  dilihat  bahwa  Undang-undang Penanaman  Modal  telah  mengatur  secara tegas  pelarangan  praktek nominee saham pada perseroan yang berbentuk penanaman modal  dalam  negeri  maupun  penanaman modal asing. Akibat Hukum dari melanggar   ketentuan   pasal   33   ayat   (1) Undang-undang  Penanaman  Modal  diatur pada  ayat  berikutnya,  yaitu  pasal  33  ayat (2)   Undang-undang   Penanaman   Modal. Pasal     33     ayat     (2)     Undang-undang Penanaman  modal  menyatakan  bahwa  bila penanam    modal,    baik    dalam    negeri maupun asing, membuat perjanjian dan/atau    pernyataan    yang    menegaskan kepemilikan    saham    perseroan    terbatas untuk  dan  atas  nama  orang  lain  sehingga menyebabkan    adanya    perbedaan    pada kepemilikan    saham    perseroan    terbatas secara   normatif   (nominee)   dan   secara substansial  (beneficiary)  maka  perjanjian dan/atau   pernyataan   tersebut   akan   batal demi  hukum.  Dengan  demikian  bila  ada perjanjian  yang melanggar  ketentuan pasal 33  ayat  (1)  Undang-undang  Penanaman Modal maka perjanjian  tersebut akan batal demi  hukum.  Dimana  artinya,  perjanjian yang   dibuat   oleh   para   pihak   tersebut dianggap tidak pernah ada.  Akibat  hukum  yang  diatur  pada  pasal 33  angka  (2)  Undang-undang  Penanaman Modal  bahwa  suatu  perjanjian  akan  batal demi  hukum   karena   telah  terlanggarnya ketentuan   pasal   33   angka   (1)   Undang-undang    Penanaman    Modal    ini    sesuai dengan  ketentuan hukum diatur pada pasal 1320   KUHper.   Berdasarkan   pasal   1320 KUHper,   terdapat   perjanjian   Indonesia. Dimana  berdasarkan  hukum  perjanjian  di Indonesia  agar   suatu  perjanjian   menjadi sah   maka   perlu   untuk   mentaati   syarat sahnya  perjanjian,  dimana  ada  4  (empat) syarat   yang   harus   terpenuhi   agar   suatu perjanjian  menjadi  sah,  dan  salah  satunya adalah “suatu  sebab  yang  halal”.  Syarat “suatu sebab yang halal” ini mensyaratkan bahwa   isi   suatu   perjanjian   harus   tetap memperhatikan  ketentuan  selain perjanjian itu sendiri, seperti Undang-undang, kesusilaan,     kepatutan,    dan     ketertiban umum.   Menurut   subekti,   syarat  “syarat sebab  yang  halal”  ini  termasuk  dalam syarat  obyektif dari  suatu  perjanjian  dan akibat  hukum  dari  pelanggarannya  adalah perjanjian  tersebut  batal  demi  hukum.  Hal ini  sesuai  dengan   ketentuan  pasal  1335 KUHper   dimana   bila   sebuah   perjanjian dibuat  berdasarkan  sebab  yang  terlarang maka tidak memiliki  kekuatan hukum, dan hal   ini   sesuai  dengan   ketentuan  hukum perjanjian Indonesia bila perjanjian melanggar  syarat  obyektif    “sebab  yang halal”  maka  perjanjian  tersebut  akan  batal demi hukum.

Akibat Hukum Terhadap Pemegang Saham Nominee

Berdasarkan ketentuan Undang-undang  Perseroan  Terbatas diatur  dalam  pasal  48  angka  (1)  bahwa saham  perseroan  dikeluarkan  atas  nama pemiliknya yang berarti bahwa kepemilikan   saham   sepenuhnya   dimiliki oleh  pihak nominee.  Berdasarkan  hukum di  Indonesia,  hak  dan  kewajiban nominee shareholder  / atau  pihak nominee adalah hak  dan  kewajiban  selayaknya  pemegang saham   biasa,   karena   pemegang   saham nominee merupakan  pemilik  saham  yang terdaftar menurut hukum.

Akibat   Hukum   Terhadap   Pihak Beneficiary

pihak nominee diakui  sebagai pemegang   saham   yang   terdaftar,   maka pihak beneficiary tidak   diakui   sebagai pemegang   saham   milik   pihak nominee tersebut. Pihak beneficiary ini tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai pemegang saham atas saham milik nominee tersebut.

Akibat  Hukum  Terhadap  Perseroan Terbatas

Karena nominee dianggap seperti pemilik  saham  yang  sesungguhnya,  akibat hukum  dari  suatu  perseroan  terbatas  yang menggunakan  perjanjian nominee tersebut tetap  sah dan mempunyai  kekuatan hukum jika    memenuhi    syarat-syarat    normatif pendirian perseroan terbatas dan melakukan  penanaman  modal,  akan  tetapi dalam   hal   ini   perseroan   terbatas   dapat dibubarkan berdasarkan penetapan pengadilan. Pembubaran ini pada umumnya   sama   seperti   proses   perkara perdata, yaitu adanya pihak yang mengajukan   permohonan   ke   pengadilan terlebih  dahulu.  Di  dalam  Undang-undang Perseroan  terbatas  pada  pasal  146  diatur bahwa    suatu    pengadilan    negeri    dapat membubarkan    perseroan    terbatas    atas dasar:

  1. Permohonan kejaksaan berdasarkan alasan perseroan terbatas melanggar  kepentingan  umum  atau perseroan terbatas melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
  2. Permohonan pihak yang berkepentingan  berdasarkan  alasan adanya   cacat   hukum   dalam   akta pendirian;
  3. Permohonan     pemegang     saham, direksi     atau     dewan     komisaris berdasarkan alasan perseroan terbatas tidak mungkin dilanjutkan.

Berdasarkan alasan-alasan diatas bahwa pengadilan negeri dapat membubarkan   suatu   perseroan   terbatas yang  menerapkan  praktek nominee karena suatu   perseroan   terbatas   yang   terdapat praktek nominee dalam   saham   adalah perseroan terbatas yang melakukan perbuatan     melanggar     hukum.     Selain perbuatan  yang  melanggar  hukum,  suatu perseroan  terbatas  yang  terdapat  praktek nominee dalam  saham  mempunyai  cacat hukum dalam akta pendirian  karen a terjadi pelanggaran     dalam     keterangan yang memuat     keterangan     mengenai     nama pemegang  saham  yang  telah  mengambil bagian  saham,  rincian  jumlah  saham  dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan   dan   disetor   sesuai   dengan pasal  8  angka  (2)  huruf  c  Undang-undang Perseroan Terbatas.

Nominee is an innominate agreement, an agreement that grows and develops in practice and was not known when the Civil Code was enacted in Indonesia. The nominee is an example of an Innominaat agreement. The practice of nominee shares arose in Indonesia due to regulatory factors and other factors, namely personal reasons from the beneficiary itself, which are private secrets from the beneficiary itself.

Restrictions on share ownership

Share ownership in a company is also often carried out in the form of a nominee (a person or legal entity chosen and used as a shareholder by the owner) usually because the owner has a desire to own shares more than the share ownership in Indonesia.  What’s more, the Beneficiary in this case also covers foreign investors, in which the ownership of shares is also the owner of shares that foreign investors may own.  Regulations are regulated in Presidential Regulation No.10 of 2021 concerning the list of business fields that are open with conditions in the investment sector.

Relation of Restrictions on share ownership in Indonesia with nominees

In Article 12 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, amended to Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation.  The article states that real sector investment in Indonesia is divided into three groups, namely:

  1. Open business field

  2. Open business fields with conditions

  3. Closed business fields, which are then recorded in the negative investment list

In the sense that according to Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, Closed Business Fields are the Business Fields listed in Article 12 of Law Number 25 of 2OO7 concerning Capital Investment as amended by Law Number 11 of 2O2O concerning Job Creation.  As meant by the negative investment list, it covers 6 sectors according to Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, namely;

  1. Cultivation or drug industry

  2. Form of gambling

  3. Catching fish species listed in appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)

  4. Retrieval or use of coral from nature

  5. Chemical weapons industry

  6. Ozone-depleting chemical industry.

  And additions to Presidential Regulation number 49 of 2021 are:

  1. Liquor Industry Containing Alcohol

  2. Beverage Industry Containing Wine Alcohol

  3. Beverage Industry Containing Malt

  Looking at Article 7 of Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, it severely limits the share ownership of foreign shareholders who still strives to be able to hold more shares than is determined by the applicable regulations. To do so, usually, foreign shareholders use third parties/candidates in the form of Indonesian individuals / legal entities to become shareholders in one the field of the company.  If the shareholder uses the name or borrows the name of an Indonesian individual/legal entity, of course, there is no problem because the name of the foreign party is unknown, and in the end, they can own more shares than what has been regulated by Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021. It can be said that the factor behind the emergence of the practice of share nominees itself is the regulation of share ownership.

Nominee provisions in Indonesian legislation

The nominee concept in several transactions includes ownership of shares by foreign parties, ownership of land by citizens (foreigners) with property rights in Indonesia, as well as the appointment of a person’s business as director of the company/nominee director.  Foreign parties appointing Indonesian parties as nominees aim to overcome the restrictions set by the Indonesian government on ownership or assets by foreign nationals.  Candidates broadly aim to ensure that foreign ownership of shares, names, and identities of the Beneficiaries are not shared with the public and the government.  This is detrimental and has a negative impact in terms of the national economy.

Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

  It can be accessed in Article 48 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which stipulates that the ownership of shares of Limited Liability Companies is in the name of the owner.  Thus, these shares must be in the name of the actual shareholder, and cannot be named a different shareholder as the nominee’s understanding of practice is.  Regulations regarding share ownership by more than one person are indeed permitted according to Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies (UUPT), which is regulated in article 52 paragraph (5) that several people who own the shares must appoint 1 (one) person as joint representatives.  The practice of this article is different from the practice of nominees. In this article, if it is owned by more than one person, then the names of those people must still be recorded as appointing one representative to exercise the rights arising from the shares. In the case of the nomination of the Recipient party, the name is not mentioned, where only the candidate party is listed.

Law No. 25 of 2007 concerning Investment

  In article 33 paragraph (1) and paragraph (2) of Law no.  25 of 2007 on Investment, which is regulated in paragraph (1), it is stated that domestic investors and foreign investors who invest in the form of a limited liability company are prohibited from making agreements and/or statements confirming that share ownership in a limited liability company and on behalf of a person other. In paragraph (2), it is stated that in the event that domestic investment and foreign investment make an agreement and/or statement as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement are declared null and void.  In this article, it is explained that investors who invest in the form of a limited liability company are prohibited from making agreements and/or statements confirming that share ownership in a limited liability company makes an agreement and/or statement stating that share ownership in a limited liability company is for and on behalf of another person.  other.

  The prohibition on the practice of candidates in the Investment Law is clarified by the explanation of article 33 paragraph (1) of the Investment Law which states that the purpose of the regulation of this article is to avoid the occurrence of a company owned by someone, but materially the owner of the company is someone else.  The contents of the provisions of article 33 paragraph (1) of this Investment Law do not provide restrictions on the types of agreements that can be subject to that article, so that all types of agreements as long as the provisions regarding nominees are in the form of affirmation of share ownership in a limited liability company for and on behalf of other people, in the end, causing differences in the nominee’s share ownership and the Beneficiary’s ownership may be subject to Article 33 number (1) of the Investment Law.

  Nominee Concept and Structure

  The characteristic contained in the use of the nominee concept is the existence of a nominee agreement between the beneficiary and the nominee.  A nominee agreement is a trust born from an agreement, a form of an anonymous agreement, based on the principle of freedom of contract, as well as binding strength and good faith contained in book II of the Criminal Code.  Based on the nominee agreement, it can be seen that the elements or characteristics in the use of the nominee are 2 parties, namely the legally recognized party and the party behind the legally recognized party, where the 2 parties are in share ownership or land ownership.  the birth of ownership of an object, namely the legally recognized owner (the candidate) and the actual owner of the object (the recipient).  After there is an agreement between the nominee and the beneficiary, there will be a nominee agreement signed by the nominee and beneficiary in share ownership with the concept that the nominee will be the registered party as the legal owner in the company, but all profits arising from the shares concerned include dividends distributed the rights of the beneficiary and therefore becoming a nominee shareholder only acts as a proxy for the beneficiary.

  Based on the explanations above, the characteristics or characteristics of the use of the candidate concept include:

  1. There are types of ownership, namely legal ownership and indirect ownership.

  2. The name and identity of the candidate will be the owner of the shares in the Register of Shareholders of the company in the share ownership by the candidate.

  3. There is a nominee agreement that must be signed between the nominee and the beneficiary as the basis for the use of the nominee concept.

  4. Prospective parties receive a certain amount of fees as compensation for the use of their name and identity for the benefit of the beneficiary.

  In addition to the nominee agreement, there are several agreements and powers of attorney which are usually signed by the nominee and the beneficiary as a supporting component.  The agreement and the powers of attorney are needed to provide certainty or protection to the beneficiary as the actual owner of the object legally owned by the nominee.  In order to carry out the practice of prospective shareholders in Indonesia, a prospective shareholder agreement is not made which only consists of one agreement, but consists of several agreements if each other will produce prospective shareholders.  This can be made without the nominee’s consent.  This can be considered as legal smuggling of nominee share agreements in practice in Indonesia.  Other common supporting components that can be found in research on nominee practices or can be referred to as nominee arrangements in share ownership are as follows:

  1. Deed of Debt Recognition (Loan Agreement).  This deed states that the candidate uses the funds provided by the beneficiary to make a deposit for the shares to be deposited in the company.

  2. Share Pledge Agreement.  After the share pledge agreement is signed, the candidate must submit share certificates to the heirs.

  3. Power of Attorney General Meeting of Shareholders ( GMS ).  Letter Based on this power of attorney, the nominee grants power to the beneficiary to attend the GMS held by the company and cast his/her vote in the GMS.

  4. Power of attorney to sell shares.  This power of attorney is a power of attorney from the nominee to the beneficiary legally entitled to sell what the nominee owns in the company.

  Legal consequences that occur on the practice of borrowing shares (Nominee arrangement)

  In practice, using this nominee is often encountered, not infrequently disputes are caused by the practice of the nominee.  This can also happen if the appointed party does not want to return the shares that have been given to the beneficiary.  other difficulties that will be faced are the problem of proving share ownership and legal responsibility to third parties.  In de Jure nominee the shares absolutely belong to the nominees, because their names will be recorded in the company’s shareholder register in addition to proof of share certificates, but on the other hand, de facto the shares are the beneficiary parties.

  Consequences of Nominees in Investment

  It can be seen that the Investment Law has clearly regulated the prohibition of the practice of prospective shares in companies in the form of domestic investment or foreign investment.  The legal consequences of violating the provisions of article 33 paragraph (1) of the Investment Law are regulated in the next paragraph, namely article 33 paragraph (2) of the Investment Law.  Article 33 paragraph (2) of the Investment Law states that if an investor, both domestic and foreign, makes an agreement and/or statement which is declared as ownership of a limited liability company and on behalf of another person, there will be differences in the ownership of the shares of the limited liability company.  normatively (nominee) and substantially (beneficiary), the agreement and/or statement will be null and void.  Thus, if there is an agreement that violates Article 33 paragraph (1) of the Investment Law, the agreement will be null and void by law.  Where it means, the agreement made by the parties is considered never existed.  The legal consequences regulated in article 33 number (2) of the Investment Law are that an agreement will be null and void due to the violation of the provisions of article 33 number (1) of this Investment Law in accordance with the legal provisions stipulated in article 1320 of the Criminal Code.  Based on article 1320 of the Criminal Code, there is an Indonesian agreement.  Where based on contract law in Indonesia, in order for an agreement to be valid, it is necessary to comply with the conditions for the validity of the agreement, where there are 4 (four) conditions that must be met for an agreement to be valid, and one of them is “a lawful cause”.  The term “a lawful cause” requires that the contents of an agreement must still pay attention to provisions other than the agreement itself, such as law, morality, propriety, and generality.  According to subekti, the conditions for this lawful cause are included in the objective conditions of an agreement and the legal consequence of its violation is that the agreement is null and void.  This is in accordance with the provisions of Article 1335 of the Civil Code where if an agreement is made based on a prohibited cause it has no legal force, and this is in accordance with the provisions of Indonesian treaty law if the agreement violates the objective conditions then the agreement will be null and void.

  Legal Consequences for Nominee Shareholders

  Based on the provisions of the Limited Liability Company Law, it is regulated in article 48 number (1) that a limited liability company is issued in the name of the owner, which means that the ownership is wholly owned by the appointed party.  Under Indonesian law, the rights and obligations of nominee shareholders / or nominee parties are the rights and obligations of ordinary shareholders, because nominee shareholders are shareholders who are registered according to law.

  Legal Consequences on the Recipient

  the nominee party is recognized as a registered shareholder, then the entitled party is not recognized as a shareholder belonging to the nominee party.  The beneficiary of this party has no rights and obligations as a shareholder of the prospective shareholder.

Legal Consequences for Companies

  Because the candidate is considered a real shareholder, the legal consequences of a limited company using the candidate’s agreement are still valid and have legal force if they meet the normative requirements of a limited company and invest, but in this case the limited liability company can be dissolved based on a court order. This dissolution is generally the same as the civil case process, namely that there are parties who submit an application to the court first.  Article 146 of the Limited Liability Company Law provides that a district court may dissolve a limited liability company on the basis of:

  1. The prosecutor’s application is based on the reason that the limited liability company commits an act that violates the laws and regulations;

  2. An application from an interested party based on the reasons for the existence of a legal defect in the deed of establishment;

  3. The application of the shareholders, the board or the board of commissioners based on the reasons for the limited liability company cannot be continued.

Based on the reasons above, that the district court may dissolve a limited liability company that applies a candidate because a limited liability company has the practice of a candidate in a limited liability company committing an unlawful act.  In addition to violating the law, a company that has a nominee practice in the deed of establishment due to a violation in the statement containing registered shares, is limited in the number of shares and nominal shares issued and paid up in accordance with article 8 number (2) letter c of the Company Law. 


0

The Legality of using Cryptocurrency in Indonesia

Author: Fitriyani Wospakrik

Dasar Hukum

  • Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka
  • Hukum Islam

Legal basis

  • Law Number 7 of  2011 concerning Currency
  • Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
  • Regulation of the Commodity Futures Trading Regulatory Agency Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for the Implementation of Crypto Assets Physical Market on the Futures Exchange
  • Islamic Law


LEGALITAS PENGGUNAAN CRYPTOCURRENCY DI INDONESIA

Pemanfaatan teknologi saat ini sudah menjadi kebutuhan utama, dengan kemajuan teknologi muncul istilah yang disebut dengan transaksi digital dengan hanya menggunakan jaringan internet, salah satu transaksi yang menarik perhatian saat ini adalah Cryptocurrency yaitu mata uang digital yang menggunakan teknologi Blockchain

Blockchain dikembangkan dan dibuat untuk mengurangi atau menghilangkan fungsi perantara yang sering disebut orang sebagai “Middleman” yaitu pengelolanya adalah penggunanya sendiri dan bukan pihak ketiga. Blockchain tersebut akan mengatur dan mengelola data transaksi mata uang digital.

Sampai saat ini terdapat 1500 jenis mata uang Cryptocurrency, beberapa yang terkenal di masyarakat adalah ethereum, ripple, litecoin, dogecoin, mrai, dashcoin, dan yang paling terkenal dan populer saat ini adalah bitcoin.

Prinsip kerja Blockchain

1. Folder Data

Setiap pengguna menyimpan data setiap transaksi dalam folder data, folder ini berisi data-data tiap transaksi dalam bentuk kumpulan data

2. Transaksi Data

Ketika ada sebuah transaksi yang akan dilakukan. setiap pengguna dalam rantai akan mencatat dan menyimpannya sebagai record baru begitu selanjutnya jika ada transaksi kembali maka akan ditambahkan record data baru ke dalam folder setiap pengguna di perangkat masing-masing perlu diingat kembali record dilakukan tanpa adanya perantara pihak ketiga.

3. Validasi Data

Untuk memvalidasi data pada blockchain cryptocurrency maka diberlakukan sebuah fungsi hash. Fungsi data hash akan dibentuk saat transaksi dianggap valid. Hash merupakan suatu rangkaian angka dan huruf yang berfungsi untuk memverifikasi validitas informasi, akan tetapi tidak mengungkapkan informasi dari data itu sendiri.

CryptoCurrency

Cryptocurrency adalah Mata uang digital yang dibangun menggunakan teknologi blockchain. Cryptocurrency merupakan Sebutan untuk mata uang digital yang yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset. Cryptocurrency sering kali dipakai sebagai alat investasi layaknya saham dan emas, selain itu digunakan juga sebagai transaksi komersial elektronik.

Berbicara tentang Cryptocurrency maka yang paling banyak diketahui orang-orang adalah Bitcoin yang merupakan salah satu dari jenis mata uang Cryptocurrency,

Bitcoin adalah sebuah mata uang baru atau uang elektronik yang diciptakan tahun 2009 lalu oleh seseorang yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto.

Bitcoin menggunakan sebuah database yang didistribusikan dan menyebar ke node-node dari sebuah jaringan Peer to Peer ke jurnal transaksi, dan menggunakan kriptografi untuk menyediakan fungsi-fungsi keamanan dasar, seperti memastikan bahwa bitcoin-bitcoin hanya dapat dihabiskan oleh orang memilikinya, dan tidak pernah boleh dilakukan lebih dari satu kali.

Kelebihan Cryptocurrency

  • Cryptocurrency dibuat didasari kriptografi yang bersifat terdesentralisasi, tidak terpusat secara langsung atau peer to peer melalui blockchain, yaitu jauh lebih aman dari pada yang sifatnya terpusat sehingga banyak masyarakat saat ini yang menjadikan Cryptocurrency sebagai investasi yang menjanjikan
  • Sistem blockchain tidak berkemungkinan terjadi down pada server dikarenakan  seluruh  jaringan  komputer yang  aktif  merupakan  server  tersendiri.  Sehingga  jika  terjadinya kerusakan  atau  pembobolan hacker pada  server   yang   satunya, maka  hal tersebut  tidak  mengganggu  transaksi  pada  server  yang lainnya.
  • Mempercepat proses transaksi tentang kecepatan dan juga kemudahan. Cryptocurrency sengaja diciptakan sebagai solusi dari rumitnya transaksi keuangan dan perbankan konvensional. Dengan menggunakan Cryptocurrency, kita bisa melakukan transaksi dengan lebih cepat dan praktis. Misalnya untuk melakukan transfer ke rekening luar negeri, kita biasanya harus melakukan transaksi tersebut pada hari dan jam kerja. Sedangkan untuk transaksi menggunakan Cryptocurrency, kita bisa melakukannya kapan saja tanpa harus menunggu jam dan hari kerja.

Kekurangan Cryptocurrency

  • Pemilikan Cryptocurrency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak  ada otoritas  yang  bertanggung  jawab
  • Tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga Cryptocurrency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif, Nilai mata uang bisa tiba-tiba mengalami kenaikan yang drastis. Begitu juga dengan penurunan nilainya yang juga bisa terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
  • Pendanaan  terorisme dan pelanggaran hukum lainnya sehingga   dapat   mempengaruhi   kestabilan   sistem   keuangan   dan  merugikan masyarakat.

Legalitas Penggunaan Cryptocurrency  

  • Alat Pembayaran yang tidak sah merujuk pada Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Mengenai alat pembayar yang sah Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Mata Uang ditentukan bahwa “Uang adalah alat pembayaran yang sah”. UU Mata Uang juga secara tegas menentukan bahwa mata uang yang dikeluarkan oleh Indonesia adalah Rupiah sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Mata Uang.
  • Pada ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Dengan Pesatnya   perkembangan   penggunaan  Cryptocurrency  di   kalangan   masyarakat sehingga Bank  Indonesia  mengeluarkan  pernyataan  nomor  20/4/DKom, yang berisi: “Bank Indonesia menegaskan bahwa Crypto currency termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat  pembayaran  di  Indonesia.  Hal  tersebut  sesuai  dengan  ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata  uang  adalah  uang  yang  dikeluarkan  oleh  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia   dan   setiap   transaksi   yang   mempunyai   tujuan   pembayaran,   atau kewajiban  lain  yang  harus  dipenuhi  dengan  uang,  atau  transaksi  keuangan lainnya  yang  dilakukan  di  Wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib menggunakan Rupiah. Dalam pernyataan tersebut, pihak Bank Indonesia bahkan menegaskan bahwa segala risiko yang timbul atas penggunaan bitcoin dan Cryptocurrency lainnya menjadi tanggung jawab pengguna bitcoin dan Pemerintah Indonesia tidak bertanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi dan dialami oleh pengguna.
  • Perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberikan perlindungan hukum yakni pada pasal 9 yang menentukan bahwa ”setiap pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
  • Criptocureency dalam hukum Islam. Hukum Islam, lembaga fatwa Darul Ifta Al-Azhar Mesir merilis hasil kajian, Status haram itu menurut Darul Ifta muncul karena unsur gharar. Unsur gharar sendiri adalah istilah fikih yang mengindikasikan adanya keraguan, pertaruhan (spekulasi), dan ketidakjelasan yang mengarah merugikan salah satu pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan catatan terhadap Bitcoin. MUI menyebut bahwa bitcoin memiliki dua hukum, yakni mubah dan haram. Mubah berlaku jika bitcoin digunakan hanya sebagai alat tukar bagi dua pihak yang saling menerima. Sementara itu hukum haram jika bitcoin digunakan sebagai investasi.
  • Ketentuan Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Crypto. Diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi investor cryptocurrency, wujud dari perlindungan hukum untuk investor cryptocurrency semua marketplace cryptocurrency harus memenuhi seluruh syarat yang telah diatur dalam aturan Bappebti dengan mengumpulkan semua file yang diminta, mengedepankan prinsip pengelolaan usaha yang benar seperti mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi agar dapat mencegah adanya money laundering (Pencucian Uang) dan pembiayaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal”.

Apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh marketplace crypto, maka bisa diberikan sanksi pembatalan persetujuan. Dengan batalnya persetujuan tersebut, maka marketplace Asset crypto wajib mengembalikan dana ataupun menyerahkan Asset crypto milik Konsumen Asset crypto yang dikelolanya, dan dilarang menerima konsumen Asset crypto yang baru.

LEGALITY OF USING CRYPTOCURRENCY IN INDONESIA

Utilization of technology has now become a major need, with technological advances a term called transaction has emerged. Digital currency using only the internet network, one of the transactions that is attracting attention today is Cryptocurrency, which is a digital currency that uses Blockchain technology

Blockchain was developed and created to reduce or eliminate the function of intermediaries who are often referred to as “Middleman”, namely the manager is the user himself and not a third party. The blockchain will organize and manage digital currency transaction data.

Until now there are 1500 types of Cryptocurrency currencies, some of which are well known in the community are Ethereum, Ripple, Litecoin, Dogecoin, Mrai, Dashcoin, and the most famous and popular today is Bitcoin.

Blockchain working principle

1. Folder Data

Each user stores data for each transaction in a data folder, this folder contains data for each transaction in the form of data sets

2. Transaction Data

When there is a transaction to be made. Each user in the chain will record and save it as a new record so that if there is a re-transaction, a new data record will be added to the folder of each user on each device.

3. Validation Data

To validate data on the cryptocurrency blockchain, a hash function is applied. The hash data function will be created when the transaction is considered valid. Hash is a series of numbers and letters that serves to verify the validity of information, but does not reveal information from the data itself.

CryptoCurrency

Cryptocurrency is a digital currency built using blockchain technology. Cryptocurrency is a term for digital currency designed to work as a medium of exchange that uses strong cryptography to secure financial transactions, control the process of creating additional units, and verifying asset transfers. Cryptocurrency is often used as an investment tool like stocks and gold, but it is also used for electronic commercial transactions.

Talking about Cryptocurrency, what most people know is Bitcoin which is one of the types of Cryptocurrency currency,

Bitcoin is a new currency or electronic money that was created in 2009 by someone using the pseudonym Satoshi Nakamoto.

Bitcoin uses a database that is distributed and propagated to the nodes of a Peer-to-Peer network to a transaction journal and uses cryptography to provide basic security functions, such as ensuring that bitcoins can only be spent by the person who owns them, and is never allowed to spend them. done more than once.

Advantages of Cryptocurrencies

  • Cryptocurrency is made based on cryptography that is decentralized, not centralized directly or peer to peer through blockchain, which is much safer than centralized so that many people today are making Cryptocurrency a promising investment
  • The System is the blockchain not likely to be down on the server because all active computer networks are separate servers. So if there is a damage or break- hacker, on the other server, then it does not interfere with transactions on other servers.
  • Accelerate the transaction process regarding speed and convenience. The cryptocurrency was deliberately created as a solution to the complexity of conventional financial and banking transactions. By using Cryptocurrencies, we can make transactions more quickly and practically. For example, to make a transfer to a foreign account, we usually have to make the transaction on working days and hours. As for transactions using Cryptocurrencies, we can do it at any time without having to wait for hours and working days.

Disadvantages of Cryptocurrency

  • Cryptocurrency ownership is very risky and full of speculation because there is no responsible authority
  • There is no underlying asset that underlies the price of Cryptocurrency and the trading value is very volatile, Currency values ​​can suddenly experience a drastic increase. Likewise with the decline in value which can also occur quickly.
  • The financing of terrorism and other violations of the law can affect the stability of the financial system and harm the public.

The legality of the using Cryptocurrency

  • Illegal Payment Instruments refer to Law No. 7 of 2011 concerning Currency so it is prohibited to be used as a means of payment in Indonesia. Regarding legal tender. Referring to the provisions in Article 1 number 2 of the Currency Law, it is determined that “Money is a legal tender”. The Currency Law also expressly stipulates that the currency issued by Indonesia is the Rupiah as stipulated in the provisions of Article 1 point 1 of the Currency Law.
  • In the provisions of Article 21 paragraph (1) of the Currency Law, Rupiah must be used in every transaction that has the purpose of payment, settlement of other obligations that must be met with money, and/or other financial transactions conducted within the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
  • With the rapid development of the use of Cryptocurrency among the public, Bank Indonesia issued a statement number 20/4/DKom, which reads: “Bank Indonesia confirms that Cryptocurrency including bitcoin is not recognized as legal tender, so it is prohibited to be used as a means of payment in Indonesia. This is in accordance with the provisions in Law Number 7 of 2011 concerning Currency which states that currency is money issued by the Unitary State of the Republic of Indonesia and every transaction that has the purpose of payment, or other obligations that must be met with money, or financial transactions. other activities carried out in the Territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia must use Rupiah. In the statement, Bank Indonesia even emphasized that all risks arising from the use of bitcoin and other cryptocurrencies are the responsibility of bitcoin users and the Indonesian government is not responsible for any risks that may occur and be experienced by users.
  • Protection in Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions also provides legal protection, namely in Article 9 which stipulates that “every business actor who offers products through an electronic system must provide complete and correct information relating to contract terms, manufacturers and products offered”
  • Cryptocurrencies in Islamic law. In Islamic law, the Darul Ifta Al-Azhar Egyptian fatwa institution released the results of the study, Darul Ifta said the haram status arose because of the gharar element. The element of gharar itself is a fiqh term that indicates doubt, bet (speculation), and ambiguity that leads to harming one party.

The Indonesian Ulema Council (MUI) has also issued a note against Bitcoin. MUI states that bitcoin has two laws, namely permissible and haram. Mubah applies if bitcoin is used only as a medium of exchange for two parties who accept each other. Meanwhile, the law is forbidden if bitcoin is used as an investment.

  • Terms of Operation of the Physical Market for Crypto Assets. It is regulated of the Commodity Futures Trading Regulatory Agency Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for the Implementation of Crypto Assets Physical Market on the Futures Exchange, to ensure legal certainty and protection for cryptocurrency investors, a form of legal protection for cryptocurrency investors, all cryptocurrency marketplaces must meet all conditions that have been regulated in the CoFTRA rules by collecting all requested files, prioritizing correct business management principles such as prioritizing the rights of futures exchange members to obtain open values ​​and ensuring that consumers remain protected in order to prevent money laundering and terrorism financing. and the proliferation of weapons of mass destruction”.

If there is a violation committed by the crypto marketplace, then the sanction of cancellation of approval can be given. With the cancellation of the agreement, the crypto Asset marketplace is required to return funds or submit crypto Assets belonging to the Crypto Asset Consumers it manages, and are prohibited from accepting new crypto Asset consumers.

0

Investor Activity Report (LKPM)

Author: Ananta Mahatyanto

Berdasarkan pasal 1 ayat 20 Peraturan BKPM No.5 tahun 2021 yang dimaksud dengan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) adalah laporan mengenai perkembangan realisasi Penanaman Modal dan permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara berkala.

Dalam Pasal 1 ayat 6 Perpres No. 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, disebutkan yang dimaksud dengan Penanaman Modal dalam adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat 10 Peraturan BKPM No.4 tahun 2021dan pasal 1 ayat 2 Peraturan BPKM No.5 tahun 2021 Penanam Modal dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha dalam bentuk orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha luar negeri.

Salah satu kewajiban Penanam Modal sebagaimana diatur dalamPasal 15 huruf c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah membuat LKPM dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Lebih lanjut ketentuan mengenai LKPM juga dapat dilihat pada Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021”). Dalam peraturan tersebut diatur bahwa kewajiban penyampaian LKPM berlaku untuk setiap bidang usaha dan/atau lokasi dan dilakukan secara daring melalui sistem Online Single Submission (“OSS”) dengan mengacu pada data Perizinan Berusaha, termasuk perubahan data yang tercantum dalam Sistem OSS sesuai dengan periode berjalan. Namun, perlu digaris bawahi bahwa terdapat sejumlah Pelaku Usaha yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan LKPM ini, yaitu:

  1. Pelaku usaha mikro[1]; dan
  2. Bidang usaha hulu migas, perbankan, lembaga keuangan non-bank, dan asuransi.

Periode Penyampaian

Berdasarkan Pasal 32 ayat (4) Peraturan Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021, diatur bahwaperiode Penyampaian LKPM disampaikan oleh Pelaku Usaha untuk setiap tingkat risiko secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. bagi pelaku usaha kecil[2] setiap 6 bulan dalam 1 tahun laporan; dan
  2. bagi pelaku usaha menengah[3] dan besar[4] setiap 3 bulan (triwulan).

Verifikasi dan Evaluasi

Bedasarkan Pasal 35 Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021, kegiatan pemantauan atas laporan pelaku usaha dilaksanakan oleh BKPM, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (“DPMPTSP”) provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator Kawasan Ekonomi Khusus (“KEK”), dan badan pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (“KPBPB”), sesuai kewenangannya sejak pelaku usaha mendapatkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pemantauan tersebut dilakukan melalui pengumpulan, verifikasi, dan evaluasi terhadap laporan berkala. Dalam melakukan verifikasi dan evaluasi data, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB dapat meminta penjelasan dari Pelaku Usaha atau meminta perbaikan LKPM. Jika Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan atas LKPM, Pelaku Usaha dianggap tidak menyampaikan LKPM.

Hasil verifikasi dan evaluasi data realisasi penanaman modal yang dicantumkan dalam LKPM yang telah disetujui, disimpan secara daring dalam subsistem pengawasan pada Sistem OSS. BKPM melakukan kompilasi data realisasi penanaman modal secara nasional berdasarkan data hasil pencatatan LKPM secara daring tersebut.

Hasil kompilasi disampaikan ke publik paling lambat:

  1. tanggal 30 bulan April tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan I;
  2. tanggal 31 bulan Juli tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan II;
  3. tanggal 31 bulan Oktober tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan III; dan
  4. tanggal 31 bulan Januari tahun berikutnya untuk laporan triwulan IV.

Sanksi Administratif

Dalam Pasal 47 Pe raturan BKPM No. 5 Tahun 2021 diatur bahwabagi Pelaku Usaha yang tidak menyampaikan LKPM, maka seseuai kewenangannya BKPM, DPMPTSP Provinsi, DPMPTSP Kabupaten/Kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB dapat memberikan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  3. Pencabutan Perizinan Berusaha; atau
  4. Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.

Based on article 1 paragraph 20 of the Ministry of Investment (BKPM) Regulation No. 5 of 2021, what is meant by the Investment Activity Report (LKPM) is a report on the progress of investment realization and problems faced by businessmen that must be prepared and submitted periodically.

In Article 1 paragraph 6 of Presidential Regulation No.  10 of 2021 concerning the Investment Business Sector, it is stated that what is meant by internal investment is all forms of investment activities, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the territory of the Republic of Indonesia.  As regulated in Article 1 paragraph 10 of the Ministry of Investment (BKPM) Regulation No. 4 of 2021 and Article 1 paragraph 2 of Ministry of Investment (BKPM) Regulation No. 5 of 2021 Investments can be made by Businessmen in the form of individuals, business entities, representative offices, and foreign business entities.

One of the obligations of the Investor, as regulated in Article 15 letter c of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, is to make LKPM and submit it to the Investment Coordinating Board.

Further provisions regarding Investment Activity Report (LKPM) can also be seen in Regulation of the Investment Coordinating Board Number 5 of 2021 concerning Guidelines and Procedures for Supervision of Risk-Based Business Licensing (“BKPM Regulation No. 5 of 2021”).  In the regulation, it is stipulated that The obligation to submit Investment Activity Report (LKPM) applies to each business field and/or location and is carried out online through the Online Single Submission (“OSS”) system with reference to the Business Licensing data, including changes to the data listed in the OSS System according to the current period. However, It should be underlined that there are a number of businessmen who are exempt from the obligation to submit this LKPM, namely:

  1. Micro businessmen;  and
  2. Upstream oil and gas business, banking, non-bank financial institutions, and insurance.
  3. Submission Period

Based on Article 32 paragraph (4) of Regulation of the Investment Coordinating Board Number 5 of 2021, it is regulated that the Investment Activity Report (LKPM) Submission period is submitted by Businessmen for each level of risk on a regular basis with the following provisions:

  1. for small businessmen every 6 months in 1 reporting year;  and
  2. for medium and large businessmen every 3 months (quarterly).

Verification and Evaluation

Based on Article 35 of Ministry of Investment (“BKPM”) Regulation No.  5 of 2021, monitoring activities on reports of businessmen are carried out by the Ministry of Investment (“BKPM”), the Provincial Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), district/city Investment and One Stop Services Service (“DPMPTSP”), administrators of Special Economic Zones (“KEK”), and the Free Trade Zone concession agency. and Free Port (“KPBPB”), according to their authority since the businessmen obtains a Risk-Based Business License.

The monitoring is carried out through the collection, verification, and evaluation of periodic reports. In conducting data verification and evaluation, Ministry of Investment, provincial Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), district/city Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), Special Economic Zones (“KEK”) administrators, or Free Port (“KPBPB”) concessions may request explanations from businessmen or request improvements to the Investment Activity Report (“LKPM”) .  If the Businessmen does not make improvements to the Investment Activity Report (“LKPM”), the Businessmen is considered not to have submitted the Investment Activity Report (“LKPM”).

The results of the verification and evaluation of investment realization data included in the approved Investment Activity Report (“LKPM”) are stored online in the supervision subsystem of the OSS System.  Ministry of Investment (“BKPM”) compiles data on investment realization nationally based on the data from the online recording of the Investment Activity Report (“LKPM”).

 The compilation results are submitted to the public no later than:

  1. April 30 of the year concerned for the first quarter report;
  2. the 31st of July of the year concerned for the second quarter report;
  3. the 31st of October of the year concerned for the third quarter report;  and
  4. January 31 of the following year for the fourth-quarter report.

 Administrative Sanctions

 In Article 47 of Ministry of Investment (“BKPM”) Regulation No.  5 of 2021 stipulates that for businessmen who do not submit the Investment Activity Report (“LKPM”), according to their authority, Ministry of Investment (“BKPM”), Provincial Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), Regency/Municipal Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), Special Economic Zones (“KEK”) administrators, and the Free Trade Zone concession agency. and Free Port (“KPBPB”) Concession Board can provide

 administrative sanctions in the form of:

  1. written warning;
  2. Temporary Suspension of Business Activities;
  3. Revocation of Business License;  or
  4. Revocation of Business License to Support Business Activities.

[1] Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kriteria Usaha Mikro adalah memiliki modal usaha sampai dengan maksimal Rp1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan maksimal Rp2 miliar

[2] Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kriteria Usaha Kecil adalah memiliki modal usaha lebih dari Rp. 1.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 5.000.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) serta memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 15.000.000.000,-

[3] Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kriteria Usaha Menengah adalah memiliki modal usaha lebih dari Rp. 5.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 10.000.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) serta memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp. 15.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 50.000.000.000,-

0

Cinematography Legal Protection Against Piracy on Internet Sites

Author: Fitriyani Wospakrik

Dasar Hukum

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
  • Undang-undang nomor 11 tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik

Legal Ground Basis

  • Law Number 28 of 2014 concerning Copyright.
  • Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transaction

Hak Cipta menurut Pasal 1angka1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Karya Sinematografi merupakan salah satu objek Hak Cipta. “karya sinematografi” adalah ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.

Akhir-akhir ini Di Internet banyak terjadi kegiatan mengunduh atau menonton film  dari dari Internet sebagai contoh di website, ataupun di platform sosial media seperti tiktok, Instagram, telegram dengan tidak berbayar atau secara gratis dan juga tidak memiliki izin dari pemegang hak atau bisa dikenal dengan film bajakan.

Pembajakan Film merupakan aksi pelanggaran Hak Cipta Terhadap karya Sinematografi. Pembajakan diartikan sebagaiPenggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pasal 1 angka 23 UU Hak Cipta.

Copyright according to Article 1 point 1 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is manifested in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.

Cinematographic works are one of the objects of Copyright. “cinematographic works” are creations in the form of moving images, including documentaries, advertising films, reports or story films made with a screenplay, and cartoons.

Recently on the Internet, there have been many activities to download or watch movies from the Internet, for example on websites, or on social media platforms such as TikTok, Instagram, Telegram for free and also without permission from the rights holder or can be known as pirated movies.

Film piracy is an act of copyright infringement against cinematographic works. Piracy is defined as Illegal duplicating of Works and/or Related Rights products and distribution of goods resulting from such reproductions is widely intended to obtain economic benefits. Article 1 number 23 of the Copyright Law.


Media Over The Top

Saat   ini, menonton   film   dapat   dilakukan   secara online melalui   aplikasi   yang menyediakan layanan streaming film secara legal yang dapat diakses menggunakan internet. Hal  tersebut  merupakan  salah  satu  bentuk  layanan over  the top(OTT). Contoh platform OTT yang telah secara legal membuka layanan VoD untuk menayangkan film-film Indonesia, di antaranya: Genflix, Iflix, HOOQ, VIU, Vidio, GoPlay, Netflix, dll

  • Licensing izin, lisensi berbayar yang diberikan oleh pemilik/pemegang Hak Cipta kepada penyedia layanan OTT
  • Concession konsep, konsep bagi hasil yang dilakukan antara penyedia OTT dan pemilik/pemegang Hak Cipta dengan melakukan perjanjian tersendiri
  • Advertising konsep, pemberian revenue atas Hak Cipta yang dimonetisasi lewat iklaniklan yang ditayangkan pada platform OTT

OTT membeli lisensi dari pemilik/pemegang Hak Cipta untuk menayangkan tontonan selama beberapa tahun di wilayah tertentu. sehingga mekanisme yang dilakukan bukan merupakan pelanggaran atas Hak Cipta.

Media Over The Top

Currently, watching movies can be done online through applications that provide legal movie streaming services that can be accessed using the internet. This is a form of over the top (OTT) service. Examples of platforms OTT which has been legally opened VoD service for films, Indonesia Movies, among them: Genflix, Iflix, HOOQ, VIU, Vidio, GoPlay, Netflix, etc

  • Licensing, A paid license lgranted by the owner/holder of Copyright to service providers OTT
  • Concession profit divide concept, concept of profit sharing concept carried out between the OTT provider and the owner/holder Copyright by entering into a separate agreement
  • Advertising concept of awarding revenue Providing revenue for Copyrights that are monetized  through advertisements that are displayed on the OTT platform

OTT purchased a license from the owner / holder of copyright to broadcast the spectacle for several years in a certain area. so that the mechanism carried out does not constitute a copyright infringement.


Unsur Perlindungan Terhadap Hak Cipta

Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sitem hukum yang mana terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

  • Subjek Perlindungan, orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan atau orang yang merancang ciptaan adalah produser (Pasal 34 UU hak Cipta), kecuali diperjanjikan lain pemegang hak cipta yaitu rumah produksi (Pasal 36 UU Hak Cipta)
  • Objek Perlindungan, Soundtrack film, desain grafis, buku, naskah
  • Pendaftaran perindungan, Hak cipta yang dilindungi hanya hak cipta yang sudah didaftarkan dan harus dibuktikan dengan adanya sertifikat pendaftaran
  • Jangka Waktu, 50 tahun  sejak pertama kali dilakukan pengumuman. (Pasal 58 ayat (3) UU Hak Cipta)
  • Tindakan Hukum Perlidungan, Bila terbukti telah terjadi pelanggaran hak cipta, maka orang yang melanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun secara pidana.

PERLINDUNGAN HUKUM

  • Perlindungan Preventif, merupakan tindakan pencegahan Untuk mencegah terjadinya  pelanggaran Hak Cipta.

Untuk mencegah pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait melalui sarana berbasis teknologi informasi, Pemerintah berwenang melakukan:

  1. pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait;
  2. kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; dan
  3. pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan menggunakan media apapun terhadap Ciptaan dan produk Hak Terkait di tempat pertunjukan.
  4. Perlindungan Represif, merupakan upaya penegakan hukum terhdapa pelanggaran hak cipta baik secara pidana maupun perdata
  1. Kemenkominfo dan Kementrian Hukum dan HAM memblokir situs-situs yang memuat film-film bajakan
  2. ketentuan pidana pada persoalan situs/website film bajakan di internet yaitu diatur dalam pasal 113 ayat (3) dan dalam pasal 113 ayat (4).
  3. Pemegang hak cipta, pencipta, dan/atau pemilik hak terkait dapat melakukan gugatan keperdataan ke Pengadilan Niaga jika dia merasa haknya telah dilanggar atau dirugikan oleh pihak yang melakukan perbuatan pelanggaran hak cipta diatur dalamdalam pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
  4. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Elements of Copyright Protection

Legal protection of copyright is a legal system which consists of the following elements:

  • Protection Subject, People who lead and supervise completion of the whole creation or person It is the producer who designs the creation. (Article 34 of the Copyright Law), unless agreed otherwise by the copyright holder, namely the production house (Article 36 of the Copyright Law)
  • Protection Objects, Movie soundtracks, graphic designs, books, scripts, etc
  • Registration of Protection, Copyrights are only protected by copyrights that have been registered  and must be proven by a registration certificate
  • Protection Period, 50 years since the announcement (Article 58 paragraph (3) of the Copyright Law)
  • Legal Protection Actions

The person who commit copyright infringement must be punished, both  civilly and criminally.

LEGAL PROTECTION

  • Preventive Protection is a preventive measure to prevent copyright infringement

To prevent infringement of Copyright and Related Rights through information technology-based means, the Government is authorized to:

  1. supervision of the creation and dissemination of copyright infringing content and Related Rights;
  2. cooperation and coordination with various parties, both at home and abroad in preventing the creation and dissemination of content that violates Copyright and Related Rights; and
  3. supervision of the act of recording using any media on the Works and Related Rights products in place
  • Repressive Protection: law enforcement efforts  to enforce the law against copyright infringement
  1. The Ministry of Communication and Information and the Ministry of Law and Human Rights block websites that contain pirated films
  2. Criminal provisions on the issue of pirated film sites/websites on the internet are regulated in Article 113 paragraph (3) and Article 113 paragraph (4).
  3. Copyright holders, creators, and/or related rights owners can file a civil lawsuit to the Commercial Court if he feels that his rights have been violated or harmed by the party committing the copyright infringement as regulated in article 99 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 About Copyright.
  4. Article 25 of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
1 2
Translate