0

INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS: PROTECTION AND COMMERCIALIZATION OF BUSINESS

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

REFERENSI:

  1. Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
  3. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
  4. Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual , (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Waralaba, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Komersialisasi HKI melalui Lisensi.

Kekayaan Intelektual adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR) dan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai Intellectual Eigendom.[1] Kekayaan Intelektual (KI) atau yang sering disebut “Intellectual Property” adalah Hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan-penemuan penting di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda yang tidak berwujud (Benda Immateriil) benda dalam hukum perdata dapat di klasifikasikan kedalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu ialah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat di lihat batasan benda yang terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi[2] :

“Pasal 499 KUHPerdata

Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.[3]

Rumusan lain dari pasal tersebut dapat diturunkan kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang di maksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503 KUHPerdata yaitu[4]:

“Pasal 503 KUHPerdata

Ada barang yang bertubuh (berwujud) dan ada barang yang tak bertubuh (tidak berwujud).[5]

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan kekayaan intelektual adalah terpisahnya antara haknya sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Suatu contoh dapat di kemukakan misalnya hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa kekayaan intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang di lindungi dalam kerangka kekayaan intelktual adalah Haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh Hukum Benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).[6]

Penggolongan Kekayaan Intelektual dapat digolongkan dalam dua lingkup[7]:

  1. Hak Cipta (Copy Rights)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).

Adapun dalam lingkup Hak Kekayaan Idnustri mencakup :

  1. Merek Dagang
  2. Paten
  3. Rahasia Dagang
  4. Desain Industri
  5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  6. Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap Pencipta. Dalam perkembangannya kemudian menjadi pranata hukum yang di kenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19. Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).[8]

TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs adalah tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO. Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs.[9]

Pengaturan Paten terhadap Material Biologis:

                Di Australia, gen manusia dan proses biologis dilarang untuk dijadikan objek paten. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Paten tersebut menyatakan bahwa

bahan biologis termasuk komponen dan turunannya, baik diisolasi atau dimurnikan atau tidak dan bagaimanapun dibuat, yang identic atau secara substansial indentik dengan bahan seperti yang ada di alam”

bukan merupakan bentuk penemuan yang dapat dipatenkan. Kemudian di ayat (3) disebutkan bahwa

tanaman dan hewan, dan proses biologis untuk menghasilkan tumbuhan dan hewan juga dikecualikan untuk dilindungi paten”.

Namun menurut Pasal 18 ayat (4) pengecualian tidak berlaku jika invensi tersebut merupakan proses mikrobiologis atau produk dari proses tersebut. Selanjutnya, di Pasal 18 ayat (5) mendefinisikan “material biologis” adalah DNA, RNA, protein, cell, cairan, namun tidak mendeskripsikan kata “komponen dan turunannya” dan “identik substansial”.[10] Sementara di Indonesia sendiri pengaturan terkait paten terhadap mikrobiologi dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disebutkan,

invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi: (d) makhluk hidup, kecuali jasad renik; (e) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis”

                Lain halnya di Malaysia, paten dapat diberikan terhadap invensi baru, memiliki langkah inventif, dapat diterapkan di industri, dan inovasi tersebut dalam bentuk produk dan proses. Sementara di Pasal 13 ayat 1(b) Undang-Undang Paten 1983 menyatakan bahwa mikroorganisme buatan manusia, proses mikrobiologis, dan produk dari proses tersebut dapat dipatenkan. Tidak ada pengaturan untuk pengecualian, namun pada pasal 3 ayat 1(a), suatu “discovery” tidak dapat dipatenkan.[11]

Terdapat Empat Teori yang menjadi landasan atas perlindungan HaKI, antara lain :

  1. Teori Hak Alami

Teori Hak Alami bersumber dari Teori hukum Alam. Penganut Teori hukum alam antara lain lain Thomas Aquinas, Jhon Locke, Hugo Grotius. Menurut Jhon Locke menyatakan bahwa: “secara alami manusia adalah agenda moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan”.[12]

  • Teori Karya

Teori karya merupakan kelanjutan dar teori hak alami. Jika pada teori hak alami titik tekannya pada kebebasan manusia bertindak dan melakukan sesuatu, pada teori karya titik tekannya pada aspek proses menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang dihasilkan. Semua orang memiliki otak, namun tidak semua orang mampu mendayagunakan fungsi otaknya (intellectual) untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Teori Motivasi yang di kemukakan oleh David Mc Clelland menyatakan bahwa :“seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi”.[13]

  • Teori Pertukaran Sosial

Penganut Teori ini antara lain George C. Hotman dan Peter Blau. Teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomi yang elementer. Orang yang menyediakan barang dan jasa tentu akan mengharapkan balasan berupa barang atau jasa yang di inginkannya. Hal yang penting dicatat, tidak semua transaksi sosial dapat di ukur secara nyata misalnya dengan uang, barang atau jasa, adakalanya justru yang lebih berharga adalah hal yang tidak nyata, seperti penghormatan dan persahabatan.[14]

  • Teori Fungsional

Penganut teori ini antara lain Talcot Parsons dan Robert K. Merton. Kajian Teori fungsional atau fungsionalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa seluruh struktur sosial atau yang diprioritaskan mengarah kepada suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang sudah ada di jelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang penting dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Para fungsionalis berusaha menunjukkan suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang vital untuk menjelaskan eksistensi pola tersebut, obyek kajiannya adalah masyarakat.[15]


[1] Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956, hlm. 87.

[2] H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hal. 34

[3] Pasal 499 KUHPerdata

[4] Ibid., 35

[5] Pasal 503 KUHPerdata

[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, hal 134.

[7] Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004), hal. 11-12.

[8] Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 7.

[9] Ibid., hlm. 25

[10] Sharifa Sayma Rahman, Patens and Genetic Engineering Technologies : A Review of Judicial Decisions, IIUM Law Journal, no.29(2), 2021, hal 150-151

[11] Ibid, hal 152

[12] Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 49

[13] Ibid., hlm. 50

[14] Ibid.,

[15] Ibid., hlm. 51

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 28 of 2014 of Copyrights
  2. Civil Code

REFERENCE :

  1. Sophar Maru Hutagalung, Copyright Position and Its Role in Development, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspects of Intellectual Property Rights Law
  3. Munir Fuady, Introduction to Business Law
  4. Pipin Syarifin, Intellectual Property Rights Regulations in Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Protection of Intellectual Property Rights in ASEAN Countries, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Getting to know Intellectual Property Rights, Copyrights, Patents, Brands and their ins and outs, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Commercialization of Intellectual Assets, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Indonesian Intellectual Property Rights Law, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Franchise, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Commercialization of intellectual property rights through licensing.

Intellectual Property Rights is the official translation of Intellectual Property Rights (IPR) and in Dutch is referred to as Intellectual Eigendom. Property Rights (PR) or often called “Intellectual Property” is a right related to wealth arising or born because of human intellectual abilities in the form of important discoveries in the fields of technology, science, art, and literature. Intellectual Property Rights are part of intangible objects (Immaterial Objects) objects in civil law can be classified into various categories, one of which is the grouping of objects into the classification of tangible objects and intangible objects. For this, you can see the limits of objects contained in article 499 of the Civil Code which reads :

“Article 499 of the Civil Code

According to the Law, goods are every object and every right that can be the object of property rights

Another formulation of the article can be derived from sentences, namely: what can be the object of property rights is an object and the object consists of goods and rights. The goods referred to by Article 499 of the Civil Code are material objects (stoffelijk voorwerp), while rights are immaterial objects. This description is in line with the classification of objects based on Article 503 of the Civil Code, namely :

“Article 503 of the Civil Code

Some items are bodied (tangible) and there are goods that are not diligent (intangible).

A further consequence of the limitation of intellectual property rights is the separation between that intellectual property rights and the material results that become their incarnation. An example can be put forward as copyright in the field of cinematographic work (in the form of intellectual property rights) and material results that become the form of film. So what is protected within the framework of intellectual property rights is the Right is not the incarnation of the right. The incarnation of this right is protected by the Law of Objects in the category of material objects (tangible objects).

Classification of Intellectual Property Rights can be classified in two scopes:

  1. Copyright (Copy Rights)

Based on Article 1 paragraph (1) of Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. That Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after work is realized in real form without prejudice to restrictions following the provisions of laws and regulations.

  • Industrial Property Rights.

The scope of Industri’s Wealth Rights includes:

  1. Trademark
  2. Patents
  3. Trade Secrets
  4. Industrial Design
  5. Integrated Circuit Layout Design (Layout Design Topographics of Integration Circuits)
  6. Plant Variety Protection

The legal protection of IPR is in principle a reflection of the Creator. In its development later became a legal institution known as Intellectual Property Rights (IPR). The attention of the state to establish cooperation on the issue of IPR has been in place since the late 19th century. These agreements quantitatively largely govern the protection of Industrial Property Rights and others govern copyright. The organization that handles this is WIPO (World Intellectual Property Organization).

TRIPs are only a part of the entire WTO-regulated trading system, and Indonesia’s membership of the WTO implies that Indonesia is automatically linked to TRIPs it is impossible to simply become a participant of TRIPs without being a member of the WTO. The rights and obligations of TRIPs only arise when a country is a member of the WTO. On the contrary, it is impossible to become a member of the WTO without being a participant in TRIPs.

Patent Regulations Regarding Biological Materials :

In Australia, the Australian Patent Act 1990 expressly prohibits human genes and biological processes from standard patents. Section 18(2) of the  Patents  Act  1990 states 

“biological  materials  including  their components  and  derivatives,  whether  isolated  or  purified  or  not  and however  made,  which  are identical  or  substantially  identical  to  such materials as they exist in nature

are not patentable inventions. Furthermore, under section 18(3)

plants and animals, and the biological processes for the generation  of  plants  and  animals  are  also  excluded  from  innovation patents”

However, according to section 18(4) exclusion does not apply if the invention is a microbiological process or the product of such a process.  Additionally,  section  18(5)  defines  the  term  ‘biological materials’ to include ‘DNA, RNA, proteins, cells, and fluids,’ but it does not  describe  the  words  “components  and  their  derivatives”  and “substantially identical.” Meanwhile in Indonesia Article 9 of Patent Act stated that,

Inventions which cannot be granted Patent include: (d) all living organisms, except microorganism; (e) any biological process which is essential to produce plant or animal, except non-biological process or microbiological process”

In Malaysia, based on section 13 (1) (b) of the Patent Act 1983 simply  states  that  man-made  living  microorganisms,  microbiological processes,  and the  product of such  processes are  patentable.  There is no clear mention of the exclusion of nature’s handiwork, nevertheless in section 3 (l) (a) of the Act, ‘discoveries’ is a bar to patentability.

Four theories are the basis for the protection of IPR, including:

  1. Natural Right Theory

The Theory of Natural Rights comes from the theory of natural law. Adherents of natural law theory include Thomas Aquinas, Jhon Locke, and Hugo Grotius. According to Jhon Locke stated that: “naturally man is a moral agenda. Man is a mental substance and a right, the human body itself is the wealth of the human being concerned.”

  • Labor Theory

The theory of work is a continuation of the theory of natural rights. If in the theory of natural rights the point of pressure on the freedom of man to act and do something, in the theory of work his press point on the aspect of the process produces something and something is produced. Everyone has a brain, but not everyone can use their brain (intellectual) function to produce something. According to The Theory of Motivation, put forward by David Mc Clelland stated that “a person produces something because he has the motivation to achieve”. 

  • Social Exchange Theory

Proponents of this theory include George C. Hotman and Peter Blau. The theory of social exchange is based on the principle of elementary economic transactions. People who provide goods and services will certainly expect a reply in the form of goods or services that they want. The important thing is to note, that not all social transactions can be measured in real terms for example with money, goods, or services, sometimes even more valuable things are not real, such as respect and friendship.

  • Functional Theory

Adherents of this theory include Talcott Parsons and Robert K. Merton. The functional theory of functionalism departs from the basic assumption that the entire social structure or prioritized leads to integration and adaptation of the prevailing system. The existence or continuity of existing structures or patterns is explained through consequences or effects that are important and useful in overcoming various problems that arise and develop in people’s lives. Functionalists try to show that an existing pattern has met the needs of a vital system to explain the existence of the pattern, the object of study in society.

0

The Use of Intellectual Property as Guarantees

Author: Nirma Afianita; Co-author: Ananta Mahatyanto

Jaminan (Guarantee)

Jaminan, yang  berasal dari Bahasa Belanda, zekerheid atau cautie, merupakan suatu barang, harta, atau benda yang diberikan oleh debitur kepada kreditur dalam pengajuan suatu pinjaman. Selain itu, dalam perbankan, jaminan disebut juga sebagai agunan.

Walaupun konsep hukum tentang jaminan tidak ada dalam undang-undang, namun KUH Perdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum. Dinyatakan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, menurut Pasal 1131 KUH Perdata “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” berdasarkan pasal ini, seluruh harta benda seseorang otomatis menjadi jaminan atas utang.

Barang-barang tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadap mereka, menurut Pasal 1132 KUH Perdata, dan hasil penjualan barang tersebut dibagi sesuai dengan rasio hutang masing-masing, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.

Perjanjian jaminan harus didasari dengan perjanjian sementara atau perjanjian pokok. Karenanya, pengaturan jaminan adalah kesepakatan (accessoire), tambahan, atau lanjutan. Karena tidak ada yang dapat menjamin hutang jika tidak berwujud, perjanjian jaminan akan diselesaikan setelah perjanjian pokok diselesaikan.

Jaminan dibagi menjadi 2 yaitu umum dan khusus.

  1. Jaminan Umum

Sesuai Pasal 1131 KUHPerdata (“KUHPer”), semua barang yang dimiliki oleh pehutang, baik yang bergerak atau tidak bergerak, saat ini atau yang akan datang, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Inilah yang disebut sebagai Jaminan umum.

  • Jaminan Khusus

Ada pasal-pasal dalam hukum jaminan yang mengatur barang-barang yang dijadikan agunan hutang, atau yang dikenal sebagai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah jaminan dengan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditor jika debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditor di masa mendatang.

            Berikut adalah jenis-jenis jaminan kebendaan.

  1. Gadai

Barang yang digadaikan adalah barang bergerak yang terdiri dari barang berwujud dan tidak berwujud, seperti perhiasan dan hak untuk mendapat uang (surat piutang). Jika debitur tidak dapat melunasi pinjaman, kreditur dapat memiliki barang yang digadaikan.

Menurut Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, eksekusi barang gadai dapat dilakukan dalam salah satu dari dua bentuk yakni eksekusi langsung atau eksekusi berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya.

  • Fidusia

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan, selama benda yang dialihkan hak kepemilikannya tersebut tetap berada di bawah kendali pemilik benda. Fidusia diatur oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999. Benda fidusia mencakup benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, seperti bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Collateral, which comes from the Dutch language, zekerheid or cautie, is an item, property, or object given by the debtor to the creditor in the application of a loan.

Although the legal concept of guarantees does not exist in law, the Civil Code contains rules governing guarantees in general. Article 1131 of the Civil Code states that “All movable and immovable property belonging to the debtor, both existing and future, shall become collateral for the debtor’s individual engagements”. Based on this article, all of one’s property automatically becomes collateral for the debt.

 These goods become mutual guarantees for all creditors against them, according to Article 1132 of the Civil Code, and the proceeds from the sale of these goods are divided according to their respective debt ratios, unless there is a valid reason to prioritize them.

The guarantee agreement must be based on a provisional agreement or a principal agreement.  Accordingly, the guarantee arrangement is an accessoire, additional, or continuation.  Since no one can guarantee the debt if it is intangible, the guarantee agreement will be finalized after the principal agreement is completed.

 Guarantees are divided into 2, namely general and specific.

 1. General Guarantee

 In accordance with Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”), all goods owned by the debtor, whether movable or immovable, currently or in the future, are dependent on all individual engagements.  This is known as general guarantee.

 2. Special Guarantee

 There are articles in the security law that regulate goods that are used as collateral for debt, or what is known as material security.  Material collateral is a guarantee with an object in the form of movable or immovable property which is intended to guarantee the debtor’s debt to the creditor if the debtor is unable to pay his debts to the creditor in the future.

 Here are the types of material guarantees.

 a.  Pawn

 Pawned goods are movable goods consisting of tangible and intangible goods, such as jewelry and the right to receive money (receipts).  If the debtor is unable to repay the loan, the creditor can have the goods pawned.

 According to Articles 1155 and 1156 of the Civil Code, the execution of pawned goods can be carried out in one of two forms, namely direct execution or execution based on a previous court decision.

 b.  Fiduciary

 Fiduciary is the transfer of ownership rights to an object on the basis of trust, as long as the object whose ownership rights are transferred remains under the control of the owner of the object.  Fiduciary is regulated by Fiduciary Guarantee Law No.  42 of 1999.

 Fiduciary objects include movable or immovable objects, both tangible and intangible, such as buildings that are not encumbered with mortgage rights as referred to in Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights​

Kekayaan Intelektual (Intellectual Property)

Kekayaan Intelektual (KI) adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia.

Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain :

  • Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
  • Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.
  • Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.
  • Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia

Pada dasarnya, Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomis, sehingga Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai  Kekayaan Intelektual sebagai agunan atau jaminan ini diatur berdasarkan bentuknya, antara lain:

  • Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dimana hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan gadai maupun fidusia, berdasarkan jenis karya cipta yang dimiliki (material/tangible dan immaterial/intangible)

Berdasarkan perspektif hukum jaminan, karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Contoh, jika kita memiliki karya cipta material/ tangible berupa lukisan maka kita dapat menjaminkan lukisan tersebut melalui skema Gadai atau Fidusia. Sedangkan karya cipta yang bersifat immaterial/ intangible (contoh: film, musik, buku) hanya bisa dijaminkan melalui skema Fidusia. UU Hak Cipta terbaru (UU No. 28 Tahun 2014) hanya mengatur penjaminan Hak Cipta melalui skema Fidusia, sehingga diperlukan revisi UU tersebut agar penjaminan Hak Cipta juga bisa dilakukan melalui skema Gadai.

Mengacu Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa :

“ Pasal 16

  • Hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “

Pada dasarnya Hak Cipta dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia melalui pendaftaran jaminan fidusia dan pembuatan akta fidusia terhadap hak cipta yang dijadikan sebagai objek jaminan, dimana hal mengenai tata cara pendaftaran dan pembuatan akta tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Proses permohonan hak cipta yang didaftarkan sebagai objek jaminan fidusia ini diajukan oleh penerima fidusia, sebelumnya melalui proses penilaian hak cipta tersebut yang ingin dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, setelah itu permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan akan memperoleh bukti pendaftaran, setelah memperoleh bukti pendaftaran maka penerima fidusia harus melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dan setelah melakukan pembayaran baru Pendaftaran Jaminan Fidusia dicatatakan.

Jaminan Fidusia tersebut lahir bersamaan dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatatkan, dan akan mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang ditandatangani oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

  • Hak atas Merek

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dinyatakan bahwa:

“ Pasal 41

  • Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena:
  • pewarisan;
  • wasiat;
  • wakaf;
  • hibah;
  • perjanjian;
  • sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. “

Secara normatif, dapat dikatakan bahwa hak atas merek tersebut, baik merek dagang maupun merek jasa dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia melalui perjanjian seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, sehingga apabila dalam klausula perjanjian mengatur tentang pengalihan ataupun menjadikan hak atas merek sebagai jaminan fidusia (melalui permohonan), maka hal tersebut dapat dilakukan.

  • Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.

Paten dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, dimana dijelaskan bahwa:

“ Pasal 108

  • Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai syarat dan tata cara hak atas Paten sebagai objek jaminan fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam hal pendaftaran hak atas paten sebagai objek jaminan fidusia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

  • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dijelaskan bahwa:

            “ Pasal 23

  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan:
  • pewarisan;
  • hibah;
  • wasiat;
  • perjanjian tertulis; atau
  • sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.”

Apabila pada perjanjian tertulis terdapat klausula terkait penjaminan produk DTLST  sebagai objek jaminan fidusia, dan disepakati oleh kedua belah pihak, maka Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang setelah itu melakukan permohonan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu menjadi Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai 2 (dua bentuk) objek jaminan, yakni jaminan gadai dan fidusia. Terkait dengan karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Sehingga, melalui skema gadai dapat disimpulkan harus disertakan dengan hasil ciptaan dan sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dimana dalam skema gadai tersebut tidak wajib menggunakan akta notaris sebab objek jaminannya berada pada tangan kreditor.

Berbeda halnya dengan, jaminan fidusia yang memerlukan akta notaris dan harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum dan Ham. Pengaturan fidusia lebih ketat dibandingkan dengan gadai, sebab objek jaminan fidusia berada di tangan debitor dengan status hak pakai.

Dalam hal objek jaminan berupa kekayaan intelektual dalam skema gadai, maka apabila pihak-pihak tersebut akan mengikuti pihak-pihak dalam skema gadai, yakni pemberi gadai dan penerima gadai, pengaturan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana secara garis besar hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemberi dan Penerima gadai adalah sebagai berikut:

 Intellectual Property (IP) is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.

 The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:

  • As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with economic value contained therein.
  • Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.
  • Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because the recognition of Intellectual Property will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.
  • Can be used as material for consideration to determine research and industry strategies in Indonesia

Basically, Intellectual Property has economic value, so Intellectual Property can be used as collateral or guarantee.

 The provisions governing Intellectual Property as collateral or guarantee are regulated based on their form, among others:

  • Copyright

 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.

 Where copyright can be used as an object of pledge or fiduciary collateral, based on the type of copyrighted work owned (material/tangible and immaterial/intangible)

 Based on the perspective of guarantee law, copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible) can be bound by Pledge and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  For example, if we have a tangible/material copyrighted work in the form of a painting, then we can guarantee the painting through a Pawn or Fiduciary scheme.  Meanwhile, copyrighted works that are immaterial/intangible (eg films, music, books) can only be guaranteed through a fiduciary scheme.  The latest Copyright Law (Law No. 28 of 2014) only regulates Copyright guarantees through the Fiduciary scheme, so it is necessary to revise the Law so that Copyright guarantees can also be carried out through the Pawn scheme.

 Referring to Article 16 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright it is explained that:

 “Article 16”

 (3) Copyright can be used as an object of fiduciary guarantee.

 (4) Provisions regarding Copyrights as objects of fiduciary guarantees as referred to in paragraph (3) are implemented in accordance with the provisions of laws and regulations.  “

Basically, Copyrights can be used as objects of fiduciary guarantees through registration of fiduciary guarantees and the making of fiduciary deeds of copyrights which are used as objects of guarantees, where matters regarding the procedures for registration and making the deed are regulated in Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Guarantees.  Fiduciary and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

 The process of applying for a copyright that is registered as an object of fiduciary security is submitted by a fiduciary recipient, before going through the process of assessing the copyright that wants to be used as an object of fiduciary security, after that an application for registration of a fiduciary guarantee that has met the conditions will obtain proof of registration, after obtaining proof of registration  then the fiduciary recipient must pay the registration fee for the fiduciary guarantee and after making a new payment the registration of the fiduciary guarantee is recorded.

 The Fiduciary Guarantee is born at the same time as the date the Fiduciary Guarantee is registered, and will get a Fiduciary Guarantee Certificate signed by the Official at the Fiduciary Registration Office.

  • Trademark Rights

 Right to a Mark is an exclusive right granted by the state to the owner of a registered Mark for a certain period of time by using the Mark himself or giving permission to other parties to use it.

 Based on Article 41 paragraph (1) of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, it is stated that:

 “Article 41”

 (1) Rights to registered Marks may be transferred or transferred because:

 a.  inheritance;

 b.  will;

 c.  waqf;

 d.  grant;

 e.  agreement;

 f.  other reasons justified by legislation.  “

 Normatively, it can be said that the rights to the mark, both trademarks and service marks can be used as objects of fiduciary guarantees through agreements as described in Article 41 letter e of Law Number 20 of 2016, so that if the clause of the agreement regulates the transfer or make the right to the mark as a fiduciary guarantee (through an application), then this can be done.

  • Patent

 A patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.

 Patents can be used as fiduciary guarantees as regulated in Article 108 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents, where it is explained that:

 “Article 108

 (1) Patent rights may be used as objects of fiduciary security.

 (2) Provisions regarding the terms and procedures for the right to a Patent as an object of fiduciary security shall be regulated by a Government Regulation.”

 In the case of registration of patent rights as objects of fiduciary security, it refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantees and Fees for Making Fiduciary Guarantee Deeds.

  • Integrated Circuit Layout Design (DTLST)

 The right to Layout Design for Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer for his creation, to carry it out himself for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise the right.

 ​Based on Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits, it is explained that:

 “Article 23

 (1) Right to Layout Design of Integrated Circuit can be transferred or transferred by:

 a.  inheritance;

 b.  grant;

 c.  will;

 d.  written agreement;  or

 e.  other reasons justified by legislation.

If in the written agreement there is a clause related to guaranteeing DTLST products as objects of fiduciary guarantees, and it is agreed by both parties, then the Right to Layout Design of Integrated Circuits can be used as Objects of Fiduciary Guarantees referring to Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000  concerning Layout Design of Integrated Circuit, after which the application for registration of Right to Layout Design of Integrated Circuit as Object of Fiduciary Security refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantee and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

Thus, it can be concluded that Intellectual Property can be used as 2 (two) forms of collateral objects, namely pledges and fiduciary guarantees.  In relation to copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible), they can be bound by Pawn and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  So, through the pawn scheme, it can be concluded that it must be accompanied by the creation and copyright certificate (as the main collateral), where in the pawn scheme it is not required to use a notary deed because the object of the guarantee is in the hands of the creditor.

Unlike the case with fiduciary guarantees, which require a notarial deed and must be registered with the Fiduciary Registration Office at the Ministry of Law and Human Rights.  Fiduciary arrangements are stricter than pawning, because the object of the fiduciary guarantee is in the hands of the debtor with usufructuary status.

In the case of the object of collateral in the form of intellectual property in the pawn scheme, then if the parties will follow the parties in the pawn scheme, namely the pawner and the pawn recipient, the pawn arrangement is regulated in Article 1150 to Article 1160 of the Civil Code,  In general, the rights and obligations of the Giver and Receiver of pawn are as follows:

Hak dan Kewajiban (Rights and Obligations)

Penerima Gadai

Hak :

  1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan tersebut, yaitu apabila pemberi gadai tersebut pada saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedang hasil penjualan barang jaminan tersebut diambil untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya dikembalikan pada pemberi gadai.
  2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
  3. Selama hutangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak rentetie).

Kewajiban :

  1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya.
  2. Penerima gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
  3. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan penjualan atas barang gadai.

Pemberi gadai

Hak :

  1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya.
  2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
  3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan hutang, bunga dan biaya lainnya.
  4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

Kewajiban :

  1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi hutang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai.
  2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atau barang gadai miliknya, apabila dalam jangka yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi hutangnya kepada pemegang gadai.

Pawnee

Right :

  1. The pawnee has the right to sell the pawned goods, that is, if the pawnbroker at maturity or at a specified time cannot fulfill his obligations as a debtor.  While the proceeds from the sale of the collateral are taken to pay off the debt of the pawner and the rest is returned to the pawner.
  2. The recipient of the pledge has the right to be reimbursed for the costs that have been incurred to maintain the safety of the collateral.
  3. As long as the debt has not been repaid, the pledge holder has the right to hold the collateral submitted by the pawnbroker (rentie rights).

 Obligation :

  1. The recipient of the pledge is responsible for the loss or decline in the price of the pawned item if it is all due to his negligence.
  2. The pawnee is not allowed to use the pawned goods for his own benefit.
  3. The pledge holder is obliged to notify the pawnbroker prior to the sale of the pawned goods.

The Pledger

 Right :

  1. The pawnbroker has the right to get his property back after the pawnbroker has paid off his debt.
  2. The pawnbroker has the right to claim compensation for the damage and loss of the pledged goods if it is caused by the negligence of the pawnee.
  3. The lender has the right to get the remainder from the sale of his goods after deducting the cost of paying off debt, interest and other costs.
  4. The pawnbroker has the right to ask for the goods back if the pawnbroker has clearly misused the goods.

 Obligation :

  1. The pawnbroker is obliged to pay off the debt he has received from the pawnbroker within a predetermined timeframe including interest and other fees determined by the pawnbroker.
  2. The pawnbroker is obliged to give up the sale or his/her own pawned goods, if within a predetermined period the pawner cannot pay off his debt to the pawnbroker.

Berakhirnya Hak Gadai (Expiration of Lien)

Suatu perjanjian hutang piutang pada dasarnya tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal, demikian pula dengan perjanjian gadai. Namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak lain. Hak gadai dikatakan batal apabila:

  1. Hutang piutang yang telah terjadi telah dibayarkan dan dilunasi.
  2. Barang gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai, yaitu bukan lagi menjadi hak milik pemberi gadai.
  3. Para pihak tidak lagi melaksanakan yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pemberi gadai maupun penerima gadai.
  4. Barang gadai tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun sebaliknya atas kemauan yang berpiutang.

Berkaitan dengan KI dengan objek jaminan fidusia yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, memiliki pihak yang sama dengan gadai yakni pemberi fidusia dan penerima fidusia, dimana hak dan kewajiban mereka sebagai berikut:

Penerima Fidusia

Hak:

  1. Mengawasi benda fidusia
  2. Menjual benda fidusia jika debitur wanprestasi
  3. Mengambil piutangnya dari hasil penjualan benda fidusia

Kewajiban:

  1. Melaksanakan pendaftaran akta jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia
  2. Memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia atas benda fidusia secara pinjam pakai
  3. Menyerahkan harga kelebihannya kepada pemberi fidusia dan menyerahkan kembali hak milik atas benda fidusia kepada pemberi fidusia jika piutangnya telah dilunasi oleh debitur.

Pemberi Fidusia

Hak :

  1. Menguasai benda fidusia
  2. Menerima hasil penjualan benda fidusia
  3. Menerima kembali hak milik atas benda fidusia jika telah melunasi hutangnya.

Kewajiban :

  1. Menjaga dan merawat benda fidusia agar tidak turun nilainya
  2. Melaporkan keadaan benda fidusia kepada penerima fidusia
  3. Melunasi utangnya

A debt agreement basically nothing lasts forever, meaning that the agreement can end or be canceled at any time, as well as a pawn agreement.  However, the cancellation of the lien will be very different from other rights.  A lien is said to be void if:

 a) Accounts payable that have been incurred have been paid and repaid.

 b) The pawned goods are out of the power of the pawnbroker, that is, they are no longer the property of the pawnbroker.

 c) The parties no longer carry out the rights and obligations of each party, both the pawner and the pawnee.

 d) The pawned goods are left in the power of the pawnbroker or vice versa at the will of the debtor.

With regard to KI with the object of fiduciary security which refers to Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it has the same party as the pawn, namely the fiduciary giver and fiduciary recipient, where their rights and obligations are as follows:

Fiduciary Recipient

 Right:

  1. Supervise fiduciary objects
  2. Selling fiduciary objects if the debtor defaults
  3. Taking the receivables from the sale of fiduciary objects

 Obligation:

  1. Carry out the registration of the fiduciary guarantee deed to the fiduciary registration office
  2. Giving power to the fiduciary giver over the fiduciary object on a borrowed basis
  3. Submit the excess price to the fiduciary giver and return the ownership rights to the fiduciary object to the fiduciary if the debt has been paid off by the debtor.

Fiduciary Giver:

 Right :

 1. Mastering fiduciary objects

 2. Receive the proceeds from the sale of fiduciary objects

 3. Receiving ownership rights to fiduciary objects if they have paid off their debts.

 Obligation :

 1. Maintain and care for fiduciary objects so that they do not decrease in value

 2. Reporting the condition of the fiduciary object to the fiduciary recipient

 3. Pay off the debt

Berakhirnya Hak Jaminan Fidusia (Expiration of Fiduciary Guarantee Rights)

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia berakhir karena:

  1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
  2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
  3. Musnahya benda yang menjadi objek jaminan fidusia

According to Article 25 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, Fiduciary Security ends because:

  1. Elimination of debt guaranteed by fiduciary
  2. Release of rights to fiduciary guarantees by fiduciary recipients
  3. The destruction of objects that are objects of fiduciary guarantees

Eksekusi Objek Jaminan (Guarantee Object Execution)

Terkait dengan apabila terjadinya sengketa terhadap KI yang dijadikan objek jaminan, seperti pada prosesnya penjaminan KI dapat dijadikan objek jaminan melalui 2 skema, sehingga pada proses eksekusi objek jaminan melalui 2 skema pula, yakni skema gadai dan skema fidusia.

1. Eksekusi Objek Jaminan Skema Gadai

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 2 jenis, yakni Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan. Dimana Parate Eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan. Hak eksekusi yang selalu siap dengan namanya “paraat” yang berarti hak itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan, objek hak gadai biasanya dilelang melalui pelelangan umum. Acuan pelaksanaan Parate Eksekusi mengacu pada Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Yang kedua, Penjualan Bawah Tangan, pada jaminan gadai dimungkinkan untuk melakukan penjualan bawah tangan, beranjak dari kalimat yang tertera di awal Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain” maka eksekusi barang gadainya dilakukan di hadapan umum. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tangan atas objek jaminan gadai bilmana mereka memperjanjikannya.

2. Eksekusi Objek Jaminan Skema Fidusia

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 3 jenis, yakni Titel Eksekutorial (melalui fiat pengadilan), Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan.

Terkait dengan mekanisme pertama yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana dijelaskan tentang pelaksanaan titel eksekutorial, yakni dalam sertifikat jaminan fidusia wajib dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Yang kedua, Parate Eksekusi, yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf b jo. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana apabila terjadi cidera janji/wanprestasi, maka penerima dapat melakukan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasa piutangnya dari hasil penjualan.

Yang ketiga, Penjualan Bawah Tangan, mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan bahwa penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

In the case of a dispute over IP which is used as an object of collateral, as in the process, IP guarantee can be used as a guarantee object through 2 schemes, so that in the process of executing the object of guarantee there are also 2 schemes, namely a pawn scheme and a fiduciary scheme.

 1. Execution of the Guaranteed Object of the Pawn Scheme

 The execution mechanism for collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 2 types, namely Parate Execution (without asking for court assistance) and Underhand Sales.  Where Parate Execution is an execution that can be carried out by the creditor without asking for court assistance or the process of placing a confiscation of collateral.  The right of execution which is always ready with the name “paraat” which means the right is ready in the hands of the creditor to be executed, the object of lien is usually auctioned through a public auction.  The reference for the implementation of the Execution Parate refers to Article 1155 of the Civil Code.

 Second, underhand sales, under pledged collateral it is possible to carry out underhand sales, starting from the sentence stated at the beginning of Article 1155 of the Civil Code, namely “If the promised parties do not agree otherwise” then the execution of the pawned goods is carried out  in public.  From these provisions, it can be concluded that the hand over the object of the pledge of collateral when they make an agreement.

 2. Execution of Object of Fiduciary Scheme Guarantee

 The mechanism for execution of collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 3 types, namely Executional Title (through court fiat), Execution Parate (without asking for court assistance) and Underhand Sales.

 Related to the first mechanism which refers to Article 29 paragraph (1) letter a jo.  Article 15 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security, which explains the implementation of the executive title, namely that the fiduciary guarantee certificate must include the words “For the sake of Justice Based on God Almighty” with the aim of having the same executive power as court decisions  which has obtained permanent legal force.

 The second, Parate Execution, which refers to Article 29 paragraph (1) letter b jo.  Article 15 paragraph (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, where in the event of a breach of contract/default, the recipient can sell objects that are the object of the fiduciary guarantee on the power of the fiduciary recipient himself through a public auction and take payment of his receivables from the proceeds.  sale.

 Third, underhand sales, referring to Article 29 paragraph (1) letter c of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is explained that underhand sales are carried out based on an agreement between the Giver and the Fiduciary Recipient if in this way the highest price can be obtained.  which benefits the parties.

Metode Appraisal KI (IP Appraisal Method)

Tiga metode yang berlaku umum untuk penilaian jaminan juga dapat berlaku bagi penilaian Kekayaan Intelektual dan dapat juga berlaku untuk analisis Hak Cipta. Pendekatan biaya yang kurang umum digunakan daripada pendekatan pendapatan atau pendekatan pasar. Karena hak cipta memberikan hak monopoli kepada pemilik, pendekatan biaya tidak selalu berlaku untuk analisis penilaian hak cipta. Metode tersebut yaitu:

a) Metode pendekatan biaya

Penilaian ini didasarkan pada biaya yang dikeluarkan dalam mengembangkan atau menciptakan suatu karya cipta, atau biaya untuk menciptakan atau mengembangkan produk atau layanan serupa, tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi dari karya cipta tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai suatu obyek atau bagian dari kekayaan intelektual tidak lebih besar daripada biaya untuk memproduksinya. Pendekatan biaya memang memiliki keterbatasan tertentu dalam menganalisis nilai ekonomis suatu hak cipta. Karena keterbatasan ini, pendekatan biaya sering dianggap hanya dapat memberikan patokan bagi estimasi nilai ekonomi terendah.

b) Metode Pendekatan Nilai Pasar

Metode pendekatan pasar merupakan metode dimana Hak Kekayaan Intelektual atau aset tidak berwujud dinilai dengan membandingkannya dengan penjualan baru-baru ini, transfer, dan transaksi yang melibatkan aset yang sama di pasar yang sama. Kendala dari metode pendekatan nilai pasar ini adalah kesulitan untuk menganalisa berapa nilai jual suatu karya cipta.

c) Metode Pendekatan Pendapatan

Metode pendekatan pendapatan menentukan nilai ekonomi berdasarkan pendapatan masa depan yang dapat, atau akan, dihasilkan dari kekayaan intelektual atau aset tidak berwujud. Pendekatan pendapatan bagi Hak Kekayaan intelektual merupakan metode penilaian yang digunakan secara luas; namun, hal itu dapat menjadi kompleks, karena harus memutuskan bagaimana mengukur “pendapatan”. Yang menjadi parameter dasar dari pendekatan pendapatan adalah:

  1. aliran pendapatan masa depan
  2. durasi aliran pendapatan
  3. tingkat risiko atau pengurangan yang mungkin terjadi

The three generally accepted methods for assurance assessments may also apply to Intellectual Property assessments and may also apply to Copyright analysis.  The cost approach is less commonly used than the revenue or market approach.  Because copyright grants the owner monopoly rights, the cost approach does not always apply to copyright assessment analysis.  The methods are:

 a) Cost approach method

 This assessment is based on the costs incurred in developing or creating a copyrighted work, or the costs of creating or developing a similar product or service, without considering the economic value of the copyrighted work.  This principle states that the value of an object or piece of intellectual property is not greater than the cost of producing it.  The cost approach does have certain limitations in analyzing the economic value of a copyright.  Because of these limitations, the cost approach is often considered to only provide a benchmark for the lowest estimated economic value.

 b) Market Value Approach Method

 The market approach method is a method by which Intellectual Property Rights or intangible assets are valued by comparing them with recent sales, transfers, and transactions involving the same asset in the same market.  The problem with this market value approach is that it is difficult to analyze how much the selling value of a copyrighted work is.

 c) Income Approach Method

 The income approach method determines economic value based on the future income that can, or will, be generated from intellectual property or intangible assets.  The revenue approach to Intellectual Property Rights is a widely used valuation method;  however, it can be complex, having to decide how to measure “revenues”.  The basic parameters of the revenue approach are:

 1. future income stream

 2. duration of income stream

 3. the level of risk or reduction that may occur

Valuasi KI (IP Valuation)

Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan apprasial KI tersebut ada beberapa cara untuk menghitung nya dengan menggunakan metode Discounted Future Economic Benefits atau disingkat DFEB dan Relief-from-Royalty

Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Modul 11 berjudul IP Valuation sebagai salah satu topik dalam IP Panorama yang dikeluarkan oleh WIPO menjelaskan bagaimana cara menentukan pendapatan ekonomi yaitu:

  1. Proyeksikan aliran pendapatan (atau penghematan biaya) yang dihasilkan oleh aset KI selama sisa masa manfaat dari aset KI tersebut.
  2. Imbangi pendapatan/penghematan dengan biaya yang berhubungan secara langsung dengan aset KI, antara lain biaya tenaga kerja, bahan, investasi modal yang dibutuhkan, dan setiap sewa atau biaya modal lainnya.
  3. Hitung risiko untuk mengurangi jumlah pendapatan dari nilai saat ini (present value) dengan menggunakan tingkat diskonto atau tingkat kapitalisasi.

Beberapa perhitungan yang mungkin diperlukan pada metode pendapatan adalah perhitungan pendapatan kotor atau bersih (gross or net revenue), laba kotor (gross profit), pendapatan operasional bersih (net operating income), pendapatan sebelum pajak (pretax income), laba bersih (setelah pajak), arus kas operasi, arus kas bersih, pendapatan tambahan, dan penghematan biaya. Perhitungan-perhitungan tersebut merupakan bagian dari analisis finansial dalam menyusun studi kelayakan bisnis. Oleh karena itu, beberapa asumsi dalam menghitung atau melakukan analisis finansial harus dibuat, antara lain umur teknologi/paten dan tingkat diskonto.

Relief-from-Royalty Method merupakan satu mekanisme alih teknologi/paten yang banyak digunakan adalah lisensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP 20/2005) dimana KI milik Negara tidak diperkenankan dialihkan kepada pihak lain, artinya tidak dapat menggunakan mekanisme jual putus. Dalam mekanisme lisensi harus ditentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi teknologi. Metode relief-from-royalty dilakukan untuk menentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi suatu teknologi. Pembayaran royalti merupakan salah satu mekanisme bagi hasil (profit sharing). Metode yang paling umum digunakan untuk mengekspresikan royalti adalah persentase dari pendapatan (a percentage of revenue) (Heberden, 2011). Selain itu, besaran royalti juga dapat dihitung berdasarkan persentase dari keuntungan kotor, persentase dari keuntungan bersih, atau persentase dari unit penjualan. Penentuan besaran dan metode royalti umumnya bersifat negotiable antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Penentuan besaran royalti menurut Hadjiloucas (2014) dapat dilakukan berdasarkan data pasar atau hasil survei tentang royalti/lisensi sebagai pembanding (benchmarks).

Untuk menghitung nilai yang bisa diperoleh dari royalti diperlukan perhitungan nilai teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (income approach). Secara umum Reilly (2008) menjelaskan perhitungan tingkat pasar royalti menggunakan pendekatan pendapatan yang memproyeksikan nilai sekarang (present value / PV). Berdasarkan perhitungan dengan pendekatan pendapatan dapat diketahui prediksi arus kas pendapatan (revenue), keuntungan kotor, keuntungan bersih, dan nilai unit penjualan, yang selanjutnya dapat disimulasikan dan ditentukan beberapa alternatif besaran royalti dan dhitung PV-nya dengan tingkat diskonto tertentu sesuai umur teknologi atau perlindungan patennya.

When viewed from the IP appraisal approaches, there are several ways to calculate it using the Discounted Future Economic Benefits method or abbreviated as DFEB and Relief-from-Royalty.

 Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Module 11 entitled IP Valuation as one of the topics in IP Panorama issued by WIPO explains how to determine economic income, namely:

 a) Project the revenue stream (or cost savings) generated by the IP asset over the remaining useful life of the IP asset.

 b) Balance income/savings with costs directly related to IP assets, including labor costs, materials, required capital investment, and any rent or other capital costs.

 c) Calculate the risk of reducing the amount of revenue from the present value using the discount rate or capitalization rate.

 Some calculations that may be needed in the income method are the calculation of gross or net income (gross or net revenue), gross profit (gross profit), net operating income (net operating income), income before tax (pretax income), net profit (after tax).  ), operating cash flow, net cash flow, additional revenue, and cost savings.  These calculations are part of the financial analysis in compiling a business feasibility study.  Therefore, several assumptions in calculating or conducting financial analysis must be made, including the age of the technology/patent and the discount rate.

 Relief-from-Royalty Method is a technology/patent transfer mechanism that is widely used is licensing.  This is in accordance with the provisions in Government Regulation Number 20 of 2005 concerning Transfer of Intellectual Property Technology and Research and Development Results by Universities and Research and Development Institutions (PP 20/2005) wherein State-owned IP is not allowed to be transferred to other parties, meaning that it cannot be transferred to other parties.  using a sell-out mechanism.  In the licensing mechanism, the amount of royalty that will be offered to the party who will license the technology must be determined.  The relief-from-royalty method is used to determine the amount of royalty that will be offered to the party who will license a technology.  Payment of royalties is one of the mechanisms for profit sharing.  The most common method used to express royalty is a percentage of revenue (Heberden, 2011).  In addition, the amount of royalties can also be calculated based on a percentage of gross profit, a percentage of net profit, or a percentage of unit sales.  The determination of the amount and method of royalty is generally negotiable between the licensor and the licensee.  The determination of the royalty amount according to Hadjiloucas (2014) can be done based on market data or the results of a survey on royalties/licences as a comparison (benchmarks).

 To calculate the value that can be obtained from royalties, it is necessary to calculate the value of technology/patent with an income approach.  In general, Reilly (2008) explains the calculation of the market rate of royalties using an income approach that projects present value (PV).  Based on the calculation with the income approach, it can be seen that the prediction of cash flow income (revenue), gross profit, net profit, and unit sales value, which can then be simulated and determined several alternative amounts of royalties and calculated PV with a certain discount rate according to the age of technology or protection.  the patent.

0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

How to Legally Enclose Batik on a Product

Author: Nirma Afianita, Co: Fitriyani Wospakrik

Berdasarkan Kementerian Industri menjelaskan bahwa Batik adalah hasil karya bangsa Indonesia yang merupakan perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia. Setiap daerah memiliki pola dan ciri khas masing-masing. Batik itu sendiri dapat diimprovisasi dengan menggabungkan beberapa elemen dan menjadikan corak ataupun hasil batik yang baru yang dihasilkan dari penggabungan tersebut. Dan hal tersebutlah yang dapat didaftarkan. Sehingga hal ini akan membagi batik menjadi produk dagang dan batik sebagai warisan budaya.

Karya seni batik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu yang pertama dapat termasuk sebagai karya cipta yang dilindungi menurut pasal 40 ayat (1) huruf j Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta. Yang dimaksud dengan “karya seni batik” adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional. Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna. Karya seni batik yang dimaksud adalah suatu seni batik yang telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan masa saat ini. Selanjutnya[na1]  karya seni batik lainnya termasuk dalam Indikasi geografis yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Goegrafis yaitu hak atas indikasi geografis  yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Batik yang dimaksud dalam Indikasi Geografis adalah batik murni yang merupakan suatu temuan dari leluhur yang diturunkan turun menurun tanpa adanya perubahan dan merupakan batik dengan seni asli yang berkaitan dengan budaya suatu daerah.

Motif batik yang dimiliki setiap daerah memiliki karakteristik berbeda . Inilah yang dinamakan Indikasi Geografis yang memiliki arti suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, batik dapat dikategorikan sebagai Indikasi Geografis dikarenakan setiap daerahh memiliki ciri khas batiknya masing-masing, sehiingga batik daerah tertentu akan menunjukkan suatu ciri khas yang menonjolkan daerah tersebut. Hal itulah yang menjadikan bahwa batik dilindungi oleh Undang-Undang Indikasi Geografis.

According to the Ministry of Indonesia, Batik is the work of the Indonesian nation. It is the combination of ancestorial art and technology. Each region has its own patterns and characteristics. Batik can be improved by combining a few elements and making it a pattern to create a new form of batik. In doing so, it can be registered and covered. Batik can be understood to be a trading product, as well as Indonesia’s cultural heritage.

Batik artworks can be divided into two types: copyrighted works that are protected by article 40 paragraph (1) letter J of Law Number 28 of 2014 regarding copyright, and geographical indications regulated by Article 1 number 7 of Law number 20 of 2016 regarding Marks and Geographical Indications. To be classified as a geographical indication, it has to retain its reputation, quality, and characteristics that form the basis for the geographical indication protection. These kinds of batiks are also known as pure batiks as they are the derivative of their ancestors and cultures.

Batik artworks can be divided into two types: copyrighted works that are protected by article 40 paragraph (1) letter J of Law Number 28 of 2014 regarding copyright, and geographical indications regulated by Article 1 number 7 of Law number 20 of 2016 regarding Marks and Geographical Indications. To be classified as a geographical indication, it has to retain its reputation, quality, and characteristics that form the basis for the geographical indication protection. These kinds of batiks are also known as pure batiks as they are the derivative of their ancestors and cultures.

Batik artwork is a contemporary batik motif that is innovative rather than traditional. It is a protected art form because it contains an artistic value in its images, patterns, and color compositions. These innovative Batik pieces are changed and adjusted time and time again.

The batik motifs owned by each region have has its own batik characteristics, so that certain regional batiks will show a characteristic that accentuates the area. This is what is called a Geographical Indication, the meaning of a sign indicating the area of ​​origin of an item and/or product which due to geographical environmental factors including natural factors, human factors, or a combination of these two factors, gives a certain reputation, quality and characteristics to the goods and/or products. / or the resulting product. This is what makes batik protected by the Geographical Indications Act. 


Ketentuan Indikasi Geografis diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu:

  1. Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis
    didaftar oleh Menteri.
  2. Untuk memperoleh pelindungan Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri.
  3. Pemohon sebagaimana dimaksud merupakan:
  4. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan
    geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:
  5. sumber daya alam;
  6. barang kerajinan tangan; atau
  7. hasil industri;
  8. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota
  9. Ketentuan mengenai pengumuman, keberatan, sanggahan, dan penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis bagi Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.

Lebih lanjut lagi, dikarenakan ciri khas batik yang erat dengan budaya Indonesia menjadikan batik sebagai salah satu budaya seni yang telah mendarah daging dengan Indonesia. Sehingga apabila seorang yang ingin menggunakan desain batik pada produk yang ingin dijual, maka hal tersebut sah-sah saja. Maka dari itu, hal ini memberikan pengertian bahwa selama desain batik dan digunakan merupakan desain batik budaya, maka hal tersebut adalah suatu hal yang wajar dan legal untuk dilakukan. Sepanjang pihak tersebut menggunakan batik sesuai dengan tujuan peraturan dan bijaksana, mereka dapat menggunakan batik dalam produk mereka.

Berbeda dengan desain batik yang diciptakan oleh seseorang dengan kemampuannya sendiri dalam mengembangkan desain batik yang sudah ada dengan mengkombinasikannya dengan hal-hal yang lain sehingga terlihat lebih modern yang bertujuan agar penggemar batik atau produknya dapat meningkat. Hal tersebut akan berbeda dengan batik budaya. Dimana batik yang telah mengalami perubahan dan dikembangkan oleh seseorang dan telah mendapatkan perlindungan dan telah mendaftarkan Mereknya pada Dirjen Hak Kekayaan Intelektual. Maka setiap orang yang ingin menggunakan desain tersebut wajib merujuk kepada pemilik desain.

The provisions of Geographical Indications are regulated in Article 53 of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, namely:

  1. Geographical Indications are protected after Geographical Indications are registered by the Minister
  2. In order to obtain protection, an Applicant for Geographical Indications must submit an application to the Minister. 
  3. The applicant as referred to is: 
    • an institution that represents the community in the area 
    • certain geographical that is working on an item and/or product in the form of: 
      • natural resources; 
      • handicraft items; or 
      • Industrial products; 
    • provincial or district/city governments 
  4. Provisions regarding announcements, objections, and withdrawals as referred to in Article 14 to Article 19 shall apply mutatis mutandis to Applications for registration of Geographical Indications.

Furthermore, because the characteristics of batik are closely related to Indonesian culture, batik is one of the artistic cultures that has been embedded with Indonesia. So if someone wants to use batik designs on the products they want to sell, then that’s fine. Therefore, as long as the batik design and use is a cultural batik design, then it is a natural and legal thing to do. As long as the subject uses batik accordingly and wisely, they can use the batik label on their product.

In contrast to batik designs created by someone with their own ability to develop existing batik designs into a more modern look, this will be different from cultural batik. Where batik has undergone changes, was developed by someone, has obtained a Copyright, and has registered its trademark to the Director-General of Intellectual Property Rights. So everyone who wants to use the design must refer to the owner of the design.


Pengusaha dapat memperoleh izin dagang melalui Online Single Submission Risk-Based Approach sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021. Dimana setiap Pengusaha wajib melakukan pendaftaran terhadap Online Single Submission Risk-Based Approach untuk dapat melakukan dan menyelenggarakan usaha dagangnya.

Pengusaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap Kekayaan Intelektual minimal akan menghadapi 2 (dua) tuntutan yaitu dari pengusaha lain atau kompetitor dan konsumen. Wujud perlindungan terhadap indikasi geografis yaitu sanksi bagi pelaku tindak pidana menyangkut indikasi geografis dan indikasi asal terdapat dalam Pasal 100 – 103 UU No. 20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis.

Terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan mencakup Indikasi geografis  dapat diajukan gugatan yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Menyatakan bahwa:

  1. Pengajuan gugatan terhadap pelanggaran dilakukan sesuai Pasal 57 ayat (1) dan pasal 58 Undang-undang nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.
  2. Gugatan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh:
  3. Setiap produsen yang berhak menggunakan Indikasi geografis
  4. Lembaga yang mewakili masyarakat
  5. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.
  6. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan untuk indikasi geografis berlaku secara mutatis mutandis ketentuan pasal 80 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.

Entrepreneurs can obtain the permit of trading through Online Single Submission Risk-Based Approach as stated in Government Regulation No. 5 of 2021. On the other hand, every single entrepreneur must register and obtain the permit through Online Single Submission Risk-Based Approach to run the business.

Entrepreneurs who have violated Intellectual Property will at least face two demands, namely from other entrepreneurs (competitors) and consumers. The form of protection against geographical indications, namely sanctions for perpetrators of criminal acts concerning geographical indications and indications of origin are contained in Articles 100 – 103 of Law no. 20 of 2016 concerning brands and geographical indications. 

Violations that do include a geographical indication may file a lawsuit under Article 26 of Government Regulation No. 51 of 2007 and declare that: 

  1. The filing of a lawsuit against the infringement is carried out in accordance with Article 57 paragraph (1) and Article 58 of Law Number 15 of 2001 concerning Marks. 
  2. The lawsuit as referred to can be made by: 
    1. Every producer who has the right to use geographic indications 
    2. Institutions that represent the community 
    3. The agency is authorized to do so. 
  3. Provisions regarding the procedure for filing a lawsuit for geographical indications apply mutatis mutandis to the provisions of Article 80 of Law Number 15 of 2001 concerning marks.
0

Webinar series – Protect your sketch Protect Your Asset #1 : Memulai Bisnis Desain Grafis dan Film Animasi (dalam Perspektif Badan Usaha, Bisnis, Hukum dan Kekayaan Intelektual)

Tanggal : Kamis, 27 Mei 2021
Waktu : 14.00 – 16.55 (GMT +7) Jakarta
Tempat : (online) zoom


Pembicara:

Rania Amina
User Interface Designer & FOSS Contributor (Komunitas Desain Grafis, Gimpscape ID)

Banung Grahita
Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual (Institut Teknologi Bandung)

Zul Fadli
Notaris, Penulis, Dosen

Semerdanta Pusaka
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (Universitas Esa Unggul)

Yunarto Zeng
Lawyer (Partner Afia & Co.)

Nirma Afianita
Lawyer and Konsultan Kekayaan Intelektual Terdaftar (Managing Partner Afia & Co.)

Host:
Afina Nurkemalawati (Research & Public Relation Afia & Co.)


Pendaftaran : https://bit.ly/AfiacoWebinar4-1
CP : +6287777749267 (Coco)

1 2
Translate