0

Pencabutan Izin Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Bernando and Andreas Simanjorang

Date: Thursday, 13 January 2022

Pada tanggal 6 Januari 2022, Presiden Republik Indonesia telah mencabut ribuan izin usaha dalam beberapa sektor yang meliputi 2.078 izin perusahaan di sektor penambangan Mineral dan Batubara, 192 izin di sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare dan Penggunaan Kawasan Hutan di sektor perkebunan seluas 34.448 hektare, yang mana pencabutan izin usaha tersebut merupakan salah satu bentuk sanksi administratif yang diberikan oleh Pemerintah.

Dalam sektor minerba, pencabutan izin usaha sebagai salah satu sanksi administratif secara tegas diatur pada Pasal 185 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sedangkan, dalam sektor kehutanan, pencabutan izin dapat dilakukan terhadap Perizinan Berusaha[1] maupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan[2] yang salah satunya disebabkan apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Dampak daripada pencabutan izin ini sendiri tentunya dapat berakibat terhadap kewenangan pengusaha dalam pemanfaatan sebagaimana izin yang diberikan.

Izin usaha pada dasarnya merupakan bentuk dari Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar atas dikeluarkannya izin tersebut. Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Keputusan  Administrasi Pemerintahan atau keputusan tata usaha negara sebagai “ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.[3] yang secara sistematis ditafsirkan bersamaan dengan [1] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;[4], Karena izin berusaha merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum berupa hak untuk melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam izin tersebut, maka apabila izin tersebut dicabut, pemegang izin akan kehilangan haknya dalam pemanfaatan terhadap sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam lingkup daripada izin tersebut.

Dalam hal mempertahankan izinnya, pemegang izin dapat mengupayakan tindakan hukum dengan melakukan upaya hukum ke pengadilan berwenang. Mengingat bahwa pencabutan izin merupakan bentuk sanksi administratif yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, maka pemegang izin dapat melakukan gugatan administratif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (yang kemudian dikenal sebagai sengketa tata usaha Negara).[5] Melalui sengketa tata usaha Negara, pemegang izin dapat menggugat keputusan atau penetapan dari instansi pemerintah terkait keputusan atau penetapan tersebut.

Daftar Isi:

  1. Undang-Undang Dasar Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Risiko
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[1] Pasal 286 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

[2] Pasal 277 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

[3] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

[4] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

[5] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

0

Legal Protection of Trademark Secrets

Author: Nirma Afianita; Co-Author: Fitriyani Wospakrik

Legal basis:

  1. Law Number 30 of 2000 concerning Trade Secrets

Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

Ruang Lingkup, Diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang bahwa Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum

Faktor yang dapat digunakan untuk menilai Rahasia Dagang

  • Sejauh mana informasi tersebut diketahui oleh kalangan di luar perusahaannya
  • Sejauh mana informasi tersebut diketahui oleh para karyawan di dalam perusahaannya
  • Sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi kerahasiaan informasinya
  • Nilai dari informasi tersebut bagi dirinya dan bagi pesaingnya
  • Derajat kesulitan atau kemudahan untuk mendapatkan atau menduplikasikan informasi yang sama oleh pihak lain

Jangka waktu perlindungan Dalam hal perlindungan rahasia dagang, tidak ada ketentuan yang membatasi tentang jangka waktu berlakunya perlindungan rahasia dagang, yaitu selama pemiliknya tetap merahasiakan dan melakukan usaha-usaha untuk melindungi kerahasiannya maka selama itu pula berlaku perlindungan hukum.

Syarat Rahasia dagang

  1. Bersifat rahasia, Sebuah informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.
  2. Mempunyai nilai ekonomi, sebuah informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi
  3. Dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya, upaya-upaya sebagaimana mestinya adalah semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya, di dalam suatu perusahaan harus ada prosedur baku berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan/atau yang dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Demikian pula dalam ketentuan internal perusahaan dapat ditetapkan bagaimana Rahasia Dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.

Perbedaan Rahasia dagang dengan Kekayaan Intelektual lainnya

  1. Bentuk KI lain tidak bersifat rahasia
  2. KI lainnya yang dilindungi harus dipublikasikan tetapi rahasia dagang dilindungi karena sifatnya yang rahasia;
  3. Rahasia dagang mendapat perlindungan meskipun tidak mengandung nilai kreativitas/penerimaan baru; dan
  4. Berbeda dengan hak cipta atau paten, perlindungan terhadap rahasia dagang tidak memiliki jangka waktu yang terbatas. Oleh karenanya banyak penemu/inventor yang merasa perlindungan yang diberikan oleh rahasia dagang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlindungan hak milik intelektual lainnya.
  5. Rahasia dagang dapat dilakukan secara lebih fleksibel karena tidak terikat syarat – syarat formal seperti halnya yang terjadi dalam sistem hukum paten yang memerlukan pemenuhan formalitas dan proses pemeriksaan dan rahasia dagang memiliki jangka waktu yang tidak terbatas

Ketentuan Rahasia Dagang

  1. Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
  2. Memberikan Lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pengalihan Hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 30/2000 bahwa:

  1. Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan dengan: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. perjanjian tertulis; atau e. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
  2. Pengalihan Hak Rahasia Dagang disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
  3. Segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  4. Pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
  5. Pengalihan Hak Rahasia Dagang diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.

Selain itu Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi , kecuali jika diperjanjikan lain.

  1. Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi , kecuali jika diperjanjikan lain.
  2. Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  3. Perjanjian Lisensi Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
  4. Perjanjian Lisensi diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang

Perlindungan Rahasia Dagang dalam Usaha Waralaba

Perlindungan rahasia dagang dalam usaha franchise dilaksanakan berdasarkan perjanjian franchise yang disepakti dimana di dalam perjanjian franchise dinyatakan bahwa kekayaan intelektual yang berasal dari pemberi waralaba merupakan hak dari pemberi waralaba sebagai pemilik rahasia dan penerima waralaba berkewajiban untuk tidak membocorkan atau melanggar hak-hak kekayaan intelektual milik pemberi waralaba yang dilindungi.

Dalam sudut pandang hukum, Pemilik rahasia dagang berhak menggunakan Rahasia Dagangnya, serta dapat memberikan Lisensi Rahasia Dagang untuk melarang pihak lain dalam menggunakan Rahasia Dagang dan tidak mengungkapkan rahasia dagangnya kepada pihak ketiga. Rahasia dagang memiliki sifat tidak mutlak, yang artinya kerahasiaannya dapat diketahui oleh pihak – pihak lain dengan digunakannya suatu izin melalui perjanjian.

Apabila perjanjian franchise dilanggar akan dikenakan sanksi administrative yang terdapat didalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 mengenai waralaba (franchise) yaitu berupa peringatan yang tertulis, pencabutan surat tanda pendaftaran waralaba (franchise) dan berupa denda.

Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang

Sebagai contoh jika suatu resep milik A diduga ditiru oleh B, maka cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

  1. Tentukan terlebih dahulu apakah resep tersebut merupakan rahasia dagang atau bukan. Jika sudah dapat dipastikan bahwa resep tersebut merupakan rahasia dagang, selanjutnya perlu juga dilihat apakah B memiliki izin untuk menggunakannya atau tidak.
  2. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU 30/2000, izin yang dimaksud berupa lisensi. Maka jika B memiliki izin, ini bukanlah pelanggaran rahasia dagang.
  3. Penyelesaian sengketa rahasia dagang dapat Anda temukan pada Pasal 11 UU 30/2000, pemegang hak rahasia dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan rahasia dagang atau memberikan lisensi atau mengungkapkan rahasia dagang ke pihak ketiga untuk kepentingan komersial, berupa: gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri; dan/atau penghentian semua perbuatan yang telah dilakukan.

Selain gugatan ke Pengadilan Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pelanggaran dan Sanksi

  1. Seseorang dianggap melanggar rahasia dagang orang lain apabila ia memperoleh atau menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;  Pencurian, Penyadapan, Spionase industry, Membujuk untuk mengungkapkan atau membocorkan rahasia dagang melalui penyuapan, paksaan dll., Dengan sengaja mengungkapkan atau mengingkari kesepakatan atau kewajiban yang tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan
  2. Ketentuan Pidana Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain, atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, atau Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). 3. Tindak pidana dimaksud termasuk delik aduan.

Trade Secret is information that is not known by the public in the field of technology and/or business, has economic value because it is useful in business activities, and is kept confidential by the owner of the Trade Secret.

Scope, It is regulated in Article 2 of Law No. 30 of 2000 concerning Trade Secrets that the scope of protection of Trade Secrets includes production methods, processing methods, sales methods, or other information in the field of technology and/or business that has economic value and is unknown to the public. general public

Factors that can be used to assess Trade Secrets

  • The extent to which the information is known by people outside the company
  • The extent to which the information is known by employees within the company
  • The extent to which efforts are being made to protect the confidentiality of the information
  • The value of this information for themselves and for competitors
  • Degree of difficulty or ease of obtaining or duplicating the same information by other parties

Period of protection In terms of protection of trade secrets, there are no provisions limiting the validity period of protection of trade secrets, namely as long as the owner keeps it secret and makes efforts to protect its confidentiality, as long as legal protection applies.

Trade secret terms

  1. Confidential in nature, An information is considered confidential if the information is only known by certain parties or is not known in general by the public.
  2. Having economic value, information is considered to have economic value if the confidential nature of the information can be used to carry out commercial activities or businesses or can increase economic profits
  3. Confidentiality is maintained through appropriate efforts, proper efforts are all steps that contain fairness, feasibility, and appropriateness measures that must be carried out. For example, within a company, there must be standard procedures based on general practices that apply in other places and/or which are set forth in the company’s own internal regulations. Likewise, in the company’s internal regulations it can be determined how the Trade Secret is maintained and who is responsible for the confidentiality.

Differences Trade Secrets with other Intellectual Property

  1. Other forms of KI are not confidential
  2. Other IP protected must be made public but trade secrets are protected because they are confidential;
  3. Trade secrets are protected even though they do not contain new creativity/acceptance value; and
  4. Unlike copyrights or patents, the protection of trade secrets does not have a limited period of time. Therefore, many inventors feel that the protection provided by trade secrets is more advantageous than the protection of other intellectual property rights.
  5. Trade secrets can be more flexible because it is not bound to the terms – a formal requirement, as seen in the system of patent law that requires the fulfillment of formalities and inspection processes and trade secrets have unlimited time period

Conditions Trade Secret

  1. Using their own Trade Secrets;
  2. Granting a License to or prohibiting other parties from using the Trade Secret or disclosing the Trade Secret to third parties for commercial purposes.

Transfer of Rights, as regulated in Article 5 of Law 30/2000 that:

  1. Trade Secret Rights can be transferred or transferred by: a. inheritance; b. grant; c. will; d. written agreement; or e. other reasons justified by laws and regulations.
  2. Transfer of Trade Secret Rights is accompanied by documents regarding the transfer of rights.
  3. All forms of transfer of Trade Secret Rights must be registered with the Directorate General by paying a fee as regulated in this Law.
  4. The transfer of rights to trade secrets that are not registered with the Directorate General will not have legal consequences for third parties.
  5. The transfer of Trade Secret Rights is announced in the Trade Secret Official Gazette.

In addition, the Trade Secret Right Holder has the right to grant a license to another party based on a license agreement, unless agreed otherwise.

  1. Trade secret rights holders have the right to grant licenses to other parties based on a license agreement, unless otherwise agreed.
  2. The License Agreement must be registered with the Directorate General for a fee as regulated in this Law.
  3. Trade Secret License Agreements that are not registered with the Directorate General have no legal consequences for third parties.
  4. License Agreement announced in the Official Gazette of Trade Secrets

Protection of Trade Secrets in Franchising

The protection of trade secrets in the franchise business is carried out based on the agreed franchise agreement where in the franchise agreement it is stated that intellectual property originating from the franchisor is the right of the franchisor as the owner of the secret and the franchisee is obliged not to divulge or violate the intellectual property rights of the franchisor. protected franchise.

From a legal point of view, the owner of a trade secret has the right to use his Trade Secret, and can grant a Trade Secret License to prohibit other parties from using the Trade Secret and not revealing his trade secret to third parties . Trade secrets are not absolute, which means that their confidentiality can be known by other parties with the use of a permit through an agreement.

If the franchise agreement is violated, it will be subject to administrative sanctions contained in Article 16 of Government Regulation no. 42 of 2007 concerning franchises, namely in the form of written warnings, revocation of franchise registration certificates (franchise) and in the form of fines.

Trade Secret Dispute Resolution

For example, if a recipe belonging to A is suspected of being copied by B, then the solution is as follows: First

  1. determine whether the recipe is a trade secret or not. If it is certain that the recipe is a trade secret, then it is also necessary to see whether B has permission to use it or not.
  2. Based on Article 1 point 5 of Law 30/2000, the intended permit is inform of a thelicence. So if B has permission, this is not a trade secret violation.
  3. Settlement of trade secret disputes can be found in Article 11 of Law 30/2000, trade secret rights holders or licensees can sue anyone who knowingly and without rights uses trade secrets or grants licenses or discloses trade secrets to third parties for commercial purposes, in the form of : claim for compensation to the District Court; and/or cessation of all actions that have been carried out.

In addition to a lawsuit to the District Court, the parties can resolve the dispute through arbitration or alternative dispute resolution.

 Violations and Sanctions

  1. A person is considered to have violated another person’s trade secret if he or she obtains or controls the trade secret in ways that are contrary to the applicable laws and regulations; • Theft • Wiretapping • Industrial espionage • Persuading to disclose or divulge trade secrets through bribery, coercion etc. • Deliberately disclosing or denying written agreements or obligations to maintain the relevant trade secret
  2. Criminal Provisions Whoever intentionally and without rights uses the Trade Secret of another party, or commits the acts as referred to in Article 13, or Article 14, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 300,000,000, – (three hundred million rupiah). 3. The crime referred to includes a complaint offense.
0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0

Eksistensi News Aggregator terhadap Perusahaan Media

Author: Fitriyani Wospakrik; Co-Author: Andreas Simanjorang

News aggregator adalah pengumpul berita, atau secara lengkap sebagai pengumpul berita, yang dianggap menarik atau sesuai kriteria khusus dari berbagai situs berita dan kemudian menyebarluaskannya di bawah label perusahaan dari pengumpul berita tersebut.[1]

Tak jarang news aggregator ini merusak algoritma internet yang mana dapat merusak engagement perusahaan media penerbit media. Tidak sedikit perusahaan media yang menggantungkan diri kepada algoritma internet agar konsumen dapat dengan segera mengakses berita yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut. Algoritma di internet yang terkena dampak news aggregator tersebut dapat merugikan perusahaan media penerbit berita

Selain itu, terdapat perusahaan-perusahaan news aggregator yang melakukan komersialisasi terhadap berita-berita yang dikumpulkan dari berbagai media digital melalui sarana iklan yang disediakan olehnya.

Oleh karena itu, permasalahan yang timbul adalah:

  1. Apakah berita yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit media dapat dikenakan hak cipta?
  2. Apakah news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum?
  3. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perusahaan media yang beritanya dikumpulkan oleh news aggregator

Pengenaan Hak Cipta terhadap Berita

Pengaturan mengenai hak cipta termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pada dasarnya, UU Hak Cipta membatasi berita sebagai yang tidak dikenakan oleh ketentuan perlindungan hak cipta, namun terbatas hanya kepada berita aktual, yaitu berita yang diumumkan dalam waktu 3×24 jam sejak pertama kali diumumkan kepada khalayak publik.[2] Bagaimana dengan berita yang dikemas dalam bentuk tulisan?

Dari Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta yang memuat Ciptaan Yang Dilindungi oleh Hak Cipta,  didapatilah 1 point yang dapat menjadi unsur dalam berita tertulis, yaitu “hasil karya tulis lainnya” (sesuai huruf a). Apakah hasil karya tulis lainnya dapat dianggap sebagai bagain dari berita tertulis? Jika dilihat dalam UU Hak Cipta, “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Pasal 18 UU Hak Cipta. Adapun penjelasan mengenai “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Penjelasan Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut “Yang dimaksud dengan “hasil karya tulis lainnya” antara Iain naskah kumpulan puisi, kamus umum, dan Harian umum surat kabar…” Dengan demikian dapatlah dikatakan berita tertulis sebagai objek hak cipta.[3]

Indikasi Perbuatan Melawan Hukum oleh News Aggregator.

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad/tort) diatur secara umum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dari Pasal 1365 KUH Perdata maka dapat didapat 4 kriteria: yaitu adanya perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.

Karena dalam permasalahan ini adalah mengenai hak cipta dari berita, maka secara khusus unsur perbuatan melawan hukum akan ditinjau dari UU Hak Cipta.

Pada umumnya, Pasal 44 ayat (1) huruf UU Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau perubahan suatu ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta maupun pemegang Hak Cipta. Bagaimana dengan news aggregator? Secara sepintas, news aggregator tidak dapat dianggap melanggar hak cipta, karena pada dasarnya news aggregator tidak mengubah substansi berita, dan dalam mengumpulkan berita juga menyebutkan sumber darimana ia mendapatkan berita tersebut. Karena itu, maka yang jadi perhatian adalah apakah perbuatannya merugikan atau tidak. Jika merugikan, maka news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum hak cipta.

Perlindungan Hukum bagi Perusahaan Media yang Beritanya dikumpulkan oleh News Aggregator.

Upaya perlindungan hukum yang dapat diandalkan oleh perusahaan media salah satunya adalah dengan mengandalkan penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 UU Hak Cipta dan menggugat ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96 UU Hak Cipta. Mengandalkan UU Hak Cipta dapatlah dilakukan apabila perusahaan media dapat dengan jelas menyatakan bahwa berita yang dihasilkan dapat dilindungi oleh hak cipta, sehingga dapat menjadi objek perlindungan hak cipta.

Selain itu, apabila UU Hak Cipta tidak dapat digunakan, alangkah baiknya apabila terdapat regulasi yang bersifat lex specialis yang mengatur mengenai aggregator, yang mana salah satu ketentuan di dalam beleid ini adalah kewajiban bagi news aggregator untuk memberikan royalti terhadap engagement yang timbul dari berita yang diunggah di dalam situs news aggregator tersebut kepada penerbit yang menerbitkan berita tersebut. Beleid ini menjadi hal yang penting sebab pada dasarnya terdapat kekosongan hukum dalam mengatur news aggregator, mengingat news aggregator adalah suatu terobosan baru yang mana lahir karena adanya perkembangan zaman. Diharapkan beleid itu dapat menjadi dasar hukum yang memberikan kepastian hukum bagi perusahaan media dengan news aggregator, mengatur news aggregator serta memberikan perlindungan hukum bagi perusahaan media yang hak-haknya dirugikan dengan adanya kehadiran news aggregator tersebut.

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

Rohman Budijanto, Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf


[1] Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, xviii, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf

[2] Lihat pada Pasal 43 huruf b UU Hak Cipta dan Penjelasannya

[3] Lihat lebih lanjut pada Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

0

How Predatory Pricing is Regulated in Indonesia

Author: Rizki Haryo; Co-author: Ananta Mahatyanto

Penjelasan tentang Predatory Pricing

Predatory pricing atau bias disebut juga monopoli harga adalah tindakan suatu perusahaan menetapkan harga di bawah biaya produksi dengan maksud menyingkirkan pesaing. Tujuan utama dari predatory pricing adalah untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa memberlakukan/melakukan predatory pricing. Pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”


Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Konsep Predatory Pricing

Penetapan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Hal tersebut tidak berlaku bagi:

  1. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
  2. Suatu perjanjian yang didasarkan undangundang yang berlaku.

Perbedaan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk

barang dan atau jasa yang sama. Larangan membuat perjanjian untuk tidak menjual/ memasok kembali dengan harga yang lebih rendah dari yang diperjanjikan (pasal 8 UU no.5 tahun 1999)

Rule Of Reason

Pada pasal 7 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan bahwa pelaku usaha diperbolehkan melakukan perbuatan jual rugi tapi dengan syarat perbuatan jual rugi tersebut tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Perbuatan jual rugi ini dapat dirumuskan dalam Rule of Reason.

Rule of Reason adalah suatu perilaku yang dilarang harus dapat dibuktikan telah mengakibatkan salah satu atau beberapa unsur performansi industri/sektor menurun, misalnya menurunnya kesejahteraan rakyat/ konsumen, efisiensi atau mengurangi persaingan (lessening competition). Rule of Reason hanya dapat dilakukan oleh lembaga otoritas dengan pendekatan untuk membuat evaluasi mengenai perjanjian atau kegiatan jual rugi tersebut dan menarik kesimpulan apakah perbuatan jual rugi bersifat menghambat atau mendukung persaingan antara pelaku usaha.

Hubungan Pasal 5 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999

Apabila para pihak yang membuat perjanjian merupakan pesaing aktual atau potensial dan mereka menetapkan harga untuk barang dan jasa yang berada di pasar bersangkutan faktual yang sama, maka diterapkan Pasal 5 Ayat 1. Namun, apabila pihak-pihak terkait bukan pesaing, maka terhadap perjanjian harga minimum yang berdiri sendiri hanya berlaku Pasal 8. Perincian-perincian lain tidak dapat disesuaikan dengan rumusan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999. Suatu hubungan khusus antara perjanjian dengan hubungan persaingan usaha antara para pihak-pihak anggota kartel tidak mempengaruhi Pasal 5 Ayat 1 UU No 5 Tahun 1999. Apabila pihak-pihak terkait menjadi pesaing usaha aktual ataupun potensial, maka ini merupakan bukti secukupnya bahwa perjanjian yang dibuat juga meliputi persaingan usaha tersebut. Standard yang diikuti oleh Pasal

5 Ayat 1 UU 5 Tahun 1999 sudah melarang perjanjian harga antar pesaing usaha. Larangan tersebut telah mencakup harga jual yang dibayar oleh penjual kembali maupun penetapan harga minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Sebagai larangan perjanjian yang horizontal berikutnya, maka Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999 tidak diperlukan lagi dan bahkan menjadi kontradiktif karena Pasal 5 Ayat 1 UU no 5 Tahun 1999 menetukan larangan harga, sedangkan pasal 8 UU no 5 Tahun 1999 hanya memuat larangan penyalahgunaan yang dimodifikasi.

Kedua ketentuan tersebut yaitu pasal 5 dan 8 UU no.5 tahun 1999 menjangkau persaingan dengan pesaing usaha. jika di bandingkan, Pasal 8 UU no.5 tahun 1999 hanya menunjukan perjanjian antar pelaku usaha. Bagian kedua UU no 5 Tahun 1999 ingin menggabungkan semua jenis penetapan harga. Jadi unsur sistematik penggabung Pasal 5-8 UU no 5 Tahun 1999, bukan ketentuan perjanjian horizontal melainkan perjanjian harga.

Tata Cara Penanganan Perkara

Pada pasal 38 ayat 1 UU no.5 tahun 1999 di jelaskan bahwa setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UU no.5 tahun 1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi Pengawasan Pelaku Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Berdasarkan Ayat 2 Pasal 38 tersebut pihak yang dirugikan juga dapat melaporkan tindakan tersebut dengan cara yang sama dengan ayat 1 pasal 38 dengan memaparkan kerugian yang timbulkan oleh pelaku, namun untuk identitas para pelapor akan dirahasiakan. Tata cara untuk pelaporan dijelaskan lebih lanjut oleh Komisi Pegawas Pelaku Usaha.

Pada pasal 39 UU no.5 tahun 1999 komisi mempunyai kewajiban melakukan pemeriksaan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima laporan dari pelapor dan komisi wajib menetapkan ada atau tidaknya pemeriksaan lanjutan.

Namun pada pasal 40 tidak menutup kemungkinan bahwa komisi dapat memeriksa pelaku usaha karena adanya dugaan pelanggaran tanpa ada nya pelaporan dengan tata cara yang sama seperti di atas.

Pelaku usaha yang diperiksa oleh komisi wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan oleh komisi dalam penyelidikan dan pemeriksaan. Pelaku usaha juga dilarang menolak untuk diperiksa dan memberikan informasi yang diperlukan, juga dilarang menghambat proses penyelidikan atau pemeriksaan.

Adapun alat bukti yang dimaksud pada Pasal 42 merupakan:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat dan atau dokumen
  4. Petunjuk
  5. Keterangan pelaku usaha

Alur Pemeriksaan dan Proses Pengadilan

Pada pasal 43 komisi menyelesaikan pemeriksaan lanjut selambatnya 60 hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan, namun apabila diperlukan perpanjangan waktu, paling lama adalah 30 hari. Pemutusan telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha wajib dilakukan oleh komisi selambatnya 30 hari setelah selesainya pemeriksaan lanjutan tersebut dan putusan tersebut di bacakan di persidangan terbuka untuk umum.

Setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dalam kurun waktu 30 hari pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan pelaksanaannya kepada komisi. Pelaku usaha juga dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatnya 14 hari setelah menerima putusan tersebut. Apabila tidak mengajukan keberatan maka pelaku usaha dianggap menerima putusan tersebut.

Terkait dengan putusan yang tidak dilakukan oleh pelaku usaha, maka Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal tersebut menjadi bukti permulaan yang cukup untuk penyidikan.

Sanksi pelanggaran

Pada pasal 47 komisi berwenang memberi sanksi tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar, tindakan tersebut merupakan:

  1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
  3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
  4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
  5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
  6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
  7. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Ketentuan-Ketentuan Pidana

Dalam UU no.5 tahun 1999 di tentukan nya untuk sanksi pidana terhadap pelaku yang dimana pada pasal 48:

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah- rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 3 (tiga) bulan.

Dan adanya pidana tambahan yang merujuk pada pasal 10 KUHP untuk sanksi tersebut berupa:

  1. Pencabutan izin usaha; atau
  2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undan ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
  3. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Explanation of Predatory Pricing

 Predatory pricing or also known as monopoly pricing is the action of a company setting prices below production costs with the intention of getting rid of competitors. The main objective of predatory pricing is to remove competing business actors from the market and also prevent business actors who have the potential to become competitors from entering the same market.  As soon as they succeed in getting a competing business actor out of the market and delaying the entry of a new business actor, then the business actor can then increase the price again and maximize profits.  To be able to carry out such actions, the business actor must have a large market share and the profits to be obtained can cover the losses suffered during the period of implementing/performing predatory pricing.  Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition states:

 “Business actors are prohibited from supplying goods and or services by selling at a loss or setting very low prices with the intention of getting rid of or ascertaining the business of their competitors in the relevant market so as to result in monopolistic practices and or unfair business competition.”

Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition

Predatory Pricing Concept

Pricing

Business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to determine the price for goods and or services that must be paid by consumers or customers in the same relevant market.

 This does not apply to:

  1. An agreement entered into in a joint venture;
  2. An agreement based on the applicable law.

Price differences

Business actors are prohibited from entering into agreements that result in one buyer having to pay a price different from the price paid by another buyer for the same goods and or services.  Prohibition of making an agreement not to sell/resupply at a lower price than agreed (article 8 of Law no. 5 of 1999)

Rule Of Reason

 In Article 7 of Law No. 5/1999, business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to set prices below the market price, which may result in unfair business competition.  It can be said that business actors are allowed to carry out selling at a loss but on the condition that the act of selling at a loss does not result in unfair business competition.  This act of selling at a loss can be formulated in the Rule of Reason.

 Rule of Reason is a prohibited behavior that must be proven to have resulted in one or several elements of industry/sector performance declining, for example decreasing people’s/consumer welfare, efficiency or reducing competition (lessening competition).  The Rule of Reason can only be carried out by an authorized institution with an approach to evaluate the agreement or sale and loss activity and draw a conclusion whether the act of selling and losing is hindering or supporting competition between business actors.

Relation between Article 5 and Article 8 of Law No. 5 of 1999

 If the parties to the agreement are actual or potential competitors and they set prices for goods and services in the relevant market which are factually the same, then Article 5 Paragraph 1. However, if the parties concerned are not competitors, then the minimum price agreement is  which stands alone only applies Article 8. Other details cannot be adjusted to the formulation of Article 5 Paragraph 1 and Article 8 of Law No. 5 of 1999. A special relationship between the agreement and the business competition relationship between the parties who are cartel members does not affect Article 5  Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999. If the related parties become actual or potential business competitors, then this is sufficient evidence that the agreement made also includes such business competition.  The standard which is followed by Article 5 Paragraph 1 of Law 5 of 1999 already prohibits price agreements between business competitors.  The prohibition includes the selling price paid by the re-seller as well as the determination of the minimum price that may be requested by the re-seller.  As the next horizontal agreement prohibition, Article 8 of Law No. 5 of 1999 is no longer needed and even becomes contradictory because Article 5 Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 stipulates a prohibition on prices, while Article 8 of Law No. 5 of 1999 only contains a modified prohibition of abuse.

The two provisions, namely Articles 5 and 8 of Law No. 5/1999, cover competition with business competitors.  in comparison, Article 8 of Law no. 5 of 1999 only shows an agreement between business actors.  The second part of Law No. 5/1999 wants to incorporate all types of pricing.  So the systematic element of combining Articles 5-8 of Law No. 5 of 1999, is not a provision for a horizontal agreement but a price agreement.

Procedure for Handling Cases

Article 38 paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 explains that anyone who knows that there has been or is reasonably suspected of having violated Law No. 5 of 1999 can report in writing to the Business Actor Supervision Commission with clear information about the occurrence of a violation.  , by including the identity of the reporter.  Based on paragraph 2 of article 38, the aggrieved party can also report the action in the same way as paragraph 1 of article 38 by describing the loss caused by the perpetrator, but the identity of the complainant will be kept confidential.  The procedure for reporting is further explained by the Business Actor Supervisory Commission.

 In Article 39 of Law No. 5 of 1999, the commission has the obligation to carry out an examination no later than 30 days after receiving the report from the reporter and the commission is obliged to determine whether or not there is a follow-up examination.

 However, Article 40 does not rule out the possibility that the commission may examine business actors for alleged violations without reporting in the same manner as above.

 Business actors examined by the commission are required to submit evidence required by the commission in the investigation and examination.  Business actors are also prohibited from refusing to be examined and providing the necessary information, nor are they prohibited from obstructing the investigation or examination process.

 The evidence referred to in Article 42 is:

  1. Witness testimony
  2. Expert description
  3. Letters and or documents
  4. Instruction
  5. Description of business actors

Examination Flow and Court Process

 In Article 43, the commission completes a follow-up examination no later than 60 days after the follow-up examination is carried out, but if an extension of time is required, the maximum is 30 days.  The decision that a violation has occurred committed by a business actor must be made by the commission no later than 30 days after the completion of the follow-up examination and the decision is read out in court open to the public.

 After receiving notification of the decision within 30 days, the business actor is obliged to implement the decision and submit its implementation to the commission.  Business actors can also file an objection to the district court no later than 14 days after receiving the decision.  If they do not file an objection, the business actor is deemed to have accepted the decision.

 Regarding decisions that are not made by business actors, the Commission submits the decision to investigators for investigation in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations and this is sufficient preliminary evidence for investigation.

Violation sanction

 In Article 47, the commission is authorized to sanction administrative actions against business actors who violate them, these actions are:

  1. determination of the cancellation of the agreement as referred to in Article 4 to Article 13, Article 15, and Article 16;  and or
  2. orders to business actors to stop vertical integration as referred to in Article 14;  and or
  3. orders to business actors to stop activities that are proven to cause monopolistic practices and or cause unfair business competition and or harm the public;  and or
  4. orders to business actors to stop abuse of dominant position;  and or
  5. stipulation of cancellation of merger or consolidation of business entities and acquisition of shares as referred to in Article 28;  and or
  6. determination of compensation payment;  and or
  7. imposition of a fine of a minimum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah).

 Criminal Provisions

In Law no. 5 of 1999, it is stipulated that criminal sanctions against perpetrators are stipulated in article 48:

  1. Violation of the provisions of Article 4, Article 9 to Article 14, Article 16 to Article 19, Article 25, Article 27, and Article 28 is subject to a minimum fine of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah)  and a maximum of Rp. 100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 6 (six) months.
  2. Violation of the provisions of Article 5 to Article 8, Article 15, Article 20 to Article 24, and Article 26 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah) and a maximum of Rp.  Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 5 (five) months.
  3. Violation of the provisions of Article 41 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a period of time.  – a period of 3 (three) months.

 And there are additional penalties that refer to Article 10 of the Criminal Code for these sanctions in the form of:

  1. revocation of business license;  or
  2. prohibition for business actors who have been proven to have violated this law from serving as directors or commissioners for a minimum of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years;  or
  3. cessation of certain activities or actions that cause harm to others.

1 21 22 23 24
Translate