0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

Eksistensi News Aggregator terhadap Perusahaan Media

Author: Fitriyani Wospakrik; Co-Author: Andreas Simanjorang

News aggregator adalah pengumpul berita, atau secara lengkap sebagai pengumpul berita, yang dianggap menarik atau sesuai kriteria khusus dari berbagai situs berita dan kemudian menyebarluaskannya di bawah label perusahaan dari pengumpul berita tersebut.[1]

Tak jarang news aggregator ini merusak algoritma internet yang mana dapat merusak engagement perusahaan media penerbit media. Tidak sedikit perusahaan media yang menggantungkan diri kepada algoritma internet agar konsumen dapat dengan segera mengakses berita yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut. Algoritma di internet yang terkena dampak news aggregator tersebut dapat merugikan perusahaan media penerbit berita

Selain itu, terdapat perusahaan-perusahaan news aggregator yang melakukan komersialisasi terhadap berita-berita yang dikumpulkan dari berbagai media digital melalui sarana iklan yang disediakan olehnya.

Oleh karena itu, permasalahan yang timbul adalah:

  1. Apakah berita yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit media dapat dikenakan hak cipta?
  2. Apakah news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum?
  3. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perusahaan media yang beritanya dikumpulkan oleh news aggregator

Pengenaan Hak Cipta terhadap Berita

Pengaturan mengenai hak cipta termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pada dasarnya, UU Hak Cipta membatasi berita sebagai yang tidak dikenakan oleh ketentuan perlindungan hak cipta, namun terbatas hanya kepada berita aktual, yaitu berita yang diumumkan dalam waktu 3×24 jam sejak pertama kali diumumkan kepada khalayak publik.[2] Bagaimana dengan berita yang dikemas dalam bentuk tulisan?

Dari Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta yang memuat Ciptaan Yang Dilindungi oleh Hak Cipta,  didapatilah 1 point yang dapat menjadi unsur dalam berita tertulis, yaitu “hasil karya tulis lainnya” (sesuai huruf a). Apakah hasil karya tulis lainnya dapat dianggap sebagai bagain dari berita tertulis? Jika dilihat dalam UU Hak Cipta, “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Pasal 18 UU Hak Cipta. Adapun penjelasan mengenai “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Penjelasan Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut “Yang dimaksud dengan “hasil karya tulis lainnya” antara Iain naskah kumpulan puisi, kamus umum, dan Harian umum surat kabar…” Dengan demikian dapatlah dikatakan berita tertulis sebagai objek hak cipta.[3]

Indikasi Perbuatan Melawan Hukum oleh News Aggregator.

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad/tort) diatur secara umum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dari Pasal 1365 KUH Perdata maka dapat didapat 4 kriteria: yaitu adanya perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.

Karena dalam permasalahan ini adalah mengenai hak cipta dari berita, maka secara khusus unsur perbuatan melawan hukum akan ditinjau dari UU Hak Cipta.

Pada umumnya, Pasal 44 ayat (1) huruf UU Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau perubahan suatu ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta maupun pemegang Hak Cipta. Bagaimana dengan news aggregator? Secara sepintas, news aggregator tidak dapat dianggap melanggar hak cipta, karena pada dasarnya news aggregator tidak mengubah substansi berita, dan dalam mengumpulkan berita juga menyebutkan sumber darimana ia mendapatkan berita tersebut. Karena itu, maka yang jadi perhatian adalah apakah perbuatannya merugikan atau tidak. Jika merugikan, maka news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum hak cipta.

Perlindungan Hukum bagi Perusahaan Media yang Beritanya dikumpulkan oleh News Aggregator.

Upaya perlindungan hukum yang dapat diandalkan oleh perusahaan media salah satunya adalah dengan mengandalkan penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 UU Hak Cipta dan menggugat ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96 UU Hak Cipta. Mengandalkan UU Hak Cipta dapatlah dilakukan apabila perusahaan media dapat dengan jelas menyatakan bahwa berita yang dihasilkan dapat dilindungi oleh hak cipta, sehingga dapat menjadi objek perlindungan hak cipta.

Selain itu, apabila UU Hak Cipta tidak dapat digunakan, alangkah baiknya apabila terdapat regulasi yang bersifat lex specialis yang mengatur mengenai aggregator, yang mana salah satu ketentuan di dalam beleid ini adalah kewajiban bagi news aggregator untuk memberikan royalti terhadap engagement yang timbul dari berita yang diunggah di dalam situs news aggregator tersebut kepada penerbit yang menerbitkan berita tersebut. Beleid ini menjadi hal yang penting sebab pada dasarnya terdapat kekosongan hukum dalam mengatur news aggregator, mengingat news aggregator adalah suatu terobosan baru yang mana lahir karena adanya perkembangan zaman. Diharapkan beleid itu dapat menjadi dasar hukum yang memberikan kepastian hukum bagi perusahaan media dengan news aggregator, mengatur news aggregator serta memberikan perlindungan hukum bagi perusahaan media yang hak-haknya dirugikan dengan adanya kehadiran news aggregator tersebut.

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

Rohman Budijanto, Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf


[1] Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, xviii, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf

[2] Lihat pada Pasal 43 huruf b UU Hak Cipta dan Penjelasannya

[3] Lihat lebih lanjut pada Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

0

How to Legally Enclose Batik on a Product

Author: Nirma Afianita, Co: Fitriyani Wospakrik

Berdasarkan Kementerian Industri menjelaskan bahwa Batik adalah hasil karya bangsa Indonesia yang merupakan perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia. Setiap daerah memiliki pola dan ciri khas masing-masing. Batik itu sendiri dapat diimprovisasi dengan menggabungkan beberapa elemen dan menjadikan corak ataupun hasil batik yang baru yang dihasilkan dari penggabungan tersebut. Dan hal tersebutlah yang dapat didaftarkan. Sehingga hal ini akan membagi batik menjadi produk dagang dan batik sebagai warisan budaya.

Karya seni batik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu yang pertama dapat termasuk sebagai karya cipta yang dilindungi menurut pasal 40 ayat (1) huruf j Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta. Yang dimaksud dengan “karya seni batik” adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional. Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna. Karya seni batik yang dimaksud adalah suatu seni batik yang telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan masa saat ini. Selanjutnya[na1]  karya seni batik lainnya termasuk dalam Indikasi geografis yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Goegrafis yaitu hak atas indikasi geografis  yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Batik yang dimaksud dalam Indikasi Geografis adalah batik murni yang merupakan suatu temuan dari leluhur yang diturunkan turun menurun tanpa adanya perubahan dan merupakan batik dengan seni asli yang berkaitan dengan budaya suatu daerah.

Motif batik yang dimiliki setiap daerah memiliki karakteristik berbeda . Inilah yang dinamakan Indikasi Geografis yang memiliki arti suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, batik dapat dikategorikan sebagai Indikasi Geografis dikarenakan setiap daerahh memiliki ciri khas batiknya masing-masing, sehiingga batik daerah tertentu akan menunjukkan suatu ciri khas yang menonjolkan daerah tersebut. Hal itulah yang menjadikan bahwa batik dilindungi oleh Undang-Undang Indikasi Geografis.

According to the Ministry of Indonesia, Batik is the work of the Indonesian nation. It is the combination of ancestorial art and technology. Each region has its own patterns and characteristics. Batik can be improved by combining a few elements and making it a pattern to create a new form of batik. In doing so, it can be registered and covered. Batik can be understood to be a trading product, as well as Indonesia’s cultural heritage.

Batik artworks can be divided into two types: copyrighted works that are protected by article 40 paragraph (1) letter J of Law Number 28 of 2014 regarding copyright, and geographical indications regulated by Article 1 number 7 of Law number 20 of 2016 regarding Marks and Geographical Indications. To be classified as a geographical indication, it has to retain its reputation, quality, and characteristics that form the basis for the geographical indication protection. These kinds of batiks are also known as pure batiks as they are the derivative of their ancestors and cultures.

Batik artworks can be divided into two types: copyrighted works that are protected by article 40 paragraph (1) letter J of Law Number 28 of 2014 regarding copyright, and geographical indications regulated by Article 1 number 7 of Law number 20 of 2016 regarding Marks and Geographical Indications. To be classified as a geographical indication, it has to retain its reputation, quality, and characteristics that form the basis for the geographical indication protection. These kinds of batiks are also known as pure batiks as they are the derivative of their ancestors and cultures.

Batik artwork is a contemporary batik motif that is innovative rather than traditional. It is a protected art form because it contains an artistic value in its images, patterns, and color compositions. These innovative Batik pieces are changed and adjusted time and time again.

The batik motifs owned by each region have has its own batik characteristics, so that certain regional batiks will show a characteristic that accentuates the area. This is what is called a Geographical Indication, the meaning of a sign indicating the area of ​​origin of an item and/or product which due to geographical environmental factors including natural factors, human factors, or a combination of these two factors, gives a certain reputation, quality and characteristics to the goods and/or products. / or the resulting product. This is what makes batik protected by the Geographical Indications Act. 


Ketentuan Indikasi Geografis diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu:

  1. Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis
    didaftar oleh Menteri.
  2. Untuk memperoleh pelindungan Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri.
  3. Pemohon sebagaimana dimaksud merupakan:
  4. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan
    geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:
  5. sumber daya alam;
  6. barang kerajinan tangan; atau
  7. hasil industri;
  8. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota
  9. Ketentuan mengenai pengumuman, keberatan, sanggahan, dan penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis bagi Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.

Lebih lanjut lagi, dikarenakan ciri khas batik yang erat dengan budaya Indonesia menjadikan batik sebagai salah satu budaya seni yang telah mendarah daging dengan Indonesia. Sehingga apabila seorang yang ingin menggunakan desain batik pada produk yang ingin dijual, maka hal tersebut sah-sah saja. Maka dari itu, hal ini memberikan pengertian bahwa selama desain batik dan digunakan merupakan desain batik budaya, maka hal tersebut adalah suatu hal yang wajar dan legal untuk dilakukan. Sepanjang pihak tersebut menggunakan batik sesuai dengan tujuan peraturan dan bijaksana, mereka dapat menggunakan batik dalam produk mereka.

Berbeda dengan desain batik yang diciptakan oleh seseorang dengan kemampuannya sendiri dalam mengembangkan desain batik yang sudah ada dengan mengkombinasikannya dengan hal-hal yang lain sehingga terlihat lebih modern yang bertujuan agar penggemar batik atau produknya dapat meningkat. Hal tersebut akan berbeda dengan batik budaya. Dimana batik yang telah mengalami perubahan dan dikembangkan oleh seseorang dan telah mendapatkan perlindungan dan telah mendaftarkan Mereknya pada Dirjen Hak Kekayaan Intelektual. Maka setiap orang yang ingin menggunakan desain tersebut wajib merujuk kepada pemilik desain.

The provisions of Geographical Indications are regulated in Article 53 of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, namely:

  1. Geographical Indications are protected after Geographical Indications are registered by the Minister
  2. In order to obtain protection, an Applicant for Geographical Indications must submit an application to the Minister. 
  3. The applicant as referred to is: 
    • an institution that represents the community in the area 
    • certain geographical that is working on an item and/or product in the form of: 
      • natural resources; 
      • handicraft items; or 
      • Industrial products; 
    • provincial or district/city governments 
  4. Provisions regarding announcements, objections, and withdrawals as referred to in Article 14 to Article 19 shall apply mutatis mutandis to Applications for registration of Geographical Indications.

Furthermore, because the characteristics of batik are closely related to Indonesian culture, batik is one of the artistic cultures that has been embedded with Indonesia. So if someone wants to use batik designs on the products they want to sell, then that’s fine. Therefore, as long as the batik design and use is a cultural batik design, then it is a natural and legal thing to do. As long as the subject uses batik accordingly and wisely, they can use the batik label on their product.

In contrast to batik designs created by someone with their own ability to develop existing batik designs into a more modern look, this will be different from cultural batik. Where batik has undergone changes, was developed by someone, has obtained a Copyright, and has registered its trademark to the Director-General of Intellectual Property Rights. So everyone who wants to use the design must refer to the owner of the design.


Pengusaha dapat memperoleh izin dagang melalui Online Single Submission Risk-Based Approach sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021. Dimana setiap Pengusaha wajib melakukan pendaftaran terhadap Online Single Submission Risk-Based Approach untuk dapat melakukan dan menyelenggarakan usaha dagangnya.

Pengusaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap Kekayaan Intelektual minimal akan menghadapi 2 (dua) tuntutan yaitu dari pengusaha lain atau kompetitor dan konsumen. Wujud perlindungan terhadap indikasi geografis yaitu sanksi bagi pelaku tindak pidana menyangkut indikasi geografis dan indikasi asal terdapat dalam Pasal 100 – 103 UU No. 20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis.

Terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan mencakup Indikasi geografis  dapat diajukan gugatan yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Menyatakan bahwa:

  1. Pengajuan gugatan terhadap pelanggaran dilakukan sesuai Pasal 57 ayat (1) dan pasal 58 Undang-undang nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.
  2. Gugatan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh:
  3. Setiap produsen yang berhak menggunakan Indikasi geografis
  4. Lembaga yang mewakili masyarakat
  5. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.
  6. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan untuk indikasi geografis berlaku secara mutatis mutandis ketentuan pasal 80 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.

Entrepreneurs can obtain the permit of trading through Online Single Submission Risk-Based Approach as stated in Government Regulation No. 5 of 2021. On the other hand, every single entrepreneur must register and obtain the permit through Online Single Submission Risk-Based Approach to run the business.

Entrepreneurs who have violated Intellectual Property will at least face two demands, namely from other entrepreneurs (competitors) and consumers. The form of protection against geographical indications, namely sanctions for perpetrators of criminal acts concerning geographical indications and indications of origin are contained in Articles 100 – 103 of Law no. 20 of 2016 concerning brands and geographical indications. 

Violations that do include a geographical indication may file a lawsuit under Article 26 of Government Regulation No. 51 of 2007 and declare that: 

  1. The filing of a lawsuit against the infringement is carried out in accordance with Article 57 paragraph (1) and Article 58 of Law Number 15 of 2001 concerning Marks. 
  2. The lawsuit as referred to can be made by: 
    1. Every producer who has the right to use geographic indications 
    2. Institutions that represent the community 
    3. The agency is authorized to do so. 
  3. Provisions regarding the procedure for filing a lawsuit for geographical indications apply mutatis mutandis to the provisions of Article 80 of Law Number 15 of 2001 concerning marks.
0

Webinar series – Protect your sketch Protect Your Asset #1 : Memulai Bisnis Desain Grafis dan Film Animasi (dalam Perspektif Badan Usaha, Bisnis, Hukum dan Kekayaan Intelektual)

Tanggal : Kamis, 27 Mei 2021
Waktu : 14.00 – 16.55 (GMT +7) Jakarta
Tempat : (online) zoom


Pembicara:

Rania Amina
User Interface Designer & FOSS Contributor (Komunitas Desain Grafis, Gimpscape ID)

Banung Grahita
Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual (Institut Teknologi Bandung)

Zul Fadli
Notaris, Penulis, Dosen

Semerdanta Pusaka
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (Universitas Esa Unggul)

Yunarto Zeng
Lawyer (Partner Afia & Co.)

Nirma Afianita
Lawyer and Konsultan Kekayaan Intelektual Terdaftar (Managing Partner Afia & Co.)

Host:
Afina Nurkemalawati (Research & Public Relation Afia & Co.)


Pendaftaran : https://bit.ly/AfiacoWebinar4-1
CP : +6287777749267 (Coco)

Translate