LEGAL PROTECTION FOR ONLINE STOCK TRADING INVESTORS IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope P. B.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Referensi:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia sebagai negara berkembang dimana masyarakat berorientasi keuangan jangka pendek (saving society) yakni menabung, sedangkan negara maju berorientasi jangka panjang (investing society) yakni investasi. Edukasi masyarakat secara intensif dan berkesinambungan dibutuhkan untuk transisi dari saving society ke investing society. Adanya investasi yang kurang memadai, akan kesulitan mencapai peningkatan perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi negara-negara berkembang.

Tujuan bisnis melakukan proyek perdagangan saham secara online adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakukan penjualan, pembelian, perubahan (amend), pembatalan (withdraw), memantau status pesanan jual beli secara realtime, memverifikasi portofolio, mengirimkan sejarah transaksi dan melacak harga saham secara realtime.
Investasi keuangan di bidang pasar modal semakin berkembang saat ini dan peningkatan teknologi informasi dan komunikasi internet of things mengakibatkan tidak diperlukannya lagi pertemuan secara fisik. Transaksi di perbankan dan pasar modal menjadi lebih mudah dan cepat karena dilakukan secara virtual. Kecepatan pelayanan investasi semakin meningkat karena kehadiran internet of things.

Pasar modal berperan penting bagi sistem ekonomi di Indonesia karena pasar modal melaksanakan peran sebagai sarana pendanaan usaha atau sarana perusahaan untuk memperoleh dana dari investor serta sebagai sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan. Pasar modal atau capital market merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik surat utang, saham, maupun instrumen lainnya.

Situasi yang berkembang pesat saat ini, penggunaan salah satu aplikasi berbasis online sudah tersebar di masyarakat yaitu aplikasi saham online yang digunakan masyarakat sebagai pelaku investor dalam pasar modal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) yang dimana pasar modal mempunyai tempat strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Hal tersebut menarik minat masyarakat dengan kegiatan trading saham online. Sehingga sebelum masyarakat melakukan kegiatan trading saham online, masyarakat perlu mengetahui prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, yaitu prinsip keterbukaan.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 1

25. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut”.

Prinsip keterbukaan dalam pasar modal berlaku umum termasuk dalam ranah internasional menjadi hal yang sangat mutlak untuk dilakukan oleh semua pihak. Berbeda dengan sektor perbankan dimana prinsip kerahasiaan bank merupakan hal yang mutlak untuk ditaati, sektor pasar modal menetapkan hal yang sebaliknya, disclosure atau keterbukaan merupakan hal mutlak. Emiten, perusahaan publik, atau pihak lain yang terkait wajib memberikan informasi penting yang berhubungan dengan tindakan atau efek perusahaan tersebut pada waktu yang tepat kepada masyarakat. Emiten wajib memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Lengkap maksudnya informasi yang diberikan utuh, tidak ada yang tertinggal, disembunyikan, disamarkan, atau tidak memberitahukan fakta material.

Terdapat beberapa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal terhadap investor. Dalam rangka mencapai tujuan menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar, dan efisien Bursa efek wajib menyediakan sarana pendukung dan mengawasi kegiatan anggota bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kemudian demi menjaga tujuan menyelenggarakan perdagangan efek tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juga telah menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan oleh perusahaan efek atau penasihat investasi.

Larangan-larangan yang diatur terhadap perusahaan efek atau penasihat investasi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 35
Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang:
a. menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah;
b. mengungkapkan nama atau kegiatan nasabah, kecuali diberi instruksi secara tertulis oleh nasabah atau diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mengemukakan secara tidak benar atau tidak mengemukakan fakta yang material kepada nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya;
d. merekomendasikan kepada nasabah untuk membeli atau menjual Efek tanpa memberitahukan adanya kepentingan Perusahaan Efek dan Penasihat Investasi dalam Efek tersebut”.

Dalam BAB XI Pasal 90-99 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah diatur mengenai penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Dalam pasal 90 misalnya yang berbunyi:
“Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek”.

Terhadap ketentuan pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur mengenai ketentuan sanksi yang dapat diterapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah dengan tegas mengatur perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan transaksi dipasar modal. Begitupun dengan investor yang melakukan transaksi online meskipun belum ada pengaturan secara khusus namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tetap menjadi acuan apabila terjadi pelanggaran berupa penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam pada saat transaksi online dilaksanakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang bersifat pencegahan dan pemberian sanksi, karena fungsi pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan dipegang oleh OJK. Konsumen yang dimaksud memiliki pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pension, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan OJK, dimana perlindungan ini sifatnya mencegah kerugian, diantaranya:
a. Informasi dan edukasi tentang karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya diberikan pada masyarakat;
b. jika kegiatan yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) merugikan masyarakat maka kegiatan tersebut dapat diminta untuk dihentikan; dan
c. Ketentuan dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan mengatur tentang tindakan lain yang dapat dilakukan apabila dibutuhkan.

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan, bahwa pelayanan pengaduan konsumen dapat dilakukan OJK yang terdiri dari:
a. LJK menyediakan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b. LJK membuat Mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan;
c. LJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.

Sebagai proyeksi lanjutan, jika investor dirugikan oleh kegiatan pemanfaatan jasa keuangan, maka investor berhak untuk mengadukan hal ini kepada layanan konsumen OJK. Sebagai otoritas pengawas tunggal dan terintegrasi bagi jasa keuangan di Indonesia, OJK berkewajiban untuk memperketat pengawasan terhadap sistem remote trading di bursa. Berdasarkan kasus diatas, jika kemudian hari terjadi lagi pengaduan oleh investor maka OJK berkewajiban untuk memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan (dalam kasus ini adalah Bursa Efek Indonesia) untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang merasa dirugikan tersebut.

Pertanggungjawaban pelaku usaha mengacu kepada Undang-Undang Pasar Modal diatur pada Pasal 46 Undang-Undang Pasar Modal dimana dikatakan bahwa kewajiban Kustodian yakni harus menyerahkan ganti kerugian kepada pemegang rekening atas kerugian yang timbul karena kesalahan yang dilakukannya. Namun dalam praktik pengaturan mengenai pelayanan/produk belum optimal memberikan perlindungan yang memadai sejak awal hingga penanganan dan penyelesaian sengketa. Sanksi yang didapatkan oleh pelaku usaha akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Perusahaan Efek dapat bertindak sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan manajer investasi yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberi kepastian hukum terhadap investor. Pertanggungjawaban pelaku usaha/perusahaan sekuritas akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online selain diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal juga diatur dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

Legal Basis:

  1. Law Number 8 of 1995 concerning Capital Market
  2. Law Number 21 of 2011 concerning Financial Services Authority

Reference:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

The business goal of doing stock trading projects online is to provide opportunities for customers to make sales, purchases, changes, cancellations, monitor the status of buying and selling orders in real time, verify portfolios, send transaction history and track stock prices in real time. Financial investment in the capital market sector is growing at this time and the improvement in information technology and internet of things has resulted in no need for physical meetings. Transactions in banking and capital markets have become easier and faster since they are carried out virtually. The speed of investment services is increasing due to the presence internet of things.

The capital market plays an important role in the economic system in Indonesia since the capital market plays a role as a means of business funding or a means for companies to obtain funds from investors and as a means for the public to invest in financial instruments. The capital market is a market for various long-term financial instruments that can be traded, both debt securities, shares, and other instruments.

Currently the use of the online stock application has spread in the community. Based on Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, the capital market has a strategic role in national development as a business funding source and public investment media. This attracts people’s interest towards online stock trading. So that before people trade stocks online, people need to know the principles applicable in the capital market business, namely the disclosure principle.

The disclosure principle is a principle that applies in the capital market business, as regulated in Article 1 number 25 of Law Number 8 of 1996 concerning the Capital Market which states:
“Article 1

  1. The disclosure principle is the general guideline that requires an issuer, a public company and other persons subject to this law, to disclose to the public within a certain time, material information with respect to their business or securities, when such information may influence decisions of investors in such securities and/or the price of the securities”.

The disclosure principle in the capital market is generally accepted, including in the international world, which is obligatory for all parties. In contrast to the banking sector where the principle of bank secrecy is mandatory, the capital market sector stipulates the opposite, disclosure or openness is absolute. Issuers, public companies, or other related parties must provide important information related to the actions or securities of the company in a timely manner to the public. Issuers are required to provide complete and accurate information. Complete means that the information provided is complete, nothing is left behind, hidden, disguised, or does not reveal material facts.

There are several protections provided by Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market to investors. In order to achieve the goal of conducting securities trading in an orderly, fair and efficient manner, the Stock Exchange is required to provide supporting facilities and supervise the activities of securities exchange members as regulated in Article 7 paragraph (1) jo. Paragraph (2) of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market. Then in order to maintain the purpose of holding securities trading, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has also explained activities that are prohibited from being carried out by securities companies or investment advisors.

There are prohibitions regulated against securities companies or investment advisors as regulated in Article 35 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 35
Securities companies or investment advisors are prohibited from:
a. use influence or exert pressure that is contrary to the interests of the customer;
b. disclose the customer’s name or activities, unless given a written instruction by the customer or required by applicable laws and regulations;
c. disclose incorrectly or do not disclose material facts to customers regarding their business capabilities or financial condition;
d. recommend to clients to buy or sell Securities without notifying the existence of the Securities Company and Investment Advisor’s interest in the Securities”.

In Chapter XI Articles 90-99 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, it is already regulated regarding fraud, market manipulation, and insider trading. Article 90, for example, states:
“Article 90
In securities trading activities, each party is prohibited directly or indirectly from:
a. deceive or deceive other Parties by using any means and or means;
b. participate in deceiving or deceiving other Parties; and
c. make untrue statements regarding material facts or do not disclose material facts so that the statements made are not misleading regarding the conditions that occurred at the time the statement was made with the intention of benefiting or avoiding harm to oneself or another Party or with the aim of influencing another Party to buy or sell Securities”.

Against the provisions of that article, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has regulated the provisions of sanctions that can be applied as stipulated in Article 104 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 104
Any Party violating the provisions as referred to in Article 90, Article 91, Article 92, Article 93, Article 95, Article 96, Article 97 paragraph (1), and Article 98 are punishable by a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 15,000,000,000. ,00 (fifteen billion rupiah)”.

Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has clearly regulated legal protection for investors who conduct transactions in the capital market. Likewise with investors who conduct online transactions, although there is no specific regulation, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market remains a reference in the event of violations in the form of fraud, market manipulation and insider trading when online transactions are carried out.

The Financial Services Authority (OJK) provides legal protection for consumers that is preventive in nature and provides sanctions, since the regulatory and supervisory functions of the financial services sector are held by the OJK. Consumers have the meaning as regulated in Article 1 number 15 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority, states consumers are parties who place their funds and/or take advantage of services available at financial service institutions, including customers in banking, investors in the capital market, policyholders in insurance, and participants in pension funds, based on the laws and regulations in the financial services sector. Article 28 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority is a form of legal protection provided by the OJK, where this protection is to prevent losses, including:
a. Information and education concerning the characteristics of the financial services sector, services and products are provided to the public;
b. if the activities carried out by the Financial Services Institutions are detrimental to the community, the activities can be requested to be stopped; and
c. Provisions in the laws and regulations in the financial services sector regulate other actions that can be taken if needed.

Article 29 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority states that consumer complaints services can be carried out by the Financial Services Authority consisting of:
a. Financial Services Institutions provide adequate tools to service consumer complaints that are harmed;
b. Financial Services Institutions establish a mechanism for complaints of consumers who are harmed;
c. Financial Services Institutions facilitate the settlement of consumer complaints that are harmed in accordance with the laws and regulations in the financial services sector.

As a further projection, if investors are harmed by the use of financial services, investors have the right to complain concerning this to the Financial Services Authority’s consumer services. As the sole and integrated supervisory authority for financial services in Indonesia, the Financial Services Authority is obliged to tighten supervision of remote trading systems on the stock exchange. Based on the above case, if in the future there is another complaint by the investor, the Financial Services Authority is obliged to order or take certain actions to the financial service institution (in this case the Indonesia Stock Exchange) to resolve the consumer complaint who feels aggrieved.

The liability of business actors refers to the Capital Market Law as regulated in Article 46 of the Capital Market Law where it is stated that the Custodian’s obligation is to submit compensation to the account holder for losses arising from his/her mistakes. However, in practice the regulation regarding services/products has not been optimal in providing adequate protection from the beginning to handling and resolving disputes. Sanctions obtained by business actors due to losses experienced by online investors are administrative, civil and criminal sanctions. Securities Companies can act as underwriters, securities brokers and investment managers who have roles and responsibilities to provide legal certainty to investors. The liability of business actors/securities companies due to losses experienced by online investors not only regulated in the Capital Market Law apart from regulated in the Financial Services Authority Law.

0

KEBIJAKAN PRIVATE PLACEMENT SEBAGAI PINTU EKSPANSI PERUSAHAAN MELALUI DUAL LISTING

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

Penambahan modal merupakan salah satu unsur terpenting dalam kerangka strategi pengembangan usaha perusahaan publik (emiten). Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka penambahan modal, yaitu Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD). Dengan memberikan HMETD sama artinya dengan Right Issue atau Penawaran Umum Terbatas, sementara PMTHMETD dapat dipersamakan artinya dengan Private Placement.[1]

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/PJOK.04/2014 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, Perusahaan Terbuka dapat menambah modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham sebagaimana diatur dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, baik untuk memperbaiki posisi keuangan maupun selain untuk memperbaiki posisi keuangan Perusahaan Terbuka.[2] Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD atau Private Placement tersebut wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS. Sebagaimana terjamin dalam Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/PJOK.04/ 2014 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, yang berbunyi :

Pasal 2

(1) Perusahaan Terbuka dapat menambah modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham sebagaimana diatur dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, baik untuk memperbaiki posisi keuangan maupun selain untuk memperbaiki posisi keuangan Perusahaan Terbuka.

(2) Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS.

(3) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Rencana dan Penyelenggaraan RUPS Perusahaan Terbuka dan anggaran dasar Perusahaan Terbuka

Sesuai dengan namanya, suatu perusahaan melakukan pelepasan saham suatu perusahaan oleh pemegang saham tertentu tanpa melalui penawaran umum, tetapi hanya ditujukan kepada sekelompok kecil investor dengan tujuan untuk menambah modal. Mekanisme ini dipercaya menjadi cara bagi perusahaan untuk menggalang dana secara cepat dalam pembiayaan kebutuhan perusahaan seperti ekspansi bisnis maupun pembayaran utang. Selain itu, karena penawaran saham yang dijual melalui private placement sifatnya terbatas hanya pada investor dengan kriteria terbaik, potensi perusahaan untuk mendapatkan investor strategis akan semakin besar.[3]

Di balik hak itu terkandung arti bahwa pemegang saham kepemilikannya secara presentase di perseroan tidak mengalami dilusi (pengurangan). Hal ini berbeda dengan tanpa HMETD di mana emiten dapat menambah modal dengan tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 POJK No.38/POJK.04/2014, yang berarti bahwa pemegang saham yang telah ada tidak diberikan hak untuk menambah kepemilikan sahamnya. Hal ini, karena akan ada pemegang saham baru akan menjadi salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan publik tersebut. Konsekuensinya, pemegang saham lama besar kemungkinan akan mengalami dilusi atas persentase saham yang dimiliknya.[4]

Ada pun keterbukaan informasi bagi perusahaan terbuka sebagaimana Pasal 6 ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/PJOK.04/2014 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, yang berbunyi :

Pasal 2

  • Perusahaan Terbuka yang menambah modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mengumumkan informasi tentang penambahan modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham bersamaan dengan pengumuman RUPS dengan memenuhi Prinsip Keterbukaan yang paling kurang memuat:
  • alasan dan tujuan penambahan modal tanpa memberikan HMETD;
  • perkiraan periode pelaksanaan (jika ada);
  • rencana penggunaan dana hasil penambahan modal tanpa memberikan HMETD (jika telah dapat ditentukan);
  • analisis dan pembahasan manajemen mengenai kondisi keuangan Perusahaan Terbuka sebelum dan sesudah penambahan modal tanpa memberikan HMETD;
  • risiko atau dampak penambahan modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham termasuk dilusi;
  • keterangan dalam bentuk table tentang rincian struktur modal saham sebelum dan sesudah penambahan modal tanpa memberikan HMETD yang paling kurang mencakup:
  • modal dasar, modal ditempatkan dan disetor penuh beserta informasi mengenai jumlah saham, nilai nominal, dan jumlah nominal;
  • rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih, direktur, dan komisaris yang meliputi informasi mengenai nama, jumlah kepemilikian sahamnya, jumlah nilai nominal, dan persentase kepemilikan sahamnya;
  • saham dalam simpanan (portepel), yang meliputi informasi mengenai jumlah saham dan nilai nominal; dan
  • proforma modal saham apabila Efek dikonversikan (jika ada); dan
  • keterangan mengenai calon pemodal (jika ada) temasuk ada atau tidaknya hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Terbuka.

Pencatatan listing  adalah pencantuman suatu Efek dalam daftar Efek yang tercatat di Bursa sehingga dapat diperdagangkan di Bursa.[5] Dari istilah listing kemudian dikenal juga istilah single listing dan dual listing. Single listing menunjukkan suatu emiten hanya tercatat di satu Bursa Efek, misalnya suatu perusahaan melakukan IPO (Initial Public Offering) dan selanjutnya saham-sahamnya hanya tercatat di BEI saja. Dual listing adalah suatu emiten yang tercatat di dua bursa atau lebih, misalnya tercatat di BEI dan tercatat juga di New York Stock Exchange.[6] Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh berbagai perusahaan-perusahaan multinasional.

Berikut merupakan beberapa keuntungan melakukan dual listing, yaitu :[7]

  1. Pendapatan Finansial

Meskipun beberapa manager keuangan melakukan dual listing atas pertimbangan prestise atau peningkatan visibilitas atas produknya, tujuan utama melakukan dual listing adalah mengurangi biaya modal ekuitas perusahaan. Perusahaan yang pasar modal negaranya tidak sepenuhnya terintegrasi dengan pasar modal global akan menanggung biaya modal yang lebih tinggi karena risiko perusahaan-perusahaan ini sebagian besar ditanggung oleh investor dari negara asal. Dual listing juga mengurangi hambatan investasi dan memberi efek positif kepada nilai saham perusahaan.

  • Likuiditas

Dual listing dapat berkontribusi terhadap nilai saham dengan meningkatkan likuiditas saham. Choui-nard dan D’Souza menjelaskan bahwa expected return berkorelasi positif dengan likuiditas, yang diukur dalam bid-ask spread. Peningkatan persaingan antar pasar dapat menurunkan spread. Penurunan nilai spread menghasilkan peningkatan likuiditas, sehingga meningkatkan nilai saham perusahaan.

  • Peningkatan Transaksi Volume Saham

Chouinard dan D’Souza menyatakan bahwa likuiditas akan meningkat ketika pasar domestik mempertahankan porsi yang signifikan dari volume perdagangan atas saham suatu perusahaan dan memberi kesempatan investor asing untuk berinvestasi pada saham perusahaan tersebut. Perdagangan lintas negara yang memiliki aturan ketat, merupakan salah satu faktor penting yang mendorong investor tertarik untuk melakukan investasi pada suatu saham sehingga hal ini akan berdampak pada peningkatan transaksi volume saham.

  • Mengurangi Biaya Modal

Lasfer menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan dual listing dapat menjangkau investor asing yang mampu berinvestasi pada perusahaan asing maupun domestik, sehingga menurunkan risiko pasar karena adanya diversifikasi. Sebagai hasilnya, dual listing menurunkan biaya modal perusahaan. Penurunan biaya modal bisa didapat dari reaksi positif pasar atau didorong oleh manfaat dari dual listing seperti peningkatan likuiditas saham dan kemudahan akses terhadap informasi.

  • Segmentasi

Chouinard dan D’Souza mendefinisikan segmentasi sebagai situasi dimana aset serupa di pasar berbeda memiliki harga yang berbeda. dual listing seringkali dipilih untuk mendapatkan kesempatan segmentasi. Licht menyatakan bahwa di sebagian besar pasar negara berkembang sering ditemukan adanya penghambat investasi asing, salah satunya dibatasi oleh peraturan dan adanya hambatan informasi. Dual listing digunakan untuk menjangkau investor asing agar lebih mudah mendapatkan saham suatu perusahaan.

  • Peningkatan Basis Pemegang Saham

Licht juga mengklaim bahwa dual listing membawa sekuritas asing lebih dekat ke calon investor, karena meningkatkan kesadaran investor terhadap sekuritas. Dual listing juga sering disebut sebagai “firm visibility“. Visibilitas perusahaan ini berdampak positif pada permintaan atas saham, akses perusahaan untuk aktif di pasar uang dan menjual hutang lebih mudah, akses informasi ke pasar modal lebih cepat dan akurat sehingga selanjutnya perusahaan akan dianggap sebagai perusahaan yang kredibel.

  • Signaling effect/bonding

Perusahaan yang berada di negara-negara dengan standar yang kurang bagus melakukan dual listing pada negara tujuan dengan standar tata kelola yang lebih ketat. Dual listing memberi sinyal positif yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan memiliki kredibilitas terhadap tata kelolanya.

  • Price Discovery

Chouinard dan D’Souza menyatakan bahwa keuntungan tambahan dari dual listing adalah memfasilitasi proses menilai nilai saham pada awal sesi perdagangan dalam kasus perdagangan saham di pasar yang berada di zona waktu yang berbeda.

Private Placement menjadi salah satu aksi korporasi yang bertujuan untuk menanamkan modal bagi suatu perusahaan demi menjalankan tujuan perusahaan tertentu. Salah satu tujuan tertentu yang memungkinkan ialah melakukan ekspansi melalui dual listing dengan mendaftar dan memperjualbelikan sahamnya pada pasar modal di negara lain.

Dasar Hukum:

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/PJOK.04/ 2014 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

Referensi:

Arvi Alvianda. 2020. “Rencana Aksi Korporasi private placement yang dilakukan oleh PT SLJ GLOBAL, Tbk. Terhadap CAR      RIEDO Limited”. Dalam: Jurnal Suara Hukum Vol.2/No.2/ Setember/2020.

https://journal31.unesa.ac.id/index.php/suarahukum/article/view/10339/5931, diakses pada 1 Juni 2022

Stefani Fabiola Christine. 2018. Analisis Risiko Dan Return Saham Sebelum Dan Sesudah Cross-Listing (studi dilakukan pada perusahaan yang terdaftar di New York Stock Exchange 2011-2017). Malang (ID): Universitas Brawijaya.

http://repository.ub.ac.id/165990/1/Stefani%20Fabiola%20Christine.pdf, diakses pada 1 Juni 2022

Warta Ekonomi, https://www.wartaekonomi.co.id/read226085/apa-itu-private-placement.html, diakses pada 1 Juni 2022

CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220520204343-17-340618/goto-private-placement-persiapan-dual-listing-bukan-nih/3, diakses pada 1 Juni 2022


[1]   Arvi Alvianda, Rencana Aksi Korporasi private placement yang Dilakukan oleh PT. SLJ GLOBAL, Tbk. Terhadap CARRIEDO Limited, Jurnal Suara Hukum Vol. 2, No. 2, 2020, h. 216.

[2] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/PJOK.04/2014 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

[3]  Wartaekonomi.co.id,https://www.wartaekonomi.co.id/read226085/apa-itu-private-placement.html, diakses pada 1 Juni 2022.

[4]   Arvi Alvianda, op.cit, h. 217-218.

[5] Delvi Widhia Astuti, Tinjauan Hukum Terhadap Investor Akibat Adanya Pencatatan Penghapusan (Delisting) Di Pasar Modal, Skripsi, (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara : 2020), h. 30.

[6] Ibid.

[7] Stefani Fabiola Christine, Analisis Risiko Dan Return Saham Sebelum Dan Sesudah Cross-Listing (studi dilakukan pada perusahaan yang terdaftar di New York Stock Exchange 2011-2017), Skripsi, (Universitas Brawijaya : 2018), h. 43-46.

0

DASAR HUKUM DAN MEKANISME INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO) DI INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Robby Malaheksa

Baik  perusahaan besar maupun perusahaan kecil, pendanaan pada suatu perusahaan sangatlah penting untuk dapat menunjang kemajuan suatu usaha. Pendanaan perusahaan dari dalam pada umumnya menggunakan laba ditahan yang dihimpun sedemikian rupa sehingga dapat menambah modal usaha perusahaan tersebut. Sementara pendanaan dari luar perusahaan dapat berupa pinjaman kepada pihak ketiga/hutang, maupun penyertaan dalam bentuk saham. Salah satu alternatif pendanaan dari luar perusahaan yang dirasa cukup baik dalam meningkatkan skala perusahaan adalah dengan mekanisme penyertaan modal melalui proses go public atau penawaran umum perdana (Initial Public Offering).[1]

Dalam penggunaannya seringkali istilah penawaran umum perdana (IPO) disamakan maknanya dengan istilah go public. Istilah go public sendiri sebenarnya mempunyai arti perusahaan menjual saham biasa atau saham preferen, atau obligasi yang merupakan modal perusahaan (ekuitas dan utang jangka panjang) untuk “pertama kalinya” kepada masyarakat luas.[2] IPO atau penawaran umum perdana hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah perusahaan yang melakukan go public, sedangkan go public bisa dilakukan berkali-kali. Misalnya, setelah satu tahun emiten go public dengan IPO, emiten kembali menjual saham dalam bentuk right issue. Kemudian, setelah berjalan dua tahun, emiten kembali go public dengan menerbitkan obligasi.[3]

Mengenai ketentuan untuk melakukan go public sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) yang menjelaskan bahwa go public/Initial Public Offering adalah :

“Pasal 1 Angka 15

Kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat yang diatur dalam tata cara yang diatur dalam undang-undang ini dan aturan pelaksanaannya.[4]

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), menjelaskan :

“Pasal 1 angka 8

Perseroan Publik adalah perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Pasar Modal.[5]

Sementara itu untuk menjadi perusahaan Publik, Pasal 1 Angka 22 Undang Undang 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa :

“Pasal 1 Angka 22

Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp.3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.[6]

Pada prinsipnya, semua perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh sebuah lembaga independen yang mempunyai tugas untuk mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyidik sektor jasa keuangan di Indonesia ini, bisa menerbitkan saham, obligasi dan turunannya kemudian dijual kepada masyarakat. Dengan kata lain, semua perusahaan berpotensi untuk menjadi emiten.[7] Dengan adanya penawaran umum perdana ini, maka emiten yang berhasil go public akan diuntungkan karena selain bisa menjadi besar akibat adanya suntikan modal dari masyarakat juga namanya tentu akan semakin dikenal masyarakat. Bahkan masyarakat yang memiliki saham perusahaan yang bersangkutan bisa menjadi pelanggan yang loyal.[8]

Suatu Perusahaan yang hendak melakukan go public harus melalui beberapa mekanisme yang harus dipenuhi dan dipersiapkan agar proses go public menjadi perusahaan terbuka dapat terealisasikan dengan baik. Pusat informasi go public pada pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek menerangkan adanya 5 (lima) tahapan yang harus dilakukan agar suatu perusahaan dapat menjadi Perusahaan Terbuka, yaitu :[9]

  1. Penunjukan Underwriter dan Persiapan Dokumen

Pada tahap awal, perusahaan perlu membentuk tim internal, menunjuk underwriter dan lembaga serta profesi penunjang pasar modal yang akan membantu perusahaan melakukan persiapan go public, meminta persetujuan RUPS dan merubah Anggaran Dasar, serta mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk disampaikan kepada pihak penyelenggara dan penyedia sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek dan lembaga resmi yang mengatur sektor jasa keuangan di Indonesia.

  • Penyampaian Permohonan Pencatatan Saham

Untuk menjadi perusahaan publik yang sahamnya dicatatkan dan diperdagangkan di pihak penyelenggara dan penyedia sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek di Indonesia, perusahaan perlu mengajukan permohonan untuk mencatatkan saham, dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, antara lain profil perusahaan, laporan keuangan, opini hukum, proyeksi keuangan, dan lain-lain. Perusahaan juga perlu menyampaikan permohonan pendaftaran saham untuk dititipkan secara kolektif (scripless) di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Pihak tersebut nantinya akan melakukan penelaahan atas permohonan yang diajukan perusahaan dan akan mengundang perusahaan beserta underwriter dan profesi penunjang untuk mempresentasikan profil perusahaan, rencana bisnis dan rencana penawaran umum yang akan dilakukan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatan usaha perusahaan, pihak penyedia jual beli efek ini juga akan melakukan kunjungan ke perusahaan serta meminta penjelasan lainnya yang relevan dengan rencana IPO perusahaan. Apabila perusahaan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dalam waktu maksimal 10 Hari Bursa setelah dokumen lengkap, maka pihak penyedia jual beli efek di Indonesia tersebut akan memberikan persetujuan prinsip berupa Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Saham kepada perusahaan

  • Penyampaian Pernyataan Pendaftaran

Setelah mendapatkan Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Saham, perusahaan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya kepada lembaga resmi yang mengatur sektor jasa keuangan untuk melakukan penawaran umum saham. Dokumen pendukung yang diperlukan antara lain adalah prospektus. Dalam melakukan penelaahan, lembaga tersebut dapat meminta perubahan atau tambahan informasi kepada perusahaan untuk memastikan bahwa semua fakta material tentang penawaran saham, kondisi keuangan dan kegiatan usaha perusahaan diungkapkan kepada publik melalui prospektus. Sebelum mempublikasikan prospektus ringkas di surat kabar atau melakukan penawaran awal (bookbuilding), perusahaan harus menunggu ijin dari lembaga resmi tersebut. Perusahaan juga dapat melakukan public expose jika ijin publikasi telah dikeluarkan oleh lembaga resmi yang mengatur sektor jasa keuangan di Indonesia tersebut yang kemudian akan memberikan pernyataan efektif setelah perusahaan menyampaikan informasi mengenai harga penawaran umum saham dan keterbukaan informasi lainnya. Apabila Pernyataan Pendaftaran perusahaan telah dinyatakan efektif oleh lembaga resmi pengawas sektor keuangan tersebut,  perusahaan mempublikasikan perbaikan/tambahan informasi prospektus ringkas di surat kabar serta menyediakan prospektus bagi publik atau calon pembeli saham, serta melakukan penawaran umum.

  • Penawaran Umum Saham kepada Publik

Masa penawaran umum saham kepada publik dapat dilakukan selama 1-5 hari kerja. Dalam hal permintaan saham dari investor melebihi jumlah saham yang ditawarkan (over-subscribe), maka perlu dilakukan penjatahan. Uang pesanan investor yang pesanan sahamnya tidak dipenuhi harus dikembalikan (refund) kepada investor setelah penjatahan. Distribusi saham akan dilakukan kepada investor pembeli saham secara elektronik melalui KSEI (tidak dalam bentuk sertifikat).

  • Pencatatan dan Perdagangan Saham Perusahaan

Perusahaan menyampaikan permohonan pencatatan saham kepada Bursa disertai dengan bukti surat bahwa Pernyataan Pendaftaran telah dinyatakan efektif oleh lembaga resmi yang mengawasi sektor keuangan, dokumen prospektus, dan laporan komposisi pemegang saham perusahaan. Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem juga sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek ini nantinya akan memberikan persetujuan dan mengumumkan pencatatan saham perusahaan dan kode saham (ticker code) perusahaan untuk keperluan perdagangan saham di Bursa. Kode saham ini akan dikenal investor secara luas dalam melakukan transaksi saham perusahaan penyedia sarana penawaran jual beli Efek. Setelah saham tercatat di Bursa, investor akan dapat memperjualbelikan saham perusahaan kepada investor lain melaui broker atau Perusahaan Efek yang menjadi Anggota Bursa terdaftar di pihak penyedia jual beli efek tersebut.

Setelah mekanisme diatas terpenuhi dan Perusahaan telah resmi menjadi perusahaan Terbuka, maka Perusahaan dapat mencatatkan sahamnya di Papan Utama atau Papan Pengembangan. Persyaratan untuk dapat mencatatkan saham di penyedia jual beli efek di Indonesia di Papan Utama dan Papan Pengembangan adalah sebagai berikut:

Tabel Persyaratan Listing di Papan Utama dan Papan Pengembangan pada Penyedia Jual Beli Efek di Indonesia [10]

Papan Utama Papan Pengembangan
Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki: Komisaris Independen minimal 30% dari jajaran Dewan Komisaris;Direktur Independen minimal 1 orang dari jajaran anggota Direksi;Komite Audit;Unit Audit Internal;Sekretaris Perusahaan.
Operasional pada core business yang sama > 36 bulan Operasional pada core business yang sama > 12 bulan
Membukukan laba usaha pada 1 tahun buku terakhir Tidak harus membukukan laba, namun jika belum membukukan keuntungan, berdasarkan proyeksi keuangan pada akhir tahun ke-2 telah memperoleh laba (khusus sektor tertentu : pada akhir tahun ke-6)
Laporan Keuangan Auditan> 3 tahun Laporan Keuangan Auditan >12 Bulan
Opini Laporan Keuangan: Wajar Tanpa Pengecualian (2 tahun terakhir) Opini Laporan Keuangan: Wajar Tanpa Pengeceualian
Aset Berwujud Bersih > Rp100 miliar Aset Berwujud Bersih >Rp5 miliar
Saham yang ditawarkan kepada publik*) : Min. 300 juta saham20% dari total saham, untuk ekuitas < Rp500 miliar15% dari total saham, untuk ekuitas Rp500 miliar – Rp2 triliun10% dari total saham, untuk ekuitas > Rp2 triliun   *) Termasuk yang dimiliki publik sebelum perusahaan go-public Saham yang ditawarkan kepada publik*): Min. 150 juta saham20% dari total saham, untuk ekuitas < Rp500 miliar15% dari total saham, untuk ekuitas Rp500 miliar – Rp2 triliun10% dari total saham, untuk ekuitas > Rp2 triliun   *)Termasuk yang dimiliki publik sebelum perusahaan go-public
Jumlah Pemegang Saham > 1000 pihak Jumlah Pemegang Saham > 500 pihak

Menghimpun dana masyarakat melalui pasar modal merupakan pilihan yang semakin banyak ditempuh perusahaan dalam rangka pendanaan usaha. Ratusan perusahaan telah meraih dana publik baik dengan menerbitkan saham maupun obligasi. Sepanjang tahun 2007, tercatat sebanyak 22 perusahaan menjual saham ke publik dengan nilai perolehan dana sebesar Rp. 18,11 triliun meningkat sekitar 503,66% dibanding nilai perolehan tahun 2006 yang hanya sebesar Rp. 3,01 triliun. Tahun 2007 juga merupakan tahun yang baik untuk penerbitan obligasi dengan nilai perolehan sebesar Rp. 30,075 triliun atau meningkat 162,67% dibanding nilai perolehan tahun 2006 sebesar Rp. 11,45 triliun. Bentuk lain pendanaan publik yang dilakukan emiten sepanjang tahu 2007 adalah right issue, dimana tercatat 23 emiten melakukan right issue dengan total perolehan dana sebanyak Rp. 28,56 triliun, meningkat 127,02% dibanding tahun 2006 dengan nilai right issue Rp. 12,58 triliun.[11]

Di Indonesia dalam perkembangannya saat ini tidak hanya perusahaan skala besar saja yang mulai menapaki langkah IPO sebagai bentuk peningkatan nilai perusahaannya. Perusahaan rintisan (startup) berbasis digital dan daring yang belakangan ini mulai menjamur di kalangan masyarakat Indonesia bahkan ada yang sudah mulai mengembangkan usahanya melalui lantai bursa, salah satu contohnya yaitu adanya sebuah perusahaan ekosistem digital berbasis teknologi di Indonesia yang memberikan kombinasi layanan e-commercer, on-demand, serta layanan keuangan dan pembayaran pertama di Asia yang telah mencatatkan saham (listing) perdananya pada tanggal 11 April 2022.[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM)
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

REFRENSI

  1. Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017
  2. Widioatmojo, Sawidji. (2015). Pengetahuan Pasar Modal Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo
  3. Proses Go Public (Go Public Process) (n.d.). Diakses tanggal 21 April 2022, https://gopublic.idx.co.id/2016/06/22/.proses-go-public/
  4. Hendy M. Fakhruddin. (2008). Go Public: Strategi Pendanaan dan Peningkatan Nilai Perusahaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
  5. Beli Saham GoTo Saat IPO, Auto Dapat THR Saat Listing Nih!, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411150801-17-330645/beli-saham-goto-saat-ipo-auto-dapat-thr-saat-listing-nih

[1] Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm 2

[2] Widioatmojo, Sawidji. (2015). Pengetahuan Pasar Modal Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, hlm. 76.

[3] Ibid., hlm. 77.

[4] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM)

[5] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

[6] Pasal 1 Angka 22 Undang Undang 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

[7] Widioatmojo, Sawidji. (2015). Pengetahuan Pasar Modal Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, hlm. 75.

[8] Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm. 11

[9] Proses Go Public (Go Public Process) (n.d.). Diakses tanggal 21 April 2022, https://gopublic.idx.co.id/2016/06/22/.proses-go-public/

[10] Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm 7

[11] Hendy M. Fakhruddin. (2008). Go Public: Strategi Pendanaan dan Peningkatan Nilai Perusahaan. Jakarta: PT

Elex Media Komputindo, hlm. 5.

[12] Beli Saham GoTo Saat IPO, Auto Dapat THR Saat Listing Nih!, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411150801-17-330645/beli-saham-goto-saat-ipo-auto-dapat-thr-saat-listing-nih

0

Pengambilalihan Bank Terhadap Bisnis Konsumer bank

Author: Alfredo Joshua Bernando

  Akuisisi merupakan hal yang lazim dilakukan baik oleh Bank maupun oleh Perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan jasa keuangan pada berbagai sektor, terlebih pada Bisnis Konsumer yang dijalankan oleh Bank Konsumer atau Retail Banking, di mana Bank Konsumer adalah jenis bank yang layanannya ditujukan kepada publik, bukan kepada perusahaan ataupun pihak bank lain, yang biasanya disebut sebagai bank komersial, sehingga terhadap Bank yang melakukan bisnis konsumer sering terjadi pengambilalihan atau akuisisi oleh Pihak Bank lain.

Akuisisi merupakan bagian dari aksi korporasi / tindakan korporasi (Corporate Action), di mana aksi korporasi merupakan sebuah langkah atau tindakan yang diambil oleh perusahaan terbuka yang memiliki dampak langsung terhadap kepemilikan saham investor (pemegang saham). Akuisisi juga dikenal sebagai pengambilalihan, aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan membeli sebagian besar atau seluruh saham dari perusahaan lainnya untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tersebut.

Pada Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan menjelaskan bahwa Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank. [1] Dalam hal bentuk hukum Bank Umum berupa Perseroan Terbatas, maka proses akuisisi akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan tentang definisi Pengambilalihan, yang berbunyi:

“ Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. “ [2]

Ketentuan Hukum mengenai Akuisisi atau Pengambilalihan terhadap Perseroan terbatas, diatur secara spesifik dalam Pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana Pada Pasal 125 ayat (1) UU a quo dijelaskan bahwa:

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perusahaan melalui direksi perusahaan atau langsung dari pemegang saham.[3]

          Terkait dengan peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),[4] maka Peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank telah diterbitkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum (yang selanjutnya disebut POJK 41/2019).

Secara khusus, POJK  mendefinisikan akuisisi / pengambilalihan sebagai berikut:

“  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut .”[5]

Akuisisi, sebagaimana merger dan konsolidasi, integrasi dan konversi dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan.[6] Jika hal tersebut terjadi, maka bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menerima izin dari Otoritas Jasa Keuangan.[7] Dan dalam pelaksanaannya, bank pelaksana harus memperhatikan kepentingan bank, masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Akuisisi Bank dilaksanakan melalui cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan/atau akan dikeluarkan oleh Bank, yang karena pengambilalihan tersebut menyebabkan beralihnya pengendalian bank kepada akuisitor.[9] Akuisisi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 PP 28/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuisitor harus memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank, rakyat banyak, dan persaingan sehat. Sebagaimana diketahui, akuisisi menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan, dan karena itu terdapat perubahan kebijakan yang terjadi di dalam bank sebagai akibat dari perubahan kepemilikan tersebut. Perubahan kebijakan tersebut tentunya sangat jelas berdampak bagi pihak yang terkait, yakni kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank dan nasabah.

Secara prinsip, kreditor tidak dapat terkena dampak negatif dari akuisisi pada bank yang diambil alih. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 POJK 41/2019 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan keberatan kepada bank paling lambat 14 hari setelah pengumuman ringkasan rancangan  mengenai akuisisi, dan jika tidak ada keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui akusisi. Jika ada keberatan, maka keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian, dan selama belum ada penyelesaian yang tercapai maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.[10]

POJK 41/2019 memberikan hak khusus kepada pemegang saham minoritas apabila tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai akuisisi[11], Perlindungan hukum terhadap pemegang saham adalah dengan memberikan hak kepada pemegang saham untuk dapat meminta sahamnya dibeli Bank dengan harga wajar[12]. Hal ini juga disebutkan dalam perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam UUPT[13], dan secara khusus dalam UU PT dijelaskan bahwa jika melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan, perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[14]

Karyawan bank merupakan pihak yang selanjutnya terkena dampak dari akuisisi. Pada dasarnya, karena akuisisi sejatinya merupakan pengambilalihan kepemilikan, maka akuisisi tidak mengubah status karyawan. Status karyawan akan berubah apabila pemilik yang baru melakukan restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan, yang mana hal tersebut dapat saja merubah status, hak dan kewajiban dari perusahaan maupun karyawan. Oleh karena itu, Dalam Pasal 26 huruf b Angka 7 POJK 41/2019 dijelaskan mengenai restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan terkait dengan cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah, dan karyawan Bank yang akan diambil alih merupakan bagian dari syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan atau akuisisi.[15]

Bank pada dasarnya merupakan badan usaha yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[16], maka bank dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga tunduk kepada ketentuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UU PK). Sebagai pelaku usaha, bank memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 7 UU PK dan ketentuan yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam UU PK.[17] Oleh karena itu, perubahan kepemilikan bank tidak dapat menyangkal adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bank sebagai pelaku usaha, sehingga siapapun pemilik dari bank tersebut harus melaksanakan kewajiban dan ketentuan lain bagi pelaku usaha sebagaimana termuat dalam UU PK.

          Akuisisi atau pengambilalihan pada dasarnya harus dilakukan melalui Persetujuan RUPS, akibat hukum yang ditimbulkan terkait dengan aksi korporasi yang dilakukan tersebut adalah beralihnya pengendalian terhadap Bank tersebut, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan serta diperhatikan terkait dengan kepentingan Bank, Masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[1] Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan

[2] Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[5] Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[6] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum            

[7] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[8] Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[9] Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[10] Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[11] Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[13] Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[14] Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[15] Pasal 26 huruf b Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[16] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Translate