0

ANALYZING THE ARRANGEMENT OF A LIMITED LIABILITY COMPANY FROM LAW PERSPECTIVE

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal dan didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Di Indonesia, dasar hukum dari PT sendiri sudah ditetapkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada penjelasan pengertiannya PT sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 1

  1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”[1]

Dalam mendirikan sebuah PT, terdapat ketentuan yang sudah diatur dalam Bab II Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Salah satu penjelasan terkait pendirian PT dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut:

“Pasal 7

Perseroan didirikan oleh (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.”

Kemudian, dalam ketentuan membuat akta di hadapan notaris, akta tersebut diwajibkan untuk memuat keterangan dan anggaran dasar terkait dengan pendirian PT. Keterangan yang tercantum dalam akta pendirian tersebut antara lain:

  1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraannya.
  2. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat.
  3. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.

Terkait dengan anggaran dasar yang tercantum pada Dalam pendirian PT, anggaran dasar yang dimaksud harus memuat sekurang-kurangnya sebagai berikut:

  1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan.
  2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.
  3. Jangka waktu berdirinya Perseroan.
  4. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
  5. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham.
  6. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  7. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS.
  8. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  9. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen

Akan tetapi, ketentuan pemegang saham minimal dua orang atau lebih tidak berlaku lagi bagi perseroan yang sahamnya sudah dibeli oleh negara dan perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lainnya berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yaitu:

“Pasal 7

  • Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku lagi:
  • Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara; atau
  • Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal”

Ketentuan didirikannya PT tidak hanya berdasarkan pendirian akta di hadapan notaris dan ketentuan dalam pemegang saham, tetapi terdapat ketentuan lainnya yang harus diperhatikan diantaranya sebagai berikut:  

  1. Setiap pendiri wajib mengambil bagian sahamnya pada saat perseroan didirikan. Kecuali dalam peleburan.
  2. Perusahaan memperoleh status badan pada saat diterbitkannya keputusan menteri.
  3. Apabila perseroan yang telah berstatus badan hukum memiliki pemegang saham kurang dari 2 orang maka dalam waktu 6 bulan wajib mengeluarkan saham perseroan kepada orang lain. Jika dilanggar maka tanggung jawab perseroan menjadi tanggung jawab pribadi. Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk perusahaan yang sahamnya dimiliki seluruhnya oleh negara dan lembaga lain yang diatur dalam undang-undang pasar modal.

Kemudian, berdasarkan ketentuan struktur modal, struktur modal pada PT terdiri dari tiga yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Terkait dengan modal dasar PT, terdapat perubahan dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan yang paling sedikit sebesar 50.0000.000 (lima puluh juta rupiah). Saat ini, perubahan tersebut tercantum dalam Pasal 109 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan penjelasan bahwa besaran modal dasar PT ditentukan pada keputusan pendiri PT dan pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan harus disetor penuh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

Sedangkan, pada modal ditempatkan menjelaskan bahwa modal tersebut merupakan modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya atau saham telah diserahkan untuk pemiliknya. Kewaiban pada penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. Pada modal disetor memberikan penjelasan yaitu modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar oleh pemegang atau pemiliknya.

Selain itu, Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur tentang struktur atau organ-organ yang ada dalam sebuah PT. Struktur tersebut terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan. Penjelasan RUPS tercantum pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yaitu:

“Pasal 1

  •  Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”

Sedangkan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atau pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Berdasarkan tugas dan tanggung jawab direksi, yaitu tercantum dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (2), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101 ayat (1), dan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 92

  • Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”

“Pasal 97

  • Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat.”

“Pasal 98

  • Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

“Pasal 100

  • Direksi wajib membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS; risalah rapat Direksi; membuat laporan tahunan; dan memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan perseroan.”

“Pasal 101

  • Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.”

“Pasal 102

  1. Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan; atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih. Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.”

Pada Dewan Komisaris yang merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum/dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 108 ayat (1), Pasal 114 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 116 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 108

  1. Dewan Komisaris yang melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.”

“Pasal 114

  • Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi
  • Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.”

“Pasal 116

Dewan komisaris wajib:

  1. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
  2. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
  3. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.”

Pada tanggung jawab sosial dan lingkungan, tercantum di dalam Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 74

Perseroan Terbatas yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan hukum yang diantaranya penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan, yang dalam pelaksanaannya, perbuatan tersebut wajib memperhatikan kepentingan-kepentingan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 126, yaitu:

  1. Perseroran, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Menurut Pasal 1 angka 9, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sementara menurut Pasal 1 angka 10, peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dalam hal penggabungan dan peleburan diatur dalam Pasal 122 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 122

  • Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
  • Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  • Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
  • Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
  • Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.”

Perbuatan hukum yang ketiga, yaitu pengambilalihan, menurut Pasal 1 angka 11, pengambilalihan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Ketentuan pengambilalihan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (1), (2), dan (3) ialah sebagai berikut:

Pasal 125

  • Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham.
  • Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
  • Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.”

Perbuatan hukum yang terakhir yaitu pemisahan, menurut Pasal 1 angka 12, Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara pemisahan murni atau pemisahan tidak murni sebagaimana diatur dalam Pasal 135 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 135

  • Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
  • Pemisahan murni; atau
  • Pemisahan tidak murni.
  • Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
  • Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.”

Dalam hal pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur dalam Pasal 142 sampai Pasal 152. Diatur dalam Pasal 142 ayat (1), bahwa pembubaran perseroan terjadi akibat:[na1] 

  1. berdasarkan keputusan RUPS;
  2. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
  3. berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  6. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak hanya mengatur mengenai syarat pendirian dan ketentuan perseroan melainkan juga berkaitan dengan pembubaran dimana perseroan tidak lagi mampu mengoperasionalkan kegiatan usahanya.

Selain itu, dijelaskan lebih rinci terkait status badan hukum pembubaran perseroan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 143 yang berbunyi:

“Pasal 143

  • Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
  • Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.”

[1] Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.
  2. Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation.
  3. Government Regulation No. 8 of 2021 concerning The Company’s Authorized Capital and Registration of Establishment, and Dissolution of Companies That Meet the Criteria for Micro and Small Businesses.

A Limited Liability Company (PT) is a legal entity that is a capital alliance and is established based on an agreement to conduct business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in accordance with applicable Laws. In Indonesia, the legal basis of pt itself has been specifically stipulated in Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and in the explanation of its understanding PT itself is explained in Article 1 number 1 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

 “Article 1

  1. The Limited Liability Company, hereinafter referred to as the Company, is a legal entity that is a capital alliance, established under the agreement, conducts business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in this Law and its implementation regulations”

In establishing a PT, there are provisions that have been regulated in Chapter II of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. One of the explanations related to the establishment of PT is explained in Article 7 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies as follows:

“Article 7

The Company is established by (two) or more persons with notary deed made in Indonesian.”

Then, in the provisions of making a deed before a notary, the deed is required to contain information and articles of associations related to the establishment of PT. The information listed in the deed of establishment includes:

  1. His full name, place and date of birth, occupation, place of residence and nationality.
  2. Members of the Board of Directors and the Board of Commissioners are the first to be appointed.
  3. The name of the shareholder who has taken a share of the shares, details the number of shares, and the face value of the shares that have been placed and paid.

Related to the articles of association listed in the establishment of PT, the articles of association in question must contain at least the following:

  1. Name and place of position of the Company.
  2. The purpose and purpose and business activities of the Company.
  3. The period of establishment of the Company.
  4. The amount of authorized capital, issued capital, and paid-up capital.
  5. Number of shares, classification of shares if there are the following number of shares for each classification, the rights attached to each share, and the face value of each share.
  6. The name of the position and the number of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  7. Determination of venues and procedures for holding GMS.
  8. Procedures for appointment, replacement, dismissal of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  9. Procedures for the use of profits and dividend distribution

However, the provisions of shareholders of at least two or more people no longer apply to companies whose shares have been purchased by the state and companies that manage stock exchanges, clearing and underwriting institutions, depository and settlement institutions, and other institutions under the Investment Law. This provision is stated in Article 7 paragraph (7) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 7

  •  Provisions requiring the Company to be established by 2 (two) or more persons as intended in paragraph (1), and the provisions in paragraph (5), and paragraph (6) no longer apply:
  • The Company whose entire shares are owned by the state; or
  • The Company manages stock exchanges, clearing and underwriting institutions, storage and settlement institutions, and other institutions as stipulated in the Law on Capital Markets”

The provisions of the establishment of PT are not only based on the establishment of deed before the notary and the provisions in shareholders, but there are other provisions that must be considered, including the following:

  1. Each founder is obliged to take a share of his shares at the time the company is established. Except in smelting.
  2. The company obtains entity status at the time of issuance of the ministerial decree.
  3.  If the company that has the status of a legal entity has less than 2 shareholders, within 6 months it is mandatory to issue the company’s shares to others. If violated then the responsibility of the company becomes a personal responsibility. The provision does not apply to companies whose shares are wholly owned by the state and other institutions regulated in capital market law.

Then, based on the provisions of the capital structure, the capital structure in PT consists of three, namely authorized capital, issued capital, and paid-up capital. Related to the authorized capital of PT, there is a change in Article 32 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which explains that the Company’s authorized capital is at least 50,0000,000 (fifty million rupiah). Currently, the change is listed in Article 109 number 3 of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation which provides an explanation that the amount of pt’s authorized capital is determined by the decision of the founder of PT.

Meanwhile, the issued capital explains that the capital is the capital supported by the founder or shareholders to be repaid or the shares have been handed over to the owner. The sacrifice on depositing the issued capital must be full. On the paid-up capital provides an explanation that is the capital that has been entered by shareholders as repayment of the payment of shares that he took as capital issued from the company’s authorized capital. So, paid-up capital is shares that have been paid by the holder or owner.

In addition, the Limited Liability Company Law also regulates the structure or organs in a PT. The structure consists of GMS (General Meeting of Shareholders), Board of Directors, and Board of Commissioners. GMS is an organ that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the specified limits. The explanation of the GMS is contained in Article 1 number 4 of Law No. 40 of 2007, namely:

“Article 1

  • The General Meeting of Shareholders, hereinafter referred to as the GMS is an Organ of the Company that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the limits specified in this Law and/or the articles of association”

While the Board of Directors is the company’s authorized and fully responsible organ or the management of the Company for the benefit of the Company, in accordance with the company’s intentions and objectives, both inside and outside the court in accordance with the provisions of the articles of association. Based on the duties and responsibilities of the board of directors, namely contained in Article 92 paragraph (1), Article 97 paragraph (2), Article 98 paragraph (1), Article 100 paragraph (1), Article 101 paragraph (1), and Article 102 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 92

  • The Board of Directors carries out the Management of the Company for the benefit of the Company and in accordance with the Company’s purpose and purpose”

“Article 97

  • The Board of Directors is authorized to carry out the management as intended in paragraph (1) in accordance with the policy that is considered appropriate.”

“Article 98

  • The Board of Directors represents the Company both inside and outside the court.”

“Article 100

  • The Board of Directors is obliged to make a list of shareholders, a solemn list, minutes of the GMS; minutes of the Board of Directors meeting; make an annual report; and maintain the company’s entire list, minutes, and financial documents.”

“Article 101

  • Members of the Board of Directors shall report to the Company regarding the shares owned by the members of the Board of Directors concerned and/or their families in the Company and other Companies to be further recorded in the special list.”

“Article 102

  1. The Board of Directors is obliged to request the approval of the GMS to transfer the Company’s wealth; or make a guarantee of the Company’s wealth debt; which is more than 50% (fifty percent) of total net worth. The Company in 1 (one) transaction or more, whether related to each other or not.”

On the Board of Commissioners which is the Company’s Organ in charge of conducting supervision in general / and or specifically in accordance with the articles of association and advise the Board of Directors. Its duties and authorities are regulated in Article 108 paragraph (1), Article 114 paragraph (2) and paragraph (3), and Article 116 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 108

  1. The Board of Commissioners who supervises management policy, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.”

“Article 114

  • The Board of Commissioners supervises management policies, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.
  • Each member of the Board of Commissioners is personally responsible for the Company’s losses if the person concerned is guilty or negligent in carrying out his duties.”

“Article 116

The board of commissioners is obliged to:

  1. Make minutes of meetings of the Board of Commissioners and keep copies of them;
  2. Report to the Company about its and/or family’s shareholdings in the Company and other Companies; and
  3. Provide a report on the supervisory duties that have been carried out during the past financial year to the GMS.”

In terms of social and environmental responsibility, it is stated in Article 74 of the Limited Liability Company Law which explains as follows:

“Article 74

  • The Company having its business activities in the field of and/or related to natural resources, shall be obliged to perform its Social and Environmental Responsibility.
  • Social and Environmental Responsibility as referred to in paragraph (1) shall constitutes the obligation of the Company which is budgeted and calculated as the cost of the Company, implementation of which shall be performed with due observance to the appropriateness and fairness.
  • The Company which fails to perform its obligation as referred to in paragraph (1) shall be imposed with sanction in accordance with the provision of regulation.
  • Provision regarding Social and Environmental Responsibility shall be further regulated with a Government Regulation.”

A Limited Liability Company may take legal actions including merger, consolidation, acquisition, and separation, which in its implementation, such actions must take into account the interests as regulated in Article 126, namely:

  1. The Company, minority shareholders, employees of the Company;
  2. Creditors, other business partners of the Company; and
  3. Community and fair competition in performing business.

According to Article 1 paragraph 9, merger is a legal action taken by one or more Companies in order to merge with another existing Company, which causes the transfer of assets and liabilities of the merging Companies by operation of law, to the surviving Company and thereafter the legal entity status of the merging Company ceases by operation of law.

While according to Article 1 paragraph 10, consolidation is a legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. In the case of merger and consolidation, it is regulated in Article 122 which reads as follows:

“Article 122

  • Merger and Consolidation shall cause the merging or consolidating Company to legally dissolve.
  • The dissolution of the Company as referred to in paragraph (1) may occur without any prior liquidation performed.
  • In the event of the Company dissolution as referred to in paragraph (2),
  • assets and liabilities of the merging or consolidating Company shall be legally transferred to the surviving Company, and the Company resulting from the Consolidation;
  • the shareholders of the merging and consolidating Company shall, by law, be the shareholders of the Company receiving the Merger or the Company resulting from the Consolidating as well; and
  • the Merging or the Consolidating Company shall be legally dissolved as of the effective date of such Merger or Consolidation.”

The third legal action, namely acquisition, according to Article 1 paragraph 11, acquisition is a legal action conducted by a legal entity or an individual to acquire the shares of the Company, resulting in the transfer of control of such Company. Acquisition as regulated in Article 125 paragraphs (1), (2), and (3) are as follows:

“Article 125”

  • The Acquisition shall be conducted by way of acquiring the shares issued or to be issued by the Company from the Board of Directors of the Company or directly from the shareholders.
  • The Acquisition may be conducted by a legal entity or an individual.
  • The Acquisition as referred to in paragraph (1) constitutes.”

The last legal action is separation, according to Article 1 Paragraph 12, Separation is a legal legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. Separation can be carried out by means of pure separation or impure separation as regulated in Article 135 which reads as follows:

“Article 135

  • The separation can be conducted by ways of :
  • Pure Separation; or
  • Non-pure Separation.
  • Pure Separation as referred to in paragraph (1) letter a shall cause all of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 2 (two) other Companies or more which receiving such transfer, and the Company that performs the Separation shall be, by law, dissolved.
  • Non-pure Separation as referred to in paragraph (1) letter b shall cause the part of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 1 (one) Company or more which receiving the transfer, and the Company performing the Separation shall remain exist.”

Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies not only regulates the terms of establishment and provisions of the company but also matters relating to dissolution where the company is no longer able to operate its business activities. In the terms of dissolution, liquidation, and expiration of the legal entity status of the company, that is regulated in Article 142 to Article 152. It is regulated in Article 142 paragraph (1), that the dissolution of the company occurs as a result of:

  1. Based on the resolution of GMS;
  2. Due to the termination of the Company’s duration as stipulated in the articles of association. c. based on the court order; d. Due to the revoked bankruptcy statement based on binding order of the commercial court, and the bankrupt assets of the Company is not sufficient to pay the bankruptcy cost; e. Due to the condition that the bankrupt assets of the Company has been declared in the condition of insolvency as regulated in the Law regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment; or f. Due to the revocation of the Company’s business permit, so that the Company is obliged to conduct liquidation in accordance with prevailing regulation.

Then, it is explained in more detail regarding the legal entity status of the company’s dissolution as stipulated in Article 143 which reads:

“Article 143

  • The Company’s dissolution shall not cause the Company to lose its status as legal entity until the completion of liquidation and the report of the liquidator is accepted by the GMS or by the court.
  • As of the dissolution, the title “in liquidation” shall be attached on each outgoing letter of the Company.”

0

Pengambilalihan Bank Terhadap Bisnis Konsumer bank

Author: Alfredo Joshua Bernando

  Akuisisi merupakan hal yang lazim dilakukan baik oleh Bank maupun oleh Perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan jasa keuangan pada berbagai sektor, terlebih pada Bisnis Konsumer yang dijalankan oleh Bank Konsumer atau Retail Banking, di mana Bank Konsumer adalah jenis bank yang layanannya ditujukan kepada publik, bukan kepada perusahaan ataupun pihak bank lain, yang biasanya disebut sebagai bank komersial, sehingga terhadap Bank yang melakukan bisnis konsumer sering terjadi pengambilalihan atau akuisisi oleh Pihak Bank lain.

Akuisisi merupakan bagian dari aksi korporasi / tindakan korporasi (Corporate Action), di mana aksi korporasi merupakan sebuah langkah atau tindakan yang diambil oleh perusahaan terbuka yang memiliki dampak langsung terhadap kepemilikan saham investor (pemegang saham). Akuisisi juga dikenal sebagai pengambilalihan, aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan membeli sebagian besar atau seluruh saham dari perusahaan lainnya untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tersebut.

Pada Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan menjelaskan bahwa Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank. [1] Dalam hal bentuk hukum Bank Umum berupa Perseroan Terbatas, maka proses akuisisi akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan tentang definisi Pengambilalihan, yang berbunyi:

“ Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. “ [2]

Ketentuan Hukum mengenai Akuisisi atau Pengambilalihan terhadap Perseroan terbatas, diatur secara spesifik dalam Pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana Pada Pasal 125 ayat (1) UU a quo dijelaskan bahwa:

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perusahaan melalui direksi perusahaan atau langsung dari pemegang saham.[3]

          Terkait dengan peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),[4] maka Peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank telah diterbitkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum (yang selanjutnya disebut POJK 41/2019).

Secara khusus, POJK  mendefinisikan akuisisi / pengambilalihan sebagai berikut:

“  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut .”[5]

Akuisisi, sebagaimana merger dan konsolidasi, integrasi dan konversi dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan.[6] Jika hal tersebut terjadi, maka bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menerima izin dari Otoritas Jasa Keuangan.[7] Dan dalam pelaksanaannya, bank pelaksana harus memperhatikan kepentingan bank, masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Akuisisi Bank dilaksanakan melalui cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan/atau akan dikeluarkan oleh Bank, yang karena pengambilalihan tersebut menyebabkan beralihnya pengendalian bank kepada akuisitor.[9] Akuisisi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 PP 28/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuisitor harus memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank, rakyat banyak, dan persaingan sehat. Sebagaimana diketahui, akuisisi menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan, dan karena itu terdapat perubahan kebijakan yang terjadi di dalam bank sebagai akibat dari perubahan kepemilikan tersebut. Perubahan kebijakan tersebut tentunya sangat jelas berdampak bagi pihak yang terkait, yakni kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank dan nasabah.

Secara prinsip, kreditor tidak dapat terkena dampak negatif dari akuisisi pada bank yang diambil alih. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 POJK 41/2019 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan keberatan kepada bank paling lambat 14 hari setelah pengumuman ringkasan rancangan  mengenai akuisisi, dan jika tidak ada keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui akusisi. Jika ada keberatan, maka keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian, dan selama belum ada penyelesaian yang tercapai maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.[10]

POJK 41/2019 memberikan hak khusus kepada pemegang saham minoritas apabila tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai akuisisi[11], Perlindungan hukum terhadap pemegang saham adalah dengan memberikan hak kepada pemegang saham untuk dapat meminta sahamnya dibeli Bank dengan harga wajar[12]. Hal ini juga disebutkan dalam perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam UUPT[13], dan secara khusus dalam UU PT dijelaskan bahwa jika melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan, perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[14]

Karyawan bank merupakan pihak yang selanjutnya terkena dampak dari akuisisi. Pada dasarnya, karena akuisisi sejatinya merupakan pengambilalihan kepemilikan, maka akuisisi tidak mengubah status karyawan. Status karyawan akan berubah apabila pemilik yang baru melakukan restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan, yang mana hal tersebut dapat saja merubah status, hak dan kewajiban dari perusahaan maupun karyawan. Oleh karena itu, Dalam Pasal 26 huruf b Angka 7 POJK 41/2019 dijelaskan mengenai restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan terkait dengan cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah, dan karyawan Bank yang akan diambil alih merupakan bagian dari syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan atau akuisisi.[15]

Bank pada dasarnya merupakan badan usaha yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[16], maka bank dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga tunduk kepada ketentuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UU PK). Sebagai pelaku usaha, bank memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 7 UU PK dan ketentuan yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam UU PK.[17] Oleh karena itu, perubahan kepemilikan bank tidak dapat menyangkal adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bank sebagai pelaku usaha, sehingga siapapun pemilik dari bank tersebut harus melaksanakan kewajiban dan ketentuan lain bagi pelaku usaha sebagaimana termuat dalam UU PK.

          Akuisisi atau pengambilalihan pada dasarnya harus dilakukan melalui Persetujuan RUPS, akibat hukum yang ditimbulkan terkait dengan aksi korporasi yang dilakukan tersebut adalah beralihnya pengendalian terhadap Bank tersebut, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan serta diperhatikan terkait dengan kepentingan Bank, Masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[1] Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan

[2] Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[5] Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[6] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum            

[7] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[8] Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[9] Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[10] Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[11] Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[13] Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[14] Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[15] Pasal 26 huruf b Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[16] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Translate