0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

Eksistensi News Aggregator terhadap Perusahaan Media

Author: Fitriyani Wospakrik; Co-Author: Andreas Simanjorang

News aggregator adalah pengumpul berita, atau secara lengkap sebagai pengumpul berita, yang dianggap menarik atau sesuai kriteria khusus dari berbagai situs berita dan kemudian menyebarluaskannya di bawah label perusahaan dari pengumpul berita tersebut.[1]

Tak jarang news aggregator ini merusak algoritma internet yang mana dapat merusak engagement perusahaan media penerbit media. Tidak sedikit perusahaan media yang menggantungkan diri kepada algoritma internet agar konsumen dapat dengan segera mengakses berita yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut. Algoritma di internet yang terkena dampak news aggregator tersebut dapat merugikan perusahaan media penerbit berita

Selain itu, terdapat perusahaan-perusahaan news aggregator yang melakukan komersialisasi terhadap berita-berita yang dikumpulkan dari berbagai media digital melalui sarana iklan yang disediakan olehnya.

Oleh karena itu, permasalahan yang timbul adalah:

  1. Apakah berita yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit media dapat dikenakan hak cipta?
  2. Apakah news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum?
  3. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perusahaan media yang beritanya dikumpulkan oleh news aggregator

Pengenaan Hak Cipta terhadap Berita

Pengaturan mengenai hak cipta termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pada dasarnya, UU Hak Cipta membatasi berita sebagai yang tidak dikenakan oleh ketentuan perlindungan hak cipta, namun terbatas hanya kepada berita aktual, yaitu berita yang diumumkan dalam waktu 3×24 jam sejak pertama kali diumumkan kepada khalayak publik.[2] Bagaimana dengan berita yang dikemas dalam bentuk tulisan?

Dari Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta yang memuat Ciptaan Yang Dilindungi oleh Hak Cipta,  didapatilah 1 point yang dapat menjadi unsur dalam berita tertulis, yaitu “hasil karya tulis lainnya” (sesuai huruf a). Apakah hasil karya tulis lainnya dapat dianggap sebagai bagain dari berita tertulis? Jika dilihat dalam UU Hak Cipta, “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Pasal 18 UU Hak Cipta. Adapun penjelasan mengenai “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Penjelasan Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut “Yang dimaksud dengan “hasil karya tulis lainnya” antara Iain naskah kumpulan puisi, kamus umum, dan Harian umum surat kabar…” Dengan demikian dapatlah dikatakan berita tertulis sebagai objek hak cipta.[3]

Indikasi Perbuatan Melawan Hukum oleh News Aggregator.

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad/tort) diatur secara umum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dari Pasal 1365 KUH Perdata maka dapat didapat 4 kriteria: yaitu adanya perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.

Karena dalam permasalahan ini adalah mengenai hak cipta dari berita, maka secara khusus unsur perbuatan melawan hukum akan ditinjau dari UU Hak Cipta.

Pada umumnya, Pasal 44 ayat (1) huruf UU Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau perubahan suatu ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta maupun pemegang Hak Cipta. Bagaimana dengan news aggregator? Secara sepintas, news aggregator tidak dapat dianggap melanggar hak cipta, karena pada dasarnya news aggregator tidak mengubah substansi berita, dan dalam mengumpulkan berita juga menyebutkan sumber darimana ia mendapatkan berita tersebut. Karena itu, maka yang jadi perhatian adalah apakah perbuatannya merugikan atau tidak. Jika merugikan, maka news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum hak cipta.

Perlindungan Hukum bagi Perusahaan Media yang Beritanya dikumpulkan oleh News Aggregator.

Upaya perlindungan hukum yang dapat diandalkan oleh perusahaan media salah satunya adalah dengan mengandalkan penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 UU Hak Cipta dan menggugat ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96 UU Hak Cipta. Mengandalkan UU Hak Cipta dapatlah dilakukan apabila perusahaan media dapat dengan jelas menyatakan bahwa berita yang dihasilkan dapat dilindungi oleh hak cipta, sehingga dapat menjadi objek perlindungan hak cipta.

Selain itu, apabila UU Hak Cipta tidak dapat digunakan, alangkah baiknya apabila terdapat regulasi yang bersifat lex specialis yang mengatur mengenai aggregator, yang mana salah satu ketentuan di dalam beleid ini adalah kewajiban bagi news aggregator untuk memberikan royalti terhadap engagement yang timbul dari berita yang diunggah di dalam situs news aggregator tersebut kepada penerbit yang menerbitkan berita tersebut. Beleid ini menjadi hal yang penting sebab pada dasarnya terdapat kekosongan hukum dalam mengatur news aggregator, mengingat news aggregator adalah suatu terobosan baru yang mana lahir karena adanya perkembangan zaman. Diharapkan beleid itu dapat menjadi dasar hukum yang memberikan kepastian hukum bagi perusahaan media dengan news aggregator, mengatur news aggregator serta memberikan perlindungan hukum bagi perusahaan media yang hak-haknya dirugikan dengan adanya kehadiran news aggregator tersebut.

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

Rohman Budijanto, Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf


[1] Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, xviii, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf

[2] Lihat pada Pasal 43 huruf b UU Hak Cipta dan Penjelasannya

[3] Lihat lebih lanjut pada Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

Translate