0

Aspek Pengawasan NFT menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang

Token yang tidak dapat ditukar atau yang lebih dikenal sebagai non-fungible token (NFT) merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis yang menunjukkan adanya kepemilikan digital terhadap suatu objek digital. Kode elektronis ini didapat dari objek digital, yang pada umumnya berupa gambar digital, cuitan, maupun bangunan atau tanah virtual. Keunikan tersebut yang membuat token tidak dapat diperoleh melalui transaksi pertukaran, sehingga token tersebut hanya dapat diperoleh melalui transaksi jual beli melalui mata uang kripto.

Memasuki akhir tahun 2021, NFT kemudian semakin diginakan oleh masyarakat. Berbagai NFT kemudian mulai dipasarkan dalam pasar khusus NFT, baik yang dikelola oleh pelaku usaha luar negeri maupun pelaku usaha dalam negeri. Namun, dalam memasarkan gambar digital sebagai NFT tersebut, terdapat permasalahan yang muncul. Objek NFT diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, foto yang diambil dari sosial media tanpa seizin pemilik foto tersebut, Atau contoh lainnya berupa gambar tidak senonoh yang melanggar kesusilaan. Selain itu, adanya gambar yang memuat identitas seperti foto Kartu Tanda Penduduk seseorang. Beragam contoh tersebut menunjukkan bahwa transaksi NFT haruslah memiliki pengawasan dari peraturan perundang-undangan.

Karena NFT pada dasarnya merupakan data elektronik, maka NFT menjadi objek dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (UU 19/2016  ITE) beserta peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019 PSTE).

Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan Pasal 1 angka 1 PP 71/2019 mengatur mengenai Informasi Elektronik sebagai:[1]

“…satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

NFT pada dasarnya merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis, maka NFT dapat diklasifikan sebagai Informasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada UU 19/2016 dan PP 71/2019.

Yang menyelenggarakan perdagangan NFT adalah pasar khusus NFT. Jika dilihat kepada PP 71/2019, maka pasar khusus NFT dapat diklasifikasikan sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik, sebagaimana Pasal 1 angka 4 PP 71/2019 berbunyi:

“Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluain dirinya dan/atau keperluan pihak lain.”

Sebagai akibat dari hal tersebut, maka kepada pasar khusus NFT dibebankan hak dan kewajiban sebagaimana termuat dalam PP 71/2019. Salah satu contoh kewajiban yang diatur dalam PP 71/2019 adalah kewajiban untuk memastikan bahwa sistemnya tidak memuat NFT yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adapun secara lengkap, kewajiban tersebut termuat dalam Pasal 5 PP 71/2019 , yang berbunyi sebagai berikut

“Pasal 5

  • Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Penyelenggara Sistem Elekronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Ketentuan mengenai kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.[2]

Pasar khusus NFT juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan penghapusan terhadap NFT yang memuat data pribadi seseorang. Kewajiban ini timbul jika adanya permintaan dari orang yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada Pasal 15 PP 71/2019, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 15

  • Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersanglmtan.
  • Kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
    • penghapusan (right to erasure); dan
    • pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delistingl.
  • Penyelenggara Sistem Elektronik yang wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Sistem Elektronik yang memperoleh dan/atau memproses Data Pribadi di bawah kendalinya.”[3]

Adapun alasan dari permintaan penghapusan tersebut dijabarkan dalam Pasal 16 ayat (1) PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan penghapusan (right to erasure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a terdiri atas Data Pribadi yang:
    • diperoleh dan diproses tanpa persetujuan pemilik Data Pribadi;
    • telah ditarik persetujuannya oleh pemilik Data Pribadi;
    • diperoleh dan diproses dengan cara melawan hukum;
    • sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan perolehan berdasarkan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ;
    • penggunaannya telah melampaui waktu sesuai dengan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ; dan / atau
    • ditampilkan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik Data Pribadi.”[4]

Mengingat banyak kasus yang terjadi bahwa NFT yang ada berisikan data pribadi dan privasi yang mana diunggah oleh pihak ketiga tanpa sepersetujuan pemilik data pribadi, maka pasar khusus NFT harus memberikan perlindungan kepada pemilik data pribadi yang bersangkutan dengan berupa melakukan penghapusan apabila pemilik data pribadi tersebut meminta agar gambar berisi data pribadinya untuk dihapus dari platform pasar khusus NFT.

Jika pasar khusus NFT tidak melaksanakan kewajibannya baik memastikan bahwa sistemnya tidak berisikan NFT yang melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 5 PP 71/2019 maupun tidak melindungi data pribadi dengan menghapus NFT berisi data pribadi tersebut atas permintaan pemilik data pribadi sebagaimana ketentuan dari Pasal 15 ayat (1) PP 71/2019, maka terdapat sanksi yang dapat dikenakan kepada PP 71/2019. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 100 PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100

  • Pelanggaran terhadap ketentuanPasal 5 ayat (1) dan ayat (2), … Pasal 15 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
  •  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    • teguran tertulis;
    • denda administratif;
    • penghentian sementara;
    • pemutusan Akses; dan/atau
    • dikeluarkan dari daftar.
  • Sanksi administratif diberikan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan melalui koordinasi dengan pimpinan Kementerian atau Lembaga terkait.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapuskan tanggung jawab pidana dan perdata.[5]

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

[1] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan PP PSTE

[2] Pasal 5 PP PSTE

[3] Pasal 15 PP PSTE

[4] Pasal 16 ayat (1) PP PSTE

[5] Pasal 100 PP PTSE

0

The Use of Intellectual Property as Guarantees

Author: Nirma Afianita; Co-author: Ananta Mahatyanto

Jaminan (Guarantee)

Jaminan, yang  berasal dari Bahasa Belanda, zekerheid atau cautie, merupakan suatu barang, harta, atau benda yang diberikan oleh debitur kepada kreditur dalam pengajuan suatu pinjaman. Selain itu, dalam perbankan, jaminan disebut juga sebagai agunan.

Walaupun konsep hukum tentang jaminan tidak ada dalam undang-undang, namun KUH Perdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum. Dinyatakan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, menurut Pasal 1131 KUH Perdata “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” berdasarkan pasal ini, seluruh harta benda seseorang otomatis menjadi jaminan atas utang.

Barang-barang tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadap mereka, menurut Pasal 1132 KUH Perdata, dan hasil penjualan barang tersebut dibagi sesuai dengan rasio hutang masing-masing, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.

Perjanjian jaminan harus didasari dengan perjanjian sementara atau perjanjian pokok. Karenanya, pengaturan jaminan adalah kesepakatan (accessoire), tambahan, atau lanjutan. Karena tidak ada yang dapat menjamin hutang jika tidak berwujud, perjanjian jaminan akan diselesaikan setelah perjanjian pokok diselesaikan.

Jaminan dibagi menjadi 2 yaitu umum dan khusus.

  1. Jaminan Umum

Sesuai Pasal 1131 KUHPerdata (“KUHPer”), semua barang yang dimiliki oleh pehutang, baik yang bergerak atau tidak bergerak, saat ini atau yang akan datang, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Inilah yang disebut sebagai Jaminan umum.

  • Jaminan Khusus

Ada pasal-pasal dalam hukum jaminan yang mengatur barang-barang yang dijadikan agunan hutang, atau yang dikenal sebagai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah jaminan dengan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditor jika debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditor di masa mendatang.

            Berikut adalah jenis-jenis jaminan kebendaan.

  1. Gadai

Barang yang digadaikan adalah barang bergerak yang terdiri dari barang berwujud dan tidak berwujud, seperti perhiasan dan hak untuk mendapat uang (surat piutang). Jika debitur tidak dapat melunasi pinjaman, kreditur dapat memiliki barang yang digadaikan.

Menurut Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, eksekusi barang gadai dapat dilakukan dalam salah satu dari dua bentuk yakni eksekusi langsung atau eksekusi berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya.

  • Fidusia

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan, selama benda yang dialihkan hak kepemilikannya tersebut tetap berada di bawah kendali pemilik benda. Fidusia diatur oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999. Benda fidusia mencakup benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, seperti bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Collateral, which comes from the Dutch language, zekerheid or cautie, is an item, property, or object given by the debtor to the creditor in the application of a loan.

Although the legal concept of guarantees does not exist in law, the Civil Code contains rules governing guarantees in general. Article 1131 of the Civil Code states that “All movable and immovable property belonging to the debtor, both existing and future, shall become collateral for the debtor’s individual engagements”. Based on this article, all of one’s property automatically becomes collateral for the debt.

 These goods become mutual guarantees for all creditors against them, according to Article 1132 of the Civil Code, and the proceeds from the sale of these goods are divided according to their respective debt ratios, unless there is a valid reason to prioritize them.

The guarantee agreement must be based on a provisional agreement or a principal agreement.  Accordingly, the guarantee arrangement is an accessoire, additional, or continuation.  Since no one can guarantee the debt if it is intangible, the guarantee agreement will be finalized after the principal agreement is completed.

 Guarantees are divided into 2, namely general and specific.

 1. General Guarantee

 In accordance with Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”), all goods owned by the debtor, whether movable or immovable, currently or in the future, are dependent on all individual engagements.  This is known as general guarantee.

 2. Special Guarantee

 There are articles in the security law that regulate goods that are used as collateral for debt, or what is known as material security.  Material collateral is a guarantee with an object in the form of movable or immovable property which is intended to guarantee the debtor’s debt to the creditor if the debtor is unable to pay his debts to the creditor in the future.

 Here are the types of material guarantees.

 a.  Pawn

 Pawned goods are movable goods consisting of tangible and intangible goods, such as jewelry and the right to receive money (receipts).  If the debtor is unable to repay the loan, the creditor can have the goods pawned.

 According to Articles 1155 and 1156 of the Civil Code, the execution of pawned goods can be carried out in one of two forms, namely direct execution or execution based on a previous court decision.

 b.  Fiduciary

 Fiduciary is the transfer of ownership rights to an object on the basis of trust, as long as the object whose ownership rights are transferred remains under the control of the owner of the object.  Fiduciary is regulated by Fiduciary Guarantee Law No.  42 of 1999.

 Fiduciary objects include movable or immovable objects, both tangible and intangible, such as buildings that are not encumbered with mortgage rights as referred to in Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights​

Kekayaan Intelektual (Intellectual Property)

Kekayaan Intelektual (KI) adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia.

Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain :

  • Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
  • Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.
  • Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.
  • Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia

Pada dasarnya, Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomis, sehingga Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai  Kekayaan Intelektual sebagai agunan atau jaminan ini diatur berdasarkan bentuknya, antara lain:

  • Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dimana hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan gadai maupun fidusia, berdasarkan jenis karya cipta yang dimiliki (material/tangible dan immaterial/intangible)

Berdasarkan perspektif hukum jaminan, karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Contoh, jika kita memiliki karya cipta material/ tangible berupa lukisan maka kita dapat menjaminkan lukisan tersebut melalui skema Gadai atau Fidusia. Sedangkan karya cipta yang bersifat immaterial/ intangible (contoh: film, musik, buku) hanya bisa dijaminkan melalui skema Fidusia. UU Hak Cipta terbaru (UU No. 28 Tahun 2014) hanya mengatur penjaminan Hak Cipta melalui skema Fidusia, sehingga diperlukan revisi UU tersebut agar penjaminan Hak Cipta juga bisa dilakukan melalui skema Gadai.

Mengacu Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa :

“ Pasal 16

  • Hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “

Pada dasarnya Hak Cipta dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia melalui pendaftaran jaminan fidusia dan pembuatan akta fidusia terhadap hak cipta yang dijadikan sebagai objek jaminan, dimana hal mengenai tata cara pendaftaran dan pembuatan akta tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Proses permohonan hak cipta yang didaftarkan sebagai objek jaminan fidusia ini diajukan oleh penerima fidusia, sebelumnya melalui proses penilaian hak cipta tersebut yang ingin dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, setelah itu permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan akan memperoleh bukti pendaftaran, setelah memperoleh bukti pendaftaran maka penerima fidusia harus melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dan setelah melakukan pembayaran baru Pendaftaran Jaminan Fidusia dicatatakan.

Jaminan Fidusia tersebut lahir bersamaan dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatatkan, dan akan mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang ditandatangani oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

  • Hak atas Merek

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dinyatakan bahwa:

“ Pasal 41

  • Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena:
  • pewarisan;
  • wasiat;
  • wakaf;
  • hibah;
  • perjanjian;
  • sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. “

Secara normatif, dapat dikatakan bahwa hak atas merek tersebut, baik merek dagang maupun merek jasa dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia melalui perjanjian seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, sehingga apabila dalam klausula perjanjian mengatur tentang pengalihan ataupun menjadikan hak atas merek sebagai jaminan fidusia (melalui permohonan), maka hal tersebut dapat dilakukan.

  • Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.

Paten dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, dimana dijelaskan bahwa:

“ Pasal 108

  • Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai syarat dan tata cara hak atas Paten sebagai objek jaminan fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam hal pendaftaran hak atas paten sebagai objek jaminan fidusia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

  • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dijelaskan bahwa:

            “ Pasal 23

  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan:
  • pewarisan;
  • hibah;
  • wasiat;
  • perjanjian tertulis; atau
  • sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.”

Apabila pada perjanjian tertulis terdapat klausula terkait penjaminan produk DTLST  sebagai objek jaminan fidusia, dan disepakati oleh kedua belah pihak, maka Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang setelah itu melakukan permohonan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu menjadi Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai 2 (dua bentuk) objek jaminan, yakni jaminan gadai dan fidusia. Terkait dengan karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Sehingga, melalui skema gadai dapat disimpulkan harus disertakan dengan hasil ciptaan dan sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dimana dalam skema gadai tersebut tidak wajib menggunakan akta notaris sebab objek jaminannya berada pada tangan kreditor.

Berbeda halnya dengan, jaminan fidusia yang memerlukan akta notaris dan harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum dan Ham. Pengaturan fidusia lebih ketat dibandingkan dengan gadai, sebab objek jaminan fidusia berada di tangan debitor dengan status hak pakai.

Dalam hal objek jaminan berupa kekayaan intelektual dalam skema gadai, maka apabila pihak-pihak tersebut akan mengikuti pihak-pihak dalam skema gadai, yakni pemberi gadai dan penerima gadai, pengaturan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana secara garis besar hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemberi dan Penerima gadai adalah sebagai berikut:

 Intellectual Property (IP) is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.

 The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:

  • As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with economic value contained therein.
  • Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.
  • Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because the recognition of Intellectual Property will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.
  • Can be used as material for consideration to determine research and industry strategies in Indonesia

Basically, Intellectual Property has economic value, so Intellectual Property can be used as collateral or guarantee.

 The provisions governing Intellectual Property as collateral or guarantee are regulated based on their form, among others:

  • Copyright

 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.

 Where copyright can be used as an object of pledge or fiduciary collateral, based on the type of copyrighted work owned (material/tangible and immaterial/intangible)

 Based on the perspective of guarantee law, copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible) can be bound by Pledge and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  For example, if we have a tangible/material copyrighted work in the form of a painting, then we can guarantee the painting through a Pawn or Fiduciary scheme.  Meanwhile, copyrighted works that are immaterial/intangible (eg films, music, books) can only be guaranteed through a fiduciary scheme.  The latest Copyright Law (Law No. 28 of 2014) only regulates Copyright guarantees through the Fiduciary scheme, so it is necessary to revise the Law so that Copyright guarantees can also be carried out through the Pawn scheme.

 Referring to Article 16 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright it is explained that:

 “Article 16”

 (3) Copyright can be used as an object of fiduciary guarantee.

 (4) Provisions regarding Copyrights as objects of fiduciary guarantees as referred to in paragraph (3) are implemented in accordance with the provisions of laws and regulations.  “

Basically, Copyrights can be used as objects of fiduciary guarantees through registration of fiduciary guarantees and the making of fiduciary deeds of copyrights which are used as objects of guarantees, where matters regarding the procedures for registration and making the deed are regulated in Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Guarantees.  Fiduciary and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

 The process of applying for a copyright that is registered as an object of fiduciary security is submitted by a fiduciary recipient, before going through the process of assessing the copyright that wants to be used as an object of fiduciary security, after that an application for registration of a fiduciary guarantee that has met the conditions will obtain proof of registration, after obtaining proof of registration  then the fiduciary recipient must pay the registration fee for the fiduciary guarantee and after making a new payment the registration of the fiduciary guarantee is recorded.

 The Fiduciary Guarantee is born at the same time as the date the Fiduciary Guarantee is registered, and will get a Fiduciary Guarantee Certificate signed by the Official at the Fiduciary Registration Office.

  • Trademark Rights

 Right to a Mark is an exclusive right granted by the state to the owner of a registered Mark for a certain period of time by using the Mark himself or giving permission to other parties to use it.

 Based on Article 41 paragraph (1) of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, it is stated that:

 “Article 41”

 (1) Rights to registered Marks may be transferred or transferred because:

 a.  inheritance;

 b.  will;

 c.  waqf;

 d.  grant;

 e.  agreement;

 f.  other reasons justified by legislation.  “

 Normatively, it can be said that the rights to the mark, both trademarks and service marks can be used as objects of fiduciary guarantees through agreements as described in Article 41 letter e of Law Number 20 of 2016, so that if the clause of the agreement regulates the transfer or make the right to the mark as a fiduciary guarantee (through an application), then this can be done.

  • Patent

 A patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.

 Patents can be used as fiduciary guarantees as regulated in Article 108 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents, where it is explained that:

 “Article 108

 (1) Patent rights may be used as objects of fiduciary security.

 (2) Provisions regarding the terms and procedures for the right to a Patent as an object of fiduciary security shall be regulated by a Government Regulation.”

 In the case of registration of patent rights as objects of fiduciary security, it refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantees and Fees for Making Fiduciary Guarantee Deeds.

  • Integrated Circuit Layout Design (DTLST)

 The right to Layout Design for Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer for his creation, to carry it out himself for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise the right.

 ​Based on Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits, it is explained that:

 “Article 23

 (1) Right to Layout Design of Integrated Circuit can be transferred or transferred by:

 a.  inheritance;

 b.  grant;

 c.  will;

 d.  written agreement;  or

 e.  other reasons justified by legislation.

If in the written agreement there is a clause related to guaranteeing DTLST products as objects of fiduciary guarantees, and it is agreed by both parties, then the Right to Layout Design of Integrated Circuits can be used as Objects of Fiduciary Guarantees referring to Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000  concerning Layout Design of Integrated Circuit, after which the application for registration of Right to Layout Design of Integrated Circuit as Object of Fiduciary Security refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantee and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

Thus, it can be concluded that Intellectual Property can be used as 2 (two) forms of collateral objects, namely pledges and fiduciary guarantees.  In relation to copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible), they can be bound by Pawn and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  So, through the pawn scheme, it can be concluded that it must be accompanied by the creation and copyright certificate (as the main collateral), where in the pawn scheme it is not required to use a notary deed because the object of the guarantee is in the hands of the creditor.

Unlike the case with fiduciary guarantees, which require a notarial deed and must be registered with the Fiduciary Registration Office at the Ministry of Law and Human Rights.  Fiduciary arrangements are stricter than pawning, because the object of the fiduciary guarantee is in the hands of the debtor with usufructuary status.

In the case of the object of collateral in the form of intellectual property in the pawn scheme, then if the parties will follow the parties in the pawn scheme, namely the pawner and the pawn recipient, the pawn arrangement is regulated in Article 1150 to Article 1160 of the Civil Code,  In general, the rights and obligations of the Giver and Receiver of pawn are as follows:

Hak dan Kewajiban (Rights and Obligations)

Penerima Gadai

Hak :

  1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan tersebut, yaitu apabila pemberi gadai tersebut pada saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedang hasil penjualan barang jaminan tersebut diambil untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya dikembalikan pada pemberi gadai.
  2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
  3. Selama hutangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak rentetie).

Kewajiban :

  1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya.
  2. Penerima gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
  3. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan penjualan atas barang gadai.

Pemberi gadai

Hak :

  1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya.
  2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
  3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan hutang, bunga dan biaya lainnya.
  4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

Kewajiban :

  1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi hutang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai.
  2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atau barang gadai miliknya, apabila dalam jangka yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi hutangnya kepada pemegang gadai.

Pawnee

Right :

  1. The pawnee has the right to sell the pawned goods, that is, if the pawnbroker at maturity or at a specified time cannot fulfill his obligations as a debtor.  While the proceeds from the sale of the collateral are taken to pay off the debt of the pawner and the rest is returned to the pawner.
  2. The recipient of the pledge has the right to be reimbursed for the costs that have been incurred to maintain the safety of the collateral.
  3. As long as the debt has not been repaid, the pledge holder has the right to hold the collateral submitted by the pawnbroker (rentie rights).

 Obligation :

  1. The recipient of the pledge is responsible for the loss or decline in the price of the pawned item if it is all due to his negligence.
  2. The pawnee is not allowed to use the pawned goods for his own benefit.
  3. The pledge holder is obliged to notify the pawnbroker prior to the sale of the pawned goods.

The Pledger

 Right :

  1. The pawnbroker has the right to get his property back after the pawnbroker has paid off his debt.
  2. The pawnbroker has the right to claim compensation for the damage and loss of the pledged goods if it is caused by the negligence of the pawnee.
  3. The lender has the right to get the remainder from the sale of his goods after deducting the cost of paying off debt, interest and other costs.
  4. The pawnbroker has the right to ask for the goods back if the pawnbroker has clearly misused the goods.

 Obligation :

  1. The pawnbroker is obliged to pay off the debt he has received from the pawnbroker within a predetermined timeframe including interest and other fees determined by the pawnbroker.
  2. The pawnbroker is obliged to give up the sale or his/her own pawned goods, if within a predetermined period the pawner cannot pay off his debt to the pawnbroker.

Berakhirnya Hak Gadai (Expiration of Lien)

Suatu perjanjian hutang piutang pada dasarnya tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal, demikian pula dengan perjanjian gadai. Namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak lain. Hak gadai dikatakan batal apabila:

  1. Hutang piutang yang telah terjadi telah dibayarkan dan dilunasi.
  2. Barang gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai, yaitu bukan lagi menjadi hak milik pemberi gadai.
  3. Para pihak tidak lagi melaksanakan yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pemberi gadai maupun penerima gadai.
  4. Barang gadai tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun sebaliknya atas kemauan yang berpiutang.

Berkaitan dengan KI dengan objek jaminan fidusia yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, memiliki pihak yang sama dengan gadai yakni pemberi fidusia dan penerima fidusia, dimana hak dan kewajiban mereka sebagai berikut:

Penerima Fidusia

Hak:

  1. Mengawasi benda fidusia
  2. Menjual benda fidusia jika debitur wanprestasi
  3. Mengambil piutangnya dari hasil penjualan benda fidusia

Kewajiban:

  1. Melaksanakan pendaftaran akta jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia
  2. Memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia atas benda fidusia secara pinjam pakai
  3. Menyerahkan harga kelebihannya kepada pemberi fidusia dan menyerahkan kembali hak milik atas benda fidusia kepada pemberi fidusia jika piutangnya telah dilunasi oleh debitur.

Pemberi Fidusia

Hak :

  1. Menguasai benda fidusia
  2. Menerima hasil penjualan benda fidusia
  3. Menerima kembali hak milik atas benda fidusia jika telah melunasi hutangnya.

Kewajiban :

  1. Menjaga dan merawat benda fidusia agar tidak turun nilainya
  2. Melaporkan keadaan benda fidusia kepada penerima fidusia
  3. Melunasi utangnya

A debt agreement basically nothing lasts forever, meaning that the agreement can end or be canceled at any time, as well as a pawn agreement.  However, the cancellation of the lien will be very different from other rights.  A lien is said to be void if:

 a) Accounts payable that have been incurred have been paid and repaid.

 b) The pawned goods are out of the power of the pawnbroker, that is, they are no longer the property of the pawnbroker.

 c) The parties no longer carry out the rights and obligations of each party, both the pawner and the pawnee.

 d) The pawned goods are left in the power of the pawnbroker or vice versa at the will of the debtor.

With regard to KI with the object of fiduciary security which refers to Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it has the same party as the pawn, namely the fiduciary giver and fiduciary recipient, where their rights and obligations are as follows:

Fiduciary Recipient

 Right:

  1. Supervise fiduciary objects
  2. Selling fiduciary objects if the debtor defaults
  3. Taking the receivables from the sale of fiduciary objects

 Obligation:

  1. Carry out the registration of the fiduciary guarantee deed to the fiduciary registration office
  2. Giving power to the fiduciary giver over the fiduciary object on a borrowed basis
  3. Submit the excess price to the fiduciary giver and return the ownership rights to the fiduciary object to the fiduciary if the debt has been paid off by the debtor.

Fiduciary Giver:

 Right :

 1. Mastering fiduciary objects

 2. Receive the proceeds from the sale of fiduciary objects

 3. Receiving ownership rights to fiduciary objects if they have paid off their debts.

 Obligation :

 1. Maintain and care for fiduciary objects so that they do not decrease in value

 2. Reporting the condition of the fiduciary object to the fiduciary recipient

 3. Pay off the debt

Berakhirnya Hak Jaminan Fidusia (Expiration of Fiduciary Guarantee Rights)

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia berakhir karena:

  1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
  2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
  3. Musnahya benda yang menjadi objek jaminan fidusia

According to Article 25 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, Fiduciary Security ends because:

  1. Elimination of debt guaranteed by fiduciary
  2. Release of rights to fiduciary guarantees by fiduciary recipients
  3. The destruction of objects that are objects of fiduciary guarantees

Eksekusi Objek Jaminan (Guarantee Object Execution)

Terkait dengan apabila terjadinya sengketa terhadap KI yang dijadikan objek jaminan, seperti pada prosesnya penjaminan KI dapat dijadikan objek jaminan melalui 2 skema, sehingga pada proses eksekusi objek jaminan melalui 2 skema pula, yakni skema gadai dan skema fidusia.

1. Eksekusi Objek Jaminan Skema Gadai

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 2 jenis, yakni Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan. Dimana Parate Eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan. Hak eksekusi yang selalu siap dengan namanya “paraat” yang berarti hak itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan, objek hak gadai biasanya dilelang melalui pelelangan umum. Acuan pelaksanaan Parate Eksekusi mengacu pada Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Yang kedua, Penjualan Bawah Tangan, pada jaminan gadai dimungkinkan untuk melakukan penjualan bawah tangan, beranjak dari kalimat yang tertera di awal Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain” maka eksekusi barang gadainya dilakukan di hadapan umum. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tangan atas objek jaminan gadai bilmana mereka memperjanjikannya.

2. Eksekusi Objek Jaminan Skema Fidusia

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 3 jenis, yakni Titel Eksekutorial (melalui fiat pengadilan), Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan.

Terkait dengan mekanisme pertama yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana dijelaskan tentang pelaksanaan titel eksekutorial, yakni dalam sertifikat jaminan fidusia wajib dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Yang kedua, Parate Eksekusi, yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf b jo. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana apabila terjadi cidera janji/wanprestasi, maka penerima dapat melakukan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasa piutangnya dari hasil penjualan.

Yang ketiga, Penjualan Bawah Tangan, mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan bahwa penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

In the case of a dispute over IP which is used as an object of collateral, as in the process, IP guarantee can be used as a guarantee object through 2 schemes, so that in the process of executing the object of guarantee there are also 2 schemes, namely a pawn scheme and a fiduciary scheme.

 1. Execution of the Guaranteed Object of the Pawn Scheme

 The execution mechanism for collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 2 types, namely Parate Execution (without asking for court assistance) and Underhand Sales.  Where Parate Execution is an execution that can be carried out by the creditor without asking for court assistance or the process of placing a confiscation of collateral.  The right of execution which is always ready with the name “paraat” which means the right is ready in the hands of the creditor to be executed, the object of lien is usually auctioned through a public auction.  The reference for the implementation of the Execution Parate refers to Article 1155 of the Civil Code.

 Second, underhand sales, under pledged collateral it is possible to carry out underhand sales, starting from the sentence stated at the beginning of Article 1155 of the Civil Code, namely “If the promised parties do not agree otherwise” then the execution of the pawned goods is carried out  in public.  From these provisions, it can be concluded that the hand over the object of the pledge of collateral when they make an agreement.

 2. Execution of Object of Fiduciary Scheme Guarantee

 The mechanism for execution of collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 3 types, namely Executional Title (through court fiat), Execution Parate (without asking for court assistance) and Underhand Sales.

 Related to the first mechanism which refers to Article 29 paragraph (1) letter a jo.  Article 15 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security, which explains the implementation of the executive title, namely that the fiduciary guarantee certificate must include the words “For the sake of Justice Based on God Almighty” with the aim of having the same executive power as court decisions  which has obtained permanent legal force.

 The second, Parate Execution, which refers to Article 29 paragraph (1) letter b jo.  Article 15 paragraph (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, where in the event of a breach of contract/default, the recipient can sell objects that are the object of the fiduciary guarantee on the power of the fiduciary recipient himself through a public auction and take payment of his receivables from the proceeds.  sale.

 Third, underhand sales, referring to Article 29 paragraph (1) letter c of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is explained that underhand sales are carried out based on an agreement between the Giver and the Fiduciary Recipient if in this way the highest price can be obtained.  which benefits the parties.

Metode Appraisal KI (IP Appraisal Method)

Tiga metode yang berlaku umum untuk penilaian jaminan juga dapat berlaku bagi penilaian Kekayaan Intelektual dan dapat juga berlaku untuk analisis Hak Cipta. Pendekatan biaya yang kurang umum digunakan daripada pendekatan pendapatan atau pendekatan pasar. Karena hak cipta memberikan hak monopoli kepada pemilik, pendekatan biaya tidak selalu berlaku untuk analisis penilaian hak cipta. Metode tersebut yaitu:

a) Metode pendekatan biaya

Penilaian ini didasarkan pada biaya yang dikeluarkan dalam mengembangkan atau menciptakan suatu karya cipta, atau biaya untuk menciptakan atau mengembangkan produk atau layanan serupa, tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi dari karya cipta tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai suatu obyek atau bagian dari kekayaan intelektual tidak lebih besar daripada biaya untuk memproduksinya. Pendekatan biaya memang memiliki keterbatasan tertentu dalam menganalisis nilai ekonomis suatu hak cipta. Karena keterbatasan ini, pendekatan biaya sering dianggap hanya dapat memberikan patokan bagi estimasi nilai ekonomi terendah.

b) Metode Pendekatan Nilai Pasar

Metode pendekatan pasar merupakan metode dimana Hak Kekayaan Intelektual atau aset tidak berwujud dinilai dengan membandingkannya dengan penjualan baru-baru ini, transfer, dan transaksi yang melibatkan aset yang sama di pasar yang sama. Kendala dari metode pendekatan nilai pasar ini adalah kesulitan untuk menganalisa berapa nilai jual suatu karya cipta.

c) Metode Pendekatan Pendapatan

Metode pendekatan pendapatan menentukan nilai ekonomi berdasarkan pendapatan masa depan yang dapat, atau akan, dihasilkan dari kekayaan intelektual atau aset tidak berwujud. Pendekatan pendapatan bagi Hak Kekayaan intelektual merupakan metode penilaian yang digunakan secara luas; namun, hal itu dapat menjadi kompleks, karena harus memutuskan bagaimana mengukur “pendapatan”. Yang menjadi parameter dasar dari pendekatan pendapatan adalah:

  1. aliran pendapatan masa depan
  2. durasi aliran pendapatan
  3. tingkat risiko atau pengurangan yang mungkin terjadi

The three generally accepted methods for assurance assessments may also apply to Intellectual Property assessments and may also apply to Copyright analysis.  The cost approach is less commonly used than the revenue or market approach.  Because copyright grants the owner monopoly rights, the cost approach does not always apply to copyright assessment analysis.  The methods are:

 a) Cost approach method

 This assessment is based on the costs incurred in developing or creating a copyrighted work, or the costs of creating or developing a similar product or service, without considering the economic value of the copyrighted work.  This principle states that the value of an object or piece of intellectual property is not greater than the cost of producing it.  The cost approach does have certain limitations in analyzing the economic value of a copyright.  Because of these limitations, the cost approach is often considered to only provide a benchmark for the lowest estimated economic value.

 b) Market Value Approach Method

 The market approach method is a method by which Intellectual Property Rights or intangible assets are valued by comparing them with recent sales, transfers, and transactions involving the same asset in the same market.  The problem with this market value approach is that it is difficult to analyze how much the selling value of a copyrighted work is.

 c) Income Approach Method

 The income approach method determines economic value based on the future income that can, or will, be generated from intellectual property or intangible assets.  The revenue approach to Intellectual Property Rights is a widely used valuation method;  however, it can be complex, having to decide how to measure “revenues”.  The basic parameters of the revenue approach are:

 1. future income stream

 2. duration of income stream

 3. the level of risk or reduction that may occur

Valuasi KI (IP Valuation)

Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan apprasial KI tersebut ada beberapa cara untuk menghitung nya dengan menggunakan metode Discounted Future Economic Benefits atau disingkat DFEB dan Relief-from-Royalty

Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Modul 11 berjudul IP Valuation sebagai salah satu topik dalam IP Panorama yang dikeluarkan oleh WIPO menjelaskan bagaimana cara menentukan pendapatan ekonomi yaitu:

  1. Proyeksikan aliran pendapatan (atau penghematan biaya) yang dihasilkan oleh aset KI selama sisa masa manfaat dari aset KI tersebut.
  2. Imbangi pendapatan/penghematan dengan biaya yang berhubungan secara langsung dengan aset KI, antara lain biaya tenaga kerja, bahan, investasi modal yang dibutuhkan, dan setiap sewa atau biaya modal lainnya.
  3. Hitung risiko untuk mengurangi jumlah pendapatan dari nilai saat ini (present value) dengan menggunakan tingkat diskonto atau tingkat kapitalisasi.

Beberapa perhitungan yang mungkin diperlukan pada metode pendapatan adalah perhitungan pendapatan kotor atau bersih (gross or net revenue), laba kotor (gross profit), pendapatan operasional bersih (net operating income), pendapatan sebelum pajak (pretax income), laba bersih (setelah pajak), arus kas operasi, arus kas bersih, pendapatan tambahan, dan penghematan biaya. Perhitungan-perhitungan tersebut merupakan bagian dari analisis finansial dalam menyusun studi kelayakan bisnis. Oleh karena itu, beberapa asumsi dalam menghitung atau melakukan analisis finansial harus dibuat, antara lain umur teknologi/paten dan tingkat diskonto.

Relief-from-Royalty Method merupakan satu mekanisme alih teknologi/paten yang banyak digunakan adalah lisensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP 20/2005) dimana KI milik Negara tidak diperkenankan dialihkan kepada pihak lain, artinya tidak dapat menggunakan mekanisme jual putus. Dalam mekanisme lisensi harus ditentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi teknologi. Metode relief-from-royalty dilakukan untuk menentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi suatu teknologi. Pembayaran royalti merupakan salah satu mekanisme bagi hasil (profit sharing). Metode yang paling umum digunakan untuk mengekspresikan royalti adalah persentase dari pendapatan (a percentage of revenue) (Heberden, 2011). Selain itu, besaran royalti juga dapat dihitung berdasarkan persentase dari keuntungan kotor, persentase dari keuntungan bersih, atau persentase dari unit penjualan. Penentuan besaran dan metode royalti umumnya bersifat negotiable antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Penentuan besaran royalti menurut Hadjiloucas (2014) dapat dilakukan berdasarkan data pasar atau hasil survei tentang royalti/lisensi sebagai pembanding (benchmarks).

Untuk menghitung nilai yang bisa diperoleh dari royalti diperlukan perhitungan nilai teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (income approach). Secara umum Reilly (2008) menjelaskan perhitungan tingkat pasar royalti menggunakan pendekatan pendapatan yang memproyeksikan nilai sekarang (present value / PV). Berdasarkan perhitungan dengan pendekatan pendapatan dapat diketahui prediksi arus kas pendapatan (revenue), keuntungan kotor, keuntungan bersih, dan nilai unit penjualan, yang selanjutnya dapat disimulasikan dan ditentukan beberapa alternatif besaran royalti dan dhitung PV-nya dengan tingkat diskonto tertentu sesuai umur teknologi atau perlindungan patennya.

When viewed from the IP appraisal approaches, there are several ways to calculate it using the Discounted Future Economic Benefits method or abbreviated as DFEB and Relief-from-Royalty.

 Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Module 11 entitled IP Valuation as one of the topics in IP Panorama issued by WIPO explains how to determine economic income, namely:

 a) Project the revenue stream (or cost savings) generated by the IP asset over the remaining useful life of the IP asset.

 b) Balance income/savings with costs directly related to IP assets, including labor costs, materials, required capital investment, and any rent or other capital costs.

 c) Calculate the risk of reducing the amount of revenue from the present value using the discount rate or capitalization rate.

 Some calculations that may be needed in the income method are the calculation of gross or net income (gross or net revenue), gross profit (gross profit), net operating income (net operating income), income before tax (pretax income), net profit (after tax).  ), operating cash flow, net cash flow, additional revenue, and cost savings.  These calculations are part of the financial analysis in compiling a business feasibility study.  Therefore, several assumptions in calculating or conducting financial analysis must be made, including the age of the technology/patent and the discount rate.

 Relief-from-Royalty Method is a technology/patent transfer mechanism that is widely used is licensing.  This is in accordance with the provisions in Government Regulation Number 20 of 2005 concerning Transfer of Intellectual Property Technology and Research and Development Results by Universities and Research and Development Institutions (PP 20/2005) wherein State-owned IP is not allowed to be transferred to other parties, meaning that it cannot be transferred to other parties.  using a sell-out mechanism.  In the licensing mechanism, the amount of royalty that will be offered to the party who will license the technology must be determined.  The relief-from-royalty method is used to determine the amount of royalty that will be offered to the party who will license a technology.  Payment of royalties is one of the mechanisms for profit sharing.  The most common method used to express royalty is a percentage of revenue (Heberden, 2011).  In addition, the amount of royalties can also be calculated based on a percentage of gross profit, a percentage of net profit, or a percentage of unit sales.  The determination of the amount and method of royalty is generally negotiable between the licensor and the licensee.  The determination of the royalty amount according to Hadjiloucas (2014) can be done based on market data or the results of a survey on royalties/licences as a comparison (benchmarks).

 To calculate the value that can be obtained from royalties, it is necessary to calculate the value of technology/patent with an income approach.  In general, Reilly (2008) explains the calculation of the market rate of royalties using an income approach that projects present value (PV).  Based on the calculation with the income approach, it can be seen that the prediction of cash flow income (revenue), gross profit, net profit, and unit sales value, which can then be simulated and determined several alternative amounts of royalties and calculated PV with a certain discount rate according to the age of technology or protection.  the patent.

0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

Gugatan Terhadap Restoran Dengan Sistem Waralaba Karena Kelalaian Penyedia Jasa Waralaba

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua Bernando

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
  3. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Restoran
  4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Restoran adalah Rumah Makan,[1] .” dimana restoran itu sendiri terbagi dalam beberapa jenis yaitu Fast Casual Dining, Cafe, Casual Style Dining, Fine Dining maupun Restoran Cepat Saji (Fast Food).[2] Usaha Restoran atau rumah makan ini bertujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Restoran (Permenparekraf 11/2014), yang menyatakan bahwa:

“ Usaha Restoran adalah usaha penyediaan jasa makanan dan minuman dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan dan penyajian di suatu tempat tetap yang tidak berpindah-pindah dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba”

Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Restoran

Jenis-Jenis Restoran tersebut memiliki perbedaan pada jenis hidangan, desain, serta pelayanan dengan menyesuaikan kebutuhan target atau lingkup konsumen tertentu yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan melalui penjualan makanan dan minuman serta pelayanan kepada konsumen. Sehingga, sebagai pelaku usaha yang memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba yang lebih banyak, opsi untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah membuka cabang (outlet) yang baru, dengan demikian semakin banyak cabang dari restoran tersebut maka akan semakin banyak potensi keuntungan yang akan didapat. Hal ini dalam prakteknya sering diaplikasikan pada jenis Restoran Cepat Saji (Fast Food) dan Fast Casual Dining terkait dengan pelayanan yang cepat dan dengan harga yang relatif terjangkau.

Pembukaan cabang baru dari Restoran dapat dilakukan oleh pihak pemilik restoran, baik secara langsung oleh pemilik restoran tersebut maupun melalui sistem waralaba (franchise) dimana dalam sistem waralaba tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (selanjutnya disebut sebagai PP 42/2007), yang menyebutkan bahwa:

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba

Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Di dalam pengertian waralaba tersebut menjelaskan bahwa pemanfaatan dan/atau penggunaan oleh pihak lain terkait waralaba didasari oleh Perjanjian Waralaba, dimana di dalam perjanjian tersebut terdapat 2 pihak yakni Pihak Pemberi Waralaba (Franchisor) dan Pihak Penerima Waralab (Franchisee). Adapun kriteria yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan waralaba diatur dalam Pasal 3 PP 42/2007, yaitu:

“Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha;
  2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;
  3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
  4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
  5. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
  6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar”

[Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba]

Selain pemenuhan kriteria waralaba, terdapat pengaturan mengenai klausula-klausula yang paling sedikit harus dimuat dalam Perjanjian Waralaba, hal ini dimuat di dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (selanjutnya disebut Permendag 71/2019), yakni:

  1. Nama dan alamat para pihak
  2. Jenis Hak Kekayaan Intelektual yang diwaralabakan
  3. Kegiatan usaha
  4. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu hak dan kewajiban yang meliputi: Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan – hak untuk menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan; dan kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan; Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan – hak untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba; dan kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang diberikan Pemberi Waralaba.
  5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan oleh Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.
  6. Wilayah usaha
  7. Jangka Waktu Perjanjian Waralaba
  8. Tata cara pembayaran imbalan
  9. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris
  10. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan forum penyelesaian sengketa, dengan menggunakan pilihan hukum Indonesia.
  11. Tata cara perpanjangan dan pengakhiran Perjanjian Waralaba
  12. Jaminan dari Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan sesuai dengan isi Perjanjian Waralaba hingga jangka waktu Perjanjian Waralaba berakhir.
  13. Jumlah gerai/tempat usaha yang akan dikelola oleh Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan dalam jangka waktu Perjanjian Waralaba

[Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Waralaba]

Dalam klausula ke- 4 huruf a angka 2 yang telah dijelaskan dalam Lampiran II Permendag 71/2019 diatas sejalan dengan Pasal 8 PP 42/2007 yang mengatur tentang kewajiban pembinaan oleh Franchisor kepada Franchisee, yang berbunyi:

“Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan”

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Franchisor mempunyai kewajiban untuk memberikan pembinaan kepada franchisee mengenai SOP (Standard Operation Procedure)  atau dukungan yang berkesinambungan, dimana mengacu pada Penjelasan Pasal 3 huruf e PP 42/2007 dijelaskan mengenai pengertian “dukungan yang berkesinambungan” yang artinya adalah dukungan yang diberikan secara terus menerus, salah satu hal teknis yang masuk ke dalam bentuk dukungan tersebut adalah Quality Control.

Hubungan kausalitas tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, yang berbunyi:

Pasal 24

  • Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan wajib memberikan pembinaan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan.
  • Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
    • pendidikan dan pelatihan mengenai sistem manajemen pengelolaan Waralaba yang dikerjasamakan, sehingga Penerima Waralaba dapat menjalankan kegiatan usaha Waralaba dengan baik dan menguntungkan;
    • secara rutin memberikan bimbingan operasional manajemen, sehingga apabila ditemukan kesalahan operasional dapat diatasi dengan segera;
    • membantu pengembangan pasar melalui promosi, seperti melalui iklan, leaflet/ katalog/ brosur atau pameran; dan
    • penelitian dan pengembangan pasar dan produk yang dipasarkan, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan dapat diterima pasar dengan baik.” [3]

Dalam kegiatan usaha, kelalaian bisa saja terjadi terutama pada pihak restoran selaku pelaku usaha, sebagai contoh terkait dengan kualitas bahan makanan atau minuman yang disajikan kepada pihak konsumen, hal ini dapat disebabkan oleh tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak Franchisee maupun pihak Franchisor seperti yang dijelaskan pada klausula perjanjian waralaba diatas, yaitu dalam bentuk tidak diberikannya pembinaan secara berkesinambungan oleh pihak franchisor maupun tidak terpenuhinya kewajiban franchisee yang tidak menjaga standard operational procedure dalam penyelenggaraan waralaba tersebut.

Pada dasarnya, apabila terjadi kerugian terhadap konsumen yang di sebabkan oleh kelalaian tersebut,  konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha yakni pihak restoran, dimana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU PK) memberikan hak bagi konsumen untuk menuntut pihak restoran atas kerugian yang dialami terkait dengan kelalaian yang disebabkan oleh pihak restoran. Adapun hak penerimaan penggantian kerugian yang dimiliki oleh pihak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 huruf e UUPK, yang berbunyi:

“Hak Konsumen adalah”

e. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

Pasal 4 huruf e UU Nomor 8 Tahhun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sehingga, apabila Penerima Waralaba (Franchisee) melakukan kelalaian terhadap pihak konsumen yang disebabkan oleh tidak dilakukannya Pembinaan mengenai SOP (Standard Operational Procedure) serta Quality Control secara berkesinambunganyang dilakukan oleh pihak Pemberi Waralaba (Franchisor), maka selain pihak franchisee , pihak franchisor juga bertanggung jawab dalam penggantian kerugian yang dialami oleh Pihak Konsumen.

Oleh karena itu, pihak konsumen berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap kerugian yang dialami tersebut, hal ini mengacu pada hak yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal pelaku usaha merupakan pihak yang menyelenggarakan waralaba, maka selain pihak franchisee yang wajib memberikan ganti rugi, pihak franchisor jugadapat turut bertanggung jawab atas penggantian ganti rugi terhadap pihak konsumen sebagaimana perjanjian antar franchisee dan franchisor yang telah disepakati bersama dan/atau apabila tidak dilakukannya pembinaan secara rutin sebagaimana telah diatur pada Pasal 24 Permendag 71/2019.


[1] Restoran (Def.1) (n.d) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Diakses melalui https://kbbi.web.id/restoran , diakses pada tanggal 24 Januari 2022

[2] Restomart , “5 Macam Jenis Restoran Yang Harus Kalian Tahu” , (https://restomart.com/5-macam-jenis-restoran-yang-harus-kalian-tahu/ , diakses pada tanggal 24 Januari 2022)

[3] Pasal 24 Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba


REFERENSI :

  1. Restoran (Def.1) (n.d) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Diakses melalui https://kbbi.web.id/restoran , diakses pada tanggal 24 Januari 2022
  2. Restomart , “5 Macam Jenis Restoran Yang Harus Kalian Tahu” , (https://restomart.com/5-macam-jenis-restoran-yang-harus-kalian-tahu/ , diakses pada tanggal 24 Januari 2022)
0

Inventor Creation Patent in Construction Activities

Author: Rizki Haryo Kusumo; Co-Author: Ananta Mahatyanto

Dalam proyek konstruksi, dikenal Teknologi Konstruksi yang merupakan berbagai macam perkembangan yang ada di bidang konstruksi baik itu dari material, komponen konstruksi, dan juga metode konstruksi. Teknologi Konstruksi memiliki peran penting dalam dunia proyek konstruksi, yaitu agar tercapainya target proyek konstruksi dengan waktu dan biaya yang minimal, dan mutu yang maksimal. Teknologi Konstruksi itu sendiri adalah produk dari arsitektur yang merupakan Inventor dalam proyek konstruksi tersebut dimana dapat dipatenkan oleh arsitektur konstruksi dengan melihat ketentuan-ketentuan tentang paten itu sendiri.

Paten

Sebelumnya, perlu dipahami apa itu paten. Paten diatur Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UUP) disebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 butir 2 UUP). Inventor adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi (Pasal 1 butir 3). Rumusan di atas dapat menjelaskan bahwa paten merupakan hasil kreativitas seseorang dalam bidang teknologi. Istilah invensi seseorang dalam bidang teknologi, selain membawa dampak pengembangan dalam ilmu pengetahuan juga ada nilai ekonomisnya.

Ruang lingkup paten dan sederhana (Pasal 2 UUP). Maksud dari paten dan sederhana, dijabarkan dalam Pasal 107 UU cipta kerja perubahan terhadap pasal 3 UUP sebagai berikut:

  1. Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
  2. Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
  3.  Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. produk sederhana;
    2. proses sederhana; atau
    3. metode sederhana.

Pada Pasal 10 UUP disebutkan yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau jika invensi ditemukan secara bersama maka disebut para inventor, dan yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. Pada Pasal 24 UUP disebutkan paten diberikan atas dasar permohonan. Namun perlu diperhatikan, bahwa tidak setiap invensi dapat diberikan Paten. Pasal 9 UUP bahwa Paten tidak diberikan untuk invensi tentang:

  1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  3. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
  4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.

Berdasarkan ketentuan di atas, paten tidak begitu saja diberikan, melainkan inventor harus mengajukan permohonan kepada negara. Jika suatu invensi hendak diajukan ke Kantor Paten, agar permohonan atau tepatnya pendaftaran dikabulkan, harus memenuhi syarat-syarat sesuai pasal 3 ayat 1 UUP yaitu berikut:

  1. Invensi itu harus baru (Novelty)
  2. Mengandung langkah inventif (Inventive step)
  3. Dapat diterapkan dalam industri (Industrial applicability)

Apabila segala persyaratan yang ditentukan sudah dipenuhi, maka kepada pihak yang melakukan pendaftaran paten akan diberikan hak eksklusif. Hak eksklusif tersebut adalah hak kepada pemegang paten untuk merealisasikan penemuan barunya, baik dalam bentuk suatu produk atau mempergunakan suatu proses tertentu. Hak eksklusif yang diberikan paten adalah bersifat teknis, tetapi dampak dari hak eksklusif tersebut merupakan permasalahan hukum.

Masalah tersebut berkaitan dengan apa yang di dalam hukum paten disebut sebagai non obviousness, yaitu disamping persyaratan tentang barunya suatu penemuan (novelty), sebelum paten diberikan ingin diketahui terlebih dahulu, apakah penemuan baru tersebut sudah cukup canggih di dalam bidang bersangkutan sehingga kepada penemu dapat diberikan hak eksklusif selama berlakunya paten bersangkutan. Sebagai upaya untuk membantu mengadakan evaluasi dari diberikan atau tidaknya paten untuk penemuan, hukum paten mengembangkan teori subtest of invention.

Perlindungan Karya Arsitektur

Karya arsitektur mengandung bagian-bagian Kekayaan Intelektual yang dapat dilindungi hukum. Adapun Kekayaan Intelektual yang terkait yaitu Hak Cipta, Desain Industri dan Paten. Hak Cipta karena karya arsitektur merupakan ide dan gagasan yang berasal dari pemikiran (intelektual) seorang arsitek yang mempunyai unsur seni, teknologi, nilai guna. Desain Industri karena karya arsitektur mengandung unsur pola, kesan estetis, dan dapat diproduksi dalam bentuk produk industri secara masal. Paten karena karya arsitektur merupakan invensi yang dihasilkan oleh inventor di bidang teknologi yang memenuhi tiga syarat, yaitu novelty, inventive step dan industrial applicability.

Dalam perlindungan hasil karya arsitektur, apabila disambungkan oleh paten, sistem perlindungan yang diterapkan adalah konstitutif, yaitu setiap hak kekayaan intelektual wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang yang dibuktikan dengan Sertifikat Pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum dan menimbulkan kepastian hukum. Sistem konstitutif dianut oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten.

Secara teoritis, sebenarnya tidak ada masalah apabila hasil invensi tersebut tidak didaftarkan inventor, karena inventor tersebut tetap dapat memiliki hasil invensinya. Inventor berhak menggunakan dan mempertahankannya. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang yuridis, tidak ada perlindungan hukum terhadap inventor tersebut dan tidak ada jaminan hukum bahwa orang lain tidak akan ikut serta menggunakannya. Apabila invensi tersebut digunakan oleh orang lain, maka bagi inventor akan sulit membuktikan kebenaran haknya.

Klausul Kepemilikan Paten Yang Belum Didaftarkan Dalam Kontrak

Dalam pembahasan kontrak pastinya mengacu kepada Kitab Undang-Undang perdata. Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak.

Kontrak memiliki beberapa syarat sah yang harus di penuhi. Syarat sah tersebut di atur pada pasal 1320 KUHper, ada 4 syarat yaitu:

  1. Kecakapan para pihak
  2. Kesepakatan antara pihak
  3. Adanya suatu hal atau objek tertentu
  4. Suatu sebab yang halal ( tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum )

Dalam pembuatan kontrak tersebut ada asa yang dinamakan asas kepatutan dimana di atur pada pasal 1339 KUHper yang berbunyi:

            “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas       dinyatakan       di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat   perjanjian,       diharuskan oleh (1) kepatutan, (2) kebiasaan, (3) undang-undang.”

Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan dan keadilan menurut undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini Inventor melakukan perjanjian kontrak bersama pihak kedua. Dalam kontrak tersebut adanya klausul tentang kepemilikan hak atas objek paten yang dimana merupakan ciptaan inventor. Hal tersebut di perbolehkan dengan adanya kebebasan berkontrak namun perlu di lihat kembali apakah ciptaan inventor tersebut telah didaftarkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten. Apabila ciptaan inventor tersebut belum didaftarkan maka tidak bisa dikatan dalam kontrak tersebut bahwa objek ciptaan merupakan milik inventor.

Hal tersebut dapat dilihat nya bedasarkan dari 1339 KUHper yang dimana pembuatan kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan undang-undang yang berlaku. Terhadap hal tersebut mengacu kepada UU 13/2016 tentang paten. Karena ciptaan tersebut belum didaftarkan oleh inventor maka untuk ciptaan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat umum.

Mitigasi Penyalahgunaan atau Pelanggaran Hak Paten

Menurut Edmon Makarim, langkah untuk mencegah timbulnya sengketa penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten adalah semua pihak yang berkepentingan dapat secara aktif atau memiliki sumber daya untuk memantau informasi dan mencermati publikasi paten yang bisa menimbulkan resiko pada masa yang akan datang. Serta bagi Pemerintah untuk memperbaiki sistem, terkait dengan proses pemeriksaan substantif yang lebih ketat dalam menentukan kelayakan suatu invensi untuk mendapatkan perlindungan paten.

Perbaikan hal-hal tersebut akan berjalan lebih baik apabila disertai dengan pengawasan yang lebih ketat, terutama pada komunikasi antara petugas penerima paten dan pemohon paten, terkait dengan mencegah lolosnya paten yang tidak memenuhi syarat invensi.

Upaya Hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten:

Pasal 19 jo. Pasal 160 jo. Pasal 161 jo. Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten, yang menjelaskan bahwa:

“ Pasal 19″

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  • Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  • Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi perlindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.

Pasal 160

Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang:

  1. Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  2. Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 162

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Construction Technology is known for a variety of developments in the construction sector, both in terms of materials, construction components, and construction methods.  Construction technology has an important role in the world of construction projects, namely in order to achieve project targets with minimum time and cost, and with maximum quality.  Construction technology itself is a product of architecture which is an investor in the construction project and can be patented by construction architecture by looking at the provisions of the patent itself.

 Patent

 First, it is necessary to understand what a patent is.  Patents are regulated in Law Number 13 of 2016 concerning Patents (UUP) it is stated that patents are exclusive rights granted by the State to inventors for their inventions in the field of technology, which for a certain period of time carry out the invention themselves or give approval to other parties to carry it out.

 The invention is an inventor’s idea that is poured into a specific problem-solving activity in the field of technology, it can be in the form of a product or process or product or process improvement and development (Article 1 point 2 of the UUP).  An inventor is a person or several people who jointly implement ideas that are poured into activities that produce inventions (Article 1 point 3).  The above formula can explain that patents are the result of someone’s creativity in the field of technology.  The term someone’s invention in the field of technology, in addition to having an impact on the development of science, also has economic value.

The scope of the patent and simple (Article 2 UUP).  The meaning of patent and simple is described in Article 107 of the Copyright Act, amendments to Article 3 of the UUP as follows:

 1. The patent as referred to in Article 2 letter a is granted for an invention that is new, contains inventive steps, and can be applied in industry.

 2. A simple patent as referred to in Article 2 letter b is granted for every new invention, development of an existing product, or process that has practical uses, and can be applied in industry.

 3. Development of existing products or processes as referred to in paragraph (2) includes:

a. simple product;

b. simple process;  or

c. Simple method.

 Article 10 of the UUUP states that those who are entitled to a patent are inventors or if the inventions are found together, they are called inventors, and those who further receive the rights of the investor concerned.  Article 24 of the UUUP states that patents are granted on the basis of an application.  However, it should be noted that not every invention can be granted a patent.  Article 9 UUUP that Patents are not granted for inventions concerning:

 a.  Process or product whose announcement and use or implementation is contrary to applicable laws and regulations, religious morality, public order, or decency;

 b.  Methods of examination, treatment, treatment, and/or surgery applied to humans and/or animals;

 c.  Theories and methods in the fields of science and mathematics;  or

 d.  all living things, except micro-organisms;

 e.  biological processes that are essential for the production of plants or animals, except for non-biological processes or microbiological processes.

 Based on the above provisions, patents are not simply granted, but the inventor must submit an application to the state.  If an invention is to be submitted to the Patent Office, in order for the application or to be precise the registration to be granted, it must meet the requirements in accordance with Article 3 paragraph 1 of the UUP, namely the following:

 1. The invention must be new (Novelty)

 2. Contains inventive steps

 3. Can be applied in the industry (Industrial applicability)

 If all the specified requirements have been met, then the party who registers the patent will be granted exclusive rights.  The exclusive right is the right of the patent holder to realize his new invention, either in the form of a product or using a certain process.  The exclusive rights granted by patents are technical in nature, but the impact of these exclusive rights is a legal matter.

 This problem is related to what is referred to in patent law as non-obviousness, namely in addition to the requirements regarding the newness of an invention (novelty), before the patent is granted, it is necessary to know in advance whether the new invention is sophisticated enough in the relevant field so that the inventor can be given it.  exclusive rights during the validity of the relevant patent.  In an effort to help conduct an evaluation of whether or not a patent is granted for an invention, patent law develops the theory of the subtest of invention.

 Architectural Protection

 Architectural works contain IP parts that can be protected by law.  The related Intellectual Property are Copyrights, Industrial Designs and Patents.  Copyright because architectural works are ideas and ideas that come from the (intellectual) thoughts of an architect who have elements of art, technology, use value.  Industrial Design because architectural works contain elements of patterns, aesthetic impressions, and can be mass produced in the form of industrial products.  Patents because architectural works are inventions produced by inventors in the field of technology meet three requirements, namely novelty, inventive step and industrial applicability.

 In the protection of architectural works, if connected by a patent, the protection system applied is constitutive, i.e. every intellectual property right must be registered.  Registration that meets the requirements of the law is an acknowledgment and justification of a person’s intellectual property rights as evidenced by a Registration Certificate so as to obtain legal protection and create legal certainty.  The constitutive system is adopted by Law Number 13 of 2016 concerning Patents.

 Theoretically, there is actually no problem if the invention is not registered by the inventor, because the inventor can still own the invention.  Inventor has the right to use and maintain it.  However, from a juridical point of view, there is no legal protection for the inventor and there is no legal guarantee that other people will not participate in using it.  If the invention is used by other people, it will be difficult for the inventor to prove the truth of his rights.

 Unregistered Patent Ownership Clause in the Contract

 In the discussion of the contract, of course, it refers to the Civil Code.  According to the translation of the Black’s Law Dictionary, the definition of a contract is an agreement between two or more people that creates an obligation to do or not to do something specific.  Based on the Civil Code (KUHPer), a contract creates an agreement between the parties who bind themselves.  So that from this contract an engagement was born in which the parties who bind themselves have their respective obligations as specified in the contract.

 The contract has several legal conditions that must be met.  The legal requirements are regulated in Article 1320 of the Criminal Code, there are 4 conditions, namely:

 1. Skills of the parties

 2. Agreement between parties

 3. There is a certain thing or object

 4. A lawful cause (not contrary to applicable law, decency and public order)

 In making the contract there is a principle called the principle of propriety which is regulated in Article 1339 of the Criminal Code which reads:

 “An agreement is not only binding for things that are expressly stated in it, but also for everything which according to the nature of the agreement, is required by (1) propriety, (2) custom, (3) law  .”

 Based on this, it can be concluded that the contract must be made with due regard to propriety and fairness according to the applicable law.

 In this case the Inventor enters into a contract agreement with the second party.  In the contract there is a clause regarding the ownership of rights to the patent object which is the inventor’s creation.  This is allowed with the freedom of contract but it is necessary to review whether the inventor’s creation has been registered in accordance with Law Number 13 of 2016 concerning Patents.  If the inventor’s creation has not been registered, it cannot be stated in the contract that the object of creation is the property of the inventor.

 This can be seen based on the 1339 KUHper in which the making of a contract must be made with due regard to the appropriateness of the applicable law.  This refers to Law 13/2016 on patents.  Because the work has not been registered by the inventor, the creation can be used by the general public.

 Mitigation of Patent Abuse or Infringement

 According to Edmon Makarim, the step to prevent disputes over misuse or infringement of patent rights is that all interested parties can actively or have resources to monitor information and observe patent publications that may pose risks in the future.  As well as for the Government to improve the system, related to a more stringent substantive examination process in determining the feasibility of an invention to obtain patent protection.

 Improvements in these matters will run better if accompanied by stricter supervision, especially on communication between patent recipients and patent applicants, related to preventing the passage of patents that do not meet the invention requirements.

Legal remedies that can be taken in the event of misuse or infringement of patent rights as regulated in Law Number 3 of 2016 concerning Patents:

Article 19 jo.  Article 160 jo.  Article 161 jo.  Article 162 of Law Number 3 of 2016 concerning Patents, which explains that:

 “Article 19”

 (1) A Patent Holder has the exclusive right to exercise his/her patent and to prohibit other parties who without his/her consent:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 (2) The prohibition on using a production process that is granted a Patent as referred to in paragraph (1) letter b applies only to imports of products that are solely produced from the use of a process that is protected by a Patent.

 (3) In the case of educational, research, experimental, or analytical purposes, the prohibitions as referred to in paragraphs (1) and (2) may be excluded as long as they do not harm the legitimate interests of the Patent Holder and are not commercial in nature.

 Article 160

 Any person without the approval of the Patent Holder is prohibited from:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 Article 161

 Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).

 Article 162

 Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”

1 2 3 5
Translate