0

Legal Protection of Franchisee Against Franchisor Declared Bankrupt

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Legal Basis

  • Law Number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations
  • Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company
  • Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 regarding Franchise

Waralaba merupakan sistem bisnis yang diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019). Waralaba didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Permendag 71/2019 sebagai berikut:

“Waralaba adalah adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba”

Kriteria Waralaba diatur dalam Pasal 2 Permendag 71/2019, sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha, yakni usaha tersebut memiliki keunggulan, keunikan atau perbedaan yang nyata dengan jenis usaha lainnya.
  2. Adanya pengalaman paling sedikit 5 tahun serta sudah memiliki kiat bisnis yang kokoh untuk diterapkan serta menguntungkan.
  3. Adanya SOP yang lengkap dan komprehensif secara tertulis.
  4. Jenis usaha dapat dengan mudah diajarkan oleh Pemberi Waralaba dan dapat diaplikasikan dengan mudah oleh Penerima Waralaba.
  5. Adanya dukungan secara berkelanjutan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba dalam bentuk bimbingan operasional, pelatihan dan promosi  serta Penerima Waralaba berhak meminta bantuan, bimbingan dan saran dari Pemberi Waralaba.
  6. Inti bisnis Waralaba harus termasuk dalam lingkup hak kekayaan intelektual, salah satunya adalah Merek Dagang.

Dasar bisnis Waralaba adalah Perjanjian Waralaba. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 Permendag 71/2019 sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan Waralaba harus didasarkan pada Perjanjian Waralaba yang dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.
  2. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan hukum Indonesia dan memuat paling sedikit materi atau klausula sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  3. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada calon Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba lanjutan paling lambat 2 (dua) minggu sebelum penandatanganan Perjanjian Waralaba.
  4. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis menggunakan bahasa Indonesia 

Isi Perjanjian Waralaba harus memuat sekurang-kurangnya klausul yang telah ditentukan oleh Lampiran II Permendag 70/2019, sebagai berikut:

  1. Identitas para Pihak
  2. Jenis kekayaan intelektual
  3. Inti bisnis
  4. Hak dan kewajiban
  5. Bimbingan dan dukungan
  6. Pembagian wilayah bisnis
  7. Jangka waktu
  8. Pembayaran imbalan
  9. Kepemilikan
  10. Dispute settlement
  11. Perpanjangan/pengakhiran
  12. Jaminan 

Salah satu yang diatur dalam Perjanjian Waralaba adalah mengenai kepastian hukum dari kelangsungan Waralaba. Salah satunya adalah kepastian hukum kelangsungan Waralaba sebagaimana diakibatkan oleh perubahan kepemilikan Waralaba. Salah satu contoh konkret dari adanya perubahan kepemilikan Waralaba adalah adanya kepailitan terhadap Pemberi Waralaba.

Pailit didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) dalam Pasal 1 sebagai sita umum yang atas semua kekayaan debitor yang sudah dinyatan pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. 

Syarat dari putusan pailit diatur dalam Pasal 2 UU 37/2004, adalah adanya dua atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, atas permohonannya sendiri untuk diputus pailit atau karena permohonan satu kreditor atau lebih kreditornya.

Bagaimana dengan harta pailit yang bertempat di wilayah luar negeri / cross-border insolvency (CBI)? Saat ini terdapat perjanjian internasional yang mengatur mengenai CBI, salah satunya adalah UNCITRAL yang mengeluarkan Model Law on Cross-Border Insolvency. Namun Indonesia belum mengadopsi perjanjian internasional yang mengatur mengenai CBI untuk melakukan eksekusi terhadap putusan kepailitan pengadilan Indonesia di luar negeri, dan mengandalkan asas resiprokal (pengakuan akan putusan asing).

Dampak dari pailit adalah sebagai berikut:

  1. Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (Pasal 24 ayat (1) UU 37/2004)
  2. Pembubaran dan likuidasi Perusahaan (Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007):
    1. Dicabutnya kepailitan
    2. Harta pailit dalam keadaan insolvensi

Dengan adanya dampak pailit bagi Pemberi Waralaba maka akibat yang dapat timbul kepada Penerima Waralaba adalah:

  1. Adanya ketidakpastian kelangsungan Waralaba dikarenakan pailitnya perusahaan Pemberi Waralaba.
  2. Penerima Warlaba dapat dirugikan dari adanya ketidakpastian kelangsungan Waralaba tersebut.

Oleh karena itu, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Penerima Waralaba apabila Pemberi Waralaba dipailitkan adalah sebagai berikut:

  1. Meminta kepastian kelangsungan Waralaba kepada Kurator.
  2. Jika Kurator tidak memberikan kepastian, Penerima Waralaba dapat memohon kepada Hakim Pengawas untuk memaksa agar Kurator segera memberikan kepastian dari kelangsungan Waralaba.
  3. Melakukan upaya preventif dengan mengatur klausula mengenai hubungan Waralaba dalam Perjanjian apabila Pemberi Waralaba dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Franchise is a business system regulated by Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 regarding Franchise (MOT 71/2019). It defined in Article 1 point 1 of MOT 71/2019 as follows:

“”Franchise is a special right owned by an individual or a business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven to be successful and can be utilized and/or used by other parties based on a Franchise Agreement””[1]

Franchising criterias are regulated in Article 2 of the MOT 71/2019, as follows: 

  1. Having a business characteristic, namely that the business has advantages, uniqueness or real differences with other types of businesses.
  2. Have at least 5 years of experience and already have solid business tips to implement and be profitable.
  3. There is a complete and comprehensive written standard operating procedure.
  4. The type of business can be easily taught and easily applied by the Franchisor.
  5. There is ongoing support from the Franchisor to the Franchisee in the form of operational guidance, training and promotion and the Franchisee has the right to request assistance, guidance and advice from the Franchisor.
  6. The core business of the Franchise must be included in the scope of intellectual property rights, one of which is a Trademark.

The basis of the Franchise business is the Franchise Agreement. This provision is regulated in Article 6 of Permendag 71/2019 as follows:

  • Franchising must be based on a Franchise Agreement made between parties who have equal legal standing and Indonesian law applied to them.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) is made based on Indonesian law and contains at least the material or clause as contained in Attachment II which is an integral part of this Ministerial Regulation.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) must be submitted to the prospective Franchisee or further Franchisee at least 2 (two) weeks prior to the signing of the Franchise Agreement.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) must be written in Indonesian.

The contents of the Franchise Agreement must contain at least the clauses that have been determined by Attachment II to MOT 70/2019, as follows:

  1. Identity of the Parties
  2. Types of intellectual property
  3. Business core
  4. Rights and obligations
  5. Guidance and support
  6. Division of business area
  7. Term
  8. Payment of rewards
  9. Ownership
  10. Dispute settlement
  11. Extension/termination
  12. Guarantee

One of the provisions in the Franchise Agreement is the legal certainty of the continuity of the Franchise. These provisions are the legal certainty of franchise continuity due to the changes in franchise ownership. One concrete example of a change in the ownership of a franchisee is the bankruptcy of the franchisor.

Bankruptcy is defined by Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (Law 37/2004) in Article 1 as a general confiscation of all of a debtor’s assets that have been declared bankrupt whose management and settlement are carried out by a curator under an appointed supervisory judge by the Commercial Court.

The condition for the bankruptcy decision is regulated in Article 2 of Law 37/2004, which states that there are two or more creditors and inability to pay debts that are due and collectible, at their own request to be declared bankrupt or because of the application of one or more creditors.

What about bankrupt assets that are located in a foreign territory / cross-border insolvency (CBI)?

Currently, there are international agreements that regulate CBI, one of which is UNCITRAL which issues the Model Law on Cross-Border Insolvency. However, Indonesia has not yet adopted an international agreement that regulates the CBI to execute bankruptcy decisions of Indonesian courts abroad, and relies on the reciprocal principle (recognition of foreign decisions).

The effects of bankruptcy are as follows:

  1. The debtor by law loses his right to control and manage his assets which are included in the bankruptcy estate, from the date the bankruptcy declaration decision is pronounced. (Article 24 para (1) of Law 37/2004)
  2. Dissolution and liquidation of the Company (Article 142 para (1) of Law 40/2007):
    1. Bankruptcy is lifted
    1. Bankruptcy assets in a state of insolvency

With the impact of bankruptcy for the Franchisor, the consequences that may arise for the Franchisee are:

  1. There is uncertainty about the continuity of the Franchise due to the bankruptcy of the Franchisor.
  2. The Franchisee may be harmed from the uncertainty of the continuity of the Franchise.

Therefore, legal remedies that can be taken by the Franchisee if the Franchisor is bankrupt are as follows:

  1. Asking the Curator to confirm the continuity of the franchise.
  2. If the Curator does not provide certainty, the Franchisee may request the Supervisory Judge to force the Curator to immediately provide certainty of the continuity of the Franchise.
  3. Carry out preventive measures by setting a clause regarding the Franchise relationship in the Agreement if the Franchisor is declared bankrupt by the Commercial Court.

[1] Pasal 1 Permendag 71/2019

0

Perlindungan Hukum bagi Korban Binary Option

Author: Nirma Afianita; Co-author: Ananta Mahatyanto

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011
  5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Kemudahan akses yang didapatkan oleh masyarakat tanpa dibekali dengan pengetahuan mengenai suatu produk investasi pada saat ini menjadi kendala bagi masyarakat, dalam hal mengetahui produk-produk non investasi yang berkedok trading, seperti yang terindikasi pada Binary Option. Pengetahuan terhadap izin dan legalitas suatu perusahaan yang berjalan di bidang investasi seharusnya juga menjadi hal penting untuk diperhatikan oleh masyarakat, khususnya Binary Option yang telah menimbulkan banyak korban.

Binary Option merupakan Opsi biner atau jenis kontrak opsi di mana pembayarannya sepenuhnya bergantung pada hasil proposisi ya atau tidak dan biasanya berkaitan dengan apakah harga aset tertentu akan naik di atas atau turun di bawah jumlah yang ditentukan. Setelah opsi diperoleh, tidak ada keputusan lebih lanjut yang harus diambil oleh pemegangnya mengenai pelaksanaan binary option karena opsi tersebut dijalankan secara otomatis. Binary Option tidak memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli atau menjual aset yang ditentukan. Ketika opsi biner kadaluwarsa, pemegang opsi menerima jumlah uang tunai yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak sama sekali.[1]  Untuk dapat melaksanakan trading melalui binary option, pengguna harus melakukan registrasi dan menaruh deposit berupa uang. Dari deposit tersebut pengguna akan memasang nominal yang akan dipertaruhkan. Jika tebakan pengguna benar pada saat melakukan trading, maka pengguna akan mendapatkan keuntungan, dan jika tidak maka nominal yang dipertaruhkan akan hilang. [2] Sehingga, binary option tidak dikategorikan sebagai produk investasi karena prosedur penggunaannya melalui tebakan tersebut yang lebih identik dengan kegiatan perjudian.

Konsumen-konsumen yang mendapatkan kerugian atau yang dapat kita sebut sebagai korban Binary Option saat menggunakan produk dari penyedia jasa Binary Option sudah seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Adapun pengertian perlindungan hukum menurut Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.[3]

Perlindungan hukum diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.[4]

            Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada masyarakat terhadap kasus Binary Option tersebut pada dasarnya dapat berupa perlindungan preventif dan perlindungan represif, dimana perlindungan preventif adalah perlindungan yang diberikan untuk mencegah terjadinya sengketa, dan perlindungan represif adalah perlindungan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.

            Dalam hal perlindungan preventif, dapat dilakukan oleh pemberian informasi oleh pemerintah melalui media apapun, seperti contoh pemerintah melakukan sosialisasi mengenai kemungkinan kerugian yang akan terjadi apabila masyarakat tetap menggunakan produk jasa Binary Option tersebut. Dan selanjutnya, perlindungan represif dapat dilakukan dengan menyelesaikan sengketa yang sudah terjadi melalui menindaklanjuti laporan ataupun permintaan ganti kerugian yang dialami oleh korban kepada pihak penyedia jasa Binary Option tersebut.

            Apabila perlindungan preventif tidak dilakukan dengan maksimal, maka perlindungan represif yang diberikan kepada masyarakat yang sekaligus menjadi korban dalam kasus Binary Option harus ditindaklanjut dengan tegas. Perlindungan hukum represif yang dapat diberikan dapat melalui pemberian sanksi terhadap Pihak Binary Option yakni, Sanksi Pidana berupa pidana penjara maupun denda bagi pihak Binary Option, serta Sanksi perdata berupa penggantian kerugian baik material maupun immaterial bagi korban pengguna jasa Binary Option.

            Selanjutnya membahas hukum yang berlaku terhadap keabsahan produk Binary Option di Indonesia, yang akan berkaitan dengan perlindungan hukum yang akan diberikan kepada korban dari pengguna jasa Binary Option itu sendiri. Pada dasarnya, praktek terhadap binary option tersebut dilarang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (UU 32/1997) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011. (UU 10/2011) yang mengatur tentang praktik-praktik perdagangan yang dilarang, secara khusus adalah mempengaruhi pihak lain (dalam arti ini adalah masyarakat) untuk melakukan transaksi dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran. Hal ini termuat dalam Pasal 57 ayat (2) huruf d UU 10/2011 yang berbunyi sebagai berikut:

“2. Setiap pihak dilarang (d) secara langsung atau tidak langsung memengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran”

Pasal 57 ayat (2) huruf d UU 10/2011

Pelaku dari praktik-praktik perdagangan yang dilarang dapat dikenakan sanksi. Menurut UU 32/1997, terdapat dua macam sanksi yang dapat dikenakan untuk pelaku praktik perdagangan yang dilarang, yakni sanksi administrasi dan pidana. Sanksi administrasi termuat dalam Pasal 69 UU 32/1997 yang berbunyi sebagai berikut:

“(1) Bappebti berwenang menggenakan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya yang dilakukan oleh setiap Pihak yang memperoleh izin usaha, izin, persetujuan, atau sertifikat pendaftaran dari Bappebti.

(2) Sanski administratif sebagaimana dimaksuk pada ayat (1) dapat berupa:

a. Peringatan tertulis;

b. Denda administratif, yaitu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu;

c. Pembatasan kegiatan usaha;

d. Pembekuan kegiatan usaha;

e. Pencabutan izin usaha;

f. Pencabutan izinl

g. Pembatalan persetujuan; dan/atau

h. Pembatalan sertifikat pendaftaran.”

Pasal 69 UU 32/1997

Adapun sanksi pidana untuk praktik perdagangan yang dilarang termuat dalam Pasal 72 UU 32/1997, yakni pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak sepuluh miliar rupiah, sebagaimana bunyi Pasal 72 UU 32/1997 sebagai berikut:

“Setiap pihak yang melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

Pasal 72 UU 32/1997

Selain sanksi yang merujuk pada UU 32/1997 , terdapat aturan yang mengatur mengenai penyedia jasa binary option sebagai pelaku usaha untuk tidak melakukan promosi secara tidak benar, dan menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti, hal tersebut mengacu pada Pasal 9 ayat (1) huruf K dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang berbunyi:

“(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan”

Pasal 9 ayat (1) huruf K dan ayat (2) UU 8/1999

Sanksi bagi pihak pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 9 UU PK yakni salah satunya adalah menawarkan atau mempromosikan suatu barang dan/atau jasa seolah-olah mengandung janji yang pasti memperoleh keuntungan dalam binary option tersebut, diatur dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 UU PK, yang berbunyi:

“(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”

Pasal 62 UU PK

“Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:

a. Perampasan barang tertentul

b. Pengumuman keputusan hakim;

c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

f. Pencabutan izin usaha”

Pasal 63 UU PK

Bentuk Perlindungan Hukum Represif yang penyelesaian sengketa yang diberikan bagi Pihak korban yang akan mengajukan gugatan dalam perkara perdata terhadap pihak pelaku usaha binary option melalui Pengadilan, maupun tuntutan dalam perkara pidana melalui laporan kepada pihak kepolisian yang selanjutnya akan ditindak lanjut melalui putusan pengadilan, berikut dalil-dalil yang dapat disertakan sebagai bentuk penyelesaian sengketa dalam kasus binary option, yaitu:

1. Pidana

a. Penipuan: Pelaku Binary Option yang menimulkan korban terkait dengan penawaran binary option yang berkedok “trading” maka dapat dikategorikan Penipuan yang mengacu padal Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

Pasal 378 Kitab UU Hukum Pidana

b. Pelanggaran Pasal 62 jo. Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK)

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf K UU PK yang mengatur untuk melarang dilakukannya promosi terhadap binary option tersebut, dimana terdapat sanksi yang dapat diterapkan apabila terjadi pelanggaran atas Pasal 9 tersebut dalam Pasal 62 UU PK , yang berbunyi:

“(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”

Pasal 62 UU PK

2. Perdata

a. Wanprestasi

Adanya kesepakatan antara user binary option dengan konsumen dalam hal penggunaan Binomo yang menyebabkan perjanjian, sebagaimana definisi Perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata:

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Pasal 1313 KUHPerdata

Kesepakatan itu harus diuji melalui syarat keabsahan perjanjian, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. Adanya kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1320 KUHPerdata

Namun, kegiatan perdagangan melalui binary option pada dasarnya tidak diatur oleh hukum Indonesia, selain itu kegiatan penyedia jasa binary option tidak ada yang memperoleh izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), oleh sebab itu kegiatan perdagangan tersebut menjadi ilegal. Oleh karena itu, apabila terdapat suatu perjanjian mengenai binary option, perjanjian tersebut melanggar syarat suatu sebab yang halal, dan dengan demikian perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

Dengan batalnya demi hukum suatu perjanjian mengenai binary option, maka wanprestasi tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan adalah perbuatan melawan hukum.

b. Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum adalah gugatan perdata yang dapat dilakukan kepada pelaku usaha yang melanggar hukum dan merugikan konsumen. Unsur dari perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur sebagai berikut:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”

Pasal 1365 KUHPerdata

Perbuatan melawan hukum ini dapat digunakan sebagai gugatan karena:

i. Penipuan

ii. Pelanggaran Pasal 9 UU PK

Terhadap sengketa baik pidana atau perdata ini, maka sengketa ini dapat diselesaikan dalam:

i. Pengadilan Negeri, bagi kasus Pidana dan PMH

ii. Badan Penyelesaian Sengkat Konsumen, sebagai alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu sengketa dari pelanggaran Pasal 9 UU PK. BPSK dapat digunakan karena pada dasarnya user binary option dapat dikatakan sebagai pelaku usaha sehingga muncul relasi pelaku usaha dengan konsumen.

Sehingga, dalam hal pemberian perlindungan hukum preventif sudah tidak dapat relevan karena telah menimbulkan korban, maka perlindungan hukum represif yakni dalam hal ini penyelesaian sengketa antara korban dengan penyedia jasa binary option harus dilakukan dengan maksimal, hal tersebut dilakukan dengan 2 cara, yakni pelaporan kepada pihak kepolisian bahwa telah dilakukannya tindak pidana penipuan, dimana pihak binary option melakukan penawaran binary option yang berkedok “trading”, serta pelanggaran Pasal 9 UU PK dimana pihak binary option menjaminkan keuntungan yang akan didapatkan apabila korban menggunakan produk jasa dari binary option itu sendiri dan selanjutnya cara yang kedua adalah melalui gugatan perdata, dalam bentuk wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak binary option, dengan mengajukan gugatan ganti rugi terhadap kerugian yang telah dialami oleh korban binary option.

Perlindungan hukum merupakan hak dari semua orang, sehingga bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban binary option melalui pemberian sanksi baik sanksi pidana berupa pidana penjara serta denda, maupun memutus pihak binary option untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban melalui putusan pengadilan merupakan langkah yang harus dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang dalam hal ini merupakan korban binary option itu sendiri.


[1] Lihat dari U.S Securities and Exchange Commission, Binary option (https://www.investor.gov/introduction-investing/investing-basics/glossary/binary-options)

[2] Kontan.co.id, Catat! Binary Option Adalah Trading Illegal Yang Lebih Mirip Judi (https://investasi.kontan.co.id/news/catat-binary-option-adalah-trading-illegal-yang-lebih-mirip-judi)

[3]Hukumonline, Perlindungan Hukum: Pengertian, Teori, Contoh, dan Cara Memperolehnya ( https://www.hukumonline.com/berita/a/perlindungan-hukum-contoh–dan-cara-memperolehnya-lt61a8a59ce8062?page=1 , diakses pada tanggal 17 Febuari 2022)

[4] Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ease of access obtained by the public without being equipped with knowledge about an investment product is currently an obstacle for the community, in terms of knowing non-investment products under the guise of trading, such as Binary Options.  Knowledge of the permits and legality of a company operating in the investment sector should also be an important thing for the public to pay attention to, especially Binary Options which has caused many victims.

Binary Options  or a type of options contract where the payout is entirely dependent on the outcome of a yes or no proposition and is usually related to whether the price of a particular asset will rise above or fall below a specified amount.  Once the option is acquired, no further decisions have to be made by the holder regarding the exercise of the binary option because the option is executed automatically.  Binary Options do not give the holder the right to buy or sell the specified asset.  When a binary option expires, the option holder receives a pre-determined amount of cash or nothing. To be able to trade through binary options, the user must register and place a cash deposit.  From the deposit, the user will place the nominal to be bet.  If the user guess is correct at the time of trading, then the user will get a profit, and if not then the nominal stake will be lost. Thus, binary options are not categorized as investment products because the procedure for using them is through guessing which is more identical to gambling activities.

Consumers who suffer losses or what we can call Binary Option victims when using products from Binary Option service providers should get legal protection. The definition of legal protection according to Philipus M Hadjon which states that legal protection is the protection of the dignity and worth, as well as the recognition of human rights possessed by legal subjects based on legal provisions from arbitrariness.

Legal protection is regulated in Article 28 D paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which reads:

“Everyone has the right to recognition, guarantee, protection, fair legal certainty, and equal treatment before the law”

Article 28 (d), paragraph (1) of the 1945 Constitution

Legal protection that can be given to the public against the Binary Option case can basically be in the form of preventive protection and repressive protection, where preventive protection is protection provided to prevent disputes from occurring, and repressive protection is protection that aims to resolve disputes that occur.

In terms of preventive protection, it can be done by providing information by the government through any media, for example the government socializing about possible losses that will occur if people continue to use the Binary Option service product. And furthermore, repressive protection can be done by resolving disputes that have occurred through following up on reports or requests for compensation experienced by victims to the Binary Option service provider.

If preventive protection is not carried out optimally, then the repressive protection provided to people who are also victims in the case of Binary Options must be followed up firmly. Repressive legal protection that can be provided can be through the provision of sanctions against the Binary Option Party, namely, Criminal Sanctions in the form of imprisonment or fines for Binary Option parties, as well as civil sanctions in the form of compensation for both material and immaterial losses for victims of Binary Option service users.

discussing the law that applies to the validity of Binary Option products in Indonesia, which will relate to the legal protection that will be given to victims of Binary Option service users themselves. Basically, the practice of binary options is prohibited in Law Number 32 of 1997 concerning Commodity Futures Trading (UU 32/1997) as amended by Law Number 10 of 2011. (Law 10/2011) which regulates the practice of prohibited trading practices, specifically influencing other parties (in this sense is the community) to conduct transactions by persuading or giving the hope of profit that is beyond reasonable. This is contained in Article 57 paragraph (2) letter d of Law 10/2011 which reads as follows:

2. Each party is prohibited (d) directly or indirectly influence other parties to conduct Future Contracs, Sharia Derivate Contracts, and/or other Derivative Contracts transactions by persuading or giving the hope of profit that is beyond reasonable.”

Article 57 paragraph (2) letter (d) of Law 10/2011

 Perpetrators of prohibited trading practices may be subject to sanctions.  According to Law 32/1997, there are two kinds of sanctions that can be imposed on perpetrators of prohibited trading practices, namely administrative and criminal sanctions.  Administrative sanctions are contained in Article 69 of Law 32/1997 which reads as follows:

“(1) CoFTRA has the autohrity to impose administrative sanctions for violations of the provisions of this Law and/or its implementing regulations by any Party that obtains a business license, permit, approval, or registration certificate from CoFTRA.

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) may be in the form of:

a. Written warnings;

b. Administrative fines, namely the obligation to pay a certain amount of money;

c. Limitation of business activities

d. Suspension of business;

e. Revocation of business license;

f. License revocation;

g. Cancellation of approval; and/or

h. Cancellation of registration certificate.”

Article 69 Law 10/2011

The criminal sanctions for prohibited trade practices are contained in Article 72 of Law 32/1997, namely a maximum imprisonment of eight years and a maximum fine of ten billion rupiah, as Article 72 of Law 32/1997 reads as follows:

“Every Party that carries out the prohibited activities as referred to in Article 57 is threatened with a maximum imprisonment of 8 years and a maximum fine of Rp 10,000,000,000.00 (ten billion rupiah)”

Article 72 of Law 32/1997

In addition to sanctions that refer to Law 32/1997, there are rules that regulate binary option service providers as business actors not to promote improperly, and offer something that contains uncertain promises, this refers to Article 9 paragraph (1  ) letter K and paragraph (2) of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK), which reads:

“(1) Business actors are prohibited from offering, promoting, advertising goods and/or services incorrectly, and/or as if: (k) offer something that contains an uncertain promise

(2) The goods and/or services as referred to in paragraph (1) are prohibited to be traded”

Article 9 paragraph (1) letter (k) and paragraph (2) of Law 8/1999

Sanctions for business actors who violate the provisions of Article 9 of the PK Law, namely one of them is to offer or promote an item and/or service as if it contains a promise that will definitely get a profit in the binary option, regulated in Article 62 paragraph (1) and Article 63  PK Law, which reads:

(1) Business actors who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 9, Article 10, Article 13 paragraph (2), Article 15, Article 17 paragraph (1) letter a, letter b, letter c, letter e, paragraph (2), and Article 18 shall be sentences to a maximum imprisonment of 5 (five) years or a maximum fine of Rp 2,000,000,000.00 (two billion rupiah)

Article 62

The criminal sanctions as referred to in Article 62 may be used as additional punishments, in the form of:

a. Confiscation of certain goods;

b. Announcement of judge’s decision;

c. Payment of compensation;

d. Orders to stop certain activities that cause consumer losses;

e. Obligation to withdraw goods from circulation; or

f. Revocation of business license

Article 63

Repressive legal protection is a form of repressive legal protection which is a dispute resolution provided for the victim party who will file a lawsuit in a civil case against a binary option business actor through the Court, as well as a claim in a criminal case through a report to the police which will then be followed up through a court decision, along with the following arguments the arguments that can be included as a form of dispute resolution in the case of binary options, namely:

1. Criminal

a. Fraud

 ​Binary Options actors who cause victims related to binary options offers under the guise of “trading” can be categorized as Fraud, which refers to Article 378 of the Criminal Code, which reads:

 “Whoever with the intent to unlawfully benefit himself or another person, by using a false name or false dignity, by deceit, or a series of lies, moves another person to hand over something to him, or to give a debt or write off a debt, is threatened because  fraud with a maximum imprisonment of four years.”

b. Violation of Article 62 jo. Article Article 9 of the Consumer Protection Law (UU PK)

As explained above, Article 9 paragraph (1) letter K of the PK Law regulates to prohibit the promotion of the binary option, where there are sanctions that can be applied in the event of a violation of Article 9 as stated in Article 62 of the PK Law, which reads:

(1) Business actors who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 9, Article 10, Article 13 paragraph (2), Article 15, Article 17 paragraph (1) letter a, letter b, letter c, letter e, paragraph ( 2), and Article 18 is sentenced to a maximum imprisonment of 5 (five) years or a maximum fine of Rp. 2,000,000,000.00 (two billion rupiah).”

Article 62 of PK Law

2. Civil Code

a. Default

 ​There is an agreement between a binary option user and a consumer regarding the use of Binomo which results in an agreement, as defined in Article 1313 of the Civil Code:

 “An agreement is an act in which one or more people bind themselves to one or more other people”

 The agreement must be tested through the terms of the validity of the agreement, as contained in Article 1320 of the Civil Code which reads as follows:

 “In order for a valid agreement to occur, four conditions need to be met;

  1. There is an agreement for those who bind themselves;
  2. the ability of the parties to enter into an engagement;
  3. a certain thing;
  4. a lawful cause”

However, trading activities through binary options are basically not regulated by Indonesian law, therefore these trading activities are illegal.  Therefore, if there is an agreement regarding binary options, the agreement violates the terms of a lawful cause, and thus the agreement becomes null and void.

 ​With the cancellation by law of an agreement regarding binary options, default cannot be used.  Therefore, what can be used is an act against the law.

b. Act against the law

 ​Actions against the law are civil lawsuits that can be made against business actors who violate the law and harm consumers.  The elements of an unlawful act are regulated in Article 1365 of the Civil Code which regulates the following:

 “Every act that violates the law and causes harm to others, obliges the person who caused the loss because of his fault to compensate for the loss.”

This unlawful act can be used as a lawsuit because:

 i.  Fraud

 ii.  Violation of Article 9 of the PK Law

 With respect to this civil or criminal dispute, this dispute can be resolved in:

 i) District Court, for Criminal and PMH cases

 ii) Consumer Dispute Settlement Agency, as an alternative dispute resolution to resolve consumer disputes, namely disputes from violations of Article 9 of the PK Law.  BPSK can be used because basically a binary option user can be said to be a business actor so that a relationship between business actors and consumers emerges.​

 In addition to the Binary Option Service Provider, there are affiliate parties who are mostly played by public figures.  These public figures are parties who have an influence on the community who are then known as binary options affiliates, this is because these public figures are parties that are affiliated or cooperate with business actors who carry out binary options by promoting applications belonging to financial institutions.  business entity engaged in the binary options sector.  In promoting binary options, these affiliates promise profits by exhibiting assets that are claimed to be obtained from trading through binary options.

The sanctions that can be directed at the Binary Option Affiliate are:

 1. Criminal:

 ​Committing acts of co-perpetration in the context of fraud in accordance with Article 378 of the Criminal Code in conjunction with Article 55 of the Criminal Code.

2 (a) Civil Code – Default

 Affiliates can be subject to default because basically there is an agreement related to binary options, in the form of an agreement to teach, help, and promise profits, with the right for the affiliate to have his unique code in binary options used by consumers and the obligation to help consumers in binary options, and  there is a right for consumers to receive assistance from binary options and the obligation to use unique codes.

 However, because the subject matter of the agreement, namely binary options, is illegal, then according to Article 1320 of the Civil Code, the legal requirements in the form of a lawful cause are not fulfilled, and therefore the agreement is invalid, so a default cannot be used.  Consumers can sue through PMH.

2 (b) Civil Code – Act against the law

 Unlawful acts can be sued through participating in fraud.

So, it can be seen that the actions taken by business entities as binary options actors are illegal actions or actions that violate the law in this case violating Law Number 32/1997 and the Consumer Protection Law (UU PK), in addition to offering binary options  People who are under the guise of “trading” may be subject to the Fraud Article regulated in the Criminal Code. These cases can be filed through a civil lawsuit to the court in which case the victim can ask for compensation, as well as a report to the police related to  fraud and criminal prosecution against binary options parties.  In addition, the binary options affiliate who is a public figure who works with the binary option service provider who benefits can also be a party who is also sued in court in civil cases.

So, in terms of providing preventive legal protection it can no longer be relevant because it has caused victims, then repressive legal protection, namely in this case the dispute resolution between the victim and the binary option service provider must be carried out maximally, this is done in 2 ways, namely reporting to the third party. the police that there has been a criminal act of fraud, where the binary option party offered a binary option under the guise of “trading”, as well as a violation of Article 9 of the PK Law where the binary option party guarantees the profits that will be obtained if the victim uses the service product of the binary option itself and further methods the second is through a civil lawsuit, in the form of default and unlawful acts committed by the binary option party, by filing a claim for compensation for the losses suffered by the binary option victim.

Legal protection is the right of everyone, so that the form of legal protection that can be given to victims of binary options through the provision of sanctions, both criminal sanctions in the form of imprisonment and fines, as well as deciding the binary option party to compensate for the losses suffered by the victim through a court decision is a step that must be taken. This is done to provide legal certainty for people who in this case are victims of binary options themselves.

REFERENSI:

  1. U.S SECURITIES AND EXCHANGE COMISSION, BINARY OPTION (HTTPS://WWW.INVESTOR.GOV/INTRODUCTION-INVESTING/INVESTING-BASICS/GLOSSARY/BINARY-OPTIONS, DIAKSES PADA TANGGAL 31 JANUARI 2022 )
  2. KONTAN.CO.ID, CATAT! BINARY OPTION ADALAH TRADING ILLEGAL YANG LEBIH MIRIP JUDI (HTTPS://INVESTASI.KONTAN.CO.ID/NEWS/CATAT-BINARY-OPTION-ADALAH-TRADING-ILLEGAL-YANG-LEBIH-MIRIP-JUDI, DIAKSES PADA TANGGAL 31 JANUARI 2022)
  3. HUKUMONLINE, PERLINDUNGAN HUKUM:

PENGERTIAN, TEORI, CONTOH, DAN CARA MEMPEROLEHNYA (HTTPS://WWW.HUKUMONLINE.COM/BERITA/A/PERLINDUNGAN-HUKUM-CONTOH–DAN-CARA-MEMPEROLEHNYA-LT61A8A59CE8062?PAGE=1 , DIAKSES PADA TANGGAL 17 FEBUARI 2022)

1

Electronic Evidence as Court Evidence

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Didalam persidangan baik perdata maupun pidana, terdapat dalil-dalil yang diberikan oleh para pihak, pihak-pihak yang mendalilkan tersebut harus membuktikan apa yang sudah didalilkan, dalam pembuktian dalil tersebut, maka pihak akan dibantu dengan adanya alat bukti yang sah menurut pengadilan pada saat persidangan.

Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan , dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat di pergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Menurut M. Yahya Hararap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menyatakan, bahwa alat bukti (bewijsmiddle) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberikan keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.[1]

Seiring dengan perkembangannya waktu, alat-alat bukti yang dapat dipakai dalam persidangan tidak hanya berupa bukti tertulis, keterangan ahli dan semacamnya, terlebih di di dalam era perkembangan teknologi yang berkembang pesat. Selain berbentuk nyata, alat bukti juga dapat berbentuk audio dan visual yang berada dalam perangkat elektronik, hal ini disebut dengan alat bukti elektronik.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), Alat Bukti Elektronik didefinisikan sebagai Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik, dimana dalam Pasal 1 Angka 1 jo. Pasal 1 Angka 4 UU ITE menyatakan sebagai berikut:

Pasal 1

  1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  2. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”[2]

Di dalam Pasal 1865 dan 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang Alat Bukti Menurut Hukum Perdata, yakni :

“ Pasal 1865

Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.

Pasal 1866

Alat pembuktian meliputi:

  • bukti tertulis;
  • bukti saksi;
  • persangkaan;
  • pengakuan;
  • sumpah.”[3]

Selain itu, pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatur mengenai Alat Bukti yang sah menurut hukum pidana, yakni:

“Alat bukti yang sah ialah :

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa. “[4]

Pengaturan mengenai Keabsahan alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE , yang berbunyi:

Pasal 5

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.[5]

Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 19/2016 (ITE), yang berbunyi:

“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”[6]

Sebagai contoh, Handphone atau Komputer merupakan perangkat elektronik, dan transaksi jual beli , email, chat dan rekaman-rekaman berupa audio dan visual yang terdapat dalam perangkat elektronik didefinisikan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik.

         Bukti elektronik dihadirkan dalam persidangan dengan berbagai alasan, baik untuk membuktikan kronologis suatu peristiwa maupun keterlibatan seseorang dalam suatu peristiwa. Bukti Elektronik juga tidak mengenal batas geografis dan batas yuridiksi , sehingga bisa digunakan sebagai bukti pada tindak pidana kejahatan lintas negara misalnya tindakan pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

         Bukti elektronik biasanya menyimpan data-data yang sifatnya sangat pribadi, mulai dari data diri, keluarga, sampai dengan data-data yang berhubungan dengan pekerjaan dan keuangan, karena itu penggunaannya yang tidak tepat berpotensi melanggar batas privasi dan kerahasiaan data pribadi.

Terdapat perbedaan mengenai keabsahan antara bukti otentik dalam wujud nyata dan bukti elektronik, di dalam hukum perdata terdapat akta otentik atau akta yang dibuat oleh notaris dimana dalam pembuktian di persidangan, akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi pihak yang bersengketa, selama tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya.

Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE, menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. [7] Mengacu kepada KUHAP Pasal 183 mengenai syarat formil dan materil, terhadap alat bukti elektronik pun harus terpenuhi syaratnya yaitu:

  • Syarat formil: bukti elektronik harus sah yaitu otentik (diambil dari pemilik yang sah) dan terjaga integritasnya.
  • Syarat materil: bukti elektronik harus relevan atau sesuai dengan tindak pidana dan identitas terdakwa.

Berbeda dengan Bukti Elektronik, dengan sifatnya yang mudah dirusak, mudah dipindahkan, mudah digandakan dan disebarluaskan. Sehingga, dalam pembuktian melalui Bukti Elektronik harus melalui proses autentifikasi dan menjaga integritas data yang merupakan syarat formil alat bukti elektronik, adapun syarat formil yang perlu dilakukan, sebagai berikut:

  1. Autentifikasi

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik asli dan tidak dimanipulasi:

  1. Terdapat dokumentasi yang dapat menunjukkan data adalah yang sebenarnya seperti:
  2. Berita Acara yang memuat deskripsi perangkat elektronik yang disita, orang yang melakukan dan persetujuan para pihak.
  3. Chain of Custody yang berisi informasi deskripsi lengkap perangkat elektronik dan bukti elektronik (merek, nomor model, nomor seri, kapasitas, dll) serta seluruh aktivitas forensik digital.
    1. Dokumentasi pada poin sebelumnya disertai dengan validasi seperti tandatangan baik digital maupun tertulis, keterangan tanggal, dan cap baik digital maupun tertulis.
    1. Dokumentasi pada poin sebelumnya mencantumkan dengan jelas sumber data, pemilik sumber data dan orang yang mengakuisisinya.
  • Integritas Data (Pasal 16 UU ITE)

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik terjaga integritasnya (kondisi ketika dihadirkan di persidangan sama seperti ketika bukti elektronik ditemukan)

  • Terdapat dokumentasi yang dapat menunjukkan data terjaga keutuhannya seperti Chain of Custody dan foto hasil verifikasi integritas data (seperti hash).
  • Terdapat Chain of Custody yang mencatat seluruh aktivitas yang dilakukan terhadap bukti elektronik untuk membuktikan bahwa prosedur forensik digital sesuai dengan standar Chain of custody didukung oleh bukti lainnya seperti keterangan saksi dan keterangan ahli.

Selain syarat formil, terdapat syarat materiil yang harus dipenuhi dalam pembuktian alat bukti elektronik, dengan melakukan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Relevan

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik relevan dengan tindak pidana dan terdakwa yang terdapat dalam dakwaan.

  • Bukti elektronik mencantumkan dengan jelas nama terdakwa.
  • Tanggal yang terdapat dalam bukti elektronik sesuai dengan ruang  lingkup penyidikan/perkara.
  • Tidak menyangkut privasi seseorang yang tidak sesuai dengan tuntutan.
  • Reliabel
  • Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik menunjukkan fakta yang sebenarnya.
  • Interpretasi fakta dari bukti elektronik tidak bermakna ganda.
  • Terdapat alat bukti lain yang mendukung fakta yang ditunjukkan oleh bukti elektronik seperti keterangan saksi dan keterangan ahli.
  • Kecukupan

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik yang dikumpulkan telah cukup dari seluruh pihak yang terlibat dan Bukti elektronik telah diperoleh dari seluruh pihak yang terlibat.

Penilaian tersebut di atas tidak bersifat mutlak. Hakim harus pula mempertimbangkan bukti elektronik sesuai dengan bobot pembuktiannya dalam suatu perkara. Berikut adalah dokumen dan informasi yang dapat diperiksa oleh Hakim untuk mendapatkan keyakinan atas pemenuhan syarat formil dan materil suatu bukti elektronik.

Syarat Formil pada dokumen dan Informasi Elektronik:

  1. Surat tugas penunjukan ahli atau legalitas lainnya yang menunjukkan sahnya akses terhadap bukti elektronik :
  2. Jika berkaitan dengan tindak pidana, Surat Tugas Penunjukkan Ahli yang diberikan oleh penyidik harus dapat dibuktikan.
  3. Jika berkaitan dengan perkara lain, legalitas yang dapat menjadi bukti adalah perse- tujuan pemilik perang kat elektronik.
  4. Berita Acara :
  5. Jika berkaitan dengan tindak pidana, dibutuhkan Berita Acara Penyitaan yang di dalamnya memuat deskripsi lengkap perangkat elektronik yang disita, kondisi bukti dan nama ahli yang melakukannya. Nama ahli harus sesuai dengan yang tertera pada Surat Tugas Penunjukkan Ahli.
  6. Jika berkaitan dengan perkara lain, isi berita acara yang dibuat sama seperti yang ditulis pada Berita Acara Penyitaan. Yang membedakan adalah harus adanya tanda tangan dari pihak yang berwe- nang memberikan perangkat elektronik.
  7. Chain of Custody (CoC) dimana CoC harus berisi kondisi ditemukannya bukti elektronik, deskripsi lengkap perangkat elektronik, hasil verifikasi intergritas, proses preservasi, proses akuisisi, proses analisis, dan ahli yang melakukannya.
  8. Laporan Ahli Forensik :
  9. Otentikasi dan integritas bukti elektronik dapat diperiksa dari verifikasi integritas data seperti mencocokkan message digest, verifikasi hashing, pengecekan nomor genggam konfirmasi telepon dengan nama pengguna, dan pengecekan registry.
  10. Apabila nilai hashing, tidak dapat diverifikasi dan/atau nilainya berbeda, maka Hakim harus memastikan adanya justifikasi yang terdokumentasi dalam laporan.

Syarat Materiil pada dokumen dan Informasi Elektronik:

  1. Chain of Custody (CoC) dimana jika dibutuhkan, Hakim dapat melakukan pengecekan syarat relevan dan kecukupan bukti elektronik dari CoC. Di antaranya dengan cara menelusuri semua tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik dan informasi lain yang ditulis dalam CoC seperti kelengkapan fisik (kabel, interface) dan kelengkapan logika (akun, password, aplikasi).
  2. Laporan Ahli Forensik terhadap bukti elektronik harus diperiksa relevansi dan reliabilitasnya dari transkrip, rekonstruksi dan kronologis peristiwa yang tercantum dalam laporan forensik.[8]

Mengacu pada regulasi standar internasional, yakni Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers (ACPO) yang merupakan asosiasi para pimpinan kepolisian di Inggris yang berkerja sama dengan 7Safe dengan melahirkan 4 prinsip dasar penanganan bukti elektronik, yaitu:

  1. Intergritas Data

Bukti Elektronik memiliki karakteristik yang sangat rentan karena mudah direkayasa, dihapus, digandakan, atau disebarluaskan sehingga membutuhkan penanganan khusus agar data dan informasi yang terkandung dalam perangkat elektronik terjaga keutuhannya.

Setiap tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik, tidak boleh mengubah atau merusak data yang tersimpan di dalamnya. Membuktikan terjaganya integritas data antara lain dengan melakukan : Verifikasi Hash, Dokumentasi seluruh tindakan terhadap bukti elektronik, dan penggunaan write blocker ketika mengakuisisi bukti elektronik.

  • Dilakukan oleh Personel yang kompeten

Personel yang kompeten merupakan personel yang terlatih menangani bukti elektronik, kompeten, dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang diambil dalam proses penanganan bukti elektronik.

  • Audit Trail / Chain of Custody (Coc) / Berita Acara

Bahwa setiap tindakan dalam prosedur penangan bukti elektronik dari awal sampai akhir harus didokumentasikan dipelihara dan dapat dievaluasi oleh pihak lain termasuk hakim. Hal ini dapat membuktikan bahwa setiap tindakan terhadap bukti elektronik dapat dipertanggungjawabkan.

  • Kepatuhan Hukum dan Peraturan Perundangan.

Harus melekat dalam penerapan seluruh prinsip pada setiap tahapan penanganan bukti elektronik, setiap personel yang bertanggung jawab atas bukti elektronik, harus memastikan bahwa proses berlangsung sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku sesuai dengan yurisdiksi hukum terkait.[9]

Ke 4 prinsip tersebut harus dijaga sejak bukti elektronik tersebut ditemukan hingga dihadirkan dalam persidangan.

Proses penanganan bukti elektronik :

  1. Identifikasi

Menurut ISO / SNI 27037 dalam tahapan identifikasi, terdiri dari kegiatan:

  1. Identifikasi

Personel mengidentifikasi data apa saja yang berpotensi menjadi bukti, dan menentukan beberapa pertimbangan atas penanganan pertama di lapangan antara lain, pengamanan area, perangkat yang berpotensi ditemukannya bukti elektronik, perangkat forensi apa yang harus disiapkan, dan prosedur akusisi apa yang digunakan, dan potensi resiko apa yang dapat terjadi.

  • Pengumpulan & Akuisisi

Saat melakukan pengumpulan dan akuisisi peralatan forensik harus memenuhi regulasi yang mengatur ketentuan atas perangkat dan perangkat lunak, prosedur pengumpulan terhadap bukti elektronik harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan keadaan dan status perangkat saat disita.

  • Preservasi (pengamanan data)

Personel harus memastikan data potensial yang mengandung bukti tidak rusak atau berubah karena kelembapan, medan magnet, suhu , debu, atau guncangan. Perangkat yang mengandung bukti elektronik harus dikemas dengan benar dan aman.

  • Eksaminasi

Dalam tahapan ini, data yang terdapat dalam perangkat elektronik disalin secara identik atau imaging, proses ini menghasilkan data yang identik seperti yang terdapat dalam perangkat elektronik asal yang disebut file image. File image dibuat dalam 2 salinan yaitu master copy dan working copy, master copy dan perangkat asal harus dijaga keutuhannya dan tidak boleh diakses siapapun, hingga nanti dihadirkan di persidangan. Sedangkan working copy digunakan oleh data examiner untuk diperiksa di olah dan dianalisis guna menemukan data informasi yang terkait dengan perkara.

  • Analisis

Dilakukan oleh seorang analis terhadap data yang telah diambil untuk mencari bukti bukti pendukung perkara.

  • Pelaporan

Seluruh rangkaian tahapan penanganan bukti elektronik beserta dengan hasil akhir bukti elektronik yang akan dihadirkan dalam persidangan harus dicatat dalam laporan hasil pemeriksaan forensik, laporan ini harus disertakan dalam berkas perkara.

Hakim harus dapat meneliti pemenuhan syarat formil dan syarat materiil, sehingga dapat keyakinan dalam memutuskan perkara di persidangan, syarat formil bahwa bukti diperoleh dengan sah, syarat materiil bahwa bukti tersebut relevan dengan dalil yang akan dibuktikan.

Walaupun Bukti Elektronik menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE diakui keabsahannya sebagai Alat Bukti, akan tetapi dalam penerapannya, penegak hukum tidak serta merta dapat mengambil bukti elektronik sebagai bukti di persidangan, terkait dengan sifat bukti elektronik yang tersimpan di perangkat elektronik yaitu mudah rusak, mudah dipindahkan dan mudah digandakan. Oleh karena itu, jika data yang menyimpan informasi yang sangat pribadi dan harus dipakai dalam bukti persidangan, maka harus terdapat perlindungan data elektronik sehingga data tersebut tidak rusak dan tidak disebarluaskan.

Penanganan Data-data elektronik oleh penegak hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak boleh diambil dan dipindahtangankan tanpa melalui sebuah rangkaian prosedur dan dengan metode digital forensik yang benar. Pada prinsipnya, dalam pemeriksaan bukti elektronik di persidangan hakim harus memastikan bahwa Isi atau data perangkat elektronik tetap utuh dan tidak berubah, Informasi di dalamnya berasal dari sumber yang di claim para pihak, Informasi tersebut akurat dan diperoleh melalui prosedur yang sah, Informasi dinilai kesesuaiannya dengan bukti-bukti lain.


[1] Dimas Hutomo, S.H., “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana”,(https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana-lt5c4ac8398c012 , diakses pada tanggal 2 Febuari 2022)

[2] Pasal 1 Angka 1 jo. Pasal 1 Angka 4 UU ITE

[3] Pasal 1865 dan 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[4] Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[5] Pasal 5 ayat (1) UU ITE

[6] Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 19/2016 (ITE)

[7] Pasal 5 ayat (2) UU ITE

[8] Happy Try Sulistiyono, S.H., M.H. , Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, “Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan”, Varia Peradilan Edisi Digital 1, Ikatan Hakim Indonesia Varia Peradilan, 2020, (https://www.varia-peradilan.id/articles/read/7/prosedur-autentifikasi-alat-bukti-elektronik-pada-pemeriksaan-persidangan , diakses pada 3 Febuari 2022)

[9]Eka Fitri Hidayati, Pengadilan Agama Kotabumi, https://pa-kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel-makalah/1037-keabsahan-pembuktian-elektronik-dalam-persidangan-perdata-di-pengadilan-agama.html#:~:text=Dalam%20Pasal%205%20ayat%20(1,yang%20diatur%20dalam%20UU%20ITE, diakses pada tanggal 3 Febuari 2022)

 ​In both civil and criminal trials, there are arguments given by the parties, the parties who postulate must prove what has been argued, in proving these arguments, the parties will be assisted by the existence of valid evidence according to the court at the time the judge.

 Evidence means everything that has to do with an act, where with the evidence, it can be used as evidence to raise the judge’s belief in the truth of a criminal act that has been committed by the defendant.

 According to M. Yahya Hararap in his book entitled Civil Procedure Law states that evidence (bewijsmiddle) is a form and type that can assist in providing information and explanations about a case problem to assist the judge’s assessment in court.

 Along with the development of time, the evidence that can be used in the trial is not only in the form of written evidence, expert testimony and the like, especially in this era of rapidly developing technology.  In addition to being tangible, evidence can also be in the form of audio and visual that is in an electronic device, this is called electronic evidence.

 In Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (UU ITE), Electronic Evidence is defined as Electronic Information and/or electronic documents, which in Article 1 Number 1 jo.  Article 1 Number 4 of the ITE Law states as follows:

” Article 1

 1. Electronic Information is one or a set of electronic data, including but not limited to writing, sound, pictures, maps, designs, photographs, electronic data interchange (EDI), electronic mail (electronic mail), telegram, telex, telecopy or the like,  processed letters, signs, numbers, Access Codes, symbols, or perforations that have meaning or can be understood by people who are able to understand them.

 4. Electronic Document is any Electronic Information that is created, forwarded, sent, received, or stored in the like, which can be seen, displayed, and/or heard through a Computer or Electronic System, including but not limited to writing, sound, pictures, maps,  designs, photos or the like, letters, signs, numbers, Access Codes, symbols or perforations that have meaning or meaning or can be understood by people who are able to understand them.”

In Articles 1865 and 1866 of the Civil Code regulates the Evidence according to Civil Law, namely:

“Article 1865”

Every person who claims to have a right, or points to an event to confirm his right or to refute a right of another person, must prove the existence of that right or the event that is stated.

Article 1866

Evidence tools include:

• written evidence;

• witness evidence;

• conjecture;

• confession;

• oath.”

In addition, Article 184 of the Criminal Procedure Code regulates the legal evidence according to criminal law, namely:

“Legal evidence is:

a. witness testimony;

b. expert testimony;

c. letter;

d. instruction;

e. defendant’s statement. “

The regulation regarding the validity of electronic evidence in the form of electronic information and electronic documents is regulated in Article 5 paragraph (1) of the ITE Law, which reads:

“Article 5”

(1) Electronic Information and/or Electronic Documents and/or their printouts are valid legal evidence.”

Elucidation of Article 5 Paragraph (1) of Law 19/2016 (ITE), which reads:

 “That the existence of Electronic Information and/or Electronic Documents is binding and recognized as legal evidence to provide legal certainty for the Operation of Electronic Systems and Electronic Transactions, especially in evidence and matters relating to legal actions carried out through the Electronic System.”

 ​

 For example, a cellphone or computer is an electronic device, and buying and selling transactions, e-mail, chat and audio and visual recordings contained in electronic devices are defined as electronic information and electronic documents.

 ​Electronic evidence is presented in court for various reasons, both to prove the chronology of an event or someone’s involvement in an event.  Electronic evidence also knows no geographical boundaries and jurisdictional boundaries, so it can be used as evidence in transnational crimes such as corruption and money laundering.

 ​Electronic evidence usually stores very personal data, ranging from personal, family data, to data related to work and finances, therefore its improper use has the potential to violate the privacy and confidentiality of personal data.

 There is a difference regarding the validity between authentic evidence in tangible form and electronic evidence, in civil law there is an authentic deed or a deed made by a notary where in proof at trial, an authentic deed is a perfect proof tool for the disputing parties, as long as neither party is contradicting each other.  prove otherwise.

 Article 5 paragraph (2) of the ITE Law states that electronic evidence is an extension of legal evidence in accordance with the procedural law applicable in Indonesia.  Referring to Article 183 of the Criminal Procedure Code regarding formal and material requirements, the conditions for electronic evidence must also be met, namely:

 • Formal requirements: electronic evidence must be valid, namely authentic (taken from the rightful owner) and its integrity maintained.

 • Material requirements: electronic evidence must be relevant or in accordance with the crime and the identity of the accused.

 In contrast to Electronic Evidence, by its nature that is easy to destroy, easy to move, easy to be copied and disseminated.  So, in proving through Electronic Evidence, you must go through the authentication process and maintain data integrity which is a formal requirement for electronic evidence, while the formal requirements that need to be done are as follows:

1. Authentication

 Assess that electronic evidence is genuine and not manipulated:

 a.  There is documentation that can show the data is real such as:

 – Minutes containing a description of the confiscated electronic device, the person who carried it out and the agreement of the parties.

 – Chain of Custody which contains complete description information of electronic devices and electronic evidence (brand, model number, serial number, capacity, etc.) as well as all digital forensic activities.

 b.  The documentation in the previous point is accompanied by validation such as digital and written signatures, date information, and digital or written stamps.

 c.  The documentation in the previous point clearly lists the data source, the owner of the data source and the person who acquired it.

 2. Data Integrity (Article 16 of the ITE Law)

 Conduct an assessment that the integrity of electronic evidence is maintained (the conditions when presented at trial are the same as when electronic evidence is found)

 – There is documentation that can show data integrity is maintained such as Chain of Custody and photos of data integrity verification results (such as hashes).

 – There is a Chain of Custody that records all activities carried out on electronic evidence to prove that digital forensic procedures are in accordance with Chain of custody standards supported by other evidence such as witness statements and expert statements.

 In addition to formal requirements, there are material requirements that must be met in proving electronic evidence, by fulfilling the following requirements:

1. Relevant

 Conduct an assessment that the electronic evidence is relevant to the crime and the defendants contained in the indictment.

 • Electronic evidence clearly states the name of the accused.

 • The date contained in the electronic evidence is in accordance with the scope of the investigation/case.

 • Does not concern someone’s privacy that is not in accordance with the demands.

 2. Reliable

 • Conduct an assessment that electronic evidence shows the actual facts.

 • Interpretation of facts from electronic evidence is not ambiguous.

 • There are other evidences that support the facts shown by electronic evidence such as witness statements and expert statements.

 3. Adequacy

 Assessing that the electronic evidence collected is sufficient from all parties involved and that electronic evidence has been obtained from all parties involved.

 The above assessment is not absolute.  Judges must also consider electronic evidence in accordance with the weight of the evidence in a case.  The following are documents and information that can be examined by a judge to obtain confidence in the fulfillment of the formal and material requirements of an electronic evidence.

Formal requirements on documents and Electronic Information:

 1. Assignment letter of expert appointment or other legality that shows the legal access to electronic evidence:

 • If it is related to a criminal act, the Letter of Assignment of Expert Appointment given by the investigator must be proven.

 • If it is related to other cases, the legality that can be evidenced is the consent of the owner of the electronic device.

 2. Minutes of Events:

 • If it is related to a criminal act, a Minutes of Confiscation is required which contains a complete description of the confiscated electronic device, the condition of the evidence and the name of the expert who did it.  The name of the expert must match what is stated in the Letter of Assignment of Expert Appointment.

 • If it is related to other cases, the contents of the minutes made are the same as those written in the Minutes of Confiscation.  The difference is that there must be a signature from the party authorized to provide the electronic device.

 3. Chain of Custody (CoC) where the CoC must contain the conditions for the discovery of electronic evidence, a complete description of the electronic device, the results of the integrity verification, the preservation process, the acquisition process, the analysis process, and the expert who did it.

 4. Forensic Expert Report:

 • Authentication and integrity of electronic evidence can be checked by verifying data integrity such as matching message digests, hashing verification, checking mobile phone confirmation numbers with usernames, and checking registry.

 • If the hashing value cannot be verified and/or the value is different, the Judge must ensure that there is a documented justification in the report.

Material requirements on documents and Electronic Information:

 1. Chain of Custody (CoC) where if needed, the Judge can check the relevant requirements and the adequacy of electronic evidence from the CoC.  Among other things, by tracing all actions taken against electronic evidence and other information written in the CoC such as physical completeness (cables, interfaces) and logical completeness (accounts, passwords, applications).

 2. Forensic Expert’s report on electronic evidence must be checked for relevance and reliability of the transcript, reconstruction and chronology of events listed in the forensic report.

 Referring to international standard regulations, namely the Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence issued by the Association of Chief Police Officers (ACPO), which is an association of police leaders in the UK in collaboration with 7Safe by giving birth to 4 basic principles for handling electronic evidence, namely  :

1. Data Integrity

 Electronic Evidence has characteristics that are very vulnerable because it is easily manipulated, deleted, duplicated, or disseminated so that it requires special handling so that the data and information contained in electronic devices are maintained in their integrity.

 Every action taken on electronic evidence, must not change or damage the data stored in it.  Proving that data integrity is maintained, among others, by performing: Hash Verification, Documentation of all actions against electronic evidence, and the use of write blockers when acquiring electronic evidence.

 2. Conducted by competent personnel

 Competent personnel are personnel who are trained to handle electronic evidence, are competent, and are able to provide explanations for every decision taken in the process of handling electronic evidence.

 3. Audit Trail / Chain of Custody (Coc) / Minutes

 That every action in the electronic evidence handling procedure from start to finish must be documented, maintained and can be evaluated by other parties including judges.  This can prove that every action against electronic evidence can be accounted for.

 4. Legal Compliance and Legislation.

 Must be embedded in the application of all principles at every stage of handling electronic evidence, every personnel responsible for electronic evidence, must ensure that the process takes place in accordance with applicable laws and regulations in accordance with the relevant legal jurisdiction.

 These 4 principles must be maintained from the time the electronic evidence is found until it is presented in court.

Process for handling electronic evidence:

 1. Identification

 According to ISO / SNI 27037 in the identification stage, it consists of the following activities:

 a.  Identification

 Personnel identify what data has the potential to become evidence, and determine several considerations for first handling in the field, including, area security, devices that have the potential to be found electronic evidence, what forensic devices must be prepared, and what acquisition procedures are used, and what potential risks.  that can happen.

 b.  Collection & Acquisition

 When carrying out the collection and acquisition of forensic equipment must comply with regulations governing the provisions of devices and software, collection procedures for electronic evidence must be carried out appropriately according to the circumstances and status of the equipment when it was confiscated.

 c.  Preservation (data security)

 Personnel must ensure that potential data containing evidence is not damaged or altered by humidity, magnetic fields, temperature, dust or shock.  Devices containing electronic evidence must be packaged properly and securely.

2. Examination

 In this stage, the data contained in the electronic device is copied identically or imaging, this process produces identical data as contained in the original electronic device called an image file.  The image file is made in 2 copies, namely the master copy and working copy, the master copy and the original device must be kept intact and may not be accessed by anyone until they are presented in court.  While the working copy is used by the data examiner to be examined, processed and analyzed in order to find information data related to the case.

 3. Analysis

 Conducted by an analyst on the data that has been taken to look for evidence supporting the case.

 4. Reporting

 The entire series of stages of handling electronic evidence along with the final results of electronic evidence that will be presented at the trial must be recorded in the report on the results of the forensic examination, this report must be included in the case file.

The judge must be able to examine the fulfillment of formal requirements and material requirements, so that they can be confident in deciding cases at trial, formal requirements that the evidence is obtained legally, material requirements that the evidence is relevant to the arguments to be proven.

 Although Electronic Evidence according to Article 5 paragraph (1) of the ITE Law is recognized for its validity as Evidence, but in its application, law enforcement does not necessarily take electronic evidence as evidence at trial, related to the nature of electronic evidence stored in electronic devices, which is easily damaged.  , easy to move and easy to duplicate.  Therefore, if data that stores information that is very personal and must be used in court evidence, then there must be protection of electronic data so that the data is not damaged and is not disseminated.

 Handling of electronic data by law enforcement must be in accordance with applicable law, may not be taken and transferred without going through a series of procedures and with the correct digital forensic method.  In principle, in examining electronic evidence at trial the judge must ensure that the contents or data of the electronic device remain intact and unchanged, the information in it comes from sources claimed by the parties, the information is accurate and obtained through legal procedures, the information is assessed for conformity with  other evidence.


REFERENSI :

  1. Dimas Hutomo, S.H., “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana”,(https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana-lt5c4ac8398c012 , diakses pada tanggal 2 Febuari 2022)
  2. Happy Try Sulistiyono, S.H., M.H. , Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, “Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan”, Varia Peradilan Edisi Digital 1, Ikatan Hakim Indonesia Varia Peradilan, 2020, (https://www.varia-peradilan.id/articles/read/7/prosedur-autentifikasi-alat-bukti-elektronik-pada-pemeriksaan-persidangan , diakses pada 3 Febuari 2022)
  3. Eka Fitri Hidayati, Pengadilan Agama Kotabumi, https://pa-kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel-makalah/1037-keabsahan-pembuktian-elektronik-dalam-persidangan-perdata-di-pengadilan-agama.html#:~:text=Dalam%20Pasal%205%20ayat%20(1,yang%20diatur%20dalam%20UU%20ITE, diakses pada tanggal 3 Febuari 2022)
0

Kententuan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
  4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021.

Indonesia memiliki banyak sumber daya alam terlebih dalam bentuk Mineral dan Batubara, oleh sebab itu terdapat banyak sekali perusahaan pertambangan di Indonesia, dimana pengertian usaha pertambangan itu sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020), yakni:

Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.[1]

            Terkait dengan sumber daya alam dalam bentuk Mineral dan Batubara dalam usaha pertambangan, Pasal 4 ayat (1) UU 3/2020 menjelaskan bahwa Mineral dan Batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan yang merupakan kekayaan nasional, dimana kekayaan nasional tersebut dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. [2]

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [3]

Selain pertambangan batubara, terdapat pengertian mengenai Mineral dan Pertambangan Mineral pada Pasal 1 Angka 2 jo. Pasal 1 Angka 4 UU 3/2020, yang berbunyi:

Pasal 1

1. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

4. Pertambangan Mineral adalah Pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.[4]

Cakupan jenis mineral logam tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara , yang menyatakan bahwa:

Pasal 2

(1) Pertambangan Mineral dan Batubara dikelompokan ke dalam 5 (lima) golongan sebagai berikut:

(b) Mineral logam meliputi aluminium, antimoni, arsenik, basnasit, bauksit, berilium, bijih besi, bismut, cadrnium, cesium, emas, galena, galium, germanium. hafnium, indium, iridium, khrom, kcbai, kromit, litium, logam tanah jarang, magnesium, mangan, moiibdenum, monasit, nikel, niobium, osmium, pasir besi, palladium, perak, platina, rhodium, ruthenium, selenium, seng, senodm, sinabar, stroniurn, tantalum, telurium, tembaga, timah, titanium, vanadium, wolfram, dan zirkonium;[5]

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial untuk memperoleh keuntungan , maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum.

            Dalam hal perizinan Pertambangan Mineral Logam, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut PP 96/2021), dimana Pada Pasal 6 dan Pasal 7 PP 96/2021 mengatur mengenai dasar perizinan dan prinsip pemberian sertifikat standar dan/atau izin, yang menyatakan bahwa:

Pasal 6

  1. Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah pusat.
  2. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:
    • nomor induk berusaha;
    • sertifikat standar; dan/atau
    • izin.
  3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (21) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. lzin sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas: IUP; IUPK; IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak / perjanjian; IPR; SIPB; Izin penugasan; Izin Pengangkutan dan penjualan; IUJP; dan IUP untuk Penjualan
  5. Perizinan Berusaha dalam bentuk pemberian sertifikat standar dan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah provinsi berdasarkan prinsip:
    • Efektivitas;
  6. Efisiensi;
  7. Akuntabilitas; dan
  8. Eksternalitas.

Pasal 7

Selain berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), pendelegasian kewenangan pemberian sertifikat standar dan izin harus mempertimbangkan sifat strategis komoditas Pertambangan untuk:

  1. Penyediaan bahan baku industri dalam negeri; dan/atau
  2. Penyediaan energi dalam negeri. “[6]

Sehingga, dalam pemberian sertifikat standar dan izin berusaha yang merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri, didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi yakni kepala daerah yaitu Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Selanjutnya, yang dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 96/2021, yang berbunyi:

Pasal 9

(1) IUP diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:

a. Badan Usaha;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan perseorangan.[7]

Adapun Badan Usaha yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) PP 96/2021 didefinisikan dalam Pasal 1 angka 28 PP 96/2021 sebagai berikut:

“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang Pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Kemudian, tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam diatur dalam Pasal 16 PP 96/2021, yang berbunyi:

IUP diperoleh melalui tahapan:

a. Pemberian WIUP ; dan

b. Pemberian IUP. “[8]

Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam yang diperoleh dengan cara lelang, diatur dalam Pasal 17 ayat (3), yang berbunyi:

Pasal 17

  • WIUP Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hunrf c diperoleh dengan cara lelang.[9]

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021 (Permen ESDM 7/2020), Direktur Jenderal menyiapkan WIUP Mineral Logam yang telah ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan hasil koordinasi dengan Bupati/Walikota dengan cara lelang kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Perseorangan. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam didasarkan pada Data dan Informasi yang berasal dari :[10]

  1. Hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya;
  2. Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang dikembalikan atau diciutkan oleh Pemegang IUP; dan/atau
  3. Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang IUP-nya berakhir atau dicabut.

Terdapat 2 tahap kegiatan Pemberian IUP dimana hal ini diatur dalam Pasal 28 PP 96/2021, yakni:

  1. Eksplorasi, dimana dalam tahap ini terdiri atas:
  2. Penyelidikan Umum;
  3. Eksplorasi; dan
  4. Studi Kelayakan.
  5. Operasi Produksi, dimana dalam tahap ini terdiri atas:
  6. Konstruksi;
  7. Penambangan;
  8. Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan; dan
  9. Pengangkutan dan Penjualan.[11]

Di dalam UU 3/2020 Terkait dengan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mengatur tentang Eksplorasi mineral logam WIUP diberikan dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 Sementara, untuk pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUPKdengan luas paling banyak 25.000 hektare.[12]

Pemberian IUP dijelaskan pada Pasal 32 PP 96/2021, yang menyatakan bahwa:

IUP diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi, perusahaan Perseorangan setelah memenuhi persyaratan :

  1. Administratif
  2. Teknis;
  3. Lingkungan; dan
  4. Finansial. [13]

Izin Usaha Eksplorasi, diberikan ketika hendak melakukan tahapan kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan. Sesuai Pasal 37 Permen ESDM 7/2020, IUP Eksplorasi diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila WIUP-nya:
    • Berada pada lintas daerah provinsi;
    • Berada pada wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; atau
    • Berbatasan langsung dengan negara lain; atau
  2. Gubernur, apabila WIUP-nya berada:
    • Dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
    • Pada wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
    • Khusus untuk gubernur, dalam hal wilayah laut antar dua daerah provinsi kurang dari 24 mil laut, maka dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut.[14]

Jangka waktu IUP Eksplorasi menurut Pasal 41 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 sebagai berikut:[15]

a.     8 (delapan) tahun untuk IUP Eksplorasi mineral logam;

b.    7 (tujuh) tahun, untuk:

  1. IUP Eksplorasi Batubara;
  2. IUP Eksplorasi mineral bukan logam jenis tertentu;

c.     3 (tiga) tahun, untuk:

  1. IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam; atau
  2. IUP Eksplorasi Batuan.

Setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi dalam rangka melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Sesuai Pasal 42 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus:
    1. Berada pada lintas daerah provinsi; atau
    2. Berbatasan langsung dengan negara lain;
  2. Gubernur, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[16]

Jangka waktu IUP Operasi Produksi menurut Pasal 45 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 adalah sebagai berikut:[17]

  1. 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun untuk:
    1. IUP Operasi Produksi mineral logam;
    2. IUP Operasi Produksi batubara;
    3. IUP Operasi Produksi mineral bukan logam jenis tertentu;
  2. 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam; atau
  3. 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi batuan

Jika ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan, pengolahan dan pemurnian termasuk penjualan komoditas tambang mineral atau batubara hasil olahannya, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian

Sesuai Pasal 47 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila:
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari daerah provinsi lain di luar lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian;
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari luar negeri; dan/atau
    • Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian berada pada lintas daerah provinsi;
  2. Gubernur, apabila:
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) daerah provinsi yang sama dengan lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian; dan/atau
    • Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[18]

Pasal 49 ayat (5) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagai berikut:

IUP Operasi Produksi khusus unutk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh_ tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh tahun) setiap kali perpanjangan.”

Apabila badan usaha ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan dan penjualan komoditas tambang mineral atau batubara, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan. Sesuai Pasal 50 Permen ESDM 7/2020, maka IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan pada lintas darah provinsi dan/atau lintas negara; atau
  2. Gubernur, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan dalam 1 (satu) daerah provinsi.[19]

Pasal 52 ayat (1) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan sebagai berikut:

“IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setiap kali perpanjangan.”

Terkait dengan Pelanggaran-Pelanggaran dalam kegiatan pertambangan mineral dan batubara terutama bagi Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan Pasal 185 sampai dengan Pasal 188 PP 96/2021, yakni sebagai pelanggaran terhadap kewajiban berikut:[20]

  1. Memindahtangankan Izin Usaha Pertambangan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri. (Pasal 10 ayat (1))
  2. Mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri. (Pasal 13 ayat (1) & ayat (9))
  3. Selain melakukan kegiatan Operasi Produksi, Pemegang Izin Usaha Pertambangan Kegiatan tahap Operasi Produksi wajib melakukan kegiatan eksplorasi lanjutan setiap tahun. (Pasal 48 ayat (1) & ayat (3))
  4. Melaksanakan pemasangan tanda batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi. (Pasal 49 ayat (1))
  5. Pemegang IUP yang berminat mengusahakan komoditas tambang lain yang berbeda Wilayah Izin Usaha Pertambangannya, wajib mengajukan permohonan IUP baru. (Pasal 50 ayat (2))
  6. Dalam mengambil dan menggunakan batuan yang terdapat dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan, pemegang Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi wajib:
    1. Melaporkan pengambilan dan penggunaan batuan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
    2. Membayar Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 51 ayat (2))

Pencabutan izin terkait pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada Sektor Pertambangan serta sanksi diatur dalam Pasal 185 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana sanksi tersebut bersifat administratif yang berupa :

  1. Peringatan Tertulis;
  2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau
  3. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Surat izin Penambangan Batuan (SIPB), atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk Penjualan.[21]

Peringatan tertulis diberikan paling banyak 3 kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing 30 hari,[22] dan apabila setelah diberikan peringatan ke-3 Perusahaan Pertambangan tersebut masih belum melaksanakan kewajibannya, maka dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak jangka waktu peringatan tertulis berakhir dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau Operasi Produksi, dan apabila Perusahaan Pertambangan tersebut yang telah diberikan sanksi penghentian sementara masih belum melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu penghentian sementara, maka dapat dikenai sanksi berupa pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, dan IUP untuk Penjualan.[23]

Menteri ESDM melalui Ditjen Minerba dapat memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin tanpa melalui tahap pemberian sanksi peringatan tertulis dan penghentian sementara apabila terdapat putusan pengadilan bahwa Perusahaan Pertambangan melakukan pelanggaran pidana dan berkuatan hukum tetap, hasil evaluasi Menteri terhadap Perusahaan Pertambangan yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak menerapkan kaidah teknik Pertambangan yang baik, serta Perusahaan Pertambangan dinyatakan pailit.[24]


[1] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[2] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[3] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

[4] Pasal 1 Angka 2 jo. Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[5] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[6] Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[7] Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[8] Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[9] Pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[10] Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[11] Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[12] Pasal 52 jo. Pasal 61 jo. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[13] Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[14] Pasal 37 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[15] Pasal 41 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[16] Pasal 42 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[17] Pasal 45 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[18] Pasal 47 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[19] Pasal 50 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[20] Pasal 185 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[21] Pasal 185 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[22] Pasal 186 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[23] Pasal 187 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[24] Pasal 188 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

 ​Indonesia has a lot of natural resources especially in the form of Minerals and Coal, therefore there are a lot of mining companies in Indonesia, where the definition of mining business itself is stated in Article 1 point 6 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to the Law  Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining (UU 3/2020), namely:

 “Mining business is an activity within the framework of mineral or coal business which includes the stages of general investigation, exploration, feasibility study, construction, mining, processing and/or refining or development and/or utilization, transportation and sales, as well as post-mining activities.”

 Regarding natural resources in the form of Mineral and Coal in the mining business, Article 4 paragraph (1) of Law 3/2020 explains that Mineral and Coal are non-renewable natural resources which are national assets, where the national wealth is controlled by the state for  used for the welfare of the people.

 This is in line with Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which reads:

 “Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In addition to coal mining, there is an understanding regarding Minerals and Mineral Mining in Article 1 Point 2 jo.  Article 1 Number 4 of Law 3/2020, which reads:

 ” Article 1

 1. Minerals are inorganic compounds formed in nature, which have certain physical and chemical properties as well as regular crystal structure or combinations thereof that form rock, either in loose or solid form.

 4. Mineral Mining is Mining of a collection of Minerals in the form of ore or rock, excluding geothermal, oil and gas, and groundwater.”

 The scope of metallic mineral types is stated in Article 2 paragraph (1) letter b of Government Regulation Number 96 of 2021 concerning the Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities, which states that:

 ” Section 2

 (1) Mineral and Coal Mining is grouped into 5 (five) groups as follows:

 b.  Metallic minerals include aluminum, antimony, arsenic, basnasite, bauxite, beryllium, iron ore, bismuth, cadrnium, cesium, gold, galena, gallium, germanium.  hafnium, indium, iridium, chrome, kcbai, chromite, lithium, rare earth metals, magnesium, manganese, moiibdenum, monazite, nickel, niobium, osmium, iron sands, palladium, silver, platinum, rhodium, ruthenium, selenium, zinc, senodm  , cinnabar, strontium, tantalum, tellurium, copper, tin, titanium, vanadium, tungsten, and zirconium;  “

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector to gain profit, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government.  The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection.

 ​In terms of metallic mineral mining licensing, it is carried out based on Government Regulation Number 96 of 2021 concerning the Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities (hereinafter referred to as PP 96/2021), where Article 6 and Article 7 of PP 96/2021 regulates the basis for licensing and principles  granting standard certificates and/or permits, stating that:

 “Article 6”

 (1) Mining business is carried out based on a business license from the central government.

 (2) Business Licensing as referred to in paragraph (1) is implemented through the granting of:

 a.  trying main number;

 b.  standard certificate;  and/or

 c.  permission.

 (3) The Business Licensing as referred to in paragraph (21) is carried out in accordance with the provisions of the legislation.

 (4) The permit as referred to in paragraph (2) letter c consists of:

 a.  IUP;

 b.  IUPK;

 c.  IUPK as Continuation of Operation Contract/agreement;

 d.  IPR;

 e.  SIPB;

 f.  assignment permit;

 g.  Transport and sales permits;

 h.  IUJP;  and

 i.  IUP for Sales

 (5) Business Licensing in the form of granting standard certificates and permits as referred to in paragraph (2) letter b and letter c can be delegated to the Provincial Government based on the following principles:

 a.  effectiveness;

 b.  efficiency;

 c.  accountability;  and

 d.  externality.

 Article 7

 In addition to the principles as referred to in Article 6 paragraph (5), the delegation of authority to grant standard certificates and permits must consider the strategic nature of Mining commodities for:

 a.  supply of domestic industrial raw materials;  and/or

 b.  domestic energy supply.  “

Thus, in granting standard certificates and business permits which are the authority of the Central Government in this case the President of the Republic of Indonesia who holds the power of the state government of the Republic of Indonesia assisted by the Vice President and the Minister, delegated to the Provincial Government, namely the regional head, namely the Governor as an element of government administration.  regions that lead the implementation of government affairs which are the authority of the autonomous regions.

 Furthermore, regarding business entities that can apply for Metal Mineral Mining Business Permits, it is regulated in Article 9 paragraph (1) PP 96/2021, which reads:

 “Article 9”

 (1) IUP is granted by the Minister based on the application submitted by:

 a.  Business entity;

 b.  Cooperative;  or

 c.  sole proprietorship.”

 Then, the steps that must be passed to obtain a Metal Mineral Mining Business Permit are regulated in Article 16 of PP 96/2021, which reads:

 “IUP is obtained through the following stages:

 a.  granting of WIUP;  and

 b.  granting IUP.  “

 Metallic Mineral Mining Business Permit area obtained by way of auction, is regulated in Article 17 paragraph (3), which reads:

 “Article 17”

 (3) Metal Mineral WIUP as referred to in paragraph (1) letter b and Coal WIUP as referred to in paragraph (1) letter c shall be obtained by way of auction.  “

Based on Article 5 of the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources Number 7 of 2020 concerning Procedures for Regional Grants, Licensing, and Reporting on Mineral and Coal Mining Business Activities as amended by Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources Number 16 of 2021 (ESDM Ministerial Regulation 7  /2020), the Director General prepares the Metal Mineral WIUP which has been determined by the Governor based on the results of coordination with the Regent/Mayor by way of auction to Business Entities, Cooperatives, and Individuals.  The granting of Metal Mineral Mining Business Permit Areas is based on Data and Information originating from:

 a.  The results of the mining investigation and research activities carried out by the Minister and/or the Governor in accordance with their respective authorities;

 b.  The results of the evaluation of the Metal Mineral WIUP returned or reduced by the IUP holder;  and/or

 c.  The results of the evaluation of the Metal Mineral WIUP whose IUP expires or is revoked.

 There are 2 stages of IUP Granting activities where this is regulated in Article 28 PP 96/2021, namely:

 1. Exploration, which in this stage consists of:

 a.  General Investigation;

 b.  Exploration;  and

 c.  Feasibility study.

 2. Production Operations, which in this stage consist of:

 a.  Construction;

 b.  Mining;

 c.  Processing and/or Purification or Development and/or Utilization;  and

 d.  Transportation and Sales.

 In Law 3/2020 Regarding Mining Business Permit Areas (WIUP), Mining Business Permit (IUP) holders stipulate that metal mineral exploration WIUP is granted with an area of ​​at least 5,000 hectares and a maximum of 100,000.  a maximum area of ​​25,000 hectares.

 The granting of an IUP is explained in Article 32 of PP 96/2021, which states that:

 “IUP is granted to Business Entities, Cooperatives, Individual companies after fulfilling the following requirements:

  1. Administrative
  2. Technical;
  3. Environment;  and
  4. Financial.  “

Exploration Business Permit, is given when you want to carry out the stages of General Investigation, Exploration, and Feasibility Study activities.  In accordance with Article 37 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, Exploration IUPs are granted by:

  1. Minister, if the WIUP:
    • Being in a cross-provincial area
      Is in a sea area of ​​more than 12 (twelve) nautical miles measured from the coastline towards the high seas and/or towards the archipelagic waters;  or
    • Directly adjacent to other countries;  or
  2. Governor, if the WIUP is located:
    • In 1 (one) province;  or
    • In the sea area up to 12 (twelve) nautical miles measured from the coastline towards the high seas and/or towards the archipelagic waters.
    • Especially for the governor, in the case that the sea area between two provinces is less than 24 nautical miles, then the distance is divided equally or measured according to the principle of the center line of the area between the two provinces.

 The term of the Exploration IUP according to Article 41 paragraph (2) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 is as follows:

 a.​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​ 8 years for the IUP Exploration of metal minerals

 b.​ 7 (seven) years, for:

  1. Coal Exploration IUP;
  2. IUP Exploration of certain types of non-metallic minerals;

 c.​ 3 (three) years, for:

  1. IUP for Non-Metal Mineral Exploration;  or
  2. IUP for Rock Exploration.

 After completion of the Exploration IUP implementation, the business entity is obliged to take care of the Production Operation IUP in order to carry out the stages of production operation activities.  In accordance with Article 42 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, IUP Production Operations are granted by:

  1. Minister, if the Mining location, processing and/or refining location, and special port location:
    1. Located across provinces;  or
    2. Direct borders with other countries;
  2. Governor, if the Mining location, processing and/or refining location, and special port location are in 1 (one) provincial area.

 The term of the Production Operation IUP according to Article 45 paragraph (2) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 is as follows:

  1. 20 (twenty) years and can be extended 2 (two) times for 10 (ten) years each for:
    1. Metal mineral Production Operation IUP;
    2. Mining Business License (IUP) for Coal Production Operation;
    3. Production Operation Mining Permit for certain types of non-metallic minerals;
  2. 10 (ten) years and can be extended 2 (two) times each 5 (five) years for IUP Production Operations for non-metallic minerals;  or
  3. 5 (five) years and can be extended 2 (two) times for 5 (five) years each for IUP Rock Production Operations

 If you wish to purchase, transport, process and purify, including the sale of mineral or coal mining commodities from their processed products, the business entity is obliged to arrange for a Special Production Operation IUP for Processing and/or Purification.

 In accordance with Article 47 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, IUP Special Production Operations for Processing and/or Purification are granted by:

  1. Minister, if:
    • Mining commodities to be processed come from other provincial areas outside the location of the processing and/or refining facilities;
    • Mining commodities to be processed come from abroad;  and/or
    • If the location of the processing and refining facilities is in a cross-provincial area;
  2. Governor, if:
    1. The mining commodity to be processed comes from 1 (one) same province as the location of the processing and/or refining facility;  and/or
    2. If the location of the processing and/or refining facility is within 1 (one) province.

 Article 49 paragraph (5) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 regulates the period of IUP for Special Production Operations for Processing and/or Purification as follows:

 “IUP Production Operation specifically for Processing and/or Purification as referred to in paragraph (1) is granted for a period of 30 (thirty_ years and can be extended for a period of 20 (twenty years) each time.”

 If a business entity wishes to purchase, transport and sell mineral or coal mining commodities, the business entity is required to arrange for a Special Production Operation IUP for Transportation and Sales.  In accordance with Article 50 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, the IUP for Special Production Operations for Transportation and Sales is granted by:

  1. The Minister, if the transportation and sales activities are carried out on provincial and/or cross-country lines;  or
  2. Governor, if the Transportation and Sales activities are carried out in 1 (one) provincial area.

 Article 52 paragraph (1) of Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 regulates the period of IUP Production Operation specifically for transportation and sales as follows:

 “IUP Production Operations specifically for transportation and sales are granted for a period of 5 (five) years and can be extended for a period of 5 (five) years each time.”

Regarding violations in mineral and coal mining activities, especially for Mining Business Permit (IUP) holders in accordance with Article 185 to Article 188 of PP 96/2021, namely as a violation of the following obligations:

  1. Transferring the Mining Business Permit to another party without the approval of the Minister.  (Article 10 paragraph (1))
  2. Transferring share ownership without the approval of the Minister.  (Article 13 paragraph (1) & paragraph (9))
  3. In addition to carrying out Production Operation activities, the holder of a Mining Business License for Production Operation stage is required to carry out further exploration activities every year.  (Article 48 paragraph (1) & paragraph (3))
  4. Carry out the installation of boundary markings for the Mining Business Permit Area for the Production Operation stage.  (Article 49 paragraph (1))
  5. Mining Permit holders who are interested in operating other mining commodities with different Mining Business Permit Areas are required to apply for a new IUP.  (Article 50 paragraph (2))
  6. In taking and using the rock contained in the Mining Business Permit Area, the holder of a Mining Business Permit in the Production Operation stage must:
    1. Report the extraction and use of rocks to the Regency/Municipal Government;  and
    2. Paying Regional Taxes in accordance with the provisions of the Legislation.  (Article 51 paragraph (2))

 Revocation of permits related to violations in the implementation of business activities in the Mining Sector as well as sanctions are regulated in Article 185 of Government Regulation Number 96 of 2021 concerning Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities, where the sanctions are administrative in nature in the form of:

  1. Written Warning;
  2. Temporary suspension of part or all of Exploration activities or Production Operations;  and/or
  3. Revocation of Mining Business Permit (IUP), Special Mining Business Permit (IUPK), People’s Mining Permit (IPR), Rock Mining Permit (SIPB), or Mining Business Permit (IUP) for Sales.

 Written warnings are given at most 3 times with a warning period of 30 days each, and if after being given the 3rd warning the Mining Company still has not carried out its obligations, then within a maximum period of 60 days from the end of the written warning period, an administrative sanction will be imposed.  in the form of temporary suspension of part or all of exploration activities or Production Operations, and if the Mining Company that has been given a temporary suspension of sanctions still does not carry out its obligations until the end of the temporary suspension period, it may be subject to sanctions in the form of revocation of IUP, IUPK, IPR, SIPB, and  IUP for Sales.

The Minister of Energy and Mineral Resources through the Directorate General of Mineral and Coal can impose administrative sanctions in the form of revocation of permits without going through the stages of giving written warnings and temporary suspensions if there is a court decision that the Mining Company has committed a criminal offense and has a permanent legal force, the results of the Minister’s evaluation of Mining Companies that have caused environmental damage and have not  apply the principles of good Mining techniques, and the Mining Company is declared bankrupt.

0

The Use of Intellectual Property as Guarantees

Author: Nirma Afianita; Co-author: Ananta Mahatyanto

Jaminan (Guarantee)

Jaminan, yang  berasal dari Bahasa Belanda, zekerheid atau cautie, merupakan suatu barang, harta, atau benda yang diberikan oleh debitur kepada kreditur dalam pengajuan suatu pinjaman. Selain itu, dalam perbankan, jaminan disebut juga sebagai agunan.

Walaupun konsep hukum tentang jaminan tidak ada dalam undang-undang, namun KUH Perdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum. Dinyatakan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, menurut Pasal 1131 KUH Perdata “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” berdasarkan pasal ini, seluruh harta benda seseorang otomatis menjadi jaminan atas utang.

Barang-barang tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadap mereka, menurut Pasal 1132 KUH Perdata, dan hasil penjualan barang tersebut dibagi sesuai dengan rasio hutang masing-masing, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.

Perjanjian jaminan harus didasari dengan perjanjian sementara atau perjanjian pokok. Karenanya, pengaturan jaminan adalah kesepakatan (accessoire), tambahan, atau lanjutan. Karena tidak ada yang dapat menjamin hutang jika tidak berwujud, perjanjian jaminan akan diselesaikan setelah perjanjian pokok diselesaikan.

Jaminan dibagi menjadi 2 yaitu umum dan khusus.

  1. Jaminan Umum

Sesuai Pasal 1131 KUHPerdata (“KUHPer”), semua barang yang dimiliki oleh pehutang, baik yang bergerak atau tidak bergerak, saat ini atau yang akan datang, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Inilah yang disebut sebagai Jaminan umum.

  • Jaminan Khusus

Ada pasal-pasal dalam hukum jaminan yang mengatur barang-barang yang dijadikan agunan hutang, atau yang dikenal sebagai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah jaminan dengan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditor jika debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditor di masa mendatang.

            Berikut adalah jenis-jenis jaminan kebendaan.

  1. Gadai

Barang yang digadaikan adalah barang bergerak yang terdiri dari barang berwujud dan tidak berwujud, seperti perhiasan dan hak untuk mendapat uang (surat piutang). Jika debitur tidak dapat melunasi pinjaman, kreditur dapat memiliki barang yang digadaikan.

Menurut Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, eksekusi barang gadai dapat dilakukan dalam salah satu dari dua bentuk yakni eksekusi langsung atau eksekusi berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya.

  • Fidusia

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan, selama benda yang dialihkan hak kepemilikannya tersebut tetap berada di bawah kendali pemilik benda. Fidusia diatur oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999. Benda fidusia mencakup benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, seperti bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Collateral, which comes from the Dutch language, zekerheid or cautie, is an item, property, or object given by the debtor to the creditor in the application of a loan.

Although the legal concept of guarantees does not exist in law, the Civil Code contains rules governing guarantees in general. Article 1131 of the Civil Code states that “All movable and immovable property belonging to the debtor, both existing and future, shall become collateral for the debtor’s individual engagements”. Based on this article, all of one’s property automatically becomes collateral for the debt.

 These goods become mutual guarantees for all creditors against them, according to Article 1132 of the Civil Code, and the proceeds from the sale of these goods are divided according to their respective debt ratios, unless there is a valid reason to prioritize them.

The guarantee agreement must be based on a provisional agreement or a principal agreement.  Accordingly, the guarantee arrangement is an accessoire, additional, or continuation.  Since no one can guarantee the debt if it is intangible, the guarantee agreement will be finalized after the principal agreement is completed.

 Guarantees are divided into 2, namely general and specific.

 1. General Guarantee

 In accordance with Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”), all goods owned by the debtor, whether movable or immovable, currently or in the future, are dependent on all individual engagements.  This is known as general guarantee.

 2. Special Guarantee

 There are articles in the security law that regulate goods that are used as collateral for debt, or what is known as material security.  Material collateral is a guarantee with an object in the form of movable or immovable property which is intended to guarantee the debtor’s debt to the creditor if the debtor is unable to pay his debts to the creditor in the future.

 Here are the types of material guarantees.

 a.  Pawn

 Pawned goods are movable goods consisting of tangible and intangible goods, such as jewelry and the right to receive money (receipts).  If the debtor is unable to repay the loan, the creditor can have the goods pawned.

 According to Articles 1155 and 1156 of the Civil Code, the execution of pawned goods can be carried out in one of two forms, namely direct execution or execution based on a previous court decision.

 b.  Fiduciary

 Fiduciary is the transfer of ownership rights to an object on the basis of trust, as long as the object whose ownership rights are transferred remains under the control of the owner of the object.  Fiduciary is regulated by Fiduciary Guarantee Law No.  42 of 1999.

 Fiduciary objects include movable or immovable objects, both tangible and intangible, such as buildings that are not encumbered with mortgage rights as referred to in Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights​

Kekayaan Intelektual (Intellectual Property)

Kekayaan Intelektual (KI) adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia.

Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain :

  • Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
  • Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.
  • Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.
  • Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia

Pada dasarnya, Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomis, sehingga Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai  Kekayaan Intelektual sebagai agunan atau jaminan ini diatur berdasarkan bentuknya, antara lain:

  • Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dimana hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan gadai maupun fidusia, berdasarkan jenis karya cipta yang dimiliki (material/tangible dan immaterial/intangible)

Berdasarkan perspektif hukum jaminan, karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Contoh, jika kita memiliki karya cipta material/ tangible berupa lukisan maka kita dapat menjaminkan lukisan tersebut melalui skema Gadai atau Fidusia. Sedangkan karya cipta yang bersifat immaterial/ intangible (contoh: film, musik, buku) hanya bisa dijaminkan melalui skema Fidusia. UU Hak Cipta terbaru (UU No. 28 Tahun 2014) hanya mengatur penjaminan Hak Cipta melalui skema Fidusia, sehingga diperlukan revisi UU tersebut agar penjaminan Hak Cipta juga bisa dilakukan melalui skema Gadai.

Mengacu Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa :

“ Pasal 16

  • Hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “

Pada dasarnya Hak Cipta dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia melalui pendaftaran jaminan fidusia dan pembuatan akta fidusia terhadap hak cipta yang dijadikan sebagai objek jaminan, dimana hal mengenai tata cara pendaftaran dan pembuatan akta tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Proses permohonan hak cipta yang didaftarkan sebagai objek jaminan fidusia ini diajukan oleh penerima fidusia, sebelumnya melalui proses penilaian hak cipta tersebut yang ingin dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, setelah itu permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan akan memperoleh bukti pendaftaran, setelah memperoleh bukti pendaftaran maka penerima fidusia harus melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dan setelah melakukan pembayaran baru Pendaftaran Jaminan Fidusia dicatatakan.

Jaminan Fidusia tersebut lahir bersamaan dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatatkan, dan akan mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang ditandatangani oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

  • Hak atas Merek

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dinyatakan bahwa:

“ Pasal 41

  • Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena:
  • pewarisan;
  • wasiat;
  • wakaf;
  • hibah;
  • perjanjian;
  • sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. “

Secara normatif, dapat dikatakan bahwa hak atas merek tersebut, baik merek dagang maupun merek jasa dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia melalui perjanjian seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, sehingga apabila dalam klausula perjanjian mengatur tentang pengalihan ataupun menjadikan hak atas merek sebagai jaminan fidusia (melalui permohonan), maka hal tersebut dapat dilakukan.

  • Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.

Paten dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, dimana dijelaskan bahwa:

“ Pasal 108

  • Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai syarat dan tata cara hak atas Paten sebagai objek jaminan fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam hal pendaftaran hak atas paten sebagai objek jaminan fidusia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

  • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dijelaskan bahwa:

            “ Pasal 23

  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan:
  • pewarisan;
  • hibah;
  • wasiat;
  • perjanjian tertulis; atau
  • sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.”

Apabila pada perjanjian tertulis terdapat klausula terkait penjaminan produk DTLST  sebagai objek jaminan fidusia, dan disepakati oleh kedua belah pihak, maka Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang setelah itu melakukan permohonan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu menjadi Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai 2 (dua bentuk) objek jaminan, yakni jaminan gadai dan fidusia. Terkait dengan karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Sehingga, melalui skema gadai dapat disimpulkan harus disertakan dengan hasil ciptaan dan sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dimana dalam skema gadai tersebut tidak wajib menggunakan akta notaris sebab objek jaminannya berada pada tangan kreditor.

Berbeda halnya dengan, jaminan fidusia yang memerlukan akta notaris dan harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum dan Ham. Pengaturan fidusia lebih ketat dibandingkan dengan gadai, sebab objek jaminan fidusia berada di tangan debitor dengan status hak pakai.

Dalam hal objek jaminan berupa kekayaan intelektual dalam skema gadai, maka apabila pihak-pihak tersebut akan mengikuti pihak-pihak dalam skema gadai, yakni pemberi gadai dan penerima gadai, pengaturan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana secara garis besar hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemberi dan Penerima gadai adalah sebagai berikut:

 Intellectual Property (IP) is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.

 The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:

  • As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with economic value contained therein.
  • Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.
  • Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because the recognition of Intellectual Property will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.
  • Can be used as material for consideration to determine research and industry strategies in Indonesia

Basically, Intellectual Property has economic value, so Intellectual Property can be used as collateral or guarantee.

 The provisions governing Intellectual Property as collateral or guarantee are regulated based on their form, among others:

  • Copyright

 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.

 Where copyright can be used as an object of pledge or fiduciary collateral, based on the type of copyrighted work owned (material/tangible and immaterial/intangible)

 Based on the perspective of guarantee law, copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible) can be bound by Pledge and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  For example, if we have a tangible/material copyrighted work in the form of a painting, then we can guarantee the painting through a Pawn or Fiduciary scheme.  Meanwhile, copyrighted works that are immaterial/intangible (eg films, music, books) can only be guaranteed through a fiduciary scheme.  The latest Copyright Law (Law No. 28 of 2014) only regulates Copyright guarantees through the Fiduciary scheme, so it is necessary to revise the Law so that Copyright guarantees can also be carried out through the Pawn scheme.

 Referring to Article 16 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright it is explained that:

 “Article 16”

 (3) Copyright can be used as an object of fiduciary guarantee.

 (4) Provisions regarding Copyrights as objects of fiduciary guarantees as referred to in paragraph (3) are implemented in accordance with the provisions of laws and regulations.  “

Basically, Copyrights can be used as objects of fiduciary guarantees through registration of fiduciary guarantees and the making of fiduciary deeds of copyrights which are used as objects of guarantees, where matters regarding the procedures for registration and making the deed are regulated in Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Guarantees.  Fiduciary and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

 The process of applying for a copyright that is registered as an object of fiduciary security is submitted by a fiduciary recipient, before going through the process of assessing the copyright that wants to be used as an object of fiduciary security, after that an application for registration of a fiduciary guarantee that has met the conditions will obtain proof of registration, after obtaining proof of registration  then the fiduciary recipient must pay the registration fee for the fiduciary guarantee and after making a new payment the registration of the fiduciary guarantee is recorded.

 The Fiduciary Guarantee is born at the same time as the date the Fiduciary Guarantee is registered, and will get a Fiduciary Guarantee Certificate signed by the Official at the Fiduciary Registration Office.

  • Trademark Rights

 Right to a Mark is an exclusive right granted by the state to the owner of a registered Mark for a certain period of time by using the Mark himself or giving permission to other parties to use it.

 Based on Article 41 paragraph (1) of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, it is stated that:

 “Article 41”

 (1) Rights to registered Marks may be transferred or transferred because:

 a.  inheritance;

 b.  will;

 c.  waqf;

 d.  grant;

 e.  agreement;

 f.  other reasons justified by legislation.  “

 Normatively, it can be said that the rights to the mark, both trademarks and service marks can be used as objects of fiduciary guarantees through agreements as described in Article 41 letter e of Law Number 20 of 2016, so that if the clause of the agreement regulates the transfer or make the right to the mark as a fiduciary guarantee (through an application), then this can be done.

  • Patent

 A patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.

 Patents can be used as fiduciary guarantees as regulated in Article 108 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents, where it is explained that:

 “Article 108

 (1) Patent rights may be used as objects of fiduciary security.

 (2) Provisions regarding the terms and procedures for the right to a Patent as an object of fiduciary security shall be regulated by a Government Regulation.”

 In the case of registration of patent rights as objects of fiduciary security, it refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantees and Fees for Making Fiduciary Guarantee Deeds.

  • Integrated Circuit Layout Design (DTLST)

 The right to Layout Design for Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer for his creation, to carry it out himself for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise the right.

 ​Based on Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits, it is explained that:

 “Article 23

 (1) Right to Layout Design of Integrated Circuit can be transferred or transferred by:

 a.  inheritance;

 b.  grant;

 c.  will;

 d.  written agreement;  or

 e.  other reasons justified by legislation.

If in the written agreement there is a clause related to guaranteeing DTLST products as objects of fiduciary guarantees, and it is agreed by both parties, then the Right to Layout Design of Integrated Circuits can be used as Objects of Fiduciary Guarantees referring to Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000  concerning Layout Design of Integrated Circuit, after which the application for registration of Right to Layout Design of Integrated Circuit as Object of Fiduciary Security refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantee and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

Thus, it can be concluded that Intellectual Property can be used as 2 (two) forms of collateral objects, namely pledges and fiduciary guarantees.  In relation to copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible), they can be bound by Pawn and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  So, through the pawn scheme, it can be concluded that it must be accompanied by the creation and copyright certificate (as the main collateral), where in the pawn scheme it is not required to use a notary deed because the object of the guarantee is in the hands of the creditor.

Unlike the case with fiduciary guarantees, which require a notarial deed and must be registered with the Fiduciary Registration Office at the Ministry of Law and Human Rights.  Fiduciary arrangements are stricter than pawning, because the object of the fiduciary guarantee is in the hands of the debtor with usufructuary status.

In the case of the object of collateral in the form of intellectual property in the pawn scheme, then if the parties will follow the parties in the pawn scheme, namely the pawner and the pawn recipient, the pawn arrangement is regulated in Article 1150 to Article 1160 of the Civil Code,  In general, the rights and obligations of the Giver and Receiver of pawn are as follows:

Hak dan Kewajiban (Rights and Obligations)

Penerima Gadai

Hak :

  1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan tersebut, yaitu apabila pemberi gadai tersebut pada saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedang hasil penjualan barang jaminan tersebut diambil untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya dikembalikan pada pemberi gadai.
  2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
  3. Selama hutangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak rentetie).

Kewajiban :

  1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya.
  2. Penerima gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
  3. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan penjualan atas barang gadai.

Pemberi gadai

Hak :

  1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya.
  2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
  3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan hutang, bunga dan biaya lainnya.
  4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

Kewajiban :

  1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi hutang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai.
  2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atau barang gadai miliknya, apabila dalam jangka yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi hutangnya kepada pemegang gadai.

Pawnee

Right :

  1. The pawnee has the right to sell the pawned goods, that is, if the pawnbroker at maturity or at a specified time cannot fulfill his obligations as a debtor.  While the proceeds from the sale of the collateral are taken to pay off the debt of the pawner and the rest is returned to the pawner.
  2. The recipient of the pledge has the right to be reimbursed for the costs that have been incurred to maintain the safety of the collateral.
  3. As long as the debt has not been repaid, the pledge holder has the right to hold the collateral submitted by the pawnbroker (rentie rights).

 Obligation :

  1. The recipient of the pledge is responsible for the loss or decline in the price of the pawned item if it is all due to his negligence.
  2. The pawnee is not allowed to use the pawned goods for his own benefit.
  3. The pledge holder is obliged to notify the pawnbroker prior to the sale of the pawned goods.

The Pledger

 Right :

  1. The pawnbroker has the right to get his property back after the pawnbroker has paid off his debt.
  2. The pawnbroker has the right to claim compensation for the damage and loss of the pledged goods if it is caused by the negligence of the pawnee.
  3. The lender has the right to get the remainder from the sale of his goods after deducting the cost of paying off debt, interest and other costs.
  4. The pawnbroker has the right to ask for the goods back if the pawnbroker has clearly misused the goods.

 Obligation :

  1. The pawnbroker is obliged to pay off the debt he has received from the pawnbroker within a predetermined timeframe including interest and other fees determined by the pawnbroker.
  2. The pawnbroker is obliged to give up the sale or his/her own pawned goods, if within a predetermined period the pawner cannot pay off his debt to the pawnbroker.

Berakhirnya Hak Gadai (Expiration of Lien)

Suatu perjanjian hutang piutang pada dasarnya tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal, demikian pula dengan perjanjian gadai. Namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak lain. Hak gadai dikatakan batal apabila:

  1. Hutang piutang yang telah terjadi telah dibayarkan dan dilunasi.
  2. Barang gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai, yaitu bukan lagi menjadi hak milik pemberi gadai.
  3. Para pihak tidak lagi melaksanakan yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pemberi gadai maupun penerima gadai.
  4. Barang gadai tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun sebaliknya atas kemauan yang berpiutang.

Berkaitan dengan KI dengan objek jaminan fidusia yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, memiliki pihak yang sama dengan gadai yakni pemberi fidusia dan penerima fidusia, dimana hak dan kewajiban mereka sebagai berikut:

Penerima Fidusia

Hak:

  1. Mengawasi benda fidusia
  2. Menjual benda fidusia jika debitur wanprestasi
  3. Mengambil piutangnya dari hasil penjualan benda fidusia

Kewajiban:

  1. Melaksanakan pendaftaran akta jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia
  2. Memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia atas benda fidusia secara pinjam pakai
  3. Menyerahkan harga kelebihannya kepada pemberi fidusia dan menyerahkan kembali hak milik atas benda fidusia kepada pemberi fidusia jika piutangnya telah dilunasi oleh debitur.

Pemberi Fidusia

Hak :

  1. Menguasai benda fidusia
  2. Menerima hasil penjualan benda fidusia
  3. Menerima kembali hak milik atas benda fidusia jika telah melunasi hutangnya.

Kewajiban :

  1. Menjaga dan merawat benda fidusia agar tidak turun nilainya
  2. Melaporkan keadaan benda fidusia kepada penerima fidusia
  3. Melunasi utangnya

A debt agreement basically nothing lasts forever, meaning that the agreement can end or be canceled at any time, as well as a pawn agreement.  However, the cancellation of the lien will be very different from other rights.  A lien is said to be void if:

 a) Accounts payable that have been incurred have been paid and repaid.

 b) The pawned goods are out of the power of the pawnbroker, that is, they are no longer the property of the pawnbroker.

 c) The parties no longer carry out the rights and obligations of each party, both the pawner and the pawnee.

 d) The pawned goods are left in the power of the pawnbroker or vice versa at the will of the debtor.

With regard to KI with the object of fiduciary security which refers to Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it has the same party as the pawn, namely the fiduciary giver and fiduciary recipient, where their rights and obligations are as follows:

Fiduciary Recipient

 Right:

  1. Supervise fiduciary objects
  2. Selling fiduciary objects if the debtor defaults
  3. Taking the receivables from the sale of fiduciary objects

 Obligation:

  1. Carry out the registration of the fiduciary guarantee deed to the fiduciary registration office
  2. Giving power to the fiduciary giver over the fiduciary object on a borrowed basis
  3. Submit the excess price to the fiduciary giver and return the ownership rights to the fiduciary object to the fiduciary if the debt has been paid off by the debtor.

Fiduciary Giver:

 Right :

 1. Mastering fiduciary objects

 2. Receive the proceeds from the sale of fiduciary objects

 3. Receiving ownership rights to fiduciary objects if they have paid off their debts.

 Obligation :

 1. Maintain and care for fiduciary objects so that they do not decrease in value

 2. Reporting the condition of the fiduciary object to the fiduciary recipient

 3. Pay off the debt

Berakhirnya Hak Jaminan Fidusia (Expiration of Fiduciary Guarantee Rights)

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia berakhir karena:

  1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
  2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
  3. Musnahya benda yang menjadi objek jaminan fidusia

According to Article 25 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, Fiduciary Security ends because:

  1. Elimination of debt guaranteed by fiduciary
  2. Release of rights to fiduciary guarantees by fiduciary recipients
  3. The destruction of objects that are objects of fiduciary guarantees

Eksekusi Objek Jaminan (Guarantee Object Execution)

Terkait dengan apabila terjadinya sengketa terhadap KI yang dijadikan objek jaminan, seperti pada prosesnya penjaminan KI dapat dijadikan objek jaminan melalui 2 skema, sehingga pada proses eksekusi objek jaminan melalui 2 skema pula, yakni skema gadai dan skema fidusia.

1. Eksekusi Objek Jaminan Skema Gadai

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 2 jenis, yakni Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan. Dimana Parate Eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan. Hak eksekusi yang selalu siap dengan namanya “paraat” yang berarti hak itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan, objek hak gadai biasanya dilelang melalui pelelangan umum. Acuan pelaksanaan Parate Eksekusi mengacu pada Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Yang kedua, Penjualan Bawah Tangan, pada jaminan gadai dimungkinkan untuk melakukan penjualan bawah tangan, beranjak dari kalimat yang tertera di awal Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain” maka eksekusi barang gadainya dilakukan di hadapan umum. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tangan atas objek jaminan gadai bilmana mereka memperjanjikannya.

2. Eksekusi Objek Jaminan Skema Fidusia

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 3 jenis, yakni Titel Eksekutorial (melalui fiat pengadilan), Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan.

Terkait dengan mekanisme pertama yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana dijelaskan tentang pelaksanaan titel eksekutorial, yakni dalam sertifikat jaminan fidusia wajib dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Yang kedua, Parate Eksekusi, yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf b jo. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana apabila terjadi cidera janji/wanprestasi, maka penerima dapat melakukan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasa piutangnya dari hasil penjualan.

Yang ketiga, Penjualan Bawah Tangan, mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan bahwa penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

In the case of a dispute over IP which is used as an object of collateral, as in the process, IP guarantee can be used as a guarantee object through 2 schemes, so that in the process of executing the object of guarantee there are also 2 schemes, namely a pawn scheme and a fiduciary scheme.

 1. Execution of the Guaranteed Object of the Pawn Scheme

 The execution mechanism for collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 2 types, namely Parate Execution (without asking for court assistance) and Underhand Sales.  Where Parate Execution is an execution that can be carried out by the creditor without asking for court assistance or the process of placing a confiscation of collateral.  The right of execution which is always ready with the name “paraat” which means the right is ready in the hands of the creditor to be executed, the object of lien is usually auctioned through a public auction.  The reference for the implementation of the Execution Parate refers to Article 1155 of the Civil Code.

 Second, underhand sales, under pledged collateral it is possible to carry out underhand sales, starting from the sentence stated at the beginning of Article 1155 of the Civil Code, namely “If the promised parties do not agree otherwise” then the execution of the pawned goods is carried out  in public.  From these provisions, it can be concluded that the hand over the object of the pledge of collateral when they make an agreement.

 2. Execution of Object of Fiduciary Scheme Guarantee

 The mechanism for execution of collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 3 types, namely Executional Title (through court fiat), Execution Parate (without asking for court assistance) and Underhand Sales.

 Related to the first mechanism which refers to Article 29 paragraph (1) letter a jo.  Article 15 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security, which explains the implementation of the executive title, namely that the fiduciary guarantee certificate must include the words “For the sake of Justice Based on God Almighty” with the aim of having the same executive power as court decisions  which has obtained permanent legal force.

 The second, Parate Execution, which refers to Article 29 paragraph (1) letter b jo.  Article 15 paragraph (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, where in the event of a breach of contract/default, the recipient can sell objects that are the object of the fiduciary guarantee on the power of the fiduciary recipient himself through a public auction and take payment of his receivables from the proceeds.  sale.

 Third, underhand sales, referring to Article 29 paragraph (1) letter c of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is explained that underhand sales are carried out based on an agreement between the Giver and the Fiduciary Recipient if in this way the highest price can be obtained.  which benefits the parties.

Metode Appraisal KI (IP Appraisal Method)

Tiga metode yang berlaku umum untuk penilaian jaminan juga dapat berlaku bagi penilaian Kekayaan Intelektual dan dapat juga berlaku untuk analisis Hak Cipta. Pendekatan biaya yang kurang umum digunakan daripada pendekatan pendapatan atau pendekatan pasar. Karena hak cipta memberikan hak monopoli kepada pemilik, pendekatan biaya tidak selalu berlaku untuk analisis penilaian hak cipta. Metode tersebut yaitu:

a) Metode pendekatan biaya

Penilaian ini didasarkan pada biaya yang dikeluarkan dalam mengembangkan atau menciptakan suatu karya cipta, atau biaya untuk menciptakan atau mengembangkan produk atau layanan serupa, tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi dari karya cipta tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai suatu obyek atau bagian dari kekayaan intelektual tidak lebih besar daripada biaya untuk memproduksinya. Pendekatan biaya memang memiliki keterbatasan tertentu dalam menganalisis nilai ekonomis suatu hak cipta. Karena keterbatasan ini, pendekatan biaya sering dianggap hanya dapat memberikan patokan bagi estimasi nilai ekonomi terendah.

b) Metode Pendekatan Nilai Pasar

Metode pendekatan pasar merupakan metode dimana Hak Kekayaan Intelektual atau aset tidak berwujud dinilai dengan membandingkannya dengan penjualan baru-baru ini, transfer, dan transaksi yang melibatkan aset yang sama di pasar yang sama. Kendala dari metode pendekatan nilai pasar ini adalah kesulitan untuk menganalisa berapa nilai jual suatu karya cipta.

c) Metode Pendekatan Pendapatan

Metode pendekatan pendapatan menentukan nilai ekonomi berdasarkan pendapatan masa depan yang dapat, atau akan, dihasilkan dari kekayaan intelektual atau aset tidak berwujud. Pendekatan pendapatan bagi Hak Kekayaan intelektual merupakan metode penilaian yang digunakan secara luas; namun, hal itu dapat menjadi kompleks, karena harus memutuskan bagaimana mengukur “pendapatan”. Yang menjadi parameter dasar dari pendekatan pendapatan adalah:

  1. aliran pendapatan masa depan
  2. durasi aliran pendapatan
  3. tingkat risiko atau pengurangan yang mungkin terjadi

The three generally accepted methods for assurance assessments may also apply to Intellectual Property assessments and may also apply to Copyright analysis.  The cost approach is less commonly used than the revenue or market approach.  Because copyright grants the owner monopoly rights, the cost approach does not always apply to copyright assessment analysis.  The methods are:

 a) Cost approach method

 This assessment is based on the costs incurred in developing or creating a copyrighted work, or the costs of creating or developing a similar product or service, without considering the economic value of the copyrighted work.  This principle states that the value of an object or piece of intellectual property is not greater than the cost of producing it.  The cost approach does have certain limitations in analyzing the economic value of a copyright.  Because of these limitations, the cost approach is often considered to only provide a benchmark for the lowest estimated economic value.

 b) Market Value Approach Method

 The market approach method is a method by which Intellectual Property Rights or intangible assets are valued by comparing them with recent sales, transfers, and transactions involving the same asset in the same market.  The problem with this market value approach is that it is difficult to analyze how much the selling value of a copyrighted work is.

 c) Income Approach Method

 The income approach method determines economic value based on the future income that can, or will, be generated from intellectual property or intangible assets.  The revenue approach to Intellectual Property Rights is a widely used valuation method;  however, it can be complex, having to decide how to measure “revenues”.  The basic parameters of the revenue approach are:

 1. future income stream

 2. duration of income stream

 3. the level of risk or reduction that may occur

Valuasi KI (IP Valuation)

Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan apprasial KI tersebut ada beberapa cara untuk menghitung nya dengan menggunakan metode Discounted Future Economic Benefits atau disingkat DFEB dan Relief-from-Royalty

Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Modul 11 berjudul IP Valuation sebagai salah satu topik dalam IP Panorama yang dikeluarkan oleh WIPO menjelaskan bagaimana cara menentukan pendapatan ekonomi yaitu:

  1. Proyeksikan aliran pendapatan (atau penghematan biaya) yang dihasilkan oleh aset KI selama sisa masa manfaat dari aset KI tersebut.
  2. Imbangi pendapatan/penghematan dengan biaya yang berhubungan secara langsung dengan aset KI, antara lain biaya tenaga kerja, bahan, investasi modal yang dibutuhkan, dan setiap sewa atau biaya modal lainnya.
  3. Hitung risiko untuk mengurangi jumlah pendapatan dari nilai saat ini (present value) dengan menggunakan tingkat diskonto atau tingkat kapitalisasi.

Beberapa perhitungan yang mungkin diperlukan pada metode pendapatan adalah perhitungan pendapatan kotor atau bersih (gross or net revenue), laba kotor (gross profit), pendapatan operasional bersih (net operating income), pendapatan sebelum pajak (pretax income), laba bersih (setelah pajak), arus kas operasi, arus kas bersih, pendapatan tambahan, dan penghematan biaya. Perhitungan-perhitungan tersebut merupakan bagian dari analisis finansial dalam menyusun studi kelayakan bisnis. Oleh karena itu, beberapa asumsi dalam menghitung atau melakukan analisis finansial harus dibuat, antara lain umur teknologi/paten dan tingkat diskonto.

Relief-from-Royalty Method merupakan satu mekanisme alih teknologi/paten yang banyak digunakan adalah lisensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP 20/2005) dimana KI milik Negara tidak diperkenankan dialihkan kepada pihak lain, artinya tidak dapat menggunakan mekanisme jual putus. Dalam mekanisme lisensi harus ditentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi teknologi. Metode relief-from-royalty dilakukan untuk menentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi suatu teknologi. Pembayaran royalti merupakan salah satu mekanisme bagi hasil (profit sharing). Metode yang paling umum digunakan untuk mengekspresikan royalti adalah persentase dari pendapatan (a percentage of revenue) (Heberden, 2011). Selain itu, besaran royalti juga dapat dihitung berdasarkan persentase dari keuntungan kotor, persentase dari keuntungan bersih, atau persentase dari unit penjualan. Penentuan besaran dan metode royalti umumnya bersifat negotiable antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Penentuan besaran royalti menurut Hadjiloucas (2014) dapat dilakukan berdasarkan data pasar atau hasil survei tentang royalti/lisensi sebagai pembanding (benchmarks).

Untuk menghitung nilai yang bisa diperoleh dari royalti diperlukan perhitungan nilai teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (income approach). Secara umum Reilly (2008) menjelaskan perhitungan tingkat pasar royalti menggunakan pendekatan pendapatan yang memproyeksikan nilai sekarang (present value / PV). Berdasarkan perhitungan dengan pendekatan pendapatan dapat diketahui prediksi arus kas pendapatan (revenue), keuntungan kotor, keuntungan bersih, dan nilai unit penjualan, yang selanjutnya dapat disimulasikan dan ditentukan beberapa alternatif besaran royalti dan dhitung PV-nya dengan tingkat diskonto tertentu sesuai umur teknologi atau perlindungan patennya.

When viewed from the IP appraisal approaches, there are several ways to calculate it using the Discounted Future Economic Benefits method or abbreviated as DFEB and Relief-from-Royalty.

 Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Module 11 entitled IP Valuation as one of the topics in IP Panorama issued by WIPO explains how to determine economic income, namely:

 a) Project the revenue stream (or cost savings) generated by the IP asset over the remaining useful life of the IP asset.

 b) Balance income/savings with costs directly related to IP assets, including labor costs, materials, required capital investment, and any rent or other capital costs.

 c) Calculate the risk of reducing the amount of revenue from the present value using the discount rate or capitalization rate.

 Some calculations that may be needed in the income method are the calculation of gross or net income (gross or net revenue), gross profit (gross profit), net operating income (net operating income), income before tax (pretax income), net profit (after tax).  ), operating cash flow, net cash flow, additional revenue, and cost savings.  These calculations are part of the financial analysis in compiling a business feasibility study.  Therefore, several assumptions in calculating or conducting financial analysis must be made, including the age of the technology/patent and the discount rate.

 Relief-from-Royalty Method is a technology/patent transfer mechanism that is widely used is licensing.  This is in accordance with the provisions in Government Regulation Number 20 of 2005 concerning Transfer of Intellectual Property Technology and Research and Development Results by Universities and Research and Development Institutions (PP 20/2005) wherein State-owned IP is not allowed to be transferred to other parties, meaning that it cannot be transferred to other parties.  using a sell-out mechanism.  In the licensing mechanism, the amount of royalty that will be offered to the party who will license the technology must be determined.  The relief-from-royalty method is used to determine the amount of royalty that will be offered to the party who will license a technology.  Payment of royalties is one of the mechanisms for profit sharing.  The most common method used to express royalty is a percentage of revenue (Heberden, 2011).  In addition, the amount of royalties can also be calculated based on a percentage of gross profit, a percentage of net profit, or a percentage of unit sales.  The determination of the amount and method of royalty is generally negotiable between the licensor and the licensee.  The determination of the royalty amount according to Hadjiloucas (2014) can be done based on market data or the results of a survey on royalties/licences as a comparison (benchmarks).

 To calculate the value that can be obtained from royalties, it is necessary to calculate the value of technology/patent with an income approach.  In general, Reilly (2008) explains the calculation of the market rate of royalties using an income approach that projects present value (PV).  Based on the calculation with the income approach, it can be seen that the prediction of cash flow income (revenue), gross profit, net profit, and unit sales value, which can then be simulated and determined several alternative amounts of royalties and calculated PV with a certain discount rate according to the age of technology or protection.  the patent.

1 7 8 9 10 11 12
Translate