Kemudahan akses yang didapatkan oleh masyarakat tanpa
dibekali dengan pengetahuan mengenai suatu produk investasi pada saat ini
menjadi kendala bagi masyarakat, dalam hal mengetahui produk-produk non
investasi yang berkedok trading, seperti yang terindikasi pada Binary
Option. Pengetahuan terhadap izin dan legalitas suatu perusahaan yang
berjalan di bidang investasi seharusnya juga menjadi hal penting untuk
diperhatikan oleh masyarakat, khususnya Binary Option yang telah
menimbulkan banyak korban.
Binary Option merupakan Opsi biner atau jenis kontrak opsi di mana
pembayarannya sepenuhnya bergantung pada hasil proposisi ya atau tidak dan
biasanya berkaitan dengan apakah harga aset tertentu akan naik di atas atau
turun di bawah jumlah yang ditentukan. Setelah opsi diperoleh, tidak ada
keputusan lebih lanjut yang harus diambil oleh pemegangnya mengenai pelaksanaan
binary option karena opsi tersebut dijalankan secara otomatis. Binary
Option tidak memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli atau menjual
aset yang ditentukan. Ketika opsi biner kadaluwarsa, pemegang opsi menerima
jumlah uang tunai yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak sama sekali.[1] Untuk dapat melaksanakan trading melalui binary
option, pengguna harus melakukan registrasi dan menaruh deposit berupa
uang. Dari deposit tersebut pengguna akan memasang nominal yang akan
dipertaruhkan. Jika tebakan pengguna benar pada saat melakukan trading, maka
pengguna akan mendapatkan keuntungan, dan jika tidak maka nominal yang
dipertaruhkan akan hilang. [2]
Sehingga, binary option tidak dikategorikan sebagai produk investasi
karena prosedur penggunaannya melalui tebakan tersebut yang lebih identik
dengan kegiatan perjudian.
Konsumen-konsumen yang mendapatkan kerugian atau yang
dapat kita sebut sebagai korban Binary Option saat menggunakan produk
dari penyedia jasa Binary Option sudah seharusnya mendapatkan
perlindungan hukum. Adapun pengertian perlindungan hukum menurut Philipus M
Hadjon yang menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat
dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.[3]
Perlindungan hukum diatur dalam Pasal 28 D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
“Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”[4]
Perlindungan
hukum yang dapat diberikan kepada masyarakat terhadap kasus Binary Option tersebut
pada dasarnya dapat berupa perlindungan preventif dan perlindungan represif,
dimana perlindungan preventif adalah perlindungan yang diberikan untuk mencegah
terjadinya sengketa, dan perlindungan represif adalah perlindungan yang
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Dalam
hal perlindungan preventif, dapat dilakukan oleh pemberian informasi oleh
pemerintah melalui media apapun, seperti contoh pemerintah melakukan sosialisasi
mengenai kemungkinan kerugian yang akan terjadi apabila masyarakat tetap
menggunakan produk jasa Binary Option tersebut. Dan selanjutnya,
perlindungan represif dapat dilakukan dengan menyelesaikan sengketa yang sudah
terjadi melalui menindaklanjuti laporan ataupun permintaan ganti kerugian yang
dialami oleh korban kepada pihak penyedia jasa Binary Option tersebut.
Apabila
perlindungan preventif tidak dilakukan dengan maksimal, maka perlindungan
represif yang diberikan kepada masyarakat yang sekaligus menjadi korban dalam
kasus Binary Option harus ditindaklanjut dengan tegas. Perlindungan
hukum represif yang dapat diberikan dapat melalui pemberian sanksi terhadap
Pihak Binary Option yakni, Sanksi Pidana berupa pidana penjara maupun
denda bagi pihak Binary Option, serta Sanksi perdata berupa penggantian
kerugian baik material maupun immaterial bagi korban pengguna jasa Binary
Option.
Selanjutnya membahas hukum yang berlaku terhadap keabsahan produk Binary Option di Indonesia, yang akan berkaitan dengan perlindungan hukum yang akan diberikan kepada korban dari pengguna jasa Binary Option itu sendiri. Pada dasarnya, praktek terhadap binary option tersebut dilarang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (UU 32/1997) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011. (UU 10/2011) yang mengatur tentang praktik-praktik perdagangan yang dilarang, secara khusus adalah mempengaruhi pihak lain (dalam arti ini adalah masyarakat) untuk melakukan transaksi dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran. Hal ini termuat dalam Pasal 57 ayat (2) huruf d UU 10/2011 yang berbunyi sebagai berikut:
“2. Setiap pihak dilarang (d) secara langsung atau tidak langsung memengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran”
Pasal 57 ayat (2) huruf d UU 10/2011
Pelaku dari praktik-praktik perdagangan yang dilarang dapat dikenakan sanksi. Menurut UU 32/1997, terdapat dua macam sanksi yang dapat dikenakan untuk pelaku praktik perdagangan yang dilarang, yakni sanksi administrasi dan pidana. Sanksi administrasi termuat dalam Pasal 69 UU 32/1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“(1) Bappebti berwenang menggenakan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya yang dilakukan oleh setiap Pihak yang memperoleh izin usaha, izin, persetujuan, atau sertifikat pendaftaran dari Bappebti.
(2) Sanski administratif sebagaimana dimaksuk pada ayat (1) dapat berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda administratif, yaitu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pencabutan izinl
g. Pembatalan persetujuan; dan/atau
h. Pembatalan sertifikat pendaftaran.”
Pasal 69 UU 32/1997
Adapun sanksi pidana untuk praktik perdagangan yang dilarang termuat dalam Pasal 72 UU 32/1997, yakni pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak sepuluh miliar rupiah, sebagaimana bunyi Pasal 72 UU 32/1997 sebagai berikut:
“Setiap pihak yang melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”
Pasal 72 UU 32/1997
Selain sanksi yang merujuk pada UU 32/1997 , terdapat aturan yang mengatur mengenai penyedia jasa binary option sebagai pelaku usaha untuk tidak melakukan promosi secara tidak benar, dan menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti, hal tersebut mengacu pada Pasal 9 ayat (1) huruf K dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang berbunyi:
“(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan”
Pasal 9 ayat (1) huruf K dan ayat (2) UU 8/1999
Sanksi bagi pihak pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 9 UU PK yakni salah satunya adalah menawarkan atau mempromosikan suatu barang dan/atau jasa seolah-olah mengandung janji yang pasti memperoleh keuntungan dalam binary option tersebut, diatur dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 UU PK, yang berbunyi:
“(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”
Pasal 62 UU PK
“Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentul
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha”
Pasal 63 UU PK
Bentuk Perlindungan Hukum Represif yang penyelesaian sengketa yang diberikan bagi Pihak korban yang akan mengajukan gugatan dalam perkara perdata terhadap pihak pelaku usaha binary option melalui Pengadilan, maupun tuntutan dalam perkara pidana melalui laporan kepada pihak kepolisian yang selanjutnya akan ditindak lanjut melalui putusan pengadilan, berikut dalil-dalil yang dapat disertakan sebagai bentuk penyelesaian sengketa dalam kasus binary option, yaitu:
1. Pidana
a. Penipuan: Pelaku Binary Option yang menimulkan korban terkait dengan penawaran binary option yang berkedok “trading” maka dapat dikategorikan Penipuan yang mengacu padal Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
Pasal 378 Kitab UU Hukum Pidana
b. Pelanggaran Pasal 62 jo. Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK)
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf K UU PK yang mengatur untuk melarang dilakukannya promosi terhadap binary option tersebut, dimana terdapat sanksi yang dapat diterapkan apabila terjadi pelanggaran atas Pasal 9 tersebut dalam Pasal 62 UU PK , yang berbunyi:
“(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”
Pasal 62 UU PK
2. Perdata
a. Wanprestasi
Adanya kesepakatan antara user binary option dengan konsumen dalam hal penggunaan Binomo yang menyebabkan perjanjian, sebagaimana definisi Perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Pasal 1313 KUHPerdata
Kesepakatan itu harus diuji melalui syarat keabsahan perjanjian, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. Adanya kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Pasal 1320 KUHPerdata
Namun,
kegiatan perdagangan melalui binary option pada dasarnya tidak diatur oleh
hukum Indonesia, selain itu kegiatan penyedia jasa binary option tidak ada yang
memperoleh izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),
oleh sebab itu kegiatan perdagangan tersebut menjadi ilegal. Oleh karena itu,
apabila terdapat suatu perjanjian mengenai binary option, perjanjian tersebut
melanggar syarat suatu sebab yang halal, dan dengan demikian perjanjian
tersebut menjadi batal demi hukum.
Dengan batalnya demi hukum suatu perjanjian mengenai binary option, maka wanprestasi tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan adalah perbuatan melawan hukum.
b. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum adalah gugatan perdata yang dapat dilakukan kepada pelaku usaha yang melanggar hukum dan merugikan konsumen. Unsur dari perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur sebagai berikut:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”
Pasal 1365 KUHPerdata
Perbuatan melawan hukum ini dapat digunakan sebagai gugatan karena:
i. Penipuan
ii. Pelanggaran Pasal 9 UU PK
Terhadap sengketa baik pidana atau perdata ini, maka sengketa ini dapat diselesaikan dalam:
i. Pengadilan Negeri, bagi kasus Pidana dan PMH
ii. Badan Penyelesaian Sengkat Konsumen, sebagai alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu sengketa dari pelanggaran Pasal 9 UU PK. BPSK dapat digunakan karena pada dasarnya user binary option dapat dikatakan sebagai pelaku usaha sehingga muncul relasi pelaku usaha dengan konsumen.
Sehingga, dalam hal pemberian perlindungan hukum
preventif sudah tidak dapat relevan karena telah menimbulkan korban, maka
perlindungan hukum represif yakni dalam hal ini penyelesaian sengketa antara
korban dengan penyedia jasa binary option harus dilakukan dengan
maksimal, hal tersebut dilakukan dengan 2 cara, yakni pelaporan kepada pihak
kepolisian bahwa telah dilakukannya tindak pidana penipuan, dimana pihak binary
option melakukan penawaran binary option yang berkedok “trading”,
serta pelanggaran Pasal 9 UU PK dimana pihak binary option menjaminkan
keuntungan yang akan didapatkan apabila korban menggunakan produk jasa dari binary
option itu sendiri dan selanjutnya cara yang kedua adalah melalui gugatan
perdata, dalam bentuk wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh pihak binary option, dengan mengajukan gugatan ganti rugi terhadap
kerugian yang telah dialami oleh korban binary option.
Perlindungan hukum merupakan hak dari semua orang, sehingga bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban binary option melalui pemberian sanksi baik sanksi pidana berupa pidana penjara serta denda, maupun memutus pihak binary option untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban melalui putusan pengadilan merupakan langkah yang harus dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang dalam hal ini merupakan korban binary option itu sendiri.
[1]
Lihat dari U.S Securities and
Exchange Commission, Binary option (https://www.investor.gov/introduction-investing/investing-basics/glossary/binary-options)
[2]
Kontan.co.id, Catat! Binary
Option Adalah Trading Illegal Yang Lebih Mirip Judi (https://investasi.kontan.co.id/news/catat-binary-option-adalah-trading-illegal-yang-lebih-mirip-judi)
[3]Hukumonline,
Perlindungan Hukum: Pengertian, Teori, Contoh, dan Cara Memperolehnya ( https://www.hukumonline.com/berita/a/perlindungan-hukum-contoh–dan-cara-memperolehnya-lt61a8a59ce8062?page=1
, diakses pada tanggal 17 Febuari 2022)
[4]
Pasal 28 D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ease
of access obtained by the public without being equipped with knowledge about an
investment product is currently an obstacle for the community, in terms of
knowing non-investment products under the guise of trading, such as Binary
Options. Knowledge of the permits and
legality of a company operating in the investment sector should also be an
important thing for the public to pay attention to, especially Binary Options
which has caused many victims.
Binary
Options or a type of options contract
where the payout is entirely dependent on the outcome of a yes or no
proposition and is usually related to whether the price of a particular asset
will rise above or fall below a specified amount. Once the option is acquired, no further
decisions have to be made by the holder regarding the exercise of the binary
option because the option is executed automatically. Binary Options do not give the holder the
right to buy or sell the specified asset.
When a binary option expires, the option holder receives a
pre-determined amount of cash or nothing. To be able to trade through binary
options, the user must register and place a cash deposit. From the deposit, the user will place the
nominal to be bet. If the user guess is
correct at the time of trading, then the user will get a profit, and if not
then the nominal stake will be lost. Thus, binary options are not categorized as investment products because the
procedure for using them is through guessing which is more identical to gambling
activities.
Consumers
who suffer losses or what we can call Binary Option victims when using products
from Binary Option service providers should get legal protection. The
definition of legal protection according to Philipus M Hadjon which states that
legal protection is the protection of the dignity and worth, as well as the
recognition of human rights possessed by legal subjects based on legal
provisions from arbitrariness.
Legal protection is regulated in Article 28 D paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which reads:
“Everyone has the right to recognition, guarantee, protection, fair legal certainty, and equal treatment before the law”
Article 28 (d), paragraph (1) of the 1945 Constitution
Legal
protection that can be given to the public against the Binary Option case can
basically be in the form of preventive protection and repressive protection,
where preventive protection is protection provided to prevent disputes from
occurring, and repressive protection is protection that aims to resolve
disputes that occur.
In
terms of preventive protection, it can be done by providing information by the
government through any media, for example the government socializing about
possible losses that will occur if people continue to use the Binary Option
service product. And furthermore, repressive protection can be done by
resolving disputes that have occurred through following up on reports or
requests for compensation experienced by victims to the Binary Option service
provider.
If
preventive protection is not carried out optimally, then the repressive
protection provided to people who are also victims in the case of Binary
Options must be followed up firmly. Repressive legal protection that can be
provided can be through the provision of sanctions against the Binary Option
Party, namely, Criminal Sanctions in the form of imprisonment or fines for
Binary Option parties, as well as civil sanctions in the form of compensation
for both material and immaterial losses for victims of Binary Option service
users.
discussing the law that applies to the validity of Binary Option products in Indonesia, which will relate to the legal protection that will be given to victims of Binary Option service users themselves. Basically, the practice of binary options is prohibited in Law Number 32 of 1997 concerning Commodity Futures Trading (UU 32/1997) as amended by Law Number 10 of 2011. (Law 10/2011) which regulates the practice of prohibited trading practices, specifically influencing other parties (in this sense is the community) to conduct transactions by persuading or giving the hope of profit that is beyond reasonable. This is contained in Article 57 paragraph (2) letter d of Law 10/2011 which reads as follows:
2. Each party is prohibited (d) directly or indirectly influence other parties to conduct Future Contracs, Sharia Derivate Contracts, and/or other Derivative Contracts transactions by persuading or giving the hope of profit that is beyond reasonable.”
Article 57 paragraph (2) letter (d) of Law 10/2011
Perpetrators of prohibited trading practices may be subject to sanctions. According to Law 32/1997, there are two kinds of sanctions that can be imposed on perpetrators of prohibited trading practices, namely administrative and criminal sanctions. Administrative sanctions are contained in Article 69 of Law 32/1997 which reads as follows:
“(1) CoFTRA has the autohrity to impose administrative sanctions for violations of the provisions of this Law and/or its implementing regulations by any Party that obtains a business license, permit, approval, or registration certificate from CoFTRA.
(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) may be in the form of:
a. Written warnings;
b. Administrative fines, namely the obligation to pay a certain amount of money;
c. Limitation of business activities
d. Suspension of business;
e. Revocation of business license;
f. License revocation;
g. Cancellation of approval; and/or
h. Cancellation of registration certificate.”
Article 69 Law 10/2011
The criminal sanctions for prohibited trade practices are contained in Article 72 of Law 32/1997, namely a maximum imprisonment of eight years and a maximum fine of ten billion rupiah, as Article 72 of Law 32/1997 reads as follows:
“Every Party that carries out the prohibited activities as referred to in Article 57 is threatened with a maximum imprisonment of 8 years and a maximum fine of Rp 10,000,000,000.00 (ten billion rupiah)”
Article 72 of Law 32/1997
In addition to sanctions that refer to Law 32/1997, there are rules that regulate binary option service providers as business actors not to promote improperly, and offer something that contains uncertain promises, this refers to Article 9 paragraph (1 ) letter K and paragraph (2) of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK), which reads:
“(1) Business actors are prohibited from offering, promoting, advertising goods and/or services incorrectly, and/or as if: (k) offer something that contains an uncertain promise
(2) The goods and/or services as referred to in paragraph (1) are prohibited to be traded”
Article 9 paragraph (1) letter (k) and paragraph (2) of Law 8/1999
Sanctions for business actors who violate the provisions of Article 9 of the PK Law, namely one of them is to offer or promote an item and/or service as if it contains a promise that will definitely get a profit in the binary option, regulated in Article 62 paragraph (1) and Article 63 PK Law, which reads:
(1) Business actors who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 9, Article 10, Article 13 paragraph (2), Article 15, Article 17 paragraph (1) letter a, letter b, letter c, letter e, paragraph (2), and Article 18 shall be sentences to a maximum imprisonment of 5 (five) years or a maximum fine of Rp 2,000,000,000.00 (two billion rupiah)
Article 62
The criminal sanctions as referred to in Article 62 may be used as additional punishments, in the form of:
a. Confiscation of certain goods;
b. Announcement of judge’s decision;
c. Payment of compensation;
d. Orders to stop certain activities that cause consumer losses;
e. Obligation to withdraw goods from circulation; or
f. Revocation of business license
Article 63
Repressive legal protection is a form of repressive legal protection which is a dispute resolution provided for the victim party who will file a lawsuit in a civil case against a binary option business actor through the Court, as well as a claim in a criminal case through a report to the police which will then be followed up through a court decision, along with the following arguments the arguments that can be included as a form of dispute resolution in the case of binary options, namely:
1. Criminal
a. Fraud
Binary Options actors who
cause victims related to binary options offers under the guise of
“trading” can be categorized as Fraud, which refers to Article 378 of
the Criminal Code, which reads:
“Whoever with the intent to unlawfully benefit himself or another person, by using a false name or false dignity, by deceit, or a series of lies, moves another person to hand over something to him, or to give a debt or write off a debt, is threatened because fraud with a maximum imprisonment of four years.”
b. Violation of Article 62 jo. Article Article 9 of the Consumer Protection Law (UU PK)
As explained above, Article 9 paragraph (1) letter K of the PK Law regulates to prohibit the promotion of the binary option, where there are sanctions that can be applied in the event of a violation of Article 9 as stated in Article 62 of the PK Law, which reads:
(1) Business actors who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 9, Article 10, Article 13 paragraph (2), Article 15, Article 17 paragraph (1) letter a, letter b, letter c, letter e, paragraph ( 2), and Article 18 is sentenced to a maximum imprisonment of 5 (five) years or a maximum fine of Rp. 2,000,000,000.00 (two billion rupiah).”
Article 62 of PK Law
2. Civil Code
a. Default
There is an agreement between
a binary option user and a consumer regarding the use of Binomo which results
in an agreement, as defined in Article 1313 of the Civil Code:
“An agreement is an act in which one or more people bind themselves to one or more other people”
The agreement must be tested through the terms of the validity of the agreement, as contained in Article 1320 of the Civil Code which reads as follows:
“In order for a valid agreement to occur, four
conditions need to be met;
- There is an agreement for those who bind themselves;
- the ability of the parties to enter into an engagement;
- a certain thing;
- a lawful cause”
However,
trading activities through binary options are basically not regulated by
Indonesian law, therefore these trading activities are illegal. Therefore, if there is an agreement regarding
binary options, the agreement violates the terms of a lawful cause, and thus
the agreement becomes null and void.
With the cancellation by law of an agreement regarding binary options, default cannot be used. Therefore, what can be used is an act against the law.
b. Act against the law
Actions against the law are
civil lawsuits that can be made against business actors who violate the law and
harm consumers. The elements of an unlawful
act are regulated in Article 1365 of the Civil Code which regulates the
following:
“Every act that violates the law and
causes harm to others, obliges the person who caused the loss because of his
fault to compensate for the loss.”
This
unlawful act can be used as a lawsuit because:
i. Fraud
ii. Violation of Article 9 of the PK Law
With respect to this civil or criminal
dispute, this dispute can be resolved in:
i) District Court, for Criminal and PMH cases
ii) Consumer Dispute Settlement Agency, as an alternative dispute resolution to resolve consumer disputes, namely disputes from violations of Article 9 of the PK Law. BPSK can be used because basically a binary option user can be said to be a business actor so that a relationship between business actors and consumers emerges.
In addition to the Binary Option Service Provider, there are affiliate parties who are mostly played by public figures. These public figures are parties who have an influence on the community who are then known as binary options affiliates, this is because these public figures are parties that are affiliated or cooperate with business actors who carry out binary options by promoting applications belonging to financial institutions. business entity engaged in the binary options sector. In promoting binary options, these affiliates promise profits by exhibiting assets that are claimed to be obtained from trading through binary options.
The sanctions that can be directed at the Binary Option Affiliate are:
1. Criminal:
Committing acts of co-perpetration in the context of fraud in accordance with Article 378 of the Criminal Code in conjunction with Article 55 of the Criminal Code.
2 (a) Civil Code – Default
Affiliates can be subject to default because
basically there is an agreement related to binary options, in the form of an
agreement to teach, help, and promise profits, with the right for the affiliate
to have his unique code in binary options used by consumers and the obligation
to help consumers in binary options, and
there is a right for consumers to receive assistance from binary options
and the obligation to use unique codes.
However, because the subject matter of the agreement, namely binary options, is illegal, then according to Article 1320 of the Civil Code, the legal requirements in the form of a lawful cause are not fulfilled, and therefore the agreement is invalid, so a default cannot be used. Consumers can sue through PMH.
2 (b) Civil Code – Act against the law
Unlawful acts can be sued through
participating in fraud.
So,
it can be seen that the actions taken by business entities as binary options
actors are illegal actions or actions that violate the law in this case
violating Law Number 32/1997 and the Consumer Protection Law (UU PK), in
addition to offering binary options
People who are under the guise of “trading” may be subject to
the Fraud Article regulated in the Criminal Code. These cases can be filed
through a civil lawsuit to the court in which case the victim can ask for
compensation, as well as a report to the police related to fraud and criminal prosecution against binary
options parties. In addition, the binary
options affiliate who is a public figure who works with the binary option
service provider who benefits can also be a party who is also sued in court in
civil cases.
So,
in terms of providing preventive legal protection it can no longer be relevant
because it has caused victims, then repressive legal protection, namely in this
case the dispute resolution between the victim and the binary option service
provider must be carried out maximally, this is done in 2 ways, namely
reporting to the third party. the police that there has been a criminal act of
fraud, where the binary option party offered a binary option under the guise of
“trading”, as well as a violation of Article 9 of the PK Law where
the binary option party guarantees the profits that will be obtained if the
victim uses the service product of the binary option itself and further methods
the second is through a civil lawsuit, in the form of default and unlawful acts
committed by the binary option party, by filing a claim for compensation for
the losses suffered by the binary option victim.
Legal
protection is the right of everyone, so that the form of legal protection that
can be given to victims of binary options through the provision of sanctions,
both criminal sanctions in the form of imprisonment and fines, as well as
deciding the binary option party to compensate for the losses suffered by the
victim through a court decision is a step that must be taken. This is done to
provide legal certainty for people who in this case are victims of binary
options themselves.