0

Penyitaan Aset Obligor oleh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Ratumas Amaraduhita R.A

Baru-baru ini, ramai diperbincangkan mengenai penyitaan aset jaminan senilai triliunan rupiah suatu perusahaan oleh Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (“Satgas BLBI”).[1] Tugas Satgas BLBI adalah melaksanakan hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti.[2] Pengertian Piutang Negara dituangkan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara. Pasal tersebut menjelaskan:

Pasal 8

“Yang dimaksud dengan Piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun.”

            Berdasarkan pasal tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa suatu perusahaan yang berutang kepada negara (umumnya disebut sebagai obligor) wajib membayarkan sejumlah uang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Utang dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didefinisikan sebagai:

“Pasal 1

6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”

Dalam melakukan upaya penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara, kelompok kerja (“pokja”) Satgas BLBI diklasifikasikan menjadi 3 (tiga). Masing-masing pokja merupakan perwakilan dari Kementerian atau Lembaga Negara. Pertama, Pokja Data dan Bukti yang terdiri atas perwakilan Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Pokja pertama ini bertugas untuk melakukan pengumpulan, verifikasi dan klasifikasi, serta tugas lain dalam rangka penyediaan data dan dokumen terkait debitur atau obligor, jaminan, harta kekayaan lain, perjanjian atau dokumen perikatan lainnya, dan dokumen lain sehubungan penanganan hak tagih BLBI. Kedua, Pokja Pelacakan yang terdiri dari perwakilan Badan Intelijen Negara, Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pokja kedua ini bertugas melakukan pelacakan dan penelusuran data debitur atau obligor, jaminan, harta kekayaan lain, dan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain di dalam dan luar negeri. Ketiga, Pokja Penagihan dan Litigasi yang terdiri dari perwakilan Kejaksaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Pokja ketiga ini bertugas melakukan upaya penagihan, tindakan hukum atau upaya hukum yang diperlukan dalam pengembalian dan pemulihan piutang dana BLBI baik di dalam negeri maupun luar negeri.[3]

Tentu dalam penindakannya, Satgas BLBI harus tetap mengedepankan asas good governance, transparan, akuntabel, dan berpijak pada asas hukum yang bisa dipertanggungjawabakan agar tidak terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dalam melaksanakan hak tagih negara kepada para obligor.[4]

Dasar Hukum:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Referensi:

https://bisnis.tempo.co/read/1604468/terkini-bisnis-satgas-blbi-sita-aset-obligor-di-bogor-jawaban-pertamina-atas-kritik-jokowi?page_num=1

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/satgas-blbi-sita-aset-grup-texmaco-ini-daftarnya/#:~:text=%E2%80%9CTugas%20Satgas%20BLBI%20adalah%20mengembalikan,Pers%20yang%20dilaksanakan%20di%20Kantor Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers Pelantikan Pokja dan Sekretariat Satgas BLBI, Jumat, 4 Juni 2021. https://timlo.net/baca/145078/sri-mulyani-jelaskan-tugas-dan-wewenang-satgas-blbi/ 

https://www.liputan6.com/news/read/4996692/hindari-gugatan-hukum-penyitaan-aset-blbi-dinilai-harus-sesuai-verifikasi

https://bisnis.tempo.co/read/1604468/terkini-bisnis-satgas-blbi-sita-aset-obligor-di-bogor-jawaban-pertamina-atas-kritik-jokowi?page_num=1

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/satgas-blbi-sita-aset-grup-texmaco-ini-daftarnya/#:~:text=%E2%80%9CTugas%20Satgas%20BLBI%20adalah%20mengembalikan,Pers%20yang%20dilaksanakan%20di%20Kantor

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers Pelantikan Pokja dan Sekretariat Satgas BLBI, Jumat, 4 Juni 2021. https://timlo.net/baca/145078/sri-mulyani-jelaskan-tugas-dan-wewenang-satgas-blbi/

https://www.liputan6.com/news/read/4996692/hindari-gugatan-hukum-penyitaan-aset-blbi-dinilai-harus-sesuai-verifikasi

0

Legal Protection of Franchisee Against Franchisor Declared Bankrupt

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Legal Basis

  • Law Number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations
  • Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company
  • Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 regarding Franchise

Waralaba merupakan sistem bisnis yang diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019). Waralaba didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Permendag 71/2019 sebagai berikut:

“Waralaba adalah adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba”

Kriteria Waralaba diatur dalam Pasal 2 Permendag 71/2019, sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha, yakni usaha tersebut memiliki keunggulan, keunikan atau perbedaan yang nyata dengan jenis usaha lainnya.
  2. Adanya pengalaman paling sedikit 5 tahun serta sudah memiliki kiat bisnis yang kokoh untuk diterapkan serta menguntungkan.
  3. Adanya SOP yang lengkap dan komprehensif secara tertulis.
  4. Jenis usaha dapat dengan mudah diajarkan oleh Pemberi Waralaba dan dapat diaplikasikan dengan mudah oleh Penerima Waralaba.
  5. Adanya dukungan secara berkelanjutan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba dalam bentuk bimbingan operasional, pelatihan dan promosi  serta Penerima Waralaba berhak meminta bantuan, bimbingan dan saran dari Pemberi Waralaba.
  6. Inti bisnis Waralaba harus termasuk dalam lingkup hak kekayaan intelektual, salah satunya adalah Merek Dagang.

Dasar bisnis Waralaba adalah Perjanjian Waralaba. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 Permendag 71/2019 sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan Waralaba harus didasarkan pada Perjanjian Waralaba yang dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.
  2. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan hukum Indonesia dan memuat paling sedikit materi atau klausula sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  3. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada calon Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba lanjutan paling lambat 2 (dua) minggu sebelum penandatanganan Perjanjian Waralaba.
  4. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis menggunakan bahasa Indonesia 

Isi Perjanjian Waralaba harus memuat sekurang-kurangnya klausul yang telah ditentukan oleh Lampiran II Permendag 70/2019, sebagai berikut:

  1. Identitas para Pihak
  2. Jenis kekayaan intelektual
  3. Inti bisnis
  4. Hak dan kewajiban
  5. Bimbingan dan dukungan
  6. Pembagian wilayah bisnis
  7. Jangka waktu
  8. Pembayaran imbalan
  9. Kepemilikan
  10. Dispute settlement
  11. Perpanjangan/pengakhiran
  12. Jaminan 

Salah satu yang diatur dalam Perjanjian Waralaba adalah mengenai kepastian hukum dari kelangsungan Waralaba. Salah satunya adalah kepastian hukum kelangsungan Waralaba sebagaimana diakibatkan oleh perubahan kepemilikan Waralaba. Salah satu contoh konkret dari adanya perubahan kepemilikan Waralaba adalah adanya kepailitan terhadap Pemberi Waralaba.

Pailit didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) dalam Pasal 1 sebagai sita umum yang atas semua kekayaan debitor yang sudah dinyatan pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. 

Syarat dari putusan pailit diatur dalam Pasal 2 UU 37/2004, adalah adanya dua atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, atas permohonannya sendiri untuk diputus pailit atau karena permohonan satu kreditor atau lebih kreditornya.

Bagaimana dengan harta pailit yang bertempat di wilayah luar negeri / cross-border insolvency (CBI)? Saat ini terdapat perjanjian internasional yang mengatur mengenai CBI, salah satunya adalah UNCITRAL yang mengeluarkan Model Law on Cross-Border Insolvency. Namun Indonesia belum mengadopsi perjanjian internasional yang mengatur mengenai CBI untuk melakukan eksekusi terhadap putusan kepailitan pengadilan Indonesia di luar negeri, dan mengandalkan asas resiprokal (pengakuan akan putusan asing).

Dampak dari pailit adalah sebagai berikut:

  1. Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (Pasal 24 ayat (1) UU 37/2004)
  2. Pembubaran dan likuidasi Perusahaan (Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007):
    1. Dicabutnya kepailitan
    2. Harta pailit dalam keadaan insolvensi

Dengan adanya dampak pailit bagi Pemberi Waralaba maka akibat yang dapat timbul kepada Penerima Waralaba adalah:

  1. Adanya ketidakpastian kelangsungan Waralaba dikarenakan pailitnya perusahaan Pemberi Waralaba.
  2. Penerima Warlaba dapat dirugikan dari adanya ketidakpastian kelangsungan Waralaba tersebut.

Oleh karena itu, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Penerima Waralaba apabila Pemberi Waralaba dipailitkan adalah sebagai berikut:

  1. Meminta kepastian kelangsungan Waralaba kepada Kurator.
  2. Jika Kurator tidak memberikan kepastian, Penerima Waralaba dapat memohon kepada Hakim Pengawas untuk memaksa agar Kurator segera memberikan kepastian dari kelangsungan Waralaba.
  3. Melakukan upaya preventif dengan mengatur klausula mengenai hubungan Waralaba dalam Perjanjian apabila Pemberi Waralaba dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Franchise is a business system regulated by Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 regarding Franchise (MOT 71/2019). It defined in Article 1 point 1 of MOT 71/2019 as follows:

“”Franchise is a special right owned by an individual or a business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven to be successful and can be utilized and/or used by other parties based on a Franchise Agreement””[1]

Franchising criterias are regulated in Article 2 of the MOT 71/2019, as follows: 

  1. Having a business characteristic, namely that the business has advantages, uniqueness or real differences with other types of businesses.
  2. Have at least 5 years of experience and already have solid business tips to implement and be profitable.
  3. There is a complete and comprehensive written standard operating procedure.
  4. The type of business can be easily taught and easily applied by the Franchisor.
  5. There is ongoing support from the Franchisor to the Franchisee in the form of operational guidance, training and promotion and the Franchisee has the right to request assistance, guidance and advice from the Franchisor.
  6. The core business of the Franchise must be included in the scope of intellectual property rights, one of which is a Trademark.

The basis of the Franchise business is the Franchise Agreement. This provision is regulated in Article 6 of Permendag 71/2019 as follows:

  • Franchising must be based on a Franchise Agreement made between parties who have equal legal standing and Indonesian law applied to them.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) is made based on Indonesian law and contains at least the material or clause as contained in Attachment II which is an integral part of this Ministerial Regulation.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) must be submitted to the prospective Franchisee or further Franchisee at least 2 (two) weeks prior to the signing of the Franchise Agreement.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) must be written in Indonesian.

The contents of the Franchise Agreement must contain at least the clauses that have been determined by Attachment II to MOT 70/2019, as follows:

  1. Identity of the Parties
  2. Types of intellectual property
  3. Business core
  4. Rights and obligations
  5. Guidance and support
  6. Division of business area
  7. Term
  8. Payment of rewards
  9. Ownership
  10. Dispute settlement
  11. Extension/termination
  12. Guarantee

One of the provisions in the Franchise Agreement is the legal certainty of the continuity of the Franchise. These provisions are the legal certainty of franchise continuity due to the changes in franchise ownership. One concrete example of a change in the ownership of a franchisee is the bankruptcy of the franchisor.

Bankruptcy is defined by Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (Law 37/2004) in Article 1 as a general confiscation of all of a debtor’s assets that have been declared bankrupt whose management and settlement are carried out by a curator under an appointed supervisory judge by the Commercial Court.

The condition for the bankruptcy decision is regulated in Article 2 of Law 37/2004, which states that there are two or more creditors and inability to pay debts that are due and collectible, at their own request to be declared bankrupt or because of the application of one or more creditors.

What about bankrupt assets that are located in a foreign territory / cross-border insolvency (CBI)?

Currently, there are international agreements that regulate CBI, one of which is UNCITRAL which issues the Model Law on Cross-Border Insolvency. However, Indonesia has not yet adopted an international agreement that regulates the CBI to execute bankruptcy decisions of Indonesian courts abroad, and relies on the reciprocal principle (recognition of foreign decisions).

The effects of bankruptcy are as follows:

  1. The debtor by law loses his right to control and manage his assets which are included in the bankruptcy estate, from the date the bankruptcy declaration decision is pronounced. (Article 24 para (1) of Law 37/2004)
  2. Dissolution and liquidation of the Company (Article 142 para (1) of Law 40/2007):
    1. Bankruptcy is lifted
    1. Bankruptcy assets in a state of insolvency

With the impact of bankruptcy for the Franchisor, the consequences that may arise for the Franchisee are:

  1. There is uncertainty about the continuity of the Franchise due to the bankruptcy of the Franchisor.
  2. The Franchisee may be harmed from the uncertainty of the continuity of the Franchise.

Therefore, legal remedies that can be taken by the Franchisee if the Franchisor is bankrupt are as follows:

  1. Asking the Curator to confirm the continuity of the franchise.
  2. If the Curator does not provide certainty, the Franchisee may request the Supervisory Judge to force the Curator to immediately provide certainty of the continuity of the Franchise.
  3. Carry out preventive measures by setting a clause regarding the Franchise relationship in the Agreement if the Franchisor is declared bankrupt by the Commercial Court.

[1] Pasal 1 Permendag 71/2019

Translate