1

Electronic Evidence as Court Evidence

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Didalam persidangan baik perdata maupun pidana, terdapat dalil-dalil yang diberikan oleh para pihak, pihak-pihak yang mendalilkan tersebut harus membuktikan apa yang sudah didalilkan, dalam pembuktian dalil tersebut, maka pihak akan dibantu dengan adanya alat bukti yang sah menurut pengadilan pada saat persidangan.

Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan , dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat di pergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Menurut M. Yahya Hararap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menyatakan, bahwa alat bukti (bewijsmiddle) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberikan keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.[1]

Seiring dengan perkembangannya waktu, alat-alat bukti yang dapat dipakai dalam persidangan tidak hanya berupa bukti tertulis, keterangan ahli dan semacamnya, terlebih di di dalam era perkembangan teknologi yang berkembang pesat. Selain berbentuk nyata, alat bukti juga dapat berbentuk audio dan visual yang berada dalam perangkat elektronik, hal ini disebut dengan alat bukti elektronik.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), Alat Bukti Elektronik didefinisikan sebagai Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik, dimana dalam Pasal 1 Angka 1 jo. Pasal 1 Angka 4 UU ITE menyatakan sebagai berikut:

Pasal 1

  1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  2. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”[2]

Di dalam Pasal 1865 dan 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang Alat Bukti Menurut Hukum Perdata, yakni :

“ Pasal 1865

Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.

Pasal 1866

Alat pembuktian meliputi:

  • bukti tertulis;
  • bukti saksi;
  • persangkaan;
  • pengakuan;
  • sumpah.”[3]

Selain itu, pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatur mengenai Alat Bukti yang sah menurut hukum pidana, yakni:

“Alat bukti yang sah ialah :

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa. “[4]

Pengaturan mengenai Keabsahan alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE , yang berbunyi:

Pasal 5

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.[5]

Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 19/2016 (ITE), yang berbunyi:

“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”[6]

Sebagai contoh, Handphone atau Komputer merupakan perangkat elektronik, dan transaksi jual beli , email, chat dan rekaman-rekaman berupa audio dan visual yang terdapat dalam perangkat elektronik didefinisikan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik.

         Bukti elektronik dihadirkan dalam persidangan dengan berbagai alasan, baik untuk membuktikan kronologis suatu peristiwa maupun keterlibatan seseorang dalam suatu peristiwa. Bukti Elektronik juga tidak mengenal batas geografis dan batas yuridiksi , sehingga bisa digunakan sebagai bukti pada tindak pidana kejahatan lintas negara misalnya tindakan pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

         Bukti elektronik biasanya menyimpan data-data yang sifatnya sangat pribadi, mulai dari data diri, keluarga, sampai dengan data-data yang berhubungan dengan pekerjaan dan keuangan, karena itu penggunaannya yang tidak tepat berpotensi melanggar batas privasi dan kerahasiaan data pribadi.

Terdapat perbedaan mengenai keabsahan antara bukti otentik dalam wujud nyata dan bukti elektronik, di dalam hukum perdata terdapat akta otentik atau akta yang dibuat oleh notaris dimana dalam pembuktian di persidangan, akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi pihak yang bersengketa, selama tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya.

Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE, menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. [7] Mengacu kepada KUHAP Pasal 183 mengenai syarat formil dan materil, terhadap alat bukti elektronik pun harus terpenuhi syaratnya yaitu:

  • Syarat formil: bukti elektronik harus sah yaitu otentik (diambil dari pemilik yang sah) dan terjaga integritasnya.
  • Syarat materil: bukti elektronik harus relevan atau sesuai dengan tindak pidana dan identitas terdakwa.

Berbeda dengan Bukti Elektronik, dengan sifatnya yang mudah dirusak, mudah dipindahkan, mudah digandakan dan disebarluaskan. Sehingga, dalam pembuktian melalui Bukti Elektronik harus melalui proses autentifikasi dan menjaga integritas data yang merupakan syarat formil alat bukti elektronik, adapun syarat formil yang perlu dilakukan, sebagai berikut:

  1. Autentifikasi

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik asli dan tidak dimanipulasi:

  1. Terdapat dokumentasi yang dapat menunjukkan data adalah yang sebenarnya seperti:
  2. Berita Acara yang memuat deskripsi perangkat elektronik yang disita, orang yang melakukan dan persetujuan para pihak.
  3. Chain of Custody yang berisi informasi deskripsi lengkap perangkat elektronik dan bukti elektronik (merek, nomor model, nomor seri, kapasitas, dll) serta seluruh aktivitas forensik digital.
    1. Dokumentasi pada poin sebelumnya disertai dengan validasi seperti tandatangan baik digital maupun tertulis, keterangan tanggal, dan cap baik digital maupun tertulis.
    1. Dokumentasi pada poin sebelumnya mencantumkan dengan jelas sumber data, pemilik sumber data dan orang yang mengakuisisinya.
  • Integritas Data (Pasal 16 UU ITE)

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik terjaga integritasnya (kondisi ketika dihadirkan di persidangan sama seperti ketika bukti elektronik ditemukan)

  • Terdapat dokumentasi yang dapat menunjukkan data terjaga keutuhannya seperti Chain of Custody dan foto hasil verifikasi integritas data (seperti hash).
  • Terdapat Chain of Custody yang mencatat seluruh aktivitas yang dilakukan terhadap bukti elektronik untuk membuktikan bahwa prosedur forensik digital sesuai dengan standar Chain of custody didukung oleh bukti lainnya seperti keterangan saksi dan keterangan ahli.

Selain syarat formil, terdapat syarat materiil yang harus dipenuhi dalam pembuktian alat bukti elektronik, dengan melakukan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Relevan

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik relevan dengan tindak pidana dan terdakwa yang terdapat dalam dakwaan.

  • Bukti elektronik mencantumkan dengan jelas nama terdakwa.
  • Tanggal yang terdapat dalam bukti elektronik sesuai dengan ruang  lingkup penyidikan/perkara.
  • Tidak menyangkut privasi seseorang yang tidak sesuai dengan tuntutan.
  • Reliabel
  • Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik menunjukkan fakta yang sebenarnya.
  • Interpretasi fakta dari bukti elektronik tidak bermakna ganda.
  • Terdapat alat bukti lain yang mendukung fakta yang ditunjukkan oleh bukti elektronik seperti keterangan saksi dan keterangan ahli.
  • Kecukupan

Melakukan penilaian bahwa bukti elektronik yang dikumpulkan telah cukup dari seluruh pihak yang terlibat dan Bukti elektronik telah diperoleh dari seluruh pihak yang terlibat.

Penilaian tersebut di atas tidak bersifat mutlak. Hakim harus pula mempertimbangkan bukti elektronik sesuai dengan bobot pembuktiannya dalam suatu perkara. Berikut adalah dokumen dan informasi yang dapat diperiksa oleh Hakim untuk mendapatkan keyakinan atas pemenuhan syarat formil dan materil suatu bukti elektronik.

Syarat Formil pada dokumen dan Informasi Elektronik:

  1. Surat tugas penunjukan ahli atau legalitas lainnya yang menunjukkan sahnya akses terhadap bukti elektronik :
  2. Jika berkaitan dengan tindak pidana, Surat Tugas Penunjukkan Ahli yang diberikan oleh penyidik harus dapat dibuktikan.
  3. Jika berkaitan dengan perkara lain, legalitas yang dapat menjadi bukti adalah perse- tujuan pemilik perang kat elektronik.
  4. Berita Acara :
  5. Jika berkaitan dengan tindak pidana, dibutuhkan Berita Acara Penyitaan yang di dalamnya memuat deskripsi lengkap perangkat elektronik yang disita, kondisi bukti dan nama ahli yang melakukannya. Nama ahli harus sesuai dengan yang tertera pada Surat Tugas Penunjukkan Ahli.
  6. Jika berkaitan dengan perkara lain, isi berita acara yang dibuat sama seperti yang ditulis pada Berita Acara Penyitaan. Yang membedakan adalah harus adanya tanda tangan dari pihak yang berwe- nang memberikan perangkat elektronik.
  7. Chain of Custody (CoC) dimana CoC harus berisi kondisi ditemukannya bukti elektronik, deskripsi lengkap perangkat elektronik, hasil verifikasi intergritas, proses preservasi, proses akuisisi, proses analisis, dan ahli yang melakukannya.
  8. Laporan Ahli Forensik :
  9. Otentikasi dan integritas bukti elektronik dapat diperiksa dari verifikasi integritas data seperti mencocokkan message digest, verifikasi hashing, pengecekan nomor genggam konfirmasi telepon dengan nama pengguna, dan pengecekan registry.
  10. Apabila nilai hashing, tidak dapat diverifikasi dan/atau nilainya berbeda, maka Hakim harus memastikan adanya justifikasi yang terdokumentasi dalam laporan.

Syarat Materiil pada dokumen dan Informasi Elektronik:

  1. Chain of Custody (CoC) dimana jika dibutuhkan, Hakim dapat melakukan pengecekan syarat relevan dan kecukupan bukti elektronik dari CoC. Di antaranya dengan cara menelusuri semua tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik dan informasi lain yang ditulis dalam CoC seperti kelengkapan fisik (kabel, interface) dan kelengkapan logika (akun, password, aplikasi).
  2. Laporan Ahli Forensik terhadap bukti elektronik harus diperiksa relevansi dan reliabilitasnya dari transkrip, rekonstruksi dan kronologis peristiwa yang tercantum dalam laporan forensik.[8]

Mengacu pada regulasi standar internasional, yakni Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence yang dikeluarkan oleh Association of Chief Police Officers (ACPO) yang merupakan asosiasi para pimpinan kepolisian di Inggris yang berkerja sama dengan 7Safe dengan melahirkan 4 prinsip dasar penanganan bukti elektronik, yaitu:

  1. Intergritas Data

Bukti Elektronik memiliki karakteristik yang sangat rentan karena mudah direkayasa, dihapus, digandakan, atau disebarluaskan sehingga membutuhkan penanganan khusus agar data dan informasi yang terkandung dalam perangkat elektronik terjaga keutuhannya.

Setiap tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik, tidak boleh mengubah atau merusak data yang tersimpan di dalamnya. Membuktikan terjaganya integritas data antara lain dengan melakukan : Verifikasi Hash, Dokumentasi seluruh tindakan terhadap bukti elektronik, dan penggunaan write blocker ketika mengakuisisi bukti elektronik.

  • Dilakukan oleh Personel yang kompeten

Personel yang kompeten merupakan personel yang terlatih menangani bukti elektronik, kompeten, dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang diambil dalam proses penanganan bukti elektronik.

  • Audit Trail / Chain of Custody (Coc) / Berita Acara

Bahwa setiap tindakan dalam prosedur penangan bukti elektronik dari awal sampai akhir harus didokumentasikan dipelihara dan dapat dievaluasi oleh pihak lain termasuk hakim. Hal ini dapat membuktikan bahwa setiap tindakan terhadap bukti elektronik dapat dipertanggungjawabkan.

  • Kepatuhan Hukum dan Peraturan Perundangan.

Harus melekat dalam penerapan seluruh prinsip pada setiap tahapan penanganan bukti elektronik, setiap personel yang bertanggung jawab atas bukti elektronik, harus memastikan bahwa proses berlangsung sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku sesuai dengan yurisdiksi hukum terkait.[9]

Ke 4 prinsip tersebut harus dijaga sejak bukti elektronik tersebut ditemukan hingga dihadirkan dalam persidangan.

Proses penanganan bukti elektronik :

  1. Identifikasi

Menurut ISO / SNI 27037 dalam tahapan identifikasi, terdiri dari kegiatan:

  1. Identifikasi

Personel mengidentifikasi data apa saja yang berpotensi menjadi bukti, dan menentukan beberapa pertimbangan atas penanganan pertama di lapangan antara lain, pengamanan area, perangkat yang berpotensi ditemukannya bukti elektronik, perangkat forensi apa yang harus disiapkan, dan prosedur akusisi apa yang digunakan, dan potensi resiko apa yang dapat terjadi.

  • Pengumpulan & Akuisisi

Saat melakukan pengumpulan dan akuisisi peralatan forensik harus memenuhi regulasi yang mengatur ketentuan atas perangkat dan perangkat lunak, prosedur pengumpulan terhadap bukti elektronik harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan keadaan dan status perangkat saat disita.

  • Preservasi (pengamanan data)

Personel harus memastikan data potensial yang mengandung bukti tidak rusak atau berubah karena kelembapan, medan magnet, suhu , debu, atau guncangan. Perangkat yang mengandung bukti elektronik harus dikemas dengan benar dan aman.

  • Eksaminasi

Dalam tahapan ini, data yang terdapat dalam perangkat elektronik disalin secara identik atau imaging, proses ini menghasilkan data yang identik seperti yang terdapat dalam perangkat elektronik asal yang disebut file image. File image dibuat dalam 2 salinan yaitu master copy dan working copy, master copy dan perangkat asal harus dijaga keutuhannya dan tidak boleh diakses siapapun, hingga nanti dihadirkan di persidangan. Sedangkan working copy digunakan oleh data examiner untuk diperiksa di olah dan dianalisis guna menemukan data informasi yang terkait dengan perkara.

  • Analisis

Dilakukan oleh seorang analis terhadap data yang telah diambil untuk mencari bukti bukti pendukung perkara.

  • Pelaporan

Seluruh rangkaian tahapan penanganan bukti elektronik beserta dengan hasil akhir bukti elektronik yang akan dihadirkan dalam persidangan harus dicatat dalam laporan hasil pemeriksaan forensik, laporan ini harus disertakan dalam berkas perkara.

Hakim harus dapat meneliti pemenuhan syarat formil dan syarat materiil, sehingga dapat keyakinan dalam memutuskan perkara di persidangan, syarat formil bahwa bukti diperoleh dengan sah, syarat materiil bahwa bukti tersebut relevan dengan dalil yang akan dibuktikan.

Walaupun Bukti Elektronik menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE diakui keabsahannya sebagai Alat Bukti, akan tetapi dalam penerapannya, penegak hukum tidak serta merta dapat mengambil bukti elektronik sebagai bukti di persidangan, terkait dengan sifat bukti elektronik yang tersimpan di perangkat elektronik yaitu mudah rusak, mudah dipindahkan dan mudah digandakan. Oleh karena itu, jika data yang menyimpan informasi yang sangat pribadi dan harus dipakai dalam bukti persidangan, maka harus terdapat perlindungan data elektronik sehingga data tersebut tidak rusak dan tidak disebarluaskan.

Penanganan Data-data elektronik oleh penegak hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak boleh diambil dan dipindahtangankan tanpa melalui sebuah rangkaian prosedur dan dengan metode digital forensik yang benar. Pada prinsipnya, dalam pemeriksaan bukti elektronik di persidangan hakim harus memastikan bahwa Isi atau data perangkat elektronik tetap utuh dan tidak berubah, Informasi di dalamnya berasal dari sumber yang di claim para pihak, Informasi tersebut akurat dan diperoleh melalui prosedur yang sah, Informasi dinilai kesesuaiannya dengan bukti-bukti lain.


[1] Dimas Hutomo, S.H., “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana”,(https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana-lt5c4ac8398c012 , diakses pada tanggal 2 Febuari 2022)

[2] Pasal 1 Angka 1 jo. Pasal 1 Angka 4 UU ITE

[3] Pasal 1865 dan 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[4] Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[5] Pasal 5 ayat (1) UU ITE

[6] Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 19/2016 (ITE)

[7] Pasal 5 ayat (2) UU ITE

[8] Happy Try Sulistiyono, S.H., M.H. , Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, “Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan”, Varia Peradilan Edisi Digital 1, Ikatan Hakim Indonesia Varia Peradilan, 2020, (https://www.varia-peradilan.id/articles/read/7/prosedur-autentifikasi-alat-bukti-elektronik-pada-pemeriksaan-persidangan , diakses pada 3 Febuari 2022)

[9]Eka Fitri Hidayati, Pengadilan Agama Kotabumi, https://pa-kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel-makalah/1037-keabsahan-pembuktian-elektronik-dalam-persidangan-perdata-di-pengadilan-agama.html#:~:text=Dalam%20Pasal%205%20ayat%20(1,yang%20diatur%20dalam%20UU%20ITE, diakses pada tanggal 3 Febuari 2022)

 ​In both civil and criminal trials, there are arguments given by the parties, the parties who postulate must prove what has been argued, in proving these arguments, the parties will be assisted by the existence of valid evidence according to the court at the time the judge.

 Evidence means everything that has to do with an act, where with the evidence, it can be used as evidence to raise the judge’s belief in the truth of a criminal act that has been committed by the defendant.

 According to M. Yahya Hararap in his book entitled Civil Procedure Law states that evidence (bewijsmiddle) is a form and type that can assist in providing information and explanations about a case problem to assist the judge’s assessment in court.

 Along with the development of time, the evidence that can be used in the trial is not only in the form of written evidence, expert testimony and the like, especially in this era of rapidly developing technology.  In addition to being tangible, evidence can also be in the form of audio and visual that is in an electronic device, this is called electronic evidence.

 In Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (UU ITE), Electronic Evidence is defined as Electronic Information and/or electronic documents, which in Article 1 Number 1 jo.  Article 1 Number 4 of the ITE Law states as follows:

” Article 1

 1. Electronic Information is one or a set of electronic data, including but not limited to writing, sound, pictures, maps, designs, photographs, electronic data interchange (EDI), electronic mail (electronic mail), telegram, telex, telecopy or the like,  processed letters, signs, numbers, Access Codes, symbols, or perforations that have meaning or can be understood by people who are able to understand them.

 4. Electronic Document is any Electronic Information that is created, forwarded, sent, received, or stored in the like, which can be seen, displayed, and/or heard through a Computer or Electronic System, including but not limited to writing, sound, pictures, maps,  designs, photos or the like, letters, signs, numbers, Access Codes, symbols or perforations that have meaning or meaning or can be understood by people who are able to understand them.”

In Articles 1865 and 1866 of the Civil Code regulates the Evidence according to Civil Law, namely:

“Article 1865”

Every person who claims to have a right, or points to an event to confirm his right or to refute a right of another person, must prove the existence of that right or the event that is stated.

Article 1866

Evidence tools include:

• written evidence;

• witness evidence;

• conjecture;

• confession;

• oath.”

In addition, Article 184 of the Criminal Procedure Code regulates the legal evidence according to criminal law, namely:

“Legal evidence is:

a. witness testimony;

b. expert testimony;

c. letter;

d. instruction;

e. defendant’s statement. “

The regulation regarding the validity of electronic evidence in the form of electronic information and electronic documents is regulated in Article 5 paragraph (1) of the ITE Law, which reads:

“Article 5”

(1) Electronic Information and/or Electronic Documents and/or their printouts are valid legal evidence.”

Elucidation of Article 5 Paragraph (1) of Law 19/2016 (ITE), which reads:

 “That the existence of Electronic Information and/or Electronic Documents is binding and recognized as legal evidence to provide legal certainty for the Operation of Electronic Systems and Electronic Transactions, especially in evidence and matters relating to legal actions carried out through the Electronic System.”

 ​

 For example, a cellphone or computer is an electronic device, and buying and selling transactions, e-mail, chat and audio and visual recordings contained in electronic devices are defined as electronic information and electronic documents.

 ​Electronic evidence is presented in court for various reasons, both to prove the chronology of an event or someone’s involvement in an event.  Electronic evidence also knows no geographical boundaries and jurisdictional boundaries, so it can be used as evidence in transnational crimes such as corruption and money laundering.

 ​Electronic evidence usually stores very personal data, ranging from personal, family data, to data related to work and finances, therefore its improper use has the potential to violate the privacy and confidentiality of personal data.

 There is a difference regarding the validity between authentic evidence in tangible form and electronic evidence, in civil law there is an authentic deed or a deed made by a notary where in proof at trial, an authentic deed is a perfect proof tool for the disputing parties, as long as neither party is contradicting each other.  prove otherwise.

 Article 5 paragraph (2) of the ITE Law states that electronic evidence is an extension of legal evidence in accordance with the procedural law applicable in Indonesia.  Referring to Article 183 of the Criminal Procedure Code regarding formal and material requirements, the conditions for electronic evidence must also be met, namely:

 • Formal requirements: electronic evidence must be valid, namely authentic (taken from the rightful owner) and its integrity maintained.

 • Material requirements: electronic evidence must be relevant or in accordance with the crime and the identity of the accused.

 In contrast to Electronic Evidence, by its nature that is easy to destroy, easy to move, easy to be copied and disseminated.  So, in proving through Electronic Evidence, you must go through the authentication process and maintain data integrity which is a formal requirement for electronic evidence, while the formal requirements that need to be done are as follows:

1. Authentication

 Assess that electronic evidence is genuine and not manipulated:

 a.  There is documentation that can show the data is real such as:

 – Minutes containing a description of the confiscated electronic device, the person who carried it out and the agreement of the parties.

 – Chain of Custody which contains complete description information of electronic devices and electronic evidence (brand, model number, serial number, capacity, etc.) as well as all digital forensic activities.

 b.  The documentation in the previous point is accompanied by validation such as digital and written signatures, date information, and digital or written stamps.

 c.  The documentation in the previous point clearly lists the data source, the owner of the data source and the person who acquired it.

 2. Data Integrity (Article 16 of the ITE Law)

 Conduct an assessment that the integrity of electronic evidence is maintained (the conditions when presented at trial are the same as when electronic evidence is found)

 – There is documentation that can show data integrity is maintained such as Chain of Custody and photos of data integrity verification results (such as hashes).

 – There is a Chain of Custody that records all activities carried out on electronic evidence to prove that digital forensic procedures are in accordance with Chain of custody standards supported by other evidence such as witness statements and expert statements.

 In addition to formal requirements, there are material requirements that must be met in proving electronic evidence, by fulfilling the following requirements:

1. Relevant

 Conduct an assessment that the electronic evidence is relevant to the crime and the defendants contained in the indictment.

 • Electronic evidence clearly states the name of the accused.

 • The date contained in the electronic evidence is in accordance with the scope of the investigation/case.

 • Does not concern someone’s privacy that is not in accordance with the demands.

 2. Reliable

 • Conduct an assessment that electronic evidence shows the actual facts.

 • Interpretation of facts from electronic evidence is not ambiguous.

 • There are other evidences that support the facts shown by electronic evidence such as witness statements and expert statements.

 3. Adequacy

 Assessing that the electronic evidence collected is sufficient from all parties involved and that electronic evidence has been obtained from all parties involved.

 The above assessment is not absolute.  Judges must also consider electronic evidence in accordance with the weight of the evidence in a case.  The following are documents and information that can be examined by a judge to obtain confidence in the fulfillment of the formal and material requirements of an electronic evidence.

Formal requirements on documents and Electronic Information:

 1. Assignment letter of expert appointment or other legality that shows the legal access to electronic evidence:

 • If it is related to a criminal act, the Letter of Assignment of Expert Appointment given by the investigator must be proven.

 • If it is related to other cases, the legality that can be evidenced is the consent of the owner of the electronic device.

 2. Minutes of Events:

 • If it is related to a criminal act, a Minutes of Confiscation is required which contains a complete description of the confiscated electronic device, the condition of the evidence and the name of the expert who did it.  The name of the expert must match what is stated in the Letter of Assignment of Expert Appointment.

 • If it is related to other cases, the contents of the minutes made are the same as those written in the Minutes of Confiscation.  The difference is that there must be a signature from the party authorized to provide the electronic device.

 3. Chain of Custody (CoC) where the CoC must contain the conditions for the discovery of electronic evidence, a complete description of the electronic device, the results of the integrity verification, the preservation process, the acquisition process, the analysis process, and the expert who did it.

 4. Forensic Expert Report:

 • Authentication and integrity of electronic evidence can be checked by verifying data integrity such as matching message digests, hashing verification, checking mobile phone confirmation numbers with usernames, and checking registry.

 • If the hashing value cannot be verified and/or the value is different, the Judge must ensure that there is a documented justification in the report.

Material requirements on documents and Electronic Information:

 1. Chain of Custody (CoC) where if needed, the Judge can check the relevant requirements and the adequacy of electronic evidence from the CoC.  Among other things, by tracing all actions taken against electronic evidence and other information written in the CoC such as physical completeness (cables, interfaces) and logical completeness (accounts, passwords, applications).

 2. Forensic Expert’s report on electronic evidence must be checked for relevance and reliability of the transcript, reconstruction and chronology of events listed in the forensic report.

 Referring to international standard regulations, namely the Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence issued by the Association of Chief Police Officers (ACPO), which is an association of police leaders in the UK in collaboration with 7Safe by giving birth to 4 basic principles for handling electronic evidence, namely  :

1. Data Integrity

 Electronic Evidence has characteristics that are very vulnerable because it is easily manipulated, deleted, duplicated, or disseminated so that it requires special handling so that the data and information contained in electronic devices are maintained in their integrity.

 Every action taken on electronic evidence, must not change or damage the data stored in it.  Proving that data integrity is maintained, among others, by performing: Hash Verification, Documentation of all actions against electronic evidence, and the use of write blockers when acquiring electronic evidence.

 2. Conducted by competent personnel

 Competent personnel are personnel who are trained to handle electronic evidence, are competent, and are able to provide explanations for every decision taken in the process of handling electronic evidence.

 3. Audit Trail / Chain of Custody (Coc) / Minutes

 That every action in the electronic evidence handling procedure from start to finish must be documented, maintained and can be evaluated by other parties including judges.  This can prove that every action against electronic evidence can be accounted for.

 4. Legal Compliance and Legislation.

 Must be embedded in the application of all principles at every stage of handling electronic evidence, every personnel responsible for electronic evidence, must ensure that the process takes place in accordance with applicable laws and regulations in accordance with the relevant legal jurisdiction.

 These 4 principles must be maintained from the time the electronic evidence is found until it is presented in court.

Process for handling electronic evidence:

 1. Identification

 According to ISO / SNI 27037 in the identification stage, it consists of the following activities:

 a.  Identification

 Personnel identify what data has the potential to become evidence, and determine several considerations for first handling in the field, including, area security, devices that have the potential to be found electronic evidence, what forensic devices must be prepared, and what acquisition procedures are used, and what potential risks.  that can happen.

 b.  Collection & Acquisition

 When carrying out the collection and acquisition of forensic equipment must comply with regulations governing the provisions of devices and software, collection procedures for electronic evidence must be carried out appropriately according to the circumstances and status of the equipment when it was confiscated.

 c.  Preservation (data security)

 Personnel must ensure that potential data containing evidence is not damaged or altered by humidity, magnetic fields, temperature, dust or shock.  Devices containing electronic evidence must be packaged properly and securely.

2. Examination

 In this stage, the data contained in the electronic device is copied identically or imaging, this process produces identical data as contained in the original electronic device called an image file.  The image file is made in 2 copies, namely the master copy and working copy, the master copy and the original device must be kept intact and may not be accessed by anyone until they are presented in court.  While the working copy is used by the data examiner to be examined, processed and analyzed in order to find information data related to the case.

 3. Analysis

 Conducted by an analyst on the data that has been taken to look for evidence supporting the case.

 4. Reporting

 The entire series of stages of handling electronic evidence along with the final results of electronic evidence that will be presented at the trial must be recorded in the report on the results of the forensic examination, this report must be included in the case file.

The judge must be able to examine the fulfillment of formal requirements and material requirements, so that they can be confident in deciding cases at trial, formal requirements that the evidence is obtained legally, material requirements that the evidence is relevant to the arguments to be proven.

 Although Electronic Evidence according to Article 5 paragraph (1) of the ITE Law is recognized for its validity as Evidence, but in its application, law enforcement does not necessarily take electronic evidence as evidence at trial, related to the nature of electronic evidence stored in electronic devices, which is easily damaged.  , easy to move and easy to duplicate.  Therefore, if data that stores information that is very personal and must be used in court evidence, then there must be protection of electronic data so that the data is not damaged and is not disseminated.

 Handling of electronic data by law enforcement must be in accordance with applicable law, may not be taken and transferred without going through a series of procedures and with the correct digital forensic method.  In principle, in examining electronic evidence at trial the judge must ensure that the contents or data of the electronic device remain intact and unchanged, the information in it comes from sources claimed by the parties, the information is accurate and obtained through legal procedures, the information is assessed for conformity with  other evidence.


REFERENSI :

  1. Dimas Hutomo, S.H., “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana”,(https://www.hukumonline.com/klinik/a/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana-lt5c4ac8398c012 , diakses pada tanggal 2 Febuari 2022)
  2. Happy Try Sulistiyono, S.H., M.H. , Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, “Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan”, Varia Peradilan Edisi Digital 1, Ikatan Hakim Indonesia Varia Peradilan, 2020, (https://www.varia-peradilan.id/articles/read/7/prosedur-autentifikasi-alat-bukti-elektronik-pada-pemeriksaan-persidangan , diakses pada 3 Febuari 2022)
  3. Eka Fitri Hidayati, Pengadilan Agama Kotabumi, https://pa-kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel-makalah/1037-keabsahan-pembuktian-elektronik-dalam-persidangan-perdata-di-pengadilan-agama.html#:~:text=Dalam%20Pasal%205%20ayat%20(1,yang%20diatur%20dalam%20UU%20ITE, diakses pada tanggal 3 Febuari 2022)
0

Aspek Pengawasan NFT menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang

Token yang tidak dapat ditukar atau yang lebih dikenal sebagai non-fungible token (NFT) merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis yang menunjukkan adanya kepemilikan digital terhadap suatu objek digital. Kode elektronis ini didapat dari objek digital, yang pada umumnya berupa gambar digital, cuitan, maupun bangunan atau tanah virtual. Keunikan tersebut yang membuat token tidak dapat diperoleh melalui transaksi pertukaran, sehingga token tersebut hanya dapat diperoleh melalui transaksi jual beli melalui mata uang kripto.

Memasuki akhir tahun 2021, NFT kemudian semakin diginakan oleh masyarakat. Berbagai NFT kemudian mulai dipasarkan dalam pasar khusus NFT, baik yang dikelola oleh pelaku usaha luar negeri maupun pelaku usaha dalam negeri. Namun, dalam memasarkan gambar digital sebagai NFT tersebut, terdapat permasalahan yang muncul. Objek NFT diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, foto yang diambil dari sosial media tanpa seizin pemilik foto tersebut, Atau contoh lainnya berupa gambar tidak senonoh yang melanggar kesusilaan. Selain itu, adanya gambar yang memuat identitas seperti foto Kartu Tanda Penduduk seseorang. Beragam contoh tersebut menunjukkan bahwa transaksi NFT haruslah memiliki pengawasan dari peraturan perundang-undangan.

Karena NFT pada dasarnya merupakan data elektronik, maka NFT menjadi objek dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (UU 19/2016  ITE) beserta peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019 PSTE).

Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan Pasal 1 angka 1 PP 71/2019 mengatur mengenai Informasi Elektronik sebagai:[1]

“…satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

NFT pada dasarnya merupakan token unik yang terdiri dari susunan kode elektronis, maka NFT dapat diklasifikan sebagai Informasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada UU 19/2016 dan PP 71/2019.

Yang menyelenggarakan perdagangan NFT adalah pasar khusus NFT. Jika dilihat kepada PP 71/2019, maka pasar khusus NFT dapat diklasifikasikan sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik, sebagaimana Pasal 1 angka 4 PP 71/2019 berbunyi:

“Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluain dirinya dan/atau keperluan pihak lain.”

Sebagai akibat dari hal tersebut, maka kepada pasar khusus NFT dibebankan hak dan kewajiban sebagaimana termuat dalam PP 71/2019. Salah satu contoh kewajiban yang diatur dalam PP 71/2019 adalah kewajiban untuk memastikan bahwa sistemnya tidak memuat NFT yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adapun secara lengkap, kewajiban tersebut termuat dalam Pasal 5 PP 71/2019 , yang berbunyi sebagai berikut

“Pasal 5

  • Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Penyelenggara Sistem Elekronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Ketentuan mengenai kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.[2]

Pasar khusus NFT juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan penghapusan terhadap NFT yang memuat data pribadi seseorang. Kewajiban ini timbul jika adanya permintaan dari orang yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada Pasal 15 PP 71/2019, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 15

  • Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersanglmtan.
  • Kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
    • penghapusan (right to erasure); dan
    • pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delistingl.
  • Penyelenggara Sistem Elektronik yang wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Sistem Elektronik yang memperoleh dan/atau memproses Data Pribadi di bawah kendalinya.”[3]

Adapun alasan dari permintaan penghapusan tersebut dijabarkan dalam Pasal 16 ayat (1) PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 16

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan penghapusan (right to erasure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a terdiri atas Data Pribadi yang:
    • diperoleh dan diproses tanpa persetujuan pemilik Data Pribadi;
    • telah ditarik persetujuannya oleh pemilik Data Pribadi;
    • diperoleh dan diproses dengan cara melawan hukum;
    • sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan perolehan berdasarkan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ;
    • penggunaannya telah melampaui waktu sesuai dengan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan ; dan / atau
    • ditampilkan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik Data Pribadi.”[4]

Mengingat banyak kasus yang terjadi bahwa NFT yang ada berisikan data pribadi dan privasi yang mana diunggah oleh pihak ketiga tanpa sepersetujuan pemilik data pribadi, maka pasar khusus NFT harus memberikan perlindungan kepada pemilik data pribadi yang bersangkutan dengan berupa melakukan penghapusan apabila pemilik data pribadi tersebut meminta agar gambar berisi data pribadinya untuk dihapus dari platform pasar khusus NFT.

Jika pasar khusus NFT tidak melaksanakan kewajibannya baik memastikan bahwa sistemnya tidak berisikan NFT yang melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 5 PP 71/2019 maupun tidak melindungi data pribadi dengan menghapus NFT berisi data pribadi tersebut atas permintaan pemilik data pribadi sebagaimana ketentuan dari Pasal 15 ayat (1) PP 71/2019, maka terdapat sanksi yang dapat dikenakan kepada PP 71/2019. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 100 PP 71/2019 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100

  • Pelanggaran terhadap ketentuanPasal 5 ayat (1) dan ayat (2), … Pasal 15 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
  •  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    • teguran tertulis;
    • denda administratif;
    • penghentian sementara;
    • pemutusan Akses; dan/atau
    • dikeluarkan dari daftar.
  • Sanksi administratif diberikan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan melalui koordinasi dengan pimpinan Kementerian atau Lembaga terkait.
  • Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapuskan tanggung jawab pidana dan perdata.[5]

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

[1] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan PP PSTE

[2] Pasal 5 PP PSTE

[3] Pasal 15 PP PSTE

[4] Pasal 16 ayat (1) PP PSTE

[5] Pasal 100 PP PTSE

Translate