0

MERGERS AND ACQUISITIONS IN A FRANCHISE SYSTEM COMPANY

Author : Nirma Afianita, Co-Author : Robby Mahaleksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
  3. Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

REFERENSI :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022
  2. Pengadaan, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, diakses pada 22 Maret 2022
  3. Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, diakses pada 22 Maret 2022
  4. Hukum Perseroan Terbatas, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, diakses pada 22 Maret 2022
  5. Santos Lolowang, www.santoslolowang.com , diakses tanggal 30 Maret 2022

Merger dan akuisisi merupakan dua istilah di dunia bisnis yang paling sering disebut, sehingga terkadang kedua istilah tersebut dianggap memiliki arti yang sama. Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut aksi korporasi berupa penggabungan dua perusahaan, Namun, ternyata pengartian dari istilah merger dan akuisisi ternyata berbeda dan harus dipahami. Beberapa perusahaan biasanya lebih memilih menggunakan istilah merger dibandingkan dengan akuisisi ketika membeli sebagian besar saham perusahaan yang lebih kecil.

Merger adalah proses menggabungkan dua perusahaan atau lebih yang kemudian menjadi satu perusahaan saja, dimana perusahaan tersebut mengambil dengan cara menyatukan saham berupa aset dan non aset perusahaan yang di merger. Perusahaan yang melakukan merger dengan perusahaan lainnya harus memiliki setidaknya 50% saham dan sisanya bisa di miliki oleh investor dari luar perusahaan. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya, perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain dimana membeli sebagian besar atau seluruh saham perusahaan lain dengan tujuan untuk mengambil kendali. Tujuan utama sebuah perusahaan bergabung dengan perusahaan lain atau melakukan akuisisi karena perusahaan akan mencapai pertumbuhan lebih cepat daripada harus membangun unit usaha sendiri selain untuk mendapatkan keuntungan. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar. [1]

Pengertian tentang merger juga dijelaskan pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada Pasal 1 ayat (9) yang berisikan:

“Pasal 1

  • Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum[2]

Sedangkan, pengertian dari akuisisi dijelaskan pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)  yaitu:

“Pasal 1

  1. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseroangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan terjadinya peralihan pengendalian atas Perseroan Tersebut.”[3]

Setiap perusahaan memiliki beberapa tujuan dalam melakukan merger dan akuisisi. Terdapat dua tujuan utama yaitu tujuan ekonomi dan non ekonomi. Tujuan ekonomi dari perusahaan yaitu untuk memaksimalkan nilai perusahaan sehingga mencapai posisi yang strategis di pasar. Selain itu, kemakmuran/kesejahteraan para karyawannya dan pemegang saham juga menjadi salah satu bagian dari tujuan merger dan akuisisi ini. Sedangkan pada tujuan non-ekonomi dari kegiatan merger dan akuisisi ini didasarkan pada keinginan subyektif dari pemilik atau manajemen perusahaan. Seperti karena adanya kepentingan pribadi (personal interest motive) dari pemilik perusahaan maupun manajemen perusahaan maupun karena prestige[4]

Perbedaan dari merger dan akuisis dapat dilihat dari prosesnya. Untuk dapat melakukan merger atau penggabungan, setidaknya terdapat lima tahapan yang harus dilakukan yaitu pertama, memenuhi persyaratan penggabungan. Perlu diperhatikan bahwa penggabungan untuk mencegah monopoli atau monopsoni yang dapat merugikan masyarakat. Dalam melakukan penggabungan, perseroan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari instansi terkait. Kedua, menyusun rancangan penggabungan. Setelah rancangan penggabungan tersebut dibuat, kemudian rancangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris setiap perseroan yang akan menggabungkan diri. Ketiga, persetujuan rancangan penggabungan. Setelah rancangan disetujui oleh Dewan Komisaris di setiap PT, selanjutnya harus diajukan pada RUPS yang berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 87

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, yang artinya hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili RUPS” [5]

Keempat membuat akta penggabungan. Jika penggabungan PT tidak disertai dengan anggaran dasar, salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar PT. Kelima, pengumuman hasil penggabungan. Direksi PT yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan maksimal tiga puluh hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri. Pengumuman dimaksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan penggabungan. [6]

Sedangkan pada akuisisi memiliki dua jenis proses pada pengambilalihannya, yaitu proses pengambilalihan melalui direksi perseroan dan proses pengambilalihan langsung dari pemegang saham. Pada Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan,  dijelaskan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 125

  1. Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan saham yang dimaksud adalah Pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan” [7]

Terdapat tujuh proses pengambilalihan atau akuisisi melalui direksi perseroan. Pertama keputusan RUPS. Pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi ketentuan dan persyaratan  tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 89

Terdapat paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau RUPS yang lebih besar” [8]

Kedua, Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan. Ketiga, penyusunan rancangan pengambilalihan. Keempat, pengambilalihan ringkasan rancangan. Kelima, pengajuan keberatan kreditor. Keenam, pembuatan akta pengambilalihan di hadapan notaris. Ketujuh, pemberitahuan kepada Menteri, dan yang terakhir pengumuman hasil pengambilalihan.

Sedangkan, pada proses pengambil alihan secara langsung dari pemegang saham memiliki prosedur yang lebih sederhana yaitu wajib tunduk dengan ketentuan akuisisi saham sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa Akuisisi saham wajib memperhatikan ketentuan pemindahan hak atas saham dalam Anggaran Dasar, serta mendapat persetujuan rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengumuman, Direksi perseroan yang akan melakukan akuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan dalam waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai akuisisi sesuai dengan rancangan dimaksud. Apabila kreditor tidak mengajukan keberatan dlm jangka waktu tersebut maka kreditor dianggap menyetujui. Dalam hal keberatan dari kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi perseroan maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Sebelum keberatan ini diselesaikan maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan. Akta pemindahan hak atas saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Salinan dari kata pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang perubahan Struktur Pemegang Saham Perseroan. Direksi perseroan wajib mengumumkan hasil akuisisi dalam 1 surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau sejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. [9]

Franchise atau Waralaba dalam praktek dunia bisnis telah cukup lama di kenal secara Internasional. Meskipun secara yuridis baru di atus di Indonesia pada tahun 17 dengan di keluarkannya PP RI No. 16 Tahun 17 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 17 tentnag Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan kemudian telah dirubaj dengan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007, serta Peraturan Mentri Perdagangan RI No: 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Menurut Pasal 1 ayat (1) PP No 42 Tahun 2007 Tetang Waralaba. Waralaba (Franchise) diartikan sebagai: hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba

Waralaba daam dunia perdagangan merupakan salah satu sistem yang dianggap sangat menguntungkan ini telah di buktikan oleh berbagai  perusahaan nasional maupun perusahaan berkaliber Internasioinal. Di Indonesia aturan hukum mengenai Waralaba (Franchise) belum lengkap. Indikator ini dapat kita cermati dari ketentuan hukum yang mengatur bisnis Waralaba yang sampai saat ini baru di atur dalm satu (1) Peraturan Pemerintah dan satu 1) Peraturan sebagimana di sebutkan di atas. Pengaturan melalui Undang-undang belum tersentuh oleh Pemerintah. Memang ada Peratura dari Departemen Teknis yang bersangkutan, namun pengaturan ini sama seklai belum memadai mengingat bisnis melalui sistem waralaba ini selalu berkembang secara dinamis sesuai perkembangan dunia usaha, dan membentuk model-model baru dalam prakteknya.[10]

Pengenbangan usaha melalui waralaba pada dasarnya mengembangkan usaha secara cepat memakai modal pihak lain, tentu saja risikonya juga ditanggung oleh penerima waralaba. Penerima Waralaba akan mendapatkan pelatihan, sistem, hak kekayaan intelektual, bahkan peraatan maupun bahan baku, tanpa harus memiliki pengalaman usaha lebih dahulu. Adapaun Pemberi Waralaba mempunyai hak untuk mendapatkan franchise fee atas penggunaan merek dan sistem, yang diterimakan pada awal perjanjian untuk suatu jangka waktutertentu biasanya sekurang-kurangnya lima tahun. Selain itu juga mendaatkan royalty dari penerima waralaba, yang berupa persentase dari nilai penjualan setiap bulannya.

Pada dasarnya waralaba terbentuk ketika pemberi waralaba menjalin hubungan hukum untuk melakukan kontrak kerjasama secara terpadu terhadap merek, desaintata letak dan lain sebagainya yang berkenaan dengan hak kekayaan intelektual serta metode bisnis secara kontinyu dalam suatu periode tertentu dengan penerima waralaba.

Merger pada Perusahaan yang bergerak di bidang Waralaba, sejauh ini belum ada peraturan yang melarangnya, Waralaba adalah jenis Usaha/Kegiatan yang di lakukan suatu perseroan, sedangkan Perseroan nya sendiri adalah suatu Subyek hukum yang mempunyai hak untuk dapat melakukan pengembangan Usaha dengan perseroan lain salah satunya dengan cara Merger. Dalam pengertian Merger sendiri sebagaimana yang disebutkan sebelumnya ialah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum

Merujuk pada penjelasan Merger yang di sebutkan dalam Pasal 1 ayat (9) maka Perusahaan yang bergerak dalam bidang apapun termasuk Waralaba dapat melakukan Merger dengan Perusahaan lain sesuai jenis merger yang di ingingkan seperti yang telah di jelaskan diatas serta dengan syarat dan ketentuan berlaku sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 123 Undang-Undang No 40 Tahun 2007  Tentang Perseroan Terbatas yakni :

“Pasal 123

  1. Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.
  2. Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
  3. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  4. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
  5. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
  6. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
  7. laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Persroan yang akan melakukan Penggabungan;
  8. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  9. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akutansi yang berlaku umum di Indonesia
  10. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;
  11. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
  12. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
  13. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewa Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
  14. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
  15. laporan mengenai keadaan perkembangan, dan hasil yang akan dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan penggabungan;
  16. kegiatan utama setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabugan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang danng berjalan; dan
  17.  rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan
  18. Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing unduk mendapatkan persetujuan
  19. Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain beraku ketentuan dalam Undang-Undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  20. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal” [11]

Dengan adanya penjelasan berikut dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai merger, akuisisi dan waralaba kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.

Jika dilihat dari hukum persaingan usaha di Indonesia, merger dan akuisisi dilarang jika kedua tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 28

Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”[12]

Merger dan Akusisi yang dilakukan oleh pelaku usaha harus memiliki nilai aset hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 2,5 triliun atau nilai penjualan hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 5 triliun wajib diberitahukan secara tertulis kepada KPPU paling lama 30 hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis merger dan akuisisi tersebut diatur berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 29

Penggabungan atau peleburan badan usaha atau pelgambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut” [13]

Jika pelaku usaha melakukan keterlambatan dalam melapor setiap transaksi merger atau akuisisi, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 menjelaskan bahwa dikenakan sanksi yaitu:

“Pasal 6

Sanksi hukum yang akan dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban ini dikenakan sanksi berupa denda adninistratif sebesat Rp1.000.000.000,00 (satu miliar) setiap hari keterlambatan dengan ketentuan denda administratef secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar)” [14] Sehingga dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai akuisisi, merger dan konsolidasi kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.


[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

[2] Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pengadaan, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, diakses pada 22 Maret 2022

[5] Pasal 87 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[6] Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, diakses pada 22 Maret 2022

[7] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[8] Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[9] Hukum Perseroan Terbatas, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, diakses pada 22 Maret 2022

[10] www.santoslolowang.com, di akses tanggal 30 Maret 2022

[11] Pasal 123 Undang-Undang No 40 Tahun 2007  Tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[13] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[14] Pasal Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  2. Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition.
  3. Government Regulation No. 57 of 2010 concerning Merger or Merger of Business Entities and Takeover of Company Shares that Can Result in Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.

REFERENCE :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, accessed March 22, 2022
  2. Procurement, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, accessed on March 22, 2022
  3. Online Law, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, accessed March 22, 2022
  4. Limited Liability Company Law, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, accessed on March 22, 2022
  5. Santos Lolowang, www.santoslolowang.com, accessed on March 30, 2022
Mergers and acquisitions are two terms in the business world that are most often discussed, so sometimes both terms are  considered to have the same meaning.  Both terms are used to refer to corporate action in the form of the merger of two companies, however, it turns out that the  meaning of the  terms merger and acquisition turns out to be different and must be understood.  Some companies usually prefer to use the term merger as opposed to  acquisition when buying most of the shares of smaller companies.   Merger is the process of combining two or more companies that then become one company only, where the company takes by uniting shares in the form of assets and non-assets of the merged company. Companies that merge with other companies must own at least 50% of the shares and the rest can be owned by investors from outside the company. In this case the buying company will continue its name and identity, the buyer’s company will also take both the assets and liabilities of the purchased company.  An acquisition is the purchase of a company by another company where it buys most or all of the shares of another company with the aim of taking control. The main goal of a company is to join another company or make acquisitions because the company will achieve faster growth than having to build its own business unit in addition to making a profit.  Acquisitions are often used to maintain the availability of raw material supplies or guarantee that products will be absorbed by the market.[1]   The understanding of mergers is also explained in Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT) in Article 1 paragraph (9) which contains: “Article 1 Merger is a legal action carried out by one other existing Company that results in assets and pasiva of the Company that merge themselves switched because of the law to the Company that received the subsequent incorporation of legal entity status to the Company that merged itself ends because of the law[2]   Meanwhile, the understanding of the acquisition is explained in Article 1 paragraph (11) of Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT)  namely: “Article 1 Takeover is a legal act carried out by a legal entity or company to take over the Company’s shares which results in a transfer of control over the Company.”[3] Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic and non-economic goals.   The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige. [4]   The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process.  To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation.  It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of Commissioners at each PT,  it must then be submitted at the GMS  based on Article 87 paragraph (1) of Law No. 40 of 2008 concerning the Company. Limited explains as follows:   Article 87 The decision of the GMS is taken based on deliberations for consensus, which means the results of the agreement approved by the shareholders present or represented by the GMS”[5]   The fourth made a joining deed. If the incorporation of THE PT  is not accompanied by the articles of association, a copy of the  merger deed  must be submitted to the Minister to be recorded in the list of PT.  Fifth, the announcement of the results of the merger.  The Board of Directors of PT who receive the merger must announce the results of the merger a maximum of  thirty days from the date of  approval of the  Minister.  The announcement is intended so that   interested  third parties  know that a  merger has been made. [6]   While the acquisition has two types of processes on its takeover, namely the takeover process  through the company’s board of directors and the takeover process  directly from  shareholders.  In the Takeover Process through the Board of Directors of the Company, explained based on Article 125 paragraph (1) of Undang-Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  , namely: “Article 125 The takeover is carried out by means of a takeover of shares that have been issued by the Company through the Company’s Board of Directors or directly from shareholders. This is done by a legal entity or individual person. The takeover of the shares in question is a takeover that results in a change of control of the Company”[7]   There are seven takeover or acquisition processes  through the company’s directors.  First the decision of the GMS.  The election must be based on the GMS that meets the provisions and requirements on the requirements for gms decision making as intended in Article 89 Undang-Law No. 40  of  2007, namely:   “Article 89 There are at least 3/4 (three-quarters) part of the total number of shares with voting rights present or represented at the GMS and the decision is valid if approved at least 3/4 (three quarters) part of the number of votes issued, unless the articles of association determine the quorum of attendance and/or a larger GMS”[8]   Second, Notice to the Board of Directors of the Company.  Third, the preparation of the takeover plan.  Fourth, the takeover of the draft summary.  Fifth, the submission of creditor objections.   Sixth, the creation of a  takeover deed in front of a notary.  Seventh, notice to the Minister, and finally the  announcement of the results of the takeover.   Meanwhile, in the process   of taking over directly  from  shareholders has a simpler procedure that  is  obliged to be subject to the provisions of  stock acquisition in accordance with Law No. 40 of 2007.  about the Limited Liability Company  which explains that the acquisition of shares must pay attention to the provisions of the transfer of rights to shares in the Articles of Association, as well as obtaining approval from the General Meeting of Shareholders (GMS). Gms must be carried out no later than 30 (thirty) days after the announcement, the Board of Directors of the company who will make the acquisition must announce a summary of the draft in at least 1 (one) newspaper and announce in writing to the employees of the company within 30 days before the summons of the GMS. Creditors may object to the company within 14 days after the announcement of the acquisition in accordance with the draft. If the creditor does not raise objections within that period of time then the creditor is considered to agree.  In the case of the validity of the creditors until the date of the GMS cannot be completed by the Board of Directors of the company, the objection must be submitted at the GMS to get a settlement. Before these objections are resolved, the acquisition cannot be implemented. The deed of transfer of rights to shares must be declared by notary deed and in Indonesian.  A copy of the word transfer of the right to shares must be attached to the submission of notification to the Minister of Law and Human Rights about changes to the Company’s Shareholder Structure.  The Board of Directors of the Company shall announce the results of the acquisition in 1 or more newspapers within a period of no later than 30 days from the date of notification to the Minister of Law and Human Rights or from the date of approval of changes to the Articles of Association by the Minister of Law and Human Rights. [9]  
Franchise or Franchise in the practice of the business world has long been known internationally. Although juridically new in atus in Indonesia in 17 years with the issuance of PP RI No. 16 Of 17 concerning Franchising with the Decree of the Minister of Industry and Trade of the Republic of Indonesia  No. 259 / MPP / Kep / 7/1997 dated July 30, 17, 17, 17, 17,  2007,  and The Minister  of Trade  Regulation No: 31/MDAG/PER/8/2008 concerning The Implementation of Franchises.   According to Pasal 1 paragraph (1) PP No. 42 of 2007 Tetang Waralaba.  Franchising (Franchise) is defined as: special rights owned by individuals or business entities to business systems with business characteristics in order to market goods and / or services that have been proven successful and can be utilized and / or used by other parties based on franchise agreements.   Franchising in the trading world is one of the systems that are considered very profitable has been proven by various national companies and companies of international caliber.  In Indonesia, the rule of law regarding Waralaba (Franchise) is not complete. This indicator can be observed from the legal provisions governing franchise business which until now has only been regulated in one (1) Government Regulation and one 1) Regulation as mentioned above. Arrangements through the Law have not been touched by the Government. Indeed, there is a Regulation from the Technical Department concerned, but this arrangement is the same as  inadequate considering that business through this franchise system is always developing dynamically according to the development of the business world, and forming new models in practice.[10]   Business development through franchising basically develops the business quickly using the capital of other parties, of course the risk is also borne by the franchisee.  Franchisees will get training, systems, intellectual property rights, even cultivation and raw materials, without having to have business experience first.  There is a Franchisee has the right to obtain a franchise fee for the use of the brand and system, which is accepted at the beginning of the agreement for a period of time usually at least five years.  In addition, it also raises royalties  from franchisees, which is a percentage of the sales value every month.   Basically, a franchise is formed when the franchisor establishes a legal relationship to enter into an integrated cooperation contract with the brand, layout design and so on with regard to intellectual property rights and business methods continuously in a certain period with the franchisee.   Merger in companies engaged in franchising, so far there is no regulation that prohibits it, Franchising is a type of Business / Activity carried out by a company, while the Company  itself is a legal subject that has the right to be able to develop a business with other companies, one of which is by way of merger. Dalam understanding merger itself as a mentioned earlier is a legal action carried out by one other existing Company that results in assets and pasiva of the Company that merges itself switched because of the law to the Company that received the subsequent merger of legal entity status to the Company that joined itself ended because of the law.   Referring to the explanation of the Merger mentioned in Article 1 paragraph (9) then companies engaged in any field including Franchises can merge with other companies in accordance with the type of merger  that has been described above and with the terms and conditions apply as described in Article 123 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:   “Article 23: The Board of Directors of the Company who will merge and accept the Merger drafts a merger.The Merger Plan as intended in paragraph (1) contains at least: the name and place of position of each Company that will merge; reasons and explanations of the Board of Directors of the Company who will merge and merge requirements;procedures for the assessment and conversion of the Company’s shares that combine themselves against the Shares of the Company that received the Merger;plan changes to the Articles of Association of the Company that accept mergers if any;financial statements covering the last 3 (three) financial years of each Persroan that will merge; plan for the continuation or termination of business activities of the Company that will merge; balance sheet proforma of the Company that accepts incorporation in accordance with the principles of accounting that is generally accepted in Indonesia ;how to resolve the status, rights and obligations of members of the Board of Directors, Board of Commissioners, and employees of the Company who will merge themselves; how to resolve the rights and obligations of the Company that will merge with third parties; how to resolve the rights of shareholders who do not agree to the Merger of the Company; names of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners as well as salaries, honorariums and benefits for members of the Board of Directors and Dewa Commissioners of the Company who receive mergers; estimated period of implementation of the Merger; reports on the state of development, and the results to be achieved from each Company that will merge; the main activities of each Company that will carry out the Incursion and changes that occur during the current financial year; and details of issues arising during the current financial year affecting the Activities of the Company that will merge The Merger Draft as intended in paragraph (2) after obtaining the approval of the Board of Commissioners of each Company submitted to the GMS respectively to get approval For certain Companies that will merge in addition to the provisions in this Law, it is necessary to get prior approval from the relevant agencies in accordance with the provisions of the laws and regulations. The provisions as intended in paragraph (1) to paragraph (4) apply also to open companies as long as they are not regulated in other laws and regulations in the field of capital markets” [11]   With the following explanation, it is advisable for business actors not to hesitate to consult on mergers, acquisitions and franchises to authorized institutions related to the rules in the merger or fusion of business entities. The consultation is expected to prevent rule violations in monopoly practices and unfair business competition and avoid mistakes that will occur.

When viewed from  the   competition law  in Indonesia, mergers and acquisitions are prohibited if both actions can result in monopolistic practices and unfair business competition. This is  stipulated in Article 28 of Law No. 5  of  1999 concerning Prohibition of  Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:   “Article 28 Business actors are prohibited from combining or smelting business entities that can lead to monopolistic practices and/or unfair business competition” [12] Mergers and Acquisitions carried out by business actors must have the value of assets resulting from mergers and acquisitions exceeding Rp 2.5 trillion or the value of sales of mergers and acquisitions exceeding Rp 5 trillion must be notified in writing to the KPPU no later than 30 working days from the date it has been effective juridically the merger and the acquisition is regulated under Article 29 of Law No. 5 years.  1999  on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:   “Article 29 The merger or merger of a business entity, or the takeover od shares an intended in Artcile 28 which results in the value of the asset and or the value of its sale exceeding a certain amount, must be notified to the Commission, no later than 30 (thirty) days from the date of incorporation, smelting or takeover.” [13] If  business actors make a delay in reporting any merger or acquisition transactions, based on Article 6  of Government Regulation No. 57 of 2010 explains that sanctions are subject to:   “Article 6 Legal sanctions that will be imposed on business actors who do not perfrom this obligation are subject to sancton in the fomr of administrative fines of Rp 1,0000,000,000.00 (one billion every day) delay with the provision of administrative fines as a whole as high as Rp25,000,000,000.00 (two recover five billion)” [14]   So it is appealed to business actors not to hesitate to consult on acquisitions, mergers and consolidations to authorized official institutions related to the rules in the merger or fusion of business entities. The consultation is expected to prevent rule violations in monopoly practices and unfair business competition and  avoid mistakes that will occur.                                  

[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, Accessed at 22 March 2022

[2] Article 1 paragraph (9) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[3] Article 1 paragraph (11) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[4] Procurement, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, Accessed at 22 March 2022

[5] Article 87 of Law No.40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.

[6] Online Law, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, Accessed at 22 March 2022

[7]Article 125 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[8] Article 89 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[9] The Company’s Law Limited, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, Accessed at 22 March 2022

[10] www.santoslolowang.com, accessed march 30 2022

[11] Article 123 Law No 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[12] Article 28 Law No. 5 year 1999 about Prohibition Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy.

[13] Article 29 Law No. 5 year 1999 about Prohibition Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy

[14] Article 6 Regulation Government No. 57 year 2010 about Merging or Smelting Business Entities and Takeover Shares of the Company Get Cause Occurrence Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy.

0

Legal Protection of Franchisee Against Franchisor Declared Bankrupt

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Andreas Kevin Simanjorang, Alfredo Joshua Bernando

Legal Basis

  • Law Number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations
  • Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Company
  • Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 regarding Franchise

Waralaba merupakan sistem bisnis yang diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019). Waralaba didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Permendag 71/2019 sebagai berikut:

“Waralaba adalah adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba”

Kriteria Waralaba diatur dalam Pasal 2 Permendag 71/2019, sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha, yakni usaha tersebut memiliki keunggulan, keunikan atau perbedaan yang nyata dengan jenis usaha lainnya.
  2. Adanya pengalaman paling sedikit 5 tahun serta sudah memiliki kiat bisnis yang kokoh untuk diterapkan serta menguntungkan.
  3. Adanya SOP yang lengkap dan komprehensif secara tertulis.
  4. Jenis usaha dapat dengan mudah diajarkan oleh Pemberi Waralaba dan dapat diaplikasikan dengan mudah oleh Penerima Waralaba.
  5. Adanya dukungan secara berkelanjutan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba dalam bentuk bimbingan operasional, pelatihan dan promosi  serta Penerima Waralaba berhak meminta bantuan, bimbingan dan saran dari Pemberi Waralaba.
  6. Inti bisnis Waralaba harus termasuk dalam lingkup hak kekayaan intelektual, salah satunya adalah Merek Dagang.

Dasar bisnis Waralaba adalah Perjanjian Waralaba. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 Permendag 71/2019 sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan Waralaba harus didasarkan pada Perjanjian Waralaba yang dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.
  2. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan hukum Indonesia dan memuat paling sedikit materi atau klausula sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  3. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada calon Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba lanjutan paling lambat 2 (dua) minggu sebelum penandatanganan Perjanjian Waralaba.
  4. Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis menggunakan bahasa Indonesia 

Isi Perjanjian Waralaba harus memuat sekurang-kurangnya klausul yang telah ditentukan oleh Lampiran II Permendag 70/2019, sebagai berikut:

  1. Identitas para Pihak
  2. Jenis kekayaan intelektual
  3. Inti bisnis
  4. Hak dan kewajiban
  5. Bimbingan dan dukungan
  6. Pembagian wilayah bisnis
  7. Jangka waktu
  8. Pembayaran imbalan
  9. Kepemilikan
  10. Dispute settlement
  11. Perpanjangan/pengakhiran
  12. Jaminan 

Salah satu yang diatur dalam Perjanjian Waralaba adalah mengenai kepastian hukum dari kelangsungan Waralaba. Salah satunya adalah kepastian hukum kelangsungan Waralaba sebagaimana diakibatkan oleh perubahan kepemilikan Waralaba. Salah satu contoh konkret dari adanya perubahan kepemilikan Waralaba adalah adanya kepailitan terhadap Pemberi Waralaba.

Pailit didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) dalam Pasal 1 sebagai sita umum yang atas semua kekayaan debitor yang sudah dinyatan pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. 

Syarat dari putusan pailit diatur dalam Pasal 2 UU 37/2004, adalah adanya dua atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, atas permohonannya sendiri untuk diputus pailit atau karena permohonan satu kreditor atau lebih kreditornya.

Bagaimana dengan harta pailit yang bertempat di wilayah luar negeri / cross-border insolvency (CBI)? Saat ini terdapat perjanjian internasional yang mengatur mengenai CBI, salah satunya adalah UNCITRAL yang mengeluarkan Model Law on Cross-Border Insolvency. Namun Indonesia belum mengadopsi perjanjian internasional yang mengatur mengenai CBI untuk melakukan eksekusi terhadap putusan kepailitan pengadilan Indonesia di luar negeri, dan mengandalkan asas resiprokal (pengakuan akan putusan asing).

Dampak dari pailit adalah sebagai berikut:

  1. Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (Pasal 24 ayat (1) UU 37/2004)
  2. Pembubaran dan likuidasi Perusahaan (Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007):
    1. Dicabutnya kepailitan
    2. Harta pailit dalam keadaan insolvensi

Dengan adanya dampak pailit bagi Pemberi Waralaba maka akibat yang dapat timbul kepada Penerima Waralaba adalah:

  1. Adanya ketidakpastian kelangsungan Waralaba dikarenakan pailitnya perusahaan Pemberi Waralaba.
  2. Penerima Warlaba dapat dirugikan dari adanya ketidakpastian kelangsungan Waralaba tersebut.

Oleh karena itu, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Penerima Waralaba apabila Pemberi Waralaba dipailitkan adalah sebagai berikut:

  1. Meminta kepastian kelangsungan Waralaba kepada Kurator.
  2. Jika Kurator tidak memberikan kepastian, Penerima Waralaba dapat memohon kepada Hakim Pengawas untuk memaksa agar Kurator segera memberikan kepastian dari kelangsungan Waralaba.
  3. Melakukan upaya preventif dengan mengatur klausula mengenai hubungan Waralaba dalam Perjanjian apabila Pemberi Waralaba dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Franchise is a business system regulated by Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 regarding Franchise (MOT 71/2019). It defined in Article 1 point 1 of MOT 71/2019 as follows:

“”Franchise is a special right owned by an individual or a business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven to be successful and can be utilized and/or used by other parties based on a Franchise Agreement””[1]

Franchising criterias are regulated in Article 2 of the MOT 71/2019, as follows: 

  1. Having a business characteristic, namely that the business has advantages, uniqueness or real differences with other types of businesses.
  2. Have at least 5 years of experience and already have solid business tips to implement and be profitable.
  3. There is a complete and comprehensive written standard operating procedure.
  4. The type of business can be easily taught and easily applied by the Franchisor.
  5. There is ongoing support from the Franchisor to the Franchisee in the form of operational guidance, training and promotion and the Franchisee has the right to request assistance, guidance and advice from the Franchisor.
  6. The core business of the Franchise must be included in the scope of intellectual property rights, one of which is a Trademark.

The basis of the Franchise business is the Franchise Agreement. This provision is regulated in Article 6 of Permendag 71/2019 as follows:

  • Franchising must be based on a Franchise Agreement made between parties who have equal legal standing and Indonesian law applied to them.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) is made based on Indonesian law and contains at least the material or clause as contained in Attachment II which is an integral part of this Ministerial Regulation.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) must be submitted to the prospective Franchisee or further Franchisee at least 2 (two) weeks prior to the signing of the Franchise Agreement.
  • The Franchise Agreement as referred to in paragraph (1) must be written in Indonesian.

The contents of the Franchise Agreement must contain at least the clauses that have been determined by Attachment II to MOT 70/2019, as follows:

  1. Identity of the Parties
  2. Types of intellectual property
  3. Business core
  4. Rights and obligations
  5. Guidance and support
  6. Division of business area
  7. Term
  8. Payment of rewards
  9. Ownership
  10. Dispute settlement
  11. Extension/termination
  12. Guarantee

One of the provisions in the Franchise Agreement is the legal certainty of the continuity of the Franchise. These provisions are the legal certainty of franchise continuity due to the changes in franchise ownership. One concrete example of a change in the ownership of a franchisee is the bankruptcy of the franchisor.

Bankruptcy is defined by Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (Law 37/2004) in Article 1 as a general confiscation of all of a debtor’s assets that have been declared bankrupt whose management and settlement are carried out by a curator under an appointed supervisory judge by the Commercial Court.

The condition for the bankruptcy decision is regulated in Article 2 of Law 37/2004, which states that there are two or more creditors and inability to pay debts that are due and collectible, at their own request to be declared bankrupt or because of the application of one or more creditors.

What about bankrupt assets that are located in a foreign territory / cross-border insolvency (CBI)?

Currently, there are international agreements that regulate CBI, one of which is UNCITRAL which issues the Model Law on Cross-Border Insolvency. However, Indonesia has not yet adopted an international agreement that regulates the CBI to execute bankruptcy decisions of Indonesian courts abroad, and relies on the reciprocal principle (recognition of foreign decisions).

The effects of bankruptcy are as follows:

  1. The debtor by law loses his right to control and manage his assets which are included in the bankruptcy estate, from the date the bankruptcy declaration decision is pronounced. (Article 24 para (1) of Law 37/2004)
  2. Dissolution and liquidation of the Company (Article 142 para (1) of Law 40/2007):
    1. Bankruptcy is lifted
    1. Bankruptcy assets in a state of insolvency

With the impact of bankruptcy for the Franchisor, the consequences that may arise for the Franchisee are:

  1. There is uncertainty about the continuity of the Franchise due to the bankruptcy of the Franchisor.
  2. The Franchisee may be harmed from the uncertainty of the continuity of the Franchise.

Therefore, legal remedies that can be taken by the Franchisee if the Franchisor is bankrupt are as follows:

  1. Asking the Curator to confirm the continuity of the franchise.
  2. If the Curator does not provide certainty, the Franchisee may request the Supervisory Judge to force the Curator to immediately provide certainty of the continuity of the Franchise.
  3. Carry out preventive measures by setting a clause regarding the Franchise relationship in the Agreement if the Franchisor is declared bankrupt by the Commercial Court.

[1] Pasal 1 Permendag 71/2019

Translate