0

ANALYZING THE ARRANGEMENT OF A LIMITED LIABILITY COMPANY FROM LAW PERSPECTIVE

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal dan didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Di Indonesia, dasar hukum dari PT sendiri sudah ditetapkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada penjelasan pengertiannya PT sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 1

  1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”[1]

Dalam mendirikan sebuah PT, terdapat ketentuan yang sudah diatur dalam Bab II Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Salah satu penjelasan terkait pendirian PT dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut:

“Pasal 7

Perseroan didirikan oleh (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.”

Kemudian, dalam ketentuan membuat akta di hadapan notaris, akta tersebut diwajibkan untuk memuat keterangan dan anggaran dasar terkait dengan pendirian PT. Keterangan yang tercantum dalam akta pendirian tersebut antara lain:

  1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraannya.
  2. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat.
  3. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.

Terkait dengan anggaran dasar yang tercantum pada Dalam pendirian PT, anggaran dasar yang dimaksud harus memuat sekurang-kurangnya sebagai berikut:

  1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan.
  2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.
  3. Jangka waktu berdirinya Perseroan.
  4. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
  5. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham.
  6. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  7. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS.
  8. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  9. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen

Akan tetapi, ketentuan pemegang saham minimal dua orang atau lebih tidak berlaku lagi bagi perseroan yang sahamnya sudah dibeli oleh negara dan perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lainnya berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yaitu:

“Pasal 7

  • Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku lagi:
  • Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara; atau
  • Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal”

Ketentuan didirikannya PT tidak hanya berdasarkan pendirian akta di hadapan notaris dan ketentuan dalam pemegang saham, tetapi terdapat ketentuan lainnya yang harus diperhatikan diantaranya sebagai berikut:  

  1. Setiap pendiri wajib mengambil bagian sahamnya pada saat perseroan didirikan. Kecuali dalam peleburan.
  2. Perusahaan memperoleh status badan pada saat diterbitkannya keputusan menteri.
  3. Apabila perseroan yang telah berstatus badan hukum memiliki pemegang saham kurang dari 2 orang maka dalam waktu 6 bulan wajib mengeluarkan saham perseroan kepada orang lain. Jika dilanggar maka tanggung jawab perseroan menjadi tanggung jawab pribadi. Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk perusahaan yang sahamnya dimiliki seluruhnya oleh negara dan lembaga lain yang diatur dalam undang-undang pasar modal.

Kemudian, berdasarkan ketentuan struktur modal, struktur modal pada PT terdiri dari tiga yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Terkait dengan modal dasar PT, terdapat perubahan dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan yang paling sedikit sebesar 50.0000.000 (lima puluh juta rupiah). Saat ini, perubahan tersebut tercantum dalam Pasal 109 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan penjelasan bahwa besaran modal dasar PT ditentukan pada keputusan pendiri PT dan pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan harus disetor penuh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

Sedangkan, pada modal ditempatkan menjelaskan bahwa modal tersebut merupakan modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya atau saham telah diserahkan untuk pemiliknya. Kewaiban pada penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. Pada modal disetor memberikan penjelasan yaitu modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar oleh pemegang atau pemiliknya.

Selain itu, Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur tentang struktur atau organ-organ yang ada dalam sebuah PT. Struktur tersebut terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan. Penjelasan RUPS tercantum pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yaitu:

“Pasal 1

  •  Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”

Sedangkan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atau pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Berdasarkan tugas dan tanggung jawab direksi, yaitu tercantum dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (2), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101 ayat (1), dan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 92

  • Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”

“Pasal 97

  • Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat.”

“Pasal 98

  • Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

“Pasal 100

  • Direksi wajib membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS; risalah rapat Direksi; membuat laporan tahunan; dan memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan perseroan.”

“Pasal 101

  • Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.”

“Pasal 102

  1. Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan; atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih. Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.”

Pada Dewan Komisaris yang merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum/dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 108 ayat (1), Pasal 114 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 116 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 108

  1. Dewan Komisaris yang melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.”

“Pasal 114

  • Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi
  • Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.”

“Pasal 116

Dewan komisaris wajib:

  1. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
  2. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
  3. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.”

Pada tanggung jawab sosial dan lingkungan, tercantum di dalam Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 74

Perseroan Terbatas yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan hukum yang diantaranya penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan, yang dalam pelaksanaannya, perbuatan tersebut wajib memperhatikan kepentingan-kepentingan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 126, yaitu:

  1. Perseroran, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Menurut Pasal 1 angka 9, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sementara menurut Pasal 1 angka 10, peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dalam hal penggabungan dan peleburan diatur dalam Pasal 122 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 122

  • Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
  • Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  • Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
  • Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
  • Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.”

Perbuatan hukum yang ketiga, yaitu pengambilalihan, menurut Pasal 1 angka 11, pengambilalihan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Ketentuan pengambilalihan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (1), (2), dan (3) ialah sebagai berikut:

Pasal 125

  • Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham.
  • Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
  • Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.”

Perbuatan hukum yang terakhir yaitu pemisahan, menurut Pasal 1 angka 12, Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara pemisahan murni atau pemisahan tidak murni sebagaimana diatur dalam Pasal 135 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 135

  • Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
  • Pemisahan murni; atau
  • Pemisahan tidak murni.
  • Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
  • Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.”

Dalam hal pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur dalam Pasal 142 sampai Pasal 152. Diatur dalam Pasal 142 ayat (1), bahwa pembubaran perseroan terjadi akibat:[na1] 

  1. berdasarkan keputusan RUPS;
  2. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
  3. berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  6. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak hanya mengatur mengenai syarat pendirian dan ketentuan perseroan melainkan juga berkaitan dengan pembubaran dimana perseroan tidak lagi mampu mengoperasionalkan kegiatan usahanya.

Selain itu, dijelaskan lebih rinci terkait status badan hukum pembubaran perseroan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 143 yang berbunyi:

“Pasal 143

  • Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
  • Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.”

[1] Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.
  2. Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation.
  3. Government Regulation No. 8 of 2021 concerning The Company’s Authorized Capital and Registration of Establishment, and Dissolution of Companies That Meet the Criteria for Micro and Small Businesses.

A Limited Liability Company (PT) is a legal entity that is a capital alliance and is established based on an agreement to conduct business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in accordance with applicable Laws. In Indonesia, the legal basis of pt itself has been specifically stipulated in Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and in the explanation of its understanding PT itself is explained in Article 1 number 1 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

 “Article 1

  1. The Limited Liability Company, hereinafter referred to as the Company, is a legal entity that is a capital alliance, established under the agreement, conducts business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in this Law and its implementation regulations”

In establishing a PT, there are provisions that have been regulated in Chapter II of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. One of the explanations related to the establishment of PT is explained in Article 7 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies as follows:

“Article 7

The Company is established by (two) or more persons with notary deed made in Indonesian.”

Then, in the provisions of making a deed before a notary, the deed is required to contain information and articles of associations related to the establishment of PT. The information listed in the deed of establishment includes:

  1. His full name, place and date of birth, occupation, place of residence and nationality.
  2. Members of the Board of Directors and the Board of Commissioners are the first to be appointed.
  3. The name of the shareholder who has taken a share of the shares, details the number of shares, and the face value of the shares that have been placed and paid.

Related to the articles of association listed in the establishment of PT, the articles of association in question must contain at least the following:

  1. Name and place of position of the Company.
  2. The purpose and purpose and business activities of the Company.
  3. The period of establishment of the Company.
  4. The amount of authorized capital, issued capital, and paid-up capital.
  5. Number of shares, classification of shares if there are the following number of shares for each classification, the rights attached to each share, and the face value of each share.
  6. The name of the position and the number of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  7. Determination of venues and procedures for holding GMS.
  8. Procedures for appointment, replacement, dismissal of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  9. Procedures for the use of profits and dividend distribution

However, the provisions of shareholders of at least two or more people no longer apply to companies whose shares have been purchased by the state and companies that manage stock exchanges, clearing and underwriting institutions, depository and settlement institutions, and other institutions under the Investment Law. This provision is stated in Article 7 paragraph (7) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 7

  •  Provisions requiring the Company to be established by 2 (two) or more persons as intended in paragraph (1), and the provisions in paragraph (5), and paragraph (6) no longer apply:
  • The Company whose entire shares are owned by the state; or
  • The Company manages stock exchanges, clearing and underwriting institutions, storage and settlement institutions, and other institutions as stipulated in the Law on Capital Markets”

The provisions of the establishment of PT are not only based on the establishment of deed before the notary and the provisions in shareholders, but there are other provisions that must be considered, including the following:

  1. Each founder is obliged to take a share of his shares at the time the company is established. Except in smelting.
  2. The company obtains entity status at the time of issuance of the ministerial decree.
  3.  If the company that has the status of a legal entity has less than 2 shareholders, within 6 months it is mandatory to issue the company’s shares to others. If violated then the responsibility of the company becomes a personal responsibility. The provision does not apply to companies whose shares are wholly owned by the state and other institutions regulated in capital market law.

Then, based on the provisions of the capital structure, the capital structure in PT consists of three, namely authorized capital, issued capital, and paid-up capital. Related to the authorized capital of PT, there is a change in Article 32 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which explains that the Company’s authorized capital is at least 50,0000,000 (fifty million rupiah). Currently, the change is listed in Article 109 number 3 of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation which provides an explanation that the amount of pt’s authorized capital is determined by the decision of the founder of PT.

Meanwhile, the issued capital explains that the capital is the capital supported by the founder or shareholders to be repaid or the shares have been handed over to the owner. The sacrifice on depositing the issued capital must be full. On the paid-up capital provides an explanation that is the capital that has been entered by shareholders as repayment of the payment of shares that he took as capital issued from the company’s authorized capital. So, paid-up capital is shares that have been paid by the holder or owner.

In addition, the Limited Liability Company Law also regulates the structure or organs in a PT. The structure consists of GMS (General Meeting of Shareholders), Board of Directors, and Board of Commissioners. GMS is an organ that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the specified limits. The explanation of the GMS is contained in Article 1 number 4 of Law No. 40 of 2007, namely:

“Article 1

  • The General Meeting of Shareholders, hereinafter referred to as the GMS is an Organ of the Company that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the limits specified in this Law and/or the articles of association”

While the Board of Directors is the company’s authorized and fully responsible organ or the management of the Company for the benefit of the Company, in accordance with the company’s intentions and objectives, both inside and outside the court in accordance with the provisions of the articles of association. Based on the duties and responsibilities of the board of directors, namely contained in Article 92 paragraph (1), Article 97 paragraph (2), Article 98 paragraph (1), Article 100 paragraph (1), Article 101 paragraph (1), and Article 102 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 92

  • The Board of Directors carries out the Management of the Company for the benefit of the Company and in accordance with the Company’s purpose and purpose”

“Article 97

  • The Board of Directors is authorized to carry out the management as intended in paragraph (1) in accordance with the policy that is considered appropriate.”

“Article 98

  • The Board of Directors represents the Company both inside and outside the court.”

“Article 100

  • The Board of Directors is obliged to make a list of shareholders, a solemn list, minutes of the GMS; minutes of the Board of Directors meeting; make an annual report; and maintain the company’s entire list, minutes, and financial documents.”

“Article 101

  • Members of the Board of Directors shall report to the Company regarding the shares owned by the members of the Board of Directors concerned and/or their families in the Company and other Companies to be further recorded in the special list.”

“Article 102

  1. The Board of Directors is obliged to request the approval of the GMS to transfer the Company’s wealth; or make a guarantee of the Company’s wealth debt; which is more than 50% (fifty percent) of total net worth. The Company in 1 (one) transaction or more, whether related to each other or not.”

On the Board of Commissioners which is the Company’s Organ in charge of conducting supervision in general / and or specifically in accordance with the articles of association and advise the Board of Directors. Its duties and authorities are regulated in Article 108 paragraph (1), Article 114 paragraph (2) and paragraph (3), and Article 116 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 108

  1. The Board of Commissioners who supervises management policy, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.”

“Article 114

  • The Board of Commissioners supervises management policies, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.
  • Each member of the Board of Commissioners is personally responsible for the Company’s losses if the person concerned is guilty or negligent in carrying out his duties.”

“Article 116

The board of commissioners is obliged to:

  1. Make minutes of meetings of the Board of Commissioners and keep copies of them;
  2. Report to the Company about its and/or family’s shareholdings in the Company and other Companies; and
  3. Provide a report on the supervisory duties that have been carried out during the past financial year to the GMS.”

In terms of social and environmental responsibility, it is stated in Article 74 of the Limited Liability Company Law which explains as follows:

“Article 74

  • The Company having its business activities in the field of and/or related to natural resources, shall be obliged to perform its Social and Environmental Responsibility.
  • Social and Environmental Responsibility as referred to in paragraph (1) shall constitutes the obligation of the Company which is budgeted and calculated as the cost of the Company, implementation of which shall be performed with due observance to the appropriateness and fairness.
  • The Company which fails to perform its obligation as referred to in paragraph (1) shall be imposed with sanction in accordance with the provision of regulation.
  • Provision regarding Social and Environmental Responsibility shall be further regulated with a Government Regulation.”

A Limited Liability Company may take legal actions including merger, consolidation, acquisition, and separation, which in its implementation, such actions must take into account the interests as regulated in Article 126, namely:

  1. The Company, minority shareholders, employees of the Company;
  2. Creditors, other business partners of the Company; and
  3. Community and fair competition in performing business.

According to Article 1 paragraph 9, merger is a legal action taken by one or more Companies in order to merge with another existing Company, which causes the transfer of assets and liabilities of the merging Companies by operation of law, to the surviving Company and thereafter the legal entity status of the merging Company ceases by operation of law.

While according to Article 1 paragraph 10, consolidation is a legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. In the case of merger and consolidation, it is regulated in Article 122 which reads as follows:

“Article 122

  • Merger and Consolidation shall cause the merging or consolidating Company to legally dissolve.
  • The dissolution of the Company as referred to in paragraph (1) may occur without any prior liquidation performed.
  • In the event of the Company dissolution as referred to in paragraph (2),
  • assets and liabilities of the merging or consolidating Company shall be legally transferred to the surviving Company, and the Company resulting from the Consolidation;
  • the shareholders of the merging and consolidating Company shall, by law, be the shareholders of the Company receiving the Merger or the Company resulting from the Consolidating as well; and
  • the Merging or the Consolidating Company shall be legally dissolved as of the effective date of such Merger or Consolidation.”

The third legal action, namely acquisition, according to Article 1 paragraph 11, acquisition is a legal action conducted by a legal entity or an individual to acquire the shares of the Company, resulting in the transfer of control of such Company. Acquisition as regulated in Article 125 paragraphs (1), (2), and (3) are as follows:

“Article 125”

  • The Acquisition shall be conducted by way of acquiring the shares issued or to be issued by the Company from the Board of Directors of the Company or directly from the shareholders.
  • The Acquisition may be conducted by a legal entity or an individual.
  • The Acquisition as referred to in paragraph (1) constitutes.”

The last legal action is separation, according to Article 1 Paragraph 12, Separation is a legal legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. Separation can be carried out by means of pure separation or impure separation as regulated in Article 135 which reads as follows:

“Article 135

  • The separation can be conducted by ways of :
  • Pure Separation; or
  • Non-pure Separation.
  • Pure Separation as referred to in paragraph (1) letter a shall cause all of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 2 (two) other Companies or more which receiving such transfer, and the Company that performs the Separation shall be, by law, dissolved.
  • Non-pure Separation as referred to in paragraph (1) letter b shall cause the part of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 1 (one) Company or more which receiving the transfer, and the Company performing the Separation shall remain exist.”

Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies not only regulates the terms of establishment and provisions of the company but also matters relating to dissolution where the company is no longer able to operate its business activities. In the terms of dissolution, liquidation, and expiration of the legal entity status of the company, that is regulated in Article 142 to Article 152. It is regulated in Article 142 paragraph (1), that the dissolution of the company occurs as a result of:

  1. Based on the resolution of GMS;
  2. Due to the termination of the Company’s duration as stipulated in the articles of association. c. based on the court order; d. Due to the revoked bankruptcy statement based on binding order of the commercial court, and the bankrupt assets of the Company is not sufficient to pay the bankruptcy cost; e. Due to the condition that the bankrupt assets of the Company has been declared in the condition of insolvency as regulated in the Law regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment; or f. Due to the revocation of the Company’s business permit, so that the Company is obliged to conduct liquidation in accordance with prevailing regulation.

Then, it is explained in more detail regarding the legal entity status of the company’s dissolution as stipulated in Article 143 which reads:

“Article 143

  • The Company’s dissolution shall not cause the Company to lose its status as legal entity until the completion of liquidation and the report of the liquidator is accepted by the GMS or by the court.
  • As of the dissolution, the title “in liquidation” shall be attached on each outgoing letter of the Company.”

0

MERGERS AND ACQUISITIONS IN A FRANCHISE SYSTEM COMPANY

Author : Nirma Afianita, Co-Author : Robby Mahaleksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
  3. Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

REFERENSI :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022
  2. Pengadaan, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, diakses pada 22 Maret 2022
  3. Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, diakses pada 22 Maret 2022
  4. Hukum Perseroan Terbatas, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, diakses pada 22 Maret 2022
  5. Santos Lolowang, www.santoslolowang.com , diakses tanggal 30 Maret 2022

Merger dan akuisisi merupakan dua istilah di dunia bisnis yang paling sering disebut, sehingga terkadang kedua istilah tersebut dianggap memiliki arti yang sama. Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut aksi korporasi berupa penggabungan dua perusahaan, Namun, ternyata pengartian dari istilah merger dan akuisisi ternyata berbeda dan harus dipahami. Beberapa perusahaan biasanya lebih memilih menggunakan istilah merger dibandingkan dengan akuisisi ketika membeli sebagian besar saham perusahaan yang lebih kecil.

Merger adalah proses menggabungkan dua perusahaan atau lebih yang kemudian menjadi satu perusahaan saja, dimana perusahaan tersebut mengambil dengan cara menyatukan saham berupa aset dan non aset perusahaan yang di merger. Perusahaan yang melakukan merger dengan perusahaan lainnya harus memiliki setidaknya 50% saham dan sisanya bisa di miliki oleh investor dari luar perusahaan. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya, perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain dimana membeli sebagian besar atau seluruh saham perusahaan lain dengan tujuan untuk mengambil kendali. Tujuan utama sebuah perusahaan bergabung dengan perusahaan lain atau melakukan akuisisi karena perusahaan akan mencapai pertumbuhan lebih cepat daripada harus membangun unit usaha sendiri selain untuk mendapatkan keuntungan. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar. [1]

Pengertian tentang merger juga dijelaskan pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada Pasal 1 ayat (9) yang berisikan:

“Pasal 1

  • Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum[2]

Sedangkan, pengertian dari akuisisi dijelaskan pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)  yaitu:

“Pasal 1

  1. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseroangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan terjadinya peralihan pengendalian atas Perseroan Tersebut.”[3]

Setiap perusahaan memiliki beberapa tujuan dalam melakukan merger dan akuisisi. Terdapat dua tujuan utama yaitu tujuan ekonomi dan non ekonomi. Tujuan ekonomi dari perusahaan yaitu untuk memaksimalkan nilai perusahaan sehingga mencapai posisi yang strategis di pasar. Selain itu, kemakmuran/kesejahteraan para karyawannya dan pemegang saham juga menjadi salah satu bagian dari tujuan merger dan akuisisi ini. Sedangkan pada tujuan non-ekonomi dari kegiatan merger dan akuisisi ini didasarkan pada keinginan subyektif dari pemilik atau manajemen perusahaan. Seperti karena adanya kepentingan pribadi (personal interest motive) dari pemilik perusahaan maupun manajemen perusahaan maupun karena prestige[4]

Perbedaan dari merger dan akuisis dapat dilihat dari prosesnya. Untuk dapat melakukan merger atau penggabungan, setidaknya terdapat lima tahapan yang harus dilakukan yaitu pertama, memenuhi persyaratan penggabungan. Perlu diperhatikan bahwa penggabungan untuk mencegah monopoli atau monopsoni yang dapat merugikan masyarakat. Dalam melakukan penggabungan, perseroan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari instansi terkait. Kedua, menyusun rancangan penggabungan. Setelah rancangan penggabungan tersebut dibuat, kemudian rancangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris setiap perseroan yang akan menggabungkan diri. Ketiga, persetujuan rancangan penggabungan. Setelah rancangan disetujui oleh Dewan Komisaris di setiap PT, selanjutnya harus diajukan pada RUPS yang berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 87

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, yang artinya hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili RUPS” [5]

Keempat membuat akta penggabungan. Jika penggabungan PT tidak disertai dengan anggaran dasar, salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar PT. Kelima, pengumuman hasil penggabungan. Direksi PT yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan maksimal tiga puluh hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri. Pengumuman dimaksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan penggabungan. [6]

Sedangkan pada akuisisi memiliki dua jenis proses pada pengambilalihannya, yaitu proses pengambilalihan melalui direksi perseroan dan proses pengambilalihan langsung dari pemegang saham. Pada Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan,  dijelaskan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 125

  1. Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan saham yang dimaksud adalah Pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan” [7]

Terdapat tujuh proses pengambilalihan atau akuisisi melalui direksi perseroan. Pertama keputusan RUPS. Pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi ketentuan dan persyaratan  tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 89

Terdapat paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau RUPS yang lebih besar” [8]

Kedua, Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan. Ketiga, penyusunan rancangan pengambilalihan. Keempat, pengambilalihan ringkasan rancangan. Kelima, pengajuan keberatan kreditor. Keenam, pembuatan akta pengambilalihan di hadapan notaris. Ketujuh, pemberitahuan kepada Menteri, dan yang terakhir pengumuman hasil pengambilalihan.

Sedangkan, pada proses pengambil alihan secara langsung dari pemegang saham memiliki prosedur yang lebih sederhana yaitu wajib tunduk dengan ketentuan akuisisi saham sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa Akuisisi saham wajib memperhatikan ketentuan pemindahan hak atas saham dalam Anggaran Dasar, serta mendapat persetujuan rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengumuman, Direksi perseroan yang akan melakukan akuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan dalam waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai akuisisi sesuai dengan rancangan dimaksud. Apabila kreditor tidak mengajukan keberatan dlm jangka waktu tersebut maka kreditor dianggap menyetujui. Dalam hal keberatan dari kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi perseroan maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Sebelum keberatan ini diselesaikan maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan. Akta pemindahan hak atas saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Salinan dari kata pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang perubahan Struktur Pemegang Saham Perseroan. Direksi perseroan wajib mengumumkan hasil akuisisi dalam 1 surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau sejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. [9]

Franchise atau Waralaba dalam praktek dunia bisnis telah cukup lama di kenal secara Internasional. Meskipun secara yuridis baru di atus di Indonesia pada tahun 17 dengan di keluarkannya PP RI No. 16 Tahun 17 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 17 tentnag Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan kemudian telah dirubaj dengan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007, serta Peraturan Mentri Perdagangan RI No: 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Menurut Pasal 1 ayat (1) PP No 42 Tahun 2007 Tetang Waralaba. Waralaba (Franchise) diartikan sebagai: hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba

Waralaba daam dunia perdagangan merupakan salah satu sistem yang dianggap sangat menguntungkan ini telah di buktikan oleh berbagai  perusahaan nasional maupun perusahaan berkaliber Internasioinal. Di Indonesia aturan hukum mengenai Waralaba (Franchise) belum lengkap. Indikator ini dapat kita cermati dari ketentuan hukum yang mengatur bisnis Waralaba yang sampai saat ini baru di atur dalm satu (1) Peraturan Pemerintah dan satu 1) Peraturan sebagimana di sebutkan di atas. Pengaturan melalui Undang-undang belum tersentuh oleh Pemerintah. Memang ada Peratura dari Departemen Teknis yang bersangkutan, namun pengaturan ini sama seklai belum memadai mengingat bisnis melalui sistem waralaba ini selalu berkembang secara dinamis sesuai perkembangan dunia usaha, dan membentuk model-model baru dalam prakteknya.[10]

Pengenbangan usaha melalui waralaba pada dasarnya mengembangkan usaha secara cepat memakai modal pihak lain, tentu saja risikonya juga ditanggung oleh penerima waralaba. Penerima Waralaba akan mendapatkan pelatihan, sistem, hak kekayaan intelektual, bahkan peraatan maupun bahan baku, tanpa harus memiliki pengalaman usaha lebih dahulu. Adapaun Pemberi Waralaba mempunyai hak untuk mendapatkan franchise fee atas penggunaan merek dan sistem, yang diterimakan pada awal perjanjian untuk suatu jangka waktutertentu biasanya sekurang-kurangnya lima tahun. Selain itu juga mendaatkan royalty dari penerima waralaba, yang berupa persentase dari nilai penjualan setiap bulannya.

Pada dasarnya waralaba terbentuk ketika pemberi waralaba menjalin hubungan hukum untuk melakukan kontrak kerjasama secara terpadu terhadap merek, desaintata letak dan lain sebagainya yang berkenaan dengan hak kekayaan intelektual serta metode bisnis secara kontinyu dalam suatu periode tertentu dengan penerima waralaba.

Merger pada Perusahaan yang bergerak di bidang Waralaba, sejauh ini belum ada peraturan yang melarangnya, Waralaba adalah jenis Usaha/Kegiatan yang di lakukan suatu perseroan, sedangkan Perseroan nya sendiri adalah suatu Subyek hukum yang mempunyai hak untuk dapat melakukan pengembangan Usaha dengan perseroan lain salah satunya dengan cara Merger. Dalam pengertian Merger sendiri sebagaimana yang disebutkan sebelumnya ialah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum

Merujuk pada penjelasan Merger yang di sebutkan dalam Pasal 1 ayat (9) maka Perusahaan yang bergerak dalam bidang apapun termasuk Waralaba dapat melakukan Merger dengan Perusahaan lain sesuai jenis merger yang di ingingkan seperti yang telah di jelaskan diatas serta dengan syarat dan ketentuan berlaku sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 123 Undang-Undang No 40 Tahun 2007  Tentang Perseroan Terbatas yakni :

“Pasal 123

  1. Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.
  2. Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
  3. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  4. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
  5. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
  6. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
  7. laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Persroan yang akan melakukan Penggabungan;
  8. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  9. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akutansi yang berlaku umum di Indonesia
  10. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;
  11. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
  12. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
  13. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewa Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
  14. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
  15. laporan mengenai keadaan perkembangan, dan hasil yang akan dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan penggabungan;
  16. kegiatan utama setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabugan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang danng berjalan; dan
  17.  rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan
  18. Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing unduk mendapatkan persetujuan
  19. Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain beraku ketentuan dalam Undang-Undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  20. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal” [11]

Dengan adanya penjelasan berikut dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai merger, akuisisi dan waralaba kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.

Jika dilihat dari hukum persaingan usaha di Indonesia, merger dan akuisisi dilarang jika kedua tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 28

Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”[12]

Merger dan Akusisi yang dilakukan oleh pelaku usaha harus memiliki nilai aset hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 2,5 triliun atau nilai penjualan hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 5 triliun wajib diberitahukan secara tertulis kepada KPPU paling lama 30 hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis merger dan akuisisi tersebut diatur berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 29

Penggabungan atau peleburan badan usaha atau pelgambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut” [13]

Jika pelaku usaha melakukan keterlambatan dalam melapor setiap transaksi merger atau akuisisi, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 menjelaskan bahwa dikenakan sanksi yaitu:

“Pasal 6

Sanksi hukum yang akan dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban ini dikenakan sanksi berupa denda adninistratif sebesat Rp1.000.000.000,00 (satu miliar) setiap hari keterlambatan dengan ketentuan denda administratef secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar)” [14] Sehingga dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai akuisisi, merger dan konsolidasi kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.


[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

[2] Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pengadaan, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, diakses pada 22 Maret 2022

[5] Pasal 87 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[6] Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, diakses pada 22 Maret 2022

[7] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[8] Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[9] Hukum Perseroan Terbatas, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, diakses pada 22 Maret 2022

[10] www.santoslolowang.com, di akses tanggal 30 Maret 2022

[11] Pasal 123 Undang-Undang No 40 Tahun 2007  Tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[13] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[14] Pasal Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  2. Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition.
  3. Government Regulation No. 57 of 2010 concerning Merger or Merger of Business Entities and Takeover of Company Shares that Can Result in Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.

REFERENCE :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, accessed March 22, 2022
  2. Procurement, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, accessed on March 22, 2022
  3. Online Law, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, accessed March 22, 2022
  4. Limited Liability Company Law, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, accessed on March 22, 2022
  5. Santos Lolowang, www.santoslolowang.com, accessed on March 30, 2022
Mergers and acquisitions are two terms in the business world that are most often discussed, so sometimes both terms are  considered to have the same meaning.  Both terms are used to refer to corporate action in the form of the merger of two companies, however, it turns out that the  meaning of the  terms merger and acquisition turns out to be different and must be understood.  Some companies usually prefer to use the term merger as opposed to  acquisition when buying most of the shares of smaller companies.   Merger is the process of combining two or more companies that then become one company only, where the company takes by uniting shares in the form of assets and non-assets of the merged company. Companies that merge with other companies must own at least 50% of the shares and the rest can be owned by investors from outside the company. In this case the buying company will continue its name and identity, the buyer’s company will also take both the assets and liabilities of the purchased company.  An acquisition is the purchase of a company by another company where it buys most or all of the shares of another company with the aim of taking control. The main goal of a company is to join another company or make acquisitions because the company will achieve faster growth than having to build its own business unit in addition to making a profit.  Acquisitions are often used to maintain the availability of raw material supplies or guarantee that products will be absorbed by the market.[1]   The understanding of mergers is also explained in Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT) in Article 1 paragraph (9) which contains: “Article 1 Merger is a legal action carried out by one other existing Company that results in assets and pasiva of the Company that merge themselves switched because of the law to the Company that received the subsequent incorporation of legal entity status to the Company that merged itself ends because of the law[2]   Meanwhile, the understanding of the acquisition is explained in Article 1 paragraph (11) of Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT)  namely: “Article 1 Takeover is a legal act carried out by a legal entity or company to take over the Company’s shares which results in a transfer of control over the Company.”[3] Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic and non-economic goals.   The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige. [4]   The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process.  To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation.  It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of Commissioners at each PT,  it must then be submitted at the GMS  based on Article 87 paragraph (1) of Law No. 40 of 2008 concerning the Company. Limited explains as follows:   Article 87 The decision of the GMS is taken based on deliberations for consensus, which means the results of the agreement approved by the shareholders present or represented by the GMS”[5]   The fourth made a joining deed. If the incorporation of THE PT  is not accompanied by the articles of association, a copy of the  merger deed  must be submitted to the Minister to be recorded in the list of PT.  Fifth, the announcement of the results of the merger.  The Board of Directors of PT who receive the merger must announce the results of the merger a maximum of  thirty days from the date of  approval of the  Minister.  The announcement is intended so that   interested  third parties  know that a  merger has been made. [6]   While the acquisition has two types of processes on its takeover, namely the takeover process  through the company’s board of directors and the takeover process  directly from  shareholders.  In the Takeover Process through the Board of Directors of the Company, explained based on Article 125 paragraph (1) of Undang-Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  , namely: “Article 125 The takeover is carried out by means of a takeover of shares that have been issued by the Company through the Company’s Board of Directors or directly from shareholders. This is done by a legal entity or individual person. The takeover of the shares in question is a takeover that results in a change of control of the Company”[7]   There are seven takeover or acquisition processes  through the company’s directors.  First the decision of the GMS.  The election must be based on the GMS that meets the provisions and requirements on the requirements for gms decision making as intended in Article 89 Undang-Law No. 40  of  2007, namely:   “Article 89 There are at least 3/4 (three-quarters) part of the total number of shares with voting rights present or represented at the GMS and the decision is valid if approved at least 3/4 (three quarters) part of the number of votes issued, unless the articles of association determine the quorum of attendance and/or a larger GMS”[8]   Second, Notice to the Board of Directors of the Company.  Third, the preparation of the takeover plan.  Fourth, the takeover of the draft summary.  Fifth, the submission of creditor objections.   Sixth, the creation of a  takeover deed in front of a notary.  Seventh, notice to the Minister, and finally the  announcement of the results of the takeover.   Meanwhile, in the process   of taking over directly  from  shareholders has a simpler procedure that  is  obliged to be subject to the provisions of  stock acquisition in accordance with Law No. 40 of 2007.  about the Limited Liability Company  which explains that the acquisition of shares must pay attention to the provisions of the transfer of rights to shares in the Articles of Association, as well as obtaining approval from the General Meeting of Shareholders (GMS). Gms must be carried out no later than 30 (thirty) days after the announcement, the Board of Directors of the company who will make the acquisition must announce a summary of the draft in at least 1 (one) newspaper and announce in writing to the employees of the company within 30 days before the summons of the GMS. Creditors may object to the company within 14 days after the announcement of the acquisition in accordance with the draft. If the creditor does not raise objections within that period of time then the creditor is considered to agree.  In the case of the validity of the creditors until the date of the GMS cannot be completed by the Board of Directors of the company, the objection must be submitted at the GMS to get a settlement. Before these objections are resolved, the acquisition cannot be implemented. The deed of transfer of rights to shares must be declared by notary deed and in Indonesian.  A copy of the word transfer of the right to shares must be attached to the submission of notification to the Minister of Law and Human Rights about changes to the Company’s Shareholder Structure.  The Board of Directors of the Company shall announce the results of the acquisition in 1 or more newspapers within a period of no later than 30 days from the date of notification to the Minister of Law and Human Rights or from the date of approval of changes to the Articles of Association by the Minister of Law and Human Rights. [9]  
Franchise or Franchise in the practice of the business world has long been known internationally. Although juridically new in atus in Indonesia in 17 years with the issuance of PP RI No. 16 Of 17 concerning Franchising with the Decree of the Minister of Industry and Trade of the Republic of Indonesia  No. 259 / MPP / Kep / 7/1997 dated July 30, 17, 17, 17, 17,  2007,  and The Minister  of Trade  Regulation No: 31/MDAG/PER/8/2008 concerning The Implementation of Franchises.   According to Pasal 1 paragraph (1) PP No. 42 of 2007 Tetang Waralaba.  Franchising (Franchise) is defined as: special rights owned by individuals or business entities to business systems with business characteristics in order to market goods and / or services that have been proven successful and can be utilized and / or used by other parties based on franchise agreements.   Franchising in the trading world is one of the systems that are considered very profitable has been proven by various national companies and companies of international caliber.  In Indonesia, the rule of law regarding Waralaba (Franchise) is not complete. This indicator can be observed from the legal provisions governing franchise business which until now has only been regulated in one (1) Government Regulation and one 1) Regulation as mentioned above. Arrangements through the Law have not been touched by the Government. Indeed, there is a Regulation from the Technical Department concerned, but this arrangement is the same as  inadequate considering that business through this franchise system is always developing dynamically according to the development of the business world, and forming new models in practice.[10]   Business development through franchising basically develops the business quickly using the capital of other parties, of course the risk is also borne by the franchisee.  Franchisees will get training, systems, intellectual property rights, even cultivation and raw materials, without having to have business experience first.  There is a Franchisee has the right to obtain a franchise fee for the use of the brand and system, which is accepted at the beginning of the agreement for a period of time usually at least five years.  In addition, it also raises royalties  from franchisees, which is a percentage of the sales value every month.   Basically, a franchise is formed when the franchisor establishes a legal relationship to enter into an integrated cooperation contract with the brand, layout design and so on with regard to intellectual property rights and business methods continuously in a certain period with the franchisee.   Merger in companies engaged in franchising, so far there is no regulation that prohibits it, Franchising is a type of Business / Activity carried out by a company, while the Company  itself is a legal subject that has the right to be able to develop a business with other companies, one of which is by way of merger. Dalam understanding merger itself as a mentioned earlier is a legal action carried out by one other existing Company that results in assets and pasiva of the Company that merges itself switched because of the law to the Company that received the subsequent merger of legal entity status to the Company that joined itself ended because of the law.   Referring to the explanation of the Merger mentioned in Article 1 paragraph (9) then companies engaged in any field including Franchises can merge with other companies in accordance with the type of merger  that has been described above and with the terms and conditions apply as described in Article 123 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:   “Article 23: The Board of Directors of the Company who will merge and accept the Merger drafts a merger.The Merger Plan as intended in paragraph (1) contains at least: the name and place of position of each Company that will merge; reasons and explanations of the Board of Directors of the Company who will merge and merge requirements;procedures for the assessment and conversion of the Company’s shares that combine themselves against the Shares of the Company that received the Merger;plan changes to the Articles of Association of the Company that accept mergers if any;financial statements covering the last 3 (three) financial years of each Persroan that will merge; plan for the continuation or termination of business activities of the Company that will merge; balance sheet proforma of the Company that accepts incorporation in accordance with the principles of accounting that is generally accepted in Indonesia ;how to resolve the status, rights and obligations of members of the Board of Directors, Board of Commissioners, and employees of the Company who will merge themselves; how to resolve the rights and obligations of the Company that will merge with third parties; how to resolve the rights of shareholders who do not agree to the Merger of the Company; names of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners as well as salaries, honorariums and benefits for members of the Board of Directors and Dewa Commissioners of the Company who receive mergers; estimated period of implementation of the Merger; reports on the state of development, and the results to be achieved from each Company that will merge; the main activities of each Company that will carry out the Incursion and changes that occur during the current financial year; and details of issues arising during the current financial year affecting the Activities of the Company that will merge The Merger Draft as intended in paragraph (2) after obtaining the approval of the Board of Commissioners of each Company submitted to the GMS respectively to get approval For certain Companies that will merge in addition to the provisions in this Law, it is necessary to get prior approval from the relevant agencies in accordance with the provisions of the laws and regulations. The provisions as intended in paragraph (1) to paragraph (4) apply also to open companies as long as they are not regulated in other laws and regulations in the field of capital markets” [11]   With the following explanation, it is advisable for business actors not to hesitate to consult on mergers, acquisitions and franchises to authorized institutions related to the rules in the merger or fusion of business entities. The consultation is expected to prevent rule violations in monopoly practices and unfair business competition and avoid mistakes that will occur.

When viewed from  the   competition law  in Indonesia, mergers and acquisitions are prohibited if both actions can result in monopolistic practices and unfair business competition. This is  stipulated in Article 28 of Law No. 5  of  1999 concerning Prohibition of  Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:   “Article 28 Business actors are prohibited from combining or smelting business entities that can lead to monopolistic practices and/or unfair business competition” [12] Mergers and Acquisitions carried out by business actors must have the value of assets resulting from mergers and acquisitions exceeding Rp 2.5 trillion or the value of sales of mergers and acquisitions exceeding Rp 5 trillion must be notified in writing to the KPPU no later than 30 working days from the date it has been effective juridically the merger and the acquisition is regulated under Article 29 of Law No. 5 years.  1999  on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:   “Article 29 The merger or merger of a business entity, or the takeover od shares an intended in Artcile 28 which results in the value of the asset and or the value of its sale exceeding a certain amount, must be notified to the Commission, no later than 30 (thirty) days from the date of incorporation, smelting or takeover.” [13] If  business actors make a delay in reporting any merger or acquisition transactions, based on Article 6  of Government Regulation No. 57 of 2010 explains that sanctions are subject to:   “Article 6 Legal sanctions that will be imposed on business actors who do not perfrom this obligation are subject to sancton in the fomr of administrative fines of Rp 1,0000,000,000.00 (one billion every day) delay with the provision of administrative fines as a whole as high as Rp25,000,000,000.00 (two recover five billion)” [14]   So it is appealed to business actors not to hesitate to consult on acquisitions, mergers and consolidations to authorized official institutions related to the rules in the merger or fusion of business entities. The consultation is expected to prevent rule violations in monopoly practices and unfair business competition and  avoid mistakes that will occur.                                  

[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, Accessed at 22 March 2022

[2] Article 1 paragraph (9) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[3] Article 1 paragraph (11) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[4] Procurement, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, Accessed at 22 March 2022

[5] Article 87 of Law No.40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.

[6] Online Law, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, Accessed at 22 March 2022

[7]Article 125 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[8] Article 89 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[9] The Company’s Law Limited, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, Accessed at 22 March 2022

[10] www.santoslolowang.com, accessed march 30 2022

[11] Article 123 Law No 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[12] Article 28 Law No. 5 year 1999 about Prohibition Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy.

[13] Article 29 Law No. 5 year 1999 about Prohibition Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy

[14] Article 6 Regulation Government No. 57 year 2010 about Merging or Smelting Business Entities and Takeover Shares of the Company Get Cause Occurrence Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy.

0

Energy Sector Investment: Solutions and Problems

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-Author : Robby Malaheksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
  2. Permen ESDM No 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT. PLN (Persero)

REFERENSI :

  1. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta
  2. Dewan Energi Nasional. Ketahanan Energi. 2014. Jakarta. 2014
  3. Akhir 2016, Harga Batu Bara Acun Tembus US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton,  diakses tanggal 31 Maret 2022.
  4. Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010.
  5. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, diakses tanggal 2 April 2022

Investasi Energi Terbarukan Capai Rp30 Triliun Sepanjang 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, diakses tanggal  2 April 2022

LEGAL BASIS:

  1. Government Regulation No. 79 of 2014 on National Energy Policy
  2. Permen ESDM No. 21 of 2016 concerning The Purchase of Electricity from Biomass Power Plants and Biogas Power Plants by PT. PLN (Persero)

REFERENCE :

  1. Agency for the Assessment and Application of Technology. Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta
  2. National Energy Council. Energy Security. 2014. Jakarta. 2014
  3. At the end of 2016, Acun Coal Price Reached US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton, accessed March 31, 2022.
  4. Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s renewable Enrgi Development Strategy”. 2010.
  5. Renewable Energy and Energy Conservation (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, accessed April 2, 2022
  6. Renewable Energy Investment Reaches RP30 Trillion Throughout 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, accessed April 2, 2022

Penggunaan energi di Indonesia ternyata masih bergantung sepenuhnya pada Energi yang tidak dapat di perbaharui seperti Minyak Bumi, Batubara dan Gas alam sebagai sumber kebutuhan energi. Sedangkan melihat dari hasil implementasi yang telah di lakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan bauran Energi terbarukan (ET) masih mengalami berbagai kendala. Kendala yang di maksud antara lain kendala teknis, non teknis dan persaingan harga tarif dengan energi fosil yang cendrung lebih murah, sehingga menyebabkan pembangunan Energi terbarukan menjadi terhambat dan baruan Energi yang di capai dari ET baru sekitar 6,2 % secara keseluurhan dengan pertumbuhan 0,39 % per tahun.

Energi yang dapat diperbaharui (renewable energy) ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh energi yang tidak dapat diperbaharui (non renewable energy), yaitu energi tersebut tidak akan pernah berhenti atau habis selama siklus alam masih berlangsung, ramah lingkungan dan dapat meminimalisir polusi lingkungan. Sedangkan non renewable energy merupakan energi yang akan habis jika di pakai terus menerus dana mengahsilkan polusi jika di gunakan, namn memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi yang lebih besar dari pda renewable energy dengan konsentrasi yang lebih sedikit.[1]

Upaya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan sebagaimana tertulis pada Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menjelaskan tentang prioritas pengembangan eergi nasional sebagai berikut :

“Pasal 11

  • Untuk mewujudkan keseimbangan keekonomian Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, prioritas pengembangan Energi nasional didasarkan pada prinsip:
  • Memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian.
  • Meminimalkan penggunaan minyak bumi.
  • Memanfaatkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru.
  • Menggunakan batu bara sebagai andalan pasokan energi Nasional.” [2]

Indonesia sendiri mematok targer pencapaian energi sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 9 huruh (f) PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagai berikut :

“Pasal 9

  • Tercapainya bauran Energi Primer yang optimal:
  1. Pada tahun 2025 peran energi baru daan energi terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 % sepanjang keekonomian terpenuhi.
  2. Pada tahun 2025 peran minyak bumi kurang urang dari 25% dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20%
  3. Pada tahun 2025 peran batubara minimal 30% dan pada tahu 2050 minimal 25%.
  4. Pada tahun 2025 peran gas bumi minimal 22% dan pada tahun 2050 minimal 24%[3]

Bila melihat dari hasil implementasi yang telah di lakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan targetan tersebut, sampai tahun 2015 dalam perincian sumber energi secara keseluruhan disemua sektor. Minyak bumi masih menjadi tumpuan utama masyrakat Indonesia dengan persentase sebesar 43%, disusul kemudian Batubar dan gas bumi masing-masing 28,7% dan 22%. Sisanya, yaitu hanya sebanyak 6,2% yang berasal dari sumbangsih energi terbarukan dalam baruan pemanfaataan energi nasional. Ini artinya pemanfaatan energi terbarukan masih belum maksimal sampai dengan saat ini dan belum bisa menutupi pertumbuhan konsumsi energi sampai 3,2% dan konsumsi listrik sekitar 6% setiap tahunnya, sedangkan bauran energi terbarukan bertambah 0,36 % per-tahunnya. Hal ini akan membuat sulit untuk mencapai target 23% pada tahun 2025. [4]

Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi oleh kondisi energi terbarukan Indonesia, seperti masih mengalami berbagai masalah teknis, non teknis, perizinan yang menghambat perkembangan energi baru dan terbarukan nasional. Tidak hanya itu keterbatasan infrastruktur juga menjadi salah satu faktor permasalahan dalam penggunaan energi terbarukan, yang menyebabkan adanya akses pembatasan bagi masyarakat, penerapan insentif pajak yang semakin tinggi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dalam bentuk resiko dan penugasan eksplorasi kepada BUMN, ditambah dengan adanya tantangan global yang di hadapi oleh Indonesia, sehingga penggunaan potensi sumber daya energi nasional yang ada belum efisien dan masih sangat rendah bila di bandingkan dengan potensi yang dimiliki.[5]

Dengan adanya permasalahan tersebut, sehingga dalam penggunaan energi di Indonesia, masih dilakukan dengan sumber energi yang tidak dapat di perbaharui, hal ini juga di dorong dengan tarif listrik dari energi fosil (batubara) di anggap lebih murah karena harga batubara dunia yang rendah dan ketergantungan kepada sumber energi berbasis minyak dikarenakan subsidi yang di berikan, serta komponen-komponen energi terbarukan yang mahal dikarenakan harus mengimpor dari luar negeri dan terbatasnya industri energi terbarukan di Indonesia. Berdasarkan permasalahan energi terbarukan yang melanda, maka di perlukan sebuah strategi untuk pengembangan energi terbarukan yang dapat meningkatkan perkembangan energi terbarukan di Indonesia secara signifikan untuk mencapai targetan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 dan 2050, serta mendapatkan solusi untuk menuju pemanfaatan energi terbarukan yang optimal dan efisien demi kepentingan ketahanan energi nasional.[6]

Salah satu tujuan dari pengembangan energi terbarukan adalah meningkatkan investasi sektor ESDM khussnya energi terbarukan. Tahun 2016 Investasi di sektor energi terbarukan mencapai U$D 1,593 Miliar dengan rincian U$D 1,13 Miliar (panas bumi), U$D 0,41 Miliar (Bioenergi), U$D 0,056 Miliar (PLTS dan PLTMh), dan U$D 0,003 Miliar (Konservasi Energi). Dari ke-4 bidang Investasi tersebut hanya gabungan Investasi PLTS dan PLTMh yang pencapaiannya tidak sesuai target di tahun 2016 dengan prosentase 56% dari pencapaian toal sebesar U$D 0,1 Miliar.[7]

Sektor panas bumi dapat melebihi target yang dicanangkan dalam Investasi yakni sebesar U$D 0,96 Miliar di karenakan pada tahun 2016 banyak terdapat PLTP yang COD (Commercial Operating Date). Sedangkan untuk Bioenergi dikarenakan ketertarikan Investor terhadap kebijakan Permen ESDM No 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT. PLN (Persero). Menurut Laporan kinerja dari EBTKE[8] tahun 2016 tercatat ada sekitar 15 Badan Usaha yang berinvestasi di sektor Bioenergi.

Melihat beberapa permasalahan yang di hadapai maka perlu dicarikan solusi agar dapat meningkatkan peranan energi terbarukan dalam bauran energi di Indonesia, solusi tersebut dapat berupa :[9]

  1. Potensi energi terbarukan (matahari, angin, air, bioenergi, panas bumi) yang dimiliki Indonesia perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik, rasio elektrifikasi dan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan yang dicanangkan PP. No.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, mengingat daya bangun pembangkit listrik yang harus ditingkatkan dari 4 GW/tahun menjadi 6 GW/tahun dan bertahap menjadi 12 GW/tahun
  2. Menjalankan feed in tariff energi terbaharukan yang ada untuk Investor dan di bantu subsidi listrik ET dari Pemerintah untuk konsumen sampai biaya pokok penyediaan listrik ET memungkinkannya untuk di cabutnya subsidi harga listrik ET.
  3. Memberikan pajak emisis C kepada pengelola pembangkit listrik energi fossil, sebagi bentuk komitmen negara terhadap perjanjian penurunan emisis dengan dunia serta utnuk pembangunan Energi ramah lingkungan di Indoneia.
  4. Pembebasan pajak impor peralatan energi terbaharukan dan mendorong produsen peralatan energi terbaharukan lokal melalui pembebeasa pajak dan dukungan keuangan secara langsung.
  5. Menggencarkan studi dan penelitian serta mengidentivikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbaharukan secara lengkap di setiap wilayah, merumuskan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konservasi energi yang sesuai dengan kondisi Indonesia dengan di dukung anggaran dana dari Pemerintah.
  6. Perlu adanya dukungan berupa kebijakan bantuan investasi dari pemerintah sekitar 20 – 30% untuk menggairahkan pembangunan energi terbarukan ditengah masih mahalnya harga operasional untuk membangun pembangkitan energi terbarukan, faktor perizinan, biaya eksplorasi dan pengeboran (panas bumi), pembelian bahan baku (biomassa), perencanaan dan sebagainya.
  7. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kemudian lembaga lembaganya baik kementerian ESDM, Kementerian Riset, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau pun lembaga lain saling bekerja sama secara nyata untuk pengembangan di bidang energi terbarukan tanpa mengedepankan ego sektoral.
  8. Mensosialisasikan dan memberi pendidikan kepada masyrakat mengenai energi terbaharukan agar isu-isu negatih yag ada pada benak masyarakat mengenai pemnafaatan energi terbaharukan dapat tertanggulangi.

Berdasarkan data Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), Singapura menjadi kontributor terbesar dalam investasi sektor energi terbarukan di Indonesia. Pada 2020, nilai investasinya mencapai US$ 453,1 juta. Secara akumulasi dari 2016-2020, Investasi Energi terbarukan dari Singapura mencapai US$ 1.176,9 juta atau kontribusinya mencapai 34,5 persen dari total investasi asing sektor energi terbarukan di Indonesia.

Kontributor selanjutnya adalah Korea Selatan, yang dalam 5 tahun terakhir ini nilai investasinya mencapai US$ 564,8 juta atau berkontribusi sebesar 16,6 persen dari keseluruhan investasi asing sektor  ET di Indonesia. Kemudian disusul oleh Belanda yang mencapai total US$ 502 juta (14,7 persen), Jepang total US$ 416,7 juta (12,2 persen), dan China total US$ 191,9 juta (5,6 persen). China ada diurutan ke lima yang memiliki investasi besar di Indonesia dan terus menigkat dari tahun ke tahun kecuali di 2020 yang turun karena dampak Covid-19[10]

Pertumbuhan energi terbarukan harus dipercepat, karena kepedulian terhadap perubahan iklim dan dukungan untuk lingkungan, keberlanjutan, terus tumbuh, dan permintaan akan sumber energi yang lebih bersih pun juga terus meningkat. Tahun 2022 merupakan tahun kritis untuk transisi energi, sehingga kesuksesan tahun ini akan menjadi penentu keberhasilan dalam pencapaian komitmen netral karbon pada tahun 2050. Semua stakeholders, baik pemerintah maupun swasta perlu melakukan upaya terbaik untuk mewujudkan energi bersih yang berkelanjutan, yang pada akhirnya membawa kita lebih dekat menuju tercapainya kondisi netral karbon.


[1] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta

[2] Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[3] Pasal 9 huruh (f) PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[4] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 2

[5] Akhir 2016, Harga Batu Bara Acun Tembus US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton,  diakses tanggal 31 Maret 2022.

[6] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 2

[7] Dewan Energi Nasional, Ketahanan Energi. 2014. Jakarta. 2014

[8] Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, diakses tanggal 2 April 2022

[9] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 11-12

[10] Investasi Energi Terbarukan Capai Rp30 Triliun Sepanjang 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, diakses tanggal  2 April 2022

The use of energy in Indonesia is still completely dependent on energy that cannot be renewed such as petroleum, coal and natural gas as a source of energy needs. Meanwhile, seeing from the results of the implementation that has been done by the Government to realize the renewable energy mix (ET) is still experiencing various obstacles. The constraints that are meant between the design of technical, non-technical constraints and tariff price competition with fossil energy are  cheaper, thus causing the development of renewable energy to be hampered and recently The energy achieved from the new ET is about 6.2% in a comprehensive manner  with a growth of 0.39% per year.

This renewable energy has a priority that is not owned by non-renewable energy, that is, it will never stop or run out as long as the natural cycle is still ongoing, environmentally friendly and can minimize environmental pollution.  While non-renewable energy is energy that will be consumed if used continuously funds to produce pollution if used, namn has the advantage that it can produce more energy than pda renewable energy with less concentration.[1]

Efforts to optimize the use of renewable energy as written in Article 11 paragraph (2) of Government Regulation No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy which explains the priorities of national eergi development as follows:

“Article 11 paragraph (2):

  1. Maximize the use of renewable energy by paying attention to the level of economy.
  2. Minimize the use of petroleum.
  3. Utilizing the utilization of natural gas and new energy.
  4. Using coal as a mainstay of the National energy supply.”

Indonesia itself pegs the targer of energy achievement as mentioned in Article 9 huruh (f) PP No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy as a provision:

“Article 9 letter (f):

  1. By 2025 the role of new energy and renewable energy is at least 23% and by 2050 at least 31% as long as the economy is fulfilled.
  2. By 2025 the role of petroleum is less than 25% and by 2050 it will be less than 20%.
  3. By 2025 the role of coal is at least 30% and by 2050 at least 25%.
  4. By 2025 the role of natural gas is at least 22% and by 2050 it is at least 24%.[2]

If we saw from the results of the implementation that has been carried out by the Government to realize this target, until 2015 in the details of energy sources as a whole in all sectors. Petroleum is still the main focus of the Indonesian community with a percentage of 43%, followed by Batubar and natural gas respectively 28.7% and 22%. The rest, namely hanya as much as 6.2% which comes from the contribution of renewable energy in the new national energy utilization.  This means that the use of renewable energy is still not optimal until now and has not been able to cover the growth of energy consumption up to 3.2% and electricity consumption of about 6% annually, while the renewable energy mix increased by 0.36% per year.  This will make it difficult to reach the 23% target by 2025. [3]

The forms of problems faced by Indonesia’s renewable energy conditions, such as still experiencing various technical, non-technical, licensing problems that hinder the development of new and national renewable energy. Not only that, limited infrastructure is also one of the problem factors in the use of renewable energy, which causes access restrictions for the community, the application of higher tax incentives for Geothermal Power Plants (PLTP), in the form of risk and exploration assignments to SOEs, plus with the global challenges faced by Indonesia, so that the use of the potential of existing national energy resources is not yet efficient and is still very low when compared to its potential.[4]

With these problems, so that energy use in Indonesia is still carried out with energy sources that cannot be renewed, this is also driven by electricity tariffs from fossil energy (coal) which are considered cheaper because of low world coal prices and dependence on electricity. oil-based energy sources due to subsidies provided, as well as expensive renewable energy components due to having to import from abroad and the limited renewable energy industry in Indonesia. Based on the renewable energy problems that hit, a strategy is needed for the development of renewable energy that can significantly increase the development of renewable energy in Indonesia to achieve the target of the renewable energy mix in 2025 and 2050, as well as to find solutions for optimal and efficient use of renewable energy. in the interest of national energy security.[5]

One of the goals of renewable energy development is to increase investment in the ESDM sector, especially renewable energy. In 2016 investment in the renewable energy sector reached U$D 1.593 billion with details of U$D 1.13 Billion (geothermal), U$D 0.41 Billion (Bioenergy), U$D 0.056 Billion (PLTS and PLTMh), and U$D 0.003 Billion (Energy Conservation). Of the 4 investment fields, only a combination of PLTS and PLTMh investments whose achievements were not on target in 2016 with a percentage of 56% of the toal achievement of U$D 0.1 billion.[6]

The geothermal sector can exceed the target set in the Investasi which is US $ D 0.96 billion because in 2016 there are many COD (Commercial Operating Date) PLTP.   As for Bioenergy due to investor interest in the esdm candy policy  No. 21 of 2016 concerning the purchase of electricity from biomass power plants and biogas power plants by PT. PLN (Persero). According to the performance report from EBTKE[7] in 2016, there were about 15 Business Entities that invested in the Bioenergy sector.

Looking at some of the problems that are addressed, it is necessary to find solutions in order to increase the role of renewable energy in the energy mix in Indonesia, these solutions can be in the form of:[8]

  1. The potential of renewable energy (solar, wind, water, bioenergy, geothermal) owned by Indonesia needs to be utilized to the maximum to increase the installed capacity of power plants, electrification ratios and reduce greenhouse gas emissions in accordance with the pp. No.79 of 2014 on National Energy Policy, considering the power plant building power that must be increased from 4 GW / year to 6 GW / year and gradually to 12 GW / year
  2. Running the feed in tariff of the latest energy that exists for investors and assisted by et electricity subsidies from the Government for consumers until the cost of providing ET electricity allows it to be revoked et electricity price subsidies.
  3. Providing C emissions tax to fossil energy power plant managers, as a form of state commitment to emissions reduction agreements with the world and for the development of environmentally friendly energy in Indonesia.
  4. The exemption of the import tax on renewable energy equipment and encourages local renewable energy equipment manufacturers through tax relief and direct financial support.
  5. Intensifying studies and research and identifying every type of potential energy resources in each region, formulating basic specifications and engineering standards of energy conservation systems in accordance with Indonesian conditions with the support of government budgets.
  6. There needs to be support in the form of investment assistance policies from the government of around 20-30% to stimulate renewable energy development amid the high operational price to build renewable energy generation, licensing factors, exploration and drilling costs (geothermal), purchase of raw materials (biomass), planning and so on.
  7. The central government and local government, then the institutions of the ministry of energy and mineral resources, ministry of research, and ministry of environment and forestry or other institutions cooperate with each other in real terms for development in the field of renewable energy tanpa put forward sectoral ego.
  8. Socializing and educating the community about renewable energy so that the issues of the country are in the minds of the community regarding the use of the renewable energy can be overcome.

Based on data from the Investment Coordinating Board (BKPM), Singapore is the largest contributor in renewable energy sector investment in Indonesia.  In 2020, the investment value reached US $ 453.1 million. Accumulated from 2016-2020, renewable energy investment from Singapore reached US$ 1,176.9 million or its contribution reached 34.5 percent of the total foreign investment of  the renewable energy sector in Indonesia.

The next contributor is South Korea, which in the last 5 years has an investment value of US $ 564.8 million or contribute 16.6 percent of the overall foreign investment of the ET sector in Indonesia. It was followed by the Netherlands which reached a total of US$ 502 million (14.7 percent), Japan totaled US$ 416.7 million (12.2 percent), and China totaled US $ 191.9 million (5.6 percent).  China is ranked fifth which has a large investment in Indonesia and continues to increase from year to year except in 2020 which fell due  to the impact of Covid-19.[9]

The growth of renewable energy must be accelerated, because concern for climate change and support for the environment, sustainability, continues to grow, and the demand for cleaner energy sources also continues to increase. 2022 is the year for the energy transition, so this year’s success will be the determinant of success in achieving carbon neutral commitments by 2050.  All stakeholders, both government and private, need to make their best efforts to realize sustainable clean energy, which ultimately brings us closer to achieving carbon neutral conditions.


[1] Agency for the Assessment and Application of Technology. Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta

[2] Article 9 huruh (f) PP No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy

[3] Fikri Azikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s Renewable Energy Development Strategy”. 2010. Pg. 2

[4] End of 2016, Acun Coal Price Reached US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/economy/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton, accessed on March 31, 2022.

[5] Fikri Azikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s Renewable Energy Development Strategy”. 2010. Pg. 2

[6] National Energy Council, Energy Security. 2014. Jakarta. 2014

[7] Renewable New Energy and Energy Conservation (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, retrieved April 2, 2022

[8] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Renewable Enrgi Development Strategy Indonesian”. 2010. P. 11-12

[9] Renewable Energy Investment Reaches RP30 Trillion Throughout 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, retrieved April 2, 2022

0

UNIT LINKED INSURANCE PLAN FROM THE VIEW OF INSURANCE LAW

Author : Nirma Afianita , Co-Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
  4. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
    REFERENSI :
  5. Kamus Besar Bahasa Indonesia
  6. https://tanyaasuransi.net/mengenal-sejarah-asuransi-di-dunia-dan-indonesia/ , diakses pada tanggal 31 Maret 2022
  7. https://panfic.com/id/insurance-knowledge/prinsip-dasar-asuransi , diakses pada tanggal 31 Maret 2022

LEGAL BASIS :

1. Commercial Law Book

2. Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

3. Law Number 40 of 2014 concerning Insurance

4. Financial Services Authority Circular Number 5/SEOJK.05/2022 concerning Insurance Products Linked to Investments

REFERENCE :

1. Big Indonesian Dictionary

2.https://tanyaasuransi.net/menenal-sejarah-asuransi-di-dunia-dan-indonesia/,  accessed on March 31, 20223. https://panfic.com/id/insurance-knowledge/principles-dasar-insurance, accessed on March 31, 2022

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat). [1] Kemudian pengertian Asuransi juga dijelaskan dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang , yang berbunyi:

asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian di mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tertentu.”[2]

Kemudian, hal-hal tentang perasuransian diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) , dimana dalam Pasal 1 Angka 1 UU 40/2014 menjelaskan secara rinci mengenai definisi asuransi itu sendiri, yang menyatakan bahwa :

Pasal 1

Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

  1. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  2. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.[3]

Asuransi sudah ada sejak pada ribuan tahun sebelum masehi, spesifiknya tahun 1750 SM, konsen perasuransian ini ditemukan hukum Kode Hammurabi yang diciptakan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia (sekarang Irak). Salah satu aturan yang diatur dalam Kode Hammurabi adalah kewajiban bagi para pedagang yang membeli barang dengan pinjaman dan mengangkutnya dengan kapal perlu membayar sejumlah ekstra dana sebagai garansi bahwa pinjamannya akan batal jika kapalnya dicuri. Ini diyakini menjadi cikal bakal asuransi.[4]

Sekitar 600 SM, orang Yunani dan Romawi membuat asuransi jiwa dan kesehatan pertama. Produk ini memberikan perawatan bagi keluarga yang ditinggalkan jika pencari nafkah meninggal. Pada abad ke-12 di Anatolia, sejenis asuransi negara diperkenalkan. Dengan adanya asuransi ini, jika pedagang dirampok di daerah tersebut, maka kas negara akan mengganti kerugian pedagang. Polis asuransi mandiri yang tidak terikat kontrak atau pinjaman muncul di Genoa pada abad ke-14. Polis asuransi untuk pertama kalinya ditemukan di tahun 1347. Pada abad berikutnya, asuransi maritim mandiri dibentuk. Pemisahan asuransi dari kontrak dan pinjaman merupakan suatu perubahan besar yang mempengaruhi asuransi di tahun-tahun berikutnya.[5]

Di abad ke-17, kebakaran adalah ancaman konstan di Inggris. Pada tahun 1666, terjadi kebakaran hebat di London yang menghancurkan lebih dari 13.000 rumah dan puluhan gereja selama lima hari. Dari peristiwa tersebut, seorang dokter, ekonom, sekaligus kontraktor Nicholas Barbon menciptakan asuransi kebakaran. Dia mendirikan perusahaan asuransi kebakaran rumah pertama di dunia. Di AS, perusahaan asuransi pertama berdiri pada 1732 di Carolina Selatan dan menawarkan perlindungan kebakaran. Pada tahun 1800-an, perusahaan asuransi kebakaran berevolusi memasukkan asuransi jiwa dan beberapa pertanggungan lainnya.

Kemudian sejarah perasuransian di Indonesia, dimana dijelaskan menurut buku History of Insurance in Indonesia seperti dikutip Historia, Januari 2020, perusahaan asuransi pertama di Indonesia didirikan oleh warga Belanda bernama Bataviaasche Zee en Brand-Assurantie Maatschappij yang didirikan pada 18 Januari 1843 di Kali Besar Timur, Jakarta.[6]

Setelah itu, lahir beberapa perusahaan asuransi lainnya yang menginduk pada perusahaan asuransi di Belanda, seperti misalnya NV Handel, Industrrie en Landbouw Maatschappij Tiedeman & van Kerchem and Escompto Bank, dan Nederlansch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ). Namun, semua perusahaan asuransi-asuransi di Indonesia pada zaman itu hanya menargetkan orang Belanda.

RW Dwidjosewojo, seorang anggota Boedi Ooetomo cabang Yogyakarta, kemudian mempelajari NILLMIJ. Lalu Dwidjosewojo bersama M Karto Hadi Soebroto dan M Adimidjojo mendirikan perusahaan asuransi yang menyasar pasar orang Indonesia bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB (OL Mij PGHB) pada 12 Februari 1912. Cermati pada Mei 2017 mencatat OL Mij PGHB ini kemudian beralih nama menjadi OL Mij Boemi Poetra (1912), dan sekarang dikenal dengan nama Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera.[7]

Beberapa perusahaan asuransi milik Belanda dinasionalisasikan, termasuk NV Assurantie Maatschappij de Nederlandern dan Bloom Vander EE menjadi PT Asuransi Bendasraya dan perusahaan asuransi De Nederlanden Van (1845) menjadi PT Asuransi Jiwasraya. Di era ini, hadir perusahaan-perusahaan asuransi modern di Indonesia, seperti Allianz dan perusahaan asuransi nasional maupun joint venture.[8]

            Di dalam perasuransian terdapat prinsip-prinsip yang menjadi dasar dilaksanakannya asuransi atau pertanggungan itu sendiri, dimana terdapat 6 prinsip dasar asuransi, yakni sebagai berikut:

  1. Prinsip Kepentingan yang dapat diasuransi (Insurable Interest)

Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan atau dipertanggungkan ini terkandung dalam ketentuan Pasal 250 KUHD, yang berbunyi:

Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang, untuk tanggungan siapa untuk diadakan pertanggungan oleh orang lain, pada waktu diadakannya pertanggungan tidak mempunyai kepentingan terhadap benda yang dipertanggungkan, maka penanggung tidak berkewajiban mengganti kerugian.[9]

Prinsip ini menentukan bahwa objek asuransi harus suatu kepentingan bagi tertanggung. Seorang pemohon asuransi jiwa harus memiliki hubungan dengan orang yang jiwanya diasuransikan (bisa dirinya sendiri atau orang lain). Selain itu, pemohon juga memiliki manfaat atas kelangsungan hidup orang yang jiwanya diasuransikan dan terdapat perkiraan kerugian atas meninggalnya orang tersebut. Dalam hal asuransi kerugian, pemohon harus memiliki kepentingan terhadap barang yang diasuransikan dan mengalami kerugian apabila barang yang dimaksud hilang atau rusak.

  • Prinsip Keterbukaaan (Utmost Good Faith)

Prinsip keterbukaan terkandung dalam ketentuan Pasal 251 KUHD yang pada intinya menerangkan bahwa mengharuskan adanya transparansi tentang semua keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai objek pertanggungan. Pada saat melakukan perjanjian, tertanggung tidak boleh menutupi keadaan yang perlu diketahui penanggung. Misalnya untuk asuransi jiwa, tertanggung tidak boleh menutupi penyakit yang diderita sebelum dilakukannya perjanjian. Jika terdapat hal yang ditutupi, penanggung tidak wajib mengganti kerugian yang dialami tertanggung.

  • Prinsip Indemnitas (Indemnity)

Prinsip Indemnitas terkandung dalam ketentuan Pasal 252 dan Pasal 253 KUHD. Pasal 252 KUHD menerangkan bahwa tidak boleh diadakan pertanggungan kedua untuk waktu yang sama dan untuk bahaya yang sama atas barang-barang yang telah dipertanggungkan untuk nilainya secara penuh. [10]

  • Prinsip Subrogasi

Subrogasi adalah penggantian kedudukan tertanggung oleh penanggung yang telah membayar ganti kerugian, dalam melaksanakan hak-hak tertanggung kepada pihak ketiga yang mungkin menyebabkan terjadinya kerugian. Prinsip subrogasi terkandung dalam ketentuan pasal 284 KUHD yang menerangkan bahwa apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar prinsip lain dari pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang dideritanya, penggantian dari pihak ketiga tersebut harus diserahkan pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi yang dimaksud.[11]

  • Prinsip Sebab Akibat (Proximate Cause)

Sebelum penanggung mengganti kerugian yang dialami tertanggung, harus dilakukan penelaahan terkait penyebab kerugian tersebut terjadi. Penanggung mempunyai kewajiban mengganti kerugian tertanggung. Namun apabila kerugian tersebut disebabkan oleh peristiwa yang tidak termasuk penyebab kerugian yang diakui dalam asuransi, maka penanggung dibebaskan dari kewajibannya.[12]

  • Prinsip Contribution (Gotong Royong)

Prinsip ini memiliki pengertian bahwa penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, jika suatu perusahaan asuransi tidak mampu menyelesaiakan masalah konsumennya, maka perusahaan asuransi lain wajib bekerja sama dalam penyebaran risiko yang disebut reasuransi.[13]

Selanjutnya, membahas tentang jenis-jenis asuransi dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, asuransi terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu asuransi jiwa dan asuransi umum (kerugian). Pengertian asuransi umum dan asuransi jiwa dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 1 Angka 6 UU 40/2014, yang berbunyi:

Pasal 1

  • Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
  • Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. [14]

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa asuransi jiwa memproteksi jiwa seseorang dari risiko meninggal atau cacat, sedangkan asuransi kerugian atau asuransi umum memberikan proteksi dari risiko kerugian, kehilangan, atau kerusakan harta benda.

            Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya terdapat 2 jenis asuransi yakni asuransi umum dan asuransi jiwa, pada bagian ini akan membahas lebih lanjut mengenai asuransi jiwa itu sendiri. Dimana pada asuransi jiwa terdapat beberapa jenis asuransi , yakni sebagai berikut:

  1. Asuransi Jiwa Berjangka (Term Life)

Asuransi jiwa berjangka merupakan produk asuransi yang hanya memberikan proteksi dalam janga waktu tertentu sesuai dengan ketentuan polis. Jangka waktu perlindungan sangat beragam, bisa sesingkat hitungan jam sampai puluhan tahun.

Asuransi jiwa berjangka dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Ekawarsa

Produk asuransi jiwa yang memberikan santunan kepada penerima manfaat jika dan hanya jika tertangung meninggal dalam masa asuransi. Masa asuransi produk asuransi ekawarsa pada umumnya adalah 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang setiap ulang tahun polis.

b. Kematian berjangka

Produk asuransi jiwa yang memberikan santunan kepada penerima manfaat jika tertangung meninggal dalam masa asuransi. Dalam hal tertanggung tidak meninggal dalam masa asuransi tersebut maka tidak ada pembayaran manfaat.

  • Asuransi Jiwa Seumur Hidup (whole life)

Produk asuransi jiwa seumur hidup akan memberikan santunan kematian apabila tertanggung meninggal dunia dengan masa asuransi seumur hidup tertanggung. Hal ini berarti penanggung pasti memberikan santunan kematian kepada setiap tertanggung yang meninggal dunia di dalam masa asuransi. Penanggung sering mengasumsikan bahwa tertanggung pasti meninggal dunia pada ulang tahun ke-100.

  • Asuransi Jiwa Dwiguna (endowment)

Produk asuransi jiwa yang memberikan santunan kepada penerima manfaat jika tertanggung meninggal dalam masa asuransi, dan jika tertanggung tetap hidup (survive) pada saat kontrak asuransinya berakhir, maka kepadanya akan dibayarkan benefit sebesar uang pertanggungan yang diperjanjikan dalam polis.

  • Asuransi Anuitas

Produk yang memberikan pembayaran manfaat yang diberikan secara berkala selama periode tertentu. Tadserdapat 2 jenis produk anuitas yaitu anuitas umum dan anuitas dana pensiun.

  • Asuransi Kecelakaan Diri

Produk asuransi yang menjanjikan perlindungan dan memberikan penggantian atau pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta atau pihak lain yang berhak dalam hal terjadi tertanggung mengalami kecelakaan.

  • Asuransi Kesehatan

Produk asuransi yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan keadaan kesehatan fisik seseorang atau menurunnya kondisi kesehatan seseorang yang dipertanggungkan.

7. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI) (Asuransi Unit link)

Produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk Produk Asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. Produk asuransi ini merupakan produk jangka panjang dengan premi yang relatif lebih tinggi dibandingkan asuransi jiwa lainnya.

            Setelah melihat beberapa jenis-jenis asuransi jiwa yang terbagi atas 7 jenis diatas, selanjutnya pembahasan akan mengerucut kepada salah satu jenis asuransi jiwa yakni Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) atau yang biasa disebut dengan Asuransi Unit Link.

            Pengertian Produk Asuransi Unit Link itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 7 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (SEOJK PAYDI), yang berbunyi:

Pasal 1

  • Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit.[15]

PAYDI / Asuransi jiwa unit link tersebut tidak diatur oleh SEOJK PAYDI semata, melainkan juga telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-104/BL/2006 tentang Produk Unit link dan Pearturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi .

            Selanjutnya akan membahas tentang keuntungan dari kepemilikan produk asuransi jiwa unit link atau PAYDI tersebut, yakni sebagai berikut:

  1. Memiliki manfaat ganda

Asuransi jiwa unit link sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertiannya dalam Pasal 1 Angka 7 SEOJK PAYDI memiliki dua manfaat sekaligus, yaitu perlindungan investasi dalam satu polis. Hal ini cukup memudahkan kita sebagai nasabah yang lebih suka tidak perlu pusing mengurus dana investasi dan dana perlindungan secara terpisah.

  • Masa Pertanggungan Panjang

Produk asuransi unit link biasanya menawarkan masa pertanggungan yang cukup panjang, biasanya hingga tertanggung berusia 99 tahun dan informasi tersebut tercantuk dalam ilustrasi manfaat asuransi dan polis.

  • Memudahkan Proses Investasi

Dengan memiliki 2 manfaat sekaligus sebagaimana yang dijelaskan pada poin nomor 1 diatas, produk asuransi unit link dapat digunakan sebagai produk investasi jangka panjang, sehingga dapat membantu nasabahnya dalam memenuhi tujuan keuangan, misalnya dana pendidikan dan dana pensiun.

  • Dana Lebih Fleksibel

Unit link adalah asuransi yang fleksibel dan memudahkan dalam menambah dana ataupun menarik dana. Dengan fleksibilitas tersebut, nasabah punya peluang untuk menambah, menarik dana, ataupun mengalihkan dana dengan mudah.

  • Memiliki Fasilitas Cuti Premi

Produk perlindungan yang bersifat unit link ini menawarkan fitur cuti premi yang bisa dimanfaatkan oleh nasabah unit link ketika belum bisa bayar karena kondisi finansial yang tidak stabil.

            Setelah membahas tentang keuntungan memiliki produk asuransi unit link tersebut, maka selanjutnya akan membahas tentang kerugian memiliki produk asuransi unit link, yakni:

  1. Premi cenderung lebih tinggi

Produk asuransi unit link memiliki harga premi yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produk asuransi jiwa lainnya, dimana memiliki premi dengan nilai dua hingga tiga kali lipat dari harga normal premi asuransi jiwa umumnya.

  • Tidak ada jaminan keuntungan

Sama halnya dengan prinsip investasi yakni high risk high return, akan tetapi beresiko tinggi terhadap modal yang mungkin tidak dapat mengalami keuntungan, bahkan justru mengalami kerugian apabila nilai unit link merosot.

  • Manfaat Investasi Cenderung Kecil

Di tahun pertama, nasabah akan memperoleh nilai dana atau nilai imbal hasil investasi yang kecil, ini dikarenakan di tahun pertama, premi yang kita setor akan digunakan untuk membayar biaya akuisisi yang besar. Porsi investasi akan mulai diambil dari premi yang nasabah setor mulai di tahun kelima. Oleh karena itu, imbal hasil yang dinikmati oleh nasabah dari unit link tidak akan lebih banyak jika dibandingkan dengan investasi reksadana atau saham.

  • Nilai perlindungan lebih kecil

Nilai perlindungan yang diberikan oleh produk perlindungan yang bersifat unit link ini jauh lebih kecil, berbanding terbalik dengan besaran premi yang harus nasabah bayarkan. Sedangkan  asuransi jiwa murni menawarkan premi lebih ringan serta manfaat sesuai dengan premi yang dibayarkan.

  • Biaya asuransi terus meningkat

Biaya premi asuransi unit link terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini tercantum pada pemberitahuan di bawah proposal asuransi yang ditawarkan padamu. Nasabah harus terus membayar jika ingin mendapatkan manfaat dalam jangka panjang dengan kualitas manfaat yang sesuai dengan yang ditawarkan. Jika tidak, dalam suatu kejadian, bisa jadi nasabahjustru harus membayar kekurangan yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah yang sudah nasabah investasikan.

            Perusahaan asuransi pada dasarnya merupakan badan hukum, dimana bentuk badan hukum tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67 /POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 67/2016), yang berbunyi:

Pasal 2

Bentuk badan hukum perusahaan adalah :

  1. Perseroan Terbatas;
  2. Koperasi; atau
  3. Usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan. [16]

Karena sebuah perusahaan perasuransian pada kenyataan mayoritas bentuknya merupakan sebuah Perseroan Terbatas, maka Perusahaan Asuransi merupakan sebuah legal entity yang dapat melakukan perbuatan hukum, seperti contoh menjual saham, restrukturisasi perusahan dan sebagainya.

Dan apabila membicarakan tentang restrukturisasi perusahaan, seperti penggabungan, pengambilalihan, peleburan dan pemisahan. Perusahaan Asuransi pada dasarnya tetap tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, akan tetapi terdapat beberapa pengecualian pada Restrukturisasi Perusahaan Asuransi, yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yakni:

  1. Karena Perusahaan Perasuransian bergerak di sektor jasa keuangan, oleh sebab itu untuk melakukan restrukturisasi harus melalui perolehan persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan. [17]
  2. Dalam hal restrukturisasi perusahaan perasuransian harus dilakukan antara 2 perusahaan yang bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis. [18]
  3. Kepemilikan saham pada Perusahaan asuransi yang melakukan restrukturisasi harus terdapat pemilik saham minoritas dan mayoritas, hal ini disebabkan oleh hanya terdapat 1 pemegang saham pengendali pada perusahaan asuransi.[19]

Apabila terjadi permasalahan dalam produk asuransi unit link , karena pada dasarnya unit link merupakan produk asuransi, maka cara dan tempat yang tepat untuk menyelesaikan sengketa asuransi adalah dengan mengacu pada klausul yang telah tertera pada polis. Dalam klausul penyelesaian sengketa polis, tercantum bahwa setiap sengketa diupayakan penyelesaian secara musyawarah.

Jika tidak berhasil, maka pemegang polis (nasabah) dapat memilih penyelesaian melalui Mediasi atau Arbitrase atau pengadilan. Penyelesaian secara Mediasi dan Arbitrase dilakukan di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) sejak Januari 2021 dan pihak nasabah tidak dipungut biaya (gratis) untuk Mediasi.

Asuransi pada dasarnya memberikan banyak keuntungan, akan tetapi bukan berarti keikutsertaan dalam asuransi tidak menimbulkan kerugian sama sekali, oleh sebab itu dalam perasuransian tetap harus mengikuti syarat dan ketentuan yang berlaku seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian demi mewujudkan kesejahteraan

Produk asuransi unit link dapat dikategorikan sebagai produk keuangan yang advance karena sifatnya yang menggabungkan fitur proteksi (asuransi) dengan fitur investasi. Sehingga dalam menawarkan dan menjualnya kepada calon nasabah atau konsumen memerlukan pengetahuan serta cara komunikasi yang tepat. Hal tersebut perlu diperhatikan oleh perusahaan asuransi dan agen penjualnya agar terhindar dari risiko mis-selling dan pemberian informasi yang salah (misleading infromation).


[1] https://kbbi.web.id/asuransi

[2] Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[3] Pasal 1 Angka 1 UU 40/2014

[4] https://tanyaasuransi.net/mengenal-sejarah-asuransi-di-dunia-dan-indonesia/ , diakses pada tanggal 31 Maret 2022

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[10] Pasal 252 dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[11] Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[12] https://panfic.com/id/insurance-knowledge/prinsip-dasar-asuransi , diakses pada tanggal 31 Maret 2022

[13] Ibid.

[14] Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[15] Pasal 1 Angka 7 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi

[16] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67 /POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah

[17] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[18] Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[19] Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

According to the Big Indonesian Dictionary (KBBI) the definition of insurance is insurance (an agreement between two parties, one party is obliged to pay contributions and the other party is obliged to provide full guarantees to the contributors if something happens to the first party or his property in accordance with the agreement) . Then the meaning of insurance is also explained in Article 246 of the Commercial Law, which reads:

“Insurance or coverage is an agreement in which a person binds himself to the insured by receiving a premium, to provide compensation to him for a loss, damage, or loss of expected profits, which he may suffer due to a certain event.”

Then, matters concerning insurance are regulated in Law Number 40 of 2014 concerning Insurance (UU 40/2014), which in Article 1 Number 1 of Law 40/2014 explains in detail the definition of insurance itself, which states that:

“Article 1

Insurance is an agreement between two parties, namely the insurance company and the policyholder, which forms the basis for the acceptance of premiums by the insurance company as an imbalance for:

A. give to the insured or the policy holder due to loss, damage, costs incurred, loss of profit, or legal liability to third parties that may be suffered or the policy holder due to an uncertain event; or

B. payments based on the death of the insured or payments that depend on his life with the amount of benefits determined and/or based on the results of fund management. “

Insurance has been around since BC, specifically in 1750 BC, this insurance concern was found in the Hammurabi Code law made by King Hammurabi of Babylon (now Iraq). One of the rules regulated in the Code of Hammurabi is the obligation for merchants who buy goods on credit and transport them by paying a certain amount of money as a guarantee that the credit will be canceled if the ship is stolen. This is believed to be the forerunner of insurance.

Around 600 BC, the Greeks and Romans created the first life and health insurance. This product provides care for the bereaved family if the breadwinner dies. In the 12th century in Anatolia, a type of state insurance was introduced. With this insurance, if a trader is robbed in the area, the state treasury will compensate the trader. Self-insurance policies that are not dependent on contracts or loans appeared in Genoa in the 14th century. Insurance policies were invented for the first time in the following 1347. In the following century, independent maritime insurance was formed. The separation of insurance from contracts and credit was a major change that affected insurance in the following years.

In the 17th century, fire was a constant threat in England. In 1666, a great fire broke out in London which destroyed more than 13,000 homes and dozens of churches over five days. From this incident, a doctor, economist, and contractor Nicholas Barbon created fire insurance. He’s the world’s first home fire insurance company. In the US, the first insurance company was founded in 1732 in South Carolina and offered fire protection. In the 1800s, fire insurance companies became a revolution to include life insurance and several other coverages.

Then the history of insurance in Indonesia, which is explained according to the book History of Insurance in Indonesia as quoted by Historia, January 2020, the first insurance company in Indonesia was founded by a Dutch citizen named Bataviaasche Zee en Brand-Assurantie Maatschappij which was founded on January 18, 1843 in Kali Besar Timur, Jakarta.

After that, several other insurance companies were born with insurance companies in the Netherlands, such as NV Handel, Industrrie en Landbouw Maatschappij Tiedeman & van Kerchem and Escompto Bank, and Nederlansch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ). However, all insurance companies in Indonesia at that time only targeted Dutch people.

RW Dwidjosewojo, a member of the Yogyakarta branch of Boedi Ooetomo, later studied NILLMIJ. Then Dwidjosewojo together with M Karto Hadi Soebroto and M Adimidjo founded an insurance company targeting the Indonesian market called Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB (OL Mij PGHB) on February 12, 1912. Observation in May 2017 noted that OL Mij PGHB was later renamed OL Mij Boemi Poetra ( 1912), and is now known as the Bumiputera Joint Life Insurance.

Several Dutch-owned insurance companies were nationalized, including NV Assurantie Maatschappij de Nederlandern and Bloom Vander EE to become PT Asuransi Bendasraya and insurance company De Nederlanden Van (1845) became PT Asuransi Jiwasraya. In this era, there are modern insurance companies in Indonesia, such as Allianz and national and joint venture insurance companies.

In insurance there are principles that form the basis for the implementation of insurance or the coverage itself, of which there are 6 basic principles of insurance, which are as follows:

1. Principle of Insurable Interest

The principle of interest that can be insured or insured is contained in the provisions of Article 250 of the KUHD, which reads:

“If a person who insures for himself, or someone for whose dependents is held by another person, at the time the insurance is held does not have an interest in the object being insured, then the insurer is not obliged to compensate for the loss.”

This principle dictates that the object of insurance must be of interest to the insured. An applicant for life insurance must have a relationship with the person whose life is insured (it can be himself or another person). In addition, the applicant also has benefits for the survival of the person whose life is insured and there is an estimated loss on the death of the person. In the case of loss insurance, the applicant must have an interest in the goods being insured and suffer a loss if the goods in question are lost or damaged.

2. The Principle of Openness (Utmost Good Faith)

The principle of openness is contained in the provisions of Article 251 of the KUHD which essentially explains that it requires transparency about all conditions known to the insured regarding the object of coverage. At the time of entering into an agreement, the insured may not cover the circumstances that the insurer needs to know. For example, for life insurance, the insured may not cover the illness before the agreement is made. If there are things that are covered, the insurer is not obliged to compensate for the losses suffered by the insured.

3. The Principle of Indemnity

The principle of indemnity is contained in the provisions of Article 252 and Article 253 of the KUHD. Article 252 of the KUHD stipulates that a second insurance may not be held for the same time and for the same danger of goods that have been insured for their full value.

4. Principle of Subrogation

Subrogation is the replacement of the position of the insured by the insurer who has paid compensation, in exercising the rights of the insured to a third party that may cause a loss. The principle of subrogation is contained in the provisions of Article 284 of the KUHD which explains that if the insured has received compensation on the basis of another principle from a third party who is responsible for the loss he has suffered, the compensation from the third party must be submitted to the insurer who has provided the compensation in question.

5. Principle of Proximate Cause

Before the insurer compensates for the loss suffered by the insured, a review must be carried out regarding the cause of the loss. The insurer has the obligation to indemnify the insured. However, if the loss is caused by an event that is not included in the cause of the loss recognized in the insurance, the insurer is released from his obligations.

6. Principle of Contribution (Gotong Royong)

This principle has the understanding that problem solving is done together. In addition, if an insurance company is unable to resolve consumer problems, then other insurance companies must cooperate in spreading the risk which is called reinsurance.

Next, discuss the types of insurance where based on Law Number 40 of 2014 concerning Insurance, insurance is divided into two major groups, namely life insurance and general insurance (losses). The definition of general insurance and life insurance is explained in Article 1 Number 5 and Article 1 Number 6 of Law 40/2014, which reads:

” Article 1

(5) General Insurance Business is a risk insurance service business that provides compensation to the insured or policy holder due to loss, damage, costs incurred, loss of profit, or legal liability to third parties that may be suffered by the insured or policy holder due to an event occurring not sure.

(6) Life Insurance Business is a business that provides risk management services that provide payments to policyholders, the insured, or other entitled parties in the event that the insured dies or remains alive, or other payments to policyholders, the insured, or other entitled parties. at a certain time as regulated in the agreement, the amount of which has been determined and/or is based on the results of fund management. “

So, it can be concluded that life insurance protects a person’s life from the risk of death or disability, while life insurance protects a person’s life from the risk of death or disability or general insurance provides protection from the risk of loss, loss, or damage to property.

As mentioned in the previous section, there are 2 types of insurance namely general insurance and life insurance, in this section we will discuss more about life insurance itself. Where in life insurance there are several types of insurance, namely as follows:

1. Term Life Insurance

Term life insurance is an insurance product that only provides protection for a certain period of time in accordance with the provisions of the policy. The period of protection varies widely, can be as short as a matter of hours to decades.

Term life insurance is divided into two, namely:

a. Ecademy

A life insurance product that provides compensation to the beneficiary if and only if the insured dies during the insurance period. The general term of insurance for an insurance product is 1 (one) year and can be extended every policy anniversary.

b. Future death

A life insurance product that provides compensation to the beneficiary if the insured dies during the insurance period. In the event that the insured does not die during the insurance period, there will be no payment of benefits.

2. Life Insurance for Life (whole life)

Life insurance products will provide death benefits if the insured dies with a lifetime insurance period for the insured. This means that the insurer must provide death compensation to every insured who dies during the insurance period. Insurers often assume that the insured will die on his 100th birthday.

3. Dwiguna Life Insurance (endowment)

A life insurance product that provides compensation to the beneficiary if the insured dies during the insurance period, and if the insured remains alive at the end of the insurance contract, a benefit amounting to the sum assured in the policy will be paid to the customer

4. Annuity Insurance

Products that provide periodic benefit payments over a certain period. There are 2 types of annuity products, namely general annuities and pension annuities.

5. Personal Accident Insurance

An insurance product that promises protection and provides reimbursement or payment to the policyholder, the insured, or the participant or other entitled party in the event that the insured experiences an accident.

6. Health Insurance

An insurance product that promises protection against 1 (one) type or more risks related to a person’s physical health condition or the decline in the health condition of the insured person.

7. Insurance Products Linked to Investments (PAYDI) (Unit link Insurance)

The insurance product that provides at least protection against the risk of death and provides benefits that refer to the investment returns from a pool of funds specifically formed for Insurance Products, whether stated in the form of units or not. This insurance product is a long-term product with relatively higher premiums than other life insurances.

After looking at several types of life insurance which are divided into 7 types above, the discussion will then focus on one type of life insurance, namely Investment-Linked Insurance Products (PAYDI) or commonly referred to as Unit Link Insurance.

The definition of Unit Linked Insurance Product itself is explained in Article 1 Number 7 of Circular Letter of the Financial Services Authority Number 5/SEOJK.05/2022 concerning Insurance Products Linked to Investments (SEOJK PAYDI), which reads:

“Article 1

7. Investment-Linked Insurance Products, hereinafter referred to as PAYDI, are insurance products that at least provide protection against the risk of death and provide benefits that refer to investment returns from a collection of funds specifically formed for insurance products, whether stated in the form of units or non-units. ”

PAYDI / unit link life insurance is not regulated by SEOJK PAYDI alone, but has also been previously regulated in the Decree of the Chairman of the Capital Market and Financial Institution Supervisory Agency Number KEP-104/BL/2006 concerning Unit Linked Products and Regulation of the Financial Services Authority Number 23/POJK .05/2015 concerning Insurance Products and Marketing of Insurance Products.

Next, we will discuss the advantages of owning the unit-linked life insurance product or PAYDI, which are as follows:

1. Has double benefits

Unit-linked life insurance as explained in its meaning in Article 1 Number 7 SEOJK PAYDI has two benefits at once, namely investment protection in one policy. This is quite easy for us as customers who prefer not to have to worry about managing investment funds and protection funds separately.

2. Long Coverage

Unit-linked insurance products usually offer a fairly long coverage period, usually until the insured dies

99 years old and the information is included in the illustration of insurance benefits and policies.

3. Simplify the Investment Process

By having 2 benefits at once as described in point number 1 above, unit link insurance products can be used as long-term investment products, so that they can assist customers in meeting financial goals, such as education funds and pension funds.

4. Funds are more flexible

Unit link is insurance that is flexible and makes it easy to add funds or withdraw funds. With this flexibility, customers have the opportunity to add, withdraw funds, or transfer funds easily.

5. Have Premium Leave Facilities

This unit-linked protection product offers a premium leave feature that unit-linked customers can take advantage of when they cannot pay due to unstable financial conditions.

After discussing the advantages of having a unit-linked insurance product, we will discuss the disadvantages of having a unit-linked insurance product, namely:

1. Premiums tend to be higher

Unit-linked insurance products have premium prices that tend to be higher than other life insurance products, which have premiums with a value of two to three times the normal price of general life insurance premiums.

2. There is no guarantee of profit

It is the same with the investment principle, namely high risk high return, but has a high risk of capital which may not be able to make a profit, even if the unit link value declines.

3. Investment Benefits Tend to be Small

In the first year, the customer will get a small amount of funds or return on investment, this is because in the first year, the premium we deposit will be used to pay for the large acquisition cost. The investment portion will start to be taken from the premium you deposited starting in the fifth year. Therefore, the returns enjoyed by customers from unit links will not be higher than those of mutual funds or stocks.

4. Less protection value

The protection value provided by this unit-linked protection product is much smaller, inversely proportional to the amount of premium you have to pay. While pure life insurance offers lighter premiums and benefits according to the premium paid.

5. Insurance costs continue to rise

The cost of unit link insurance premiums continues to increase every year. This is stated on the notice below the insurance proposal offered to you. You have to keep paying if you want to get long-term benefits with the quality of benefits that are offered. If not, in an event, you may actually have to pay a shortage that is greater than the amount you have invested.

Insurance companies are basically legal entities, where the form of legal entity is described in Article 2 of the Financial Services Authority Regulation Number 67 /POJK.05/2016 concerning Business Licensing and Institutional Insurance Companies, Sharia Insurance Companies, Reinsurance Companies, and Sharia Reinsurance Companies (POJK). 67/2016), which reads:

” Section 2

The form of the company’s legal entity is:

a. Limited company;

b. Cooperative; or

c. A joint venture that existed at the time Law Number 40 of 2014 concerning Insurance was enacted. “

Because an insurance company is in fact a majority of its form is a Limited Liability Company, then an Insurance Company is a legal entity that can carry out legal actions, such as selling shares, company restructuring and so on.

And when talking about corporate restructuring, such as mergers, takeovers, consolidations and separations. Insurance Companies are basically still subject to Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, however, there are some exceptions to the Restructuring of Insurance Companies, which are as regulated in Law Number 40 of 2014 concerning Insurance, namely:

1. Since Insurance Companies are engaged in the financial services sector, therefore to carry out restructuring, they must obtain approval from the Financial Services Authority.

2. In the event that the restructuring of the insurance company must be carried out between 2 companies operating in the insurance business of the same type.

3. Share ownership in the restructuring insurance company must have minority and majority shareholders, this is because there is only 1 controlling shareholder in the insurance company.

If there is a problem with the unit link insurance product, because basically the unit link is an insurance product, the right way and place to resolve the insurance dispute is by referring to the clause that has been stated on the policy. In the policy dispute settlement clause, it is stated that each dispute no attempt is made to resolve it amicably.

If it is not successful, then the policy holder (customer) can choose a settlement through Mediation or Arbitration or court. Mediation and Arbitration Settlement have been carried out at the Financial Services Sector Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS SJK) since January 2021 and the customer is free of charge (free) for Mediation.

Insurance basically provides many advantages, but that does not mean that participation in insurance does not cause any loss at all, therefore insurance must still follow the applicable terms and conditions as stipulated in Law Number 40 of 2014 concerning Insurance in order to realize prosperity.Unit-linked insurance products can be categorized as advanced financial products because they combine protection (insurance) features with investment features. So that in offering and selling it to potential customers or consumers requires knowledge and the right way of communication. This needs to be considered by insurance companies and their selling agents in order to avoid the risk of mis-selling and misleading information.

0

Penyesuaian Harga Jual Bahan Bakar Minyak Akibat Kenaikan Harga Minyak Dunia

Author : Alfredo Joshua Bernando, Co-Author : Robby Malaheksa & Shafa Atthiyyah Raihana 

Bahan Bakar Minyak atau yang biasa disingkat BBM biasanya digunakan untuk menyebut istilah bahan bakar mobil dan motor, Padahal, penggunaan BBM sendiri tidak hanya terbatas pada kendaraan bermotor dan bisa digunakan untuk jenis kendaraan lain seperti pesawat.[1] BBM merupakan bahan bakar yang diolah dari sumber daya alam minyak dan gas. Minyak dan gas bumi adalah sumber daya alam yang tidak dapat terbarukan dan dikuasai oleh negara. Sehingga, adanya pengolahan minyak dan gas bumi yang menjadi bahan bakar minyak tersebut merupakan energi dan sumber kemakmuran masyarakat. Pengertian bahan bakar minyak juga disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu:

“Pasal 1

  • Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi;” [2]

Dalam kegiatan usahanya, penentuan harga pada bahan bakar minyak ini juga diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 28

  • Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” [3]

Saat ini, penentuan harga bahan bakar minyak sedang mengalami pelonjakan atau kenaikan. Hal ini dikarenakan adanya penyesuaian terhadap harga minyak mentah dunia yang terus melonjak yang saat ini sudah menembus level 110 dollar Amerika serikat atau setara dengan Rp1.437.505 per barel.[4] Tidak hanya itu, penyesuaian harga bahan bakar minyak juga dilakukan berdasarkan dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum.[5]

            Berdasarkan putusan tersebut, sebuah perusahaan milik negara terbesar di Indonesia yang bertugas untuk megelola penambangan minyak dan gas bumi, kemudian menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis bensin Pertamax (RON 92).[6] Perusahaan tersebut menaikkan harga BBM Pertamax jenis ini dari Rp9.000 – Rp9.400 per liter menjadi Rp12.500 hingga Rp13.000 per liter. Kenaikan harga Pertamax menjadi Rp12.500 berlaku di beberapa Provinsi di Indonesia seperti, Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan, untuk 24 provinsi lainnya, harga Pertamax bisa naik mencapai Rp12.750 – Rp13.000. [7]

Hal ini bertujuan untuk menekankan beban keuangan negara. Harga tersebut telah dipertimbangkan secara matang oleh perusahaan pengelola minyak dan bumi gas tersebut dengan melihat daya beli masyarakat sehingga penyesuaian harga itu masih jauh di bawah nilai ekonomi dan juga lebih murah jika dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak sejenis yang dijual perusahaan sejenis lainnya. [8]

            Jika merujuk berdasarkan keterangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maka harga keekonomian Pertamax kini telah mencapai Rp 16.000 per liter atau jauh melebihi harga jual yang dilakukan perusahaan minyak dan gas tersebut sebesar Rp 9.000 per liter. Hal ini juga didasari karena konsumsi Pertamax mencapai 13% dari konsumsi BBM nasional. Selain itu, Pertamax juga sejatinya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat kelas atas dan tidak boleh digunakan oleh kendaraan umum. Sehingga dengan tidak dilakukannya penyesuaian harga Pertamax hingga saat ini, maka sama saja Pertamax memberikan subsidi pada masyarakat pengguna pertamax termasuk untuk mobil-mobil mewah. Tidak hanya itu, harga BBM di Indonesia dengan nilai oktan 92 memiliki harga terendah di ASEAN. Hal ini dikarenakan harga BBM dengan oktan 92 di Singapura mencapai Rp30.800/liter, Thailand Rp20.300/liter, Filipina Rp18.900/liter, dan di Vietnam Rp19.000, serta Laos Rp18.000/liter. [9]

            Lain halnya, jika yang dinaikkan jenis Pertalite (RON 90), hal ini dapat menimbulkan dampak inflasi yang tinggi karena tingkat pemakaian yang mencapai 76%, sehingga Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menetapkan BBM RON 90 alias Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Dengan demikian Pertalite dipastikan menjadi jenis BBM yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan,[10] berdasarkan keputusan tersebut dijelaskan bahwa wilayah penugasan penyediaan dan pendistribusian JBKP meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya Penetapan Perhitungan harga jual bahan bakar minyak eceran mengikuti ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai ayat (5) Peraturan Mentri ESDM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, yang berbunyi:

Pasal 4

  • Harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan di titik serah untuk setiap liter, dihitung dengan formula yang terdiri atas harga dasar ditambah biaya tambahan pendistribusian di wilayah penugasan sebesar 2% (dua persen) dari harga dasar, serta ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
  • Harga dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan formula yang terdiri atas biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan, serta margin.
  • Perhitungan harga dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk setiap bulan menggunakan rata-rata indeks pasar dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode tanggal 25 pada 1 (satu) bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 24 bulan berjalan untuk perhitungan harga dasar bulan berikutnya.
  • Besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 5% (lima persen).
  • Harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembulatan keatas sebesar Rp 50,00 (lima puluh rupiah). “ [11]

Formula harga dasar untuk penetapan perhitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak umum jenis bensin dan minyak solar yang disalurkan melalui stasiun pengisian bahan bakar umum dan/atau stasiun pengisian bahan bakar nelayan yang tidak tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri tersebut. Akan tetapi, ditetapkan oleh badan usaha pemegang izin usaha niaga (holding company) minyak dan gas bumi.

Formula yang diatur oleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum tersebut, menyebutkan bahwa harga BBM ditentukan berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin yang ditetapkan sebagai berikut:

  1. Untuk jenis Bensin dibawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48 diukur dengan rumus Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus + Rp 1.800/liter + Margin (10% dari harga dasar).
  2. untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98, dan jenis Minyak Solar CN 51 ditetapkan dengan rumus MOPS atau Argus + Rp2.000/liter + Margin (10% dari harga dasar). [12]

Berdasarkan formula tersebut, harga kompetisi yang ditetapkan pelaku usaha dapat dikaitkan dengan besaran marjin penjualan. Karena tiap perusahaan seharusnya memiliki biaya penyimpanan dan distribusi, serta preferensi marjin penjualan sendiri yang membedakan kemampuan mereka dalam menentukan besaran harga jual eceran bahan bakar minyak.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  2. Peraturan Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
  3. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum

REFRENSI

  1. Auto 2000,  https://auto2000.co.id/berita-dan-tips/bbm-adalah#, diakses 04 April 2022
  2. Kompas.com,https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/04/103000665/alasan-pertamina-naikkan-harga-bbm-non-subsidi-per-3-maret-2022?page=all, diakses tanggal 04 April 2022
  3. Pertamina, https://www.pertamina.com/id/news-room/announcement/daftar-harga-bbk-tmt-01-april-2022-Zona-3, diakses tanggal 02 April 2022
  4. Bisnis.com, https://ekonomi.bisnis.com/read/20220330/44/1516847/ylki-dukung-pertamina-naikkan-harga-pertamax-ini-3-alasannya,  diakses tanggal 04 April 2022
  5. Okezone, https://economy.okezone.com/read/2022/03/03/320/2555656/harga-minyak-dunia-meroket-usd110-barel-tapi-mulai-langka, diakses 04 April 2022
  6. Republika, https://www.republika.co.id/berita/r9roxi480/penyesuaian-harga-bbm-diklaim-untuk-jamin-pasokan, diakses tanggal 04 April 2022

[1] Auto 2000,  https://auto2000.co.id/berita-dan-tips/bbm-adalah#, diakses 04 April 2022

[2] Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

[3] Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

[4] Okezone, https://economy.okezone.com/read/2022/03/03/320/2555656/harga-minyak-dunia-meroket-usd110-barel-tapi-mulai-langka, diakses 04 April 2022

[5] Kompas.com, https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/04/103000665/alasan-pertamina-naikkan-harga-bbm-non-subsidi-per-3-maret-2022?page=all, diakses tanggal 04 April 2022

[6] Diktum Kedua Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum

[7] Pertamina, https://www.pertamina.com/id/news-room/announcement/daftar-harga-bbk-tmt-01-april-2022-Zona-3, diakses tanggal 02 April 2022

[8] Republika, https://www.republika.co.id/berita/r9roxi480/penyesuaian-harga-bbm-diklaim-untuk-jamin-pasokan, diakses tanggal 04 April 2022

[9] Bisnis.com, https://ekonomi.bisnis.com/read/20220330/44/1516847/ylki-dukung-pertamina-naikkan-harga-pertamax-ini-3-alasannya,  diakses tanggal 04 April 2022

[10] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan

[11] Pasal 4 ayat (1) sampai ayat (5) Peraturan Mentri ESDM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

[12] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum

1 5 6 7 8 9 12
Translate