0

PROVISIONS AND PROCEDURES FOR MERGERS, ACQUISITIONS, AND FRANCHISE OF A COMPANY

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co- Author : Robby Mahaleksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  3. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Usaha dan Pengambilalihan Sahan Perushaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadi Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
  4. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

REFERENSI:

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

Merger dan akuisisi merupakan dua istilah di dunia bisnis yang paling sering disebut, sehingga terkadang kedua istilah tersebut dianggap memiliki arti yang sama. Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut aksi korporasi berupa penggabungan dua perusahaan, Namun, ternyata pengartian dari istilah merger dan akuisisi ternyata berbeda dan harus dipahami. Beberapa perusahaan biasanya lebih memilih menggunakan istilah merger dibandingkan dengan akuisisi ketika membeli sebagian besar saham perusahaan yang lebih kecil.

Merger adalah proses menggabungkan dua perusahaan atau lebih yang kemudian menjadi satu perusahaan saja, dimana perusahaan tersebut mengambil dengan cara menyatukan saham berupa aset dan non aset perusahaan yang di merger. Perusahaan yang melakukan merger dengan perusahaan lainnya harus memiliki setidaknya 50% saham dan sisanya bisa di miliki oleh investor dari luar perusahaan. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya, perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain dimana membeli sebagian besar atau seluruh saham perusahaan lain dengan tujuan untuk mengambil kendali. Tujuan utama sebuah perusahaan bergabung dengan perusahaan lain atau melakukan akuisisi karena perusahaan akan mencapai pertumbuhan lebih cepat daripada harus membangun unit usaha sendiri selain untuk mendapatkan keuntungan. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar. [1]

Pengertian tentang merger juga dijelaskan pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada Pasal 1 ayat (9) yang berisikan:

“Pasal 1

(9) Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang manggabungkan diri berakhir karena hukum.” [2]

            Sedangkan, pengertian dari akuisisi dijelaskan pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)  yaitu:

“Pasal 1

(11) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan terjadinya peralihan pengendalian atas Perseroan tersebut.” [3]

Merger dan akuisisi terbagi menjadi beberapa jenis. Merger sendiri memiliki lima jenis yang berbeda. Pertama, merger konglomerasi yang artinya penggabungan dua atau lebih perusahaan dalam kegiatan bisnis berbeda. Kedua, merger kongenerik/merger ekstensi produk yaitu penggabungan dua atau lebih perusahaan yang beroperasi di sektor yang sama namun dengan cara berbeda. Ketiga, merger perluasan pasar yaitu penggabungan perusahaan yang menjual produk yang sama namun pasarnya berbeda. Keempat, merger horizontal yaitu penggabungan perusahaan yang beroperasi di industri yang sama dan menawarkan produk atau layanan sejenis. Kelima, merger vertical yang merupakan penggabungan perusahaan yang memiliki tingkat berbeda dalam rantai pasokan industri yang sama. Biasanya, pebisnis utama dengan perusahaan distributor yang bekerja sama dengannya. Sedangkan akuisisi hanya memiliki dua jenis. Pertama, merupakan akuisisi aset yaitu suatu perusahaan mengakuisisi aset  perusahaan lain dan mengambil alih sesuai dengan persetujuan para pemegang saham. Biasanya akuisisi aset ini dilakukan karena perusahaa yang diakusisi mengalami kebangkrutan. Kedua, akuisisi manjemen. Akuisisi manajemen yaitu petinggi eksekutif suatu perusahaan memebeli saham pengendali di perusahaan lain sehingga menjadi milik pribadi.

Setiap perusahaan memiliki beberapa tujuan dalam melakukan merger dan akuisisi. Terdapat dua tujuan utama yaitu tujuan ekonomi dan non ekonomi. Tujuan ekonomi dari perusahaan yaitu untuk memaksimalkan nilai perusahaan sehingga mencapai posisi yang strategis di pasar. Selain itu, kemakmuran/kesejahteraan para karyawannya dan pemegang saham juga menjadi salah satu bagian dari tujuan merger dan akuisisi ini. Sedangkan pada tujuan non-ekonomi dari kegiatan merger dan akuisisi ini didasarkan pada keinginan subyektif dari pemilik atau manajemen perusahaan. Seperti karena adanya kepentingan pribadi (personal interest motive) dari pemilik perusahaan maupun manajemen perusahaan maupun karena prestige. 

Perbedaan dari merger dan akuisis dapat dilihat dari prosesnya. Untuk dapat melakukan merger atau penggabungan, setidaknya terdapat lima tahapan yang harus dilakukan yaitu pertama, memenuhi persyaratan penggabungan. Perlu diperhatikan bahwa penggabungan untuk mencegah monopoli atau monopsoni yang dapat merugikan masyarakat. Dalam melakukan penggabungan, perseroan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari instansi terkait. Kedua, menyusun rancangan penggabungan. Setelah rancangan penggabungan tersebut dibuat, kemudian rancangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris setiap perseroan yang akan menggabungkan diri. Ketiga, persetujuan rancangan penggabungan. Setelah rancangan disetujui oleh Dewan Komisaris di setiap PT, selanjutnya harus diajukan pada RUPS yang berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 87:

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat yang artinya hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili RUPS”[4]

Keempat membuat akta penggabungan. Jika penggabungan PT tidak disertai dengan anggaran dasar, salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar PT. Kelima, pengumuman hasil penggabungan. Direksi PT yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan maksimal tiga puluh hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri. Pengumuman dimaksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan penggabungan.

Sedangkan pada akuisisi memiliki dua jenis proses pada pengambilalihannya, yaitu proses pengambilalihan melalui direksi perseroan dan proses pengambilalihan langsung dari pemegang saham. Pada Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan,  dijelaskan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 125

(1) Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan saham yang dimaksud adalah Pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan”[5]

Terdapat tujuh proses pengambilalihan atau akuisisi melalui direksi perseroan. Pertama keputusan RUPS. Pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi ketentuan dan persyaratan  tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 89

Terdapat paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan RUPS yang lebih besar.” [6]

Kedua, Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan. Ketiga, penyusunan rancangan pengambilalihan. Keempat, pengambilalihan ringkasan rancangan. Kelima, pengajuan keberatan kreditor. Keenam, pembuatan akta pengambilalihan di hadapan notaris. Ketujuh, pemberitahuan kepada Menteri, dan yang terakhir pengumuman hasil pengambilalihan.

Sedangkan, pada proses pengambil alihan secara langsung dari pemegang saham memiliki prosedur yang lebih sederhana yaitu wajib tunduk dengan ketentuan akuisisi saham sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa Akuisisi saham wajib memperhatikan ketentuan pemindahan hak atas saham dalam Anggaran Dasar, serta mendapat persetujuan rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengumuman, Direksi perseroan yang akan melakukan akuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan dalam waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai akuisisi sesuai dengan rancangan dimaksud. Apabila kreditor tidak mengajukan keberatan dlm jangka waktu tersebut maka kreditor dianggap menyetujui. Dalam hal keberatan dari kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi perseroan maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Sebelum keberatan ini diselesaikan maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan. Akta pemindahan hak atas saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Salinan dari kata pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang perubahan Struktur Pemegang Saham Perseroan. Direksi perseroan wajib mengumumkan hasil akuisisi dalam 1 surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau sejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Namun perlu di ketahui bahwa dalam proses Merger dan Akuisisi tidak selalu mulus, terkadang muncul penolakan dari pemegang saham. Maka jika merujuk pada 126 UUPT menjelaskan bahwasannya “Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

Hak pemegang saham yang dimaksud dalam Pasal 62 UUPT tersebut adalah: Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:

  1. perubahan anggaran dasar;
  2. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
  3. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.

Jika dilihat dari hukum persaingan usaha di Indonesia, merger dan akuisisi dilarang jika kedua tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 28

Pelaku usaha dilarang nelajukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” [7]

Merger dan Akusisi yang dilakukan oleh pelaku usaha harus memiliki nilai aset hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 2,5 triliun atau nilai penjualan hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 5 triliun wajib diberitahukan secara tertulis kepada KPPU paling lama 30 hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis merger dan akuisisi tersebut diatur berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 29

Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.” [8]

Jika pelaku usaha melakukan keterlambatan dalam melapor setiap transaksi merger atau akuisisi, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 menjelaskan bahwa dikenakan sanksi yaitu:

“Pasal 6

Sanksi hukum yang akan dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban ini dikenakan sanksi berupa denda admnistratif sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar) setiap hari keterlambatan dengan ketentuan denda admistiratif secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh milyar)”[9]

Lain halnya dengan waralaba atau franchise. Waralaba merupakan bentuk kerja sama bisnis antara pemilik merk, produk, atau sistem operasional dengan pihak kedua yang berupa pemberian izin untuk pemakaian merk, produk, dan sistem operasional. Pengertian waralaba tertulis dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba sebagai berikut:

“Pasal 1

  1. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”[10]

Waralaba dilakukan oleh dua pihak yang disebut franchisor dan franchisee. Franchisor  merupakan pemberi waralaba atau disebut juga sebagai pemilik merk dagang/usaha yang memberikan hal penjualan kepada pihak lain. Pihak yang melakukan penjaulan tersebut dapat berupa badan usaha ataupun perseorangan. Sedangkan, Franchisee  merupakan penerima waralaba atau disebut juga sebagai pihak pembeli waralaba yang menerima hak untuk menjalankan bisnis dari franchisor  yang juga dapat berupa badan usaha maupun perseorangan.

Berkembang dari bentuk dsar itu, dikenal empat jenis franchise atau waralab tambagan yaitu:

  1. Master Franchise.

Dalam Kontrak ini, Franchisee juga berhak menjual hak franchise yang di milikinya pada peminta lain yang berada dalam wilayah tertentu

  • Area Development Program.

Franchisee memiliki hak mnegembangkan bisnis franchise yang bersangkutan dalam satu wilayah tertentu, tanpa memiliki hak menjual ulang hak yang dimilikinya. Jadi bedanya dengan master franchise hanya pada ada tidaknya hak untuk menjual ulang franchise yang dibelinya.

  • Joint Venture Franchise Program.

Kontrrak ini terjadi jika Franchisor ikut menginvestasikan dana selain memberikan dukungan manajemen dan teknis. Franchisee tetap bertugas mengembangkan dan mengoperasikan tempat usaha yang bersangkutan. Biaya-biaya yang timbul dan keuntungan yang di peroleh akan di bagi oleh Franchisor dan Franchisee sesuai dengan perjanjian

  • Mixed Franchise.

Tipe ini terjadi jika Franchisor menwarkan paket Franchisee yang memungkinkan Franchisee yang modalnya terbatas untuk mengelolan sebagian fungsi usaha saja. Misalnya produksi dilakukan Franchisor dan franchisee hanya mengelola proses penjualannya saja. Selain paket seperti itu, Franchisor tersebut biasanya juga menawarkan pakt utuh kepada franchisee yang memiliki modal cukup.[11]

Sebagai pengusaha, jika ingin membuka usaha franchise, terdapat syarat yang harus diketahui melalui memahami aspek hukumnya. Pengusaha perlu memperhatikan syarat-syarat dalam mendirikan bisnis waralaba. Pertama, adanya surat tanda pendaftaran waralaba yang menandakan bahwa pengusaha telah melakukan pendaftaran penawaran waralaba bagi pemberi maupun penerima franchise lanjutan. Kedua, perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak yang bertuliskan hak dan kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan oleh kedua pihak. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 4

  1. Waralaba  diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
  2. Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.” [12]

 Ketiga, kriteria waralaba. Kriteria harus terpenuhi untuk menjamin kelayakan kerjasama yang akan dilakukan. Keempat, prospektus penawaran yang merupakan aspek penting dalam menjalin kerjasama. Dalam prospektus penawaran, hal tersebut berisikan tentang susunan laporan keuangan yang tepat dan rinci, standar operasional prosedur (SOP) yang jelas, adaya dukungan dari pemilik waralaba dan mitra bisnis, serta yang paling penting adanya hak kekayaan intelektual dan izin usaha terkait dengan izin usaha franchise yang akan dijalani. Hal ini mencakup kedalam hak merek dan rahasia dagang.  Berkas tersebut harus diserahkan paling lambat dua minggu sebelum penandatanganan surat perjanjian waralaba.

Dengan adanya penjelasan berikut dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai merger, akuisisi dan waralaba kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.


[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

[2] Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 87 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[5] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[6] Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[7] Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[8] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[9] Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[10] Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba

[11] Handowo Dino, Sukses Usaha Memperoleh Dana, dengan Konsentrasi Modal Ventura, Jakarta, Graffiti Press, 1993, hal. 39

[12] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  2. Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition.
  3. Government Regulation No. 57 of 2010 concerning Merger or Merger of Business Entities and Takeover of Company Shares that Can Result in Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.
  4. Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchise.

REFERENCE :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, accessed March 22, 2022

Mergers and acquisitions are two terms in the business world that are most often discussed, so sometimes both terms are  considered to have the same meaning.  Both terms are used to refer to corporate action in the form of the merger of two companies, however, it turns out that the  meaning of the  terms merger and acquisition turns out to be different and must be understood.  Some companies usually prefer to use the term merger as opposed to  acquisition when buying most of the shares of smaller companies.

Merger is the process of combining two or more companies that then become one company only, where the company takes by uniting shares in the form of assets and non-assets of the merged company. Companies that merge with other companies must own at least 50% of the shares and the rest can be owned by investors from outside the company. In this case the buying company will continue its name and identity, the buyer’s company will also take both the assets and liabilities of the purchased company.  An acquisition is the purchase of a company by another company where it buys most or all of the shares of another company with the aim of taking control. The main goal of a company is to join another company or make acquisitions because the company will achieve faster growth than having to build its own business unit in addition to making a profit.  Acquisitions are often used to maintain the availability of raw material supplies or guarantee that products will be absorbed by the market.

The understanding of mergers is also explained in Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT) in Article 1 paragraph (9) which contains:

“Article 1

(9) Merger is a legal action carried out by other existing Company personnel that result in assets and passiva from the Company that merges itself to transfer because of the law to the Company that accepts he subsequent incorporation of legal entity status to the Company that merges ends due to the law

Meanwhile, the understanding of the acquisition is explained in Article 1 paragraph (11) of Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT)  namely:

“Article 1

(11) Takeover is a legal act cariired by a legal entity or individual to take over the Company’s share which results in a transfer of control over the Company”

Mergers and acquisitions are divided into  several types. Mergers  themselves  have five different types.  First, a conglomeration merger  which means the merger of two or more companies in different business activities.  Second, a strategic merger/product extension merger   is the merger of two or more companies operating in the  same sector but in  different ways.  Third,  market expansion mergers are the merger of companies that sell the same products but the market is different.  Fourth, horizontal mergers are the merger of companies that operate in the  same industry and offer similar products or services.  Fifth, a vertical merger that is the incorporation of companies that have different levels in the same industrial  supply chain.  Usually, the main businessman  with the distributor company that cooperates   with him.   Acquisitions  have only two types.  First, it is the acquisition of assets that is, a company acquires the  assets of another  company and takes over in accordance with the  approval of shareholders. Usually the  acquisition of these  assets  is done because the acquired company has bankruptcy. Second,  the acquisition of management. Management acquisition  is the executive executive of  a company buying a controlling stake in  another company so that it becomes private property.

Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic   and non-economic  goals.  The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige.

The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process. To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation. It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of Mergers and acquisitions are divided into  several types. Mergers  themselves  have five different types.  First, a conglomeration merger  which means the merger of two or more companies in different business activities.  Second, a strategic merger/product extension merger   is the merger of two or more companies operating in the  same sector but in  different ways.  Third,  market expansion mergers are the merger of companies that sell the same products but the market is different.  Fourth, horizontal mergers are the merger of companies that operate in the  same industry and offer similar products or services.  Fifth, a vertical merger that is the incorporation of companies that have different levels in the same industrial  supply chain.  Usually, the main businessman  with the distributor company that cooperates   with him.   Acquisitions  have only two types.  First, it is the acquisition of assets that is, a company acquires the  assets of another  company and takes over in accordance with the  approval of shareholders. Usually the acquisition of these assets  is done because the acquired company has bankruptcy.  Second,  the acquisition of management.  Management acquisition  is the executive executive of  a company buying a controlling stake in  another company so that it becomes private property.

Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic   and non-economic  goals.  The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige.

The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process.  To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation.  It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of

Commissioners at each PT, it must then be submitted at the GMS  based on Article 87 paragraph (1) of Law No. 40 of 2008 concerning The Limited Liability Company  explains as follows:

“Article 87

The decision of the GMS is taken based on deliberations for consensus, which means the results of the agreement approved by the shareholders present or represented by the GMS”

The fourth made a joining deed. If the incorporation of THE PT  is not accompanied by the articles of association, a copy of the  merger deed  must be submitted to the Minister to be recorded in the list of PT.  Fifth, the announcement of the results of the merger.  The Board of Directors of PT who receive the merger must announce the results of the merger a maximum of  thirty days from the date of  approval of the  Minister.  The announcement is intended so that   interested  third parties  know that a  merger has been made.

While the acquisition has two types of processes on its takeover, namely the takeover process  through the company’s board of directors and the takeover process  directly from  shareholders.  In the Takeover Process through the Board of Directors of the Company, explained based on Article 125 paragraph (1) of Undang-Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  , namely:

“Article 125

(1) Takeover is carried out by means of takeover of shares that have been issued by the company through the board of directors of the company or directly from shareholders. This is done by a legal entity or individual person. The takeover of the shares in question is a takeover that results in a change of control of the company”

There are seven takeover or acquisition processes  through the company’s directors.  First the decision of the GMS.  The election must be based on the GMS that meets the provisions and requirements on the requirements for gms decision making as intended in Article 89 Undang-Law No. 40  of  2007, namely:

“Article 89

There are at least ¾ (three quarters( of the portion of the total number of shares with votes rights present or represented at the GMS and the decision is valid if approved at least ¾ (three quarters) part of the number of votes issued, unless the article of association determine the quorum of attendance and/or the provisions of the GMS are greater”

Second, Notice to the Board of Directors of the Company.  Third, the preparation of the takeover plan.  Fourth, the takeover of the draft summary.  Fifth, the submission of creditor objections. Sixth, the creation of a  takeover deed in front of a notary.  Seventh, notice to the Minister, and finally the  announcement of the results of the takeover.

Meanwhile, in the process   of taking over directly  from  shareholders has a simpler procedure that  is  obliged to be subject to the provisions of  stock acquisition in accordance with Law No. 40 of 2007.  about the Limited Liability Company  which explains that the acquisition of shares must pay attention to the provisions of the transfer of rights to shares in the Articles of Association, as well as obtaining approval from the General Meeting of Shareholders (GMS). Gms must be carried out no later than 30 (thirty) days after the announcement, the Board of Directors of the company who will make the acquisition must announce a summary of the draft in at least 1 (one) newspaper and announce in writing to the employees of the company within 30 days before the summons of the GMS. Creditors may object to the company within 14 days after the announcement of the acquisition in accordance with the draft. If the creditor does not raise objections within that period of time then the creditor is considered to agree.  In the case of the validity of the creditors until the date of the GMS cannot be completed by the Board of Directors of the company, the objection must be submitted at the GMS to get a settlement. Before these objections are resolved, the acquisition cannot be implemented. The deed of transfer of rights to shares must be declared by notary deed and in Indonesian.  A copy of the word transfer of the right to shares must be attached to the submission of notification to the Minister of Law and Human Rights about changes to the Company’s Shareholder Structure.  The Board of Directors of the Company shall announce the results of the acquisition in 1 or more newspapers within a period of no later than 30 days from the date of notification to the Minister of Law and Human Rights or from the date of approval of changes to the Articles of Association by the Minister of Law and Human Rights.

 But please note that the process of Mergers and Acquisitions is not always smooth, sometimes there is rejection from shareholders. So if referring to 126 UUPT explained that “Shareholders who do not agree to the DECISION of the GMS regarding Merger, Smelting, Takeover, or Separation may only exercise their rights as intended in Article 62 of the Limited Liability Company Law. The implementation of the rights as intended does not stop the process of implementing Merger, Smelting, Takeover, or Separation.

The shareholder rights referred to in Article 62 of the Uupt are: Each shareholder has the right to ask the Company that its shares be purchased at a reasonable price if the person concerned does not agree to the Company’s actions that harm the shareholders or the Company, in the form of:

  1. changes to the articles of association;
  2. transfer or guarantee of the Company’s wealth which has a value of more than 50% (fifty percent) of the Company’s net worth; or
  3. Merger, Merger, Takeover, or Separation.

If the shares requested to be purchased exceed the limit of the provisions of share repurchase by the Company, the Company shall strive for the remaining shares to be purchased by a third party.

When viewed from  the   competition law  in Indonesia, mergers and acquisitions are prohibited if both actions can result in monopolistic practices and unfair business competition. This is  stipulated in Article 28 of Law No. 5  of  1999 concerning Prohibition of  Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:

“Article 28

Business actors are prohibited from combining or smelting business entities that can lead to monopolistic practices and/or unfair business comepetition”

Mergers and Acquisitions carried out by business actors must have the value of assets resulting from mergers and acquisitions exceeding Rp 2.5 trillion or the value of sales of mergers and acquisitions exceeding Rp 5 trillion must be notified in writing to the KPPU no later than 30 working days from the date it has been effective juridically the merger and the acquisition is regulated under Article 29 of Law No. 5 years.  1999  on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:

“Article 29

The merger or merger of a business entity or the takeover of shares as intended in Article 28 which results in the value of the asset and or the value of its sale exceeding a certain amount, must be notified to the Commission, no later than 30 (thirty) days from the date of incorporation, smelting or takeover

If  business actors make a delay in reporting any merger or acquisition transactions, based on Article 6  of Government Regulation No. 57 of 2010 explains that sanctions are subject to:

“Article 6

Legal sanctions that will be imposed on business actors who do not perform this obligation are subject to sanctions in the form of administrative fines of Rp1,000,000,000.00 (one billion) every day delay with the provision of administrative fines as a whole as high as Rp25,000,000,000.00 (two recover five billion)”

Another case with franchise. Franchising is a form of business cooperation between the owner of a brand, product, or operational system with a second party in the form of granting a license to use the brand, product, and operational system. The definition of franchise is written in Article 1 paragraphs (1) of Government Regulation no. 42 of 2007 concerning Franchise as follows:

“Article 1

1) Franchise is a special right owned by an individual or a business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven successful and can be utilized and/or used by other parties based on a franchise agreement.”

Developing from this basic form, there are four types of franchises or mining franchises, namely:

  1. Major Franchise.

In this Contract, the Franchisee is also entitled to sell his franchise rights to other applicants who are in certain areas

  • Regional Development Program.

The franchisee has the right to develop the franchise business in question in a certain area, without having the right to resell the rights drawn. So the difference with the master franchise is only in the presence or absence of the right to resell the franchise he bought.

  • Joint Venture Franchise Program.

This contract occurs if the Franchisor participates in financial support in addition to providing management support and the Franchisee’s management continues to develop and operate the place of business in question. The costs incurred and the profits earned will be shared by the Franchisor and the Franchisor in accordance with the agreement

  • Mixed Franchise.

This type occurs when the Franchisor offers a Franchisee package that allows a Franchisee whose capital is limited to manage only some business functions. For example, production is carried out by the franchisor and the franchisee only manages the sales process. In addition to such packages, the Franchisor usually also offers complete packages to franchisees who have sufficient capital.

As an entrepreneur, if you want to open a franchise business, there are conditions that must be known through understanding the legal aspects. Entrepreneurs need to pay attention to the requirements in setting up a franchise business. First, the existence of a franchise registration certificate indicating that the entrepreneur has registered a franchise offer for the grantor or recipient of a further franchise. Second, the franchise agreement. A franchise agreement is a written agreement made by both parties that states the rights and obligations that must be accounted for by both parties. This is stated in Article 4 paragraphs (1) and (2) of Government Regulation no. 42 of 2007 namely:

“Article 4

1) Franchising is carried out based on a written agreement between the Franchisor and the Franchisee with due observance of Indonesian law.

2) In the event that the agreement as referred to in paragraph (1) is written in a foreign language, the agreement must be translated into Indonesian.”

Third, the franchise criteria. The criteria must be met to ensure the feasibility of the cooperation to be carried out. Fourth, the offer prospectus which is an important aspect in establishing cooperation. In the offer prospectus, it contains the composition of precise and detailed financial statements, clear standard operating procedures (SOP), support from franchise owners and business partners, and most importantly the existence of intellectual property rights and business licenses related to franchise business licenses. which will be carried out. This includes trademark rights and trade secrets. The file must be submitted at least two weeks before the signing of the franchise agreement.

With the following explanation, an appeal to business actors not to hesitate to conduct consultations regarding mergers, acquisitions and franchising to official institutions related to the rules for business mergers or consolidations. The consultation is expected to prevent violations of rules in monopolistic practices and unfair business competition and avoid mistakes that will occur.

0

FOREIGN INVESTMENT IN THE INDONESIAN FISHERY SECTOR AFTER THE ENTRY OF LAW NUMBER 11 OF 2020 CONCERNING JOB CREATION

Author : Nirma Afianita, Co-Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
  3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Ikan
  6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengelolaan Ikan

BUKU-BUKU :

  1. Likadja, Frans E & Daniel F. Bessi. (1998). Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan. Jakarta : Ghalia Indonesia
  2. Afrianto, Eddy. (1996). Kamus Istilah Perikanan. Bandung : Kanisius.
  3. Sornarajah, M. (2004). The International Law on Foreign Investment. Cambridge : Cambridge University Press.

INTERNET :

Badan Koordinasi Penanaman Modal (2020). “Penanaman Modal Asing di Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 4 November 13.07)

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020). “Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.49)

Kementerian Investasi / BKPM (2020) “UU Cipta Kerja : Dorong Investasi, Ciptakan Lapangan Kerja” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-dorong-investasi-ciptakan-lapangan-kerja (diakses pada tanggal 4 November pukul 13.10)

Muhammad Yunus (2020) “7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan” https://sulsel.suara.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-kerja-terhadap-sektor-kelautan-dan-perikanan?page=all (diakses pada tanggal 5 November Pukul 13.28)

Oki Pratama (2020). “ Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia” https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses pada 4 November 2021, pukul 15.40)

Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina (2021) “Omnibus Law, UU ‘Sapu Jagad’ di Bidang Hukum”  https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu-sapu-jagad-di-bidang-hukum (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.40)

LEGAL BASIS :

  1. 1945 Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as Amended by Law Number 45 of 2009
  3. Law Number 25 of 2007 concerning Investment
  4. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation
  5. Minister of Maritime Affairs and Fisheries Regulation Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fish Supervisory Duties
  6. Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 5 of 2021 concerning Fish Management Business

BOOKS :

  1. Likadja, Frans E & Daniel F. Bessi. (1998). Law of the Sea and Fisheries Act. Jakarta : Ghalia Indonesia
  2. Afrianto, Eddy. (1996). Dictionary of Fisheries Terms. Bandung : Kanisius.
  3. Sornarajah, M. (2004). The International Law on Foreign Investment. Cambridge : Cambridge University Press.

INTERNET :

Investment Coordinating Board (2020). “Foreign Investment in Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/article-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (accessed on November 4, 13.07)

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020). “Analysis of the Law on Employment Creation in the Marine and Fisheries Sector”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sector-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (accessed on November 5, 2021 at 8.49)

Ministry of Investment / BKPM (2020) “Job Creation Law: Encouraging Investment, Creating Jobs” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-push-investasi-ciptakan -employment (accessed on November 4th at 13:10)

Muhammad Yunus (2020) “7 Negative Impacts of the Job Creation Law on the Marine and Fisheries Sector” https://sulsel.voice.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-karya- on-the-marine-and-fisheries-sector?page=all (accessed on November 5th at 13:28)

Oki Pratama (2020). “Water Conservation as an Effort to Maintain Indonesia’s Marine and Fishery Potential” https://kkp.go.id/djprl/article/21045-konservasi-perairan-as-Effort-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (accessed at November 4, 2021, 3:40 p.m.) Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina (2021) “Omnibus Law, Law ‘Sweeping the Universe’ in the Legal Sector” https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu -sapu-universe-in-the-law (accessed on November 5, 2021 at 8.40)

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan fakta yang menunjukan hal demikian maka Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi dengan lautan. Indonesia sebagai negara ‘maritim’ memiliki kekayaan dibidang kelautan dan juga perikanan yang amat luas, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Hanya 2,01 juta km2 yang berupa daratan.[1]

            Dalam hal potensi kelautan, terdapat jenis dan potensi yang sangat beragam, mulai dari pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagaianya, dan dalam hal potensi perikanan, Indonesia juga memiliki bidang usaha di bidang perikanan yang beragam seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya atau akuakultur, dan usaha perikanan pengolahan.

            Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan nasional. Pada tahun 2019, nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai Rp 73.681.883.000 dimana nilai tersebut naik 10.1% dari hasil ekspor tahun sebelumnya, yakni tahun 2018. Hasil laut seperti udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan serta rumput laut merupakan komoditas yang dicari. Banyaknya hasil produksi perkanan di Indonesia perlu dipertahankan dan dijaga. Tanpa pengelolaan dan pengawasan yang baik, perikanan di Indonesia rentan terjadi pelanggaran.[2]

            Bidang perikanan sebagai salah satu sektor yang sangat penting bagi pembangunan nasional, khususnya di bidang penyediaan kebutuhan protein hewani untuk penduduk Indonesia. Hasil laut yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, khususnya di wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Potensi sumber daya alam hayati di ZEEI merupakan potensi yang memberikan kemungkinan untuk dimanfaatkan secara langsung. Sumber daya alam hayati tersebut, sekaligus berfungsi sebagai pendukung sumber daya perikanan di seluruh perairan Indonesia.[3]

Saat ini pemanfaatan sumber daya ikan untuk meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengolahan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum masih kurang optimal. Sehingga perlu adanya pembangunan dalam mengoptimalkan sumber daya ikan tersebut. Fasilitas dan infrastruktur yang memadai menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan kualitas pemanfaatan sumber daya ikan yang ada di Indonesia. Untuk meingkatkan pembangunan ekonomi dalam sektor perikanan di Indonesia diperlukan suatu kegiatan usaha dalam mengolah hasil sumber daya ikan tersebut. Bahwa sektor perikanan di Indonesia masih memerlukan beberapa pembenahan, seperti sumber daya manusia yang berkualitas, keamanan berusaha, konsistensi kebijakan, kepastian huku, kebijakan pajak yang baik, hingga ketersediaan sumber modal.[4]

            Ketersediaan modal yang masih terbatas menjadikan pertumbuhan yang lamban untuk meningkatkan kualitas perikanan di Indonesia. Untuk mempercepat pembangunan ekonomi di sektor perikanan maka pemerintah Republik Indonesia memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pengertian dari penanaman modal itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.[5]

            Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolak ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat tujuan dari penanaman modal yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, target untuk mencapai pertumbuhan pembangunan ekonomi yang tinggi disektor perikanan Indonesia tidak lain salah satunya adalah dari tingkat investasi penanaman modal, baik penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri. Target tersebut dapat ditempuh apabila kebijakan-kebijakan mengenai penanaman modal dan suasana usaha sudah kondusif dan atraktif bagi para penanam modal.

            Penanaman modal asing (PMA) terhadap sektor perikanan di Indonesia dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia [6], namun di sisi lain ada beberapa dalmpak yang dialami oleh golongan nelayan lokal. Dampak-dampak tersebut dapat mematikan usaha nelayan lokal dan mengurangi pendapatan di sektor lokal. Hal ini menimbulkan pro dan kontra mengenai penanaman modal asing di sektor perikanan dan pertumbuhan ekonomoi masyarakat lokal. Banyak perusahaan asing yang kerap melakukan kecurangan-kecurangan di sektor perikanan, misalnya status hukum perusahaan tidak berubah menjadi perusahaan PMA, perusahaan yang fiktif, langsung membawa ikan keluar negeri dan pelanggaran fishing ground.

            Akan tetapi, pemerintah sudah mulai mengatasi permasalahan-permasalah tersebut, dengan langkah-langkah dan kebijakan yang dilakukan dan diterapkan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2014-2019, yang menentang keras tentang penangkapan ikan yang merusak lingkungan, contohnya Perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan SNI. Sejak pergantian periode masa jabatan, terpilihnya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) yang baru yakni Edhy Prabowo, hal tersebut diperbolehkan kembali, tetapi setelah tertangkapnya mantan Menteri KKP tersebut, dan digantikan oleh Sakti Wahyu Trenggono, peraturan mengenai larangan untuk menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan SNI tersebut diberlakukan kembali.

            Persoalan mengenai perizinan untuk menanam modal dari pihak asing maupun dalam negeri juga sudah dimudahkan, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dimana peraturan perundang-undangan tersebut menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal diyakini akan membawa dampak positif terutama dalam hal mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja untuk meningkatkan perekonomian nasional. Hal ini dijabarkan oleh BKPM karena Undang-Undang Cipta Kerja membuat lebih mudahnya pembukaan usaha (kemudahaan berusaha) dalam hal perizinan berusaha bagi investor, serta di penguatan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) dimana hal ini ditegaskan oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bahwa berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja akan memberikan ruang yang sangat besar bagi UMKM.[7]

            Serta dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengenai perubahan tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana dalam perubahan ini terjadi pemindahan kekuasaan, yakni sentralisasi, dimana pemerintah pusat mengambil alih urusan perizinan usaha di bidang perikanan, dibantu dengan pemerintah daerah.[8]

Sebelum membahas dampak pelaksanaan prosedur penanaman modal asing di sektor perikanan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kita harus memahami Pengertian Penanaman Modal Asing atau Foreign Investment  menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negri.[9] Selanjutnya, definisi Foreign Investment juga dikemukakan oleh Para Ahli salah satunya oleh seorang akademisi hukum Prof. M. Sornarajah, dimana ia mengartikan bahwa foreign investment adalah transfer modal, baik yang nyata maupun yang tidak nyata dari suatu negara ke negara lain, tujuannya untuk digunakan di negara tersebut agar menghasilkan keuntungan di bawah pengawasan dari pemilik modal, baik secara total atau sebagian.[10]

Indonesia dijuluki sebagai negara maritim, dimana julukan ini melekat karena sebagaian besar wilayah Indonesia dikelilingi oleh Perairan, konsep negara maritim ini dimaksud dengan negara yang luas wilayah perairannya lebih besar daripada wilayah daratannya. Oleh karena wilayah perairan Indonesia lebih luas daripada daratan, maka Indonesia memiliki potensi yang lebih besar di bidang kelautan dan perikanan.

Perikanan di Indonesia adalah salah satu sektor atau bidang yang patut menjadi sorotan dalam hal investasi, karena potensinya yang besar untuk dikembangkan serta dikelola. Pengertian perikanan itu sendiri tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang berbunyi :

“ Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, prduksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. “[11]

Undang-Undang Perikanan mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana terdapat beberapa pasal yang dirubah melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja , atau Omnibus Law. Omnibus Law adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah Undang-Undang lain. Konsep Undang-Undang itu umumnya ditemukan dalam sistem hukum seperti di Amerika Serikat, dan jarang ditemui dealam sistem hukum sipil seperti di Indonesia.[12] Dimana di Indonesia Omnibus Law itu baru pertama kali diterapkan melalui berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Cakupan perubahan Undang-Undang di dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut sangat luas, salah satunya di bidang perikanan, salah satu perubahan ada pada sentralisasi kewenangan, yang sebelumnya kewenangan semua berada di tangan Kementrian Kelautan dan Perikanan, sekarang dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Apabila terdapat kewenangan yang berada pada Pemerintah Daerah sekalipun, maka Kriteria untuk memiliki izin usaha-nya harus dibuat oleh Pemerintah Pusat.

Perubahan yang signifikan berada pada perizinan usaha yang dipermudah, dimana terdapat banyak sektor yang perizinan usahanya diselenggarakan berdasarkan perizinan berusaha berbasis risiko. Pada peraturan sebelumnya, terdapat prosedur yang lebih rumit bagi Investor untuk menanam modal pada sektor perikanan, akan tetapi sekarang setelah dipermudahnya izin untuk investor terutama investor asing, maka membuka peluang untuk para investor terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, melalui penanaman modal asing dalam hal untuk memajukan perekonomian nasional.

Beberapa Pasal Undang-Undang Cipta Kerja menggabungkan jenis-jenis izin. Contohnya, Pasal 18 Angka 16 Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan terminologi “Perizinan Berusaha”, dimana teks asli pada Undang-Undang sebelumnya menggunakan 2 (dua) terminologi berbeda yaitu “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”. Dapat diartikan bahwa terjadi penyederhanaan perizinan berusaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui berlakunya peraturan ini. Contoh lainnya adalah Pasal 27 Angka 5 dan Pasal 27 Angka 6 Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan frasa “Perizinan Berusaha” dimana teks pada Undang-Undang sebelumnya adalah SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Tidak ada pasal maupun penjelasan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat memberikan pemahaman mengenai bagaiamana materi muatan dan fungsi izin-izin tersebut dapat dipertahankan setelah diubah/dileburkan ke dalam “Perizinan Berusaha”. [13]

Selain hal tersebut, Pasal 22 Angka 1 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah “Izin Lingkungan” menjadi “Persetujuan Lingkungan”. Digantinya izin menjadi persetujuan akan menurunkan fungsi, efektivitas, dan pengendalian. Izin memiliki kemampuan untuk secara efektif berfungsi sebagai instrumen pengendalian kegiatan, pencegahan pelanggaran, dan pengawasan masyarakat.[14]

Karena sekarang dipermudahnya urusan perizinan yang sederhana, Untuk membuka peluang di sektor perikanan agar banyak investor yang masuk, dalam hal ini khususnya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di sektor perikanan Indonesia , karena tahun-tahun sebelumnya sektor perikanan di Indonesia adalah sektor yang paling tidak diminati oleh investor.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak hanya menimbulkan dampak positif, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif, salah satunya juga berkaitan dengan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat, dimana hal ini dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Di sektor perikanan, kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada Menteri berpindah ke Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden. Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan ikan.[15] Sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat juga mereduksi hak otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[16]

Pengawasan pemerintah mengenai penanaman modal di sektor perikanan Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law banyak mengganti dan/atau mencabut peraturan yang berlaku, dengan memberlakukan peraturan yang baru. Sehingga, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, Pemerintah pada sektornya masing-masing mengeluarkan banyak aturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu sendiri.

Seperti pembahasan sebelumnya, telah dibahas tentang sentralisasi dimana sebelumnya kewenangan diserahkan kepada Menteri atau Pemerintah Daerah, sekarang kewenangan tersebut berada pada Pemerintah Pusat. Akan tetapi, tidak banyak terjadi perubahan dalam hal pengawasan di sektor Perikanan.

Dalam sektor perikanan, pengawasan di sektor perikanan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. Dimana dijelaskan bahwa pengawas perikanan adalah pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan telah diangkat menjadi pengawas perikanan, dapat berasal dari instansi pusat maupun instansi daerah.[17]

Pengawasan terhadap sektor Perikanan yang dilakukan oleh Pengawas Perikanan dijelaskan dalam Bab III tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas, dan dalam Pasal 9 mengatur hal-hal yang diawasi oleh pengawas perikanan, yang berbunyi :

Pasal 9

  • Pelaksanaan tugas pengawasan perikanan di WPPNRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilakukan terhadap :
  • penangkapan ikan;
  • pembudidayaan ikan dan pembenihan ikan;
  • pengangkutan dan distribusi keluar masuk ikan;
  • pelindungan jenis ikan;
  • terjadinya pencemaran akibat perbuatan manusia;
  • pemanfaatan plasma nutfah;
  • penelitian dan pengembangan perikanan;
  • pembangunan kapal perikanan di galangan kapal; dan
  • pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada usaha perikanan.
  • Pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
  • patroli pengawasan; dan
  • pemantauan pergerakan Kapal Perikanan.
  • Patroli pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilaksanakan untuk:
    • mencegah terjadinya kegiatan perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur serta kegiatan yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya;
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian izin pemanfaatan plasma nutfah;
    • memeriksa tingkat pencemaran akibat perbuatan manusia;
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian izin penelitian dan pengembangan perikanan; dan
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian sertifikat dan kriteria kepatuhan hak asasi manusia pada Usaha Perikanan.
  • Pemantauan pergerakan Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan untuk:
    • mengetahui posisi, pergerakan, dan aktivitas Kapal Perikanan;
  • mendeteksi kepatuhan operasional Kapal Perikanan; dan
  • penyelamatan terhadap Kapal Perikanan yang menghadapi masalah di laut.
  • Apabila dalam patroli pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat Kapal Perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal Pengawas Perikanan dan/atau awak Kapal Perikanan, Pengawas Perikanan dapat melakukan tindakan khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. [18]

Dalam sektor perikanan, dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengolahan Ikan, Pada Pasal 26 dijelaskan bahwa Menteri, Gubernur Bupati / Walikota mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemenuhan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang ingin melakukan usaha di sektor perikanan.[19]

Pada dasarnya pengawasan di sektor perikanan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban antara penanam modal yang melakukan kegiatan usaha dengan pemerintah sebagai menerima modal. Pengawasan ini sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha mulai dari prosedur-prosedur yang telah ditetapkan sampai pada pelaksanaan kegiatan usaha agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan atas peraturan yang berlaku.

Pelaksanaan PMA di sektor perikanan Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian untuk mewujudkan pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, pada prinsipnya memberi penyederhanaan perizinan dan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha maupun investor untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia. Salah satu sektor usaha prioritas pada UU Cipta Kerja ini yaitu sektor kelautan dan perikanan, dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya sektor kelautan dan perikanan yang paling tidak diminati oleh investor,  baik asing maupun dalam negeri.

Akan tetapi, sentralisasi kewenangan kepada Pemerintah Pusat dapat melemahkan fungsi otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan merupakan tugas penting yang harus dilaksanakan dalam bidang apapun, dalam sektor perikanan pengawasan dilakukan oleh Pengawas Perikanan dimana dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan, mengatur tentang pengawasan dalam aktivitas penangkapan ikan hingga perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada usaha perikanan. Dimana pengawasan dilakukan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban, antara penanam modal dengan pemerintah.

Dalam hal pelaksanaan prosedur, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja pada sektor perikanan, terkait dengan sentralisasi kewenangan, Pemerintah Pusat harus memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah, karena apabila penentuan kriteria berada pada Pemerintah Pusat, maka hasilnya tidak akan objektif, karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda terkait perikanan, dan Pemerintah Daerah merupakan perwakilan setiap daerah yang lebih mengetahui dan mendalami potensi-potensi pada daerah itu sendiri. Serta dalam hal pengawasan, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan pengawasan yang lebih ketat terkait sektor perikanan, karena sektor perikanan sedang membuka peluang untuk para investor asing agar bisa menanamkan modalnya.


[1] Oki Pratama, “ Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia” https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses pada 4 November 2021, pukul 15.40)

[2] ibid

[3] Frans E. Likadja & Daniel F. Bessi, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), h. 41.

[4] Eddy Afrianto, et.al., Kamus Istilah Perikanan, Kanisius, Bandung, hlm 103

[5] UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[6]Badan Koordinasi Penanaman Modal, “Penanaman Modal Asing di Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 4 November 13.07)

[7] Kementerian Investasi / BKPM, “UU Cipta Kerja : Dorong Investasi, Ciptakan Lapangan Kerja” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-dorong-investasi-ciptakan-lapangan-kerja (diakses pada tanggal 4 November pukul 13.10)

[8] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[10] M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 7.

[11] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

[12] Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina, “Omnibus Law, UU ‘Sapu Jagad’ di Bidang Hukum”  https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu-sapu-jagad-di-bidang-hukum (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.40)

[13] Indonesia Ocean Justice Initiative, “Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.49)

[14] Ibid.

[15] Muhammad Yunus, “7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan” https://sulsel.suara.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-kerja-terhadap-sektor-kelautan-dan-perikanan?page=all (diakses pada tanggal 5 November Pukul 13.28)

[16] Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[17] Pasal 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Ikan

[18] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan

[19] Pasal 26 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengelolaan Ikan

Indonesia is the largest archipelagic country in the world, with facts that show this, Indonesia is an archipelagic country surrounded by oceans. Indonesia as a ‘maritime’ country has vast wealth in the field of marine and fisheries, stretching from Sabang to Merauke. Indonesia has 17,499 islands with a total area of ​​around 7.81 million km2. Of the total area of ​​3.25 million km2 is the ocean and 2.55 million km2 is the Exclusive Economic Zone (EEZ). Only 2.01 million km2 is land.

In terms of marine potential, there are very diverse types and potentials, ranging from marine tourism, maritime industry, transportation services and so on. or aquaculture, and fishery processing business.

Fisheries are one of the sectors that are relied upon for national development. In 2019, the export value of Indonesian fishery products reached Rp. 73,681,883,000, which was an increase of 10.1% from the export results of the previous year, namely 2018. Marine products such as shrimp, tuna, squid, octopus, crabs and seaweed are commodities that searching for. The large number of fish products in Indonesia need to be maintained and maintained. Without good management and supervision, fisheries in Indonesia are vulnerable to violations.

The fishery sector is one sector that is very important for national development, especially in the field of providing animal protein needs for the Indonesian population. Indonesia’s marine products are very abundant, especially in the ZEEI (Indonesian Exclusive Economic Zone) area. The potential of living natural resources in ZEEI is a potential that provides the possibility to be utilized directly. These biological natural resources also function as a supporter of fishery resources in all Indonesian waters.

Currently, the use of fish resources to improve the standard of living in a sustainable and equitable manner through fishery processing, supervision, and law enforcement systems is still not optimal. So there is a need for development in optimizing these fish resources. Adequate facilities and infrastructure are one of the main factors to improve the quality of utilization of fish resources in Indonesia. To increase economic development in the fisheries sector in Indonesia, a business activity is needed to process the results of these fish resources. That the fisheries sector in Indonesia still needs some improvements, such as quality human resources, business security, policy consistency, legal certainty, good tax policies, to the availability of capital sources.

The limited availability of capital makes growth slow to improve the quality of fisheries in Indonesia. To accelerate economic development in the fisheries sector, the government of the Republic of Indonesia provides opportunities for foreign parties to invest in Indonesia. The definition of investment itself according to Law Number 25 of 2007 concerning Investment is an investment activity to carry out business in the territory of the Republic of Indonesia carried out by foreign investors, both those who use foreign capital wholly or jointly with domestic investors. .

According to Law Number 25 of 2007 concerning Investment (UUPM) Article 3 paragraph (2) states that the objectives of implementing investment are, among others, to increase national economic growth, create employment opportunities, promote sustainable economic development, improve the competitiveness of the business world. nationally, increasing the capacity and capability of national technology, encouraging the development of the people’s economy, turning the potential economy into a real economic power by using funds originating from within the country as well as from abroad and improving the welfare of the people. Seeing the purpose of investment in accordance with Law Number 25 of 2007 concerning Investment, the target to achieve high economic development growth in the Indonesian fisheries sector is none other than the level of investment investment, both foreign investment or domestic investment. . This target can be achieved if the policies regarding investment and the business atmosphere are conducive and attractive for investors.

Foreign investment (PMA) in the fisheries sector in Indonesia can help increase economic growth in Indonesia, but on the other hand there are several impacts experienced by local fishermen. These impacts can kill local fishing businesses and reduce income in the local sector. This raises the pros and cons of foreign investment in the trade sector and local community economic growth. Many foreign companies often commit fraud in the fisheries sector, for example the legal status of the company does not change to a PMA company, a fictitious company, directly bringing fish out of the country and violating the fishing ground.

However, the government has started to address these problems, with the steps and policies implemented and implemented by the former Minister of Maritime Affairs and Fisheries for the 2014-2019 period, which strongly opposes fishing that damages the environment, for example, capture fisheries using fishing gear. fish that do not comply with SNI. Since the change of term of office, the election of the new Minister of Maritime Affairs and Fisheries (KKP), namely Edhy Prabowo, has been allowed to return, but after the arrest of the former Minister of Marine Affairs and Fisheries, and replaced by Sakti Wahyu Trenggono, regulations regarding the prohibition of using inappropriate fishing gear with the SNI re-enacted.

The issue of licensing for investment from foreign and domestic parties has also been facilitated, with the issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. Where the legislation according to the Investment Coordinating Board is believed to have a positive impact, especially in terms of encouraging investment and creating jobs to improve the national economy. This is explained by the BKPM because the Job Creation Law makes it easier to open a business (ease of doing business) in terms of business licensing for investors, as well as in strengthening MSMEs (Micro, Small and Medium Enterprises) where this is emphasized by the Head of BKPM Bahlil Lahadalia that the enactment of The Job Creation Act will provide a very large space for MSMEs.

As well as in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation regarding changes to Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as amended by Law Number 45 of 2009, where in this change there is a transfer of power, namely centralization, where the central government take over business licensing affairs in the fishery sector, assisted by the local government.

Before discussing the impact of implementing foreign investment procedures in the fishery sector after the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, we must understand the Definition of Foreign Investment according to Article 1 Number 3 of Law Number 25 of 2007 is an investment activity to carry out business in the territory of the Republic of Indonesia carried out by foreign investors, whether using fully foreign capital or in joint ventures with domestic investors. Furthermore, the definition of Foreign Investment was also put forward by experts, one of which was a legal academic, Prof. M. Sornarajah, where he means that foreign investment is the transfer of capital, both real and intangible, from one country to another, the purpose of which is to be used in that country to generate profits under the supervision of the owner of the capital, either in total or in part.

Indonesia is dubbed as a maritime country, where this nickname is attached because most of Indonesia’s territory is surrounded by waters. Because Indonesia’s territorial waters are wider than the mainland, Indonesia has greater potential in the marine and fisheries sector.

Fisheries in Indonesia is one of the sectors or fields that deserves to be highlighted in terms of investment, because of its great potential to be developed and managed. The definition of fishery itself is stated in Article 1 Point 1 of Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries, which reads:

” Article 1

In this Law what is meant by:

1. Fishery is all activities related to the management and utilization of fish resources and their environment from pre-production, production, processing to marketing, which are carried out in a fishery business system. “

The Fisheries Law refers to Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as amended by Law Number 45 of 2009, where there are several articles that have been amended through the issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, or the Omnibus Law. Omnibus Law is a term to refer to a law that deals with various topics and is intended to amend, trim and/or revoke a number of other laws. The concept of the law is generally found in legal systems such as in the United States, and is rarely encountered in civil law systems such as in Indonesia. Where in Indonesia the Omnibus Law was implemented for the first time through the enactment of Law No 11 of 2020 concerning Job Creation.

The scope of the amendments to the Law in the Job Creation Act is very broad, one of which is in the field of fisheries, one of the changes is in the centralization of authority, previously all authority was in the hands of the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, is now transferred to the Central Government. Even if there is authority that lies with the Regional Government, the criteria for having a business license must be made by the Central Government.

A significant change is in the simplified business licensing, where there are many sectors whose business licenses are carried out based on risk-based business licensing. In the previous regulation, there were more complicated procedures for investors to invest in the fisheries sector, but now that permits have been made easier for investors, especially foreign investors, it opens up opportunities for investors, especially foreign investors to invest in Indonesia, through foreign investment in matters to advance the national economy.

Several Articles of the Job Creation Law combine different types of permits. For example, Article 18 Number 16 of the Job Creation Law which uses the terminology “Business Licensing”, where the original text in the previous Law used 2 (two) different terminology, namely “location permit” and “management permit”. It can be interpreted that there is a simplification of business licensing carried out by the government through the enactment of this regulation. Another example is Article 27 Number 5 and Article 27 Number 6 of the Job Creation Law which uses the phrase “Business Licensing” where the texts in the previous Law were SIUP (Fishing Business Permit), SIPI (Fishing Permit), and SIKPI (Fish Transport Vessel Permit). There are no articles or explanations in the Job Creation Act that can provide an understanding of how the content and function of these permits can be maintained after being changed/consolidated into “Business Licensing”.

In addition to this, Article 22 Number 1 of the Job Creation Law changes the “Environmental Permit” to “Environmental Approval”. The replacement of permits into approvals will reduce the function, effectiveness, and control. Permits have the ability to effectively function as an instrument for controlling activities, preventing violations, and supervising the community.

Because now simple licensing matters are made easier, To open up opportunities in the fishery sector so that many investors enter, in this case especially foreign investors who want to invest in the Indonesian fishery sector, because in previous years the fisheries sector in Indonesia was the least desirable sector. by investors.

The enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation not only has a positive impact, but also has a negative impact, one of which is also related to the centralization of the authority of the central government, where this can reduce the control function on the level of exploitation of marine and fishery resources. In the fishery sector, the authority to determine fishery potential, which was previously in the hands of the Minister, is transferred to the Central Government, led by the President. In fact, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries is a technical institution that is qualified and authorized in terms of fish management. The centralization of authority to the central government also reduces the autonomy rights owned by regional governments, both provincial and district based on Article 18 paragraph (5) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Government supervision regarding investment in the Indonesian fishery sector after the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation or the Omnibus Law has replaced and/or revoked the applicable regulations, by enacting new regulations. Thus, after the enactment of the Job Creation Law, the Government in their respective sectors issued many implementing regulations which were derivatives of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation itself.

Like the previous discussion, we have discussed centralization where previously the authority was delegated to the Minister or Regional Government, now the authority lies with the Central Government. However, not much has changed in terms of supervision in the Fisheries sector.

In the fishery sector, supervision in the fishery sector is regulated in the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fisheries Supervisory Duties. Where it is explained that fishery supervisors are civil servants who meet the requirements and have been appointed as fisheries supervisors, they can come from central or regional agencies.

Supervision of the Fisheries sector carried out by the Fisheries Supervisor is described in Chapter III regarding Procedures for the Implementation of Duties, and in Article 9 regulates matters that supervised by the fishery supervisor, which reads:

“Article 9”

(1) The implementation of fishery supervision duties at WPPNRI as referred to in Article 8 letter a, shall be carried out on:

a. fish catching;

b. fish farming and fish hatchery;

c. transportation and distribution in and out of fish;

d. protection of fish species;

e. the occurrence of pollution due to human actions;

f. utilization of germplasm;

g. fishery research and development;

h. construction of fishing vessels in shipyards; and

i. protection and respect for human rights in fishery business.

(2) The implementation of the Fishery Supervisory duties as referred to in paragraph (1) shall be carried out by:

a. surveillance patrols; and

b. monitoring the movement of fishing vessels.

(3) Supervision patrols as referred to in paragraph (2) letter a, are carried out for:

a. prevent illegal, unreported and unregulated fishing activities and activities that damage fish resources and the environment;

b. check the completeness, validity and suitability of the germplasm utilization permit;

c. check the level of pollution due to human actions;

d. check the completeness, validity, and suitability of fishery research and development permits; and

e. check the completeness, validity, and suitability of certificates and criteria for compliance with human rights in fishery businesses.

(4) Monitoring the movement of Fishing Vessels as referred to in paragraph (2) letter b, is carried out for:

a. knowing the position, movement, and activity of the Fishing Vessel;

b. detect operational compliance of Fishing Vessels; and

c. rescue of fishing vessels facing problems at sea.

(5) If in the surveillance patrol as referred to in paragraph (3) there are fishing vessels trying to escape and/or fighting and/or endangering the safety of the fisheries supervisory ship and/or the crew of the fishing vessel, the fisheries supervisor can take special actions in accordance with the provisions of the legislation. -invitation. “

In the fishery sector, the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 5 of 2021 concerning Fish Processing Business is issued, Article 26 explains that the Minister, Governor, Regent / Mayor have the authority to supervise the fulfillment of obligations that must be fulfilled by business actors who want to do business in the fishery sector.

Basically, supervision in the fisheries sector aims to create a balance of rights and obligations between investors conducting business activities and the government as receiving capital. This supervision is very necessary to maintain business continuity starting from the established procedures to the implementation of business activities so that there are no deviations from the applicable regulations.

The implementation of PMA in the Indonesian fishery sector has an important role in advancing the economy to realize national development. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, in principle, provides simplification of licensing and ease of doing business for business actors and investors to start and run businesses in Indonesia. One of the priority business sectors in the Job Creation Law is the marine and fishery sector, because in previous years the marine and fishery sector was the least attractive to investors, both foreign and domestic.

However, the centralization of authority to the central government can weaken the autonomy function given to regional governments. Supervision is an important task that must be carried out in any field, in the fisheries sector supervision is carried out by the Fisheries Supervisor where in Article 9 of the Regulation of the Minister of Maritime Affairs and Fisheries Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fisheries Supervisory Duties, regulates supervision in fishing activities until protection and respect for human rights in fishery business. Where supervision is carried out to create a balance of rights and obligations, between investors and the government. In terms of the implementation of procedures, after the enactment of the Job Creation Law in the fisheries sector, related to the centralization of authority, the Central Government must give wider authority to the Regional Government, because if the determination of the criteria is with the Central Government, the results will not be objective, because each regions have different potentials related to fisheries, and the Regional Government is the representative of each region who is more aware of and explores the potentials of the region itself. As well as in terms of supervision, both the Central Government and Regional Governments must carry out stricter supervision related to the fisheries sector, because the fisheries sector is opening up opportunities for foreign investors to invest their capital.

0

BUSINESS FIELDS THAT ARE LIMIRED AND SUPERVISED BASED ON PRESIDENTAL REGULATION NO. 49 OF 2021 CONCERNING THE FIELD OF INVESTMENT BUSINESS

Author : Ananta Mahatyanto

Co Author : Rizky Tri Cahyanto

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal
  4. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
  5. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
  6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 /  POJK.01 / 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

REFERENSI:

  1. Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut
  2. Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all
  3. Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all
  4. Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-p

[1] Law Number 25 of 2007 concerning Investment

[2] Dhaniswara K Harjono, “Investment Law”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, p. 20

[4] Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector

  1. raktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

JURNAL:

  1. Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

E-BOOK:

  1. Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 25 of 2007 concerning Investment
  2. Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  3. Presidential Regulation Number 44 of 2016 concerning List of Business Fields Closed and Business Fields Open With Requirements in the Investment Sector
  4.  Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector
  5. Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector
  6. Financial Services Authority Regulation Number 22 / POJK.01 / 2015 concerning Criminal Acts in the Financial Services Sector

REFERENCE :

  1. Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut
  2. Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all
  3. Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all
  4. Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-praktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

JOURNAL:

  1. Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

E-BOOK:

  1. Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Penanaman Modal adalah penyertaan Modal dalam badan usaha dengan cara membeli saham atau obligasi dari badan usaha tersebut.[1] Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penanaman Modal bertujuan untuk :

  1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
  2. Menciptakan lapangan kerja
  3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
  4. Meningkatkan daya saing dunia usaha nasional
  5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanamkan Modal, baik oleh penanam Modal dalam Negeri maupun penanam Modal Asing untuk melakukan usaha diwilayah Negara Republik Indonesia.[2] Investasi atau Penanaman Modal adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian pendapatannya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendapatkan hasil atau keuntungan.[3]

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Pelaksana memberikan pengertian yang sama mengenai Penanaman Modal, yaitu sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008), dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (Perka BKPM No. 12/2009) yang menyatakan :

“Penanaman Modal diartikan sebagai segala bentuk kegiatan menanamkan Modal, baik oleh Penanam Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia” [4]

Penanaman Modal terbuka untuk semua bidang usaha baik penanam Modal dalam Negeri maupun penanam Modal Asing sebagaimana tercantum didalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

“Semua bidang usaha terbuka bagi Penanaman Modal, kecuali Bidang Usaha:

  1. Yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal
  2. Untuk kegiatan yang hanya dapat dilajukan oleh pemerintah pusat.” [5]

Adapun perubahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

“Bidang usaha terbuka sebagai mana dimaksud pada ayat (1) adalah bidang usaha yang bersifat komersil”[6]

Bidang Usaha Terbuka dan Bidang Usaha Tertutup adalah istilah yang dikenal dalam Penanaman Modal. Kedua bidang usaha ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Ketentuan mengenai semua bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal bidang usaha kegiatan Penanaman Modal terdiri atas :

  1. Bidang Usaha Terbuka
  2. Bidang Usaha Tertutup
  3. Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan. [7]

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Terbuka adalah Bidang Usaha yang dilakukan tanpa persyaratan dalam rangka Penanaman Modal.[8]

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan Penanaman Modal.[9]

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanam Modal Asing adalah :

  1. Produksi senjata, mesin, alat peledak, dan peralatan perang
  2. Bidang usaha yang secara eksplsit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang[10]

Berkaitan dengan Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal juga mengatur mengenai Bidang Usaha Yang Terbuka dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1), yang menyatakan bidang Usaha dengan persyaratan tertentu scbagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan Bidang Usaha yang dapat diusahakan oleh semua Penanam Modal termasuk Koperasi dan UMKM yang mernenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Persyaratan Penanaman Modal untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
  2. Persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan Modal Asing
  3. Persyaratan Penanaman Modal dengan Izin Khusus. [11]

Ketentuan mengenai Legalisasi Investasi minuman keras beralkohol dibeberapa provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Investasi industri minuman keras beralkohol ini masuk dalam Daftar Bidang Usaha dengan Persyaratan Tertentu sebagai tertuang dalam Lampiran III angka 31,32, dan 33 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 sebagai salah satu bidang usaha dari 46 bidang usaha dengan persyaratan. Seperti, Industri Minuman Keras Mengandung beralkohol, Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur, Industri Minuman Mengandung, Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol, Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol. Jenis Investasi ini hanya dapat dilakukan di 4 provinsi dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Di luar itu, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) dapat menetapkan provinsi lain berdasarkan usulan dari Gubernur.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengeluarkan/mencabut bidang usaha miras dari daftar bidang usaha tertutup yang dilarang diusahakan untuk kegiatan Penanaman Modal. Oleh karena itu, Pasal 14 huruf a Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 telah mencabut Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.[12]

Dalam rangka pembatasan pelaksanaan Penanaman Modal serta pengendalian dan pengawasan minuman yang mengandung alkohol, diperlukan perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Sebelumnya dalam Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Penanaman Modal sektor industri minuman keras mengandung alkohol, industri minuman mengandung alkohol anggur, dan minuman mengandung malt, ini masih diperbolehkan di empat provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua. Dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahatan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal ini disebutan prinsipnya semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi Penanaman Modal. Bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal merupakan bidang usaha yang bersifat komersil. Sedangkan bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi Penanaman Modal terdiri dari beberapa jenis. [13]

Rumusan norma amanat pembentukan peraturan perundang-undangan tersendiri dalam hal pengawasan miras beralkohol yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

  1. Persyaratan Penanaman Modal untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
  2. Persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan Modal Asing
  3. Persyaratan Penanaman Modal dengan Izin Khusus
  4. Persyaratan Penanaman Modal lainnya yaiut Bidang Usaha yang dibatasi dan diawasi secara ketat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri dibidang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol. [14]

Berkaitan dengan akta pengikatan saham dan kuasa saham tersebut beresiko untuk dikategorikan sebagai praktek Nominee arrangement.Dalam perjanjian tersebut kuasa atas saham tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Nominee arrangement tidak diperbolehkan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.[15] Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yaitu:

  1. Penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing yang melakukan Penanamn Modal dalam bentuk pereorang terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain
  2. Dalam hal penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. [16]

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UU Penanaman Modal melarang penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam PT untuk dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Penanaman Modal selanjutnya mengatur bahwa perjanjian Nominee Arrangement dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan secara tegas bahwa saham dikeluarkan atas nama pemiliknya, sehingga untuk penanam Modal diwajibkan atas nama pemegang saham, dan tidak diperbolehkan nama saham berbeda dengan pemilik sebenarnya.[17]

Penyelesaian sengketa Penanaman Modal dalam Negeri diatur didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,  dalam hal terjadi sengketa di bidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan penanam Modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat apabila tidak tercapai mufakat, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terjadi sengketa di bidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan penanam Modal dalam Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.[18]

Dalam hal terjadi sengketa dibidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal Asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Pemerintah Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1968, dengan adanya ratifikasi ini maka Investor Asing dapat terlindung dari resiko Investasi termasuk dari resiko politik.[19]

 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 /  POJK.01 / 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan, pihak yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu :

  1. Pejabat Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipekerjakan OJK.
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan OJK dan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik. [20]

Sanksi yang dapat diberikan terhadap Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing dapat berupa Sanksi Administif sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu :

  1. Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan tebatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan aats nama orang lain.
  2. Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
  3. Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. [21]

[1] Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut,  diakses pada tanggal 7 Maret 2022

[2] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

[3] Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007,hlm. 20

[4] Ibid.

[5] Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[6] Pasal 2 ayat (1) a Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[7] Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal

[8] Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan

[9] Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal

[10] Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[11] Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[12] Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all, pada tanggal 8 Maret 2022

[13] Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all, pada tanggal 8 Maret 2022

[14] Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[15] Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-praktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

[16] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[17] Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[18] Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

[19] Ibid.

[20]

[21] Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

According to the Indonesian Dictionary (KBBI), Investment is the participation of Capital in a business entity by buying shares or bonds from the business entity. As stated in Article 3 Paragraph (2) of Law No. 25 of 2007 on Investment, Investment aims to:

  1. Increase national economic growth
  2. Creating jobs
  3. Promote sustainable economic development
  4. Increase competitiveness of the national business world
  5. Increase national technological capacity and capabilities

Based on Law No. 25 of 2007 on Investment, Investment is any form of investment activity, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the Region of the Republic of Indonesia.[1] Investment is an activity carried out by a person or legal entity, setting aside some of his income so that it can be used to conduct a business in the hope that at some time will get results or profits.[2]

Law No. 25 of 2007 on Investment and Implementing Regulation provides the same understanding of Investment, as stated in Article 1 Paragraph (1) of Law No. 25 of 2007 on Investment, Article 1 paragraph (7) of Government Regulation No. 45 of 2008 on Guidelines for Incentives and Ease of Investment in the Region (Government Regulation No. 45 of 2008),  and Article 1 paragraph (1) of BKPM Head Regulation No. 12 of 2009 on Guidelines and Procedures for Investment Applications (Perka BKPM No. 12/2009) which states:

“Capital Investment is interpreted as all forms of capital investment activites, both by Domestic Investors and Foreign Investors to conduct business in the territory of the Republic Indonesia”.

Investment is open to all business fields both domestic investors and foreign investors as stated in Article 2 of Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business, namely :

“All business fields are open to investment, except business fields:

  1. Declared closed for Investment
  2. For activites that can only be done by the central government

As for the changes as stated in Article 2 of Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning investment business, namely:

“The field of open business as refrred to in paragtaph (1) is a field of business of a commercial nature.”

Open Business Field and Closed Business Field is a term known in Investment. Both of these business fields are regulated in Law No. 25 of 2007 on Investment, Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business. Provisions regarding all business fields or types of businesses that are declared closed and open with the requirements as stated in Article 12 of Law No. 25 of 2007 on Investment. In Article 2 paragraph (1) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning the List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment in the field of Investment activities consisting of:

  1. Open Business Field
  2. Closed Buisness Field
  3. Open Business Field With Persyaratan

Based on Article 1 paragraph (2) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning The List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment In Open Business Fields are Business Fields that are carried out without requirements in the framework of Investment.

Based on Article 1 paragraph (3) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning The List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment in Closed Business Fields are certain Business Fields that are prohibited from being pursued as Investment activities.[3]

Based on Article 12 paragraph (2) of Law No. 25 of 2007 on Investment in Business Areas Closed to Foreign Investors are:

  1. Production of weapons, gunpowder, explosive devices, and war equipment
  2. Business fields that are externally declared closed under the Law

Related to the Field of Closed Business and Open Business, Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business also regulates the Open Business Field with the requirements stipulated in Article 6 paragraph (1), which states the business field with certain requirements as referred to in Article 3 paragraph (1) letter c is a Business Field that can be attempted by all Investors including Cooperatives and MSMEs that meet the following requirements:

  1. Investment Requirements for Domestic Investment
  2. Investment Requirements with restriction on foreign capital ownership
  3. Investment Requirements with Special Permission

Provisions regarding the Legalization of Investment of alcoholic liquor in several provinces namely Bali, East Nusa Tenggara, Papua, and North Sulawesi as stated in Annex to Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business, Investment in the alcoholic liquor industry is included in the List of Business Fields with Certain Requirements as stated in Annex III number 31, 32, and 33 Presidential Regulation No. 10 of 2021 as one of the business fields of 46  business field with requirements. Such as, Liquor Industry Contains Alcoholic, Beverage Industry Contains Wine Alcohol, Beverage Industry Contains, Retail Trade Liquor or Alcoholic, Retail Trade Street Liquor or Alcoholic. This type of investment can only be done in 4 provinces concerning local culture and wisdom. Beyond that, the Investment Coordinating Board (BKPM) can establish other provinces based on proposals from the Governor.

As stated in Article 77 paragraph (2) of Law No. 11 of 2020 on Copyright Work that amends Article 12 of Law No. 25 of 2007 on Investment, issues / revokes the business field of liquor from the list of closed business fields that are prohibited from being attempted for Investment activities. Therefore, Article 14 letter a Presidential Regulation No. 10 of 2021 has revoked Presidential Regulation No. 76 of 2007 on Criteria and Requirements for The Preparation of Closed Business Fields and Open Business Fields with Requirements in the Field of Investment.

To limit the implementation of investment and control and supervision of beverages containing alcohol, changes are needed to presidential regulation No. 10 of 2021 on investment business. Previously in Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business, Investment sector of liquor industry contains alcohol, beverage industry contains wine alcohol, and beverages containing malt, this is still allowed in four provinces namely Bali, East Nusa Tenggara (NTT), North Sulawesi, and Papua. In Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning Investment Business, it is called in principle all business fields are open to Investment activities, except business fields that are declared closed to Investment. The business field is open to investment activities is a commercial business field. While the business field that is declared closed to investment consists of several types.

Formulation of the mandate norm for the establishment of its laws and regulations in terms of supervision of alcoholic beverages contained in Article 6 paragraph (1) letter d of Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business, namely:

  1. Investment Requirements for Domestic Investment
  2. Investment Requirements with restrictions on foreign capital ownership
  3. Investment Requirements with Special Permission
  4. Other Investment Requirements are Business Fields that are limited and closely monitored and regulated in their laws and regulations in the field of control and supervision of alcoholic beverages.[4]

Concerning the deed of binding of the shares and the power of the stock is at risk to be categorized as a nominee arrangement practice. In the agreement, the power of the shares is transferred to others. Nominee arrangements are not allowed since the enacting of Law No. 25 of 2007 on Investment.  Based on Article 33 paragraph (1) of Law No. 25 of 2007 on Investment, namely:

  1. Domestic Investors and Foreign Investors who invest in limited liability companies are prohibited from making agreements and/or statements affirming that ownership of shares in limited liability companies for and on behalf of others
  2. In the event that domestic investors and foreign investors make agreements and/or statements as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement is declared null and void.

As stated in Article 33 paragraph (1) of the Investment Law prohibits domestic investors and foreign investors from making agreements and/or statements affirming that share ownership in PT is for and on behalf of others. Article 33 paragraph (2) of the Investment Act further provides that the Nominee Arrangement agreement is declared null and void.

Based on Article 48 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, expressly states that shares are issued on behalf of their owners, so that investors are required on behalf of shareholders, and are not allowed to name shares different from the actual owner.

Settlement of domestic investment disputes is regulated in Article 32 of Law No. 25 of 2007 on Investment, in the event of disputes in the field of Investment between the Government and investors, the parties first resolve the dispute through deliberation and consensus if no consensus is reached, the resolution of the dispute can be done through arbitration or alternative dispute resolution or court following the provisions of the dispute.  laws and regulations. In the event of a dispute in the field of Investment between the Government and domestic investors, the parties can resolve the dispute through arbitration based on the agreement of the parties. If dispute resolution through arbitration is not agreed, the settlement of the dispute will be done in court.

In the event of a dispute in the field of Investment between the Government and Foreign Investors, the parties will resolve the dispute through international arbitration that must be agreed upon by the parties. The Government of Indonesia has also ratified the Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States by Law No. 5 of 1968, with this ratification, Foreign Investors can be protected from investment risks including political risks.[5]

As stated in Article 3 of The Financial Services Authority Regulation No. 22 / POJK.01 / 2015 on Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector, the authorities conduct investigations, namely:

  1. The Investigation Officer of the State Police of the Republic of Indonesia is employed by OJK
  2. Civil Servants employed by OJK and given special aunthority as Investigators.

Sanctions that can be given against Domestic Investors and Foreign Investments can be administrative sanctions as contained in Article 33 of Law No. 25 of 2007 on Investment, namely:

  1. Domestic investors and foreign investors who invest in the form of limited investments are prohibited from makin agreements and/or statemets affirming that share ownership in limited liability companies for and on behalf of others.
  2. If domestic investors and foreign investors make agreements and/or statements as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement are declared null and void.

In the case of investors who carry out business activites under agreements or cooperation contratcs with the Government to commit corporate crimes in the form of tax crimes, inflatinf recovery costs, and other forms of cost inflating to minimize profits that result in state losses based on findings or examinations by the competent authorities and have received court rulings with permanent legal force, The government terminates the agreement or cooperation contract with the investor concerned.

0

CUSTOMS REGULATIONS ON ELECTRIC CAR

Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM:  
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
3. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

REFERENSI :  
1. Flazz Tax.com , Pelajari dengan Baik Perbedaan Pajak Dengan Pengenaan Bea dan Cukai, (https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-perbedaan-pajak-dengan-pengenaan-bea-dan-cukai/#:~:text=Dimana%20bea%20akan%20dibebankan%20kepada,barang%2Dbarang%20dengan%20karakteristik%20khusus. , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)
2. Ike Nofalia, S.Kom, “Bea Cukai – Definisi, Fungsi, dan Contoh” (https://www.finansialku.com/bea-cukai-adalah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2022)
3. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, https://www.gaikindo.or.id/sekilas-tentang-istilah-cbu-ckd-dan-ikd-dalam-dunia-otomotif/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
4. Rina Anggraeni, “Siap-siap Sri Mulyani bakal naikkan pajak bagi mobil beremisi tinggi”, ( https://ekbis.sindonews.com/read/452634/33/siap-siap-sri-mulyani-bakal-naikkan-pajak-bagi-mobil-beremisi-tinggi-1623395218 , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)
5. Cantika Adinda Putri (CNBC Indonesia), “Sri Mulyani Bebaskan Bea Masuk Mobil Listrik”, (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301072439-4-319061/sri-mulyani-bebaskan-bea-masuk-mobil-listrik , diakses pada tanggal 3 Maret 2022)  
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia , Bea Cukai diartikan sebagai Perihal (urusan) yang berhubungan dengan pajak.[1]  Secara harafiah, Bea Cukai diartikan secara terpisah, terdiri dari 2 kata yakni Bea dan Cukai. Bea adalah pajak, biaya, ongkos. Sedangkan cukai berarti perihal yang berhubungan dengan pajak.            Hal mengenai Bea dan Cukai diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan), serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (UU Cukai). Bea bersumber pada UU Kepabeanan, dimana pengertian Kepabeanan itu sendiri diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU Kepabeanan, yang berbunyi: “Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.[2]          Bea terbagi menjadi 2, yakni Bea Masuk dan Bea Keluar, hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 15 dan 15a UU Kepabeanan, yang berbunyi: “ Pasal 1 Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor.[3]          Sedangkan Cukai diatur dalam UU Cukai, dimana pengertian Cukai itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Cukai, yang berbunyi: Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini. [4]          Sehingga, dapat dipahami bahwa Bea dikenakan apabila terjadi kegiatan Ekspor dan Impor, hal tersebut dijelaskan melalui adanya Bea masuk dan Bea keluar, pemungutan bea tersebut dikenakan terhadap barang tertentu, seperti contoh Mobil Listrik Asal Amerika yang diimpor ke Indonesia. Dan Cukai, merupakan pungutan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik sesuai dengan yang dijelaskan dalam UU Cukai, Sifat yang dimaksudkan adalah konsumsi yang perlu pengendalian, peredaran yang diawasi keberadaannya, efek negatif dari penggunaan barang terhadap masyarakat sekitar, seperti Rokok dan Alkohol. [5]          Bea Cukai yang merupakan pungutan negara yang bersifat wajib sering diidentikan sebagai Pajak, akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Bea Cukai dengan Pajak. Definisi Pajak itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yakni: “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [6]          Perbedaan signifikan antara Pajak dan Bea Cukai dapat disimpulkan sebagai berikut Pajak adalah pungutan wajib yang bersifat memaksa, tanpa ada balas jasa secara langsung. Sementara itu, bea dan cukai merupakan pungutan resmi yang sifatnya disesuaikan dengan kebijakan. Lembaga pemungut dan pengelola pajak digolongkan menjadi dua, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan untuk pemungutan dan pengelolaan bea dan cukai tidak dibedakan antara pemerintah pusat dan daerah. Ini karena semua kewenangannya tersentralisasi pada pemerintah pusat.[7]          Selain itu Dalam perhitungan pajak, seorang wajib pajak berkewajiban untuk melaporkan penghasilan yang menjadi objek pajak. Sementara untuk perhitungan tarif bea dan cukai dilakukan oleh pemerintah yang memiliki wewenang. Jatuh tempo pembayaran pajak pada tahun fiskal, yaitu jangka waktu selama dua belas bulan berturut-turut. Sementara itu, pada bea, pembayaran dilakukan setiap kali terjadi kegiatan mengimpor atau mengekspor barang. Sementara untuk cukai, jatuh tempo pembayarannya juga didasarkan pada pemakaian atau pada saat mengkonsumsi dan memanfaatkan barang sebagai objek cukai.[8] Meski berbeda dalam pengenaannya, pajak dan bea cukai memiliki hubungan yang saling berkaitan erat. Hal ini bisa dilihat melalui pemahaman istilah kewajiban dan pemahaman ketentuan perundangan yang ada. Dimana pajak juga bisa dikenakan atas kegiatan impor, yang mana juga bisa diikuti dengan bea. Bagi perusahaan yang berkecimpung di bidang perdagangan dan seringkali melakukan kegiatan ekspor dan impor, tentu bisa bersinggungan dengan pajak serta bea cukai.[9]   Pengenaan Bea dapat dikenakan terhadap barang yang diekspor maupun barang yang diimpor melalui Bea masuk dan Bea Keluar, melalui penjelasan telah disebutkan mengenai pemungutan bea terhadap barang tertentu seperti Mobil Listrik asal Amerika yang diimpor ke Indonesia. Terhadap Mobil listrik itu sendiri terdapat pengaturan mengenai pungutan bea yang akan dikenakan. Mobil listrik masuk ke dalam kelompok Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai beroda empat atau lebih dimana pengelompokan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019)[10]   Mobil Listrik pada dasarnya adalah Mobil yang digerakkan dengan motor listrik, menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai atau tempat penyimpan energi lainnya, berbeda dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang secara langsung berdampak pada peningkatan polusi udara, kendaraan listrik memiliki potensi yang besar untuk mengurangi polusi karena sifat dari pengisian daya yang berbentuk listrik bersifat ramah lingkungan.   Pengertian dari Kendaraan Listrik itu sendiri diatur dalam Perpres 55/2019, dimana Pasal 1 Angka 3 Perpres 55/2019 menyatakan sebagai berikut: “Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.[11]            Adapun pengertian Motor listrik sebagai mesin penggerak dari kendaraan listrik, serta Baterai sebagai media penyimpanan daya pada kendaraan listrik, dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 2 Perpres 55/2019, yang berbunyi: “ Pasal 1 Motor Listrik adalah peralatan elektromekanik yang mengonsumsi tenaga listrik untuk menghasilkan energi mekanik sebagai penggerak. Baterai atau Media Penyimpanan Energi Listrik yang selanjutnya disebut Baterai adalah sumber listrik yang digunakan untuk memberi pasokan energi listrik pada Motor Listrik.[12]   Ketentuan mengenai produksi komponen Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai diatur dalam Pasal 10 Perpres 55/2019, dimana produksi komponen tersebut dilakukan oleh Industri Komponen yang didirikan berdasarkan didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memiliki izin usaha industri untuk merakit atau memproduksi komponen utama dan/atau komponen pendukung untuk KBL Berbasis Baterai sesuai ciengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal industri komponen kendaraan bermotor listrik berbasis baterai belom mampu memproduksi komponen utama dan/atau komponen pendukung kendaraan bermotor listrik, maka industri kendaraan bermotor listrik dapat melakukan pengadaan komponen yang berasal dari impor jenis keadaan terurai tidak lengkap (incompletely Knock Down / IDN) dan/atau Keadaan terurai lengkap (Completely Knock Down / CKD), dan impor dalam keadaan utuh (Completely Built Up /CBU) [13]          CKD sendiri berarti mobil yang diimpor dalam keadaan komponen yang lengkap, namun belum dirakit, komponen-komponennya masih dalam kondisi pretelan. Komponen-komponen tersebut akan dirakit di negara pengimpor hingga menjadi kendaraan yang utuh siap pakai.   Dimana dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap (Permenperin 28/2020), Di Indonesia, agar memenuhi syarat CKD, mobil roda empat atau lebih wajib memiliki komponen utama berupa mesin, transmisi, bodi atau sasis, dan gardan. Sementara untuk sepeda motor wajib memiliki empat komponen utama, yaitu mesin, rangka, roda, dan kemudi.[14]            Istilah berikutnya adalah IKD, singkatan dari incompletely knocked down. IKD adalah mobil yang diimpor dalam kondisi tak utuh dan tak lengkap. Mobil IKD dikirim dalam keadaan tak utuh karena komponen-komponen yang tak diimpor bisa diproduksi sendiri di dalam negeri. Harga mobil IKD bisa lebih murah, karena komponennya diproduksi secara lokal.[15]                    Mobil dengan label CBU adalah yang diimpor langsung dari negara asal dalam kondisi utuh, lengkap. Harga mobil CBU relatif lebih mahal di pasar, karena biaya masuk (ekspor-impor) yang tinggi untuk mengimpor kendaraan secara utuh. Umumnya, mobil CBU merupakan kelas atas yang belum ada fasilitas manufakturnya di Indonesia.          Pengaturan Bea Masuk terhadap mobil listrik berbeda dengan mobil berbahan bakar fossil pada umumnya, dimana semakin tinggi emisi yang ditimbulkan oleh suatu kendaraan, maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi. Hal ini dilakukan sebab Pemerintah terus menggalakan energi ramah lingkungan dalam upaya mengurangi emisi karbon.[16]          Mobil Listrik memiliki tingkat emisi yang sangat rendah dibanding dengan Mobil berbahan bakar fosil, oleh sebab itu Pemerintah melalui Menteri Keuangan melakukan Penerapan Tarif Khusus Bea Masuk terhadap mobil listrik yakni sebesar 0% atau Bebas Bea Masuk. [17]          Hal ini dijelaskan melalui bagian menimbang Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor (Permenkeu 13/2022) yang ditetapkan pada tanggal 22 Febuari 2022 , yang berbunyi : “ Menimbang: bahwa ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 /PMK.010/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang lmpor;bahwa untuk mendorong peningkatan nilai tambah perakitan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih dan mempercepat program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan, perlu memberikan insentif bea masuk atas impor barang dan bahan tertentu melalui perubahan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor;[18]   Selain itu, Bea masuk sebesar 0% diatur langsung dalam bagian Lampiran II Permenkeu 13/2022 pada bagian Struktur Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk mengenai penjelasan uraian Kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap; sasis dengan mesin terpasang dalam keadaain terurai tidak lengkap.[19]   Akan tetapi, meskipun terdapat pembebasan terhadap bea masuk mobil listrik dalam kegiatan impor mobil listrik, tidak secara langsung mempercepat berjalannya program kendaraan motor listrik berbasis baterai di Indonesia, hal ini disebabkan oleh harga mobil listrik yang masih tinggi atau mahal bukan karena harga pertambahan pajaknya melainkan harga asal dari pabrik yang memang sudah tinggi.          Apabila melihat pada persaingan usaha antar mobil di Indonesia, mobil listrik jelas masih bersaing dengan mobil berbahan bakar fosil, dimana mobil berbahan bakar fosil impor meski dikenakan bea masuk ke Indonesia, akan tetapi apabila ditotal harga mobil berbahan bakar fosil akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga mobil listrik yang sudah bebas bea masuk di Indonesia.          Hal tersebut juga menjadi penghambat dalam percepatan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai di Indonesia, dan seiring perkembangannya waktu kiranya pabrik-pabrik yang memproduksi mobil listrik dapat mengeluarkan mobil-mobil listrik dengan harga yang lebih terjangkau dan ditambah dengan bebasnya bea masuk, yang akan membuat masyarakat Indonesia lebih memiliki mobil listrik dibandingkan dengan mobil berbahan bakar fosil, dengan hal tersebut maka percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan pengurangan kendaraan berbahan bakar fosil yang menimbulkan emisi karbon yang tinggi dapat dikurangi secara perlahan.  

[1] Bea Cukai, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (https://kbbi.lektur.id/bea-cukai , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)

[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

[3] Pasal 1 Angka 15 dan Angka 15a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

[4] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007

[5] Ike Nofalia, S.Kom, “Bea Cukai – Definisi, Fungsi, dan Contoh” (https://www.finansialku.com/bea-cukai-adalah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2022)

[6] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

[7] Flazz Tax.com , Pelajari dengan Baik Perbedaan Pajak Dengan Pengenaan Bea dan Cukai, (

https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-perbedaan-pajak-dengan-pengenaan-bea-dan-cukai/#:~:text=Dimana%20bea%20akan%20dibebankan%20kepada,barang%2Dbarang%20dengan%20karakteristik%20khusus. , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[11] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[12] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[13] Pasal 11 jo. Pasal 12 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[14] Pasal 5 jo. Pasal 8 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap

[15] Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, https://www.gaikindo.or.id/sekilas-tentang-istilah-cbu-ckd-dan-ikd-dalam-dunia-otomotif/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[16] Rina Anggraeni, “Siap-siap Sri Mulyani bakal naikkan pajak bagi mobil beremisi tinggi”, ( https://ekbis.sindonews.com/read/452634/33/siap-siap-sri-mulyani-bakal-naikkan-pajak-bagi-mobil-beremisi-tinggi-1623395218 , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)

[17] Cantika Adinda Putri (CNBC Indonesia), “Sri Mulyani Bebaskan Bea Masuk Mobil Listrik”, (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301072439-4-319061/sri-mulyani-bebaskan-bea-masuk-mobil-listrik , diakses pada tanggal 3 Maret 2022)

[18] Bagian Menimbang Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

[19] Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

LEGAL BASIS:  
1. Law Number 10 of 1995 concerning Customs as amended by Law Number 17 of 2006
2. Law Number 11 of 1995 concerning Excise as amended by Law Number 39 of 2007
3. Presidential Regulation Number 55 of 2019 concerning the Acceleration of the Battery Electric Vehicle Program for Road Transportation
4. Regulation of the Minister of Industry Number 28 of 2020 concerning Battery-Based Electric Motor Vehicles in Completely Decomposed and Incompletely Decomposed Conditions
5. Regulation of the Minister of Finance Number 13/PMK.010/22 concerning Fourth Amendment to Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods

REFERENCE :  
1. Flazz Tax.com, Learn Well the Differences in Taxes With the Imposition of Customs and Excise, (https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-beda-tajak-dengan-pengenaan-bea-dan -excise/#:~:text=Where%20duty%20will%20be charged%20to,goods%2Dgoods%20with%20characteristics%20special. , accessed on March 2, 2022) 2. Ike Nofalia, S.Kom, “Customs – Definition, Functions, and Examples” (https://www.finansialku.com/bea-cukai-dalam/, accessed on March 3, 2022)
3. Association of Indonesian Automotive Industries, https://www.gaikindo.or.id/sekilas-about-term-cbu-ckd-dan-ikd-dalam-dunia-otomotif/, accessed on 18 February 2022)
4. Rina Anggraeni, “Sri Mulyani is getting ready to raise taxes for high-emission cars”, (https://ekbis.sindonews.com/read/452634/33/siap-cepat-sri-mulyani-bakal-naikkan-pajak -for-high-emissions-cars-1623395218 , accessed March 2, 2022)
5. Cantika Adinda Putri (CNBC Indonesia), “Sri Mulyani Exempts Import Duty for Electric Cars”, (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301072439-4-319061/sri-mulyani-bebaskan-bea-enter-mobil -electricity, accessed on March 3, 2022)
Based on the Great Dictionary of the Indonesian language, Customs is defined as Matters (affairs) related to taxes. Literally, Customs is defined separately, consisting of 2 words namely Customs and Excise. Customs Duties are taxes, fees, charges. While excise means matters relating to taxes.   Matters regarding Customs and Excise are regulated in Law Number 10 of 1995 concerning Customs as amended by Law Number 17 of 2006 (Customs Law), and Law Number 11 of 1995 concerning Excise as amended by Law Number 39 of 2007 (Excise Law). Customs duties are sourced from the Customs Law, where the definition of Customs itself is regulated in Article 1 Number 1 of the Customs Law, which reads: “Customs is everything related to the supervision of the traffic of goods entering or leaving the customs area as well as the collection of import and export duties.”   Duties are divided into 2, namely Import Duties and Export Duties, this is explained in Article 1 Numbers 15 and 15a of the Customs Law, which reads:   ” Article 1 15. Import duty is a state levy based on this Law which is imposed on imported goods.     15a. Export duty is a state levy based on this law which is imposed on exported goods.”   Meanwhile, Excise is regulated in the Excise Law, where the meaning of Excise itself is explained in Article 1 Number 1 of the Excise Law, which reads:   “Excise is a state levy imposed on certain goods having the nature or characteristics stipulated in this law. ”   Thus, it can be understood that duties are imposed in the event of Export and Import activities, this is explained through the existence of import duties and export duties, the collection of these duties is imposed on certain goods, such as an example of an American electric car imported into Indonesia. And Excise, is a levy on certain goods that have the characteristics and characteristics as described in the Excise Law, the nature of which is meant is consumption that needs to be controlled, the circulation of which is monitored, the negative effects of the use of goods on the surrounding community, such as cigarettes and alcohol.   Customs, which is a mandatory state levy, is often identified as a tax, but there is a significant difference between Customs and Tax. The definition of tax itself is explained in Article 1 Number 1 of Law Number 28 of 2007 concerning the Third Amendment to Law Number 6 of 1983 concerning General Provisions and Tax Procedures, namely:   “Taxes are mandatory contributions to the state that are owed by individuals or entities that are coercive in nature based on the law, without receiving direct compensation and are used for the needs of the state for the greatest prosperity of the people. ”   The significant difference between Taxes and Customs and Excise can be concluded as follows. Tax is a mandatory levy that is coercive, without any direct remuneration. Meanwhile, customs and excise are official fees that are adjusted to policy. Tax collection and management institutions are classified into two, namely the central government and local governments. As for the collection and management of customs and excise, there is no distinction between the central and regional governments. This is because all of its authority is centralized in the central government.   In addition, in calculating taxes, a taxpayer is obliged to report income that is the object of tax. Meanwhile, the calculation of customs and excise rates is carried out by the government which has the authority. Tax payments are due in the fiscal year, which is a period of twelve consecutive months. Meanwhile, in the case of duties, payments are made every time there is an activity of importing or exporting goods. Meanwhile, for excise duty, the due date of payment is also based on usage or when consuming and utilizing goods as objects of excise.   Although different in their imposition, taxes and customs are closely related. This can be seen through understanding the term obligation and understanding the existing statutory provisions. Where taxes can also be imposed on import activities, which can also be followed by duties. For companies that are engaged in trade and often carry out export and import activities, of course they can be in contact with taxes and customs.   The imposition of duties can be imposed on goods that are exported or goods that are imported through import duties and export duties, through the explanation that has been mentioned regarding the collection of duties on certain goods such as electric cars from America imported into Indonesia. On the electric car itself, there are arrangements regarding the levy of duties that will be imposed. Electric cars are included in the group of four-wheeled or more battery-based electric motorized vehicles where the grouping is regulated in Article 2 paragraph (1) letter b of Presidential Regulation Number 55 of 2019 concerning the Acceleration of the Battery Electric Vehicle Program for Road Transportation (Presidential Decree 55/2019).   Electric cars are basically cars that are driven by electric motors, using electrical energy stored in batteries or other energy storage places, in contrast to gasoline-fueled vehicles which directly have an impact on increasing air pollution, electric vehicles have great potential to reduce pollution. because the nature of charging in the form of electricity is environmentally friendly.   The definition of an electric vehicle itself is regulated in Presidential Regulation 55/2019, where Article 1 Number 3 of Presidential Regulation 55/2019 states as follows: “Battery Electric Motorized Vehicles (Battery Electric Vehicles), hereinafter referred to as Battery-Based KBLs, are vehicles that are driven by an electric motor and obtain a supply of electric power from the battery directly in the vehicle or from outside.”   The definition of an electric motor as a propulsion engine for electric vehicles, as well as a battery as a medium for storing power in electric vehicles, is explained in Article 1 Number 1 and Article 1 Number 2 of Presidential Regulation 55/2019, which reads: ” Article 1 1. Electric Motor is an electromechanical equipment that consumes electric power to produce mechanical energy as a propulsion. 2. Battery or Electrical Energy Storage Media, hereinafter referred to as Batteries, are sources of electricity used to supply electrical energy to Electric Motors. ”   Provisions regarding the production of battery-based Electric Motor Vehicle components are regulated in Article 10 of Presidential Regulation 55/2019, where the production of these components is carried out by the Component Industry which is established based on Indonesian law and operates in the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia and has an industrial business license to assemble or produce main components and/or supporting components for Battery-Based KBL in accordance with the provisions of the laws and regulations.   In the event that the battery-based electric motor vehicle component industry is not yet capable of producing the main components and/or supporting components of electric motorized vehicles, the electric motor vehicle industry can procure components originating from imports of incompletely Knock Down (IDN) and/or incompletely decomposed state types. or Completely Knock Down (CKD) state, and import intact (Completely Built Up/CBU).   CKD itself means a car that is imported in a state of complete components, but has not been assembled, the components are still in prepackaged condition. These components will be assembled in the importing country to become a complete vehicle ready for use.   Where in Article 5 of the Regulation of the Minister of Industry Number 28 of 2020 concerning Battery-Based Electric Motor Vehicles in Completely Decomposed and Incomplete Decomposition Conditions (Permenperin 28/2020), in Indonesia, in order to meet the CKD requirements, four-wheeled cars or more are required to have main components in the form of an engine, transmission, body or chassis, and axle. Meanwhile, motorcycles are required to have four main components, namely the engine, frame, wheels and steering.   The next term is IKD, which stands for incompletely knocked down. IKD are imported cars in incomplete and incomplete conditions. IKD cars were sent in incomplete condition because components that were not imported could be produced domestically. IKD car prices can be cheaper, because the components are produced locally.   Cars with the CBU label are those imported directly from the country of origin in intact, complete condition. The price of CBU cars is relatively more expensive in the market, due to the high entry (export-import) costs to import the whole vehicle. Generally, CBU cars are high-end cars that do not yet have manufacturing facilities in Indonesia.   The regulation of import duties on electric cars is different from fossil fuel cars in general, where the higher the emissions caused by a vehicle, the higher the tax that will be imposed. This is done because the Government continues to promote environmentally friendly energy in an effort to reduce carbon emissions.   Electric cars have very low emission levels compared to fossil fuel cars, therefore the Government through the Minister of Finance applies a special import duty tariff on electric cars, which is 0% or free of import duty.   This is explained through the section considering the Regulation of the Minister of Finance Number 13/PMK.010/22 concerning the Fourth Amendment to the Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods (Permenkeu 13/2022 ) which was stipulated on February 22, 2022, which reads: “ Considering: a. that the provisions concerning the goods classification system and the imposition of import duty tariffs on imported goods have been regulated in Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and the Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods as has been amended several times, most recently with the Regulation of the Minister of Finance Number 17/PMK.010/2020 concerning the Third Amendment to the Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods; b. that in order to encourage the increase in added value of the assembly of the four-wheeled or more motorized vehicle industry in accordance with the development needs of the four-wheeled or more motorized vehicle industry and to accelerate the battery-based electric motor vehicle program for road transportation, it is necessary to provide incentives for import duties on the import of certain goods and materials through changes to the provisions as referred to in letter a; c. that based on the considerations as referred to in letters a and b, it is necessary to stipulate a Regulation of the Minister of Finance regarding the Fourth Amendment to the Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods;”   In addition, the import duty of 0% is regulated directly in Attachment II to the Minister of Finance Regulation 13/2022 in the section on the Classification Structure of Goods and the Imposition of Import Duty Tariffs regarding the explanation of the description of motorized vehicles in incomplete decomposed state; chassis with engine mounted in an incompletely disassembled state.   However, although there is an exemption from the import duty of electric cars in the import of electric cars, it does not directly accelerate the implementation of the battery-based electric motor vehicle program in Indonesia, this is due to the price of electric cars which are still high or expensive, not because of the price added tax, but because of the price. origin from a factory that is already high.   If you look at the business competition between cars in Indonesia, electric cars clearly still compete with fossil fuel cars, where imported fossil fuel cars are subject to import duties to Indonesia, but if the total price of fossil fuel cars will be much lower than the price. electric cars that are already duty-free in Indonesia.   This is also an obstacle in accelerating the Battery-Based Electric Motorized Vehicle program in Indonesia, and over time it is hoped that factories that produce electric cars can issue electric cars at more affordable prices and coupled with free import duties, which will make people Indonesia has more electric cars compared to fossil fuel cars, with this, the acceleration of the battery-based electric motor vehicle program in Indonesia can run smoothly and the reduction of fossil fuel vehicles that cause high carbon emissions can be reduced slowly.    
0

ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY IN INFORMATION TECHNOLOGY INFRASTRUCTURE

Author: Ananta Mahatyanto

Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak CiptaUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten   REFERENSI : Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id/ )Fitriawati, Mia. “Perkembangan Infrastruktur Teknologi Informasi dari Evolusi Infrastruktur.” Jurnal Teknologi dan Informasi 7.1 (2017): 79-87.Khulafa Pinta Winastya, Teknologi Adalah Ilmu Pengetahuan Untuk Mencapai Tujuan Praktis, Simak Jenisnya, ( https://www.merdeka.com/trending/teknologi-adalah-ilmu-pengetahuan-untuk-mencapai-tujuan-praktis-simak-jenisnya-kln.html )ZathCo, IT Infrastruktur, (https://zathco.com/it-infrastruktur/ )Izin.co.id, Definisi dan Panduan Lengkap tentang HAKI, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/ )Nafebra, Andika Carsya. “HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Osf. Io (2018).Novita Ayuningtias, Fungsi Motherboard dan Bagian-Bagiannya, Anak IT Wajib Tahu, ( https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/fungsi-motherboard-dan-bagian-bagiannya-anak-it-wajib-tahu#:~:text=Fungsi%20utama%20dari%20motherboard%20sendiri,sistem%20perangkat%20keras%20yang%20tersedia. )  
Pada era perkembangan teknologi masa kini, memerlukan suatu sistem untuk menjalankan suatu pekerjaan dengan cepat, efektif , efisien dan akurat, hal ini diperlukan karena berimplikasi langsung pada produktivitas pekerjaan yang dilakukan. [1] Teknologi berkembang dengan pesat, melalui ciptaan-ciptaan, inovasi, invensi terhadap teknologi itu sendiri, Perkembangan yang terjadi pada teknologi informasi dibangun melalui suatu “fondasi” dalam bentuk infrastruktur.             Teknologi Informasi memiliki unsur dasar pada kata “teknologi”, dimana berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Teknologi merupakan suatu metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis atau keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.[2]             Selain itu, Informasi dalam konteks teknologi berkaitan dengan Informasi yang berbentuk elektronik, dimana hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi: “Pasal 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[3]   Sehingga pada kesimpulan definisi mengenai Teknologi Informasi adalah Penggunaan teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, untuk mengolah dan mendistribusikan informasi dalam bentuk digital,[4] serta apabila mengacu pada Pasal 1 Angka 3 UU ITE, Teknologi Informasi didefinisikan sebagai:
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. [5]   Selain membahas tentang Teknologi Informasi, Infrastruktur juga merupakan hal yang penting, karena semua hal dapat terjadi apabila hal tersebut melalui pembangunan. Infrastruktur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai Prasarana,[6] dimana pengertian prasarana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya).[7]             Sehingga, Infrastruktur Teknologi Informasi merupakan suatu prasarana atau hal pendukung sekaligus menunjang terselenggaranya suatu proses pembangunan teknologi informasi itu sendiri. Infrastruktur teknologi informasi didefinisikan secara luas sebagai seperangkat komponen teknologi informasi (IT) yang merupakan dasar dari layanan IT, biasanya komponen fisik (komputer dan perangkat keras serta fasilitas jaringan), tetapi juga berbagai komponen perangkat lunak dan jaringan.[8]   Dalam komputasi, infrastruktur teknologi informasi terdiri dari sumber daya fisik dan virtual yang mendukung arus, penyimpanan, pengolahan dan analisis data. Infrastruktur teknologi informasi dapat dipusatkan di dalam pusat data (data center). Infrastruktur teknologi informasi perusahaan biasanya mengacu pada komponen yang diperlukan untuk keberadaan, pengoperasian, dan pengelolaan lingkungan teknologi informasi perusahaan. Infrastruktur teknologi informasi terdiri dari satu set perangkat fisik dan aplikasi perangkat lunak yang diperlukan untuk mengoperasikan seluruh perusahaan. Semua perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan, menguji, mengirim, memantau, mengontrol atau mendukung layanan teknologi informasi.[9]   Tujuan dari manajemen Infrastruktur Teknologi Informasi adalah untuk mencapai efektivitas dari keseluruhan proses teknologi informasi, kebijakan, data, sumber daya manusia, peralatan dan lainnya. Dan tujuan lainnya adalah untuk mengoperasikan Teknologi Informasi agar bias diakses ke semua orang. [10] Dalam Infrastruktur Teknologi Informasi tidak lepas dari suatu ciptaan-ciptaan, inovasi serta invensi dari teknologi yang baru, dimana hal-hal tersebut berkaitan erat dengan Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh pencipta teknologi tersebut.             Berbicara tentang Kekayaan Intelektual (KI) perlu kita pahami terlebih dahulu tentang KI itu sendiri. Kekayaan Intelektual atau bisa kita singkat dengan KI adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia. Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain : Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia.[11]   Berikut Hak-Hak Kekayaan Intelektual yang terkandung dalam suatu Infrastruktur Teknologi Informasi , yakni: Hak Cipta Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjelaskan tentang definisi Hak Cipta dan Ciptaan yang merupakan objek yang dilindungi oleh Hak Cipta, yang merupakan: “ Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.   Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[12]

Sehingga, Hak cipta diberikan kepada sebuah ciptaan yang dihasilkan dan diekspresikan dalam bentuk nyata atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian.   Sebagai contoh, infrastruktur teknologi informasi dapat bekerja apabila menggunakan komputer, dimana komputer tidak dapat dipisahkan dengan perangkat lunak (software) untuk mengaplikasikan maksud dan tujuan dari penggunaan komputer tersebut, perangkat lunak (software) itu sendiri merupakan sekumpulan perintah yang ditulis oleh bahasa pemograman yang dimengerti oleh komputer sehingga perangkat lunak tersebut mampu menginstruksikan perintah tertentu yang akan dikerjakan oleh komputer. Contoh dari software itu sendiri seperti Windows, Microsoft, Antivirus, Internet Explorer. [13]   Menciptakan perangkat lunak bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena banyak sekali aturan-aturan dan kemampuan intelektual yang dibutuhkan dari seorang analis sistem (system analyst) dan pemrograman. Oleh karena itulah, dengan berlakunya Undang-Undang Hak Cipta, hasil kerja seorang analis sistem dan pemrograman dapat dilindungi. [14]   Salah satu pelanggaran Hak Cipta terhadap infrastruktur teknologi informasi dapat berupa pemakaian teknologi tersebut tanpa seizin pencipta , pembajakan, pengadaan, atau hacking yang kerap terjadi dalam penerapan teknologi informasi sehari-hari.   Pasal 8 jo. Pasal 9 jo. Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak ekonomi milik pencipta berkaitan dengan hak cipta yang dilanggar , yang berbunyi: “ Pasal 8   Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.   Pasal 9   Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan Ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; pendistribusian Ciptaan atau salinannya; pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan penyewaan Ciptaan.   Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[15] Selain pelanggaran hak cipta terkait dengan hak ekonomi, hacking juga merupakan salah satu pelanggaran terkait dengan pengaksesan teknologi informasi tanpa seizin pencipta atau pemilik, yang diatur dalam Pasal 30 jo. Pasal 46 UU ITE, yang berbunyi:   “ Pasal 30 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun melanggar, menerobos, melampaui  atau menjebol sistem pengamanan.   Pasal 46 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).[16]           Hak Paten Selain Hak Cipta, Hak atas Paten juga merupakan salah satu Hak Kekayaan Intelektual yang harus dilindungi dalam Infrastruktur Teknologi Informasi, terlebih Paten berkaitan erat dengan suatu invensi suatu teknologi, dimana pengertian Paten menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten), yang berbunyi: “ Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.[17]   Seperti Hak Cipta, terdapat manfaat ekonomi yang diberikan kepada pemegang paten, dan terdapat perbuatan yang dilarang terhadap selain pemegang paten seperti membuat keuntungan kepada diri sendiri tanpa seizin pemegang paten, yang secara lengkap perbuatan yang dilarang tersebut dijelaskan dalam Pasal 160  UU Paten beserta dengan sanksi yang diatur dalam Pasal 161 dan Pasal 162 UU Paten, yang berbunyi sebagai berikut: “ Pasal 160   Setiap Orang tanpa persetujuan pemegang paten dilarang: dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten; dan/ataudalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.   Pasal 161   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).   Pasal 162   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[18]             Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) Terdapat 2 hal yang tergabung dalam DTLST, yakni Desain Tata Letak dan Sirkuit Terpadu, hal tersebut dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu (UU DTLST), yang berbunyi: “ Pasal 1 Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.[19]   Sehingga dapat disimpulkan bahwa Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu merupakan kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.   Selanjutnya mengenai Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang definisinya dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 UU DTLST, yang berbunyi: “ Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.[20]   Berbeda dengan pembahasan pada Hak Cipta yang berkaitan dengan Perangkat Lunak (software), DTLST berkaitan erat dengan komponen perangkat keras yang diperlukan dalam infrastruktur teknologi informasi, seperti papan utama atau motherboard yang berfungsi sebagai pusat penghubung perangkat dengan perangkat lainnya, atau sebagai penyatu dari sistem perangkat keras yang tersedia, [21] dimana apabila pendesain motherboard tersebut ingin mengajukan permohonan atas perlindungan karya ciptaannya dapat diajukan permohonan hak DTLST.   Ada dua hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang hak desain tata letak dan sirkuit terpadu, yakni: Hak melaksanakan desain yang dimiliki;Hak untuk melarang pihak lain tanpa persetujuannya membuat, memakai, mengimpor, ekspor, dan mengedarkan barang yang berhubungan dengan hal ini.   Pelanggaran Hak DTLST pada dasarnya memiliki kriteria yang sama seperti Hak Kekayaan Intelektual lainnya , yakni terkait dengan perizinan kepada pendesain DTLST tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 42 ayat (1) UU DTLST , yang berbunyi: “ Pasal 8 Pemegang Hak memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian Desain yang telah diberi Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Pasal 42 Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[22] Sehingga, dapat dilihat bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Infrastruktur Teknologi Informasi dijamin keberadaanya baik melalui Undang-Undang ITE maupun Undang-Undang yang mengatur tentang masing-masing Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini diberlakukan karena Pemerintah mengetahui pentingnya Hak Kekayaan Intelektual khususnya dalam bidang Infrastruktur Teknologi Informasi dan Teknologi Informasi itu sendiri.   Pentingnya menghargai kreativitas milik orang lain dalam hal ini menghargai kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seseorang terhadap infrastruktur teknologi informasi, dapat diwujudkan dengan : Menggunakan software yang asli atau dengan membeli nomor lisensi. Tidak melakukan duplikasi, membajak ataupun menyalin tanpa seizin perusahaan atau pemilik Tidak menggunakan untuk tindakan kriminal atau kejahatan Tidak memodifikasi (mengubah), mengurangi atau menambah hasil karya tanpa seizin perusahaan atau pemilik. Terlebih hadirnya teknologi informasi yang terus berkembang dengan pesat melalui pembangunan infrastruktur dari teknologi informasi itu sendiri memiliki tujuan untuk memecahkan masalah, membuka kreativitas, meningkatkan efektivitas dan      efisiensi dalam melakukan pekerjaan. Sehingga, Aspek-aspek Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan Infrastruktur Teknologi Informasi harus dilindungi melalui perlindungan hukum, dan terdapat penerapan pemberian sanksi baik pidana penjara, denda pidana karena pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual merupakan salah satu perbuatan yang masuk kedalam kategori kejahatan.  

[1] Fitriawati, Mia. “Perkembangan Infrastruktur Teknologi Informasi dari Evolusi Infrastruktur.” Jurnal Teknologi dan Informasi 7.1 (2017): 79-87.

[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Khulafa Pinta Winastya, Teknologi Adalah Ilmu Pengetahuan Untuk Mencapai Tujuan Praktis, Simak Jenisnya, ( https://www.merdeka.com/trending/teknologi-adalah-ilmu-pengetahuan-untuk-mencapai-tujuan-praktis-simak-jenisnya-kln.html )

[4] https://kbbi.lektur.id/teknologi-informasi

[5] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[6] https://kbbi.web.id/infrastruktur

[7] https://kbbi.web.id/prasarana

[8] ZathCo, IT Infrastruktur, (https://zathco.com/it-infrastruktur/ )

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Izin.co.id, Definisi dan Panduan Lengkap tentang HAKI, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/ )

[12] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[13] Nafebra, Andika Carsya. “HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Osf. Io (2018).

[14] Ibid.

[15] Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[16] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[17] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[18] Pasal 160 sampai Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[19] Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu

[20] Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

[21] Novita Ayuningtias, Fungsi Motherboard dan Bagian-Bagiannya, Anak IT Wajib Tahu, ( https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/fungsi-motherboard-dan-bagian-bagiannya-anak-it-wajib-tahu#:~:text=Fungsi%20utama%20dari%20motherboard%20sendiri,sistem%20perangkat%20keras%20yang%20tersedia. )

[22] Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Legal basis :  1. Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits  2. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016  3. Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights  4. Law Number 13 of 2016 concerning Patents    REFERENCE :  1. Big Indonesian Dictionary (https://kbbi.web.id/ )  2. Fitriawati, Mia.  “Information Technology Infrastructure Development of Infrastructure Evolution.”  Journal of Technology and Information 7.1 (2017): 79-87.  3. Khulafa Pinta Winastya, Technology Is Science To Achieving Practical Goals, Check Out Its Kinds, (https://www.merdeka.com/trending/technology-is-ilmu-knowledge-to-menreach-aim-praktis-simak-types  -kln.html )  4. ZathCo, IT Infrastructure, (https://zathco.com/it-infraktur/ )  5. Permission.co.id, Definition and Complete Guide to Intellectual Property Rights, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-dalam/ )  6. Nafebra, Andika Carsya.  “IPR (Intellectual Property Rights) in Information and Communication Technology.”  osf.  Io (2018).  7. Novita Ayuningtias, Motherboard Functions and Its Parts, IT Children Must Know, (https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/function-motherboard-dan-parts-anak-it-dunia-  know#:~:text=Function%20main%20of%20motherboard%20own,system%20device%20hard%20which%20 is available.)
In today’s era of technological development, it requires a system to run a job quickly, effectively, efficiently and accurately, this is necessary because it has direct implications for the productivity of the work done.  Technology is developing rapidly, through creations, innovations, inventions of the technology itself. Developments that occur in information technology are built through a “foundation” in the form of infrastructure.    Information Technology has a basic element in the word “technology”, which according to the Big Indonesian Dictionary, Technology is a scientific method to achieve practical goals or the overall means to provide goods needed for the survival and comfort of human life.   In addition, information in the context of technology is related to information in electronic form, which is explained in Article 1 Number 1 of Law 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended in Law Number 19 of 2016 (UU ITE),  which reads:  “Article 1  1. Electronic Information is one or a set of electronic data, including but not limited to writing, sound, pictures, maps, designs, photographs, electronic data interchange (EDI), electronic mail (electronic mail), telegram, telex, telecopy or the like,  processed letters, signs, numbers, Access Codes, symbols, or perforations that have meaning or can be understood by people who are able to understand them.”   So that in conclusion the definition of Information Technology is the use of technology such as computers, electronics, and telecommunications, to process and distribute information in digital form, and when referring to Article 1 Number 3 of the ITE Law, Information Technology is defined as:    “Information Technology is a technique for collecting, preparing, storing, processing, publishing, analyzing, and/or disseminating information.  “    Apart from discussing Information Technology, Infrastructure is also important, because anything can happen if it is through development.  Infrastructure based on the Big Indonesian Dictionary is defined as infrastructure, where the definition of infrastructure in the Big Indonesian Dictionary is everything that is the main support for the implementation of a process (business, development, project, and so on).   Thus, Information Technology Infrastructure is an infrastructure or supporting thing as well as supporting the implementation of an information technology development process itself.  Information technology infrastructure is defined broadly as a set of information technology (IT) components that form the basis of IT services, usually physical components (computers and hardware and network facilities), but also various software and network components.    In computing, the information technology infrastructure consists of physical and virtual resources that support the flow, storage, processing and analysis of data.  Information technology infrastructure can be centralized in a data center (data center).  An enterprise information technology infrastructure typically refers to the components required for the existence, operation, and management of the enterprise information technology environment.  The information technology infrastructure consists of a set of physical devices and software applications required to operate the entire enterprise.  All hardware, software, networks, facilities necessary to develop, test, deliver, monitor, control or support information technology services.   The purpose of Information Technology Infrastructure management is to achieve the effectiveness of the entire information technology process, policies, data, human resources, equipment and others.  And another goal is to operate Information Technology so that it can be accessed by everyone.  Information Technology Infrastructure cannot be separated from creations, innovations and inventions from new technologies, where these things are closely related to the Intellectual Property Rights owned by the creator of the technology.   Talking about Intellectual Property (IP) we need to understand first about IP itself.  Intellectual Property or we can shorten it with IP is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.  The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:  As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with the economic value contained therein.  Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.  Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because with the recognition of Intellectual Property, it will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.  It can be used as a material for consideration in determining research and industry strategies in Indonesia.   The following are the Intellectual Property Rights contained in an Information Technology Infrastructure, namely:  1. Copyright  Article 1 Number 1 and Number 3 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, explains the definition of Copyright and Works which are objects protected by Copyright, which are:  ” Article 1  (1) Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is manifested in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.    (3) Creation is any copyrighted work in the fields of science, art, and literature which is produced on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill, or expertise which is expressed in a tangible form.”  Thus, Copyright is granted to a work that is produced and expressed in a tangible form based on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill or expertise.   For example, information technology infrastructure can work when using a computer, where a computer cannot be separated from software (software) to apply the intent and purpose of using the computer, the software itself is a set of commands written by a programming language that is understood.  by the computer so that the software is able to instruct certain commands to be carried out by the computer.  Examples of the software itself such as Windows, Microsoft, Antivirus, Internet Explorer.   Creating software is not an easy job because a lot of rules and intellectual abilities are required from a systems analyst (system analyst) and programming.  Therefore, with the enactment of the Copyright Act, the work of a systems analyst and programming can be protected.   One of the copyright violations against information technology infrastructure can be in the form of using the technology without the permission of the creator, piracy, procurement, or hacking that often occurs in the daily application of information technology.    Article 8 jo.  Article 9 jo.  Article 113 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights regulates the violation of the author’s economic rights in relation to the infringed copyright, which reads:  “Article 8”    Economic rights are the exclusive rights of the Author or Copyright Holder to obtain economic benefits from the Works.    Article 9    (1) The Creator or Copyright Holder as referred to in Article 8 has economic rights to:  a.  publication of Works;  b.  Reproduction of Works in all its forms;  c.  translation of Works;  d.  adapting, arranging, or transforming the Works;  e.  distribution of Works or copies thereof;  f.  performances of Creation;  g.  Announcement of Works;  h.  Creative Communications;  and  i.  rental of Works.    (2) Everyone exercising economic rights as referred to in paragraph (1) is required to obtain permission from the Author or Copyright Holder.  (3)  (3) Any person without permission from the Author or Copyright Holder is prohibited from Reproduction and/or Commercial Use of Works.  Article 113  1. Any person who unlawfully violates the economic rights as referred to in Article 9 paragraph (1) letter i for Commercial Use shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year and/or a maximum fine of Rp. 100,000,000 (one hundred  million rupiah).  2. Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter c, letter d, letter f, and/or letter h for Commercial Use  shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).  3. Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use  shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).  4. Any person who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) committed in the form of piracy, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and/or a maximum fine of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah).”   In addition to copyright infringement related to economic rights, hacking is also one of the violations related to accessing information technology without the permission of the creator or owner, which is regulated in Article 30 jo.  Article 46 of the ITE Law, which reads:    “Article 30”  (1) Any person intentionally and without rights or against the law Accessing Computers and/or Electronic Systems belonging to other Persons in any way.  (2) Any person intentionally and without rights or against the law accesses a Computer and/or Electronic System with the aim of obtaining Electronic Information and/or Electronic Documents.  (3) Any person intentionally and without rights or against the law accessing a Computer and/or Electronic System in any way violates, breaks through, exceeds or breaks the security system.    Article 46  (1) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 6 (six) years and/or a maximum fine of Rp. 600,000,000.00 (six hundred million rupiah).  (2) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (2) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 7 (seven) years and/or a maximum fine of Rp. 700,000,000.00 (seven hundred million rupiah). (3) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (3) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 8 (eight) years and/or a maximum fine of Rp. 800,000,000.00 (eight hundred million rupiahs).”   2. Patents  In addition to Copyright, Patent Rights are also one of the Intellectual Property Rights that must be protected in Information Technology Infrastructure, especially Patents are closely related to an invention of a technology, where the definition of Patent according to Article 1 Number 1 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents (  Patent Law), which reads: “Patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.”   Like Copyright, there are economic benefits granted to the patent holder, and there are actions that are prohibited against other than the patent holder such as making profits for themselves without the permission of the patent holder, which in full is explained in Article 160 of the Patent Law along with the sanctions imposed.  regulated in Article 161 and Article 162 of the Patent Law, which reads as follows:  “Article 160”    Any person without the approval of the patent holder is prohibited:  a.  in the case of a product-Patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the patented product;  and/or  b.  in the case of Process-Patent: using a production process that is granted a Patent to manufacture goods or other actions as referred to in letter a.    Article 161    Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).    Article 162    Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”   3. Integrated Circuit Layout Design (DTLST)  There are 2 things that are incorporated in DTLST, namely Layout Design and Integrated Circuit, this is explained through Article 1 Number 1 and Article 1 Number 3 of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits (UU DTLST), which reads:  ” Article 1  1. Integrated Circuit is a product in finished or semi-finished form, in which there are various elements and at least one of these elements is an active element, which are partially or wholly interconnected and formed in an integrated manner in a semiconductor material intended to  generate electronic functions.  2. Layout Design is a creation in the form of a three-dimensional laying design of various elements, at least one of these elements is an active element, as well as part or all of the interconnections in an Integrated Circuit and the three-dimensional placement is intended to prepare for the manufacture of an Integrated Circuit.”   So it can be concluded that the Integrated Circuit Layout Design is a creation in the form of a three-dimensional laying design of various elements, at least one of these elements is an active element, as well as some or all of the interconnections in an integrated circuit and the three-dimensional placement is intended to prepare the circuit.  integrated.    Furthermore, regarding the Right to Layout Design for Integrated Circuits, the definition of which is explained in Article 1 Point 6 of the DTLST Law, which reads:  “The Right to Layout Design of an Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer of his creation, to carry out his own creation for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise that right.”   In contrast to the discussion on Copyright which relates to Software, DTLST is closely related to the hardware components needed in information technology infrastructure, such as the main board or motherboard that functions as a center for connecting devices to other devices, or as an integral part of the device system.  available hardware, where if the motherboard designer wants to apply for the protection of his work, a DTLST rights application can be submitted.   There are two exclusive rights owned by the holder of layout design rights and integrated circuits, namely:  • The right to implement the own design;  • The right to prohibit other parties without their consent from making, using, importing, exporting, and distributing goods related to this matter.    Infringement of DTLST Rights basically has the same criteria as other Intellectual Property Rights, namely related to licensing to the DTLST designer, this is regulated in Article 8 paragraph (1) jo.  Article 42 paragraph (1) of the DTLST Law, which reads:  “Article 8”  (1) The right holder has the exclusive right to exercise his Right to Layout Design of an Integrated Circuit and to prohibit other people without his consent from making, using, selling, importing, exporting and/or distributing goods in which all or part of the Design has been  granted the Right to Layout Design of Integrated Circuit.  Article 42  (1) Anyone who intentionally and without rights commits any of the acts as referred to in Article 8 shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 300,000,000.00 (three hundred million rupiahs).”   Thus, it can be seen that the protection of Intellectual Property Rights in Information Technology Infrastructure is guaranteed both through the ITE Law and the Law governing each Intellectual Property Rights.  This is enforced because the Government knows the importance of Intellectual Property Rights, especially in the field of Information Technology Infrastructure and Information Technology itself.    The importance of respecting the creativity of others, in this case respecting the intellectual property owned by someone on the information technology infrastructure, can be realized by:  • Using the original software or by purchasing a license number.  • Do not duplicate, hijack or copy without the permission of the company or owner  • Do not use for criminal acts or crimes  • Do not modify (change), reduce or add to the work without the permission of the company or owner.  Moreover, the presence of information technology which continues to grow rapidly through infrastructure development from information technology itself has the aim of solving problems, opening up creativity, increasing effectiveness and efficiency in doing work.  Thus, Intellectual Property Aspects related to Information Technology Infrastructure must be protected through legal protection, and there is the application of sanctions, both imprisonment, criminal fines for violating Intellectual Property Rights is one of the acts that fall into the category of crime.
1 6 7 8 9 10 12
Translate