0

UTILIZATION AND APPLICATION OF TELECOMMUNICATION FROM LEGAL PERSPECTIVE

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  2. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

REFERENSI:

  1. Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010;
  2. Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017;
  3. https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022;

Telekomunikasi adalah salah satu kunci infrastuktur terpenting untuk memperluas tantangan nasional, dengan telekomunikasi kita memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi pada waktu dan tempat yang tepat serta isi yang tepat pula sehingga bisa memenangkan strategi dalam bisnis.[1] Telekomunikasi sebagai jenis industri juga merupakan obyek dari globalisasi.[2]

Pengertian Telekomunikasi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan: 

“Pasal 1

  1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari hasil informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Dari penjelesan yang ada, dapat dipahami bahwa telekomunikasi merupakan bagian yang tidak terpisah dari Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terdapat beberapa fungsi yang bisa didapatkan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini untuk memecahkan masalah, membuka kreativitas, dan meningkatkan efektivitas dan efesiensi dalam melakukan pekerjaan, diantaranya sebagaimana berikut ini:[3]

1.Menangkap (Capture)

Yaitu merupakan suatu proses pengakapan data yang akan menjadi data masukan;

2. Mengolah (Processing)

Mengkompilasikan catatan rinci dari aktivitas, misalnya menerima input dari keyboard, scanner, mic dan sebagainya. Mengolah/memproses data masukan yang diterima untuk menjadi informasi. Pengolahan/pemrosesan data dapat berupa konversi (pengubahan data kebentuk lain), analisis (analisis kondisi), perhitungan (kalkulasi), sintesis (penggabungan) segala bentuk data dan informasi:

  • Data processing, memproses dan mengolah data menjadi suatu informasi;
  • Information processing, suatu aktivitas computer yang memproses dan mengolah suatu tipe/bentuk dari informasi dan mengubahnya menjadi tipe/bentuk yang lain dari informasi;
  • Multimedia system, suatu sistem komputer yang dapat memproses berbagai tipe/bentuk dari informasi secara bersamaan (simultan).

3.Menghasilkan (Generating)

Menghasilkan atau mengorganisasikan informasi ke dalam bentuk yang berguna. Misalnya: laporan, tabel, grafik dan sebagainya;

4. Menyimpan (Storage)

Merekam atau menyimpan dan informasi dalam suatu media yang dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Misalnya disimpan ke harddisk, tape, disket, Compact Disc (CD) dan sebagainya;

5. Mencari kembali (Retrieval)

Menelusuri, mendapatkan kembali informasi atau menyalin (copy) data dan informasi yang sudah tersimpan, misalnya mencari supplier yang sudah lunas dan sebagainya;

6. Transmisi (Transmission)

Mengirimkan data dan informasi dari suatu lokasi ke lokasi lain melalui jaringan computer. Misalnya mengirimkan data penjualan dari user A ke user lainnya dan sebagainya.

Sementara itu terdapat tujuan dari Telekomunikasi, hal tersebut sebagaimana Pasal 3  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan:

“Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.”

Dalam rangka untuk mempermudah tujuan dari Telekomunikasi tentu terdapat pihak yang memberikan jasa pelayanan sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan:

“Pasal 8

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.Badan Usaha Swasta; atau d. koperasi. ”

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:

a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

Berkaitan dengan penyelenggaraan Telekomunikasi maka pihak yang memberikan jasa pelayanan tersebut dipertegas dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Telekomunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang menyatakan: 

“Pasal 4

(1) Menteri menetapkan kewajiban minimal pembangunan dan/atau penyediaan layanan yang wajib dipenuhi oleh setiap Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggara Jasa Telekomunikasi di wilayah yang bukan merupakan wilayah pelayanan universal Telekomunikasi dengan pertimbangan termasuk namun tidak terbatas pada:

a.efisiensi dan efektivitas;
b.ketersediaan, sebaran,dan kebutuhan layanan Telekomunikasi;
c.pemerataan pembangunan dan/atau layanan Telekomunikasi; dan/atau;
d.peningkatan kualitas layanan.

(2) Kewajiban minimal pembangunan dan/atau penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban tahunan untuk kurun waktu setiap 5 (lima) tahun”

(3) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membangun dan/atau menyediakan Jaringan Telekomunikasi.

Adapun manfaat dari Telekomunikasi sendiri sebagaimana penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi asas manfaat dari Telekomunikasi memiliki arti Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.

Selain memiliki tujuan dan manfaat terdapat dampak dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu:[4]

1. Dampak Positif:

a. Bidang Pendidikan Teknologi Informasi Komunikasi telah mengubah proses pembelajaran konvensional ke menjadi online;

b. Bidang Kesehatan dalam bidang kesehatan, salah satu penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada manajemen rekam medis menggunakan kartu pintar (smart card). Hanya dengan memasukkan data pada kartu itu, tenaga medis atau yang berkepentingan bisa memperoleh riwayat penyakit pasien dan penanganannya;

c. Bidang Transportasi penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada bidang transportasi, misalnya, di teknologi pesawat terbang. Pada pesawat terbang terdapat fitur pilot otomatis yang dikendalikan dengan program komputer;

d. Bidang Jasa Pengiriman jasa pengiriman saat ini makin maju. Jika dahulu mengirim paket tidak tahu kapan akan sampai, sekarang paket yang dikirim dapat dilacak posisinya secara realtime.

e. Bidang Bisnis dalam bisnis, penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi diterapkan pada perdagangan secara elektronik (e-commerce). Fitur ini memerlukan jaringan komunikasi internet. E-commerce memudahkan dua atau banyak pihak untuk melakukan transaksi tanpa harus bertemu langsung secara fisik;

f. Bidang Perbankan salah satu kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam perbankan adalah fitur internet banking. Kini, nasabah bisa dengan mudah melakukan berbagai transaksi perbankan.

2. Dampak Negatif:

a. Pelanggaran Hak Cipta, kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi ada yang disalahgunakan oleh orang tidak bertanggung jawab biasanya terkait pelanggaran hak cipta. Pelanggaran ini meliputi pembajakan software, penggandaan tanpa sizin pembuat karya, hingga pemakaian tanpa seizin pembuat. Pelanggaran hak cipta sudah pasti merugikan produsen dan merugikan konsumen saat mereka mendapatkan produk yang kualitasnya tidak setara dengan produk asli;

b. Kejahatan Siber (Cyber Crime), kejahatan ini dilakukan secara online dengan memanfaatkan teknologi atau jaringan komputer. Contoh kejahatannya seperti pembajakan kartu kredit, penipuan online, dan sebagainya. Kejahatan siber dapat terjadi lintas negara, memberikan kerugian besar, dan sering sulit dibuktikan secara hukum;

c. Pornografi, Perjudian, dan Penipuan Ketiga hal tersebut sangat marak di dunia online dan menjadi sisi negatif dari Teknologi Informasi dan Komunikasi. Namun, sebagian negara melegalkan pornografi dan perjudian terkait aturan-aturan tertentu. Sementara untuk penipuan, banyak oknum yang menyalahgunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi guna menipu orang lain demi mendapatkan sejumlah uang;

d. Penyebaran Malware, malware adalah program komputer yang sifatnya mencari kelemahan software. Penggunaannya seperti untuk membobol atau merusak sistem operasi maupun merusak software. Contoh malware adalah virus, worm, keylogger, trojan, spyware, dan sebagainya.

Kemajuan Telekomunikasi saat ini sendiri tentu tidak terlepas dari Industri Telekomunikasi, saat ini peran Industri Telekomunikasi terhadap negara memiliki kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto dengan laju pertumbuhan tertinggi (pada tahun 2021 tertinggi kedua setelah sektor kesehatan). Sektor infokom menyumbang 4,41% dari total PDB Indonesia tahun 2021. Selain itu, sektor infokom pada tahun 2017 mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 9,78%, atau kurang lebih sekitar 500 ribu orang. Jumlah tersebut juga terus bertambah setiap tahunnya hingga mencapai 1 juta orang pada tahun 2021.[5]

Dalam pelaksanaannya pada sektor Industri Telekomunikasi terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha industri telekomunikasi:[6]

  1. Kurangnya ketersediaan spektrum frekuensi untuk jaringan 5G. Transformasi digital ke depan tidak hanya berhenti pada konektivitas internet semata, namun juga implementasi IOT, AI, Big Data, cyber security, serta robotik yang harus didukung oleh jaringan internet berkecepatan tinggi, minimal setara 5G. Sementara implementasi 5G saat ini masih terkendala pada biaya yang besar serta spektrum frekuensi yang belum siap digunakan oleh jaringan 5G;
  2. Kesenjangan digital. Pembangunan infrastruktur jaringan internet yang selama ini hanya terfokus pada Pulau Jawa dan Sumatera, membuat konektivitas internet belum terdistribusi dengan baik, sehingga penetrasi market share industri telekomunikasi juga terhambat.

[1] Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010

[2] Ibid

[3]Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017

[4]  https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022

[5] Budget Issue Brief Politik & Keamanan, Vol. 02, Ed 5, April 2022, Pusat Kajian Anggaran, Hal 1

[6] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication;
  2. Ministerial Regulation of Communication and Information Technology Number 5 of 2021 concerning the Implementation of Telecommunication.

REFERENCE:

  1. Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010;
  2. Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017;
  3. https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022;

Telecommunication is one of the most important infrastructure keys to expand national challenges, with telecommunications we have the opportunity to get information at the right time and place as well as the right content so that we can win strategies in business. Telecommunication as a type of industry is also an object of globalization.

The definition of Telecommunication in Article 1 point 1 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 1

1.Telecommunication is any transmitting, sending and or receiving of information results in the form of signs, signals, writings, images, sounds and sounds through wire systems, optics, radio, or other electromagnetic systems.”

From the explanation, it can be understood that telecommunications is an inseparable part of Information and Communication Technology. There are several functions that can be obtained from today’s Information and Communication Technology to solve problems, open up creativity, and increase effectiveness and efficiency in doing work, including the following:

1. Capture

That is a process of capturing data that will become input data;

2. Processing

Compile detailed records of activities, for example receiving input from keyboard, scanner, mic and so on. Processing/processing the received input data to become information. Data processing/processing can be in the form of conversion (change of data into other forms), analysis (condition analysis), calculation (calculation), synthesis (merging) of all forms of data and information:

  • Data processing, processing and processing data into an information;
  • Information processing, a computer activity that processes and processes a type / form of information and converts it into other types / forms of information;
  • Multimedia system, a computer system that can process various types / forms of information simultaneously.

3. Generating

Generate or organize information into a useful form. For example: reports, tables, graphs and so on.

4. Storage

Record or store and information in a media that can be used for other purposes. For example, saved to a hard disk, tape, diskette, Compact Disc (CD) and so on.

5. Retrieval

Search, retrieve information or copy data and information that has been stored, for example looking for suppliers who have paid off and so on.

6.Transmission

Sending data and information from one location to another via a computer network. For example sending sales data from user A to other users and so on.

The purpose of Telecommunication, as stated in Article 3 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 3

Telecommunication is held with the aim of supporting the unity and integrity of the nation, increasing the welfare and prosperity of the people in a fair and equitable manner, supporting economic life and government activities, as well as improving international relations.”

In order to facilitate the purpose of Telecommunications, of course there are parties who provide services as telecommunications network operators, as stated in Article 8 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 8

(1) The operation of telecommunications networks and or the operation of telecommunications services as referred to in Article 7 paragraph (1) letters a and b, may be carried out by a legal entity established for this purpose based on the prevailing laws and regulations, namely:
a. State-Owned Enterprises (BUMN);
b. Regional Owned Enterprises (BUMD);
c. Private Business Entity; or
d. cooperative.”

(2) The operation of special telecommunication as referred to in Article 7 paragraph (1) letter c, may be carried out by:

a. individual;
b.government agencies;
c.legal entity other than telecommunications network operator and or telecommunication service provider.

In relation to the operation of Telecommunication, the party providing the service is emphasized in Article 4 of the 2. Ministerial Regulation of Communication and Information Technology Number 5 of 2021 concerning the Implementation of Telecommunication, which states:

“Article 4

(1) The Minister stipulates the minimum obligation for development and/or service provision that must be fulfilled by every Telecommunication Network Operator and/or Telecommunication Service Provider in areas which are not the areas of universal Telecommunication service with considerations including but not limited to:

a. efficiency and effectiveness;
b. availability, distribution, and needs of Telecommunication services;
c. equitable distribution of development and/or Telecommunication services; and/or;
d. improvement of service quality.

(2) The minimum obligation for development and/or service provision as referred to in paragraph (1) is in the form of an annual obligation for a period of every 5 (five) years;

(3) Telecommunication Network Operators in fulfilling the obligations as referred to in paragraph (2) are obligated to build and/or provide Telecommunication Networks.

There is also the benefit of Telecommunications itself as explained in Article 2 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunications. The principle of benefit from telecommunications means that the principle of benefit means that telecommunications development, especially telecommunications operations, will be more efficient and effective as infrastructure development, government administration facilities, educational facilities, transportation facilities as well as economic commodities that can further improve the physical and spiritual welfare of the community.

In addition to having goals and benefits, there are impacts from the development of Information and Communication Technology, namely:

1. Positive Impact:

The field of Information and Communication Technology Education has changed the conventional learning process to become online;

Health Sector In the health sector, one of the applications of Information and Communication Technology in medical record management is using a smart card. Only by entering data on the card, medical personnel or interested parties can obtain a patient’s disease history and treatment;

c. Transportation Sector The use of Information and Communication Technology in the transportation sector, for example, in aircraft technology. On airplanes there is an automatic pilot feature that is controlled by a computer program;

d. The field of Shipping Services Delivery services are currently increasingly advanced. If in the past you didn’t know when you sent a package, you can now track the position of the package sent in real time;

e. Business Sector In business, the use of Information and Communication Technology is applied to electronic commerce (e-commerce). This feature requires an internet communication network. E-commerce makes it easier for two or more parties to conduct transactions without having to meet physically directly;

f. Banking Sector One of the advances in Information and Communication Technology in banking is the internet banking feature. Now, customers can easily perform various banking transactions.

2. Negative Impact:
a. Copyright Infringement the progress of Information and Communication Technology has been misused by irresponsible people, usually related to copyright infringement. These violations include software piracy, reproduction without the author’s permission, to use without the author’s permission. Copyright infringement is sure to harm producers and harm consumers when they get a product that is not of the same quality as the original product;

b. Cyber ​​Crime This crime is committed online by utilizing technology or computer networks. Examples of crimes such as credit card hijacking, online fraud, and so on. Cybercrimes can occur across countries, inflict heavy losses, and are often difficult to prove legally;

c. Pornography, Gambling, and Fraud These three things are very prevalent in the online world and become a negative side of Information and Communication Technology. However, some countries legalize pornography and gambling according to certain rules. As for fraud, many people misuse Information and Communication Technology to deceive others in order to get some money;

d. Spread of Malware, malware is a computer program that is looking for software weaknesses. Its use is like to break into or damage the operating system or damage software. Examples of malware are viruses, worms, keyloggers, trojans, spyware, and so on.

The current progress of Telecommunication itself certainly cannot be separated from the Telecommunication Industry, currently the role of the Telecommunication Industry to the state has contributed to Gross Domestic Product with the highest growth rate (in 2021 the second highest after the health sector). The infocom sector contributed 4.41% of Indonesia’s total GDP in 2021. In addition, the infocom sector in 2017 was able to absorb a workforce of 9.78%, or approximately 500 thousand people. This number also continues to grow every year to reach 1 million people in 2021.

In its implementation in the telecommunications industry sector, there are several things that become obstacles for business actors in the telecommunications industry:

  1. Lack of availability of frequency spectrum for 5G network. Digital transformation in the future will not only stop at internet connectivity, but also the implementation of IoT, AI, Big Data, cyber security, and robotics which must be supported by a high-speed internet network, at least equivalent to 5G. While the current implementation of 5G is still constrained by high costs and frequency spectrum that is not ready for use by 5G networks;
  2. The digital divide. The development of internet network infrastructure, which has only focused on the islands of Java and Sumatra, has made internet connectivity not well distributed, so that market share penetration of the telecommunications industry is also hampered.

0

UTILIZATION OF COAL FOR EXPORT

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/7/2014 Tentang Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara.

REFERENSI:

  1. Irwandy Arif, , Batubara Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. Xvii
  2. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/25/indonesia-jadi-eksportir-batu-bara-terbesar-pada-2019
  3. IPB, “Gambaran Umum Pertambangan Batubara” https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58162/4/BAB%20IV%20Gambaran%20Umum.pdf

Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi:

“Pasal 33

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Dalam hal ini memiliki makna bahwa energi tak terbarukan pun dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu energi tak terbarukan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat yaitu batubara.

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan dan berwarna coklat sampai hitam yang pada saat pengendapannya terkena proses fisika dan kimia yang menjadikan kandungan karbonnya kaya.[1]

Pengertian batubara juga terdapat dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 1

3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar sepanjang 2019. Setidaknya terdapat 455 juta ton batu bara yang diperdagangkan di pasar global dari tanah air.[2] Jumlah batu bara yang diekspor pada 2019 mengalami peningkatan hingga 4,8% dibanding tahun sebelumnya. Pada 2018, Indonesia hanya mampu mengirim 434 juta ton batu bara ke pasar global.[3]

Peningkatan produksi batubara Indonesia dipicu oleh kenaikan permintaan pada pasar ekspor batubara Indonesia yang salah satunya adalah negara Cina. Berkaitan dengan pembatasan impor batubara dari Australia dengan pemberlakukan peraturan pengiriman barang yang semakin ketat.[4] Sehingga hal tersebut menyebabkan permintaan batubara dari Cina kepada Indonesia mengalami peningkatan. Setiap tahunnya lebih dari 70% dari total produksi batubara Indonesia dikirim untuk memenuhi permintaan importir batubara di luar negeri sedangkan sisanya untuk memenuhi konsumsi batubara domestik.[5]

Terkait ketentuan ekspor batubara sendiri terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/7/2014 Tentang Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 2

  • Batubara dan Produk Batubara yang dibatasi ekspor tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.”

Bagi pelaku usaha batubara harus memiliki izin, ada pun izin terkait batubara terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 35

  • Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  • Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:

a. nomor induk berusaha;

b. sertifikat standar; dan/atau

izin.

  • lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
  • IUP;
  • IUPK;
  • IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian;
  • IPR;
  • SIPB;
  • izin penugasan;
  • Izin Pengangkutan dan Penjualan;
  • IUJP; dan
  • IUP untuk Penjualan.
  • Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian  Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Adapun sanksi bagi para pelaku usaha batubara yang tidak memiliki izin sebagaimana Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sanksi-sanksi terdapat dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 151

(1) Menteri berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36A, Pasal 41, Pasal 52 ayat (4), Pasal 55 ayat (4), Pasal 58 ayat (4ll, Pasal 61 ayat (4), Pasal 70, Pasal 7OA, Pasal 7l ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (61, Pasal 86F, Pasal 86G huruf b, Pasal 91 ayat (1), Pasal 93A, Pasal 93C, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97,Pasal 98, Pasal 99 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101A, Pasal LO2 ayat (1), Pasal 103 ayat (1), Pasal 1O5 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 106, Pasal lO7, Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 110, Pasal ii1 ayat (1), Pasal ll2 ayat (1), Pasal ll2f. ayat (1), Pasal ll4 ayat (2)’, Pasal 115 ayat (2), Pasal 123, Pasal 123A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 124 ayat (1), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasai 128 ayat (1), Pasal 729 ayat (1), Pasal 130 ayat (2), atau Pasal 136 ayat (1).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda;

c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau

d. pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.

 Adapun sanksi pidana bagi yang melakukan penambang tanpa izin sebagaimana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 151

Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.OOO.000.000,00 (seratus miliar rupiah).


[1] Irwandy Arif, , Batubara Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. xvii

[2] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/25/indonesia-jadi-eksportir-batu-bara-terbesar-pada-2019 diakses 7 Juni 2022

[3] Ibid

[4] IPB, “Gambaran Umum Pertambangan Batubara” https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58162/4/BAB%20IV%20Gambara n%20Umum.pdf diakses 7 Juni 2022

[5] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Constitution of Republic Indonesia of 1945;
  2. 2. Law Number 3 of 2020 of Amendments to Law Number 4 of 2009 of Mineral and Coal Mining;
  3. Regulation of the Minister of Trade Number 52 of 2018 of the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 39/M-DAG/PER/7/2014 of Provisions for the Export of Coal and Coal Products.

REFERENCE :

  1. Irwandy Arif, , Batubara Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. Xvii
  2. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/25/indonesia-jadi-eksportir-batu-bara-terbesar-pada-2019
  3. IPB, “Gambaran Umum Pertambangan Batubara” https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58162/4/BAB%20IV%20Gambaran%20Umum.pdf

As mandated by Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which reads:

“Article 33”

(3) The earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In this case, it means that even non-renewable energy is controlled by the state and used for the prosperity of the people. One of the non-renewable energy that aims for the prosperity of the people is coal.

Coal is a sedimentary rock (solid) that can burn, comes from plants and is brown to black in colour which at the time of deposition is exposed to physical and chemical processes that make its carbon content rich.

The definition of coal is also contained in Article 1 point 3 of Law Number 3 of 2020 of Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 1

3. Coal is a carbonaceous organic compound deposit formed naturally from plant residues.

According to the International Energy Agency (IEA), Indonesia was the largest coal exporter throughout 2019. There are at least 455 million tons of coal traded in the global market from Indonesia. The amount of coal exported in 2019 increased by 4.8% compared to the previous year. In 2018, Indonesia was only able to send 434 million tons of coal to the global market.

The increase in Indonesian coal production was triggered by an increase in demand in the Indonesian coal export market, one of which is China. Regarding the restrictions on coal imports from Australia with the implementation of increasingly stringent shipping regulations. This causes the demand for coal from China to Indonesia to increase. Every year more than 70% of Indonesia’s total coal production is sent to meet the demands of coal importers abroad while the rest is to meet domestic coal consumption.

Regarding the provisions for the export of coal itself, it is contained in Article 2 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Trade Number 52 of 2018 of the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 39/M-DAG/PER/7/2014 concerning Provisions on the Export of Coal and Coal Products, which reads:

“Article 2

(1) Coal and Coal Products that are restricted for export are listed in Appendix I which is an integral part of this Ministerial Regulation.”

For coal business actors, they must have a permit, there is also a permit related to coal contained in Article 35 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 of Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 35”

(1) Mining Business is carried out based on Business Licensing from the Central Government.

(2) Business Licensing as referred to in paragraph (1) is implemented through the granting of:

a. trying main number;

b. standard certificate; and/or permission.

(3) The permit as referred to in paragraph (2) letter c consists of:

a. IUP;

b. IUPK;

c. IUPK as Continuation of Contract/Agreement Operation;

d. IPR;

e. SIPB;

f. assignment permit;

g. Transport and Sales Permit;

h. IUJP; and

i. IUP for Sales.

(4) The Central Government may delegate the authority to grant Business Licensing as referred to in paragraph (2) to the Provincial Government in accordance with the provisions of the legislation.”

As for sanctions for coal business actors who do not have permits as referred to in Article 35 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, the sanctions are contained in Article 151 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 151

(1) The Minister has the right to give administrative sanctions to holders of IUP, IUPK, IPR, SIPB, or IUP for Sales for violating the provisions as referred to in Article 36A, Article 41, Article 52 paragraph (4), Article 55 paragraph (4), Article 58 paragraph (4ll). , Article 61 paragraph (4), Article 70, Article 7OA, Article 7l paragraph (1), Article 74 paragraph (4), Article 74 paragraph (61, Article 86F, Article 86G letter b, Article 91 paragraph (1), Article 93A, Article 93C, Article 95, Article 96, Article 97, Article 98, Article 99 paragraph (1), paragraph (3), and paragraph (4), Article 100 paragraph (1), Article 101A, Article LO2 paragraph (1 ), Article 103 paragraph (1), Article 1O5 paragraph (1) and paragraph (4), Article 106, Article 107, Article 108 paragraph (1) and paragraph (2), Article 110, Article ii1 paragraph (1), Article 122 paragraph (1), Article ll2f paragraph (1), Article 144 paragraph (2)’, Article 115 paragraph (2), Article 123, Article 123A paragraph (1) and paragraph (2), Article 124 paragraph (1) , Article 125 paragraph (3), Article 126 paragraph (1), Article 128 paragraph (1), Article 729 paragraph (1), Article 130 paragraph (2), or Article 136 paragraph (1).

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:

a. written warning;

b. fine;

c. temporary suspension of part or all of Exploration activities or Production Operations; and/or

d. revocation of IUP, IUPK, IPR, SIPB, or IUP for Sales.

The criminal sanctions for mining without a permit are as stated in Article 158 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 151 Any person who conducts Mining without a permit as referred to in Article 35 shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah).

0

LEGAL WARRANTIES OF THE UTILIZATION OF NATURAL OIL AND GAS

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegaiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

REFERENSI:

  1. https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM
  2. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267
  3. https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan
  4. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia

Dalam melakukan aktifitasnya saat ini manusia banyak memanfaatkan sumber energi tak terbarukan. Yang dimaksud dengan sumber energi tak terbarukan adalah: sumber energi yang dapat habis dan tak bisa didaur ulang.[1] Sumber energi ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa tercipta kembali.[2] Contoh sumber energi tak terbarukan adalah:

  1. Minyak bumi;
  2. Batu bara;
  3. Gas bumi;
  4. Nuklir

Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi :

“Pasal 33

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Dalam hal ini memiliki makna bahwa energi tak terbarukan pun dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini mengambil salah satu energi tak terbarukan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat yaitu minyak bumi. Minyak bumi atau petroleum – bahan bakar fosil yang merupakan bahan baku untuk bahan bakar minyak, bensin dan banyak produk-produk kimia – merupakan sumber energi yang penting karena minyak memiliki persentase yang signifikan dalam memenuhi konsumsi energi dunia.[3]

Pengertian minyak bumi juga terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 1

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi”

Sementara itu pengertian gas bumi, terdapat dalam angka 2, yang berbunyi :

“Pasal 1

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi .

Untuk memperoleh manfaat yang optimal dari minyak dan gas bumi, para pakar telah melakukan sejumlah pengolahan yang disesuaikan dengan kebutuhan merinci di setiap aspek. Jelas, setiap aspek berjalan dengan elemen-elemen yang berbeda, sehingga berbeda pula tipe minyak dan gas bumi yang diperlukan.[4] Sehingga, para ahli tersebut menemukan beberapa klasifikasi yang penting untuk seterusnya dijadikan produk siap pakai. Adapun manfaat dari minyak bumi dan gas bumi yaitu :[5]

Pertama, kondensat yaitu minyak mentah yang bersifat sangat ringan. Gas bumi ini berjenis hidrokarbon yang merupakan produk ikutan dari sumur gas. Pada kondensat ini, terkandung gas bumi dalam jumlah yang besar.

Kedua, gas kering yaitu fluida yang berada di dalam sebuah reservoir dalam bentuk fase gas yang kemudian dialirkan ke permukaan tetap dalam kondisi gas. Gas alam ini dianggap ’kering’ ketika hampir seratus persen metana murni. Namun, terdapat kemungkinan bahwa gas kering ini juga mengandung Etana dan Propana.

Ketiga, Gas basah yang merupakan gas bumi yang hampir seluruh komposisinya mengandung molekul metana. Kandungan metananya sekitar 80 persen hingga 90 persen, ditambah dengan etana, propana, butana dan komponen lainnya.

Keempat ialah minyak ringan yang berasal dari hasil sulingan minyak bumi dari proses penguapan dan pengembunan pada tekanan atmosfer. Minyak ringan ini mengandung kadar logam dan belerang yang rendah dan memiliki sedikit kandungan gas bumi

Kelima adalah minyak berat, yaitu minyak mentah dengan komposisi hidrokarbon berat yang besar. Jenis minyak bumi ini mengandung sedikit sekali gas bumi, bahkan terkadang tidak ditemukan sama sekali. Minyak berat pun menghasilkan klasifikasi lainnya, yaitu klasifikasi keenam, bitumen yang di dalam reservoir bersifat kental seperti aspal.

Untuk memberikan jaminan bahwa minyak bumi dan gas bumi untuk masyarakatnya pemerintah menjamin melalui Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 8

  • Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  • Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
  • Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.

Dari pasal tersebut sangatlah jelas bahwa pemerintah menjamin pemanfaatan minyak bumi dan gas bumi untuk masyarakatnya, ada pun manfaat lain yang berdampak positif bagi masyarakat yaitu :[6]

  1. Memajukan perekonomian Bahan bakar memungkinkan transportasi menjadi lancar, sehingga distribusi pun meningkat. Dengan begitu, akan ada peningkatan volume perdagangan sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Bagi negara pengekspor dan pengimpor, barang-barang akan terlayani sepenuhnya sehingga kebutuhan setiap negara bisa terpenuhi.
  2. Memajukan sektor industri Bahan bakar diperlukan untuk hampir seluruh industri, seperti untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Mesin produksi yang terus bekerja bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Alhasil, omzet pun meningkat, begitupula dengan indsutrinya yang menjadi lebih maju dan berkembang.
  3. Lapangan pekerjaan Industri yang berkembang di suatu negara akan memancing lahirnya industri-industri baru yang tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengisi berbagai posisi dalam kegiatan industri.

Terkait dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi pemerintah memberikan sanksi bagi badan usaha yang melanggar persyaratan, hal tersebut terdapat dalam Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegaiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 90

  • Menteri memberikan teguran tertulis terhadap Badan Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan dalam Izin Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan, dan/atau Izin Usaha Niaga yang dikeluarkan oleh Menteri.
  • Dalam hal Badan Usaha setelah mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap melakukan pengulangan pelanggaran, Menteri dapat menangguhkan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  • Dalam hal Badan Usaha tidak menaati persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri selama masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat membekukan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  • Badan Pengatur menetapkan dan memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Khusus kegiatan usaha pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Badan Pengatur menetapkan dan memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran kewajiban Badan Usaha dalam penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak.
  • Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) berupa teguran tertulis, denda, penangguhan, pembekuan, dan pencabutan Hak dalam penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak serta pencabutan Hak Khusus pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Badan Pengatur.

[1] https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM

[2] ibid

[3] https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267

[4] https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan

[5] ibid

[6] https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia diakses 26 Mei 2022

LEGAL BASIS:

  1. Constitution of Republic Indonesia of 1945
  2. Law No. 22 of 2001 of Oil and Gas
  3. Government Regulation No. 36 of 2004 of Downstream Oil and Gas Business Activities

REFERENCE :

  1. https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM
  2. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267
  3. https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan
  4. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia

Due to their current activities, humans are using a lot of non-renewable energy sources. What is meant by non-renewable energy sources are: energy sources that can be used and cannot be recycled. This energy source takes a very long time to be created again. Examples of non-renewable energy sources are:

1. Petroleum;

2. Coal;

3. Natural gas;

4. Nuclear

As mandated by Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which reads :

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained inside are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In this case, it means that even non-renewable energy is controlled by the state and used for the prosperity of the people. In this case, taking one of the non-renewable energies aimed at the prosperity of the people, namely petroleum. Petroleum or petroleum – a fossil fuel that is the raw material for fuel oil, gasoline and many chemical products – is an important energy source because oil has a significant percentage of meeting world energy consumption.

Definition of petroleum is also contained in Article 1 point 1 of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2001 of Oil and Gas, which reads:

“Article 1

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

Crude Oil is the result of a natural process in the form of hydrocarbons under atmospheric pressure and temperature in the form of a liquid or solid phase, including asphalt, mineral wax or ozokerite, and bitumen obtained from the mining process, but excluding coal or other hydrocarbon deposits in solid form obtained from activities that are not related to Oil and Gas business activities”

Meanwhile, the definition of natural gas is contained in number 2, which reads :

“Article 1

2. Natural Gas is the result of a natural process in the form of hydrocarbons under conditions of atmospheric pressure and temperature in the form of a gas phase obtained from the mining process of Oil and Gas.”

To obtain optimal benefits from oil and gas, experts have carried out a number of processing tailored for their needs in detail in every aspect. Obviously, each aspect operates with different elements, so different types of oil and gas are required. Thus, these experts found several important classifications to be used as ready-to-use products. The benefits of oil and natural gas are:

First, condensate is crude oil which is very light. This natural gas is a hydrocarbon type which is a by-product of gas wells. This condensate contains large amounts of natural gas.

Second, dry gas is a fluid that is in a reservoir in the form of a gas phase which is then flowed to the surface in a gaseous state. This natural gas is considered ‘dry’ when it is almost one hundred percent pure methane. However, it is possible that this dry gas also contains Ethane and Propane.

Third, wet gas which is natural gas which almost all of its composition contains methane molecules. The methane content is about 80 percent to 90 percent, plus ethane, propane, butane and other components.

Fourth is light oil which is derived from petroleum distillation from the evaporation and condensation processes at atmospheric pressure. This light oil contains low levels of metals and sulfur and has a little natural gas content.

Fifth, heavy oil which is crude oil with a large heavy hydrocarbon composition. This type of petroleum contains very little natural gas, sometimes even none at all. Heavy oil also resulted in another classification, namely the sixth classification, bitumen in the reservoir is thick like asphalt.

To provide guarantees that oil and natural gas for the people, the government guarantees through Article 8 of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2001 of Oil and Gas, which reads:

“Article 1

  • The government gives priority to the utilization of Natural Gas for domestic needs and is tasked with providing strategic reserves of Crude Oil to support the supply of domestic Oil Fuel, which will be further regulated by a Government Regulation.
  • The government is obligated to ensure the availability and smooth distribution of fuel oil which is a vital commodity and controls the livelihood of many people throughout the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
  • Business activities for the transportation of natural gas through pipelines which involve the public interest shall be regulated so that their utilization is open to all users.
  • The government is responsible for the regulation and supervision of business activities as referred to in paragraphs (2) and (3), the implementation of which is carried out by the Regulator.

From the article it is very clear that the government guarantees the use of oil and natural gas for its people, there are other benefits that have a positive impact on the community, namely:

  1. Advancing the economy Fuel allows transportation to be smooth, so it will increasing distribution. That way, there will be an increase in the volume of trade so that there will be economic growth. For both exporting and importing countries, goods will be fully served so that the needs of each country can be met.
  2. Advancing the industrial sector Fuel is needed for almost all industries, such as to run production machines. Production machines that continue to work can improve the quality and quantity of the products produced. As a result, turnover also increases, as well as the industry which is becoming more advanced and developed.
  3. Employment Industry that develops in a country will provoke the birth of new industries which of course requires a lot of manpower to fill various positions in industrial activities.

Related to oil and gas business activities, the government imposes sanctions for business actors, this is contained in Article 90 of Government Regulation Number 36 of 2004 of Downstream Oil and Gas Business Activities, which reads:

“Article 90”

  • The Minister shall give a written warning to a Business Entity that violates one of the requirements in a Processing Business Permit, a Transportation Business Permit, a Storage Business Permit, and/or a Commercial Business Permit issued by the Minister.
  • In the event that a Business Entity after receiving a written warning as referred to in paragraph (1) continues to repeat the violation, the Minister may suspend its Processing, Transportation, Storage, and/or Trading business activities.
  • In the event that the Business Entity does not comply with the requirements stipulated by the Minister during the suspension period as referred to in paragraph (2), the Minister may freeze Processing, Transportation, Storage, and/or Trading business activities.
  • The Regulatory Body shall determine and impose sanctions related to the violation of Special Rights for the business activities of transporting Natural Gas through pipelines.
  • The Regulatory Body shall determine and impose sanctions related to the violation of the obligations of the Business Entity in the supply and distribution of Oil Fuel.
  • Sanctions as referred to in paragraphs (4) and (5) are in the form of written warnings, fines, suspensions, freezing, and revocation of rights in supply and distribution of fuel oil and revocation of special rights to transport natural gas through pipelines.

Provisions regarding the imposition of sanctions as referred to in paragraph (6) shall be further regulated by the Regulatory.

0

INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS: PROTECTION AND COMMERCIALIZATION OF BUSINESS

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

REFERENSI:

  1. Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
  3. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
  4. Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual , (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Waralaba, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Komersialisasi HKI melalui Lisensi.

Kekayaan Intelektual adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR) dan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai Intellectual Eigendom.[1] Kekayaan Intelektual (KI) atau yang sering disebut “Intellectual Property” adalah Hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan-penemuan penting di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda yang tidak berwujud (Benda Immateriil) benda dalam hukum perdata dapat di klasifikasikan kedalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu ialah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat di lihat batasan benda yang terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi[2] :

“Pasal 499 KUHPerdata

Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.[3]

Rumusan lain dari pasal tersebut dapat diturunkan kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang di maksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503 KUHPerdata yaitu[4]:

“Pasal 503 KUHPerdata

Ada barang yang bertubuh (berwujud) dan ada barang yang tak bertubuh (tidak berwujud).[5]

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan kekayaan intelektual adalah terpisahnya antara haknya sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Suatu contoh dapat di kemukakan misalnya hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa kekayaan intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang di lindungi dalam kerangka kekayaan intelktual adalah Haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh Hukum Benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).[6]

Penggolongan Kekayaan Intelektual dapat digolongkan dalam dua lingkup[7]:

  1. Hak Cipta (Copy Rights)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).

Adapun dalam lingkup Hak Kekayaan Idnustri mencakup :

  1. Merek Dagang
  2. Paten
  3. Rahasia Dagang
  4. Desain Industri
  5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  6. Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap Pencipta. Dalam perkembangannya kemudian menjadi pranata hukum yang di kenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19. Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).[8]

TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs adalah tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO. Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs.[9]

Pengaturan Paten terhadap Material Biologis:

                Di Australia, gen manusia dan proses biologis dilarang untuk dijadikan objek paten. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Paten tersebut menyatakan bahwa

bahan biologis termasuk komponen dan turunannya, baik diisolasi atau dimurnikan atau tidak dan bagaimanapun dibuat, yang identic atau secara substansial indentik dengan bahan seperti yang ada di alam”

bukan merupakan bentuk penemuan yang dapat dipatenkan. Kemudian di ayat (3) disebutkan bahwa

tanaman dan hewan, dan proses biologis untuk menghasilkan tumbuhan dan hewan juga dikecualikan untuk dilindungi paten”.

Namun menurut Pasal 18 ayat (4) pengecualian tidak berlaku jika invensi tersebut merupakan proses mikrobiologis atau produk dari proses tersebut. Selanjutnya, di Pasal 18 ayat (5) mendefinisikan “material biologis” adalah DNA, RNA, protein, cell, cairan, namun tidak mendeskripsikan kata “komponen dan turunannya” dan “identik substansial”.[10] Sementara di Indonesia sendiri pengaturan terkait paten terhadap mikrobiologi dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disebutkan,

invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi: (d) makhluk hidup, kecuali jasad renik; (e) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis”

                Lain halnya di Malaysia, paten dapat diberikan terhadap invensi baru, memiliki langkah inventif, dapat diterapkan di industri, dan inovasi tersebut dalam bentuk produk dan proses. Sementara di Pasal 13 ayat 1(b) Undang-Undang Paten 1983 menyatakan bahwa mikroorganisme buatan manusia, proses mikrobiologis, dan produk dari proses tersebut dapat dipatenkan. Tidak ada pengaturan untuk pengecualian, namun pada pasal 3 ayat 1(a), suatu “discovery” tidak dapat dipatenkan.[11]

Terdapat Empat Teori yang menjadi landasan atas perlindungan HaKI, antara lain :

  1. Teori Hak Alami

Teori Hak Alami bersumber dari Teori hukum Alam. Penganut Teori hukum alam antara lain lain Thomas Aquinas, Jhon Locke, Hugo Grotius. Menurut Jhon Locke menyatakan bahwa: “secara alami manusia adalah agenda moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan”.[12]

  • Teori Karya

Teori karya merupakan kelanjutan dar teori hak alami. Jika pada teori hak alami titik tekannya pada kebebasan manusia bertindak dan melakukan sesuatu, pada teori karya titik tekannya pada aspek proses menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang dihasilkan. Semua orang memiliki otak, namun tidak semua orang mampu mendayagunakan fungsi otaknya (intellectual) untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Teori Motivasi yang di kemukakan oleh David Mc Clelland menyatakan bahwa :“seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi”.[13]

  • Teori Pertukaran Sosial

Penganut Teori ini antara lain George C. Hotman dan Peter Blau. Teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomi yang elementer. Orang yang menyediakan barang dan jasa tentu akan mengharapkan balasan berupa barang atau jasa yang di inginkannya. Hal yang penting dicatat, tidak semua transaksi sosial dapat di ukur secara nyata misalnya dengan uang, barang atau jasa, adakalanya justru yang lebih berharga adalah hal yang tidak nyata, seperti penghormatan dan persahabatan.[14]

  • Teori Fungsional

Penganut teori ini antara lain Talcot Parsons dan Robert K. Merton. Kajian Teori fungsional atau fungsionalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa seluruh struktur sosial atau yang diprioritaskan mengarah kepada suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang sudah ada di jelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang penting dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Para fungsionalis berusaha menunjukkan suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang vital untuk menjelaskan eksistensi pola tersebut, obyek kajiannya adalah masyarakat.[15]


[1] Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956, hlm. 87.

[2] H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hal. 34

[3] Pasal 499 KUHPerdata

[4] Ibid., 35

[5] Pasal 503 KUHPerdata

[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, hal 134.

[7] Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004), hal. 11-12.

[8] Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 7.

[9] Ibid., hlm. 25

[10] Sharifa Sayma Rahman, Patens and Genetic Engineering Technologies : A Review of Judicial Decisions, IIUM Law Journal, no.29(2), 2021, hal 150-151

[11] Ibid, hal 152

[12] Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 49

[13] Ibid., hlm. 50

[14] Ibid.,

[15] Ibid., hlm. 51

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 28 of 2014 of Copyrights
  2. Civil Code

REFERENCE :

  1. Sophar Maru Hutagalung, Copyright Position and Its Role in Development, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspects of Intellectual Property Rights Law
  3. Munir Fuady, Introduction to Business Law
  4. Pipin Syarifin, Intellectual Property Rights Regulations in Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Protection of Intellectual Property Rights in ASEAN Countries, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Getting to know Intellectual Property Rights, Copyrights, Patents, Brands and their ins and outs, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Commercialization of Intellectual Assets, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Indonesian Intellectual Property Rights Law, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Franchise, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Commercialization of intellectual property rights through licensing.

Intellectual Property Rights is the official translation of Intellectual Property Rights (IPR) and in Dutch is referred to as Intellectual Eigendom. Property Rights (PR) or often called “Intellectual Property” is a right related to wealth arising or born because of human intellectual abilities in the form of important discoveries in the fields of technology, science, art, and literature. Intellectual Property Rights are part of intangible objects (Immaterial Objects) objects in civil law can be classified into various categories, one of which is the grouping of objects into the classification of tangible objects and intangible objects. For this, you can see the limits of objects contained in article 499 of the Civil Code which reads :

“Article 499 of the Civil Code

According to the Law, goods are every object and every right that can be the object of property rights

Another formulation of the article can be derived from sentences, namely: what can be the object of property rights is an object and the object consists of goods and rights. The goods referred to by Article 499 of the Civil Code are material objects (stoffelijk voorwerp), while rights are immaterial objects. This description is in line with the classification of objects based on Article 503 of the Civil Code, namely :

“Article 503 of the Civil Code

Some items are bodied (tangible) and there are goods that are not diligent (intangible).

A further consequence of the limitation of intellectual property rights is the separation between that intellectual property rights and the material results that become their incarnation. An example can be put forward as copyright in the field of cinematographic work (in the form of intellectual property rights) and material results that become the form of film. So what is protected within the framework of intellectual property rights is the Right is not the incarnation of the right. The incarnation of this right is protected by the Law of Objects in the category of material objects (tangible objects).

Classification of Intellectual Property Rights can be classified in two scopes:

  1. Copyright (Copy Rights)

Based on Article 1 paragraph (1) of Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. That Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after work is realized in real form without prejudice to restrictions following the provisions of laws and regulations.

  • Industrial Property Rights.

The scope of Industri’s Wealth Rights includes:

  1. Trademark
  2. Patents
  3. Trade Secrets
  4. Industrial Design
  5. Integrated Circuit Layout Design (Layout Design Topographics of Integration Circuits)
  6. Plant Variety Protection

The legal protection of IPR is in principle a reflection of the Creator. In its development later became a legal institution known as Intellectual Property Rights (IPR). The attention of the state to establish cooperation on the issue of IPR has been in place since the late 19th century. These agreements quantitatively largely govern the protection of Industrial Property Rights and others govern copyright. The organization that handles this is WIPO (World Intellectual Property Organization).

TRIPs are only a part of the entire WTO-regulated trading system, and Indonesia’s membership of the WTO implies that Indonesia is automatically linked to TRIPs it is impossible to simply become a participant of TRIPs without being a member of the WTO. The rights and obligations of TRIPs only arise when a country is a member of the WTO. On the contrary, it is impossible to become a member of the WTO without being a participant in TRIPs.

Patent Regulations Regarding Biological Materials :

In Australia, the Australian Patent Act 1990 expressly prohibits human genes and biological processes from standard patents. Section 18(2) of the  Patents  Act  1990 states 

“biological  materials  including  their components  and  derivatives,  whether  isolated  or  purified  or  not  and however  made,  which  are identical  or  substantially  identical  to  such materials as they exist in nature

are not patentable inventions. Furthermore, under section 18(3)

plants and animals, and the biological processes for the generation  of  plants  and  animals  are  also  excluded  from  innovation patents”

However, according to section 18(4) exclusion does not apply if the invention is a microbiological process or the product of such a process.  Additionally,  section  18(5)  defines  the  term  ‘biological materials’ to include ‘DNA, RNA, proteins, cells, and fluids,’ but it does not  describe  the  words  “components  and  their  derivatives”  and “substantially identical.” Meanwhile in Indonesia Article 9 of Patent Act stated that,

Inventions which cannot be granted Patent include: (d) all living organisms, except microorganism; (e) any biological process which is essential to produce plant or animal, except non-biological process or microbiological process”

In Malaysia, based on section 13 (1) (b) of the Patent Act 1983 simply  states  that  man-made  living  microorganisms,  microbiological processes,  and the  product of such  processes are  patentable.  There is no clear mention of the exclusion of nature’s handiwork, nevertheless in section 3 (l) (a) of the Act, ‘discoveries’ is a bar to patentability.

Four theories are the basis for the protection of IPR, including:

  1. Natural Right Theory

The Theory of Natural Rights comes from the theory of natural law. Adherents of natural law theory include Thomas Aquinas, Jhon Locke, and Hugo Grotius. According to Jhon Locke stated that: “naturally man is a moral agenda. Man is a mental substance and a right, the human body itself is the wealth of the human being concerned.”

  • Labor Theory

The theory of work is a continuation of the theory of natural rights. If in the theory of natural rights the point of pressure on the freedom of man to act and do something, in the theory of work his press point on the aspect of the process produces something and something is produced. Everyone has a brain, but not everyone can use their brain (intellectual) function to produce something. According to The Theory of Motivation, put forward by David Mc Clelland stated that “a person produces something because he has the motivation to achieve”. 

  • Social Exchange Theory

Proponents of this theory include George C. Hotman and Peter Blau. The theory of social exchange is based on the principle of elementary economic transactions. People who provide goods and services will certainly expect a reply in the form of goods or services that they want. The important thing is to note, that not all social transactions can be measured in real terms for example with money, goods, or services, sometimes even more valuable things are not real, such as respect and friendship.

  • Functional Theory

Adherents of this theory include Talcott Parsons and Robert K. Merton. The functional theory of functionalism departs from the basic assumption that the entire social structure or prioritized leads to integration and adaptation of the prevailing system. The existence or continuity of existing structures or patterns is explained through consequences or effects that are important and useful in overcoming various problems that arise and develop in people’s lives. Functionalists try to show that an existing pattern has met the needs of a vital system to explain the existence of the pattern, the object of study in society.

0

DISTRIBUTION PROCESS PERFORMED IN PHARMACEUTICAL BIOTECHNOLOGY

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
  3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi.

Bioteknologi moderen memiliki ptensi yang besar untuk peningkatan kehidupan dan kesejahteraan manusia baik di sektor pertanian, pangan, industri, kesehatan manusia, dan lingkungan hidup. Pengertian bioteknologi moderen sendiri tertulis secara resmi dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yaitu:

“Pasal 1

  • Bioteknologi moderen adalah aplikasi dari teknik perekayasaan genetik yang meliputi teknik Asam Nukleat in-vitro dan fusi sel dari dua jenis atau lebih organismo di luar kekerabatan taksonomis”[1]

Bioteknologi moderen memiliki beberapa jenis atau cabang ilmu salah satunya yaitu Bioteknologi merah. Bioteknologi merah (red biotechnology) adalah cabang ilmu bioteknologi yang mempelajari aplikasi bioteknologi di bidang medis dan farmasi. Hal ini mencakup kepada seluruh objek pengobatan manusia mulai dari preventif, diagnosis, dan pengobatan. Contoh pemanfaatannya terdapat pada obat dan vaksin.[2]

Pada penggunaannya di bidang farmasi, bioteknologi digunakan unutk obat manufaktur, terapi gen, pengujian genetik, dan pharmacogenomics. Bioteknologi farmasi menggunakan teknologi DNA rekombinan yang memerlukan manipulasi genetik sela tau antibodi monoklonal untuk membuat produknya. Formulasi dalam farmasi konvesional merupakan molekul relatif sederhana yang diproduksi, melalui teknik trial and error untuk mengobati berbagai gejala-gejala penyakit.[3]

Dalam pemanfaatannya untuk mengobati gejala-gejala penyakit, maka penyediaan farmasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk pelayanan kesehatan. Sehingga, distribusi sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan penyaluran baik obat maupun bahan obat sesuai dengan persyaratan guna menjaga kualitas dari sediaan farmasi yang didistribusikan tersebut. Distribusi merupakan kegiatan penting yang terintegrasi dengan manajemen rantai pasok sediaan farmasi. Pemerintah sendiri mewajibkan adanya fasilitas distribusi untuk menunjang adanya penyaluran penyediaan kebutuhan farmasi. Penjelasan terkait pendistribusian farmasi dijelaskan pada Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menjelaskan sebagai berikut:

Pasal 1

10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.”[4]

Kegiatan pendistribusian obat-obatan ini dilakukan oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memiliki izin berupa Sertifikat Distribusi Farmasi dari Kementerian Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018.[5] Sedangkan, Instalansi Sediaan Farmasi atau Instalansi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat menyimpan dan menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.

Dalam hal kegiatan pendistribusian dan penyaluran atau menyalurkan sediaan farmasi erat kaitannya dengan pekerjaan kefarmasian sebab menjadi salah satu tugasnya. Definisi Pekerjaan Kefarmasian sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan pelaksanaan pekerjaannya diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 1 angka 1

Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.[6]

“Pasal 5

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:

  1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
  2. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
  3. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
  4. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.”[7]

PBF dan PBF Cabang sebagai sarana fasilitas distribusi dan saluran sediaan farmasi memiliki kewajiban untuk memiliki apoteker sebagai penanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi. Diatur lebih rinci dalam Pasal 14 ayat (2) yang menegaskan bahwa,

“Pasal 14 ayat (2)

Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”[8]

Kewenangan apoteker yang merupakan tenaga kefarmasian terdapat dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 108 ayat (1)

Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”[9]

Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi atau Kegiatan Distribusi Obat, merupakan suatu kegiatan diantara kegiatan produksi dan kegiatan pelayanan sediaan farmasi kepada masyarakat. Kegiatan teknis dalam fasilitas distribusi ini mengacu pada peraturan dan perundang-undangan sebagai berikut :

  1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi

Peraturan yang mengatur Pedagang Besar Farmasi, yaitu perusahaan dengan bentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat;

  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2018 tetang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan

Peraturan yang mengatur mengenai penerapan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yang berfungsi untuk percepatan dan peningkatan modal dan berusaha sektor kesehatan;

  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik

Peraturan yang mengatur pedoman teknis cara pendistribusian obat yang baik untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya;

  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik;

Peraturan yang mengatur mengenai distribusi obat untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar agar pelaksanaan distribusi obat dapat diterapkan dalam setiap aspek dan rangkaiannya.

Secara garis besar peraturan dan perundang-undangan tentang PBF mengatur mengenai perizinan, gudang, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan, kemudian Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memliki ruang lingkup pedoman untuk distribusi obat, bahan obat dan produk biologi termasuk vaksin.

Salah satu cara pemerintah dalam menjamin mutu sediaan pendistribusian farmasi adalah dengan menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.[10] Regulasi CDOB ini dijelaskan Peraturan Kepala BOM No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.

Untuk menerapkan cara distribusi obat yang baik, hal yang harus diperhatikan yaitu pada jalur distribusi sediaan farmasi. Jalur distribusi obat diawali dari Industri Farmasi yang kemudian disalurkan kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan selanjutnya PBF akan menyalurkan dan mendistribusikan obat kepada PBF cabang, apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Balai Pengobatan, dan Gudang Farmasi. Namun, tidak semua jalur distribusi sediaan farmasi sama. Khusus pada penyediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika memiliki jalur distribusi khusus.[11] Narkotika hanya bisa disalurkan dari Industri Farmasi kepada pedagang besar farmasi tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, dan rumah sakit. [12]

Selanjutnya, pada pendistribusian obat-obatan yang baik juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu pada proses pengiriman obat-obatan tersebut, seperti: [13]

  1. Kondisi khusus yang diperlukan produk selama proses pengiriman harus dipantau dan dicatat.
  2. Proses pengiriman tidak boleh memberikan efek negative terhadap integritas dan kualitas dari sediaan farmasi
  3. Prosedur tertulis harus disertai selama proses untuk dilakukan investigasi terhadap segala penyimpangan terkait kondisi penyimpanan, contohnya jika suhu tempat penyimpanan produk saat proses pengiriman tidak sesuai.
  4. Produk yang dikirim harus dapat dilacak selama proses distribusi
  5. Semua produk farmasi harus disimpan dan didistribusikan dalam wadah yang tidak memberikan efek buruk terhadap kualitas produk, dan memberikan perlindungan memadai dari pengaruh eksternal, termasuk kontaminasi mikroba. Label yang ditempelkan di wadah harus jelas, tidak ambigu, secara permanen tertuju pada wadah dan tidak mudah terhapuskan. Informasi tentang label harus sesuai dengan produk. Produk yang mengandung dari bahan aktif dan radioaktif obat dan bahan berbahaya lainnya yang memberikan risiko penyalahgunaan, kebakaran, atau ledakan (misalnya, cairan yang mudah terbakar, padatan dan gas bertekanan) harus disimpan dan diangkut di dalam wadah yang aman.

Rekap data juga diperlukan pada saat melakukan pengiriman produk farmasi yang dalam dokumennya harus memuat informasi sebagai berikut:[14]

  1. Waktu pengiriman
  2. Nama dan alamat yang bertanggung jawab untuk pengiriman
  3. Nama, alamat, status instansi seperti retail farmasi, rumah sakit dan komunitas klinik
  4. Deskripsi produk meliputi nama, bentuk dan kekuatan sediaan
  5. Jumlah produk, seperti jumlah container dan jumlah produk per container
  6. No batch dan tanggal kadaluarsa
  7. Kondisi transportasi dan penyimpanan
  8. Nomor unik untuk memungkinkan identifikasi pesanan pengiriman.

Tidak hanya data-data tersebut yang harus diperlukan, pada sistem dan prosedur tertulis diperlukan untuk mendeteksi secara cepat dan efektif produk farmasi yang diketahui atau diduga cacat, dengan personil yang bertanggung jawab untuk melakukan recall. Pihak manufaktur juga harus diberi tahu jika dilakukan recall. Semua produk farmasi yang ditarik harus disimpan di area terpisah yang aman untuk menunggu tindakan yang tepat. Kondisi penyimpanan yang sesuai untuk produk farmasi yang ditarik kembali harus dipertahankan selama penyimpanan sampai saat keputusan telah dibuat terkait produk tersebut. Dokumentasi harus tersedia untuk personil yang ditunjuk bertanggung jawab atas penarikan kembali. Dokumen harus memuat informasi yang cukup tentang produk farmasi yang diberikan kepada pelanggan (termasuk jika produk diekspor). Proses recall harus dicatat dan laporan akhir dikeluarkan, mencakup rekonsiliasi antara jumlah produk yang dikirim dan yang diperoleh kembali.[15]


[1] Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik

[2] Gramedia, https://www.gramedia.com/literasi/bioteknologi/, diakses pada 28 April 2022

[3] Porosilmu, https://www.porosilmu.com/2016/04/bioteknologi-farmasi-dan-kedokteran.html, diakses pada 28 April 2022

[4] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[5] Fakultas MIPA Universitas Garut, https://fmipa.uniga.ac.id/read/2020/07/mengenal-pekerjaan-kefarmasian-di-bidang-distribusi.html, diakses pada 28 April 2022

[6] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian

[7] Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian

[8] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi

[9] Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan

[10] IHC Rumah Sakit Krakatau Media, https://krakataumedika.com/info-media/artikel/cdob-cara-distribusi-obat-yang-baik, diakses pada 28 April 2022

[11] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[12] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[13] IHC Rumah Sakit Krakatau Media, https://krakataumedika.com/info-media/artikel/cdob-cara-distribusi-obat-yang-baik, diakses pada 28 April 2022

[14] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[15] Farmasi Industri, https://farmasiindustri.com/cpob/penarikan-kembali-produk-obat.html, diakses pada 28 April 2022

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 36 of 2009 on Health Workers.
  2. Government Regulation No. 51 of 2009 on Pharmaceutical Works.
  3. Regulation of The Minister of Health No. 34 of 2014 concerning Pharmaceutical Wholesalers.

Modern biotechnology has great tension for the improvement of human life and well-being in the agricultural, food, industrial, human health, and environmental sectors. The definition of modern biotechnology itself is officially written in Article 1 number 8 of Government Regulation No. 21 of 2005 concerning Biosafety of Genetically Engineered Products, namely:

“Article 1

  • Modern biotechnology is the application of genetic engineering techniques that include in-vitro Nucleic Acid techniques and cell fusion of two or more types of organisms outside of taxonomic kinship.”

Modern Biotechnology has several types or branches of science, one of which is red biotechnology. Red biotechnology (red biotechnology) is a branch of biotechnology that studies the application of biotechnology in the medical and pharmaceutical fields. This includes all objects of human medicine starting from prevention, diagnosis, and treatment. Examples of its use are found in drugs and vaccines.

In pharmaceutical applications, biotechnology is used for drug manufacturing, gene therapy, genetic testing, and pharmacogenomics. Pharmaceutical biotechnology uses recombinant DNA technology which requires genetic manipulation of monoclonal antibodies to make its products. Formulations in conventional pharmacy are relatively simple molecules that are produced, through trial and error techniques, to treat various symptoms of disease.

In its use to treat the symptoms of disease, the supply of pharmacy is a very important part of health services. Thus, the distribution of pharmaceutical preparations is an activity of distributing both drugs and medicinal ingredients in accordance with the requirements in order to maintain the quality of the pharmaceutical preparations being distributed. Distribution is an important activity that is integrated with pharmaceutical supply chain management. The government itself requires distribution facilities to support the distribution of pharmaceutical needs. The explanation regarding the distribution of pharmaceuticals is explained in Article 1 Number 10 of Government Regulation No. 51 of 2009 on Pharmaceutical Works which explains as follows:

“Article 1

10. Facilities of Distribution or Distribution of Pharmaceutical Supply are facilities used to distribute Pharmaceutical Supply, namely Pharmaceutical Wholesalers and Pharmaceutical Supply Installations.”

The distribution of these drugs is carried out by Pharmaceutical Wholesalers (PBF). PBF is a legal entity company that has a permit for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug ingredients in large quantities in accordance with the provisions of laws and regulations and has a permit in the form of a Pharmacy Distribution Certificate from the Ministry of Health based on the Regulation of the Minister of Health Number 26 of 2018. Meanwhile, Pharmaceutical Supply Installation or Government Pharmaceutical Installation is a facility for storing and distributing pharmaceutical supply and medical devices owned by the Government, both the Central Government and Regional Governments in the context of health services.

In terms of distribution activities or distributing pharmaceutical supply, it is closely related to pharmaceutical works because it is one of their duties. The definition of Pharmaceutical Works itself is regulated in Article 1 number 1 and the implementation of its work is regulated in Article 5 of Government Regulation Number 51 of 2009 on Pharmaceutical Works, which reads as follows:

“Article 1 number 1

Pharmaceutical works is the manufacture including quality control of Pharmaceutical Supply, security, procurement, storage and distribution or distribution of drugs, drug management, drug services based on doctor’s prescriptions, drug information services, as well as drug development, medicinal ingredients and traditional medicines.”

“Article 5

Implementation of Pharmaceutical Works include:

  1. Pharmaceutical Work in the Procurement of Pharmaceutical Supply;
  2. Pharmaceutical Work in the Production of Pharmaceutical Supply;
  3. Pharmaceutical Work in the Distribution of Pharmaceutical Supply; and
  4. Pharmacy Work in the Service of Pharmaceutical Supply.”

Pharmaceutical Wholesaler and Pharmaceutical Wholesaler Branches as distribution facilities and pharmaceutical supply channel have an obligation to have a pharmacist as the person in charge of the implementation of the provisions for the procurement, storage and distribution of drugs and/or drug ingredients as regulated in Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Health Number 34 of 2014 about Pharmaceutical Wholesalers. It is regulated in detail in Article 14 paragraph (2) which confirms that,

“Article 14 paragraph (2)

Pharmacist’s responsible as referred to in paragraph (1) must have a permit in accordance with the provisions of the legislation.”

The authority of pharmacists who are pharmaceutical worker is regulated in Article 108 paragraph (1) of Law Number 36 of 2009 on Health Workers which reads:

“Article 108 paragraph (1)

Pharmaceutical practice which includes manufacture including quality control of pharmaceutical supply, security, procurement, storage and distribution of drugs, drug services based on doctor’s prescriptions, drug information services and development of drugs, medicinal ingredients and traditional medicines must be carried out by health workers who have the expertise and authority in accordance with the provisions of the legislation.”

Pharmaceutical work in the distribution of pharmaceutical supply or drug distribution activities is an activity between production activities and service activities for pharmaceutical supply to the public. Technical activities in this distribution facility refer to the following laws and regulations:

  1. Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;

Regulation governing pharmaceutical wholesalers, namely legal entity company that have permits for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug ingredients.

  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 34 of 2014 on Amendments to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;
  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 30 of 2017 on the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;
  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 26 of 2018 on Electronically Integrated Business Licensing Services for the Health Sector;

Regulation governing the application of electronically integrated business licensing services that function to accelerate and increase capital and business in the health sector.

  • Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 9 of 2019 on Technical Guide for Good Method of Drug Distribution;

Regulation governing the technical guide for good method of drug distribution to ensure its quality along the distribution channel according to the requirements and purposes of use.

  • Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 6 of 2020 on Amendments to the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 9 of 2019 on Technical Guidel for Good Method of Drug Distribution.

Regulation governing the distribution of drugs to ensure the safety, efficacy, and quality of circulating drugs so that the implementation of drug distribution can be applied in every aspects and steps.

According to the regulations and laws regarding Pharmaceutical Wholesalers regulate licensing, warehouses, implementation and supervision as well as guidance, then the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control has the scope of guidelines for the distribution of drugs, medicinal ingredients and biological products including vaccines.

One of the government’s ways to ensure the quality of pharmaceutical distribution preparations is to apply Good Method of Drug Distribution. Good Method of Drug Distribution is a method of drug and/or drug ingredients distribution with the aim of ensuring quality along the distribution channel according to the requirements and purposes of their use. This Good Method of Drug Distribution arrangement is explained by the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control No. 6 of 2020 on Amendments to the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control No. 9 of 2019 on Technical Guide for Good Method of Drug Distribution.

To apply a good method of drug distribution, the thing that must be considered is the distribution channel of pharmaceutical supply. The drug distribution channel starts from the Pharmaceutical Industry which is then distributed to Pharmaceutical Wholesalers and then Pharmaceutical Wholesalers will distribute drugs to Pharmaceutical branches, pharmacies, Hospital Pharmacy Installations, Medical Centers, and Pharmacy Warehouses. However, not all distribution channels of pharmaceutical preparations are the same. Especially in the supply of pharmaceuticals in the form of narcotics and psychotropics, they have special distribution channels. Narcotics can only be distributed from the Pharmaceutical Industry to certain pharmaceutical wholesalers, pharmacies, certain government pharmaceutical storage facilities, and hospitals.

Furthermore, in the distribution of good drugs, there are also several things that need to be considered, namely in the delivery process of the drugs, such as:

  1. The special conditions that requires during the shipping process should be monitored and recorded;
  2. The delivery process must not have a negative effect on the integrity and quality of pharmaceutical supply;
  3. Written procedures must be followed during the process to investigate any deviations related to storage conditions, for example if the temperature of the product storage area during the shipping process is not appropriate;
  4. Products shipped must be traceable during the distribution process;
  5. All pharmaceutical products must be stored and distributed in containers that do not adversely affect its quality, and provide adequate protection from external effects, including microbial contamination. The label affixed to the container must be clear, unambiguous, permanently fixed on the container and not easily erased. Information on labels must match the product. Products containing active and radioactive drugs and other hazardous materials that present a risk of misuse, fire or explosion (for example, flammable liquids, compressed solids and gases) must be stored and transported in secure containers.

Data recapitulation is also required at the time of delivery of pharmaceutical products which in the document must contain the following information:

  1. Delivery time
  2. Name and address responsible for the delivery
  3. Name, address, status of agencies such as retail pharmacy, hospitals and community clinics
  4. Product description includes name, form and strength of the supply
  5. Number of products, such as number of containers and number of products per container
  6. Batch number and expiration date
  7. Transport and storage conditions
  8. Unique number to allow identification of shipping orders.

Not only those data must be required, written systems and procedures are needed to quickly and effectively detect pharmaceutical products that are known or suspected to be defective, with personnel who are responsible for carrying out recalls. The manufacturer must also be notified if a recall is carried out. All recalled pharmaceutical products should be stored in a separate safe area to await appropriate action. Appropriate storage conditions for recalled pharmaceutical products must be maintained during storage until a decision has been made regarding the product. Documentation shall be made available to the designated personnel responsible for recalls. The document must contain sufficient information about the pharmaceutical product provided to the customer (including if the product is exported). The recall process should be recorded and a final report should be issued, including a reconciliation between the number of products that is shipped and recovered.

1 4 5 6 7 8 12
Translate