0

PROVISIONS AND PROCEDURES FOR MERGERS, ACQUISITIONS, AND FRANCHISE OF A COMPANY

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co- Author : Robby Mahaleksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  3. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Usaha dan Pengambilalihan Sahan Perushaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadi Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
  4. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

REFERENSI:

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

Merger dan akuisisi merupakan dua istilah di dunia bisnis yang paling sering disebut, sehingga terkadang kedua istilah tersebut dianggap memiliki arti yang sama. Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut aksi korporasi berupa penggabungan dua perusahaan, Namun, ternyata pengartian dari istilah merger dan akuisisi ternyata berbeda dan harus dipahami. Beberapa perusahaan biasanya lebih memilih menggunakan istilah merger dibandingkan dengan akuisisi ketika membeli sebagian besar saham perusahaan yang lebih kecil.

Merger adalah proses menggabungkan dua perusahaan atau lebih yang kemudian menjadi satu perusahaan saja, dimana perusahaan tersebut mengambil dengan cara menyatukan saham berupa aset dan non aset perusahaan yang di merger. Perusahaan yang melakukan merger dengan perusahaan lainnya harus memiliki setidaknya 50% saham dan sisanya bisa di miliki oleh investor dari luar perusahaan. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya, perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain dimana membeli sebagian besar atau seluruh saham perusahaan lain dengan tujuan untuk mengambil kendali. Tujuan utama sebuah perusahaan bergabung dengan perusahaan lain atau melakukan akuisisi karena perusahaan akan mencapai pertumbuhan lebih cepat daripada harus membangun unit usaha sendiri selain untuk mendapatkan keuntungan. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar. [1]

Pengertian tentang merger juga dijelaskan pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada Pasal 1 ayat (9) yang berisikan:

“Pasal 1

(9) Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang manggabungkan diri berakhir karena hukum.” [2]

            Sedangkan, pengertian dari akuisisi dijelaskan pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)  yaitu:

“Pasal 1

(11) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan terjadinya peralihan pengendalian atas Perseroan tersebut.” [3]

Merger dan akuisisi terbagi menjadi beberapa jenis. Merger sendiri memiliki lima jenis yang berbeda. Pertama, merger konglomerasi yang artinya penggabungan dua atau lebih perusahaan dalam kegiatan bisnis berbeda. Kedua, merger kongenerik/merger ekstensi produk yaitu penggabungan dua atau lebih perusahaan yang beroperasi di sektor yang sama namun dengan cara berbeda. Ketiga, merger perluasan pasar yaitu penggabungan perusahaan yang menjual produk yang sama namun pasarnya berbeda. Keempat, merger horizontal yaitu penggabungan perusahaan yang beroperasi di industri yang sama dan menawarkan produk atau layanan sejenis. Kelima, merger vertical yang merupakan penggabungan perusahaan yang memiliki tingkat berbeda dalam rantai pasokan industri yang sama. Biasanya, pebisnis utama dengan perusahaan distributor yang bekerja sama dengannya. Sedangkan akuisisi hanya memiliki dua jenis. Pertama, merupakan akuisisi aset yaitu suatu perusahaan mengakuisisi aset  perusahaan lain dan mengambil alih sesuai dengan persetujuan para pemegang saham. Biasanya akuisisi aset ini dilakukan karena perusahaa yang diakusisi mengalami kebangkrutan. Kedua, akuisisi manjemen. Akuisisi manajemen yaitu petinggi eksekutif suatu perusahaan memebeli saham pengendali di perusahaan lain sehingga menjadi milik pribadi.

Setiap perusahaan memiliki beberapa tujuan dalam melakukan merger dan akuisisi. Terdapat dua tujuan utama yaitu tujuan ekonomi dan non ekonomi. Tujuan ekonomi dari perusahaan yaitu untuk memaksimalkan nilai perusahaan sehingga mencapai posisi yang strategis di pasar. Selain itu, kemakmuran/kesejahteraan para karyawannya dan pemegang saham juga menjadi salah satu bagian dari tujuan merger dan akuisisi ini. Sedangkan pada tujuan non-ekonomi dari kegiatan merger dan akuisisi ini didasarkan pada keinginan subyektif dari pemilik atau manajemen perusahaan. Seperti karena adanya kepentingan pribadi (personal interest motive) dari pemilik perusahaan maupun manajemen perusahaan maupun karena prestige. 

Perbedaan dari merger dan akuisis dapat dilihat dari prosesnya. Untuk dapat melakukan merger atau penggabungan, setidaknya terdapat lima tahapan yang harus dilakukan yaitu pertama, memenuhi persyaratan penggabungan. Perlu diperhatikan bahwa penggabungan untuk mencegah monopoli atau monopsoni yang dapat merugikan masyarakat. Dalam melakukan penggabungan, perseroan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari instansi terkait. Kedua, menyusun rancangan penggabungan. Setelah rancangan penggabungan tersebut dibuat, kemudian rancangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris setiap perseroan yang akan menggabungkan diri. Ketiga, persetujuan rancangan penggabungan. Setelah rancangan disetujui oleh Dewan Komisaris di setiap PT, selanjutnya harus diajukan pada RUPS yang berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 87:

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat yang artinya hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili RUPS”[4]

Keempat membuat akta penggabungan. Jika penggabungan PT tidak disertai dengan anggaran dasar, salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar PT. Kelima, pengumuman hasil penggabungan. Direksi PT yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan maksimal tiga puluh hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri. Pengumuman dimaksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan penggabungan.

Sedangkan pada akuisisi memiliki dua jenis proses pada pengambilalihannya, yaitu proses pengambilalihan melalui direksi perseroan dan proses pengambilalihan langsung dari pemegang saham. Pada Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan,  dijelaskan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 125

(1) Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan saham yang dimaksud adalah Pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan”[5]

Terdapat tujuh proses pengambilalihan atau akuisisi melalui direksi perseroan. Pertama keputusan RUPS. Pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi ketentuan dan persyaratan  tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 89

Terdapat paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan RUPS yang lebih besar.” [6]

Kedua, Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan. Ketiga, penyusunan rancangan pengambilalihan. Keempat, pengambilalihan ringkasan rancangan. Kelima, pengajuan keberatan kreditor. Keenam, pembuatan akta pengambilalihan di hadapan notaris. Ketujuh, pemberitahuan kepada Menteri, dan yang terakhir pengumuman hasil pengambilalihan.

Sedangkan, pada proses pengambil alihan secara langsung dari pemegang saham memiliki prosedur yang lebih sederhana yaitu wajib tunduk dengan ketentuan akuisisi saham sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa Akuisisi saham wajib memperhatikan ketentuan pemindahan hak atas saham dalam Anggaran Dasar, serta mendapat persetujuan rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengumuman, Direksi perseroan yang akan melakukan akuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan dalam waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai akuisisi sesuai dengan rancangan dimaksud. Apabila kreditor tidak mengajukan keberatan dlm jangka waktu tersebut maka kreditor dianggap menyetujui. Dalam hal keberatan dari kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi perseroan maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Sebelum keberatan ini diselesaikan maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan. Akta pemindahan hak atas saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Salinan dari kata pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang perubahan Struktur Pemegang Saham Perseroan. Direksi perseroan wajib mengumumkan hasil akuisisi dalam 1 surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau sejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Namun perlu di ketahui bahwa dalam proses Merger dan Akuisisi tidak selalu mulus, terkadang muncul penolakan dari pemegang saham. Maka jika merujuk pada 126 UUPT menjelaskan bahwasannya “Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

Hak pemegang saham yang dimaksud dalam Pasal 62 UUPT tersebut adalah: Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:

  1. perubahan anggaran dasar;
  2. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
  3. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.

Jika dilihat dari hukum persaingan usaha di Indonesia, merger dan akuisisi dilarang jika kedua tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 28

Pelaku usaha dilarang nelajukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” [7]

Merger dan Akusisi yang dilakukan oleh pelaku usaha harus memiliki nilai aset hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 2,5 triliun atau nilai penjualan hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 5 triliun wajib diberitahukan secara tertulis kepada KPPU paling lama 30 hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis merger dan akuisisi tersebut diatur berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 29

Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.” [8]

Jika pelaku usaha melakukan keterlambatan dalam melapor setiap transaksi merger atau akuisisi, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 menjelaskan bahwa dikenakan sanksi yaitu:

“Pasal 6

Sanksi hukum yang akan dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban ini dikenakan sanksi berupa denda admnistratif sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar) setiap hari keterlambatan dengan ketentuan denda admistiratif secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh milyar)”[9]

Lain halnya dengan waralaba atau franchise. Waralaba merupakan bentuk kerja sama bisnis antara pemilik merk, produk, atau sistem operasional dengan pihak kedua yang berupa pemberian izin untuk pemakaian merk, produk, dan sistem operasional. Pengertian waralaba tertulis dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba sebagai berikut:

“Pasal 1

  1. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”[10]

Waralaba dilakukan oleh dua pihak yang disebut franchisor dan franchisee. Franchisor  merupakan pemberi waralaba atau disebut juga sebagai pemilik merk dagang/usaha yang memberikan hal penjualan kepada pihak lain. Pihak yang melakukan penjaulan tersebut dapat berupa badan usaha ataupun perseorangan. Sedangkan, Franchisee  merupakan penerima waralaba atau disebut juga sebagai pihak pembeli waralaba yang menerima hak untuk menjalankan bisnis dari franchisor  yang juga dapat berupa badan usaha maupun perseorangan.

Berkembang dari bentuk dsar itu, dikenal empat jenis franchise atau waralab tambagan yaitu:

  1. Master Franchise.

Dalam Kontrak ini, Franchisee juga berhak menjual hak franchise yang di milikinya pada peminta lain yang berada dalam wilayah tertentu

  • Area Development Program.

Franchisee memiliki hak mnegembangkan bisnis franchise yang bersangkutan dalam satu wilayah tertentu, tanpa memiliki hak menjual ulang hak yang dimilikinya. Jadi bedanya dengan master franchise hanya pada ada tidaknya hak untuk menjual ulang franchise yang dibelinya.

  • Joint Venture Franchise Program.

Kontrrak ini terjadi jika Franchisor ikut menginvestasikan dana selain memberikan dukungan manajemen dan teknis. Franchisee tetap bertugas mengembangkan dan mengoperasikan tempat usaha yang bersangkutan. Biaya-biaya yang timbul dan keuntungan yang di peroleh akan di bagi oleh Franchisor dan Franchisee sesuai dengan perjanjian

  • Mixed Franchise.

Tipe ini terjadi jika Franchisor menwarkan paket Franchisee yang memungkinkan Franchisee yang modalnya terbatas untuk mengelolan sebagian fungsi usaha saja. Misalnya produksi dilakukan Franchisor dan franchisee hanya mengelola proses penjualannya saja. Selain paket seperti itu, Franchisor tersebut biasanya juga menawarkan pakt utuh kepada franchisee yang memiliki modal cukup.[11]

Sebagai pengusaha, jika ingin membuka usaha franchise, terdapat syarat yang harus diketahui melalui memahami aspek hukumnya. Pengusaha perlu memperhatikan syarat-syarat dalam mendirikan bisnis waralaba. Pertama, adanya surat tanda pendaftaran waralaba yang menandakan bahwa pengusaha telah melakukan pendaftaran penawaran waralaba bagi pemberi maupun penerima franchise lanjutan. Kedua, perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak yang bertuliskan hak dan kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan oleh kedua pihak. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 4

  1. Waralaba  diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
  2. Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.” [12]

 Ketiga, kriteria waralaba. Kriteria harus terpenuhi untuk menjamin kelayakan kerjasama yang akan dilakukan. Keempat, prospektus penawaran yang merupakan aspek penting dalam menjalin kerjasama. Dalam prospektus penawaran, hal tersebut berisikan tentang susunan laporan keuangan yang tepat dan rinci, standar operasional prosedur (SOP) yang jelas, adaya dukungan dari pemilik waralaba dan mitra bisnis, serta yang paling penting adanya hak kekayaan intelektual dan izin usaha terkait dengan izin usaha franchise yang akan dijalani. Hal ini mencakup kedalam hak merek dan rahasia dagang.  Berkas tersebut harus diserahkan paling lambat dua minggu sebelum penandatanganan surat perjanjian waralaba.

Dengan adanya penjelasan berikut dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai merger, akuisisi dan waralaba kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.


[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

[2] Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 87 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[5] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[6] Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[7] Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[8] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[9] Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[10] Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba

[11] Handowo Dino, Sukses Usaha Memperoleh Dana, dengan Konsentrasi Modal Ventura, Jakarta, Graffiti Press, 1993, hal. 39

[12] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  2. Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition.
  3. Government Regulation No. 57 of 2010 concerning Merger or Merger of Business Entities and Takeover of Company Shares that Can Result in Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.
  4. Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchise.

REFERENCE :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, accessed March 22, 2022

Mergers and acquisitions are two terms in the business world that are most often discussed, so sometimes both terms are  considered to have the same meaning.  Both terms are used to refer to corporate action in the form of the merger of two companies, however, it turns out that the  meaning of the  terms merger and acquisition turns out to be different and must be understood.  Some companies usually prefer to use the term merger as opposed to  acquisition when buying most of the shares of smaller companies.

Merger is the process of combining two or more companies that then become one company only, where the company takes by uniting shares in the form of assets and non-assets of the merged company. Companies that merge with other companies must own at least 50% of the shares and the rest can be owned by investors from outside the company. In this case the buying company will continue its name and identity, the buyer’s company will also take both the assets and liabilities of the purchased company.  An acquisition is the purchase of a company by another company where it buys most or all of the shares of another company with the aim of taking control. The main goal of a company is to join another company or make acquisitions because the company will achieve faster growth than having to build its own business unit in addition to making a profit.  Acquisitions are often used to maintain the availability of raw material supplies or guarantee that products will be absorbed by the market.

The understanding of mergers is also explained in Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT) in Article 1 paragraph (9) which contains:

“Article 1

(9) Merger is a legal action carried out by other existing Company personnel that result in assets and passiva from the Company that merges itself to transfer because of the law to the Company that accepts he subsequent incorporation of legal entity status to the Company that merges ends due to the law

Meanwhile, the understanding of the acquisition is explained in Article 1 paragraph (11) of Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT)  namely:

“Article 1

(11) Takeover is a legal act cariired by a legal entity or individual to take over the Company’s share which results in a transfer of control over the Company”

Mergers and acquisitions are divided into  several types. Mergers  themselves  have five different types.  First, a conglomeration merger  which means the merger of two or more companies in different business activities.  Second, a strategic merger/product extension merger   is the merger of two or more companies operating in the  same sector but in  different ways.  Third,  market expansion mergers are the merger of companies that sell the same products but the market is different.  Fourth, horizontal mergers are the merger of companies that operate in the  same industry and offer similar products or services.  Fifth, a vertical merger that is the incorporation of companies that have different levels in the same industrial  supply chain.  Usually, the main businessman  with the distributor company that cooperates   with him.   Acquisitions  have only two types.  First, it is the acquisition of assets that is, a company acquires the  assets of another  company and takes over in accordance with the  approval of shareholders. Usually the  acquisition of these  assets  is done because the acquired company has bankruptcy. Second,  the acquisition of management. Management acquisition  is the executive executive of  a company buying a controlling stake in  another company so that it becomes private property.

Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic   and non-economic  goals.  The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige.

The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process. To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation. It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of Mergers and acquisitions are divided into  several types. Mergers  themselves  have five different types.  First, a conglomeration merger  which means the merger of two or more companies in different business activities.  Second, a strategic merger/product extension merger   is the merger of two or more companies operating in the  same sector but in  different ways.  Third,  market expansion mergers are the merger of companies that sell the same products but the market is different.  Fourth, horizontal mergers are the merger of companies that operate in the  same industry and offer similar products or services.  Fifth, a vertical merger that is the incorporation of companies that have different levels in the same industrial  supply chain.  Usually, the main businessman  with the distributor company that cooperates   with him.   Acquisitions  have only two types.  First, it is the acquisition of assets that is, a company acquires the  assets of another  company and takes over in accordance with the  approval of shareholders. Usually the acquisition of these assets  is done because the acquired company has bankruptcy.  Second,  the acquisition of management.  Management acquisition  is the executive executive of  a company buying a controlling stake in  another company so that it becomes private property.

Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic   and non-economic  goals.  The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige.

The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process.  To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation.  It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of

Commissioners at each PT, it must then be submitted at the GMS  based on Article 87 paragraph (1) of Law No. 40 of 2008 concerning The Limited Liability Company  explains as follows:

“Article 87

The decision of the GMS is taken based on deliberations for consensus, which means the results of the agreement approved by the shareholders present or represented by the GMS”

The fourth made a joining deed. If the incorporation of THE PT  is not accompanied by the articles of association, a copy of the  merger deed  must be submitted to the Minister to be recorded in the list of PT.  Fifth, the announcement of the results of the merger.  The Board of Directors of PT who receive the merger must announce the results of the merger a maximum of  thirty days from the date of  approval of the  Minister.  The announcement is intended so that   interested  third parties  know that a  merger has been made.

While the acquisition has two types of processes on its takeover, namely the takeover process  through the company’s board of directors and the takeover process  directly from  shareholders.  In the Takeover Process through the Board of Directors of the Company, explained based on Article 125 paragraph (1) of Undang-Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  , namely:

“Article 125

(1) Takeover is carried out by means of takeover of shares that have been issued by the company through the board of directors of the company or directly from shareholders. This is done by a legal entity or individual person. The takeover of the shares in question is a takeover that results in a change of control of the company”

There are seven takeover or acquisition processes  through the company’s directors.  First the decision of the GMS.  The election must be based on the GMS that meets the provisions and requirements on the requirements for gms decision making as intended in Article 89 Undang-Law No. 40  of  2007, namely:

“Article 89

There are at least ¾ (three quarters( of the portion of the total number of shares with votes rights present or represented at the GMS and the decision is valid if approved at least ¾ (three quarters) part of the number of votes issued, unless the article of association determine the quorum of attendance and/or the provisions of the GMS are greater”

Second, Notice to the Board of Directors of the Company.  Third, the preparation of the takeover plan.  Fourth, the takeover of the draft summary.  Fifth, the submission of creditor objections. Sixth, the creation of a  takeover deed in front of a notary.  Seventh, notice to the Minister, and finally the  announcement of the results of the takeover.

Meanwhile, in the process   of taking over directly  from  shareholders has a simpler procedure that  is  obliged to be subject to the provisions of  stock acquisition in accordance with Law No. 40 of 2007.  about the Limited Liability Company  which explains that the acquisition of shares must pay attention to the provisions of the transfer of rights to shares in the Articles of Association, as well as obtaining approval from the General Meeting of Shareholders (GMS). Gms must be carried out no later than 30 (thirty) days after the announcement, the Board of Directors of the company who will make the acquisition must announce a summary of the draft in at least 1 (one) newspaper and announce in writing to the employees of the company within 30 days before the summons of the GMS. Creditors may object to the company within 14 days after the announcement of the acquisition in accordance with the draft. If the creditor does not raise objections within that period of time then the creditor is considered to agree.  In the case of the validity of the creditors until the date of the GMS cannot be completed by the Board of Directors of the company, the objection must be submitted at the GMS to get a settlement. Before these objections are resolved, the acquisition cannot be implemented. The deed of transfer of rights to shares must be declared by notary deed and in Indonesian.  A copy of the word transfer of the right to shares must be attached to the submission of notification to the Minister of Law and Human Rights about changes to the Company’s Shareholder Structure.  The Board of Directors of the Company shall announce the results of the acquisition in 1 or more newspapers within a period of no later than 30 days from the date of notification to the Minister of Law and Human Rights or from the date of approval of changes to the Articles of Association by the Minister of Law and Human Rights.

 But please note that the process of Mergers and Acquisitions is not always smooth, sometimes there is rejection from shareholders. So if referring to 126 UUPT explained that “Shareholders who do not agree to the DECISION of the GMS regarding Merger, Smelting, Takeover, or Separation may only exercise their rights as intended in Article 62 of the Limited Liability Company Law. The implementation of the rights as intended does not stop the process of implementing Merger, Smelting, Takeover, or Separation.

The shareholder rights referred to in Article 62 of the Uupt are: Each shareholder has the right to ask the Company that its shares be purchased at a reasonable price if the person concerned does not agree to the Company’s actions that harm the shareholders or the Company, in the form of:

  1. changes to the articles of association;
  2. transfer or guarantee of the Company’s wealth which has a value of more than 50% (fifty percent) of the Company’s net worth; or
  3. Merger, Merger, Takeover, or Separation.

If the shares requested to be purchased exceed the limit of the provisions of share repurchase by the Company, the Company shall strive for the remaining shares to be purchased by a third party.

When viewed from  the   competition law  in Indonesia, mergers and acquisitions are prohibited if both actions can result in monopolistic practices and unfair business competition. This is  stipulated in Article 28 of Law No. 5  of  1999 concerning Prohibition of  Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:

“Article 28

Business actors are prohibited from combining or smelting business entities that can lead to monopolistic practices and/or unfair business comepetition”

Mergers and Acquisitions carried out by business actors must have the value of assets resulting from mergers and acquisitions exceeding Rp 2.5 trillion or the value of sales of mergers and acquisitions exceeding Rp 5 trillion must be notified in writing to the KPPU no later than 30 working days from the date it has been effective juridically the merger and the acquisition is regulated under Article 29 of Law No. 5 years.  1999  on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:

“Article 29

The merger or merger of a business entity or the takeover of shares as intended in Article 28 which results in the value of the asset and or the value of its sale exceeding a certain amount, must be notified to the Commission, no later than 30 (thirty) days from the date of incorporation, smelting or takeover

If  business actors make a delay in reporting any merger or acquisition transactions, based on Article 6  of Government Regulation No. 57 of 2010 explains that sanctions are subject to:

“Article 6

Legal sanctions that will be imposed on business actors who do not perform this obligation are subject to sanctions in the form of administrative fines of Rp1,000,000,000.00 (one billion) every day delay with the provision of administrative fines as a whole as high as Rp25,000,000,000.00 (two recover five billion)”

Another case with franchise. Franchising is a form of business cooperation between the owner of a brand, product, or operational system with a second party in the form of granting a license to use the brand, product, and operational system. The definition of franchise is written in Article 1 paragraphs (1) of Government Regulation no. 42 of 2007 concerning Franchise as follows:

“Article 1

1) Franchise is a special right owned by an individual or a business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven successful and can be utilized and/or used by other parties based on a franchise agreement.”

Developing from this basic form, there are four types of franchises or mining franchises, namely:

  1. Major Franchise.

In this Contract, the Franchisee is also entitled to sell his franchise rights to other applicants who are in certain areas

  • Regional Development Program.

The franchisee has the right to develop the franchise business in question in a certain area, without having the right to resell the rights drawn. So the difference with the master franchise is only in the presence or absence of the right to resell the franchise he bought.

  • Joint Venture Franchise Program.

This contract occurs if the Franchisor participates in financial support in addition to providing management support and the Franchisee’s management continues to develop and operate the place of business in question. The costs incurred and the profits earned will be shared by the Franchisor and the Franchisor in accordance with the agreement

  • Mixed Franchise.

This type occurs when the Franchisor offers a Franchisee package that allows a Franchisee whose capital is limited to manage only some business functions. For example, production is carried out by the franchisor and the franchisee only manages the sales process. In addition to such packages, the Franchisor usually also offers complete packages to franchisees who have sufficient capital.

As an entrepreneur, if you want to open a franchise business, there are conditions that must be known through understanding the legal aspects. Entrepreneurs need to pay attention to the requirements in setting up a franchise business. First, the existence of a franchise registration certificate indicating that the entrepreneur has registered a franchise offer for the grantor or recipient of a further franchise. Second, the franchise agreement. A franchise agreement is a written agreement made by both parties that states the rights and obligations that must be accounted for by both parties. This is stated in Article 4 paragraphs (1) and (2) of Government Regulation no. 42 of 2007 namely:

“Article 4

1) Franchising is carried out based on a written agreement between the Franchisor and the Franchisee with due observance of Indonesian law.

2) In the event that the agreement as referred to in paragraph (1) is written in a foreign language, the agreement must be translated into Indonesian.”

Third, the franchise criteria. The criteria must be met to ensure the feasibility of the cooperation to be carried out. Fourth, the offer prospectus which is an important aspect in establishing cooperation. In the offer prospectus, it contains the composition of precise and detailed financial statements, clear standard operating procedures (SOP), support from franchise owners and business partners, and most importantly the existence of intellectual property rights and business licenses related to franchise business licenses. which will be carried out. This includes trademark rights and trade secrets. The file must be submitted at least two weeks before the signing of the franchise agreement.

With the following explanation, an appeal to business actors not to hesitate to conduct consultations regarding mergers, acquisitions and franchising to official institutions related to the rules for business mergers or consolidations. The consultation is expected to prevent violations of rules in monopolistic practices and unfair business competition and avoid mistakes that will occur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate