0

FOREIGN INVESTMENT IN THE INDONESIAN FISHERY SECTOR AFTER THE ENTRY OF LAW NUMBER 11 OF 2020 CONCERNING JOB CREATION

Author : Nirma Afianita, Co-Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
  3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Ikan
  6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengelolaan Ikan

BUKU-BUKU :

  1. Likadja, Frans E & Daniel F. Bessi. (1998). Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan. Jakarta : Ghalia Indonesia
  2. Afrianto, Eddy. (1996). Kamus Istilah Perikanan. Bandung : Kanisius.
  3. Sornarajah, M. (2004). The International Law on Foreign Investment. Cambridge : Cambridge University Press.

INTERNET :

Badan Koordinasi Penanaman Modal (2020). “Penanaman Modal Asing di Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 4 November 13.07)

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020). “Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.49)

Kementerian Investasi / BKPM (2020) “UU Cipta Kerja : Dorong Investasi, Ciptakan Lapangan Kerja” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-dorong-investasi-ciptakan-lapangan-kerja (diakses pada tanggal 4 November pukul 13.10)

Muhammad Yunus (2020) “7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan” https://sulsel.suara.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-kerja-terhadap-sektor-kelautan-dan-perikanan?page=all (diakses pada tanggal 5 November Pukul 13.28)

Oki Pratama (2020). “ Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia” https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses pada 4 November 2021, pukul 15.40)

Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina (2021) “Omnibus Law, UU ‘Sapu Jagad’ di Bidang Hukum”  https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu-sapu-jagad-di-bidang-hukum (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.40)

LEGAL BASIS :

  1. 1945 Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as Amended by Law Number 45 of 2009
  3. Law Number 25 of 2007 concerning Investment
  4. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation
  5. Minister of Maritime Affairs and Fisheries Regulation Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fish Supervisory Duties
  6. Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 5 of 2021 concerning Fish Management Business

BOOKS :

  1. Likadja, Frans E & Daniel F. Bessi. (1998). Law of the Sea and Fisheries Act. Jakarta : Ghalia Indonesia
  2. Afrianto, Eddy. (1996). Dictionary of Fisheries Terms. Bandung : Kanisius.
  3. Sornarajah, M. (2004). The International Law on Foreign Investment. Cambridge : Cambridge University Press.

INTERNET :

Investment Coordinating Board (2020). “Foreign Investment in Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/article-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (accessed on November 4, 13.07)

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020). “Analysis of the Law on Employment Creation in the Marine and Fisheries Sector”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sector-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (accessed on November 5, 2021 at 8.49)

Ministry of Investment / BKPM (2020) “Job Creation Law: Encouraging Investment, Creating Jobs” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-push-investasi-ciptakan -employment (accessed on November 4th at 13:10)

Muhammad Yunus (2020) “7 Negative Impacts of the Job Creation Law on the Marine and Fisheries Sector” https://sulsel.voice.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-karya- on-the-marine-and-fisheries-sector?page=all (accessed on November 5th at 13:28)

Oki Pratama (2020). “Water Conservation as an Effort to Maintain Indonesia’s Marine and Fishery Potential” https://kkp.go.id/djprl/article/21045-konservasi-perairan-as-Effort-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (accessed at November 4, 2021, 3:40 p.m.) Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina (2021) “Omnibus Law, Law ‘Sweeping the Universe’ in the Legal Sector” https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu -sapu-universe-in-the-law (accessed on November 5, 2021 at 8.40)

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan fakta yang menunjukan hal demikian maka Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi dengan lautan. Indonesia sebagai negara ‘maritim’ memiliki kekayaan dibidang kelautan dan juga perikanan yang amat luas, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Hanya 2,01 juta km2 yang berupa daratan.[1]

            Dalam hal potensi kelautan, terdapat jenis dan potensi yang sangat beragam, mulai dari pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagaianya, dan dalam hal potensi perikanan, Indonesia juga memiliki bidang usaha di bidang perikanan yang beragam seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya atau akuakultur, dan usaha perikanan pengolahan.

            Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan nasional. Pada tahun 2019, nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai Rp 73.681.883.000 dimana nilai tersebut naik 10.1% dari hasil ekspor tahun sebelumnya, yakni tahun 2018. Hasil laut seperti udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan serta rumput laut merupakan komoditas yang dicari. Banyaknya hasil produksi perkanan di Indonesia perlu dipertahankan dan dijaga. Tanpa pengelolaan dan pengawasan yang baik, perikanan di Indonesia rentan terjadi pelanggaran.[2]

            Bidang perikanan sebagai salah satu sektor yang sangat penting bagi pembangunan nasional, khususnya di bidang penyediaan kebutuhan protein hewani untuk penduduk Indonesia. Hasil laut yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, khususnya di wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Potensi sumber daya alam hayati di ZEEI merupakan potensi yang memberikan kemungkinan untuk dimanfaatkan secara langsung. Sumber daya alam hayati tersebut, sekaligus berfungsi sebagai pendukung sumber daya perikanan di seluruh perairan Indonesia.[3]

Saat ini pemanfaatan sumber daya ikan untuk meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengolahan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum masih kurang optimal. Sehingga perlu adanya pembangunan dalam mengoptimalkan sumber daya ikan tersebut. Fasilitas dan infrastruktur yang memadai menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan kualitas pemanfaatan sumber daya ikan yang ada di Indonesia. Untuk meingkatkan pembangunan ekonomi dalam sektor perikanan di Indonesia diperlukan suatu kegiatan usaha dalam mengolah hasil sumber daya ikan tersebut. Bahwa sektor perikanan di Indonesia masih memerlukan beberapa pembenahan, seperti sumber daya manusia yang berkualitas, keamanan berusaha, konsistensi kebijakan, kepastian huku, kebijakan pajak yang baik, hingga ketersediaan sumber modal.[4]

            Ketersediaan modal yang masih terbatas menjadikan pertumbuhan yang lamban untuk meningkatkan kualitas perikanan di Indonesia. Untuk mempercepat pembangunan ekonomi di sektor perikanan maka pemerintah Republik Indonesia memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pengertian dari penanaman modal itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.[5]

            Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolak ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat tujuan dari penanaman modal yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, target untuk mencapai pertumbuhan pembangunan ekonomi yang tinggi disektor perikanan Indonesia tidak lain salah satunya adalah dari tingkat investasi penanaman modal, baik penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri. Target tersebut dapat ditempuh apabila kebijakan-kebijakan mengenai penanaman modal dan suasana usaha sudah kondusif dan atraktif bagi para penanam modal.

            Penanaman modal asing (PMA) terhadap sektor perikanan di Indonesia dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia [6], namun di sisi lain ada beberapa dalmpak yang dialami oleh golongan nelayan lokal. Dampak-dampak tersebut dapat mematikan usaha nelayan lokal dan mengurangi pendapatan di sektor lokal. Hal ini menimbulkan pro dan kontra mengenai penanaman modal asing di sektor perikanan dan pertumbuhan ekonomoi masyarakat lokal. Banyak perusahaan asing yang kerap melakukan kecurangan-kecurangan di sektor perikanan, misalnya status hukum perusahaan tidak berubah menjadi perusahaan PMA, perusahaan yang fiktif, langsung membawa ikan keluar negeri dan pelanggaran fishing ground.

            Akan tetapi, pemerintah sudah mulai mengatasi permasalahan-permasalah tersebut, dengan langkah-langkah dan kebijakan yang dilakukan dan diterapkan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2014-2019, yang menentang keras tentang penangkapan ikan yang merusak lingkungan, contohnya Perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan SNI. Sejak pergantian periode masa jabatan, terpilihnya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) yang baru yakni Edhy Prabowo, hal tersebut diperbolehkan kembali, tetapi setelah tertangkapnya mantan Menteri KKP tersebut, dan digantikan oleh Sakti Wahyu Trenggono, peraturan mengenai larangan untuk menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan SNI tersebut diberlakukan kembali.

            Persoalan mengenai perizinan untuk menanam modal dari pihak asing maupun dalam negeri juga sudah dimudahkan, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dimana peraturan perundang-undangan tersebut menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal diyakini akan membawa dampak positif terutama dalam hal mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja untuk meningkatkan perekonomian nasional. Hal ini dijabarkan oleh BKPM karena Undang-Undang Cipta Kerja membuat lebih mudahnya pembukaan usaha (kemudahaan berusaha) dalam hal perizinan berusaha bagi investor, serta di penguatan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) dimana hal ini ditegaskan oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bahwa berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja akan memberikan ruang yang sangat besar bagi UMKM.[7]

            Serta dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengenai perubahan tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana dalam perubahan ini terjadi pemindahan kekuasaan, yakni sentralisasi, dimana pemerintah pusat mengambil alih urusan perizinan usaha di bidang perikanan, dibantu dengan pemerintah daerah.[8]

Sebelum membahas dampak pelaksanaan prosedur penanaman modal asing di sektor perikanan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kita harus memahami Pengertian Penanaman Modal Asing atau Foreign Investment  menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negri.[9] Selanjutnya, definisi Foreign Investment juga dikemukakan oleh Para Ahli salah satunya oleh seorang akademisi hukum Prof. M. Sornarajah, dimana ia mengartikan bahwa foreign investment adalah transfer modal, baik yang nyata maupun yang tidak nyata dari suatu negara ke negara lain, tujuannya untuk digunakan di negara tersebut agar menghasilkan keuntungan di bawah pengawasan dari pemilik modal, baik secara total atau sebagian.[10]

Indonesia dijuluki sebagai negara maritim, dimana julukan ini melekat karena sebagaian besar wilayah Indonesia dikelilingi oleh Perairan, konsep negara maritim ini dimaksud dengan negara yang luas wilayah perairannya lebih besar daripada wilayah daratannya. Oleh karena wilayah perairan Indonesia lebih luas daripada daratan, maka Indonesia memiliki potensi yang lebih besar di bidang kelautan dan perikanan.

Perikanan di Indonesia adalah salah satu sektor atau bidang yang patut menjadi sorotan dalam hal investasi, karena potensinya yang besar untuk dikembangkan serta dikelola. Pengertian perikanan itu sendiri tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang berbunyi :

“ Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, prduksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. “[11]

Undang-Undang Perikanan mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana terdapat beberapa pasal yang dirubah melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja , atau Omnibus Law. Omnibus Law adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah Undang-Undang lain. Konsep Undang-Undang itu umumnya ditemukan dalam sistem hukum seperti di Amerika Serikat, dan jarang ditemui dealam sistem hukum sipil seperti di Indonesia.[12] Dimana di Indonesia Omnibus Law itu baru pertama kali diterapkan melalui berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Cakupan perubahan Undang-Undang di dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut sangat luas, salah satunya di bidang perikanan, salah satu perubahan ada pada sentralisasi kewenangan, yang sebelumnya kewenangan semua berada di tangan Kementrian Kelautan dan Perikanan, sekarang dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Apabila terdapat kewenangan yang berada pada Pemerintah Daerah sekalipun, maka Kriteria untuk memiliki izin usaha-nya harus dibuat oleh Pemerintah Pusat.

Perubahan yang signifikan berada pada perizinan usaha yang dipermudah, dimana terdapat banyak sektor yang perizinan usahanya diselenggarakan berdasarkan perizinan berusaha berbasis risiko. Pada peraturan sebelumnya, terdapat prosedur yang lebih rumit bagi Investor untuk menanam modal pada sektor perikanan, akan tetapi sekarang setelah dipermudahnya izin untuk investor terutama investor asing, maka membuka peluang untuk para investor terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, melalui penanaman modal asing dalam hal untuk memajukan perekonomian nasional.

Beberapa Pasal Undang-Undang Cipta Kerja menggabungkan jenis-jenis izin. Contohnya, Pasal 18 Angka 16 Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan terminologi “Perizinan Berusaha”, dimana teks asli pada Undang-Undang sebelumnya menggunakan 2 (dua) terminologi berbeda yaitu “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”. Dapat diartikan bahwa terjadi penyederhanaan perizinan berusaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui berlakunya peraturan ini. Contoh lainnya adalah Pasal 27 Angka 5 dan Pasal 27 Angka 6 Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan frasa “Perizinan Berusaha” dimana teks pada Undang-Undang sebelumnya adalah SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Tidak ada pasal maupun penjelasan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat memberikan pemahaman mengenai bagaiamana materi muatan dan fungsi izin-izin tersebut dapat dipertahankan setelah diubah/dileburkan ke dalam “Perizinan Berusaha”. [13]

Selain hal tersebut, Pasal 22 Angka 1 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah “Izin Lingkungan” menjadi “Persetujuan Lingkungan”. Digantinya izin menjadi persetujuan akan menurunkan fungsi, efektivitas, dan pengendalian. Izin memiliki kemampuan untuk secara efektif berfungsi sebagai instrumen pengendalian kegiatan, pencegahan pelanggaran, dan pengawasan masyarakat.[14]

Karena sekarang dipermudahnya urusan perizinan yang sederhana, Untuk membuka peluang di sektor perikanan agar banyak investor yang masuk, dalam hal ini khususnya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di sektor perikanan Indonesia , karena tahun-tahun sebelumnya sektor perikanan di Indonesia adalah sektor yang paling tidak diminati oleh investor.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak hanya menimbulkan dampak positif, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif, salah satunya juga berkaitan dengan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat, dimana hal ini dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Di sektor perikanan, kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada Menteri berpindah ke Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden. Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan ikan.[15] Sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat juga mereduksi hak otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[16]

Pengawasan pemerintah mengenai penanaman modal di sektor perikanan Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law banyak mengganti dan/atau mencabut peraturan yang berlaku, dengan memberlakukan peraturan yang baru. Sehingga, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, Pemerintah pada sektornya masing-masing mengeluarkan banyak aturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu sendiri.

Seperti pembahasan sebelumnya, telah dibahas tentang sentralisasi dimana sebelumnya kewenangan diserahkan kepada Menteri atau Pemerintah Daerah, sekarang kewenangan tersebut berada pada Pemerintah Pusat. Akan tetapi, tidak banyak terjadi perubahan dalam hal pengawasan di sektor Perikanan.

Dalam sektor perikanan, pengawasan di sektor perikanan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. Dimana dijelaskan bahwa pengawas perikanan adalah pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan telah diangkat menjadi pengawas perikanan, dapat berasal dari instansi pusat maupun instansi daerah.[17]

Pengawasan terhadap sektor Perikanan yang dilakukan oleh Pengawas Perikanan dijelaskan dalam Bab III tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas, dan dalam Pasal 9 mengatur hal-hal yang diawasi oleh pengawas perikanan, yang berbunyi :

Pasal 9

  • Pelaksanaan tugas pengawasan perikanan di WPPNRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilakukan terhadap :
  • penangkapan ikan;
  • pembudidayaan ikan dan pembenihan ikan;
  • pengangkutan dan distribusi keluar masuk ikan;
  • pelindungan jenis ikan;
  • terjadinya pencemaran akibat perbuatan manusia;
  • pemanfaatan plasma nutfah;
  • penelitian dan pengembangan perikanan;
  • pembangunan kapal perikanan di galangan kapal; dan
  • pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada usaha perikanan.
  • Pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
  • patroli pengawasan; dan
  • pemantauan pergerakan Kapal Perikanan.
  • Patroli pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilaksanakan untuk:
    • mencegah terjadinya kegiatan perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur serta kegiatan yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya;
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian izin pemanfaatan plasma nutfah;
    • memeriksa tingkat pencemaran akibat perbuatan manusia;
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian izin penelitian dan pengembangan perikanan; dan
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian sertifikat dan kriteria kepatuhan hak asasi manusia pada Usaha Perikanan.
  • Pemantauan pergerakan Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan untuk:
    • mengetahui posisi, pergerakan, dan aktivitas Kapal Perikanan;
  • mendeteksi kepatuhan operasional Kapal Perikanan; dan
  • penyelamatan terhadap Kapal Perikanan yang menghadapi masalah di laut.
  • Apabila dalam patroli pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat Kapal Perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal Pengawas Perikanan dan/atau awak Kapal Perikanan, Pengawas Perikanan dapat melakukan tindakan khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. [18]

Dalam sektor perikanan, dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengolahan Ikan, Pada Pasal 26 dijelaskan bahwa Menteri, Gubernur Bupati / Walikota mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemenuhan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang ingin melakukan usaha di sektor perikanan.[19]

Pada dasarnya pengawasan di sektor perikanan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban antara penanam modal yang melakukan kegiatan usaha dengan pemerintah sebagai menerima modal. Pengawasan ini sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha mulai dari prosedur-prosedur yang telah ditetapkan sampai pada pelaksanaan kegiatan usaha agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan atas peraturan yang berlaku.

Pelaksanaan PMA di sektor perikanan Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian untuk mewujudkan pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, pada prinsipnya memberi penyederhanaan perizinan dan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha maupun investor untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia. Salah satu sektor usaha prioritas pada UU Cipta Kerja ini yaitu sektor kelautan dan perikanan, dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya sektor kelautan dan perikanan yang paling tidak diminati oleh investor,  baik asing maupun dalam negeri.

Akan tetapi, sentralisasi kewenangan kepada Pemerintah Pusat dapat melemahkan fungsi otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan merupakan tugas penting yang harus dilaksanakan dalam bidang apapun, dalam sektor perikanan pengawasan dilakukan oleh Pengawas Perikanan dimana dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan, mengatur tentang pengawasan dalam aktivitas penangkapan ikan hingga perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada usaha perikanan. Dimana pengawasan dilakukan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban, antara penanam modal dengan pemerintah.

Dalam hal pelaksanaan prosedur, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja pada sektor perikanan, terkait dengan sentralisasi kewenangan, Pemerintah Pusat harus memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah, karena apabila penentuan kriteria berada pada Pemerintah Pusat, maka hasilnya tidak akan objektif, karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda terkait perikanan, dan Pemerintah Daerah merupakan perwakilan setiap daerah yang lebih mengetahui dan mendalami potensi-potensi pada daerah itu sendiri. Serta dalam hal pengawasan, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan pengawasan yang lebih ketat terkait sektor perikanan, karena sektor perikanan sedang membuka peluang untuk para investor asing agar bisa menanamkan modalnya.


[1] Oki Pratama, “ Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia” https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses pada 4 November 2021, pukul 15.40)

[2] ibid

[3] Frans E. Likadja & Daniel F. Bessi, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), h. 41.

[4] Eddy Afrianto, et.al., Kamus Istilah Perikanan, Kanisius, Bandung, hlm 103

[5] UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[6]Badan Koordinasi Penanaman Modal, “Penanaman Modal Asing di Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 4 November 13.07)

[7] Kementerian Investasi / BKPM, “UU Cipta Kerja : Dorong Investasi, Ciptakan Lapangan Kerja” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-dorong-investasi-ciptakan-lapangan-kerja (diakses pada tanggal 4 November pukul 13.10)

[8] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[10] M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 7.

[11] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

[12] Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina, “Omnibus Law, UU ‘Sapu Jagad’ di Bidang Hukum”  https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu-sapu-jagad-di-bidang-hukum (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.40)

[13] Indonesia Ocean Justice Initiative, “Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.49)

[14] Ibid.

[15] Muhammad Yunus, “7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan” https://sulsel.suara.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-kerja-terhadap-sektor-kelautan-dan-perikanan?page=all (diakses pada tanggal 5 November Pukul 13.28)

[16] Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[17] Pasal 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Ikan

[18] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan

[19] Pasal 26 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengelolaan Ikan

Indonesia is the largest archipelagic country in the world, with facts that show this, Indonesia is an archipelagic country surrounded by oceans. Indonesia as a ‘maritime’ country has vast wealth in the field of marine and fisheries, stretching from Sabang to Merauke. Indonesia has 17,499 islands with a total area of ​​around 7.81 million km2. Of the total area of ​​3.25 million km2 is the ocean and 2.55 million km2 is the Exclusive Economic Zone (EEZ). Only 2.01 million km2 is land.

In terms of marine potential, there are very diverse types and potentials, ranging from marine tourism, maritime industry, transportation services and so on. or aquaculture, and fishery processing business.

Fisheries are one of the sectors that are relied upon for national development. In 2019, the export value of Indonesian fishery products reached Rp. 73,681,883,000, which was an increase of 10.1% from the export results of the previous year, namely 2018. Marine products such as shrimp, tuna, squid, octopus, crabs and seaweed are commodities that searching for. The large number of fish products in Indonesia need to be maintained and maintained. Without good management and supervision, fisheries in Indonesia are vulnerable to violations.

The fishery sector is one sector that is very important for national development, especially in the field of providing animal protein needs for the Indonesian population. Indonesia’s marine products are very abundant, especially in the ZEEI (Indonesian Exclusive Economic Zone) area. The potential of living natural resources in ZEEI is a potential that provides the possibility to be utilized directly. These biological natural resources also function as a supporter of fishery resources in all Indonesian waters.

Currently, the use of fish resources to improve the standard of living in a sustainable and equitable manner through fishery processing, supervision, and law enforcement systems is still not optimal. So there is a need for development in optimizing these fish resources. Adequate facilities and infrastructure are one of the main factors to improve the quality of utilization of fish resources in Indonesia. To increase economic development in the fisheries sector in Indonesia, a business activity is needed to process the results of these fish resources. That the fisheries sector in Indonesia still needs some improvements, such as quality human resources, business security, policy consistency, legal certainty, good tax policies, to the availability of capital sources.

The limited availability of capital makes growth slow to improve the quality of fisheries in Indonesia. To accelerate economic development in the fisheries sector, the government of the Republic of Indonesia provides opportunities for foreign parties to invest in Indonesia. The definition of investment itself according to Law Number 25 of 2007 concerning Investment is an investment activity to carry out business in the territory of the Republic of Indonesia carried out by foreign investors, both those who use foreign capital wholly or jointly with domestic investors. .

According to Law Number 25 of 2007 concerning Investment (UUPM) Article 3 paragraph (2) states that the objectives of implementing investment are, among others, to increase national economic growth, create employment opportunities, promote sustainable economic development, improve the competitiveness of the business world. nationally, increasing the capacity and capability of national technology, encouraging the development of the people’s economy, turning the potential economy into a real economic power by using funds originating from within the country as well as from abroad and improving the welfare of the people. Seeing the purpose of investment in accordance with Law Number 25 of 2007 concerning Investment, the target to achieve high economic development growth in the Indonesian fisheries sector is none other than the level of investment investment, both foreign investment or domestic investment. . This target can be achieved if the policies regarding investment and the business atmosphere are conducive and attractive for investors.

Foreign investment (PMA) in the fisheries sector in Indonesia can help increase economic growth in Indonesia, but on the other hand there are several impacts experienced by local fishermen. These impacts can kill local fishing businesses and reduce income in the local sector. This raises the pros and cons of foreign investment in the trade sector and local community economic growth. Many foreign companies often commit fraud in the fisheries sector, for example the legal status of the company does not change to a PMA company, a fictitious company, directly bringing fish out of the country and violating the fishing ground.

However, the government has started to address these problems, with the steps and policies implemented and implemented by the former Minister of Maritime Affairs and Fisheries for the 2014-2019 period, which strongly opposes fishing that damages the environment, for example, capture fisheries using fishing gear. fish that do not comply with SNI. Since the change of term of office, the election of the new Minister of Maritime Affairs and Fisheries (KKP), namely Edhy Prabowo, has been allowed to return, but after the arrest of the former Minister of Marine Affairs and Fisheries, and replaced by Sakti Wahyu Trenggono, regulations regarding the prohibition of using inappropriate fishing gear with the SNI re-enacted.

The issue of licensing for investment from foreign and domestic parties has also been facilitated, with the issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. Where the legislation according to the Investment Coordinating Board is believed to have a positive impact, especially in terms of encouraging investment and creating jobs to improve the national economy. This is explained by the BKPM because the Job Creation Law makes it easier to open a business (ease of doing business) in terms of business licensing for investors, as well as in strengthening MSMEs (Micro, Small and Medium Enterprises) where this is emphasized by the Head of BKPM Bahlil Lahadalia that the enactment of The Job Creation Act will provide a very large space for MSMEs.

As well as in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation regarding changes to Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as amended by Law Number 45 of 2009, where in this change there is a transfer of power, namely centralization, where the central government take over business licensing affairs in the fishery sector, assisted by the local government.

Before discussing the impact of implementing foreign investment procedures in the fishery sector after the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, we must understand the Definition of Foreign Investment according to Article 1 Number 3 of Law Number 25 of 2007 is an investment activity to carry out business in the territory of the Republic of Indonesia carried out by foreign investors, whether using fully foreign capital or in joint ventures with domestic investors. Furthermore, the definition of Foreign Investment was also put forward by experts, one of which was a legal academic, Prof. M. Sornarajah, where he means that foreign investment is the transfer of capital, both real and intangible, from one country to another, the purpose of which is to be used in that country to generate profits under the supervision of the owner of the capital, either in total or in part.

Indonesia is dubbed as a maritime country, where this nickname is attached because most of Indonesia’s territory is surrounded by waters. Because Indonesia’s territorial waters are wider than the mainland, Indonesia has greater potential in the marine and fisheries sector.

Fisheries in Indonesia is one of the sectors or fields that deserves to be highlighted in terms of investment, because of its great potential to be developed and managed. The definition of fishery itself is stated in Article 1 Point 1 of Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries, which reads:

” Article 1

In this Law what is meant by:

1. Fishery is all activities related to the management and utilization of fish resources and their environment from pre-production, production, processing to marketing, which are carried out in a fishery business system. “

The Fisheries Law refers to Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as amended by Law Number 45 of 2009, where there are several articles that have been amended through the issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, or the Omnibus Law. Omnibus Law is a term to refer to a law that deals with various topics and is intended to amend, trim and/or revoke a number of other laws. The concept of the law is generally found in legal systems such as in the United States, and is rarely encountered in civil law systems such as in Indonesia. Where in Indonesia the Omnibus Law was implemented for the first time through the enactment of Law No 11 of 2020 concerning Job Creation.

The scope of the amendments to the Law in the Job Creation Act is very broad, one of which is in the field of fisheries, one of the changes is in the centralization of authority, previously all authority was in the hands of the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, is now transferred to the Central Government. Even if there is authority that lies with the Regional Government, the criteria for having a business license must be made by the Central Government.

A significant change is in the simplified business licensing, where there are many sectors whose business licenses are carried out based on risk-based business licensing. In the previous regulation, there were more complicated procedures for investors to invest in the fisheries sector, but now that permits have been made easier for investors, especially foreign investors, it opens up opportunities for investors, especially foreign investors to invest in Indonesia, through foreign investment in matters to advance the national economy.

Several Articles of the Job Creation Law combine different types of permits. For example, Article 18 Number 16 of the Job Creation Law which uses the terminology “Business Licensing”, where the original text in the previous Law used 2 (two) different terminology, namely “location permit” and “management permit”. It can be interpreted that there is a simplification of business licensing carried out by the government through the enactment of this regulation. Another example is Article 27 Number 5 and Article 27 Number 6 of the Job Creation Law which uses the phrase “Business Licensing” where the texts in the previous Law were SIUP (Fishing Business Permit), SIPI (Fishing Permit), and SIKPI (Fish Transport Vessel Permit). There are no articles or explanations in the Job Creation Act that can provide an understanding of how the content and function of these permits can be maintained after being changed/consolidated into “Business Licensing”.

In addition to this, Article 22 Number 1 of the Job Creation Law changes the “Environmental Permit” to “Environmental Approval”. The replacement of permits into approvals will reduce the function, effectiveness, and control. Permits have the ability to effectively function as an instrument for controlling activities, preventing violations, and supervising the community.

Because now simple licensing matters are made easier, To open up opportunities in the fishery sector so that many investors enter, in this case especially foreign investors who want to invest in the Indonesian fishery sector, because in previous years the fisheries sector in Indonesia was the least desirable sector. by investors.

The enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation not only has a positive impact, but also has a negative impact, one of which is also related to the centralization of the authority of the central government, where this can reduce the control function on the level of exploitation of marine and fishery resources. In the fishery sector, the authority to determine fishery potential, which was previously in the hands of the Minister, is transferred to the Central Government, led by the President. In fact, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries is a technical institution that is qualified and authorized in terms of fish management. The centralization of authority to the central government also reduces the autonomy rights owned by regional governments, both provincial and district based on Article 18 paragraph (5) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Government supervision regarding investment in the Indonesian fishery sector after the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation or the Omnibus Law has replaced and/or revoked the applicable regulations, by enacting new regulations. Thus, after the enactment of the Job Creation Law, the Government in their respective sectors issued many implementing regulations which were derivatives of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation itself.

Like the previous discussion, we have discussed centralization where previously the authority was delegated to the Minister or Regional Government, now the authority lies with the Central Government. However, not much has changed in terms of supervision in the Fisheries sector.

In the fishery sector, supervision in the fishery sector is regulated in the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fisheries Supervisory Duties. Where it is explained that fishery supervisors are civil servants who meet the requirements and have been appointed as fisheries supervisors, they can come from central or regional agencies.

Supervision of the Fisheries sector carried out by the Fisheries Supervisor is described in Chapter III regarding Procedures for the Implementation of Duties, and in Article 9 regulates matters that supervised by the fishery supervisor, which reads:

“Article 9”

(1) The implementation of fishery supervision duties at WPPNRI as referred to in Article 8 letter a, shall be carried out on:

a. fish catching;

b. fish farming and fish hatchery;

c. transportation and distribution in and out of fish;

d. protection of fish species;

e. the occurrence of pollution due to human actions;

f. utilization of germplasm;

g. fishery research and development;

h. construction of fishing vessels in shipyards; and

i. protection and respect for human rights in fishery business.

(2) The implementation of the Fishery Supervisory duties as referred to in paragraph (1) shall be carried out by:

a. surveillance patrols; and

b. monitoring the movement of fishing vessels.

(3) Supervision patrols as referred to in paragraph (2) letter a, are carried out for:

a. prevent illegal, unreported and unregulated fishing activities and activities that damage fish resources and the environment;

b. check the completeness, validity and suitability of the germplasm utilization permit;

c. check the level of pollution due to human actions;

d. check the completeness, validity, and suitability of fishery research and development permits; and

e. check the completeness, validity, and suitability of certificates and criteria for compliance with human rights in fishery businesses.

(4) Monitoring the movement of Fishing Vessels as referred to in paragraph (2) letter b, is carried out for:

a. knowing the position, movement, and activity of the Fishing Vessel;

b. detect operational compliance of Fishing Vessels; and

c. rescue of fishing vessels facing problems at sea.

(5) If in the surveillance patrol as referred to in paragraph (3) there are fishing vessels trying to escape and/or fighting and/or endangering the safety of the fisheries supervisory ship and/or the crew of the fishing vessel, the fisheries supervisor can take special actions in accordance with the provisions of the legislation. -invitation. “

In the fishery sector, the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 5 of 2021 concerning Fish Processing Business is issued, Article 26 explains that the Minister, Governor, Regent / Mayor have the authority to supervise the fulfillment of obligations that must be fulfilled by business actors who want to do business in the fishery sector.

Basically, supervision in the fisheries sector aims to create a balance of rights and obligations between investors conducting business activities and the government as receiving capital. This supervision is very necessary to maintain business continuity starting from the established procedures to the implementation of business activities so that there are no deviations from the applicable regulations.

The implementation of PMA in the Indonesian fishery sector has an important role in advancing the economy to realize national development. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, in principle, provides simplification of licensing and ease of doing business for business actors and investors to start and run businesses in Indonesia. One of the priority business sectors in the Job Creation Law is the marine and fishery sector, because in previous years the marine and fishery sector was the least attractive to investors, both foreign and domestic.

However, the centralization of authority to the central government can weaken the autonomy function given to regional governments. Supervision is an important task that must be carried out in any field, in the fisheries sector supervision is carried out by the Fisheries Supervisor where in Article 9 of the Regulation of the Minister of Maritime Affairs and Fisheries Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fisheries Supervisory Duties, regulates supervision in fishing activities until protection and respect for human rights in fishery business. Where supervision is carried out to create a balance of rights and obligations, between investors and the government. In terms of the implementation of procedures, after the enactment of the Job Creation Law in the fisheries sector, related to the centralization of authority, the Central Government must give wider authority to the Regional Government, because if the determination of the criteria is with the Central Government, the results will not be objective, because each regions have different potentials related to fisheries, and the Regional Government is the representative of each region who is more aware of and explores the potentials of the region itself. As well as in terms of supervision, both the Central Government and Regional Governments must carry out stricter supervision related to the fisheries sector, because the fisheries sector is opening up opportunities for foreign investors to invest their capital.

Translate