0

INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS: PROTECTION AND COMMERCIALIZATION OF BUSINESS

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

REFERENSI:

  1. Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
  3. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
  4. Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual , (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Waralaba, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Komersialisasi HKI melalui Lisensi.

Kekayaan Intelektual adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR) dan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai Intellectual Eigendom.[1] Kekayaan Intelektual (KI) atau yang sering disebut “Intellectual Property” adalah Hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan-penemuan penting di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda yang tidak berwujud (Benda Immateriil) benda dalam hukum perdata dapat di klasifikasikan kedalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu ialah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat di lihat batasan benda yang terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi[2] :

“Pasal 499 KUHPerdata

Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.[3]

Rumusan lain dari pasal tersebut dapat diturunkan kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang di maksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503 KUHPerdata yaitu[4]:

“Pasal 503 KUHPerdata

Ada barang yang bertubuh (berwujud) dan ada barang yang tak bertubuh (tidak berwujud).[5]

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan kekayaan intelektual adalah terpisahnya antara haknya sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Suatu contoh dapat di kemukakan misalnya hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa kekayaan intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang di lindungi dalam kerangka kekayaan intelktual adalah Haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh Hukum Benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).[6]

Penggolongan Kekayaan Intelektual dapat digolongkan dalam dua lingkup[7]:

  1. Hak Cipta (Copy Rights)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).

Adapun dalam lingkup Hak Kekayaan Idnustri mencakup :

  1. Merek Dagang
  2. Paten
  3. Rahasia Dagang
  4. Desain Industri
  5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  6. Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap Pencipta. Dalam perkembangannya kemudian menjadi pranata hukum yang di kenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19. Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).[8]

TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs adalah tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO. Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs.[9]

Pengaturan Paten terhadap Material Biologis:

                Di Australia, gen manusia dan proses biologis dilarang untuk dijadikan objek paten. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Paten tersebut menyatakan bahwa

bahan biologis termasuk komponen dan turunannya, baik diisolasi atau dimurnikan atau tidak dan bagaimanapun dibuat, yang identic atau secara substansial indentik dengan bahan seperti yang ada di alam”

bukan merupakan bentuk penemuan yang dapat dipatenkan. Kemudian di ayat (3) disebutkan bahwa

tanaman dan hewan, dan proses biologis untuk menghasilkan tumbuhan dan hewan juga dikecualikan untuk dilindungi paten”.

Namun menurut Pasal 18 ayat (4) pengecualian tidak berlaku jika invensi tersebut merupakan proses mikrobiologis atau produk dari proses tersebut. Selanjutnya, di Pasal 18 ayat (5) mendefinisikan “material biologis” adalah DNA, RNA, protein, cell, cairan, namun tidak mendeskripsikan kata “komponen dan turunannya” dan “identik substansial”.[10] Sementara di Indonesia sendiri pengaturan terkait paten terhadap mikrobiologi dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disebutkan,

invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi: (d) makhluk hidup, kecuali jasad renik; (e) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis”

                Lain halnya di Malaysia, paten dapat diberikan terhadap invensi baru, memiliki langkah inventif, dapat diterapkan di industri, dan inovasi tersebut dalam bentuk produk dan proses. Sementara di Pasal 13 ayat 1(b) Undang-Undang Paten 1983 menyatakan bahwa mikroorganisme buatan manusia, proses mikrobiologis, dan produk dari proses tersebut dapat dipatenkan. Tidak ada pengaturan untuk pengecualian, namun pada pasal 3 ayat 1(a), suatu “discovery” tidak dapat dipatenkan.[11]

Terdapat Empat Teori yang menjadi landasan atas perlindungan HaKI, antara lain :

  1. Teori Hak Alami

Teori Hak Alami bersumber dari Teori hukum Alam. Penganut Teori hukum alam antara lain lain Thomas Aquinas, Jhon Locke, Hugo Grotius. Menurut Jhon Locke menyatakan bahwa: “secara alami manusia adalah agenda moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan”.[12]

  • Teori Karya

Teori karya merupakan kelanjutan dar teori hak alami. Jika pada teori hak alami titik tekannya pada kebebasan manusia bertindak dan melakukan sesuatu, pada teori karya titik tekannya pada aspek proses menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang dihasilkan. Semua orang memiliki otak, namun tidak semua orang mampu mendayagunakan fungsi otaknya (intellectual) untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Teori Motivasi yang di kemukakan oleh David Mc Clelland menyatakan bahwa :“seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi”.[13]

  • Teori Pertukaran Sosial

Penganut Teori ini antara lain George C. Hotman dan Peter Blau. Teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomi yang elementer. Orang yang menyediakan barang dan jasa tentu akan mengharapkan balasan berupa barang atau jasa yang di inginkannya. Hal yang penting dicatat, tidak semua transaksi sosial dapat di ukur secara nyata misalnya dengan uang, barang atau jasa, adakalanya justru yang lebih berharga adalah hal yang tidak nyata, seperti penghormatan dan persahabatan.[14]

  • Teori Fungsional

Penganut teori ini antara lain Talcot Parsons dan Robert K. Merton. Kajian Teori fungsional atau fungsionalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa seluruh struktur sosial atau yang diprioritaskan mengarah kepada suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang sudah ada di jelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang penting dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Para fungsionalis berusaha menunjukkan suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang vital untuk menjelaskan eksistensi pola tersebut, obyek kajiannya adalah masyarakat.[15]


[1] Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956, hlm. 87.

[2] H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hal. 34

[3] Pasal 499 KUHPerdata

[4] Ibid., 35

[5] Pasal 503 KUHPerdata

[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, hal 134.

[7] Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004), hal. 11-12.

[8] Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 7.

[9] Ibid., hlm. 25

[10] Sharifa Sayma Rahman, Patens and Genetic Engineering Technologies : A Review of Judicial Decisions, IIUM Law Journal, no.29(2), 2021, hal 150-151

[11] Ibid, hal 152

[12] Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 49

[13] Ibid., hlm. 50

[14] Ibid.,

[15] Ibid., hlm. 51

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 28 of 2014 of Copyrights
  2. Civil Code

REFERENCE :

  1. Sophar Maru Hutagalung, Copyright Position and Its Role in Development, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspects of Intellectual Property Rights Law
  3. Munir Fuady, Introduction to Business Law
  4. Pipin Syarifin, Intellectual Property Rights Regulations in Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Protection of Intellectual Property Rights in ASEAN Countries, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Getting to know Intellectual Property Rights, Copyrights, Patents, Brands and their ins and outs, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Commercialization of Intellectual Assets, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Indonesian Intellectual Property Rights Law, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Franchise, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Commercialization of intellectual property rights through licensing.

Intellectual Property Rights is the official translation of Intellectual Property Rights (IPR) and in Dutch is referred to as Intellectual Eigendom. Property Rights (PR) or often called “Intellectual Property” is a right related to wealth arising or born because of human intellectual abilities in the form of important discoveries in the fields of technology, science, art, and literature. Intellectual Property Rights are part of intangible objects (Immaterial Objects) objects in civil law can be classified into various categories, one of which is the grouping of objects into the classification of tangible objects and intangible objects. For this, you can see the limits of objects contained in article 499 of the Civil Code which reads :

“Article 499 of the Civil Code

According to the Law, goods are every object and every right that can be the object of property rights

Another formulation of the article can be derived from sentences, namely: what can be the object of property rights is an object and the object consists of goods and rights. The goods referred to by Article 499 of the Civil Code are material objects (stoffelijk voorwerp), while rights are immaterial objects. This description is in line with the classification of objects based on Article 503 of the Civil Code, namely :

“Article 503 of the Civil Code

Some items are bodied (tangible) and there are goods that are not diligent (intangible).

A further consequence of the limitation of intellectual property rights is the separation between that intellectual property rights and the material results that become their incarnation. An example can be put forward as copyright in the field of cinematographic work (in the form of intellectual property rights) and material results that become the form of film. So what is protected within the framework of intellectual property rights is the Right is not the incarnation of the right. The incarnation of this right is protected by the Law of Objects in the category of material objects (tangible objects).

Classification of Intellectual Property Rights can be classified in two scopes:

  1. Copyright (Copy Rights)

Based on Article 1 paragraph (1) of Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. That Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after work is realized in real form without prejudice to restrictions following the provisions of laws and regulations.

  • Industrial Property Rights.

The scope of Industri’s Wealth Rights includes:

  1. Trademark
  2. Patents
  3. Trade Secrets
  4. Industrial Design
  5. Integrated Circuit Layout Design (Layout Design Topographics of Integration Circuits)
  6. Plant Variety Protection

The legal protection of IPR is in principle a reflection of the Creator. In its development later became a legal institution known as Intellectual Property Rights (IPR). The attention of the state to establish cooperation on the issue of IPR has been in place since the late 19th century. These agreements quantitatively largely govern the protection of Industrial Property Rights and others govern copyright. The organization that handles this is WIPO (World Intellectual Property Organization).

TRIPs are only a part of the entire WTO-regulated trading system, and Indonesia’s membership of the WTO implies that Indonesia is automatically linked to TRIPs it is impossible to simply become a participant of TRIPs without being a member of the WTO. The rights and obligations of TRIPs only arise when a country is a member of the WTO. On the contrary, it is impossible to become a member of the WTO without being a participant in TRIPs.

Patent Regulations Regarding Biological Materials :

In Australia, the Australian Patent Act 1990 expressly prohibits human genes and biological processes from standard patents. Section 18(2) of the  Patents  Act  1990 states 

“biological  materials  including  their components  and  derivatives,  whether  isolated  or  purified  or  not  and however  made,  which  are identical  or  substantially  identical  to  such materials as they exist in nature

are not patentable inventions. Furthermore, under section 18(3)

plants and animals, and the biological processes for the generation  of  plants  and  animals  are  also  excluded  from  innovation patents”

However, according to section 18(4) exclusion does not apply if the invention is a microbiological process or the product of such a process.  Additionally,  section  18(5)  defines  the  term  ‘biological materials’ to include ‘DNA, RNA, proteins, cells, and fluids,’ but it does not  describe  the  words  “components  and  their  derivatives”  and “substantially identical.” Meanwhile in Indonesia Article 9 of Patent Act stated that,

Inventions which cannot be granted Patent include: (d) all living organisms, except microorganism; (e) any biological process which is essential to produce plant or animal, except non-biological process or microbiological process”

In Malaysia, based on section 13 (1) (b) of the Patent Act 1983 simply  states  that  man-made  living  microorganisms,  microbiological processes,  and the  product of such  processes are  patentable.  There is no clear mention of the exclusion of nature’s handiwork, nevertheless in section 3 (l) (a) of the Act, ‘discoveries’ is a bar to patentability.

Four theories are the basis for the protection of IPR, including:

  1. Natural Right Theory

The Theory of Natural Rights comes from the theory of natural law. Adherents of natural law theory include Thomas Aquinas, Jhon Locke, and Hugo Grotius. According to Jhon Locke stated that: “naturally man is a moral agenda. Man is a mental substance and a right, the human body itself is the wealth of the human being concerned.”

  • Labor Theory

The theory of work is a continuation of the theory of natural rights. If in the theory of natural rights the point of pressure on the freedom of man to act and do something, in the theory of work his press point on the aspect of the process produces something and something is produced. Everyone has a brain, but not everyone can use their brain (intellectual) function to produce something. According to The Theory of Motivation, put forward by David Mc Clelland stated that “a person produces something because he has the motivation to achieve”. 

  • Social Exchange Theory

Proponents of this theory include George C. Hotman and Peter Blau. The theory of social exchange is based on the principle of elementary economic transactions. People who provide goods and services will certainly expect a reply in the form of goods or services that they want. The important thing is to note, that not all social transactions can be measured in real terms for example with money, goods, or services, sometimes even more valuable things are not real, such as respect and friendship.

  • Functional Theory

Adherents of this theory include Talcott Parsons and Robert K. Merton. The functional theory of functionalism departs from the basic assumption that the entire social structure or prioritized leads to integration and adaptation of the prevailing system. The existence or continuity of existing structures or patterns is explained through consequences or effects that are important and useful in overcoming various problems that arise and develop in people’s lives. Functionalists try to show that an existing pattern has met the needs of a vital system to explain the existence of the pattern, the object of study in society.

0

ANALYZING THE ARRANGEMENT OF A LIMITED LIABILITY COMPANY FROM LAW PERSPECTIVE

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal dan didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Di Indonesia, dasar hukum dari PT sendiri sudah ditetapkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada penjelasan pengertiannya PT sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 1

  1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”[1]

Dalam mendirikan sebuah PT, terdapat ketentuan yang sudah diatur dalam Bab II Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Salah satu penjelasan terkait pendirian PT dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut:

“Pasal 7

Perseroan didirikan oleh (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.”

Kemudian, dalam ketentuan membuat akta di hadapan notaris, akta tersebut diwajibkan untuk memuat keterangan dan anggaran dasar terkait dengan pendirian PT. Keterangan yang tercantum dalam akta pendirian tersebut antara lain:

  1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraannya.
  2. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat.
  3. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.

Terkait dengan anggaran dasar yang tercantum pada Dalam pendirian PT, anggaran dasar yang dimaksud harus memuat sekurang-kurangnya sebagai berikut:

  1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan.
  2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.
  3. Jangka waktu berdirinya Perseroan.
  4. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
  5. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham.
  6. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  7. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS.
  8. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  9. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen

Akan tetapi, ketentuan pemegang saham minimal dua orang atau lebih tidak berlaku lagi bagi perseroan yang sahamnya sudah dibeli oleh negara dan perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lainnya berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yaitu:

“Pasal 7

  • Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku lagi:
  • Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara; atau
  • Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal”

Ketentuan didirikannya PT tidak hanya berdasarkan pendirian akta di hadapan notaris dan ketentuan dalam pemegang saham, tetapi terdapat ketentuan lainnya yang harus diperhatikan diantaranya sebagai berikut:  

  1. Setiap pendiri wajib mengambil bagian sahamnya pada saat perseroan didirikan. Kecuali dalam peleburan.
  2. Perusahaan memperoleh status badan pada saat diterbitkannya keputusan menteri.
  3. Apabila perseroan yang telah berstatus badan hukum memiliki pemegang saham kurang dari 2 orang maka dalam waktu 6 bulan wajib mengeluarkan saham perseroan kepada orang lain. Jika dilanggar maka tanggung jawab perseroan menjadi tanggung jawab pribadi. Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk perusahaan yang sahamnya dimiliki seluruhnya oleh negara dan lembaga lain yang diatur dalam undang-undang pasar modal.

Kemudian, berdasarkan ketentuan struktur modal, struktur modal pada PT terdiri dari tiga yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Terkait dengan modal dasar PT, terdapat perubahan dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan yang paling sedikit sebesar 50.0000.000 (lima puluh juta rupiah). Saat ini, perubahan tersebut tercantum dalam Pasal 109 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan penjelasan bahwa besaran modal dasar PT ditentukan pada keputusan pendiri PT dan pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan harus disetor penuh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

Sedangkan, pada modal ditempatkan menjelaskan bahwa modal tersebut merupakan modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya atau saham telah diserahkan untuk pemiliknya. Kewaiban pada penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. Pada modal disetor memberikan penjelasan yaitu modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar oleh pemegang atau pemiliknya.

Selain itu, Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur tentang struktur atau organ-organ yang ada dalam sebuah PT. Struktur tersebut terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan. Penjelasan RUPS tercantum pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yaitu:

“Pasal 1

  •  Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”

Sedangkan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atau pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Berdasarkan tugas dan tanggung jawab direksi, yaitu tercantum dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (2), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101 ayat (1), dan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 92

  • Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”

“Pasal 97

  • Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat.”

“Pasal 98

  • Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

“Pasal 100

  • Direksi wajib membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS; risalah rapat Direksi; membuat laporan tahunan; dan memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan perseroan.”

“Pasal 101

  • Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.”

“Pasal 102

  1. Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan; atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih. Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.”

Pada Dewan Komisaris yang merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum/dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 108 ayat (1), Pasal 114 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 116 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 108

  1. Dewan Komisaris yang melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.”

“Pasal 114

  • Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi
  • Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.”

“Pasal 116

Dewan komisaris wajib:

  1. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
  2. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
  3. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.”

Pada tanggung jawab sosial dan lingkungan, tercantum di dalam Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 74

Perseroan Terbatas yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan hukum yang diantaranya penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan, yang dalam pelaksanaannya, perbuatan tersebut wajib memperhatikan kepentingan-kepentingan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 126, yaitu:

  1. Perseroran, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Menurut Pasal 1 angka 9, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sementara menurut Pasal 1 angka 10, peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dalam hal penggabungan dan peleburan diatur dalam Pasal 122 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 122

  • Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
  • Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  • Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
  • Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
  • Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.”

Perbuatan hukum yang ketiga, yaitu pengambilalihan, menurut Pasal 1 angka 11, pengambilalihan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Ketentuan pengambilalihan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (1), (2), dan (3) ialah sebagai berikut:

Pasal 125

  • Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham.
  • Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
  • Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.”

Perbuatan hukum yang terakhir yaitu pemisahan, menurut Pasal 1 angka 12, Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara pemisahan murni atau pemisahan tidak murni sebagaimana diatur dalam Pasal 135 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 135

  • Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
  • Pemisahan murni; atau
  • Pemisahan tidak murni.
  • Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
  • Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.”

Dalam hal pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur dalam Pasal 142 sampai Pasal 152. Diatur dalam Pasal 142 ayat (1), bahwa pembubaran perseroan terjadi akibat:[na1] 

  1. berdasarkan keputusan RUPS;
  2. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
  3. berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  6. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak hanya mengatur mengenai syarat pendirian dan ketentuan perseroan melainkan juga berkaitan dengan pembubaran dimana perseroan tidak lagi mampu mengoperasionalkan kegiatan usahanya.

Selain itu, dijelaskan lebih rinci terkait status badan hukum pembubaran perseroan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 143 yang berbunyi:

“Pasal 143

  • Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
  • Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.”

[1] Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.
  2. Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation.
  3. Government Regulation No. 8 of 2021 concerning The Company’s Authorized Capital and Registration of Establishment, and Dissolution of Companies That Meet the Criteria for Micro and Small Businesses.

A Limited Liability Company (PT) is a legal entity that is a capital alliance and is established based on an agreement to conduct business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in accordance with applicable Laws. In Indonesia, the legal basis of pt itself has been specifically stipulated in Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and in the explanation of its understanding PT itself is explained in Article 1 number 1 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

 “Article 1

  1. The Limited Liability Company, hereinafter referred to as the Company, is a legal entity that is a capital alliance, established under the agreement, conducts business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in this Law and its implementation regulations”

In establishing a PT, there are provisions that have been regulated in Chapter II of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. One of the explanations related to the establishment of PT is explained in Article 7 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies as follows:

“Article 7

The Company is established by (two) or more persons with notary deed made in Indonesian.”

Then, in the provisions of making a deed before a notary, the deed is required to contain information and articles of associations related to the establishment of PT. The information listed in the deed of establishment includes:

  1. His full name, place and date of birth, occupation, place of residence and nationality.
  2. Members of the Board of Directors and the Board of Commissioners are the first to be appointed.
  3. The name of the shareholder who has taken a share of the shares, details the number of shares, and the face value of the shares that have been placed and paid.

Related to the articles of association listed in the establishment of PT, the articles of association in question must contain at least the following:

  1. Name and place of position of the Company.
  2. The purpose and purpose and business activities of the Company.
  3. The period of establishment of the Company.
  4. The amount of authorized capital, issued capital, and paid-up capital.
  5. Number of shares, classification of shares if there are the following number of shares for each classification, the rights attached to each share, and the face value of each share.
  6. The name of the position and the number of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  7. Determination of venues and procedures for holding GMS.
  8. Procedures for appointment, replacement, dismissal of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  9. Procedures for the use of profits and dividend distribution

However, the provisions of shareholders of at least two or more people no longer apply to companies whose shares have been purchased by the state and companies that manage stock exchanges, clearing and underwriting institutions, depository and settlement institutions, and other institutions under the Investment Law. This provision is stated in Article 7 paragraph (7) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 7

  •  Provisions requiring the Company to be established by 2 (two) or more persons as intended in paragraph (1), and the provisions in paragraph (5), and paragraph (6) no longer apply:
  • The Company whose entire shares are owned by the state; or
  • The Company manages stock exchanges, clearing and underwriting institutions, storage and settlement institutions, and other institutions as stipulated in the Law on Capital Markets”

The provisions of the establishment of PT are not only based on the establishment of deed before the notary and the provisions in shareholders, but there are other provisions that must be considered, including the following:

  1. Each founder is obliged to take a share of his shares at the time the company is established. Except in smelting.
  2. The company obtains entity status at the time of issuance of the ministerial decree.
  3.  If the company that has the status of a legal entity has less than 2 shareholders, within 6 months it is mandatory to issue the company’s shares to others. If violated then the responsibility of the company becomes a personal responsibility. The provision does not apply to companies whose shares are wholly owned by the state and other institutions regulated in capital market law.

Then, based on the provisions of the capital structure, the capital structure in PT consists of three, namely authorized capital, issued capital, and paid-up capital. Related to the authorized capital of PT, there is a change in Article 32 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which explains that the Company’s authorized capital is at least 50,0000,000 (fifty million rupiah). Currently, the change is listed in Article 109 number 3 of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation which provides an explanation that the amount of pt’s authorized capital is determined by the decision of the founder of PT.

Meanwhile, the issued capital explains that the capital is the capital supported by the founder or shareholders to be repaid or the shares have been handed over to the owner. The sacrifice on depositing the issued capital must be full. On the paid-up capital provides an explanation that is the capital that has been entered by shareholders as repayment of the payment of shares that he took as capital issued from the company’s authorized capital. So, paid-up capital is shares that have been paid by the holder or owner.

In addition, the Limited Liability Company Law also regulates the structure or organs in a PT. The structure consists of GMS (General Meeting of Shareholders), Board of Directors, and Board of Commissioners. GMS is an organ that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the specified limits. The explanation of the GMS is contained in Article 1 number 4 of Law No. 40 of 2007, namely:

“Article 1

  • The General Meeting of Shareholders, hereinafter referred to as the GMS is an Organ of the Company that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the limits specified in this Law and/or the articles of association”

While the Board of Directors is the company’s authorized and fully responsible organ or the management of the Company for the benefit of the Company, in accordance with the company’s intentions and objectives, both inside and outside the court in accordance with the provisions of the articles of association. Based on the duties and responsibilities of the board of directors, namely contained in Article 92 paragraph (1), Article 97 paragraph (2), Article 98 paragraph (1), Article 100 paragraph (1), Article 101 paragraph (1), and Article 102 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 92

  • The Board of Directors carries out the Management of the Company for the benefit of the Company and in accordance with the Company’s purpose and purpose”

“Article 97

  • The Board of Directors is authorized to carry out the management as intended in paragraph (1) in accordance with the policy that is considered appropriate.”

“Article 98

  • The Board of Directors represents the Company both inside and outside the court.”

“Article 100

  • The Board of Directors is obliged to make a list of shareholders, a solemn list, minutes of the GMS; minutes of the Board of Directors meeting; make an annual report; and maintain the company’s entire list, minutes, and financial documents.”

“Article 101

  • Members of the Board of Directors shall report to the Company regarding the shares owned by the members of the Board of Directors concerned and/or their families in the Company and other Companies to be further recorded in the special list.”

“Article 102

  1. The Board of Directors is obliged to request the approval of the GMS to transfer the Company’s wealth; or make a guarantee of the Company’s wealth debt; which is more than 50% (fifty percent) of total net worth. The Company in 1 (one) transaction or more, whether related to each other or not.”

On the Board of Commissioners which is the Company’s Organ in charge of conducting supervision in general / and or specifically in accordance with the articles of association and advise the Board of Directors. Its duties and authorities are regulated in Article 108 paragraph (1), Article 114 paragraph (2) and paragraph (3), and Article 116 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 108

  1. The Board of Commissioners who supervises management policy, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.”

“Article 114

  • The Board of Commissioners supervises management policies, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.
  • Each member of the Board of Commissioners is personally responsible for the Company’s losses if the person concerned is guilty or negligent in carrying out his duties.”

“Article 116

The board of commissioners is obliged to:

  1. Make minutes of meetings of the Board of Commissioners and keep copies of them;
  2. Report to the Company about its and/or family’s shareholdings in the Company and other Companies; and
  3. Provide a report on the supervisory duties that have been carried out during the past financial year to the GMS.”

In terms of social and environmental responsibility, it is stated in Article 74 of the Limited Liability Company Law which explains as follows:

“Article 74

  • The Company having its business activities in the field of and/or related to natural resources, shall be obliged to perform its Social and Environmental Responsibility.
  • Social and Environmental Responsibility as referred to in paragraph (1) shall constitutes the obligation of the Company which is budgeted and calculated as the cost of the Company, implementation of which shall be performed with due observance to the appropriateness and fairness.
  • The Company which fails to perform its obligation as referred to in paragraph (1) shall be imposed with sanction in accordance with the provision of regulation.
  • Provision regarding Social and Environmental Responsibility shall be further regulated with a Government Regulation.”

A Limited Liability Company may take legal actions including merger, consolidation, acquisition, and separation, which in its implementation, such actions must take into account the interests as regulated in Article 126, namely:

  1. The Company, minority shareholders, employees of the Company;
  2. Creditors, other business partners of the Company; and
  3. Community and fair competition in performing business.

According to Article 1 paragraph 9, merger is a legal action taken by one or more Companies in order to merge with another existing Company, which causes the transfer of assets and liabilities of the merging Companies by operation of law, to the surviving Company and thereafter the legal entity status of the merging Company ceases by operation of law.

While according to Article 1 paragraph 10, consolidation is a legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. In the case of merger and consolidation, it is regulated in Article 122 which reads as follows:

“Article 122

  • Merger and Consolidation shall cause the merging or consolidating Company to legally dissolve.
  • The dissolution of the Company as referred to in paragraph (1) may occur without any prior liquidation performed.
  • In the event of the Company dissolution as referred to in paragraph (2),
  • assets and liabilities of the merging or consolidating Company shall be legally transferred to the surviving Company, and the Company resulting from the Consolidation;
  • the shareholders of the merging and consolidating Company shall, by law, be the shareholders of the Company receiving the Merger or the Company resulting from the Consolidating as well; and
  • the Merging or the Consolidating Company shall be legally dissolved as of the effective date of such Merger or Consolidation.”

The third legal action, namely acquisition, according to Article 1 paragraph 11, acquisition is a legal action conducted by a legal entity or an individual to acquire the shares of the Company, resulting in the transfer of control of such Company. Acquisition as regulated in Article 125 paragraphs (1), (2), and (3) are as follows:

“Article 125”

  • The Acquisition shall be conducted by way of acquiring the shares issued or to be issued by the Company from the Board of Directors of the Company or directly from the shareholders.
  • The Acquisition may be conducted by a legal entity or an individual.
  • The Acquisition as referred to in paragraph (1) constitutes.”

The last legal action is separation, according to Article 1 Paragraph 12, Separation is a legal legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. Separation can be carried out by means of pure separation or impure separation as regulated in Article 135 which reads as follows:

“Article 135

  • The separation can be conducted by ways of :
  • Pure Separation; or
  • Non-pure Separation.
  • Pure Separation as referred to in paragraph (1) letter a shall cause all of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 2 (two) other Companies or more which receiving such transfer, and the Company that performs the Separation shall be, by law, dissolved.
  • Non-pure Separation as referred to in paragraph (1) letter b shall cause the part of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 1 (one) Company or more which receiving the transfer, and the Company performing the Separation shall remain exist.”

Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies not only regulates the terms of establishment and provisions of the company but also matters relating to dissolution where the company is no longer able to operate its business activities. In the terms of dissolution, liquidation, and expiration of the legal entity status of the company, that is regulated in Article 142 to Article 152. It is regulated in Article 142 paragraph (1), that the dissolution of the company occurs as a result of:

  1. Based on the resolution of GMS;
  2. Due to the termination of the Company’s duration as stipulated in the articles of association. c. based on the court order; d. Due to the revoked bankruptcy statement based on binding order of the commercial court, and the bankrupt assets of the Company is not sufficient to pay the bankruptcy cost; e. Due to the condition that the bankrupt assets of the Company has been declared in the condition of insolvency as regulated in the Law regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment; or f. Due to the revocation of the Company’s business permit, so that the Company is obliged to conduct liquidation in accordance with prevailing regulation.

Then, it is explained in more detail regarding the legal entity status of the company’s dissolution as stipulated in Article 143 which reads:

“Article 143

  • The Company’s dissolution shall not cause the Company to lose its status as legal entity until the completion of liquidation and the report of the liquidator is accepted by the GMS or by the court.
  • As of the dissolution, the title “in liquidation” shall be attached on each outgoing letter of the Company.”

0

BUSINESS FIELDS THAT ARE LIMIRED AND SUPERVISED BASED ON PRESIDENTAL REGULATION NO. 49 OF 2021 CONCERNING THE FIELD OF INVESTMENT BUSINESS

Author : Ananta Mahatyanto

Co Author : Rizky Tri Cahyanto

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal
  4. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
  5. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
  6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 /  POJK.01 / 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

REFERENSI:

  1. Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut
  2. Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all
  3. Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all
  4. Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-p

[1] Law Number 25 of 2007 concerning Investment

[2] Dhaniswara K Harjono, “Investment Law”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, p. 20

[4] Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector

  1. raktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

JURNAL:

  1. Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

E-BOOK:

  1. Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 25 of 2007 concerning Investment
  2. Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  3. Presidential Regulation Number 44 of 2016 concerning List of Business Fields Closed and Business Fields Open With Requirements in the Investment Sector
  4.  Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector
  5. Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector
  6. Financial Services Authority Regulation Number 22 / POJK.01 / 2015 concerning Criminal Acts in the Financial Services Sector

REFERENCE :

  1. Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut
  2. Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all
  3. Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all
  4. Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-praktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

JOURNAL:

  1. Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

E-BOOK:

  1. Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Penanaman Modal adalah penyertaan Modal dalam badan usaha dengan cara membeli saham atau obligasi dari badan usaha tersebut.[1] Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penanaman Modal bertujuan untuk :

  1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
  2. Menciptakan lapangan kerja
  3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
  4. Meningkatkan daya saing dunia usaha nasional
  5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanamkan Modal, baik oleh penanam Modal dalam Negeri maupun penanam Modal Asing untuk melakukan usaha diwilayah Negara Republik Indonesia.[2] Investasi atau Penanaman Modal adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian pendapatannya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendapatkan hasil atau keuntungan.[3]

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Pelaksana memberikan pengertian yang sama mengenai Penanaman Modal, yaitu sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008), dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (Perka BKPM No. 12/2009) yang menyatakan :

“Penanaman Modal diartikan sebagai segala bentuk kegiatan menanamkan Modal, baik oleh Penanam Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia” [4]

Penanaman Modal terbuka untuk semua bidang usaha baik penanam Modal dalam Negeri maupun penanam Modal Asing sebagaimana tercantum didalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

“Semua bidang usaha terbuka bagi Penanaman Modal, kecuali Bidang Usaha:

  1. Yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal
  2. Untuk kegiatan yang hanya dapat dilajukan oleh pemerintah pusat.” [5]

Adapun perubahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

“Bidang usaha terbuka sebagai mana dimaksud pada ayat (1) adalah bidang usaha yang bersifat komersil”[6]

Bidang Usaha Terbuka dan Bidang Usaha Tertutup adalah istilah yang dikenal dalam Penanaman Modal. Kedua bidang usaha ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Ketentuan mengenai semua bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal bidang usaha kegiatan Penanaman Modal terdiri atas :

  1. Bidang Usaha Terbuka
  2. Bidang Usaha Tertutup
  3. Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan. [7]

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Terbuka adalah Bidang Usaha yang dilakukan tanpa persyaratan dalam rangka Penanaman Modal.[8]

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan Penanaman Modal.[9]

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanam Modal Asing adalah :

  1. Produksi senjata, mesin, alat peledak, dan peralatan perang
  2. Bidang usaha yang secara eksplsit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang[10]

Berkaitan dengan Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal juga mengatur mengenai Bidang Usaha Yang Terbuka dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1), yang menyatakan bidang Usaha dengan persyaratan tertentu scbagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan Bidang Usaha yang dapat diusahakan oleh semua Penanam Modal termasuk Koperasi dan UMKM yang mernenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Persyaratan Penanaman Modal untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
  2. Persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan Modal Asing
  3. Persyaratan Penanaman Modal dengan Izin Khusus. [11]

Ketentuan mengenai Legalisasi Investasi minuman keras beralkohol dibeberapa provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Investasi industri minuman keras beralkohol ini masuk dalam Daftar Bidang Usaha dengan Persyaratan Tertentu sebagai tertuang dalam Lampiran III angka 31,32, dan 33 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 sebagai salah satu bidang usaha dari 46 bidang usaha dengan persyaratan. Seperti, Industri Minuman Keras Mengandung beralkohol, Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur, Industri Minuman Mengandung, Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol, Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol. Jenis Investasi ini hanya dapat dilakukan di 4 provinsi dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Di luar itu, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) dapat menetapkan provinsi lain berdasarkan usulan dari Gubernur.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengeluarkan/mencabut bidang usaha miras dari daftar bidang usaha tertutup yang dilarang diusahakan untuk kegiatan Penanaman Modal. Oleh karena itu, Pasal 14 huruf a Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 telah mencabut Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.[12]

Dalam rangka pembatasan pelaksanaan Penanaman Modal serta pengendalian dan pengawasan minuman yang mengandung alkohol, diperlukan perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Sebelumnya dalam Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Penanaman Modal sektor industri minuman keras mengandung alkohol, industri minuman mengandung alkohol anggur, dan minuman mengandung malt, ini masih diperbolehkan di empat provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua. Dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahatan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal ini disebutan prinsipnya semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi Penanaman Modal. Bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal merupakan bidang usaha yang bersifat komersil. Sedangkan bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi Penanaman Modal terdiri dari beberapa jenis. [13]

Rumusan norma amanat pembentukan peraturan perundang-undangan tersendiri dalam hal pengawasan miras beralkohol yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

  1. Persyaratan Penanaman Modal untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
  2. Persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan Modal Asing
  3. Persyaratan Penanaman Modal dengan Izin Khusus
  4. Persyaratan Penanaman Modal lainnya yaiut Bidang Usaha yang dibatasi dan diawasi secara ketat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri dibidang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol. [14]

Berkaitan dengan akta pengikatan saham dan kuasa saham tersebut beresiko untuk dikategorikan sebagai praktek Nominee arrangement.Dalam perjanjian tersebut kuasa atas saham tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Nominee arrangement tidak diperbolehkan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.[15] Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yaitu:

  1. Penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing yang melakukan Penanamn Modal dalam bentuk pereorang terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain
  2. Dalam hal penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. [16]

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UU Penanaman Modal melarang penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam PT untuk dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Penanaman Modal selanjutnya mengatur bahwa perjanjian Nominee Arrangement dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan secara tegas bahwa saham dikeluarkan atas nama pemiliknya, sehingga untuk penanam Modal diwajibkan atas nama pemegang saham, dan tidak diperbolehkan nama saham berbeda dengan pemilik sebenarnya.[17]

Penyelesaian sengketa Penanaman Modal dalam Negeri diatur didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,  dalam hal terjadi sengketa di bidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan penanam Modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat apabila tidak tercapai mufakat, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terjadi sengketa di bidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan penanam Modal dalam Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.[18]

Dalam hal terjadi sengketa dibidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal Asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Pemerintah Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1968, dengan adanya ratifikasi ini maka Investor Asing dapat terlindung dari resiko Investasi termasuk dari resiko politik.[19]

 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 /  POJK.01 / 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan, pihak yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu :

  1. Pejabat Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipekerjakan OJK.
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan OJK dan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik. [20]

Sanksi yang dapat diberikan terhadap Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing dapat berupa Sanksi Administif sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu :

  1. Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan tebatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan aats nama orang lain.
  2. Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
  3. Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. [21]

[1] Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut,  diakses pada tanggal 7 Maret 2022

[2] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

[3] Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007,hlm. 20

[4] Ibid.

[5] Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[6] Pasal 2 ayat (1) a Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[7] Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal

[8] Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan

[9] Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal

[10] Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[11] Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[12] Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all, pada tanggal 8 Maret 2022

[13] Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all, pada tanggal 8 Maret 2022

[14] Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[15] Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-praktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

[16] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[17] Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[18] Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

[19] Ibid.

[20]

[21] Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

According to the Indonesian Dictionary (KBBI), Investment is the participation of Capital in a business entity by buying shares or bonds from the business entity. As stated in Article 3 Paragraph (2) of Law No. 25 of 2007 on Investment, Investment aims to:

  1. Increase national economic growth
  2. Creating jobs
  3. Promote sustainable economic development
  4. Increase competitiveness of the national business world
  5. Increase national technological capacity and capabilities

Based on Law No. 25 of 2007 on Investment, Investment is any form of investment activity, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the Region of the Republic of Indonesia.[1] Investment is an activity carried out by a person or legal entity, setting aside some of his income so that it can be used to conduct a business in the hope that at some time will get results or profits.[2]

Law No. 25 of 2007 on Investment and Implementing Regulation provides the same understanding of Investment, as stated in Article 1 Paragraph (1) of Law No. 25 of 2007 on Investment, Article 1 paragraph (7) of Government Regulation No. 45 of 2008 on Guidelines for Incentives and Ease of Investment in the Region (Government Regulation No. 45 of 2008),  and Article 1 paragraph (1) of BKPM Head Regulation No. 12 of 2009 on Guidelines and Procedures for Investment Applications (Perka BKPM No. 12/2009) which states:

“Capital Investment is interpreted as all forms of capital investment activites, both by Domestic Investors and Foreign Investors to conduct business in the territory of the Republic Indonesia”.

Investment is open to all business fields both domestic investors and foreign investors as stated in Article 2 of Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business, namely :

“All business fields are open to investment, except business fields:

  1. Declared closed for Investment
  2. For activites that can only be done by the central government

As for the changes as stated in Article 2 of Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning investment business, namely:

“The field of open business as refrred to in paragtaph (1) is a field of business of a commercial nature.”

Open Business Field and Closed Business Field is a term known in Investment. Both of these business fields are regulated in Law No. 25 of 2007 on Investment, Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business. Provisions regarding all business fields or types of businesses that are declared closed and open with the requirements as stated in Article 12 of Law No. 25 of 2007 on Investment. In Article 2 paragraph (1) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning the List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment in the field of Investment activities consisting of:

  1. Open Business Field
  2. Closed Buisness Field
  3. Open Business Field With Persyaratan

Based on Article 1 paragraph (2) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning The List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment In Open Business Fields are Business Fields that are carried out without requirements in the framework of Investment.

Based on Article 1 paragraph (3) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning The List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment in Closed Business Fields are certain Business Fields that are prohibited from being pursued as Investment activities.[3]

Based on Article 12 paragraph (2) of Law No. 25 of 2007 on Investment in Business Areas Closed to Foreign Investors are:

  1. Production of weapons, gunpowder, explosive devices, and war equipment
  2. Business fields that are externally declared closed under the Law

Related to the Field of Closed Business and Open Business, Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business also regulates the Open Business Field with the requirements stipulated in Article 6 paragraph (1), which states the business field with certain requirements as referred to in Article 3 paragraph (1) letter c is a Business Field that can be attempted by all Investors including Cooperatives and MSMEs that meet the following requirements:

  1. Investment Requirements for Domestic Investment
  2. Investment Requirements with restriction on foreign capital ownership
  3. Investment Requirements with Special Permission

Provisions regarding the Legalization of Investment of alcoholic liquor in several provinces namely Bali, East Nusa Tenggara, Papua, and North Sulawesi as stated in Annex to Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business, Investment in the alcoholic liquor industry is included in the List of Business Fields with Certain Requirements as stated in Annex III number 31, 32, and 33 Presidential Regulation No. 10 of 2021 as one of the business fields of 46  business field with requirements. Such as, Liquor Industry Contains Alcoholic, Beverage Industry Contains Wine Alcohol, Beverage Industry Contains, Retail Trade Liquor or Alcoholic, Retail Trade Street Liquor or Alcoholic. This type of investment can only be done in 4 provinces concerning local culture and wisdom. Beyond that, the Investment Coordinating Board (BKPM) can establish other provinces based on proposals from the Governor.

As stated in Article 77 paragraph (2) of Law No. 11 of 2020 on Copyright Work that amends Article 12 of Law No. 25 of 2007 on Investment, issues / revokes the business field of liquor from the list of closed business fields that are prohibited from being attempted for Investment activities. Therefore, Article 14 letter a Presidential Regulation No. 10 of 2021 has revoked Presidential Regulation No. 76 of 2007 on Criteria and Requirements for The Preparation of Closed Business Fields and Open Business Fields with Requirements in the Field of Investment.

To limit the implementation of investment and control and supervision of beverages containing alcohol, changes are needed to presidential regulation No. 10 of 2021 on investment business. Previously in Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business, Investment sector of liquor industry contains alcohol, beverage industry contains wine alcohol, and beverages containing malt, this is still allowed in four provinces namely Bali, East Nusa Tenggara (NTT), North Sulawesi, and Papua. In Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning Investment Business, it is called in principle all business fields are open to Investment activities, except business fields that are declared closed to Investment. The business field is open to investment activities is a commercial business field. While the business field that is declared closed to investment consists of several types.

Formulation of the mandate norm for the establishment of its laws and regulations in terms of supervision of alcoholic beverages contained in Article 6 paragraph (1) letter d of Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business, namely:

  1. Investment Requirements for Domestic Investment
  2. Investment Requirements with restrictions on foreign capital ownership
  3. Investment Requirements with Special Permission
  4. Other Investment Requirements are Business Fields that are limited and closely monitored and regulated in their laws and regulations in the field of control and supervision of alcoholic beverages.[4]

Concerning the deed of binding of the shares and the power of the stock is at risk to be categorized as a nominee arrangement practice. In the agreement, the power of the shares is transferred to others. Nominee arrangements are not allowed since the enacting of Law No. 25 of 2007 on Investment.  Based on Article 33 paragraph (1) of Law No. 25 of 2007 on Investment, namely:

  1. Domestic Investors and Foreign Investors who invest in limited liability companies are prohibited from making agreements and/or statements affirming that ownership of shares in limited liability companies for and on behalf of others
  2. In the event that domestic investors and foreign investors make agreements and/or statements as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement is declared null and void.

As stated in Article 33 paragraph (1) of the Investment Law prohibits domestic investors and foreign investors from making agreements and/or statements affirming that share ownership in PT is for and on behalf of others. Article 33 paragraph (2) of the Investment Act further provides that the Nominee Arrangement agreement is declared null and void.

Based on Article 48 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, expressly states that shares are issued on behalf of their owners, so that investors are required on behalf of shareholders, and are not allowed to name shares different from the actual owner.

Settlement of domestic investment disputes is regulated in Article 32 of Law No. 25 of 2007 on Investment, in the event of disputes in the field of Investment between the Government and investors, the parties first resolve the dispute through deliberation and consensus if no consensus is reached, the resolution of the dispute can be done through arbitration or alternative dispute resolution or court following the provisions of the dispute.  laws and regulations. In the event of a dispute in the field of Investment between the Government and domestic investors, the parties can resolve the dispute through arbitration based on the agreement of the parties. If dispute resolution through arbitration is not agreed, the settlement of the dispute will be done in court.

In the event of a dispute in the field of Investment between the Government and Foreign Investors, the parties will resolve the dispute through international arbitration that must be agreed upon by the parties. The Government of Indonesia has also ratified the Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States by Law No. 5 of 1968, with this ratification, Foreign Investors can be protected from investment risks including political risks.[5]

As stated in Article 3 of The Financial Services Authority Regulation No. 22 / POJK.01 / 2015 on Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector, the authorities conduct investigations, namely:

  1. The Investigation Officer of the State Police of the Republic of Indonesia is employed by OJK
  2. Civil Servants employed by OJK and given special aunthority as Investigators.

Sanctions that can be given against Domestic Investors and Foreign Investments can be administrative sanctions as contained in Article 33 of Law No. 25 of 2007 on Investment, namely:

  1. Domestic investors and foreign investors who invest in the form of limited investments are prohibited from makin agreements and/or statemets affirming that share ownership in limited liability companies for and on behalf of others.
  2. If domestic investors and foreign investors make agreements and/or statements as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement are declared null and void.

In the case of investors who carry out business activites under agreements or cooperation contratcs with the Government to commit corporate crimes in the form of tax crimes, inflatinf recovery costs, and other forms of cost inflating to minimize profits that result in state losses based on findings or examinations by the competent authorities and have received court rulings with permanent legal force, The government terminates the agreement or cooperation contract with the investor concerned.

Translate