0

Kententuan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
  4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021.

Indonesia memiliki banyak sumber daya alam terlebih dalam bentuk Mineral dan Batubara, oleh sebab itu terdapat banyak sekali perusahaan pertambangan di Indonesia, dimana pengertian usaha pertambangan itu sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020), yakni:

Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.[1]

            Terkait dengan sumber daya alam dalam bentuk Mineral dan Batubara dalam usaha pertambangan, Pasal 4 ayat (1) UU 3/2020 menjelaskan bahwa Mineral dan Batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan yang merupakan kekayaan nasional, dimana kekayaan nasional tersebut dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. [2]

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [3]

Selain pertambangan batubara, terdapat pengertian mengenai Mineral dan Pertambangan Mineral pada Pasal 1 Angka 2 jo. Pasal 1 Angka 4 UU 3/2020, yang berbunyi:

Pasal 1

1. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

4. Pertambangan Mineral adalah Pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.[4]

Cakupan jenis mineral logam tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara , yang menyatakan bahwa:

Pasal 2

(1) Pertambangan Mineral dan Batubara dikelompokan ke dalam 5 (lima) golongan sebagai berikut:

(b) Mineral logam meliputi aluminium, antimoni, arsenik, basnasit, bauksit, berilium, bijih besi, bismut, cadrnium, cesium, emas, galena, galium, germanium. hafnium, indium, iridium, khrom, kcbai, kromit, litium, logam tanah jarang, magnesium, mangan, moiibdenum, monasit, nikel, niobium, osmium, pasir besi, palladium, perak, platina, rhodium, ruthenium, selenium, seng, senodm, sinabar, stroniurn, tantalum, telurium, tembaga, timah, titanium, vanadium, wolfram, dan zirkonium;[5]

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial untuk memperoleh keuntungan , maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum.

            Dalam hal perizinan Pertambangan Mineral Logam, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut PP 96/2021), dimana Pada Pasal 6 dan Pasal 7 PP 96/2021 mengatur mengenai dasar perizinan dan prinsip pemberian sertifikat standar dan/atau izin, yang menyatakan bahwa:

Pasal 6

  1. Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah pusat.
  2. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:
    • nomor induk berusaha;
    • sertifikat standar; dan/atau
    • izin.
  3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (21) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. lzin sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas: IUP; IUPK; IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak / perjanjian; IPR; SIPB; Izin penugasan; Izin Pengangkutan dan penjualan; IUJP; dan IUP untuk Penjualan
  5. Perizinan Berusaha dalam bentuk pemberian sertifikat standar dan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah provinsi berdasarkan prinsip:
    • Efektivitas;
  6. Efisiensi;
  7. Akuntabilitas; dan
  8. Eksternalitas.

Pasal 7

Selain berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), pendelegasian kewenangan pemberian sertifikat standar dan izin harus mempertimbangkan sifat strategis komoditas Pertambangan untuk:

  1. Penyediaan bahan baku industri dalam negeri; dan/atau
  2. Penyediaan energi dalam negeri. “[6]

Sehingga, dalam pemberian sertifikat standar dan izin berusaha yang merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri, didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi yakni kepala daerah yaitu Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Selanjutnya, yang dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 96/2021, yang berbunyi:

Pasal 9

(1) IUP diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:

a. Badan Usaha;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan perseorangan.[7]

Adapun Badan Usaha yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) PP 96/2021 didefinisikan dalam Pasal 1 angka 28 PP 96/2021 sebagai berikut:

“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang Pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Kemudian, tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam diatur dalam Pasal 16 PP 96/2021, yang berbunyi:

IUP diperoleh melalui tahapan:

a. Pemberian WIUP ; dan

b. Pemberian IUP. “[8]

Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam yang diperoleh dengan cara lelang, diatur dalam Pasal 17 ayat (3), yang berbunyi:

Pasal 17

  • WIUP Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hunrf c diperoleh dengan cara lelang.[9]

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021 (Permen ESDM 7/2020), Direktur Jenderal menyiapkan WIUP Mineral Logam yang telah ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan hasil koordinasi dengan Bupati/Walikota dengan cara lelang kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Perseorangan. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam didasarkan pada Data dan Informasi yang berasal dari :[10]

  1. Hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya;
  2. Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang dikembalikan atau diciutkan oleh Pemegang IUP; dan/atau
  3. Hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral Logam yang IUP-nya berakhir atau dicabut.

Terdapat 2 tahap kegiatan Pemberian IUP dimana hal ini diatur dalam Pasal 28 PP 96/2021, yakni:

  1. Eksplorasi, dimana dalam tahap ini terdiri atas:
  2. Penyelidikan Umum;
  3. Eksplorasi; dan
  4. Studi Kelayakan.
  5. Operasi Produksi, dimana dalam tahap ini terdiri atas:
  6. Konstruksi;
  7. Penambangan;
  8. Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan; dan
  9. Pengangkutan dan Penjualan.[11]

Di dalam UU 3/2020 Terkait dengan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mengatur tentang Eksplorasi mineral logam WIUP diberikan dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 Sementara, untuk pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUPKdengan luas paling banyak 25.000 hektare.[12]

Pemberian IUP dijelaskan pada Pasal 32 PP 96/2021, yang menyatakan bahwa:

IUP diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi, perusahaan Perseorangan setelah memenuhi persyaratan :

  1. Administratif
  2. Teknis;
  3. Lingkungan; dan
  4. Finansial. [13]

Izin Usaha Eksplorasi, diberikan ketika hendak melakukan tahapan kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan. Sesuai Pasal 37 Permen ESDM 7/2020, IUP Eksplorasi diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila WIUP-nya:
    • Berada pada lintas daerah provinsi;
    • Berada pada wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; atau
    • Berbatasan langsung dengan negara lain; atau
  2. Gubernur, apabila WIUP-nya berada:
    • Dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
    • Pada wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
    • Khusus untuk gubernur, dalam hal wilayah laut antar dua daerah provinsi kurang dari 24 mil laut, maka dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut.[14]

Jangka waktu IUP Eksplorasi menurut Pasal 41 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 sebagai berikut:[15]

a.     8 (delapan) tahun untuk IUP Eksplorasi mineral logam;

b.    7 (tujuh) tahun, untuk:

  1. IUP Eksplorasi Batubara;
  2. IUP Eksplorasi mineral bukan logam jenis tertentu;

c.     3 (tiga) tahun, untuk:

  1. IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam; atau
  2. IUP Eksplorasi Batuan.

Setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi dalam rangka melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Sesuai Pasal 42 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus:
    1. Berada pada lintas daerah provinsi; atau
    2. Berbatasan langsung dengan negara lain;
  2. Gubernur, apabila lokasi Penambangan, lokasi pengolahan dan/atau pemurnian, serta lokasi pelabuhan khusus berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[16]

Jangka waktu IUP Operasi Produksi menurut Pasal 45 ayat (2) Permen ESDM 7/2020 adalah sebagai berikut:[17]

  1. 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun untuk:
    1. IUP Operasi Produksi mineral logam;
    2. IUP Operasi Produksi batubara;
    3. IUP Operasi Produksi mineral bukan logam jenis tertentu;
  2. 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi mineral bukan logam; atau
  3. 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun untuk IUP Operasi Produksi batuan

Jika ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan, pengolahan dan pemurnian termasuk penjualan komoditas tambang mineral atau batubara hasil olahannya, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian

Sesuai Pasal 47 Permen ESDM 7/2020, IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila:
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari daerah provinsi lain di luar lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian;
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari luar negeri; dan/atau
    • Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian berada pada lintas daerah provinsi;
  2. Gubernur, apabila:
    • Komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) daerah provinsi yang sama dengan lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian; dan/atau
    • Apabila lokasi fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian berada dalam 1 (satu) daerah provinsi.[18]

Pasal 49 ayat (5) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagai berikut:

IUP Operasi Produksi khusus unutk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh_ tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh tahun) setiap kali perpanjangan.”

Apabila badan usaha ingin melaksanakan pembelian, pengangkutan dan penjualan komoditas tambang mineral atau batubara, maka badan usaha wajib mengurus IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan. Sesuai Pasal 50 Permen ESDM 7/2020, maka IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh:

  1. Menteri, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan pada lintas darah provinsi dan/atau lintas negara; atau
  2. Gubernur, apabila kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dilakukan dalam 1 (satu) daerah provinsi.[19]

Pasal 52 ayat (1) Permen ESDM 7/2020 mengatur jangka waktu IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan sebagai berikut:

“IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setiap kali perpanjangan.”

Terkait dengan Pelanggaran-Pelanggaran dalam kegiatan pertambangan mineral dan batubara terutama bagi Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan Pasal 185 sampai dengan Pasal 188 PP 96/2021, yakni sebagai pelanggaran terhadap kewajiban berikut:[20]

  1. Memindahtangankan Izin Usaha Pertambangan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri. (Pasal 10 ayat (1))
  2. Mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri. (Pasal 13 ayat (1) & ayat (9))
  3. Selain melakukan kegiatan Operasi Produksi, Pemegang Izin Usaha Pertambangan Kegiatan tahap Operasi Produksi wajib melakukan kegiatan eksplorasi lanjutan setiap tahun. (Pasal 48 ayat (1) & ayat (3))
  4. Melaksanakan pemasangan tanda batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi. (Pasal 49 ayat (1))
  5. Pemegang IUP yang berminat mengusahakan komoditas tambang lain yang berbeda Wilayah Izin Usaha Pertambangannya, wajib mengajukan permohonan IUP baru. (Pasal 50 ayat (2))
  6. Dalam mengambil dan menggunakan batuan yang terdapat dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan, pemegang Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi wajib:
    1. Melaporkan pengambilan dan penggunaan batuan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
    2. Membayar Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 51 ayat (2))

Pencabutan izin terkait pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada Sektor Pertambangan serta sanksi diatur dalam Pasal 185 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana sanksi tersebut bersifat administratif yang berupa :

  1. Peringatan Tertulis;
  2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau
  3. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Surat izin Penambangan Batuan (SIPB), atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk Penjualan.[21]

Peringatan tertulis diberikan paling banyak 3 kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing 30 hari,[22] dan apabila setelah diberikan peringatan ke-3 Perusahaan Pertambangan tersebut masih belum melaksanakan kewajibannya, maka dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak jangka waktu peringatan tertulis berakhir dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau Operasi Produksi, dan apabila Perusahaan Pertambangan tersebut yang telah diberikan sanksi penghentian sementara masih belum melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu penghentian sementara, maka dapat dikenai sanksi berupa pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, dan IUP untuk Penjualan.[23]

Menteri ESDM melalui Ditjen Minerba dapat memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin tanpa melalui tahap pemberian sanksi peringatan tertulis dan penghentian sementara apabila terdapat putusan pengadilan bahwa Perusahaan Pertambangan melakukan pelanggaran pidana dan berkuatan hukum tetap, hasil evaluasi Menteri terhadap Perusahaan Pertambangan yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak menerapkan kaidah teknik Pertambangan yang baik, serta Perusahaan Pertambangan dinyatakan pailit.[24]


[1] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[2] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[3] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

[4] Pasal 1 Angka 2 jo. Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[5] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[6] Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[7] Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[8] Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[9] Pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[10] Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[11] Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[12] Pasal 52 jo. Pasal 61 jo. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[13] Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[14] Pasal 37 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[15] Pasal 41 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[16] Pasal 42 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[17] Pasal 45 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[18] Pasal 47 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[19] Pasal 50 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2021

[20] Pasal 185 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[21] Pasal 185 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[22] Pasal 186 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[23] Pasal 187 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[24] Pasal 188 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

 ​Indonesia has a lot of natural resources especially in the form of Minerals and Coal, therefore there are a lot of mining companies in Indonesia, where the definition of mining business itself is stated in Article 1 point 6 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to the Law  Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining (UU 3/2020), namely:

 “Mining business is an activity within the framework of mineral or coal business which includes the stages of general investigation, exploration, feasibility study, construction, mining, processing and/or refining or development and/or utilization, transportation and sales, as well as post-mining activities.”

 Regarding natural resources in the form of Mineral and Coal in the mining business, Article 4 paragraph (1) of Law 3/2020 explains that Mineral and Coal are non-renewable natural resources which are national assets, where the national wealth is controlled by the state for  used for the welfare of the people.

 This is in line with Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which reads:

 “Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In addition to coal mining, there is an understanding regarding Minerals and Mineral Mining in Article 1 Point 2 jo.  Article 1 Number 4 of Law 3/2020, which reads:

 ” Article 1

 1. Minerals are inorganic compounds formed in nature, which have certain physical and chemical properties as well as regular crystal structure or combinations thereof that form rock, either in loose or solid form.

 4. Mineral Mining is Mining of a collection of Minerals in the form of ore or rock, excluding geothermal, oil and gas, and groundwater.”

 The scope of metallic mineral types is stated in Article 2 paragraph (1) letter b of Government Regulation Number 96 of 2021 concerning the Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities, which states that:

 ” Section 2

 (1) Mineral and Coal Mining is grouped into 5 (five) groups as follows:

 b.  Metallic minerals include aluminum, antimony, arsenic, basnasite, bauxite, beryllium, iron ore, bismuth, cadrnium, cesium, gold, galena, gallium, germanium.  hafnium, indium, iridium, chrome, kcbai, chromite, lithium, rare earth metals, magnesium, manganese, moiibdenum, monazite, nickel, niobium, osmium, iron sands, palladium, silver, platinum, rhodium, ruthenium, selenium, zinc, senodm  , cinnabar, strontium, tantalum, tellurium, copper, tin, titanium, vanadium, tungsten, and zirconium;  “

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector to gain profit, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government.  The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection.

 ​In terms of metallic mineral mining licensing, it is carried out based on Government Regulation Number 96 of 2021 concerning the Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities (hereinafter referred to as PP 96/2021), where Article 6 and Article 7 of PP 96/2021 regulates the basis for licensing and principles  granting standard certificates and/or permits, stating that:

 “Article 6”

 (1) Mining business is carried out based on a business license from the central government.

 (2) Business Licensing as referred to in paragraph (1) is implemented through the granting of:

 a.  trying main number;

 b.  standard certificate;  and/or

 c.  permission.

 (3) The Business Licensing as referred to in paragraph (21) is carried out in accordance with the provisions of the legislation.

 (4) The permit as referred to in paragraph (2) letter c consists of:

 a.  IUP;

 b.  IUPK;

 c.  IUPK as Continuation of Operation Contract/agreement;

 d.  IPR;

 e.  SIPB;

 f.  assignment permit;

 g.  Transport and sales permits;

 h.  IUJP;  and

 i.  IUP for Sales

 (5) Business Licensing in the form of granting standard certificates and permits as referred to in paragraph (2) letter b and letter c can be delegated to the Provincial Government based on the following principles:

 a.  effectiveness;

 b.  efficiency;

 c.  accountability;  and

 d.  externality.

 Article 7

 In addition to the principles as referred to in Article 6 paragraph (5), the delegation of authority to grant standard certificates and permits must consider the strategic nature of Mining commodities for:

 a.  supply of domestic industrial raw materials;  and/or

 b.  domestic energy supply.  “

Thus, in granting standard certificates and business permits which are the authority of the Central Government in this case the President of the Republic of Indonesia who holds the power of the state government of the Republic of Indonesia assisted by the Vice President and the Minister, delegated to the Provincial Government, namely the regional head, namely the Governor as an element of government administration.  regions that lead the implementation of government affairs which are the authority of the autonomous regions.

 Furthermore, regarding business entities that can apply for Metal Mineral Mining Business Permits, it is regulated in Article 9 paragraph (1) PP 96/2021, which reads:

 “Article 9”

 (1) IUP is granted by the Minister based on the application submitted by:

 a.  Business entity;

 b.  Cooperative;  or

 c.  sole proprietorship.”

 Then, the steps that must be passed to obtain a Metal Mineral Mining Business Permit are regulated in Article 16 of PP 96/2021, which reads:

 “IUP is obtained through the following stages:

 a.  granting of WIUP;  and

 b.  granting IUP.  “

 Metallic Mineral Mining Business Permit area obtained by way of auction, is regulated in Article 17 paragraph (3), which reads:

 “Article 17”

 (3) Metal Mineral WIUP as referred to in paragraph (1) letter b and Coal WIUP as referred to in paragraph (1) letter c shall be obtained by way of auction.  “

Based on Article 5 of the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources Number 7 of 2020 concerning Procedures for Regional Grants, Licensing, and Reporting on Mineral and Coal Mining Business Activities as amended by Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources Number 16 of 2021 (ESDM Ministerial Regulation 7  /2020), the Director General prepares the Metal Mineral WIUP which has been determined by the Governor based on the results of coordination with the Regent/Mayor by way of auction to Business Entities, Cooperatives, and Individuals.  The granting of Metal Mineral Mining Business Permit Areas is based on Data and Information originating from:

 a.  The results of the mining investigation and research activities carried out by the Minister and/or the Governor in accordance with their respective authorities;

 b.  The results of the evaluation of the Metal Mineral WIUP returned or reduced by the IUP holder;  and/or

 c.  The results of the evaluation of the Metal Mineral WIUP whose IUP expires or is revoked.

 There are 2 stages of IUP Granting activities where this is regulated in Article 28 PP 96/2021, namely:

 1. Exploration, which in this stage consists of:

 a.  General Investigation;

 b.  Exploration;  and

 c.  Feasibility study.

 2. Production Operations, which in this stage consist of:

 a.  Construction;

 b.  Mining;

 c.  Processing and/or Purification or Development and/or Utilization;  and

 d.  Transportation and Sales.

 In Law 3/2020 Regarding Mining Business Permit Areas (WIUP), Mining Business Permit (IUP) holders stipulate that metal mineral exploration WIUP is granted with an area of ​​at least 5,000 hectares and a maximum of 100,000.  a maximum area of ​​25,000 hectares.

 The granting of an IUP is explained in Article 32 of PP 96/2021, which states that:

 “IUP is granted to Business Entities, Cooperatives, Individual companies after fulfilling the following requirements:

  1. Administrative
  2. Technical;
  3. Environment;  and
  4. Financial.  “

Exploration Business Permit, is given when you want to carry out the stages of General Investigation, Exploration, and Feasibility Study activities.  In accordance with Article 37 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, Exploration IUPs are granted by:

  1. Minister, if the WIUP:
    • Being in a cross-provincial area
      Is in a sea area of ​​more than 12 (twelve) nautical miles measured from the coastline towards the high seas and/or towards the archipelagic waters;  or
    • Directly adjacent to other countries;  or
  2. Governor, if the WIUP is located:
    • In 1 (one) province;  or
    • In the sea area up to 12 (twelve) nautical miles measured from the coastline towards the high seas and/or towards the archipelagic waters.
    • Especially for the governor, in the case that the sea area between two provinces is less than 24 nautical miles, then the distance is divided equally or measured according to the principle of the center line of the area between the two provinces.

 The term of the Exploration IUP according to Article 41 paragraph (2) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 is as follows:

 a.​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​ 8 years for the IUP Exploration of metal minerals

 b.​ 7 (seven) years, for:

  1. Coal Exploration IUP;
  2. IUP Exploration of certain types of non-metallic minerals;

 c.​ 3 (three) years, for:

  1. IUP for Non-Metal Mineral Exploration;  or
  2. IUP for Rock Exploration.

 After completion of the Exploration IUP implementation, the business entity is obliged to take care of the Production Operation IUP in order to carry out the stages of production operation activities.  In accordance with Article 42 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, IUP Production Operations are granted by:

  1. Minister, if the Mining location, processing and/or refining location, and special port location:
    1. Located across provinces;  or
    2. Direct borders with other countries;
  2. Governor, if the Mining location, processing and/or refining location, and special port location are in 1 (one) provincial area.

 The term of the Production Operation IUP according to Article 45 paragraph (2) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 is as follows:

  1. 20 (twenty) years and can be extended 2 (two) times for 10 (ten) years each for:
    1. Metal mineral Production Operation IUP;
    2. Mining Business License (IUP) for Coal Production Operation;
    3. Production Operation Mining Permit for certain types of non-metallic minerals;
  2. 10 (ten) years and can be extended 2 (two) times each 5 (five) years for IUP Production Operations for non-metallic minerals;  or
  3. 5 (five) years and can be extended 2 (two) times for 5 (five) years each for IUP Rock Production Operations

 If you wish to purchase, transport, process and purify, including the sale of mineral or coal mining commodities from their processed products, the business entity is obliged to arrange for a Special Production Operation IUP for Processing and/or Purification.

 In accordance with Article 47 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, IUP Special Production Operations for Processing and/or Purification are granted by:

  1. Minister, if:
    • Mining commodities to be processed come from other provincial areas outside the location of the processing and/or refining facilities;
    • Mining commodities to be processed come from abroad;  and/or
    • If the location of the processing and refining facilities is in a cross-provincial area;
  2. Governor, if:
    1. The mining commodity to be processed comes from 1 (one) same province as the location of the processing and/or refining facility;  and/or
    2. If the location of the processing and/or refining facility is within 1 (one) province.

 Article 49 paragraph (5) of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 regulates the period of IUP for Special Production Operations for Processing and/or Purification as follows:

 “IUP Production Operation specifically for Processing and/or Purification as referred to in paragraph (1) is granted for a period of 30 (thirty_ years and can be extended for a period of 20 (twenty years) each time.”

 If a business entity wishes to purchase, transport and sell mineral or coal mining commodities, the business entity is required to arrange for a Special Production Operation IUP for Transportation and Sales.  In accordance with Article 50 of the Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020, the IUP for Special Production Operations for Transportation and Sales is granted by:

  1. The Minister, if the transportation and sales activities are carried out on provincial and/or cross-country lines;  or
  2. Governor, if the Transportation and Sales activities are carried out in 1 (one) provincial area.

 Article 52 paragraph (1) of Minister of Energy and Mineral Resources 7/2020 regulates the period of IUP Production Operation specifically for transportation and sales as follows:

 “IUP Production Operations specifically for transportation and sales are granted for a period of 5 (five) years and can be extended for a period of 5 (five) years each time.”

Regarding violations in mineral and coal mining activities, especially for Mining Business Permit (IUP) holders in accordance with Article 185 to Article 188 of PP 96/2021, namely as a violation of the following obligations:

  1. Transferring the Mining Business Permit to another party without the approval of the Minister.  (Article 10 paragraph (1))
  2. Transferring share ownership without the approval of the Minister.  (Article 13 paragraph (1) & paragraph (9))
  3. In addition to carrying out Production Operation activities, the holder of a Mining Business License for Production Operation stage is required to carry out further exploration activities every year.  (Article 48 paragraph (1) & paragraph (3))
  4. Carry out the installation of boundary markings for the Mining Business Permit Area for the Production Operation stage.  (Article 49 paragraph (1))
  5. Mining Permit holders who are interested in operating other mining commodities with different Mining Business Permit Areas are required to apply for a new IUP.  (Article 50 paragraph (2))
  6. In taking and using the rock contained in the Mining Business Permit Area, the holder of a Mining Business Permit in the Production Operation stage must:
    1. Report the extraction and use of rocks to the Regency/Municipal Government;  and
    2. Paying Regional Taxes in accordance with the provisions of the Legislation.  (Article 51 paragraph (2))

 Revocation of permits related to violations in the implementation of business activities in the Mining Sector as well as sanctions are regulated in Article 185 of Government Regulation Number 96 of 2021 concerning Implementation of Mineral and Coal Mining Business Activities, where the sanctions are administrative in nature in the form of:

  1. Written Warning;
  2. Temporary suspension of part or all of Exploration activities or Production Operations;  and/or
  3. Revocation of Mining Business Permit (IUP), Special Mining Business Permit (IUPK), People’s Mining Permit (IPR), Rock Mining Permit (SIPB), or Mining Business Permit (IUP) for Sales.

 Written warnings are given at most 3 times with a warning period of 30 days each, and if after being given the 3rd warning the Mining Company still has not carried out its obligations, then within a maximum period of 60 days from the end of the written warning period, an administrative sanction will be imposed.  in the form of temporary suspension of part or all of exploration activities or Production Operations, and if the Mining Company that has been given a temporary suspension of sanctions still does not carry out its obligations until the end of the temporary suspension period, it may be subject to sanctions in the form of revocation of IUP, IUPK, IPR, SIPB, and  IUP for Sales.

The Minister of Energy and Mineral Resources through the Directorate General of Mineral and Coal can impose administrative sanctions in the form of revocation of permits without going through the stages of giving written warnings and temporary suspensions if there is a court decision that the Mining Company has committed a criminal offense and has a permanent legal force, the results of the Minister’s evaluation of Mining Companies that have caused environmental damage and have not  apply the principles of good Mining techniques, and the Mining Company is declared bankrupt.

0

The Use of Intellectual Property as Guarantees

Author: Nirma Afianita; Co-author: Ananta Mahatyanto

Jaminan (Guarantee)

Jaminan, yang  berasal dari Bahasa Belanda, zekerheid atau cautie, merupakan suatu barang, harta, atau benda yang diberikan oleh debitur kepada kreditur dalam pengajuan suatu pinjaman. Selain itu, dalam perbankan, jaminan disebut juga sebagai agunan.

Walaupun konsep hukum tentang jaminan tidak ada dalam undang-undang, namun KUH Perdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum. Dinyatakan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, menurut Pasal 1131 KUH Perdata “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” berdasarkan pasal ini, seluruh harta benda seseorang otomatis menjadi jaminan atas utang.

Barang-barang tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadap mereka, menurut Pasal 1132 KUH Perdata, dan hasil penjualan barang tersebut dibagi sesuai dengan rasio hutang masing-masing, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.

Perjanjian jaminan harus didasari dengan perjanjian sementara atau perjanjian pokok. Karenanya, pengaturan jaminan adalah kesepakatan (accessoire), tambahan, atau lanjutan. Karena tidak ada yang dapat menjamin hutang jika tidak berwujud, perjanjian jaminan akan diselesaikan setelah perjanjian pokok diselesaikan.

Jaminan dibagi menjadi 2 yaitu umum dan khusus.

  1. Jaminan Umum

Sesuai Pasal 1131 KUHPerdata (“KUHPer”), semua barang yang dimiliki oleh pehutang, baik yang bergerak atau tidak bergerak, saat ini atau yang akan datang, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Inilah yang disebut sebagai Jaminan umum.

  • Jaminan Khusus

Ada pasal-pasal dalam hukum jaminan yang mengatur barang-barang yang dijadikan agunan hutang, atau yang dikenal sebagai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah jaminan dengan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditor jika debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditor di masa mendatang.

            Berikut adalah jenis-jenis jaminan kebendaan.

  1. Gadai

Barang yang digadaikan adalah barang bergerak yang terdiri dari barang berwujud dan tidak berwujud, seperti perhiasan dan hak untuk mendapat uang (surat piutang). Jika debitur tidak dapat melunasi pinjaman, kreditur dapat memiliki barang yang digadaikan.

Menurut Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, eksekusi barang gadai dapat dilakukan dalam salah satu dari dua bentuk yakni eksekusi langsung atau eksekusi berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya.

  • Fidusia

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan, selama benda yang dialihkan hak kepemilikannya tersebut tetap berada di bawah kendali pemilik benda. Fidusia diatur oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999. Benda fidusia mencakup benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, seperti bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Collateral, which comes from the Dutch language, zekerheid or cautie, is an item, property, or object given by the debtor to the creditor in the application of a loan.

Although the legal concept of guarantees does not exist in law, the Civil Code contains rules governing guarantees in general. Article 1131 of the Civil Code states that “All movable and immovable property belonging to the debtor, both existing and future, shall become collateral for the debtor’s individual engagements”. Based on this article, all of one’s property automatically becomes collateral for the debt.

 These goods become mutual guarantees for all creditors against them, according to Article 1132 of the Civil Code, and the proceeds from the sale of these goods are divided according to their respective debt ratios, unless there is a valid reason to prioritize them.

The guarantee agreement must be based on a provisional agreement or a principal agreement.  Accordingly, the guarantee arrangement is an accessoire, additional, or continuation.  Since no one can guarantee the debt if it is intangible, the guarantee agreement will be finalized after the principal agreement is completed.

 Guarantees are divided into 2, namely general and specific.

 1. General Guarantee

 In accordance with Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”), all goods owned by the debtor, whether movable or immovable, currently or in the future, are dependent on all individual engagements.  This is known as general guarantee.

 2. Special Guarantee

 There are articles in the security law that regulate goods that are used as collateral for debt, or what is known as material security.  Material collateral is a guarantee with an object in the form of movable or immovable property which is intended to guarantee the debtor’s debt to the creditor if the debtor is unable to pay his debts to the creditor in the future.

 Here are the types of material guarantees.

 a.  Pawn

 Pawned goods are movable goods consisting of tangible and intangible goods, such as jewelry and the right to receive money (receipts).  If the debtor is unable to repay the loan, the creditor can have the goods pawned.

 According to Articles 1155 and 1156 of the Civil Code, the execution of pawned goods can be carried out in one of two forms, namely direct execution or execution based on a previous court decision.

 b.  Fiduciary

 Fiduciary is the transfer of ownership rights to an object on the basis of trust, as long as the object whose ownership rights are transferred remains under the control of the owner of the object.  Fiduciary is regulated by Fiduciary Guarantee Law No.  42 of 1999.

 Fiduciary objects include movable or immovable objects, both tangible and intangible, such as buildings that are not encumbered with mortgage rights as referred to in Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights​

Kekayaan Intelektual (Intellectual Property)

Kekayaan Intelektual (KI) adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia.

Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain :

  • Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
  • Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.
  • Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.
  • Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia

Pada dasarnya, Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomis, sehingga Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai  Kekayaan Intelektual sebagai agunan atau jaminan ini diatur berdasarkan bentuknya, antara lain:

  • Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dimana hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan gadai maupun fidusia, berdasarkan jenis karya cipta yang dimiliki (material/tangible dan immaterial/intangible)

Berdasarkan perspektif hukum jaminan, karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Contoh, jika kita memiliki karya cipta material/ tangible berupa lukisan maka kita dapat menjaminkan lukisan tersebut melalui skema Gadai atau Fidusia. Sedangkan karya cipta yang bersifat immaterial/ intangible (contoh: film, musik, buku) hanya bisa dijaminkan melalui skema Fidusia. UU Hak Cipta terbaru (UU No. 28 Tahun 2014) hanya mengatur penjaminan Hak Cipta melalui skema Fidusia, sehingga diperlukan revisi UU tersebut agar penjaminan Hak Cipta juga bisa dilakukan melalui skema Gadai.

Mengacu Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa :

“ Pasal 16

  • Hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “

Pada dasarnya Hak Cipta dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia melalui pendaftaran jaminan fidusia dan pembuatan akta fidusia terhadap hak cipta yang dijadikan sebagai objek jaminan, dimana hal mengenai tata cara pendaftaran dan pembuatan akta tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Proses permohonan hak cipta yang didaftarkan sebagai objek jaminan fidusia ini diajukan oleh penerima fidusia, sebelumnya melalui proses penilaian hak cipta tersebut yang ingin dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, setelah itu permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan akan memperoleh bukti pendaftaran, setelah memperoleh bukti pendaftaran maka penerima fidusia harus melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dan setelah melakukan pembayaran baru Pendaftaran Jaminan Fidusia dicatatakan.

Jaminan Fidusia tersebut lahir bersamaan dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatatkan, dan akan mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang ditandatangani oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

  • Hak atas Merek

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dinyatakan bahwa:

“ Pasal 41

  • Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena:
  • pewarisan;
  • wasiat;
  • wakaf;
  • hibah;
  • perjanjian;
  • sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. “

Secara normatif, dapat dikatakan bahwa hak atas merek tersebut, baik merek dagang maupun merek jasa dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia melalui perjanjian seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, sehingga apabila dalam klausula perjanjian mengatur tentang pengalihan ataupun menjadikan hak atas merek sebagai jaminan fidusia (melalui permohonan), maka hal tersebut dapat dilakukan.

  • Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.

Paten dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, dimana dijelaskan bahwa:

“ Pasal 108

  • Hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
  • Ketentuan mengenai syarat dan tata cara hak atas Paten sebagai objek jaminan fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam hal pendaftaran hak atas paten sebagai objek jaminan fidusia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

  • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dijelaskan bahwa:

            “ Pasal 23

  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan:
  • pewarisan;
  • hibah;
  • wasiat;
  • perjanjian tertulis; atau
  • sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.”

Apabila pada perjanjian tertulis terdapat klausula terkait penjaminan produk DTLST  sebagai objek jaminan fidusia, dan disepakati oleh kedua belah pihak, maka Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat dijadikan sebagai Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang setelah itu melakukan permohonan pendaftaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu menjadi Objek Jaminan Fidusia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual dapat dijadikan sebagai 2 (dua bentuk) objek jaminan, yakni jaminan gadai dan fidusia. Terkait dengan karya cipta yang berbentuk nyata (material) dan bersifat benda (tangible) dapat diikat dengan jaminan Gadai dan/atau Fidusia. Di sisi lain, karya cipta yang berbentuk tak-nyata (immaterial) dan bersifat tak-benda (intangible) hanya bisa diikat dengan jaminan Fidusia. Sehingga, melalui skema gadai dapat disimpulkan harus disertakan dengan hasil ciptaan dan sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dimana dalam skema gadai tersebut tidak wajib menggunakan akta notaris sebab objek jaminannya berada pada tangan kreditor.

Berbeda halnya dengan, jaminan fidusia yang memerlukan akta notaris dan harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum dan Ham. Pengaturan fidusia lebih ketat dibandingkan dengan gadai, sebab objek jaminan fidusia berada di tangan debitor dengan status hak pakai.

Dalam hal objek jaminan berupa kekayaan intelektual dalam skema gadai, maka apabila pihak-pihak tersebut akan mengikuti pihak-pihak dalam skema gadai, yakni pemberi gadai dan penerima gadai, pengaturan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana secara garis besar hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemberi dan Penerima gadai adalah sebagai berikut:

 Intellectual Property (IP) is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.

 The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:

  • As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with economic value contained therein.
  • Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.
  • Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because the recognition of Intellectual Property will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.
  • Can be used as material for consideration to determine research and industry strategies in Indonesia

Basically, Intellectual Property has economic value, so Intellectual Property can be used as collateral or guarantee.

 The provisions governing Intellectual Property as collateral or guarantee are regulated based on their form, among others:

  • Copyright

 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.

 Where copyright can be used as an object of pledge or fiduciary collateral, based on the type of copyrighted work owned (material/tangible and immaterial/intangible)

 Based on the perspective of guarantee law, copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible) can be bound by Pledge and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  For example, if we have a tangible/material copyrighted work in the form of a painting, then we can guarantee the painting through a Pawn or Fiduciary scheme.  Meanwhile, copyrighted works that are immaterial/intangible (eg films, music, books) can only be guaranteed through a fiduciary scheme.  The latest Copyright Law (Law No. 28 of 2014) only regulates Copyright guarantees through the Fiduciary scheme, so it is necessary to revise the Law so that Copyright guarantees can also be carried out through the Pawn scheme.

 Referring to Article 16 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright it is explained that:

 “Article 16”

 (3) Copyright can be used as an object of fiduciary guarantee.

 (4) Provisions regarding Copyrights as objects of fiduciary guarantees as referred to in paragraph (3) are implemented in accordance with the provisions of laws and regulations.  “

Basically, Copyrights can be used as objects of fiduciary guarantees through registration of fiduciary guarantees and the making of fiduciary deeds of copyrights which are used as objects of guarantees, where matters regarding the procedures for registration and making the deed are regulated in Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Guarantees.  Fiduciary and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

 The process of applying for a copyright that is registered as an object of fiduciary security is submitted by a fiduciary recipient, before going through the process of assessing the copyright that wants to be used as an object of fiduciary security, after that an application for registration of a fiduciary guarantee that has met the conditions will obtain proof of registration, after obtaining proof of registration  then the fiduciary recipient must pay the registration fee for the fiduciary guarantee and after making a new payment the registration of the fiduciary guarantee is recorded.

 The Fiduciary Guarantee is born at the same time as the date the Fiduciary Guarantee is registered, and will get a Fiduciary Guarantee Certificate signed by the Official at the Fiduciary Registration Office.

  • Trademark Rights

 Right to a Mark is an exclusive right granted by the state to the owner of a registered Mark for a certain period of time by using the Mark himself or giving permission to other parties to use it.

 Based on Article 41 paragraph (1) of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, it is stated that:

 “Article 41”

 (1) Rights to registered Marks may be transferred or transferred because:

 a.  inheritance;

 b.  will;

 c.  waqf;

 d.  grant;

 e.  agreement;

 f.  other reasons justified by legislation.  “

 Normatively, it can be said that the rights to the mark, both trademarks and service marks can be used as objects of fiduciary guarantees through agreements as described in Article 41 letter e of Law Number 20 of 2016, so that if the clause of the agreement regulates the transfer or make the right to the mark as a fiduciary guarantee (through an application), then this can be done.

  • Patent

 A patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.

 Patents can be used as fiduciary guarantees as regulated in Article 108 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents, where it is explained that:

 “Article 108

 (1) Patent rights may be used as objects of fiduciary security.

 (2) Provisions regarding the terms and procedures for the right to a Patent as an object of fiduciary security shall be regulated by a Government Regulation.”

 In the case of registration of patent rights as objects of fiduciary security, it refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantees and Fees for Making Fiduciary Guarantee Deeds.

  • Integrated Circuit Layout Design (DTLST)

 The right to Layout Design for Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer for his creation, to carry it out himself for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise the right.

 ​Based on Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits, it is explained that:

 “Article 23

 (1) Right to Layout Design of Integrated Circuit can be transferred or transferred by:

 a.  inheritance;

 b.  grant;

 c.  will;

 d.  written agreement;  or

 e.  other reasons justified by legislation.

If in the written agreement there is a clause related to guaranteeing DTLST products as objects of fiduciary guarantees, and it is agreed by both parties, then the Right to Layout Design of Integrated Circuits can be used as Objects of Fiduciary Guarantees referring to Article 23 paragraph (1) of Law Number 32 of 2000  concerning Layout Design of Integrated Circuit, after which the application for registration of Right to Layout Design of Integrated Circuit as Object of Fiduciary Security refers to Government Regulation Number 21 of 2015 concerning Procedures for Registration of Fiduciary Guarantee and Fee for Making Fiduciary Guarantee Deed.

Thus, it can be concluded that Intellectual Property can be used as 2 (two) forms of collateral objects, namely pledges and fiduciary guarantees.  In relation to copyrighted works that are tangible (material) and tangible (tangible), they can be bound by Pawn and/or Fiduciary guarantees.  On the other hand, copyrighted works that are immaterial and intangible can only be bound by a fiduciary guarantee.  So, through the pawn scheme, it can be concluded that it must be accompanied by the creation and copyright certificate (as the main collateral), where in the pawn scheme it is not required to use a notary deed because the object of the guarantee is in the hands of the creditor.

Unlike the case with fiduciary guarantees, which require a notarial deed and must be registered with the Fiduciary Registration Office at the Ministry of Law and Human Rights.  Fiduciary arrangements are stricter than pawning, because the object of the fiduciary guarantee is in the hands of the debtor with usufructuary status.

In the case of the object of collateral in the form of intellectual property in the pawn scheme, then if the parties will follow the parties in the pawn scheme, namely the pawner and the pawn recipient, the pawn arrangement is regulated in Article 1150 to Article 1160 of the Civil Code,  In general, the rights and obligations of the Giver and Receiver of pawn are as follows:

Hak dan Kewajiban (Rights and Obligations)

Penerima Gadai

Hak :

  1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan tersebut, yaitu apabila pemberi gadai tersebut pada saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedang hasil penjualan barang jaminan tersebut diambil untuk melunasi hutang pemberi gadai dan sisanya dikembalikan pada pemberi gadai.
  2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
  3. Selama hutangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak rentetie).

Kewajiban :

  1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya.
  2. Penerima gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
  3. Pemegang gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan penjualan atas barang gadai.

Pemberi gadai

Hak :

  1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya.
  2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
  3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan hutang, bunga dan biaya lainnya.
  4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

Kewajiban :

  1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi hutang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai.
  2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atau barang gadai miliknya, apabila dalam jangka yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi hutangnya kepada pemegang gadai.

Pawnee

Right :

  1. The pawnee has the right to sell the pawned goods, that is, if the pawnbroker at maturity or at a specified time cannot fulfill his obligations as a debtor.  While the proceeds from the sale of the collateral are taken to pay off the debt of the pawner and the rest is returned to the pawner.
  2. The recipient of the pledge has the right to be reimbursed for the costs that have been incurred to maintain the safety of the collateral.
  3. As long as the debt has not been repaid, the pledge holder has the right to hold the collateral submitted by the pawnbroker (rentie rights).

 Obligation :

  1. The recipient of the pledge is responsible for the loss or decline in the price of the pawned item if it is all due to his negligence.
  2. The pawnee is not allowed to use the pawned goods for his own benefit.
  3. The pledge holder is obliged to notify the pawnbroker prior to the sale of the pawned goods.

The Pledger

 Right :

  1. The pawnbroker has the right to get his property back after the pawnbroker has paid off his debt.
  2. The pawnbroker has the right to claim compensation for the damage and loss of the pledged goods if it is caused by the negligence of the pawnee.
  3. The lender has the right to get the remainder from the sale of his goods after deducting the cost of paying off debt, interest and other costs.
  4. The pawnbroker has the right to ask for the goods back if the pawnbroker has clearly misused the goods.

 Obligation :

  1. The pawnbroker is obliged to pay off the debt he has received from the pawnbroker within a predetermined timeframe including interest and other fees determined by the pawnbroker.
  2. The pawnbroker is obliged to give up the sale or his/her own pawned goods, if within a predetermined period the pawner cannot pay off his debt to the pawnbroker.

Berakhirnya Hak Gadai (Expiration of Lien)

Suatu perjanjian hutang piutang pada dasarnya tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal, demikian pula dengan perjanjian gadai. Namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak lain. Hak gadai dikatakan batal apabila:

  1. Hutang piutang yang telah terjadi telah dibayarkan dan dilunasi.
  2. Barang gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai, yaitu bukan lagi menjadi hak milik pemberi gadai.
  3. Para pihak tidak lagi melaksanakan yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pemberi gadai maupun penerima gadai.
  4. Barang gadai tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun sebaliknya atas kemauan yang berpiutang.

Berkaitan dengan KI dengan objek jaminan fidusia yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, memiliki pihak yang sama dengan gadai yakni pemberi fidusia dan penerima fidusia, dimana hak dan kewajiban mereka sebagai berikut:

Penerima Fidusia

Hak:

  1. Mengawasi benda fidusia
  2. Menjual benda fidusia jika debitur wanprestasi
  3. Mengambil piutangnya dari hasil penjualan benda fidusia

Kewajiban:

  1. Melaksanakan pendaftaran akta jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia
  2. Memberikan kekuasaan kepada pemberi fidusia atas benda fidusia secara pinjam pakai
  3. Menyerahkan harga kelebihannya kepada pemberi fidusia dan menyerahkan kembali hak milik atas benda fidusia kepada pemberi fidusia jika piutangnya telah dilunasi oleh debitur.

Pemberi Fidusia

Hak :

  1. Menguasai benda fidusia
  2. Menerima hasil penjualan benda fidusia
  3. Menerima kembali hak milik atas benda fidusia jika telah melunasi hutangnya.

Kewajiban :

  1. Menjaga dan merawat benda fidusia agar tidak turun nilainya
  2. Melaporkan keadaan benda fidusia kepada penerima fidusia
  3. Melunasi utangnya

A debt agreement basically nothing lasts forever, meaning that the agreement can end or be canceled at any time, as well as a pawn agreement.  However, the cancellation of the lien will be very different from other rights.  A lien is said to be void if:

 a) Accounts payable that have been incurred have been paid and repaid.

 b) The pawned goods are out of the power of the pawnbroker, that is, they are no longer the property of the pawnbroker.

 c) The parties no longer carry out the rights and obligations of each party, both the pawner and the pawnee.

 d) The pawned goods are left in the power of the pawnbroker or vice versa at the will of the debtor.

With regard to KI with the object of fiduciary security which refers to Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it has the same party as the pawn, namely the fiduciary giver and fiduciary recipient, where their rights and obligations are as follows:

Fiduciary Recipient

 Right:

  1. Supervise fiduciary objects
  2. Selling fiduciary objects if the debtor defaults
  3. Taking the receivables from the sale of fiduciary objects

 Obligation:

  1. Carry out the registration of the fiduciary guarantee deed to the fiduciary registration office
  2. Giving power to the fiduciary giver over the fiduciary object on a borrowed basis
  3. Submit the excess price to the fiduciary giver and return the ownership rights to the fiduciary object to the fiduciary if the debt has been paid off by the debtor.

Fiduciary Giver:

 Right :

 1. Mastering fiduciary objects

 2. Receive the proceeds from the sale of fiduciary objects

 3. Receiving ownership rights to fiduciary objects if they have paid off their debts.

 Obligation :

 1. Maintain and care for fiduciary objects so that they do not decrease in value

 2. Reporting the condition of the fiduciary object to the fiduciary recipient

 3. Pay off the debt

Berakhirnya Hak Jaminan Fidusia (Expiration of Fiduciary Guarantee Rights)

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia berakhir karena:

  1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
  2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
  3. Musnahya benda yang menjadi objek jaminan fidusia

According to Article 25 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, Fiduciary Security ends because:

  1. Elimination of debt guaranteed by fiduciary
  2. Release of rights to fiduciary guarantees by fiduciary recipients
  3. The destruction of objects that are objects of fiduciary guarantees

Eksekusi Objek Jaminan (Guarantee Object Execution)

Terkait dengan apabila terjadinya sengketa terhadap KI yang dijadikan objek jaminan, seperti pada prosesnya penjaminan KI dapat dijadikan objek jaminan melalui 2 skema, sehingga pada proses eksekusi objek jaminan melalui 2 skema pula, yakni skema gadai dan skema fidusia.

1. Eksekusi Objek Jaminan Skema Gadai

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 2 jenis, yakni Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan. Dimana Parate Eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan. Hak eksekusi yang selalu siap dengan namanya “paraat” yang berarti hak itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan, objek hak gadai biasanya dilelang melalui pelelangan umum. Acuan pelaksanaan Parate Eksekusi mengacu pada Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Yang kedua, Penjualan Bawah Tangan, pada jaminan gadai dimungkinkan untuk melakukan penjualan bawah tangan, beranjak dari kalimat yang tertera di awal Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain” maka eksekusi barang gadainya dilakukan di hadapan umum. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tangan atas objek jaminan gadai bilmana mereka memperjanjikannya.

2. Eksekusi Objek Jaminan Skema Fidusia

Mekanisme eksekusi objek jaminan yang dapat ditempuh melalui skema gadai meliputi 3 jenis, yakni Titel Eksekutorial (melalui fiat pengadilan), Parate Eksekusi (Tanpa meminta bantuan pengadilan) dan Penjualan Bawah Tangan.

Terkait dengan mekanisme pertama yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana dijelaskan tentang pelaksanaan titel eksekutorial, yakni dalam sertifikat jaminan fidusia wajib dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Yang kedua, Parate Eksekusi, yang mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf b jo. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana apabila terjadi cidera janji/wanprestasi, maka penerima dapat melakukan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasa piutangnya dari hasil penjualan.

Yang ketiga, Penjualan Bawah Tangan, mengacu pada Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan bahwa penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

In the case of a dispute over IP which is used as an object of collateral, as in the process, IP guarantee can be used as a guarantee object through 2 schemes, so that in the process of executing the object of guarantee there are also 2 schemes, namely a pawn scheme and a fiduciary scheme.

 1. Execution of the Guaranteed Object of the Pawn Scheme

 The execution mechanism for collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 2 types, namely Parate Execution (without asking for court assistance) and Underhand Sales.  Where Parate Execution is an execution that can be carried out by the creditor without asking for court assistance or the process of placing a confiscation of collateral.  The right of execution which is always ready with the name “paraat” which means the right is ready in the hands of the creditor to be executed, the object of lien is usually auctioned through a public auction.  The reference for the implementation of the Execution Parate refers to Article 1155 of the Civil Code.

 Second, underhand sales, under pledged collateral it is possible to carry out underhand sales, starting from the sentence stated at the beginning of Article 1155 of the Civil Code, namely “If the promised parties do not agree otherwise” then the execution of the pawned goods is carried out  in public.  From these provisions, it can be concluded that the hand over the object of the pledge of collateral when they make an agreement.

 2. Execution of Object of Fiduciary Scheme Guarantee

 The mechanism for execution of collateral objects that can be taken through a pawn scheme includes 3 types, namely Executional Title (through court fiat), Execution Parate (without asking for court assistance) and Underhand Sales.

 Related to the first mechanism which refers to Article 29 paragraph (1) letter a jo.  Article 15 of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security, which explains the implementation of the executive title, namely that the fiduciary guarantee certificate must include the words “For the sake of Justice Based on God Almighty” with the aim of having the same executive power as court decisions  which has obtained permanent legal force.

 The second, Parate Execution, which refers to Article 29 paragraph (1) letter b jo.  Article 15 paragraph (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, where in the event of a breach of contract/default, the recipient can sell objects that are the object of the fiduciary guarantee on the power of the fiduciary recipient himself through a public auction and take payment of his receivables from the proceeds.  sale.

 Third, underhand sales, referring to Article 29 paragraph (1) letter c of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is explained that underhand sales are carried out based on an agreement between the Giver and the Fiduciary Recipient if in this way the highest price can be obtained.  which benefits the parties.

Metode Appraisal KI (IP Appraisal Method)

Tiga metode yang berlaku umum untuk penilaian jaminan juga dapat berlaku bagi penilaian Kekayaan Intelektual dan dapat juga berlaku untuk analisis Hak Cipta. Pendekatan biaya yang kurang umum digunakan daripada pendekatan pendapatan atau pendekatan pasar. Karena hak cipta memberikan hak monopoli kepada pemilik, pendekatan biaya tidak selalu berlaku untuk analisis penilaian hak cipta. Metode tersebut yaitu:

a) Metode pendekatan biaya

Penilaian ini didasarkan pada biaya yang dikeluarkan dalam mengembangkan atau menciptakan suatu karya cipta, atau biaya untuk menciptakan atau mengembangkan produk atau layanan serupa, tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi dari karya cipta tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai suatu obyek atau bagian dari kekayaan intelektual tidak lebih besar daripada biaya untuk memproduksinya. Pendekatan biaya memang memiliki keterbatasan tertentu dalam menganalisis nilai ekonomis suatu hak cipta. Karena keterbatasan ini, pendekatan biaya sering dianggap hanya dapat memberikan patokan bagi estimasi nilai ekonomi terendah.

b) Metode Pendekatan Nilai Pasar

Metode pendekatan pasar merupakan metode dimana Hak Kekayaan Intelektual atau aset tidak berwujud dinilai dengan membandingkannya dengan penjualan baru-baru ini, transfer, dan transaksi yang melibatkan aset yang sama di pasar yang sama. Kendala dari metode pendekatan nilai pasar ini adalah kesulitan untuk menganalisa berapa nilai jual suatu karya cipta.

c) Metode Pendekatan Pendapatan

Metode pendekatan pendapatan menentukan nilai ekonomi berdasarkan pendapatan masa depan yang dapat, atau akan, dihasilkan dari kekayaan intelektual atau aset tidak berwujud. Pendekatan pendapatan bagi Hak Kekayaan intelektual merupakan metode penilaian yang digunakan secara luas; namun, hal itu dapat menjadi kompleks, karena harus memutuskan bagaimana mengukur “pendapatan”. Yang menjadi parameter dasar dari pendekatan pendapatan adalah:

  1. aliran pendapatan masa depan
  2. durasi aliran pendapatan
  3. tingkat risiko atau pengurangan yang mungkin terjadi

The three generally accepted methods for assurance assessments may also apply to Intellectual Property assessments and may also apply to Copyright analysis.  The cost approach is less commonly used than the revenue or market approach.  Because copyright grants the owner monopoly rights, the cost approach does not always apply to copyright assessment analysis.  The methods are:

 a) Cost approach method

 This assessment is based on the costs incurred in developing or creating a copyrighted work, or the costs of creating or developing a similar product or service, without considering the economic value of the copyrighted work.  This principle states that the value of an object or piece of intellectual property is not greater than the cost of producing it.  The cost approach does have certain limitations in analyzing the economic value of a copyright.  Because of these limitations, the cost approach is often considered to only provide a benchmark for the lowest estimated economic value.

 b) Market Value Approach Method

 The market approach method is a method by which Intellectual Property Rights or intangible assets are valued by comparing them with recent sales, transfers, and transactions involving the same asset in the same market.  The problem with this market value approach is that it is difficult to analyze how much the selling value of a copyrighted work is.

 c) Income Approach Method

 The income approach method determines economic value based on the future income that can, or will, be generated from intellectual property or intangible assets.  The revenue approach to Intellectual Property Rights is a widely used valuation method;  however, it can be complex, having to decide how to measure “revenues”.  The basic parameters of the revenue approach are:

 1. future income stream

 2. duration of income stream

 3. the level of risk or reduction that may occur

Valuasi KI (IP Valuation)

Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan apprasial KI tersebut ada beberapa cara untuk menghitung nya dengan menggunakan metode Discounted Future Economic Benefits atau disingkat DFEB dan Relief-from-Royalty

Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Modul 11 berjudul IP Valuation sebagai salah satu topik dalam IP Panorama yang dikeluarkan oleh WIPO menjelaskan bagaimana cara menentukan pendapatan ekonomi yaitu:

  1. Proyeksikan aliran pendapatan (atau penghematan biaya) yang dihasilkan oleh aset KI selama sisa masa manfaat dari aset KI tersebut.
  2. Imbangi pendapatan/penghematan dengan biaya yang berhubungan secara langsung dengan aset KI, antara lain biaya tenaga kerja, bahan, investasi modal yang dibutuhkan, dan setiap sewa atau biaya modal lainnya.
  3. Hitung risiko untuk mengurangi jumlah pendapatan dari nilai saat ini (present value) dengan menggunakan tingkat diskonto atau tingkat kapitalisasi.

Beberapa perhitungan yang mungkin diperlukan pada metode pendapatan adalah perhitungan pendapatan kotor atau bersih (gross or net revenue), laba kotor (gross profit), pendapatan operasional bersih (net operating income), pendapatan sebelum pajak (pretax income), laba bersih (setelah pajak), arus kas operasi, arus kas bersih, pendapatan tambahan, dan penghematan biaya. Perhitungan-perhitungan tersebut merupakan bagian dari analisis finansial dalam menyusun studi kelayakan bisnis. Oleh karena itu, beberapa asumsi dalam menghitung atau melakukan analisis finansial harus dibuat, antara lain umur teknologi/paten dan tingkat diskonto.

Relief-from-Royalty Method merupakan satu mekanisme alih teknologi/paten yang banyak digunakan adalah lisensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP 20/2005) dimana KI milik Negara tidak diperkenankan dialihkan kepada pihak lain, artinya tidak dapat menggunakan mekanisme jual putus. Dalam mekanisme lisensi harus ditentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi teknologi. Metode relief-from-royalty dilakukan untuk menentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi suatu teknologi. Pembayaran royalti merupakan salah satu mekanisme bagi hasil (profit sharing). Metode yang paling umum digunakan untuk mengekspresikan royalti adalah persentase dari pendapatan (a percentage of revenue) (Heberden, 2011). Selain itu, besaran royalti juga dapat dihitung berdasarkan persentase dari keuntungan kotor, persentase dari keuntungan bersih, atau persentase dari unit penjualan. Penentuan besaran dan metode royalti umumnya bersifat negotiable antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Penentuan besaran royalti menurut Hadjiloucas (2014) dapat dilakukan berdasarkan data pasar atau hasil survei tentang royalti/lisensi sebagai pembanding (benchmarks).

Untuk menghitung nilai yang bisa diperoleh dari royalti diperlukan perhitungan nilai teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (income approach). Secara umum Reilly (2008) menjelaskan perhitungan tingkat pasar royalti menggunakan pendekatan pendapatan yang memproyeksikan nilai sekarang (present value / PV). Berdasarkan perhitungan dengan pendekatan pendapatan dapat diketahui prediksi arus kas pendapatan (revenue), keuntungan kotor, keuntungan bersih, dan nilai unit penjualan, yang selanjutnya dapat disimulasikan dan ditentukan beberapa alternatif besaran royalti dan dhitung PV-nya dengan tingkat diskonto tertentu sesuai umur teknologi atau perlindungan patennya.

When viewed from the IP appraisal approaches, there are several ways to calculate it using the Discounted Future Economic Benefits method or abbreviated as DFEB and Relief-from-Royalty.

 Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Module 11 entitled IP Valuation as one of the topics in IP Panorama issued by WIPO explains how to determine economic income, namely:

 a) Project the revenue stream (or cost savings) generated by the IP asset over the remaining useful life of the IP asset.

 b) Balance income/savings with costs directly related to IP assets, including labor costs, materials, required capital investment, and any rent or other capital costs.

 c) Calculate the risk of reducing the amount of revenue from the present value using the discount rate or capitalization rate.

 Some calculations that may be needed in the income method are the calculation of gross or net income (gross or net revenue), gross profit (gross profit), net operating income (net operating income), income before tax (pretax income), net profit (after tax).  ), operating cash flow, net cash flow, additional revenue, and cost savings.  These calculations are part of the financial analysis in compiling a business feasibility study.  Therefore, several assumptions in calculating or conducting financial analysis must be made, including the age of the technology/patent and the discount rate.

 Relief-from-Royalty Method is a technology/patent transfer mechanism that is widely used is licensing.  This is in accordance with the provisions in Government Regulation Number 20 of 2005 concerning Transfer of Intellectual Property Technology and Research and Development Results by Universities and Research and Development Institutions (PP 20/2005) wherein State-owned IP is not allowed to be transferred to other parties, meaning that it cannot be transferred to other parties.  using a sell-out mechanism.  In the licensing mechanism, the amount of royalty that will be offered to the party who will license the technology must be determined.  The relief-from-royalty method is used to determine the amount of royalty that will be offered to the party who will license a technology.  Payment of royalties is one of the mechanisms for profit sharing.  The most common method used to express royalty is a percentage of revenue (Heberden, 2011).  In addition, the amount of royalties can also be calculated based on a percentage of gross profit, a percentage of net profit, or a percentage of unit sales.  The determination of the amount and method of royalty is generally negotiable between the licensor and the licensee.  The determination of the royalty amount according to Hadjiloucas (2014) can be done based on market data or the results of a survey on royalties/licences as a comparison (benchmarks).

 To calculate the value that can be obtained from royalties, it is necessary to calculate the value of technology/patent with an income approach.  In general, Reilly (2008) explains the calculation of the market rate of royalties using an income approach that projects present value (PV).  Based on the calculation with the income approach, it can be seen that the prediction of cash flow income (revenue), gross profit, net profit, and unit sales value, which can then be simulated and determined several alternative amounts of royalties and calculated PV with a certain discount rate according to the age of technology or protection.  the patent.

0

Hak Cipta pada Bangunan Virtual dalam Dunia Virtual (Metaverse)

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Dunia virtual atau yang dikenal sebagai metaverse didefinisikan sebagai dunia virtual tiga dimensi di mana pengguna dapat berkumpul dalam bentuk digital seperti avatar, dan melakukan interaksi yang kompleks seperti di dunia nyata.[1] Dunia virtual sendiri mencakup beberapa bagian, seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), avatar holographis 3D, dan berbagai alat dan cara komunikasi serta perkembangan lainnya.[2] Dunia virtual memberikan suatu “kehidupan digital” yang hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata, termasuk interaksi sosial, kepemilikan maupun kegiatan transaksi komersial, perbedaan nya, yang menjadi objek kepemilikan dan transaksi adalah objek digital, seperti tanah virtual, bangunan virtual dan semacamnya.

Yang menarik dalam dunia virtual adalah mengenai tanah dan bangunan virtual. Pada hakikatnya, tanah dan bangunan virtual merupakan kode-kode berisi informasi elektronik yang mana dapat diproses melalui suatu program komputer. Karena itu, setiap kode dari tanah ataupun bangunan virtual tersebut terdiri dari kode unik yang mana tidak dapat diduplikasi.

Namun, bangunan virtual yang ada pada tanah virtual merupakan suatu karya ide yang muncul dan diwujudkan dalam wujud virtual. Sehingga bangunan virtual merupakan karya seni yang kemudian diwujudnyatakan dalam bentuk virtual. Perwujudnyataan itu dilaksanakan dengan menyusun kode-kode berisi informasi elektronik sedemikian rupa di dalam dunia digital hingga akhirnya membentuk bangunan virtual. Dalam arti lain, apabila seseorang ingin membangun bangunan virtual di tanah virtualnya, maka ia akan menyusun kode-kode sedemikian rupa sehingga apabila diterjemahkan dalam suatu program, susunan kode-kode itu akan membentuk suatu bangunan.

Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara eksplisit dan spesifik mengenai kepemilikan dan perlindungan hukum dalam dunia digital, khususnya mengenai karya seni digital. Namun, pengaturan keterkaitan karya digital tersebut dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014 HC).

Secara umum, UU Hak Cipta melindungi ciptaan-ciptaan yang beberapa diantaranya termuat dalam Pasal 40 ayat (1), yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

 “Pasal 40

  • Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
    • buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
    • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
    • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    • lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
    • drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    • karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
    • karya seni terapan;
    • karya arsitektur;
    • peta;
    • karya seni batik atau seni motif lain;
    • karya fotografi;
    • Potret;
    • karya sinematograh;
    • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
    • terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
    • kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
    • kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
    • permainan video; dan
    •  Program Komputer.[3]

Dimanna pada Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta point p,  disebutkan bahwa “kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya” merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta.

Sedangkan Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Hak Cipta adalah

“Pasal 1

  • “. . . seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

Dari definisi tersebut diketahui bahwa pada dasarnya Program Komputer merupakan instruksi yang dibuat agar komputer melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Apabila hal ini dihubungkan dengan dunia digital, pada dasarnya dunia digital merupakan dunia yang ada karena adanya sistem komputer. Karena itu, dunia digital dengan program komputer memiliki kesamaan yang erat dan dunia digital tidak dapat terpisahkan dari program komputer.

Dengan kesinambungan antara Program Komputer dengan dunia digital jika merujuk pada Pasal 40 ayat (1) point p, maka pada dasarnya kompilasi data digital yang dapat dibaca oleh Program Komputer merupakan objek perlindungan dari UU Hak Cipta.

Mengingat bahwa bangunan virtual merupakan “bangunan” yang dibaca oleh Program Komputer dari susunan kode-kode elektronik yang ada, maka yang dilindungi dari bangunan tersebut adalah susunan kode-kode elektronik tersebut. Sehingga, apabila ditemukan “bangunan” lain yang jika dilihat dari susunan kode elektroniknya sama, maka dapatlah dikatakan bahwa terjadi pelanggaran hak cipta terhadap susunan kode-kode elektronik tersebut.

Karena susunan kode yang membentuk bangunan virtual merupakan objek hak cipta, maka penyusun susunan kode tersebut memiliki hak ekonomi. Adapun hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU Hak Cipta sebagai berikut:

“Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.[4]

Dengan adanya hak ekonomi tersebut, maka terdapat sanksi pidana bagi pelanggar hak ekonomi. Sanksi pidana tersebut termuat dalam Pasal 113 UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 113

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Referensi:

  1. Khoirul Anam, CNBC Indonesia, Saat Dunia Virtual & Metaverse Disebut Masa Depan Internet (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet)
  2. Mike Snider and Brett Molina, USA TODAY, Everyone wants to own the metaverse including Facebook and Microsoft. But what exactly is it? (https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/)
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[1] Lihat dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211215114122-37-299440/saat-dunia-virtual-metaverse-disebut-masa-depan-internet

[2] Lihat dari https://www.usatoday.com/story/tech/2021/11/10/metaverse-what-is-it-explained-facebook-microsoft-meta-vr/6337635001/

[3] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[4] Pasal 9 UU Hak Cipta

[5] Pasal 103 UU Hak Cipta

0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0

How Predatory Pricing is Regulated in Indonesia

Author: Rizki Haryo; Co-author: Ananta Mahatyanto

Penjelasan tentang Predatory Pricing

Predatory pricing atau bias disebut juga monopoli harga adalah tindakan suatu perusahaan menetapkan harga di bawah biaya produksi dengan maksud menyingkirkan pesaing. Tujuan utama dari predatory pricing adalah untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa memberlakukan/melakukan predatory pricing. Pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”


Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Konsep Predatory Pricing

Penetapan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Hal tersebut tidak berlaku bagi:

  1. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
  2. Suatu perjanjian yang didasarkan undangundang yang berlaku.

Perbedaan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk

barang dan atau jasa yang sama. Larangan membuat perjanjian untuk tidak menjual/ memasok kembali dengan harga yang lebih rendah dari yang diperjanjikan (pasal 8 UU no.5 tahun 1999)

Rule Of Reason

Pada pasal 7 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan bahwa pelaku usaha diperbolehkan melakukan perbuatan jual rugi tapi dengan syarat perbuatan jual rugi tersebut tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Perbuatan jual rugi ini dapat dirumuskan dalam Rule of Reason.

Rule of Reason adalah suatu perilaku yang dilarang harus dapat dibuktikan telah mengakibatkan salah satu atau beberapa unsur performansi industri/sektor menurun, misalnya menurunnya kesejahteraan rakyat/ konsumen, efisiensi atau mengurangi persaingan (lessening competition). Rule of Reason hanya dapat dilakukan oleh lembaga otoritas dengan pendekatan untuk membuat evaluasi mengenai perjanjian atau kegiatan jual rugi tersebut dan menarik kesimpulan apakah perbuatan jual rugi bersifat menghambat atau mendukung persaingan antara pelaku usaha.

Hubungan Pasal 5 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999

Apabila para pihak yang membuat perjanjian merupakan pesaing aktual atau potensial dan mereka menetapkan harga untuk barang dan jasa yang berada di pasar bersangkutan faktual yang sama, maka diterapkan Pasal 5 Ayat 1. Namun, apabila pihak-pihak terkait bukan pesaing, maka terhadap perjanjian harga minimum yang berdiri sendiri hanya berlaku Pasal 8. Perincian-perincian lain tidak dapat disesuaikan dengan rumusan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999. Suatu hubungan khusus antara perjanjian dengan hubungan persaingan usaha antara para pihak-pihak anggota kartel tidak mempengaruhi Pasal 5 Ayat 1 UU No 5 Tahun 1999. Apabila pihak-pihak terkait menjadi pesaing usaha aktual ataupun potensial, maka ini merupakan bukti secukupnya bahwa perjanjian yang dibuat juga meliputi persaingan usaha tersebut. Standard yang diikuti oleh Pasal

5 Ayat 1 UU 5 Tahun 1999 sudah melarang perjanjian harga antar pesaing usaha. Larangan tersebut telah mencakup harga jual yang dibayar oleh penjual kembali maupun penetapan harga minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Sebagai larangan perjanjian yang horizontal berikutnya, maka Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999 tidak diperlukan lagi dan bahkan menjadi kontradiktif karena Pasal 5 Ayat 1 UU no 5 Tahun 1999 menetukan larangan harga, sedangkan pasal 8 UU no 5 Tahun 1999 hanya memuat larangan penyalahgunaan yang dimodifikasi.

Kedua ketentuan tersebut yaitu pasal 5 dan 8 UU no.5 tahun 1999 menjangkau persaingan dengan pesaing usaha. jika di bandingkan, Pasal 8 UU no.5 tahun 1999 hanya menunjukan perjanjian antar pelaku usaha. Bagian kedua UU no 5 Tahun 1999 ingin menggabungkan semua jenis penetapan harga. Jadi unsur sistematik penggabung Pasal 5-8 UU no 5 Tahun 1999, bukan ketentuan perjanjian horizontal melainkan perjanjian harga.

Tata Cara Penanganan Perkara

Pada pasal 38 ayat 1 UU no.5 tahun 1999 di jelaskan bahwa setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UU no.5 tahun 1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi Pengawasan Pelaku Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Berdasarkan Ayat 2 Pasal 38 tersebut pihak yang dirugikan juga dapat melaporkan tindakan tersebut dengan cara yang sama dengan ayat 1 pasal 38 dengan memaparkan kerugian yang timbulkan oleh pelaku, namun untuk identitas para pelapor akan dirahasiakan. Tata cara untuk pelaporan dijelaskan lebih lanjut oleh Komisi Pegawas Pelaku Usaha.

Pada pasal 39 UU no.5 tahun 1999 komisi mempunyai kewajiban melakukan pemeriksaan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima laporan dari pelapor dan komisi wajib menetapkan ada atau tidaknya pemeriksaan lanjutan.

Namun pada pasal 40 tidak menutup kemungkinan bahwa komisi dapat memeriksa pelaku usaha karena adanya dugaan pelanggaran tanpa ada nya pelaporan dengan tata cara yang sama seperti di atas.

Pelaku usaha yang diperiksa oleh komisi wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan oleh komisi dalam penyelidikan dan pemeriksaan. Pelaku usaha juga dilarang menolak untuk diperiksa dan memberikan informasi yang diperlukan, juga dilarang menghambat proses penyelidikan atau pemeriksaan.

Adapun alat bukti yang dimaksud pada Pasal 42 merupakan:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat dan atau dokumen
  4. Petunjuk
  5. Keterangan pelaku usaha

Alur Pemeriksaan dan Proses Pengadilan

Pada pasal 43 komisi menyelesaikan pemeriksaan lanjut selambatnya 60 hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan, namun apabila diperlukan perpanjangan waktu, paling lama adalah 30 hari. Pemutusan telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha wajib dilakukan oleh komisi selambatnya 30 hari setelah selesainya pemeriksaan lanjutan tersebut dan putusan tersebut di bacakan di persidangan terbuka untuk umum.

Setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dalam kurun waktu 30 hari pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan pelaksanaannya kepada komisi. Pelaku usaha juga dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatnya 14 hari setelah menerima putusan tersebut. Apabila tidak mengajukan keberatan maka pelaku usaha dianggap menerima putusan tersebut.

Terkait dengan putusan yang tidak dilakukan oleh pelaku usaha, maka Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal tersebut menjadi bukti permulaan yang cukup untuk penyidikan.

Sanksi pelanggaran

Pada pasal 47 komisi berwenang memberi sanksi tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar, tindakan tersebut merupakan:

  1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
  3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
  4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
  5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
  6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
  7. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Ketentuan-Ketentuan Pidana

Dalam UU no.5 tahun 1999 di tentukan nya untuk sanksi pidana terhadap pelaku yang dimana pada pasal 48:

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah- rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 3 (tiga) bulan.

Dan adanya pidana tambahan yang merujuk pada pasal 10 KUHP untuk sanksi tersebut berupa:

  1. Pencabutan izin usaha; atau
  2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undan ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
  3. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Explanation of Predatory Pricing

 Predatory pricing or also known as monopoly pricing is the action of a company setting prices below production costs with the intention of getting rid of competitors. The main objective of predatory pricing is to remove competing business actors from the market and also prevent business actors who have the potential to become competitors from entering the same market.  As soon as they succeed in getting a competing business actor out of the market and delaying the entry of a new business actor, then the business actor can then increase the price again and maximize profits.  To be able to carry out such actions, the business actor must have a large market share and the profits to be obtained can cover the losses suffered during the period of implementing/performing predatory pricing.  Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition states:

 “Business actors are prohibited from supplying goods and or services by selling at a loss or setting very low prices with the intention of getting rid of or ascertaining the business of their competitors in the relevant market so as to result in monopolistic practices and or unfair business competition.”

Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition

Predatory Pricing Concept

Pricing

Business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to determine the price for goods and or services that must be paid by consumers or customers in the same relevant market.

 This does not apply to:

  1. An agreement entered into in a joint venture;
  2. An agreement based on the applicable law.

Price differences

Business actors are prohibited from entering into agreements that result in one buyer having to pay a price different from the price paid by another buyer for the same goods and or services.  Prohibition of making an agreement not to sell/resupply at a lower price than agreed (article 8 of Law no. 5 of 1999)

Rule Of Reason

 In Article 7 of Law No. 5/1999, business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to set prices below the market price, which may result in unfair business competition.  It can be said that business actors are allowed to carry out selling at a loss but on the condition that the act of selling at a loss does not result in unfair business competition.  This act of selling at a loss can be formulated in the Rule of Reason.

 Rule of Reason is a prohibited behavior that must be proven to have resulted in one or several elements of industry/sector performance declining, for example decreasing people’s/consumer welfare, efficiency or reducing competition (lessening competition).  The Rule of Reason can only be carried out by an authorized institution with an approach to evaluate the agreement or sale and loss activity and draw a conclusion whether the act of selling and losing is hindering or supporting competition between business actors.

Relation between Article 5 and Article 8 of Law No. 5 of 1999

 If the parties to the agreement are actual or potential competitors and they set prices for goods and services in the relevant market which are factually the same, then Article 5 Paragraph 1. However, if the parties concerned are not competitors, then the minimum price agreement is  which stands alone only applies Article 8. Other details cannot be adjusted to the formulation of Article 5 Paragraph 1 and Article 8 of Law No. 5 of 1999. A special relationship between the agreement and the business competition relationship between the parties who are cartel members does not affect Article 5  Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999. If the related parties become actual or potential business competitors, then this is sufficient evidence that the agreement made also includes such business competition.  The standard which is followed by Article 5 Paragraph 1 of Law 5 of 1999 already prohibits price agreements between business competitors.  The prohibition includes the selling price paid by the re-seller as well as the determination of the minimum price that may be requested by the re-seller.  As the next horizontal agreement prohibition, Article 8 of Law No. 5 of 1999 is no longer needed and even becomes contradictory because Article 5 Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 stipulates a prohibition on prices, while Article 8 of Law No. 5 of 1999 only contains a modified prohibition of abuse.

The two provisions, namely Articles 5 and 8 of Law No. 5/1999, cover competition with business competitors.  in comparison, Article 8 of Law no. 5 of 1999 only shows an agreement between business actors.  The second part of Law No. 5/1999 wants to incorporate all types of pricing.  So the systematic element of combining Articles 5-8 of Law No. 5 of 1999, is not a provision for a horizontal agreement but a price agreement.

Procedure for Handling Cases

Article 38 paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 explains that anyone who knows that there has been or is reasonably suspected of having violated Law No. 5 of 1999 can report in writing to the Business Actor Supervision Commission with clear information about the occurrence of a violation.  , by including the identity of the reporter.  Based on paragraph 2 of article 38, the aggrieved party can also report the action in the same way as paragraph 1 of article 38 by describing the loss caused by the perpetrator, but the identity of the complainant will be kept confidential.  The procedure for reporting is further explained by the Business Actor Supervisory Commission.

 In Article 39 of Law No. 5 of 1999, the commission has the obligation to carry out an examination no later than 30 days after receiving the report from the reporter and the commission is obliged to determine whether or not there is a follow-up examination.

 However, Article 40 does not rule out the possibility that the commission may examine business actors for alleged violations without reporting in the same manner as above.

 Business actors examined by the commission are required to submit evidence required by the commission in the investigation and examination.  Business actors are also prohibited from refusing to be examined and providing the necessary information, nor are they prohibited from obstructing the investigation or examination process.

 The evidence referred to in Article 42 is:

  1. Witness testimony
  2. Expert description
  3. Letters and or documents
  4. Instruction
  5. Description of business actors

Examination Flow and Court Process

 In Article 43, the commission completes a follow-up examination no later than 60 days after the follow-up examination is carried out, but if an extension of time is required, the maximum is 30 days.  The decision that a violation has occurred committed by a business actor must be made by the commission no later than 30 days after the completion of the follow-up examination and the decision is read out in court open to the public.

 After receiving notification of the decision within 30 days, the business actor is obliged to implement the decision and submit its implementation to the commission.  Business actors can also file an objection to the district court no later than 14 days after receiving the decision.  If they do not file an objection, the business actor is deemed to have accepted the decision.

 Regarding decisions that are not made by business actors, the Commission submits the decision to investigators for investigation in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations and this is sufficient preliminary evidence for investigation.

Violation sanction

 In Article 47, the commission is authorized to sanction administrative actions against business actors who violate them, these actions are:

  1. determination of the cancellation of the agreement as referred to in Article 4 to Article 13, Article 15, and Article 16;  and or
  2. orders to business actors to stop vertical integration as referred to in Article 14;  and or
  3. orders to business actors to stop activities that are proven to cause monopolistic practices and or cause unfair business competition and or harm the public;  and or
  4. orders to business actors to stop abuse of dominant position;  and or
  5. stipulation of cancellation of merger or consolidation of business entities and acquisition of shares as referred to in Article 28;  and or
  6. determination of compensation payment;  and or
  7. imposition of a fine of a minimum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah).

 Criminal Provisions

In Law no. 5 of 1999, it is stipulated that criminal sanctions against perpetrators are stipulated in article 48:

  1. Violation of the provisions of Article 4, Article 9 to Article 14, Article 16 to Article 19, Article 25, Article 27, and Article 28 is subject to a minimum fine of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah)  and a maximum of Rp. 100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 6 (six) months.
  2. Violation of the provisions of Article 5 to Article 8, Article 15, Article 20 to Article 24, and Article 26 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah) and a maximum of Rp.  Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 5 (five) months.
  3. Violation of the provisions of Article 41 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a period of time.  – a period of 3 (three) months.

 And there are additional penalties that refer to Article 10 of the Criminal Code for these sanctions in the form of:

  1. revocation of business license;  or
  2. prohibition for business actors who have been proven to have violated this law from serving as directors or commissioners for a minimum of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years;  or
  3. cessation of certain activities or actions that cause harm to others.

1 2 3 4
Translate