0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0

Sanksi Terhadap Shooting Film yang Tidak Memiliki Izin

Monday, 3rd January 2022

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Joshua Bernando

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial, maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum. Seperti contoh, apabila pelaku usaha perfilman ingin melakukan usaha pembuatan film, melalui proses shooting film dan penyiaran, maka harus melakukan proses perizinan dan mendapatkan izin dari pihak yang mempunyai kewenangan dalam hal tersebut.

Memperoleh izin tersebut harus mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku, dan izin tersebut harus sudah didapatkan sebelum shooting dilaksanakan. Izin biasanya diperlukan apabila pelaku usaha film menggunakan tempat umum, dan bukti pemberian izin oleh pihak yang berwenang biasanya berbentuk surat yang berisi perihal dan tanda tangan oleh pihak yang berwenang (dalam bentuk tulisan).

Selain itu, permintaan izin juga merupakan bagian dari etika yang berkaitan dengan moral, dimana etika merupakan unsur yang diterapkan dalam kode etik profesi pelaku usaha perfilman memiliki kode etik yang harus dipatuhi.

Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menjelaskan bahwa pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film dalam hal ini harus didahului menyampaikan pemberitahuan film kepada Menteri, dengan disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Serta dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1) & ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa Pelaku Usaha pembuatan film yang akan membuat film wajib memiliki Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF) dimana TPPF tersebut harus meliputi : 

  1. nama pemilik hak cipta atas film yang dibuat; 
  2. judul film; 
  3. isi cerita/sinopsis dalam bahasa Indonesia; 
  4. nama produser, sutradara, dan penulis; dan 
  5. jadwal dan lokasi pembuatan film. [2]

Apabila tidak terpenuhinya izin lokasi atau izin tidak diberikan oleh pihak yang berwenang pada tempat/lokasi tersebut, maka dapat dikatakan tidak terpenuhinya syarat untuk memperoleh izin pembuatan film melalui Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF).

Selain itu, mengacu pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan, dinyatakan bahwa: 

“ Pasal 6

  • Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif. 
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    • teguran tertulis; 
    • denda administratif; 
    • penutupan sementara; 
    • pengenaan daya paksa polisional; dan/atau 
    • pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha. [3]

Pada Pasal 5 jo. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Yang dimaksud menjunjung tinggi adalah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.

Terkait dengan proses shooting izin dan terdapat pelanggaran etika dan moral yang dilakukan oleh rumah produksi, maka film tersebut tidak boleh ditayangkan atau disiarkan terkait dengan pelanggaran kode etik penyiaran yang harus dipatuhi oleh stasiun televisi, tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran : 

“(1) Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan etika profesi yang dimiliki oleh profesi tertentu yang ditampilkan dalam isi siaran agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif di masyarakat.”[4]

 Berkaitan dengan kewenangan KPI pada Pasal 8 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjelaskan bahwa KPI dalam menjalankan fungsinya mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program penyiaran. [5]

Pemenuhan syarat dalam perizinan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pelaku usaha perfilman, perlu dilakukan untuk dalam hal melaksanakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi, pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi yang bersifat administratif hingga pembubaran/pencabutan perizinan berusaha.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
  4. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan
  5. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Legal Basis: Law Number 33 of 2009 concerning Film

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government. The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection. For example, if a film business actor wants to do a film-making business, through the film shooting and broadcasting process, then they must carry out a licensing process and get permission from the party who has the authority in this regard.

Obtaining the permit must follow the applicable procedures, and the permit must be obtained before shooting is carried out. Permits are usually required if the film business actor uses a public place, and evidence of granting a permit by the competent authority is usually in the form of a letter containing the subject matter and signature by the authorized party (in writing).

Aside from that, the request for permission is also part of ethics related to morals, where ethics is an element that is applied in the professional code of ethics for film business actors who have a code of ethics that must be obeyed.

Referring to Article 17 paragraph (1) of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that filmmaking by film-making business actors in this case must be preceded by submitting a film notification to the Minister, accompanied by the title of the film, the content of the story, and the plan for making the film. As well as explained in Article 18 paragraph (1) & paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector, it is explained that filmmaking Business Actors who will make films are required to have a Film Making Notification Sign (TPPF) where the TPPF must include:

  1. the name of the copyright owner for the film made;
  2. movie title;
  3. the content of the story/synopsis in Indonesian;
  4. names of producers, directors and writers; and
  5. filming schedule and location

If the location permit is not fulfilled or the permit is not granted by the competent authority at the place/location, it can be said that the requirements for obtaining a filmmaking permit are not met through the Film Making Notification Sign (TPPF).

Aside from that, referring to Article 6 paragraph (1) and paragraph (2) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector, it is stated that:

” Article 6

  • Every Business Actor, based on the results of Supervision found a discrepancy or violation of the Business Licensing in the cultural sector, is subject to administrative sanctions.
  • The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:
    • written warning; 
    • administrative fines; 
    • temporary closure; 
    • the imposition of police coercion; and/or
    • dissolution or revocation of Business License.“

In Article 5 jo. Elucidation of Article 5 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that film activities and film business are carried out based on freedom to be creative, innovate, and work by upholding religious values, ethics, morals, decency, and national culture. What is meant by upholding is that it must be in line and must not be contradictory.

Related to the shooting permit process and there are ethical and moral violations committed by the production house, the film may not be shown or broadcast related to violations of the broadcasting code of ethics that must be obeyed by television stations, as stated in Article 10 paragraph (1) of the Indonesian Broadcasting Commission Regulation. Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct:

“(1) Broadcasting institutions are required to pay attention to the professional ethics of certain professions that are displayed in broadcast content so as not to harm and cause negative impacts in society.”

In relation to the authority of KPI in Article 8 paragraph (2) letter d of Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting which explains that KPI in carrying out its functions has the authority to provide sanctions for violations of regulations and guidelines for broadcasting behavior as well as broadcasting program standards.

Fulfillment of requirements in licensing a business activity carried out by business actors, in this case film business actors, needs to be carried out in order to carry out legal obligations that must be fulfilled, business actors who do not have permits may be subject to administrative sanctions up to the dissolution/revocation of business licenses.

Legal Basis :

  1. Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting
  2. Law Number 33 of 2009 concerning Film
  3. Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector
  4. Minister of Education Regulation Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector
  5. Regulation of the Indonesian Broadcasting Commission Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct
0

The Legality of using Cryptocurrency in Indonesia

Author: Fitriyani Wospakrik

Dasar Hukum

  • Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka
  • Hukum Islam

Legal basis

  • Law Number 7 of  2011 concerning Currency
  • Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
  • Regulation of the Commodity Futures Trading Regulatory Agency Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for the Implementation of Crypto Assets Physical Market on the Futures Exchange
  • Islamic Law


LEGALITAS PENGGUNAAN CRYPTOCURRENCY DI INDONESIA

Pemanfaatan teknologi saat ini sudah menjadi kebutuhan utama, dengan kemajuan teknologi muncul istilah yang disebut dengan transaksi digital dengan hanya menggunakan jaringan internet, salah satu transaksi yang menarik perhatian saat ini adalah Cryptocurrency yaitu mata uang digital yang menggunakan teknologi Blockchain

Blockchain dikembangkan dan dibuat untuk mengurangi atau menghilangkan fungsi perantara yang sering disebut orang sebagai “Middleman” yaitu pengelolanya adalah penggunanya sendiri dan bukan pihak ketiga. Blockchain tersebut akan mengatur dan mengelola data transaksi mata uang digital.

Sampai saat ini terdapat 1500 jenis mata uang Cryptocurrency, beberapa yang terkenal di masyarakat adalah ethereum, ripple, litecoin, dogecoin, mrai, dashcoin, dan yang paling terkenal dan populer saat ini adalah bitcoin.

Prinsip kerja Blockchain

1. Folder Data

Setiap pengguna menyimpan data setiap transaksi dalam folder data, folder ini berisi data-data tiap transaksi dalam bentuk kumpulan data

2. Transaksi Data

Ketika ada sebuah transaksi yang akan dilakukan. setiap pengguna dalam rantai akan mencatat dan menyimpannya sebagai record baru begitu selanjutnya jika ada transaksi kembali maka akan ditambahkan record data baru ke dalam folder setiap pengguna di perangkat masing-masing perlu diingat kembali record dilakukan tanpa adanya perantara pihak ketiga.

3. Validasi Data

Untuk memvalidasi data pada blockchain cryptocurrency maka diberlakukan sebuah fungsi hash. Fungsi data hash akan dibentuk saat transaksi dianggap valid. Hash merupakan suatu rangkaian angka dan huruf yang berfungsi untuk memverifikasi validitas informasi, akan tetapi tidak mengungkapkan informasi dari data itu sendiri.

CryptoCurrency

Cryptocurrency adalah Mata uang digital yang dibangun menggunakan teknologi blockchain. Cryptocurrency merupakan Sebutan untuk mata uang digital yang yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset. Cryptocurrency sering kali dipakai sebagai alat investasi layaknya saham dan emas, selain itu digunakan juga sebagai transaksi komersial elektronik.

Berbicara tentang Cryptocurrency maka yang paling banyak diketahui orang-orang adalah Bitcoin yang merupakan salah satu dari jenis mata uang Cryptocurrency,

Bitcoin adalah sebuah mata uang baru atau uang elektronik yang diciptakan tahun 2009 lalu oleh seseorang yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto.

Bitcoin menggunakan sebuah database yang didistribusikan dan menyebar ke node-node dari sebuah jaringan Peer to Peer ke jurnal transaksi, dan menggunakan kriptografi untuk menyediakan fungsi-fungsi keamanan dasar, seperti memastikan bahwa bitcoin-bitcoin hanya dapat dihabiskan oleh orang memilikinya, dan tidak pernah boleh dilakukan lebih dari satu kali.

Kelebihan Cryptocurrency

  • Cryptocurrency dibuat didasari kriptografi yang bersifat terdesentralisasi, tidak terpusat secara langsung atau peer to peer melalui blockchain, yaitu jauh lebih aman dari pada yang sifatnya terpusat sehingga banyak masyarakat saat ini yang menjadikan Cryptocurrency sebagai investasi yang menjanjikan
  • Sistem blockchain tidak berkemungkinan terjadi down pada server dikarenakan  seluruh  jaringan  komputer yang  aktif  merupakan  server  tersendiri.  Sehingga  jika  terjadinya kerusakan  atau  pembobolan hacker pada  server   yang   satunya, maka  hal tersebut  tidak  mengganggu  transaksi  pada  server  yang lainnya.
  • Mempercepat proses transaksi tentang kecepatan dan juga kemudahan. Cryptocurrency sengaja diciptakan sebagai solusi dari rumitnya transaksi keuangan dan perbankan konvensional. Dengan menggunakan Cryptocurrency, kita bisa melakukan transaksi dengan lebih cepat dan praktis. Misalnya untuk melakukan transfer ke rekening luar negeri, kita biasanya harus melakukan transaksi tersebut pada hari dan jam kerja. Sedangkan untuk transaksi menggunakan Cryptocurrency, kita bisa melakukannya kapan saja tanpa harus menunggu jam dan hari kerja.

Kekurangan Cryptocurrency

  • Pemilikan Cryptocurrency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak  ada otoritas  yang  bertanggung  jawab
  • Tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga Cryptocurrency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif, Nilai mata uang bisa tiba-tiba mengalami kenaikan yang drastis. Begitu juga dengan penurunan nilainya yang juga bisa terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
  • Pendanaan  terorisme dan pelanggaran hukum lainnya sehingga   dapat   mempengaruhi   kestabilan   sistem   keuangan   dan  merugikan masyarakat.

Legalitas Penggunaan Cryptocurrency  

  • Alat Pembayaran yang tidak sah merujuk pada Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Mengenai alat pembayar yang sah Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Mata Uang ditentukan bahwa “Uang adalah alat pembayaran yang sah”. UU Mata Uang juga secara tegas menentukan bahwa mata uang yang dikeluarkan oleh Indonesia adalah Rupiah sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Mata Uang.
  • Pada ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Dengan Pesatnya   perkembangan   penggunaan  Cryptocurrency  di   kalangan   masyarakat sehingga Bank  Indonesia  mengeluarkan  pernyataan  nomor  20/4/DKom, yang berisi: “Bank Indonesia menegaskan bahwa Crypto currency termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat  pembayaran  di  Indonesia.  Hal  tersebut  sesuai  dengan  ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata  uang  adalah  uang  yang  dikeluarkan  oleh  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia   dan   setiap   transaksi   yang   mempunyai   tujuan   pembayaran,   atau kewajiban  lain  yang  harus  dipenuhi  dengan  uang,  atau  transaksi  keuangan lainnya  yang  dilakukan  di  Wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib menggunakan Rupiah. Dalam pernyataan tersebut, pihak Bank Indonesia bahkan menegaskan bahwa segala risiko yang timbul atas penggunaan bitcoin dan Cryptocurrency lainnya menjadi tanggung jawab pengguna bitcoin dan Pemerintah Indonesia tidak bertanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi dan dialami oleh pengguna.
  • Perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberikan perlindungan hukum yakni pada pasal 9 yang menentukan bahwa ”setiap pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
  • Criptocureency dalam hukum Islam. Hukum Islam, lembaga fatwa Darul Ifta Al-Azhar Mesir merilis hasil kajian, Status haram itu menurut Darul Ifta muncul karena unsur gharar. Unsur gharar sendiri adalah istilah fikih yang mengindikasikan adanya keraguan, pertaruhan (spekulasi), dan ketidakjelasan yang mengarah merugikan salah satu pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan catatan terhadap Bitcoin. MUI menyebut bahwa bitcoin memiliki dua hukum, yakni mubah dan haram. Mubah berlaku jika bitcoin digunakan hanya sebagai alat tukar bagi dua pihak yang saling menerima. Sementara itu hukum haram jika bitcoin digunakan sebagai investasi.
  • Ketentuan Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Crypto. Diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi investor cryptocurrency, wujud dari perlindungan hukum untuk investor cryptocurrency semua marketplace cryptocurrency harus memenuhi seluruh syarat yang telah diatur dalam aturan Bappebti dengan mengumpulkan semua file yang diminta, mengedepankan prinsip pengelolaan usaha yang benar seperti mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi agar dapat mencegah adanya money laundering (Pencucian Uang) dan pembiayaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal”.

Apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh marketplace crypto, maka bisa diberikan sanksi pembatalan persetujuan. Dengan batalnya persetujuan tersebut, maka marketplace Asset crypto wajib mengembalikan dana ataupun menyerahkan Asset crypto milik Konsumen Asset crypto yang dikelolanya, dan dilarang menerima konsumen Asset crypto yang baru.

LEGALITY OF USING CRYPTOCURRENCY IN INDONESIA

Utilization of technology has now become a major need, with technological advances a term called transaction has emerged. Digital currency using only the internet network, one of the transactions that is attracting attention today is Cryptocurrency, which is a digital currency that uses Blockchain technology

Blockchain was developed and created to reduce or eliminate the function of intermediaries who are often referred to as “Middleman”, namely the manager is the user himself and not a third party. The blockchain will organize and manage digital currency transaction data.

Until now there are 1500 types of Cryptocurrency currencies, some of which are well known in the community are Ethereum, Ripple, Litecoin, Dogecoin, Mrai, Dashcoin, and the most famous and popular today is Bitcoin.

Blockchain working principle

1. Folder Data

Each user stores data for each transaction in a data folder, this folder contains data for each transaction in the form of data sets

2. Transaction Data

When there is a transaction to be made. Each user in the chain will record and save it as a new record so that if there is a re-transaction, a new data record will be added to the folder of each user on each device.

3. Validation Data

To validate data on the cryptocurrency blockchain, a hash function is applied. The hash data function will be created when the transaction is considered valid. Hash is a series of numbers and letters that serves to verify the validity of information, but does not reveal information from the data itself.

CryptoCurrency

Cryptocurrency is a digital currency built using blockchain technology. Cryptocurrency is a term for digital currency designed to work as a medium of exchange that uses strong cryptography to secure financial transactions, control the process of creating additional units, and verifying asset transfers. Cryptocurrency is often used as an investment tool like stocks and gold, but it is also used for electronic commercial transactions.

Talking about Cryptocurrency, what most people know is Bitcoin which is one of the types of Cryptocurrency currency,

Bitcoin is a new currency or electronic money that was created in 2009 by someone using the pseudonym Satoshi Nakamoto.

Bitcoin uses a database that is distributed and propagated to the nodes of a Peer-to-Peer network to a transaction journal and uses cryptography to provide basic security functions, such as ensuring that bitcoins can only be spent by the person who owns them, and is never allowed to spend them. done more than once.

Advantages of Cryptocurrencies

  • Cryptocurrency is made based on cryptography that is decentralized, not centralized directly or peer to peer through blockchain, which is much safer than centralized so that many people today are making Cryptocurrency a promising investment
  • The System is the blockchain not likely to be down on the server because all active computer networks are separate servers. So if there is a damage or break- hacker, on the other server, then it does not interfere with transactions on other servers.
  • Accelerate the transaction process regarding speed and convenience. The cryptocurrency was deliberately created as a solution to the complexity of conventional financial and banking transactions. By using Cryptocurrencies, we can make transactions more quickly and practically. For example, to make a transfer to a foreign account, we usually have to make the transaction on working days and hours. As for transactions using Cryptocurrencies, we can do it at any time without having to wait for hours and working days.

Disadvantages of Cryptocurrency

  • Cryptocurrency ownership is very risky and full of speculation because there is no responsible authority
  • There is no underlying asset that underlies the price of Cryptocurrency and the trading value is very volatile, Currency values ​​can suddenly experience a drastic increase. Likewise with the decline in value which can also occur quickly.
  • The financing of terrorism and other violations of the law can affect the stability of the financial system and harm the public.

The legality of the using Cryptocurrency

  • Illegal Payment Instruments refer to Law No. 7 of 2011 concerning Currency so it is prohibited to be used as a means of payment in Indonesia. Regarding legal tender. Referring to the provisions in Article 1 number 2 of the Currency Law, it is determined that “Money is a legal tender”. The Currency Law also expressly stipulates that the currency issued by Indonesia is the Rupiah as stipulated in the provisions of Article 1 point 1 of the Currency Law.
  • In the provisions of Article 21 paragraph (1) of the Currency Law, Rupiah must be used in every transaction that has the purpose of payment, settlement of other obligations that must be met with money, and/or other financial transactions conducted within the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
  • With the rapid development of the use of Cryptocurrency among the public, Bank Indonesia issued a statement number 20/4/DKom, which reads: “Bank Indonesia confirms that Cryptocurrency including bitcoin is not recognized as legal tender, so it is prohibited to be used as a means of payment in Indonesia. This is in accordance with the provisions in Law Number 7 of 2011 concerning Currency which states that currency is money issued by the Unitary State of the Republic of Indonesia and every transaction that has the purpose of payment, or other obligations that must be met with money, or financial transactions. other activities carried out in the Territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia must use Rupiah. In the statement, Bank Indonesia even emphasized that all risks arising from the use of bitcoin and other cryptocurrencies are the responsibility of bitcoin users and the Indonesian government is not responsible for any risks that may occur and be experienced by users.
  • Protection in Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions also provides legal protection, namely in Article 9 which stipulates that “every business actor who offers products through an electronic system must provide complete and correct information relating to contract terms, manufacturers and products offered”
  • Cryptocurrencies in Islamic law. In Islamic law, the Darul Ifta Al-Azhar Egyptian fatwa institution released the results of the study, Darul Ifta said the haram status arose because of the gharar element. The element of gharar itself is a fiqh term that indicates doubt, bet (speculation), and ambiguity that leads to harming one party.

The Indonesian Ulema Council (MUI) has also issued a note against Bitcoin. MUI states that bitcoin has two laws, namely permissible and haram. Mubah applies if bitcoin is used only as a medium of exchange for two parties who accept each other. Meanwhile, the law is forbidden if bitcoin is used as an investment.

  • Terms of Operation of the Physical Market for Crypto Assets. It is regulated of the Commodity Futures Trading Regulatory Agency Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for the Implementation of Crypto Assets Physical Market on the Futures Exchange, to ensure legal certainty and protection for cryptocurrency investors, a form of legal protection for cryptocurrency investors, all cryptocurrency marketplaces must meet all conditions that have been regulated in the CoFTRA rules by collecting all requested files, prioritizing correct business management principles such as prioritizing the rights of futures exchange members to obtain open values ​​and ensuring that consumers remain protected in order to prevent money laundering and terrorism financing. and the proliferation of weapons of mass destruction”.

If there is a violation committed by the crypto marketplace, then the sanction of cancellation of approval can be given. With the cancellation of the agreement, the crypto Asset marketplace is required to return funds or submit crypto Assets belonging to the Crypto Asset Consumers it manages, and are prohibited from accepting new crypto Asset consumers.

0

Investor Activity Report (LKPM)

Author: Ananta Mahatyanto

Berdasarkan pasal 1 ayat 20 Peraturan BKPM No.5 tahun 2021 yang dimaksud dengan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) adalah laporan mengenai perkembangan realisasi Penanaman Modal dan permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara berkala.

Dalam Pasal 1 ayat 6 Perpres No. 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, disebutkan yang dimaksud dengan Penanaman Modal dalam adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat 10 Peraturan BKPM No.4 tahun 2021dan pasal 1 ayat 2 Peraturan BPKM No.5 tahun 2021 Penanam Modal dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha dalam bentuk orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha luar negeri.

Salah satu kewajiban Penanam Modal sebagaimana diatur dalamPasal 15 huruf c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah membuat LKPM dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Lebih lanjut ketentuan mengenai LKPM juga dapat dilihat pada Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021”). Dalam peraturan tersebut diatur bahwa kewajiban penyampaian LKPM berlaku untuk setiap bidang usaha dan/atau lokasi dan dilakukan secara daring melalui sistem Online Single Submission (“OSS”) dengan mengacu pada data Perizinan Berusaha, termasuk perubahan data yang tercantum dalam Sistem OSS sesuai dengan periode berjalan. Namun, perlu digaris bawahi bahwa terdapat sejumlah Pelaku Usaha yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan LKPM ini, yaitu:

  1. Pelaku usaha mikro[1]; dan
  2. Bidang usaha hulu migas, perbankan, lembaga keuangan non-bank, dan asuransi.

Periode Penyampaian

Berdasarkan Pasal 32 ayat (4) Peraturan Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021, diatur bahwaperiode Penyampaian LKPM disampaikan oleh Pelaku Usaha untuk setiap tingkat risiko secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. bagi pelaku usaha kecil[2] setiap 6 bulan dalam 1 tahun laporan; dan
  2. bagi pelaku usaha menengah[3] dan besar[4] setiap 3 bulan (triwulan).

Verifikasi dan Evaluasi

Bedasarkan Pasal 35 Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021, kegiatan pemantauan atas laporan pelaku usaha dilaksanakan oleh BKPM, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (“DPMPTSP”) provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator Kawasan Ekonomi Khusus (“KEK”), dan badan pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (“KPBPB”), sesuai kewenangannya sejak pelaku usaha mendapatkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pemantauan tersebut dilakukan melalui pengumpulan, verifikasi, dan evaluasi terhadap laporan berkala. Dalam melakukan verifikasi dan evaluasi data, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB dapat meminta penjelasan dari Pelaku Usaha atau meminta perbaikan LKPM. Jika Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan atas LKPM, Pelaku Usaha dianggap tidak menyampaikan LKPM.

Hasil verifikasi dan evaluasi data realisasi penanaman modal yang dicantumkan dalam LKPM yang telah disetujui, disimpan secara daring dalam subsistem pengawasan pada Sistem OSS. BKPM melakukan kompilasi data realisasi penanaman modal secara nasional berdasarkan data hasil pencatatan LKPM secara daring tersebut.

Hasil kompilasi disampaikan ke publik paling lambat:

  1. tanggal 30 bulan April tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan I;
  2. tanggal 31 bulan Juli tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan II;
  3. tanggal 31 bulan Oktober tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan III; dan
  4. tanggal 31 bulan Januari tahun berikutnya untuk laporan triwulan IV.

Sanksi Administratif

Dalam Pasal 47 Pe raturan BKPM No. 5 Tahun 2021 diatur bahwabagi Pelaku Usaha yang tidak menyampaikan LKPM, maka seseuai kewenangannya BKPM, DPMPTSP Provinsi, DPMPTSP Kabupaten/Kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB dapat memberikan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  3. Pencabutan Perizinan Berusaha; atau
  4. Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.

Based on article 1 paragraph 20 of the Ministry of Investment (BKPM) Regulation No. 5 of 2021, what is meant by the Investment Activity Report (LKPM) is a report on the progress of investment realization and problems faced by businessmen that must be prepared and submitted periodically.

In Article 1 paragraph 6 of Presidential Regulation No.  10 of 2021 concerning the Investment Business Sector, it is stated that what is meant by internal investment is all forms of investment activities, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the territory of the Republic of Indonesia.  As regulated in Article 1 paragraph 10 of the Ministry of Investment (BKPM) Regulation No. 4 of 2021 and Article 1 paragraph 2 of Ministry of Investment (BKPM) Regulation No. 5 of 2021 Investments can be made by Businessmen in the form of individuals, business entities, representative offices, and foreign business entities.

One of the obligations of the Investor, as regulated in Article 15 letter c of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, is to make LKPM and submit it to the Investment Coordinating Board.

Further provisions regarding Investment Activity Report (LKPM) can also be seen in Regulation of the Investment Coordinating Board Number 5 of 2021 concerning Guidelines and Procedures for Supervision of Risk-Based Business Licensing (“BKPM Regulation No. 5 of 2021”).  In the regulation, it is stipulated that The obligation to submit Investment Activity Report (LKPM) applies to each business field and/or location and is carried out online through the Online Single Submission (“OSS”) system with reference to the Business Licensing data, including changes to the data listed in the OSS System according to the current period. However, It should be underlined that there are a number of businessmen who are exempt from the obligation to submit this LKPM, namely:

  1. Micro businessmen;  and
  2. Upstream oil and gas business, banking, non-bank financial institutions, and insurance.
  3. Submission Period

Based on Article 32 paragraph (4) of Regulation of the Investment Coordinating Board Number 5 of 2021, it is regulated that the Investment Activity Report (LKPM) Submission period is submitted by Businessmen for each level of risk on a regular basis with the following provisions:

  1. for small businessmen every 6 months in 1 reporting year;  and
  2. for medium and large businessmen every 3 months (quarterly).

Verification and Evaluation

Based on Article 35 of Ministry of Investment (“BKPM”) Regulation No.  5 of 2021, monitoring activities on reports of businessmen are carried out by the Ministry of Investment (“BKPM”), the Provincial Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), district/city Investment and One Stop Services Service (“DPMPTSP”), administrators of Special Economic Zones (“KEK”), and the Free Trade Zone concession agency. and Free Port (“KPBPB”), according to their authority since the businessmen obtains a Risk-Based Business License.

The monitoring is carried out through the collection, verification, and evaluation of periodic reports. In conducting data verification and evaluation, Ministry of Investment, provincial Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), district/city Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), Special Economic Zones (“KEK”) administrators, or Free Port (“KPBPB”) concessions may request explanations from businessmen or request improvements to the Investment Activity Report (“LKPM”) .  If the Businessmen does not make improvements to the Investment Activity Report (“LKPM”), the Businessmen is considered not to have submitted the Investment Activity Report (“LKPM”).

The results of the verification and evaluation of investment realization data included in the approved Investment Activity Report (“LKPM”) are stored online in the supervision subsystem of the OSS System.  Ministry of Investment (“BKPM”) compiles data on investment realization nationally based on the data from the online recording of the Investment Activity Report (“LKPM”).

 The compilation results are submitted to the public no later than:

  1. April 30 of the year concerned for the first quarter report;
  2. the 31st of July of the year concerned for the second quarter report;
  3. the 31st of October of the year concerned for the third quarter report;  and
  4. January 31 of the following year for the fourth-quarter report.

 Administrative Sanctions

 In Article 47 of Ministry of Investment (“BKPM”) Regulation No.  5 of 2021 stipulates that for businessmen who do not submit the Investment Activity Report (“LKPM”), according to their authority, Ministry of Investment (“BKPM”), Provincial Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), Regency/Municipal Investment and One-Stop Services Service (“DPMPTSP”), Special Economic Zones (“KEK”) administrators, and the Free Trade Zone concession agency. and Free Port (“KPBPB”) Concession Board can provide

 administrative sanctions in the form of:

  1. written warning;
  2. Temporary Suspension of Business Activities;
  3. Revocation of Business License;  or
  4. Revocation of Business License to Support Business Activities.

[1] Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kriteria Usaha Mikro adalah memiliki modal usaha sampai dengan maksimal Rp1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan maksimal Rp2 miliar

[2] Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kriteria Usaha Kecil adalah memiliki modal usaha lebih dari Rp. 1.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 5.000.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) serta memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 15.000.000.000,-

[3] Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kriteria Usaha Menengah adalah memiliki modal usaha lebih dari Rp. 5.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 10.000.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) serta memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp. 15.000.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 50.000.000.000,-

Translate