0

How Predatory Pricing is Regulated in Indonesia

Author: Rizki Haryo; Co-author: Ananta Mahatyanto

Penjelasan tentang Predatory Pricing

Predatory pricing atau bias disebut juga monopoli harga adalah tindakan suatu perusahaan menetapkan harga di bawah biaya produksi dengan maksud menyingkirkan pesaing. Tujuan utama dari predatory pricing adalah untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa memberlakukan/melakukan predatory pricing. Pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”


Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Konsep Predatory Pricing

Penetapan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Hal tersebut tidak berlaku bagi:

  1. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
  2. Suatu perjanjian yang didasarkan undangundang yang berlaku.

Perbedaan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk

barang dan atau jasa yang sama. Larangan membuat perjanjian untuk tidak menjual/ memasok kembali dengan harga yang lebih rendah dari yang diperjanjikan (pasal 8 UU no.5 tahun 1999)

Rule Of Reason

Pada pasal 7 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan bahwa pelaku usaha diperbolehkan melakukan perbuatan jual rugi tapi dengan syarat perbuatan jual rugi tersebut tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Perbuatan jual rugi ini dapat dirumuskan dalam Rule of Reason.

Rule of Reason adalah suatu perilaku yang dilarang harus dapat dibuktikan telah mengakibatkan salah satu atau beberapa unsur performansi industri/sektor menurun, misalnya menurunnya kesejahteraan rakyat/ konsumen, efisiensi atau mengurangi persaingan (lessening competition). Rule of Reason hanya dapat dilakukan oleh lembaga otoritas dengan pendekatan untuk membuat evaluasi mengenai perjanjian atau kegiatan jual rugi tersebut dan menarik kesimpulan apakah perbuatan jual rugi bersifat menghambat atau mendukung persaingan antara pelaku usaha.

Hubungan Pasal 5 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999

Apabila para pihak yang membuat perjanjian merupakan pesaing aktual atau potensial dan mereka menetapkan harga untuk barang dan jasa yang berada di pasar bersangkutan faktual yang sama, maka diterapkan Pasal 5 Ayat 1. Namun, apabila pihak-pihak terkait bukan pesaing, maka terhadap perjanjian harga minimum yang berdiri sendiri hanya berlaku Pasal 8. Perincian-perincian lain tidak dapat disesuaikan dengan rumusan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999. Suatu hubungan khusus antara perjanjian dengan hubungan persaingan usaha antara para pihak-pihak anggota kartel tidak mempengaruhi Pasal 5 Ayat 1 UU No 5 Tahun 1999. Apabila pihak-pihak terkait menjadi pesaing usaha aktual ataupun potensial, maka ini merupakan bukti secukupnya bahwa perjanjian yang dibuat juga meliputi persaingan usaha tersebut. Standard yang diikuti oleh Pasal

5 Ayat 1 UU 5 Tahun 1999 sudah melarang perjanjian harga antar pesaing usaha. Larangan tersebut telah mencakup harga jual yang dibayar oleh penjual kembali maupun penetapan harga minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Sebagai larangan perjanjian yang horizontal berikutnya, maka Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999 tidak diperlukan lagi dan bahkan menjadi kontradiktif karena Pasal 5 Ayat 1 UU no 5 Tahun 1999 menetukan larangan harga, sedangkan pasal 8 UU no 5 Tahun 1999 hanya memuat larangan penyalahgunaan yang dimodifikasi.

Kedua ketentuan tersebut yaitu pasal 5 dan 8 UU no.5 tahun 1999 menjangkau persaingan dengan pesaing usaha. jika di bandingkan, Pasal 8 UU no.5 tahun 1999 hanya menunjukan perjanjian antar pelaku usaha. Bagian kedua UU no 5 Tahun 1999 ingin menggabungkan semua jenis penetapan harga. Jadi unsur sistematik penggabung Pasal 5-8 UU no 5 Tahun 1999, bukan ketentuan perjanjian horizontal melainkan perjanjian harga.

Tata Cara Penanganan Perkara

Pada pasal 38 ayat 1 UU no.5 tahun 1999 di jelaskan bahwa setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UU no.5 tahun 1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi Pengawasan Pelaku Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Berdasarkan Ayat 2 Pasal 38 tersebut pihak yang dirugikan juga dapat melaporkan tindakan tersebut dengan cara yang sama dengan ayat 1 pasal 38 dengan memaparkan kerugian yang timbulkan oleh pelaku, namun untuk identitas para pelapor akan dirahasiakan. Tata cara untuk pelaporan dijelaskan lebih lanjut oleh Komisi Pegawas Pelaku Usaha.

Pada pasal 39 UU no.5 tahun 1999 komisi mempunyai kewajiban melakukan pemeriksaan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima laporan dari pelapor dan komisi wajib menetapkan ada atau tidaknya pemeriksaan lanjutan.

Namun pada pasal 40 tidak menutup kemungkinan bahwa komisi dapat memeriksa pelaku usaha karena adanya dugaan pelanggaran tanpa ada nya pelaporan dengan tata cara yang sama seperti di atas.

Pelaku usaha yang diperiksa oleh komisi wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan oleh komisi dalam penyelidikan dan pemeriksaan. Pelaku usaha juga dilarang menolak untuk diperiksa dan memberikan informasi yang diperlukan, juga dilarang menghambat proses penyelidikan atau pemeriksaan.

Adapun alat bukti yang dimaksud pada Pasal 42 merupakan:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat dan atau dokumen
  4. Petunjuk
  5. Keterangan pelaku usaha

Alur Pemeriksaan dan Proses Pengadilan

Pada pasal 43 komisi menyelesaikan pemeriksaan lanjut selambatnya 60 hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan, namun apabila diperlukan perpanjangan waktu, paling lama adalah 30 hari. Pemutusan telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha wajib dilakukan oleh komisi selambatnya 30 hari setelah selesainya pemeriksaan lanjutan tersebut dan putusan tersebut di bacakan di persidangan terbuka untuk umum.

Setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dalam kurun waktu 30 hari pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan pelaksanaannya kepada komisi. Pelaku usaha juga dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatnya 14 hari setelah menerima putusan tersebut. Apabila tidak mengajukan keberatan maka pelaku usaha dianggap menerima putusan tersebut.

Terkait dengan putusan yang tidak dilakukan oleh pelaku usaha, maka Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal tersebut menjadi bukti permulaan yang cukup untuk penyidikan.

Sanksi pelanggaran

Pada pasal 47 komisi berwenang memberi sanksi tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar, tindakan tersebut merupakan:

  1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
  3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
  4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
  5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
  6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
  7. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Ketentuan-Ketentuan Pidana

Dalam UU no.5 tahun 1999 di tentukan nya untuk sanksi pidana terhadap pelaku yang dimana pada pasal 48:

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah- rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 3 (tiga) bulan.

Dan adanya pidana tambahan yang merujuk pada pasal 10 KUHP untuk sanksi tersebut berupa:

  1. Pencabutan izin usaha; atau
  2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undan ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
  3. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Explanation of Predatory Pricing

 Predatory pricing or also known as monopoly pricing is the action of a company setting prices below production costs with the intention of getting rid of competitors. The main objective of predatory pricing is to remove competing business actors from the market and also prevent business actors who have the potential to become competitors from entering the same market.  As soon as they succeed in getting a competing business actor out of the market and delaying the entry of a new business actor, then the business actor can then increase the price again and maximize profits.  To be able to carry out such actions, the business actor must have a large market share and the profits to be obtained can cover the losses suffered during the period of implementing/performing predatory pricing.  Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition states:

 “Business actors are prohibited from supplying goods and or services by selling at a loss or setting very low prices with the intention of getting rid of or ascertaining the business of their competitors in the relevant market so as to result in monopolistic practices and or unfair business competition.”

Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition

Predatory Pricing Concept

Pricing

Business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to determine the price for goods and or services that must be paid by consumers or customers in the same relevant market.

 This does not apply to:

  1. An agreement entered into in a joint venture;
  2. An agreement based on the applicable law.

Price differences

Business actors are prohibited from entering into agreements that result in one buyer having to pay a price different from the price paid by another buyer for the same goods and or services.  Prohibition of making an agreement not to sell/resupply at a lower price than agreed (article 8 of Law no. 5 of 1999)

Rule Of Reason

 In Article 7 of Law No. 5/1999, business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to set prices below the market price, which may result in unfair business competition.  It can be said that business actors are allowed to carry out selling at a loss but on the condition that the act of selling at a loss does not result in unfair business competition.  This act of selling at a loss can be formulated in the Rule of Reason.

 Rule of Reason is a prohibited behavior that must be proven to have resulted in one or several elements of industry/sector performance declining, for example decreasing people’s/consumer welfare, efficiency or reducing competition (lessening competition).  The Rule of Reason can only be carried out by an authorized institution with an approach to evaluate the agreement or sale and loss activity and draw a conclusion whether the act of selling and losing is hindering or supporting competition between business actors.

Relation between Article 5 and Article 8 of Law No. 5 of 1999

 If the parties to the agreement are actual or potential competitors and they set prices for goods and services in the relevant market which are factually the same, then Article 5 Paragraph 1. However, if the parties concerned are not competitors, then the minimum price agreement is  which stands alone only applies Article 8. Other details cannot be adjusted to the formulation of Article 5 Paragraph 1 and Article 8 of Law No. 5 of 1999. A special relationship between the agreement and the business competition relationship between the parties who are cartel members does not affect Article 5  Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999. If the related parties become actual or potential business competitors, then this is sufficient evidence that the agreement made also includes such business competition.  The standard which is followed by Article 5 Paragraph 1 of Law 5 of 1999 already prohibits price agreements between business competitors.  The prohibition includes the selling price paid by the re-seller as well as the determination of the minimum price that may be requested by the re-seller.  As the next horizontal agreement prohibition, Article 8 of Law No. 5 of 1999 is no longer needed and even becomes contradictory because Article 5 Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 stipulates a prohibition on prices, while Article 8 of Law No. 5 of 1999 only contains a modified prohibition of abuse.

The two provisions, namely Articles 5 and 8 of Law No. 5/1999, cover competition with business competitors.  in comparison, Article 8 of Law no. 5 of 1999 only shows an agreement between business actors.  The second part of Law No. 5/1999 wants to incorporate all types of pricing.  So the systematic element of combining Articles 5-8 of Law No. 5 of 1999, is not a provision for a horizontal agreement but a price agreement.

Procedure for Handling Cases

Article 38 paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 explains that anyone who knows that there has been or is reasonably suspected of having violated Law No. 5 of 1999 can report in writing to the Business Actor Supervision Commission with clear information about the occurrence of a violation.  , by including the identity of the reporter.  Based on paragraph 2 of article 38, the aggrieved party can also report the action in the same way as paragraph 1 of article 38 by describing the loss caused by the perpetrator, but the identity of the complainant will be kept confidential.  The procedure for reporting is further explained by the Business Actor Supervisory Commission.

 In Article 39 of Law No. 5 of 1999, the commission has the obligation to carry out an examination no later than 30 days after receiving the report from the reporter and the commission is obliged to determine whether or not there is a follow-up examination.

 However, Article 40 does not rule out the possibility that the commission may examine business actors for alleged violations without reporting in the same manner as above.

 Business actors examined by the commission are required to submit evidence required by the commission in the investigation and examination.  Business actors are also prohibited from refusing to be examined and providing the necessary information, nor are they prohibited from obstructing the investigation or examination process.

 The evidence referred to in Article 42 is:

  1. Witness testimony
  2. Expert description
  3. Letters and or documents
  4. Instruction
  5. Description of business actors

Examination Flow and Court Process

 In Article 43, the commission completes a follow-up examination no later than 60 days after the follow-up examination is carried out, but if an extension of time is required, the maximum is 30 days.  The decision that a violation has occurred committed by a business actor must be made by the commission no later than 30 days after the completion of the follow-up examination and the decision is read out in court open to the public.

 After receiving notification of the decision within 30 days, the business actor is obliged to implement the decision and submit its implementation to the commission.  Business actors can also file an objection to the district court no later than 14 days after receiving the decision.  If they do not file an objection, the business actor is deemed to have accepted the decision.

 Regarding decisions that are not made by business actors, the Commission submits the decision to investigators for investigation in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations and this is sufficient preliminary evidence for investigation.

Violation sanction

 In Article 47, the commission is authorized to sanction administrative actions against business actors who violate them, these actions are:

  1. determination of the cancellation of the agreement as referred to in Article 4 to Article 13, Article 15, and Article 16;  and or
  2. orders to business actors to stop vertical integration as referred to in Article 14;  and or
  3. orders to business actors to stop activities that are proven to cause monopolistic practices and or cause unfair business competition and or harm the public;  and or
  4. orders to business actors to stop abuse of dominant position;  and or
  5. stipulation of cancellation of merger or consolidation of business entities and acquisition of shares as referred to in Article 28;  and or
  6. determination of compensation payment;  and or
  7. imposition of a fine of a minimum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah).

 Criminal Provisions

In Law no. 5 of 1999, it is stipulated that criminal sanctions against perpetrators are stipulated in article 48:

  1. Violation of the provisions of Article 4, Article 9 to Article 14, Article 16 to Article 19, Article 25, Article 27, and Article 28 is subject to a minimum fine of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah)  and a maximum of Rp. 100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 6 (six) months.
  2. Violation of the provisions of Article 5 to Article 8, Article 15, Article 20 to Article 24, and Article 26 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah) and a maximum of Rp.  Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 5 (five) months.
  3. Violation of the provisions of Article 41 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a period of time.  – a period of 3 (three) months.

 And there are additional penalties that refer to Article 10 of the Criminal Code for these sanctions in the form of:

  1. revocation of business license;  or
  2. prohibition for business actors who have been proven to have violated this law from serving as directors or commissioners for a minimum of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years;  or
  3. cessation of certain activities or actions that cause harm to others.

Translate