0

Pengambilalihan Bank Terhadap Bisnis Konsumer bank

Author: Alfredo Joshua Bernando

  Akuisisi merupakan hal yang lazim dilakukan baik oleh Bank maupun oleh Perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan jasa keuangan pada berbagai sektor, terlebih pada Bisnis Konsumer yang dijalankan oleh Bank Konsumer atau Retail Banking, di mana Bank Konsumer adalah jenis bank yang layanannya ditujukan kepada publik, bukan kepada perusahaan ataupun pihak bank lain, yang biasanya disebut sebagai bank komersial, sehingga terhadap Bank yang melakukan bisnis konsumer sering terjadi pengambilalihan atau akuisisi oleh Pihak Bank lain.

Akuisisi merupakan bagian dari aksi korporasi / tindakan korporasi (Corporate Action), di mana aksi korporasi merupakan sebuah langkah atau tindakan yang diambil oleh perusahaan terbuka yang memiliki dampak langsung terhadap kepemilikan saham investor (pemegang saham). Akuisisi juga dikenal sebagai pengambilalihan, aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan membeli sebagian besar atau seluruh saham dari perusahaan lainnya untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tersebut.

Pada Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan menjelaskan bahwa Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank. [1] Dalam hal bentuk hukum Bank Umum berupa Perseroan Terbatas, maka proses akuisisi akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan tentang definisi Pengambilalihan, yang berbunyi:

“ Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. “ [2]

Ketentuan Hukum mengenai Akuisisi atau Pengambilalihan terhadap Perseroan terbatas, diatur secara spesifik dalam Pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana Pada Pasal 125 ayat (1) UU a quo dijelaskan bahwa:

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perusahaan melalui direksi perusahaan atau langsung dari pemegang saham.[3]

          Terkait dengan peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),[4] maka Peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank telah diterbitkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum (yang selanjutnya disebut POJK 41/2019).

Secara khusus, POJK  mendefinisikan akuisisi / pengambilalihan sebagai berikut:

“  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut .”[5]

Akuisisi, sebagaimana merger dan konsolidasi, integrasi dan konversi dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan.[6] Jika hal tersebut terjadi, maka bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menerima izin dari Otoritas Jasa Keuangan.[7] Dan dalam pelaksanaannya, bank pelaksana harus memperhatikan kepentingan bank, masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Akuisisi Bank dilaksanakan melalui cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan/atau akan dikeluarkan oleh Bank, yang karena pengambilalihan tersebut menyebabkan beralihnya pengendalian bank kepada akuisitor.[9] Akuisisi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 PP 28/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuisitor harus memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank, rakyat banyak, dan persaingan sehat. Sebagaimana diketahui, akuisisi menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan, dan karena itu terdapat perubahan kebijakan yang terjadi di dalam bank sebagai akibat dari perubahan kepemilikan tersebut. Perubahan kebijakan tersebut tentunya sangat jelas berdampak bagi pihak yang terkait, yakni kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank dan nasabah.

Secara prinsip, kreditor tidak dapat terkena dampak negatif dari akuisisi pada bank yang diambil alih. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 POJK 41/2019 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan keberatan kepada bank paling lambat 14 hari setelah pengumuman ringkasan rancangan  mengenai akuisisi, dan jika tidak ada keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui akusisi. Jika ada keberatan, maka keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian, dan selama belum ada penyelesaian yang tercapai maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.[10]

POJK 41/2019 memberikan hak khusus kepada pemegang saham minoritas apabila tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai akuisisi[11], Perlindungan hukum terhadap pemegang saham adalah dengan memberikan hak kepada pemegang saham untuk dapat meminta sahamnya dibeli Bank dengan harga wajar[12]. Hal ini juga disebutkan dalam perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam UUPT[13], dan secara khusus dalam UU PT dijelaskan bahwa jika melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan, perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[14]

Karyawan bank merupakan pihak yang selanjutnya terkena dampak dari akuisisi. Pada dasarnya, karena akuisisi sejatinya merupakan pengambilalihan kepemilikan, maka akuisisi tidak mengubah status karyawan. Status karyawan akan berubah apabila pemilik yang baru melakukan restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan, yang mana hal tersebut dapat saja merubah status, hak dan kewajiban dari perusahaan maupun karyawan. Oleh karena itu, Dalam Pasal 26 huruf b Angka 7 POJK 41/2019 dijelaskan mengenai restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan terkait dengan cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah, dan karyawan Bank yang akan diambil alih merupakan bagian dari syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan atau akuisisi.[15]

Bank pada dasarnya merupakan badan usaha yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[16], maka bank dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga tunduk kepada ketentuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UU PK). Sebagai pelaku usaha, bank memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 7 UU PK dan ketentuan yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam UU PK.[17] Oleh karena itu, perubahan kepemilikan bank tidak dapat menyangkal adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bank sebagai pelaku usaha, sehingga siapapun pemilik dari bank tersebut harus melaksanakan kewajiban dan ketentuan lain bagi pelaku usaha sebagaimana termuat dalam UU PK.

          Akuisisi atau pengambilalihan pada dasarnya harus dilakukan melalui Persetujuan RUPS, akibat hukum yang ditimbulkan terkait dengan aksi korporasi yang dilakukan tersebut adalah beralihnya pengendalian terhadap Bank tersebut, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan serta diperhatikan terkait dengan kepentingan Bank, Masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[1] Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan

[2] Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[5] Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[6] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum            

[7] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[8] Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[9] Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[10] Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[11] Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[13] Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[14] Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[15] Pasal 26 huruf b Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[16] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


0

1 DAY TRAINING CLASS: TRADEMARK

Sabtu, 26 Februari 2022

Pelajari tujuan merek dagang, proses pendaftarannya, tujuannya dalam bisnis, dan perselisihan yang mungkin timbul darinya

Kontak: +62 877 7776 1447 (Afina)

Registrasi

Link: https://bit.ly/AfiaandcoTrademarkClass

Tanggal pendaftaran: 14 Januari 2022 – 24 Februari 2022

Biaya pendaftaran kelas & modul:

BCA 2940950832 a/n Aprilia Purwanto

Umum: IDR 1,250,000
Mahasiswa: IDR 650,000

Rundown

(09:00 – 10.30) Ananta Mahatyanto, S.H – Attorney at Afia & Co Attorneys

  • Pelajari tujuan merek dagang
  • Proses pendaftarannya
  • Tujuannya dalam bisnis
  • Perselisihan yang mungkin timbul darinya

(10:30 – 12:00) Raden Ayumas Zisni, S.H – Asisten Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Biokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

  • Pencegahan penolakan merek
  • Lisensi & izin terkait merek
  • Branding merek

(13:00 – 14:30) Rizki Haryo Kusumo, S.H – Partner at Afia & Co Attorneys

  • Merek dalam bisnis
  • Agreement, Kerjasama & Investment merek

(14:30 – 16:00) Nirma Afianita, S.H., CTL – Managing Partner at Afia & Co Attorneys

  • Perselisihan merek
  • Penyelesaian sengketa merek

0

Pencabutan Izin Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Bernando and Andreas Simanjorang

Date: Thursday, 13 January 2022

Pada tanggal 6 Januari 2022, Presiden Republik Indonesia telah mencabut ribuan izin usaha dalam beberapa sektor yang meliputi 2.078 izin perusahaan di sektor penambangan Mineral dan Batubara, 192 izin di sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare dan Penggunaan Kawasan Hutan di sektor perkebunan seluas 34.448 hektare, yang mana pencabutan izin usaha tersebut merupakan salah satu bentuk sanksi administratif yang diberikan oleh Pemerintah.

Dalam sektor minerba, pencabutan izin usaha sebagai salah satu sanksi administratif secara tegas diatur pada Pasal 185 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sedangkan, dalam sektor kehutanan, pencabutan izin dapat dilakukan terhadap Perizinan Berusaha[1] maupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan[2] yang salah satunya disebabkan apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Dampak daripada pencabutan izin ini sendiri tentunya dapat berakibat terhadap kewenangan pengusaha dalam pemanfaatan sebagaimana izin yang diberikan.

Izin usaha pada dasarnya merupakan bentuk dari Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar atas dikeluarkannya izin tersebut. Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Keputusan  Administrasi Pemerintahan atau keputusan tata usaha negara sebagai “ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.[3] yang secara sistematis ditafsirkan bersamaan dengan [1] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;[4], Karena izin berusaha merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum berupa hak untuk melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam izin tersebut, maka apabila izin tersebut dicabut, pemegang izin akan kehilangan haknya dalam pemanfaatan terhadap sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam lingkup daripada izin tersebut.

Dalam hal mempertahankan izinnya, pemegang izin dapat mengupayakan tindakan hukum dengan melakukan upaya hukum ke pengadilan berwenang. Mengingat bahwa pencabutan izin merupakan bentuk sanksi administratif yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, maka pemegang izin dapat melakukan gugatan administratif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (yang kemudian dikenal sebagai sengketa tata usaha Negara).[5] Melalui sengketa tata usaha Negara, pemegang izin dapat menggugat keputusan atau penetapan dari instansi pemerintah terkait keputusan atau penetapan tersebut.

Daftar Isi:

  1. Undang-Undang Dasar Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Risiko
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[1] Pasal 286 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

[2] Pasal 277 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

[3] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

[4] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

[5] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

0

Legal Protection of Trademark Secrets

Author: Nirma Afianita; Co-Author: Fitriyani Wospakrik

Legal basis:

  1. Law Number 30 of 2000 concerning Trade Secrets

Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

Ruang Lingkup, Diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang bahwa Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum

Faktor yang dapat digunakan untuk menilai Rahasia Dagang

  • Sejauh mana informasi tersebut diketahui oleh kalangan di luar perusahaannya
  • Sejauh mana informasi tersebut diketahui oleh para karyawan di dalam perusahaannya
  • Sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi kerahasiaan informasinya
  • Nilai dari informasi tersebut bagi dirinya dan bagi pesaingnya
  • Derajat kesulitan atau kemudahan untuk mendapatkan atau menduplikasikan informasi yang sama oleh pihak lain

Jangka waktu perlindungan Dalam hal perlindungan rahasia dagang, tidak ada ketentuan yang membatasi tentang jangka waktu berlakunya perlindungan rahasia dagang, yaitu selama pemiliknya tetap merahasiakan dan melakukan usaha-usaha untuk melindungi kerahasiannya maka selama itu pula berlaku perlindungan hukum.

Syarat Rahasia dagang

  1. Bersifat rahasia, Sebuah informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.
  2. Mempunyai nilai ekonomi, sebuah informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi
  3. Dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya, upaya-upaya sebagaimana mestinya adalah semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya, di dalam suatu perusahaan harus ada prosedur baku berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan/atau yang dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Demikian pula dalam ketentuan internal perusahaan dapat ditetapkan bagaimana Rahasia Dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.

Perbedaan Rahasia dagang dengan Kekayaan Intelektual lainnya

  1. Bentuk KI lain tidak bersifat rahasia
  2. KI lainnya yang dilindungi harus dipublikasikan tetapi rahasia dagang dilindungi karena sifatnya yang rahasia;
  3. Rahasia dagang mendapat perlindungan meskipun tidak mengandung nilai kreativitas/penerimaan baru; dan
  4. Berbeda dengan hak cipta atau paten, perlindungan terhadap rahasia dagang tidak memiliki jangka waktu yang terbatas. Oleh karenanya banyak penemu/inventor yang merasa perlindungan yang diberikan oleh rahasia dagang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlindungan hak milik intelektual lainnya.
  5. Rahasia dagang dapat dilakukan secara lebih fleksibel karena tidak terikat syarat – syarat formal seperti halnya yang terjadi dalam sistem hukum paten yang memerlukan pemenuhan formalitas dan proses pemeriksaan dan rahasia dagang memiliki jangka waktu yang tidak terbatas

Ketentuan Rahasia Dagang

  1. Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
  2. Memberikan Lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pengalihan Hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 30/2000 bahwa:

  1. Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan dengan: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. perjanjian tertulis; atau e. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
  2. Pengalihan Hak Rahasia Dagang disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
  3. Segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  4. Pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
  5. Pengalihan Hak Rahasia Dagang diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.

Selain itu Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi , kecuali jika diperjanjikan lain.

  1. Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi , kecuali jika diperjanjikan lain.
  2. Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  3. Perjanjian Lisensi Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
  4. Perjanjian Lisensi diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang

Perlindungan Rahasia Dagang dalam Usaha Waralaba

Perlindungan rahasia dagang dalam usaha franchise dilaksanakan berdasarkan perjanjian franchise yang disepakti dimana di dalam perjanjian franchise dinyatakan bahwa kekayaan intelektual yang berasal dari pemberi waralaba merupakan hak dari pemberi waralaba sebagai pemilik rahasia dan penerima waralaba berkewajiban untuk tidak membocorkan atau melanggar hak-hak kekayaan intelektual milik pemberi waralaba yang dilindungi.

Dalam sudut pandang hukum, Pemilik rahasia dagang berhak menggunakan Rahasia Dagangnya, serta dapat memberikan Lisensi Rahasia Dagang untuk melarang pihak lain dalam menggunakan Rahasia Dagang dan tidak mengungkapkan rahasia dagangnya kepada pihak ketiga. Rahasia dagang memiliki sifat tidak mutlak, yang artinya kerahasiaannya dapat diketahui oleh pihak – pihak lain dengan digunakannya suatu izin melalui perjanjian.

Apabila perjanjian franchise dilanggar akan dikenakan sanksi administrative yang terdapat didalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 mengenai waralaba (franchise) yaitu berupa peringatan yang tertulis, pencabutan surat tanda pendaftaran waralaba (franchise) dan berupa denda.

Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang

Sebagai contoh jika suatu resep milik A diduga ditiru oleh B, maka cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

  1. Tentukan terlebih dahulu apakah resep tersebut merupakan rahasia dagang atau bukan. Jika sudah dapat dipastikan bahwa resep tersebut merupakan rahasia dagang, selanjutnya perlu juga dilihat apakah B memiliki izin untuk menggunakannya atau tidak.
  2. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU 30/2000, izin yang dimaksud berupa lisensi. Maka jika B memiliki izin, ini bukanlah pelanggaran rahasia dagang.
  3. Penyelesaian sengketa rahasia dagang dapat Anda temukan pada Pasal 11 UU 30/2000, pemegang hak rahasia dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan rahasia dagang atau memberikan lisensi atau mengungkapkan rahasia dagang ke pihak ketiga untuk kepentingan komersial, berupa: gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri; dan/atau penghentian semua perbuatan yang telah dilakukan.

Selain gugatan ke Pengadilan Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pelanggaran dan Sanksi

  1. Seseorang dianggap melanggar rahasia dagang orang lain apabila ia memperoleh atau menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;  Pencurian, Penyadapan, Spionase industry, Membujuk untuk mengungkapkan atau membocorkan rahasia dagang melalui penyuapan, paksaan dll., Dengan sengaja mengungkapkan atau mengingkari kesepakatan atau kewajiban yang tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan
  2. Ketentuan Pidana Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain, atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, atau Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). 3. Tindak pidana dimaksud termasuk delik aduan.

Trade Secret is information that is not known by the public in the field of technology and/or business, has economic value because it is useful in business activities, and is kept confidential by the owner of the Trade Secret.

Scope, It is regulated in Article 2 of Law No. 30 of 2000 concerning Trade Secrets that the scope of protection of Trade Secrets includes production methods, processing methods, sales methods, or other information in the field of technology and/or business that has economic value and is unknown to the public. general public

Factors that can be used to assess Trade Secrets

  • The extent to which the information is known by people outside the company
  • The extent to which the information is known by employees within the company
  • The extent to which efforts are being made to protect the confidentiality of the information
  • The value of this information for themselves and for competitors
  • Degree of difficulty or ease of obtaining or duplicating the same information by other parties

Period of protection In terms of protection of trade secrets, there are no provisions limiting the validity period of protection of trade secrets, namely as long as the owner keeps it secret and makes efforts to protect its confidentiality, as long as legal protection applies.

Trade secret terms

  1. Confidential in nature, An information is considered confidential if the information is only known by certain parties or is not known in general by the public.
  2. Having economic value, information is considered to have economic value if the confidential nature of the information can be used to carry out commercial activities or businesses or can increase economic profits
  3. Confidentiality is maintained through appropriate efforts, proper efforts are all steps that contain fairness, feasibility, and appropriateness measures that must be carried out. For example, within a company, there must be standard procedures based on general practices that apply in other places and/or which are set forth in the company’s own internal regulations. Likewise, in the company’s internal regulations it can be determined how the Trade Secret is maintained and who is responsible for the confidentiality.

Differences Trade Secrets with other Intellectual Property

  1. Other forms of KI are not confidential
  2. Other IP protected must be made public but trade secrets are protected because they are confidential;
  3. Trade secrets are protected even though they do not contain new creativity/acceptance value; and
  4. Unlike copyrights or patents, the protection of trade secrets does not have a limited period of time. Therefore, many inventors feel that the protection provided by trade secrets is more advantageous than the protection of other intellectual property rights.
  5. Trade secrets can be more flexible because it is not bound to the terms – a formal requirement, as seen in the system of patent law that requires the fulfillment of formalities and inspection processes and trade secrets have unlimited time period

Conditions Trade Secret

  1. Using their own Trade Secrets;
  2. Granting a License to or prohibiting other parties from using the Trade Secret or disclosing the Trade Secret to third parties for commercial purposes.

Transfer of Rights, as regulated in Article 5 of Law 30/2000 that:

  1. Trade Secret Rights can be transferred or transferred by: a. inheritance; b. grant; c. will; d. written agreement; or e. other reasons justified by laws and regulations.
  2. Transfer of Trade Secret Rights is accompanied by documents regarding the transfer of rights.
  3. All forms of transfer of Trade Secret Rights must be registered with the Directorate General by paying a fee as regulated in this Law.
  4. The transfer of rights to trade secrets that are not registered with the Directorate General will not have legal consequences for third parties.
  5. The transfer of Trade Secret Rights is announced in the Trade Secret Official Gazette.

In addition, the Trade Secret Right Holder has the right to grant a license to another party based on a license agreement, unless agreed otherwise.

  1. Trade secret rights holders have the right to grant licenses to other parties based on a license agreement, unless otherwise agreed.
  2. The License Agreement must be registered with the Directorate General for a fee as regulated in this Law.
  3. Trade Secret License Agreements that are not registered with the Directorate General have no legal consequences for third parties.
  4. License Agreement announced in the Official Gazette of Trade Secrets

Protection of Trade Secrets in Franchising

The protection of trade secrets in the franchise business is carried out based on the agreed franchise agreement where in the franchise agreement it is stated that intellectual property originating from the franchisor is the right of the franchisor as the owner of the secret and the franchisee is obliged not to divulge or violate the intellectual property rights of the franchisor. protected franchise.

From a legal point of view, the owner of a trade secret has the right to use his Trade Secret, and can grant a Trade Secret License to prohibit other parties from using the Trade Secret and not revealing his trade secret to third parties . Trade secrets are not absolute, which means that their confidentiality can be known by other parties with the use of a permit through an agreement.

If the franchise agreement is violated, it will be subject to administrative sanctions contained in Article 16 of Government Regulation no. 42 of 2007 concerning franchises, namely in the form of written warnings, revocation of franchise registration certificates (franchise) and in the form of fines.

Trade Secret Dispute Resolution

For example, if a recipe belonging to A is suspected of being copied by B, then the solution is as follows: First

  1. determine whether the recipe is a trade secret or not. If it is certain that the recipe is a trade secret, then it is also necessary to see whether B has permission to use it or not.
  2. Based on Article 1 point 5 of Law 30/2000, the intended permit is inform of a thelicence. So if B has permission, this is not a trade secret violation.
  3. Settlement of trade secret disputes can be found in Article 11 of Law 30/2000, trade secret rights holders or licensees can sue anyone who knowingly and without rights uses trade secrets or grants licenses or discloses trade secrets to third parties for commercial purposes, in the form of : claim for compensation to the District Court; and/or cessation of all actions that have been carried out.

In addition to a lawsuit to the District Court, the parties can resolve the dispute through arbitration or alternative dispute resolution.

 Violations and Sanctions

  1. A person is considered to have violated another person’s trade secret if he or she obtains or controls the trade secret in ways that are contrary to the applicable laws and regulations; • Theft • Wiretapping • Industrial espionage • Persuading to disclose or divulge trade secrets through bribery, coercion etc. • Deliberately disclosing or denying written agreements or obligations to maintain the relevant trade secret
  2. Criminal Provisions Whoever intentionally and without rights uses the Trade Secret of another party, or commits the acts as referred to in Article 13, or Article 14, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 300,000,000, – (three hundred million rupiah). 3. The crime referred to includes a complaint offense.
0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

1 2 3 4 5
Translate