0

PERLINDUNGAN HAK CIPTA DALAM SENGKETA PROGRAM KOMPUTER

Author : Ilham M. Rajab, Co-Author : Adinda Aisyah Chairunnisa

Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup pula program komputer.[1] Dalam hal bentuk perlindungan hak cipta yang ada pada pada program komputer itu dapat ditarik contoh yakni sengketa yang dialami oleh salah satu perusahaan BUMN. Salah satu perusahaan BUMN tersebut digugat senilai Rp322,5 miliar atas pelanggaran hak cipta layanan Tabungan Emas yang dimiliki perusahaan lain. Gugatan dilayangkan melalui kuasa hukum penggugat. Penggugat menilai, layanan Tabungan Emas milik Tergugat dianggap sama dengan sistem investasi dan transaksi jual beli emas milik Penggugat.[2]

Pengaturan mengenai Hak cipta itu sendiri terdapat pada Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, definisi Hak Cipta dituangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yaitu:

  “Pasal 1

  1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sementara itu, pengertian Program Komputer itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 9 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyatakan:

      “Pasal 1

       9. Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.”

Dalam Pasal 40 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menunjukan lebih tegas bahwa Program Komputer merupakan Ciptaan yang dilindungi, pada pasal tersebut menyatakan bahwa:

Pasal 40

“(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: s. Program Komputer.”

Sebagaimana hak cipta pada ciptaan pada umumnya, perlindungan ciptaan program komputer, menganut prinsip deklaratif, dalam arti tidak memerlukan pendaftaran atau pencatatan ciptaan bagi pencipta untuk mendapatkan hak cipta.[3] Prinsip deklaratif itu sendiri telah disebutkan pada pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang kemudian diperjelas kembali pada pasal 64 ayat (2) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengenai pencatatan yang menyatakan bahwa:

Pasal 64 ayat (2)

(2) Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.”

 Telah dijelaskan pada pasal – pasal yang dijabarkan sebelumnya bahwa pencatatan bukan termasuk syarat untuk mendapatkan hak cipta, akan tetapi pencatatan merupakan kegiatan yang penting untuk tindakan tertentu yakni pengalihan yang dimana hal tersebut tertuang dalam pasal 76 ayat (1) sebagai berikut:

Pasal 76 ayat (1)

(1)Pengalihan Hak atas pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dapat dilakukan jika seluruh Hak Cipta atas Ciptaan tercatat dialihkan haknya kepada penerima hak.”

Sehingga, pencatatan hak cipta diperlukan untuk mengantisipasi adanya gugatan atau sengketa dengan pihak lain di mana pihak yang telah melakukan pencatatan memiliki posisi hukum yang lebih kuat,[4] misalnya saat adanya kesamaan pada program komputer yang dimiliki pihak satu dengan pihak yang lain.

Pada contoh yang telah diberikan di muka menunjukkan bahwa adanya indikasi kesamaan pada program komputer yang dimiliki antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Dengan perlindungan hak yang menggunakan prinsip deklaratif, pihak penggugat menggunakan prinsip tersebut untuk melindungi hak yang dianggap miliknya, yang kemudian gugatan tersebut akan dibuktikan pada proses persidangan. Dalam hal ini pencatatan (jika ada) dapat menjadi penguat dalam kepemilikan hak pada program yang dianggap miliknya.

Adapun kegiatan lain yang memiliki “kesamaan” program komputer antara satu dengan lain pihak yang dikenal pada Undan-Undang Hak Cipta disebut dengan Penggandaan, namun hal tersebut merupakan kegiatan bersyarat dan dijelaskan pada ayat (1) pasal 45 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

Pasal 45

“(1) Penggandaan sebanyak 1 (satu) salinan atau adaptasi Program Komputer yang dilakukan oleh pengguna yang sah dapat di lakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta jika salinan tersebut digunakan untuk:

a. penelitian dan pengembangan Program Komputer tersebut; dan

b. arsip atau cadangan atas Program Komputer yang diperoleh secara sah untuk mencegah kehilangan, kerusakan, atau tidak dapat dioperasikan.

(2) Apabila penggunaan Program Komputer telah berakhir, salinan atau adaptasi Program Komputer tersebut harus dimusnahkan.”

Dari penjelasan – penjelasan sebelumnya sangat terlihat betapa Program Komputer sebagai ciptaan, dilindungi. Hak atas ciptaan yang dilindungi merupakan hak yang diperoleh pihak – pihak yang selanjutnya disebut Pemilik dan/atau Pemegang Hak Cipta. Hal ini dikarenakan Program Komputer sebagai sebuah ciptaan memiliki nilai ekonominya sendiri, hal ini diatur pada Pasal 8 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

Pasal 8

“Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.”

REFERENSI

Dasar Hukum:

Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Link:

https://dgip.go.id/tentang-djki/kekayaan-intelektual
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220516110346-92-797178/pegadaian-siap-ikuti-proses-hukum-soal-gugatan-hak-cipta-tabungan-emas
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemegang-hak-cipta-program-komputer-dalam-hubungan-kerja-lt5dfc1a818d561

[1] https://dgip.go.id/menu-utama/hak-cipta/pengenalan

[2] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220516110346-92-797178/pegadaian-siap-ikuti-proses-hukum-soal-gugatan-hak-cipta-tabungan-emas Diakses pada tanggal 15 Juni 2022 pukul 06.22

[3]h ttps://www.hukumonline.com/klinik/a/pemegang-hak-cipta-program-komputer-dalam-hubungan-kerja-lt5dfc1a818d561 Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 pukul 13.55

[4] Ibid

0

CUSTOMS REGULATIONS ON ELECTRIC CAR

Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM:  
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
3. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

REFERENSI :  
1. Flazz Tax.com , Pelajari dengan Baik Perbedaan Pajak Dengan Pengenaan Bea dan Cukai, (https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-perbedaan-pajak-dengan-pengenaan-bea-dan-cukai/#:~:text=Dimana%20bea%20akan%20dibebankan%20kepada,barang%2Dbarang%20dengan%20karakteristik%20khusus. , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)
2. Ike Nofalia, S.Kom, “Bea Cukai – Definisi, Fungsi, dan Contoh” (https://www.finansialku.com/bea-cukai-adalah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2022)
3. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, https://www.gaikindo.or.id/sekilas-tentang-istilah-cbu-ckd-dan-ikd-dalam-dunia-otomotif/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)
4. Rina Anggraeni, “Siap-siap Sri Mulyani bakal naikkan pajak bagi mobil beremisi tinggi”, ( https://ekbis.sindonews.com/read/452634/33/siap-siap-sri-mulyani-bakal-naikkan-pajak-bagi-mobil-beremisi-tinggi-1623395218 , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)
5. Cantika Adinda Putri (CNBC Indonesia), “Sri Mulyani Bebaskan Bea Masuk Mobil Listrik”, (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301072439-4-319061/sri-mulyani-bebaskan-bea-masuk-mobil-listrik , diakses pada tanggal 3 Maret 2022)  
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia , Bea Cukai diartikan sebagai Perihal (urusan) yang berhubungan dengan pajak.[1]  Secara harafiah, Bea Cukai diartikan secara terpisah, terdiri dari 2 kata yakni Bea dan Cukai. Bea adalah pajak, biaya, ongkos. Sedangkan cukai berarti perihal yang berhubungan dengan pajak.            Hal mengenai Bea dan Cukai diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan), serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (UU Cukai). Bea bersumber pada UU Kepabeanan, dimana pengertian Kepabeanan itu sendiri diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU Kepabeanan, yang berbunyi: “Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.[2]          Bea terbagi menjadi 2, yakni Bea Masuk dan Bea Keluar, hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 15 dan 15a UU Kepabeanan, yang berbunyi: “ Pasal 1 Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor.[3]          Sedangkan Cukai diatur dalam UU Cukai, dimana pengertian Cukai itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Cukai, yang berbunyi: Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini. [4]          Sehingga, dapat dipahami bahwa Bea dikenakan apabila terjadi kegiatan Ekspor dan Impor, hal tersebut dijelaskan melalui adanya Bea masuk dan Bea keluar, pemungutan bea tersebut dikenakan terhadap barang tertentu, seperti contoh Mobil Listrik Asal Amerika yang diimpor ke Indonesia. Dan Cukai, merupakan pungutan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik sesuai dengan yang dijelaskan dalam UU Cukai, Sifat yang dimaksudkan adalah konsumsi yang perlu pengendalian, peredaran yang diawasi keberadaannya, efek negatif dari penggunaan barang terhadap masyarakat sekitar, seperti Rokok dan Alkohol. [5]          Bea Cukai yang merupakan pungutan negara yang bersifat wajib sering diidentikan sebagai Pajak, akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Bea Cukai dengan Pajak. Definisi Pajak itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yakni: “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [6]          Perbedaan signifikan antara Pajak dan Bea Cukai dapat disimpulkan sebagai berikut Pajak adalah pungutan wajib yang bersifat memaksa, tanpa ada balas jasa secara langsung. Sementara itu, bea dan cukai merupakan pungutan resmi yang sifatnya disesuaikan dengan kebijakan. Lembaga pemungut dan pengelola pajak digolongkan menjadi dua, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan untuk pemungutan dan pengelolaan bea dan cukai tidak dibedakan antara pemerintah pusat dan daerah. Ini karena semua kewenangannya tersentralisasi pada pemerintah pusat.[7]          Selain itu Dalam perhitungan pajak, seorang wajib pajak berkewajiban untuk melaporkan penghasilan yang menjadi objek pajak. Sementara untuk perhitungan tarif bea dan cukai dilakukan oleh pemerintah yang memiliki wewenang. Jatuh tempo pembayaran pajak pada tahun fiskal, yaitu jangka waktu selama dua belas bulan berturut-turut. Sementara itu, pada bea, pembayaran dilakukan setiap kali terjadi kegiatan mengimpor atau mengekspor barang. Sementara untuk cukai, jatuh tempo pembayarannya juga didasarkan pada pemakaian atau pada saat mengkonsumsi dan memanfaatkan barang sebagai objek cukai.[8] Meski berbeda dalam pengenaannya, pajak dan bea cukai memiliki hubungan yang saling berkaitan erat. Hal ini bisa dilihat melalui pemahaman istilah kewajiban dan pemahaman ketentuan perundangan yang ada. Dimana pajak juga bisa dikenakan atas kegiatan impor, yang mana juga bisa diikuti dengan bea. Bagi perusahaan yang berkecimpung di bidang perdagangan dan seringkali melakukan kegiatan ekspor dan impor, tentu bisa bersinggungan dengan pajak serta bea cukai.[9]   Pengenaan Bea dapat dikenakan terhadap barang yang diekspor maupun barang yang diimpor melalui Bea masuk dan Bea Keluar, melalui penjelasan telah disebutkan mengenai pemungutan bea terhadap barang tertentu seperti Mobil Listrik asal Amerika yang diimpor ke Indonesia. Terhadap Mobil listrik itu sendiri terdapat pengaturan mengenai pungutan bea yang akan dikenakan. Mobil listrik masuk ke dalam kelompok Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai beroda empat atau lebih dimana pengelompokan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019)[10]   Mobil Listrik pada dasarnya adalah Mobil yang digerakkan dengan motor listrik, menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai atau tempat penyimpan energi lainnya, berbeda dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang secara langsung berdampak pada peningkatan polusi udara, kendaraan listrik memiliki potensi yang besar untuk mengurangi polusi karena sifat dari pengisian daya yang berbentuk listrik bersifat ramah lingkungan.   Pengertian dari Kendaraan Listrik itu sendiri diatur dalam Perpres 55/2019, dimana Pasal 1 Angka 3 Perpres 55/2019 menyatakan sebagai berikut: “Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.[11]            Adapun pengertian Motor listrik sebagai mesin penggerak dari kendaraan listrik, serta Baterai sebagai media penyimpanan daya pada kendaraan listrik, dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 2 Perpres 55/2019, yang berbunyi: “ Pasal 1 Motor Listrik adalah peralatan elektromekanik yang mengonsumsi tenaga listrik untuk menghasilkan energi mekanik sebagai penggerak. Baterai atau Media Penyimpanan Energi Listrik yang selanjutnya disebut Baterai adalah sumber listrik yang digunakan untuk memberi pasokan energi listrik pada Motor Listrik.[12]   Ketentuan mengenai produksi komponen Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai diatur dalam Pasal 10 Perpres 55/2019, dimana produksi komponen tersebut dilakukan oleh Industri Komponen yang didirikan berdasarkan didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memiliki izin usaha industri untuk merakit atau memproduksi komponen utama dan/atau komponen pendukung untuk KBL Berbasis Baterai sesuai ciengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal industri komponen kendaraan bermotor listrik berbasis baterai belom mampu memproduksi komponen utama dan/atau komponen pendukung kendaraan bermotor listrik, maka industri kendaraan bermotor listrik dapat melakukan pengadaan komponen yang berasal dari impor jenis keadaan terurai tidak lengkap (incompletely Knock Down / IDN) dan/atau Keadaan terurai lengkap (Completely Knock Down / CKD), dan impor dalam keadaan utuh (Completely Built Up /CBU) [13]          CKD sendiri berarti mobil yang diimpor dalam keadaan komponen yang lengkap, namun belum dirakit, komponen-komponennya masih dalam kondisi pretelan. Komponen-komponen tersebut akan dirakit di negara pengimpor hingga menjadi kendaraan yang utuh siap pakai.   Dimana dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap (Permenperin 28/2020), Di Indonesia, agar memenuhi syarat CKD, mobil roda empat atau lebih wajib memiliki komponen utama berupa mesin, transmisi, bodi atau sasis, dan gardan. Sementara untuk sepeda motor wajib memiliki empat komponen utama, yaitu mesin, rangka, roda, dan kemudi.[14]            Istilah berikutnya adalah IKD, singkatan dari incompletely knocked down. IKD adalah mobil yang diimpor dalam kondisi tak utuh dan tak lengkap. Mobil IKD dikirim dalam keadaan tak utuh karena komponen-komponen yang tak diimpor bisa diproduksi sendiri di dalam negeri. Harga mobil IKD bisa lebih murah, karena komponennya diproduksi secara lokal.[15]                    Mobil dengan label CBU adalah yang diimpor langsung dari negara asal dalam kondisi utuh, lengkap. Harga mobil CBU relatif lebih mahal di pasar, karena biaya masuk (ekspor-impor) yang tinggi untuk mengimpor kendaraan secara utuh. Umumnya, mobil CBU merupakan kelas atas yang belum ada fasilitas manufakturnya di Indonesia.          Pengaturan Bea Masuk terhadap mobil listrik berbeda dengan mobil berbahan bakar fossil pada umumnya, dimana semakin tinggi emisi yang ditimbulkan oleh suatu kendaraan, maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi. Hal ini dilakukan sebab Pemerintah terus menggalakan energi ramah lingkungan dalam upaya mengurangi emisi karbon.[16]          Mobil Listrik memiliki tingkat emisi yang sangat rendah dibanding dengan Mobil berbahan bakar fosil, oleh sebab itu Pemerintah melalui Menteri Keuangan melakukan Penerapan Tarif Khusus Bea Masuk terhadap mobil listrik yakni sebesar 0% atau Bebas Bea Masuk. [17]          Hal ini dijelaskan melalui bagian menimbang Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor (Permenkeu 13/2022) yang ditetapkan pada tanggal 22 Febuari 2022 , yang berbunyi : “ Menimbang: bahwa ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 /PMK.010/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang lmpor;bahwa untuk mendorong peningkatan nilai tambah perakitan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih dan mempercepat program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan, perlu memberikan insentif bea masuk atas impor barang dan bahan tertentu melalui perubahan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor;[18]   Selain itu, Bea masuk sebesar 0% diatur langsung dalam bagian Lampiran II Permenkeu 13/2022 pada bagian Struktur Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk mengenai penjelasan uraian Kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap; sasis dengan mesin terpasang dalam keadaain terurai tidak lengkap.[19]   Akan tetapi, meskipun terdapat pembebasan terhadap bea masuk mobil listrik dalam kegiatan impor mobil listrik, tidak secara langsung mempercepat berjalannya program kendaraan motor listrik berbasis baterai di Indonesia, hal ini disebabkan oleh harga mobil listrik yang masih tinggi atau mahal bukan karena harga pertambahan pajaknya melainkan harga asal dari pabrik yang memang sudah tinggi.          Apabila melihat pada persaingan usaha antar mobil di Indonesia, mobil listrik jelas masih bersaing dengan mobil berbahan bakar fosil, dimana mobil berbahan bakar fosil impor meski dikenakan bea masuk ke Indonesia, akan tetapi apabila ditotal harga mobil berbahan bakar fosil akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga mobil listrik yang sudah bebas bea masuk di Indonesia.          Hal tersebut juga menjadi penghambat dalam percepatan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai di Indonesia, dan seiring perkembangannya waktu kiranya pabrik-pabrik yang memproduksi mobil listrik dapat mengeluarkan mobil-mobil listrik dengan harga yang lebih terjangkau dan ditambah dengan bebasnya bea masuk, yang akan membuat masyarakat Indonesia lebih memiliki mobil listrik dibandingkan dengan mobil berbahan bakar fosil, dengan hal tersebut maka percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan pengurangan kendaraan berbahan bakar fosil yang menimbulkan emisi karbon yang tinggi dapat dikurangi secara perlahan.  

[1] Bea Cukai, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (https://kbbi.lektur.id/bea-cukai , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)

[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

[3] Pasal 1 Angka 15 dan Angka 15a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

[4] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007

[5] Ike Nofalia, S.Kom, “Bea Cukai – Definisi, Fungsi, dan Contoh” (https://www.finansialku.com/bea-cukai-adalah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2022)

[6] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

[7] Flazz Tax.com , Pelajari dengan Baik Perbedaan Pajak Dengan Pengenaan Bea dan Cukai, (

https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-perbedaan-pajak-dengan-pengenaan-bea-dan-cukai/#:~:text=Dimana%20bea%20akan%20dibebankan%20kepada,barang%2Dbarang%20dengan%20karakteristik%20khusus. , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[11] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[12] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[13] Pasal 11 jo. Pasal 12 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[14] Pasal 5 jo. Pasal 8 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap

[15] Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, https://www.gaikindo.or.id/sekilas-tentang-istilah-cbu-ckd-dan-ikd-dalam-dunia-otomotif/ , diakses pada tanggal 18 Febuari 2022)

[16] Rina Anggraeni, “Siap-siap Sri Mulyani bakal naikkan pajak bagi mobil beremisi tinggi”, ( https://ekbis.sindonews.com/read/452634/33/siap-siap-sri-mulyani-bakal-naikkan-pajak-bagi-mobil-beremisi-tinggi-1623395218 , diakses pada tanggal 2 Maret 2022)

[17] Cantika Adinda Putri (CNBC Indonesia), “Sri Mulyani Bebaskan Bea Masuk Mobil Listrik”, (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301072439-4-319061/sri-mulyani-bebaskan-bea-masuk-mobil-listrik , diakses pada tanggal 3 Maret 2022)

[18] Bagian Menimbang Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

[19] Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor  13/PMK.010/2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

LEGAL BASIS:  
1. Law Number 10 of 1995 concerning Customs as amended by Law Number 17 of 2006
2. Law Number 11 of 1995 concerning Excise as amended by Law Number 39 of 2007
3. Presidential Regulation Number 55 of 2019 concerning the Acceleration of the Battery Electric Vehicle Program for Road Transportation
4. Regulation of the Minister of Industry Number 28 of 2020 concerning Battery-Based Electric Motor Vehicles in Completely Decomposed and Incompletely Decomposed Conditions
5. Regulation of the Minister of Finance Number 13/PMK.010/22 concerning Fourth Amendment to Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods

REFERENCE :  
1. Flazz Tax.com, Learn Well the Differences in Taxes With the Imposition of Customs and Excise, (https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-beda-tajak-dengan-pengenaan-bea-dan -excise/#:~:text=Where%20duty%20will%20be charged%20to,goods%2Dgoods%20with%20characteristics%20special. , accessed on March 2, 2022) 2. Ike Nofalia, S.Kom, “Customs – Definition, Functions, and Examples” (https://www.finansialku.com/bea-cukai-dalam/, accessed on March 3, 2022)
3. Association of Indonesian Automotive Industries, https://www.gaikindo.or.id/sekilas-about-term-cbu-ckd-dan-ikd-dalam-dunia-otomotif/, accessed on 18 February 2022)
4. Rina Anggraeni, “Sri Mulyani is getting ready to raise taxes for high-emission cars”, (https://ekbis.sindonews.com/read/452634/33/siap-cepat-sri-mulyani-bakal-naikkan-pajak -for-high-emissions-cars-1623395218 , accessed March 2, 2022)
5. Cantika Adinda Putri (CNBC Indonesia), “Sri Mulyani Exempts Import Duty for Electric Cars”, (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301072439-4-319061/sri-mulyani-bebaskan-bea-enter-mobil -electricity, accessed on March 3, 2022)
Based on the Great Dictionary of the Indonesian language, Customs is defined as Matters (affairs) related to taxes. Literally, Customs is defined separately, consisting of 2 words namely Customs and Excise. Customs Duties are taxes, fees, charges. While excise means matters relating to taxes.   Matters regarding Customs and Excise are regulated in Law Number 10 of 1995 concerning Customs as amended by Law Number 17 of 2006 (Customs Law), and Law Number 11 of 1995 concerning Excise as amended by Law Number 39 of 2007 (Excise Law). Customs duties are sourced from the Customs Law, where the definition of Customs itself is regulated in Article 1 Number 1 of the Customs Law, which reads: “Customs is everything related to the supervision of the traffic of goods entering or leaving the customs area as well as the collection of import and export duties.”   Duties are divided into 2, namely Import Duties and Export Duties, this is explained in Article 1 Numbers 15 and 15a of the Customs Law, which reads:   ” Article 1 15. Import duty is a state levy based on this Law which is imposed on imported goods.     15a. Export duty is a state levy based on this law which is imposed on exported goods.”   Meanwhile, Excise is regulated in the Excise Law, where the meaning of Excise itself is explained in Article 1 Number 1 of the Excise Law, which reads:   “Excise is a state levy imposed on certain goods having the nature or characteristics stipulated in this law. ”   Thus, it can be understood that duties are imposed in the event of Export and Import activities, this is explained through the existence of import duties and export duties, the collection of these duties is imposed on certain goods, such as an example of an American electric car imported into Indonesia. And Excise, is a levy on certain goods that have the characteristics and characteristics as described in the Excise Law, the nature of which is meant is consumption that needs to be controlled, the circulation of which is monitored, the negative effects of the use of goods on the surrounding community, such as cigarettes and alcohol.   Customs, which is a mandatory state levy, is often identified as a tax, but there is a significant difference between Customs and Tax. The definition of tax itself is explained in Article 1 Number 1 of Law Number 28 of 2007 concerning the Third Amendment to Law Number 6 of 1983 concerning General Provisions and Tax Procedures, namely:   “Taxes are mandatory contributions to the state that are owed by individuals or entities that are coercive in nature based on the law, without receiving direct compensation and are used for the needs of the state for the greatest prosperity of the people. ”   The significant difference between Taxes and Customs and Excise can be concluded as follows. Tax is a mandatory levy that is coercive, without any direct remuneration. Meanwhile, customs and excise are official fees that are adjusted to policy. Tax collection and management institutions are classified into two, namely the central government and local governments. As for the collection and management of customs and excise, there is no distinction between the central and regional governments. This is because all of its authority is centralized in the central government.   In addition, in calculating taxes, a taxpayer is obliged to report income that is the object of tax. Meanwhile, the calculation of customs and excise rates is carried out by the government which has the authority. Tax payments are due in the fiscal year, which is a period of twelve consecutive months. Meanwhile, in the case of duties, payments are made every time there is an activity of importing or exporting goods. Meanwhile, for excise duty, the due date of payment is also based on usage or when consuming and utilizing goods as objects of excise.   Although different in their imposition, taxes and customs are closely related. This can be seen through understanding the term obligation and understanding the existing statutory provisions. Where taxes can also be imposed on import activities, which can also be followed by duties. For companies that are engaged in trade and often carry out export and import activities, of course they can be in contact with taxes and customs.   The imposition of duties can be imposed on goods that are exported or goods that are imported through import duties and export duties, through the explanation that has been mentioned regarding the collection of duties on certain goods such as electric cars from America imported into Indonesia. On the electric car itself, there are arrangements regarding the levy of duties that will be imposed. Electric cars are included in the group of four-wheeled or more battery-based electric motorized vehicles where the grouping is regulated in Article 2 paragraph (1) letter b of Presidential Regulation Number 55 of 2019 concerning the Acceleration of the Battery Electric Vehicle Program for Road Transportation (Presidential Decree 55/2019).   Electric cars are basically cars that are driven by electric motors, using electrical energy stored in batteries or other energy storage places, in contrast to gasoline-fueled vehicles which directly have an impact on increasing air pollution, electric vehicles have great potential to reduce pollution. because the nature of charging in the form of electricity is environmentally friendly.   The definition of an electric vehicle itself is regulated in Presidential Regulation 55/2019, where Article 1 Number 3 of Presidential Regulation 55/2019 states as follows: “Battery Electric Motorized Vehicles (Battery Electric Vehicles), hereinafter referred to as Battery-Based KBLs, are vehicles that are driven by an electric motor and obtain a supply of electric power from the battery directly in the vehicle or from outside.”   The definition of an electric motor as a propulsion engine for electric vehicles, as well as a battery as a medium for storing power in electric vehicles, is explained in Article 1 Number 1 and Article 1 Number 2 of Presidential Regulation 55/2019, which reads: ” Article 1 1. Electric Motor is an electromechanical equipment that consumes electric power to produce mechanical energy as a propulsion. 2. Battery or Electrical Energy Storage Media, hereinafter referred to as Batteries, are sources of electricity used to supply electrical energy to Electric Motors. ”   Provisions regarding the production of battery-based Electric Motor Vehicle components are regulated in Article 10 of Presidential Regulation 55/2019, where the production of these components is carried out by the Component Industry which is established based on Indonesian law and operates in the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia and has an industrial business license to assemble or produce main components and/or supporting components for Battery-Based KBL in accordance with the provisions of the laws and regulations.   In the event that the battery-based electric motor vehicle component industry is not yet capable of producing the main components and/or supporting components of electric motorized vehicles, the electric motor vehicle industry can procure components originating from imports of incompletely Knock Down (IDN) and/or incompletely decomposed state types. or Completely Knock Down (CKD) state, and import intact (Completely Built Up/CBU).   CKD itself means a car that is imported in a state of complete components, but has not been assembled, the components are still in prepackaged condition. These components will be assembled in the importing country to become a complete vehicle ready for use.   Where in Article 5 of the Regulation of the Minister of Industry Number 28 of 2020 concerning Battery-Based Electric Motor Vehicles in Completely Decomposed and Incomplete Decomposition Conditions (Permenperin 28/2020), in Indonesia, in order to meet the CKD requirements, four-wheeled cars or more are required to have main components in the form of an engine, transmission, body or chassis, and axle. Meanwhile, motorcycles are required to have four main components, namely the engine, frame, wheels and steering.   The next term is IKD, which stands for incompletely knocked down. IKD are imported cars in incomplete and incomplete conditions. IKD cars were sent in incomplete condition because components that were not imported could be produced domestically. IKD car prices can be cheaper, because the components are produced locally.   Cars with the CBU label are those imported directly from the country of origin in intact, complete condition. The price of CBU cars is relatively more expensive in the market, due to the high entry (export-import) costs to import the whole vehicle. Generally, CBU cars are high-end cars that do not yet have manufacturing facilities in Indonesia.   The regulation of import duties on electric cars is different from fossil fuel cars in general, where the higher the emissions caused by a vehicle, the higher the tax that will be imposed. This is done because the Government continues to promote environmentally friendly energy in an effort to reduce carbon emissions.   Electric cars have very low emission levels compared to fossil fuel cars, therefore the Government through the Minister of Finance applies a special import duty tariff on electric cars, which is 0% or free of import duty.   This is explained through the section considering the Regulation of the Minister of Finance Number 13/PMK.010/22 concerning the Fourth Amendment to the Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods (Permenkeu 13/2022 ) which was stipulated on February 22, 2022, which reads: “ Considering: a. that the provisions concerning the goods classification system and the imposition of import duty tariffs on imported goods have been regulated in Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and the Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods as has been amended several times, most recently with the Regulation of the Minister of Finance Number 17/PMK.010/2020 concerning the Third Amendment to the Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods; b. that in order to encourage the increase in added value of the assembly of the four-wheeled or more motorized vehicle industry in accordance with the development needs of the four-wheeled or more motorized vehicle industry and to accelerate the battery-based electric motor vehicle program for road transportation, it is necessary to provide incentives for import duties on the import of certain goods and materials through changes to the provisions as referred to in letter a; c. that based on the considerations as referred to in letters a and b, it is necessary to stipulate a Regulation of the Minister of Finance regarding the Fourth Amendment to the Regulation of the Minister of Finance Number 6/PMK.010/2017 concerning Stipulation of the Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariffs on Imported Goods;”   In addition, the import duty of 0% is regulated directly in Attachment II to the Minister of Finance Regulation 13/2022 in the section on the Classification Structure of Goods and the Imposition of Import Duty Tariffs regarding the explanation of the description of motorized vehicles in incomplete decomposed state; chassis with engine mounted in an incompletely disassembled state.   However, although there is an exemption from the import duty of electric cars in the import of electric cars, it does not directly accelerate the implementation of the battery-based electric motor vehicle program in Indonesia, this is due to the price of electric cars which are still high or expensive, not because of the price added tax, but because of the price. origin from a factory that is already high.   If you look at the business competition between cars in Indonesia, electric cars clearly still compete with fossil fuel cars, where imported fossil fuel cars are subject to import duties to Indonesia, but if the total price of fossil fuel cars will be much lower than the price. electric cars that are already duty-free in Indonesia.   This is also an obstacle in accelerating the Battery-Based Electric Motorized Vehicle program in Indonesia, and over time it is hoped that factories that produce electric cars can issue electric cars at more affordable prices and coupled with free import duties, which will make people Indonesia has more electric cars compared to fossil fuel cars, with this, the acceleration of the battery-based electric motor vehicle program in Indonesia can run smoothly and the reduction of fossil fuel vehicles that cause high carbon emissions can be reduced slowly.    
0

ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY IN INFORMATION TECHNOLOGY INFRASTRUCTURE

Author: Ananta Mahatyanto

Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak CiptaUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten   REFERENSI : Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id/ )Fitriawati, Mia. “Perkembangan Infrastruktur Teknologi Informasi dari Evolusi Infrastruktur.” Jurnal Teknologi dan Informasi 7.1 (2017): 79-87.Khulafa Pinta Winastya, Teknologi Adalah Ilmu Pengetahuan Untuk Mencapai Tujuan Praktis, Simak Jenisnya, ( https://www.merdeka.com/trending/teknologi-adalah-ilmu-pengetahuan-untuk-mencapai-tujuan-praktis-simak-jenisnya-kln.html )ZathCo, IT Infrastruktur, (https://zathco.com/it-infrastruktur/ )Izin.co.id, Definisi dan Panduan Lengkap tentang HAKI, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/ )Nafebra, Andika Carsya. “HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Osf. Io (2018).Novita Ayuningtias, Fungsi Motherboard dan Bagian-Bagiannya, Anak IT Wajib Tahu, ( https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/fungsi-motherboard-dan-bagian-bagiannya-anak-it-wajib-tahu#:~:text=Fungsi%20utama%20dari%20motherboard%20sendiri,sistem%20perangkat%20keras%20yang%20tersedia. )  
Pada era perkembangan teknologi masa kini, memerlukan suatu sistem untuk menjalankan suatu pekerjaan dengan cepat, efektif , efisien dan akurat, hal ini diperlukan karena berimplikasi langsung pada produktivitas pekerjaan yang dilakukan. [1] Teknologi berkembang dengan pesat, melalui ciptaan-ciptaan, inovasi, invensi terhadap teknologi itu sendiri, Perkembangan yang terjadi pada teknologi informasi dibangun melalui suatu “fondasi” dalam bentuk infrastruktur.             Teknologi Informasi memiliki unsur dasar pada kata “teknologi”, dimana berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Teknologi merupakan suatu metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis atau keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.[2]             Selain itu, Informasi dalam konteks teknologi berkaitan dengan Informasi yang berbentuk elektronik, dimana hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE), yang berbunyi: “Pasal 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[3]   Sehingga pada kesimpulan definisi mengenai Teknologi Informasi adalah Penggunaan teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, untuk mengolah dan mendistribusikan informasi dalam bentuk digital,[4] serta apabila mengacu pada Pasal 1 Angka 3 UU ITE, Teknologi Informasi didefinisikan sebagai:
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. [5]   Selain membahas tentang Teknologi Informasi, Infrastruktur juga merupakan hal yang penting, karena semua hal dapat terjadi apabila hal tersebut melalui pembangunan. Infrastruktur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai Prasarana,[6] dimana pengertian prasarana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya).[7]             Sehingga, Infrastruktur Teknologi Informasi merupakan suatu prasarana atau hal pendukung sekaligus menunjang terselenggaranya suatu proses pembangunan teknologi informasi itu sendiri. Infrastruktur teknologi informasi didefinisikan secara luas sebagai seperangkat komponen teknologi informasi (IT) yang merupakan dasar dari layanan IT, biasanya komponen fisik (komputer dan perangkat keras serta fasilitas jaringan), tetapi juga berbagai komponen perangkat lunak dan jaringan.[8]   Dalam komputasi, infrastruktur teknologi informasi terdiri dari sumber daya fisik dan virtual yang mendukung arus, penyimpanan, pengolahan dan analisis data. Infrastruktur teknologi informasi dapat dipusatkan di dalam pusat data (data center). Infrastruktur teknologi informasi perusahaan biasanya mengacu pada komponen yang diperlukan untuk keberadaan, pengoperasian, dan pengelolaan lingkungan teknologi informasi perusahaan. Infrastruktur teknologi informasi terdiri dari satu set perangkat fisik dan aplikasi perangkat lunak yang diperlukan untuk mengoperasikan seluruh perusahaan. Semua perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan, menguji, mengirim, memantau, mengontrol atau mendukung layanan teknologi informasi.[9]   Tujuan dari manajemen Infrastruktur Teknologi Informasi adalah untuk mencapai efektivitas dari keseluruhan proses teknologi informasi, kebijakan, data, sumber daya manusia, peralatan dan lainnya. Dan tujuan lainnya adalah untuk mengoperasikan Teknologi Informasi agar bias diakses ke semua orang. [10] Dalam Infrastruktur Teknologi Informasi tidak lepas dari suatu ciptaan-ciptaan, inovasi serta invensi dari teknologi yang baru, dimana hal-hal tersebut berkaitan erat dengan Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh pencipta teknologi tersebut.             Berbicara tentang Kekayaan Intelektual (KI) perlu kita pahami terlebih dahulu tentang KI itu sendiri. Kekayaan Intelektual atau bisa kita singkat dengan KI adalah hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu temuan, karya, produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat yang dapat dilindungi oleh hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia. Fungsi dan tujuan utama dari adanya perlindungan Kekayaan Intelektual, antara lain : Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas Kekayaan Intelektual milik orang lain.Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual. Karena dengan diakuinya Kekayaan Intelektual, akan mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis.Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, dan industri yang ada di Indonesia.[11]   Berikut Hak-Hak Kekayaan Intelektual yang terkandung dalam suatu Infrastruktur Teknologi Informasi , yakni: Hak Cipta Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjelaskan tentang definisi Hak Cipta dan Ciptaan yang merupakan objek yang dilindungi oleh Hak Cipta, yang merupakan: “ Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.   Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[12]

Sehingga, Hak cipta diberikan kepada sebuah ciptaan yang dihasilkan dan diekspresikan dalam bentuk nyata atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian.   Sebagai contoh, infrastruktur teknologi informasi dapat bekerja apabila menggunakan komputer, dimana komputer tidak dapat dipisahkan dengan perangkat lunak (software) untuk mengaplikasikan maksud dan tujuan dari penggunaan komputer tersebut, perangkat lunak (software) itu sendiri merupakan sekumpulan perintah yang ditulis oleh bahasa pemograman yang dimengerti oleh komputer sehingga perangkat lunak tersebut mampu menginstruksikan perintah tertentu yang akan dikerjakan oleh komputer. Contoh dari software itu sendiri seperti Windows, Microsoft, Antivirus, Internet Explorer. [13]   Menciptakan perangkat lunak bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena banyak sekali aturan-aturan dan kemampuan intelektual yang dibutuhkan dari seorang analis sistem (system analyst) dan pemrograman. Oleh karena itulah, dengan berlakunya Undang-Undang Hak Cipta, hasil kerja seorang analis sistem dan pemrograman dapat dilindungi. [14]   Salah satu pelanggaran Hak Cipta terhadap infrastruktur teknologi informasi dapat berupa pemakaian teknologi tersebut tanpa seizin pencipta , pembajakan, pengadaan, atau hacking yang kerap terjadi dalam penerapan teknologi informasi sehari-hari.   Pasal 8 jo. Pasal 9 jo. Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak ekonomi milik pencipta berkaitan dengan hak cipta yang dilanggar , yang berbunyi: “ Pasal 8   Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.   Pasal 9   Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan Ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; pendistribusian Ciptaan atau salinannya; pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan penyewaan Ciptaan.   Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[15] Selain pelanggaran hak cipta terkait dengan hak ekonomi, hacking juga merupakan salah satu pelanggaran terkait dengan pengaksesan teknologi informasi tanpa seizin pencipta atau pemilik, yang diatur dalam Pasal 30 jo. Pasal 46 UU ITE, yang berbunyi:   “ Pasal 30 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun melanggar, menerobos, melampaui  atau menjebol sistem pengamanan.   Pasal 46 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).[16]           Hak Paten Selain Hak Cipta, Hak atas Paten juga merupakan salah satu Hak Kekayaan Intelektual yang harus dilindungi dalam Infrastruktur Teknologi Informasi, terlebih Paten berkaitan erat dengan suatu invensi suatu teknologi, dimana pengertian Paten menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten), yang berbunyi: “ Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.[17]   Seperti Hak Cipta, terdapat manfaat ekonomi yang diberikan kepada pemegang paten, dan terdapat perbuatan yang dilarang terhadap selain pemegang paten seperti membuat keuntungan kepada diri sendiri tanpa seizin pemegang paten, yang secara lengkap perbuatan yang dilarang tersebut dijelaskan dalam Pasal 160  UU Paten beserta dengan sanksi yang diatur dalam Pasal 161 dan Pasal 162 UU Paten, yang berbunyi sebagai berikut: “ Pasal 160   Setiap Orang tanpa persetujuan pemegang paten dilarang: dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten; dan/ataudalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.   Pasal 161   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).   Pasal 162   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[18]             Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) Terdapat 2 hal yang tergabung dalam DTLST, yakni Desain Tata Letak dan Sirkuit Terpadu, hal tersebut dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu (UU DTLST), yang berbunyi: “ Pasal 1 Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.[19]   Sehingga dapat disimpulkan bahwa Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu merupakan kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.   Selanjutnya mengenai Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang definisinya dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 UU DTLST, yang berbunyi: “ Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.[20]   Berbeda dengan pembahasan pada Hak Cipta yang berkaitan dengan Perangkat Lunak (software), DTLST berkaitan erat dengan komponen perangkat keras yang diperlukan dalam infrastruktur teknologi informasi, seperti papan utama atau motherboard yang berfungsi sebagai pusat penghubung perangkat dengan perangkat lainnya, atau sebagai penyatu dari sistem perangkat keras yang tersedia, [21] dimana apabila pendesain motherboard tersebut ingin mengajukan permohonan atas perlindungan karya ciptaannya dapat diajukan permohonan hak DTLST.   Ada dua hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang hak desain tata letak dan sirkuit terpadu, yakni: Hak melaksanakan desain yang dimiliki;Hak untuk melarang pihak lain tanpa persetujuannya membuat, memakai, mengimpor, ekspor, dan mengedarkan barang yang berhubungan dengan hal ini.   Pelanggaran Hak DTLST pada dasarnya memiliki kriteria yang sama seperti Hak Kekayaan Intelektual lainnya , yakni terkait dengan perizinan kepada pendesain DTLST tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 42 ayat (1) UU DTLST , yang berbunyi: “ Pasal 8 Pemegang Hak memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian Desain yang telah diberi Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Pasal 42 Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[22] Sehingga, dapat dilihat bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Infrastruktur Teknologi Informasi dijamin keberadaanya baik melalui Undang-Undang ITE maupun Undang-Undang yang mengatur tentang masing-masing Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini diberlakukan karena Pemerintah mengetahui pentingnya Hak Kekayaan Intelektual khususnya dalam bidang Infrastruktur Teknologi Informasi dan Teknologi Informasi itu sendiri.   Pentingnya menghargai kreativitas milik orang lain dalam hal ini menghargai kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seseorang terhadap infrastruktur teknologi informasi, dapat diwujudkan dengan : Menggunakan software yang asli atau dengan membeli nomor lisensi. Tidak melakukan duplikasi, membajak ataupun menyalin tanpa seizin perusahaan atau pemilik Tidak menggunakan untuk tindakan kriminal atau kejahatan Tidak memodifikasi (mengubah), mengurangi atau menambah hasil karya tanpa seizin perusahaan atau pemilik. Terlebih hadirnya teknologi informasi yang terus berkembang dengan pesat melalui pembangunan infrastruktur dari teknologi informasi itu sendiri memiliki tujuan untuk memecahkan masalah, membuka kreativitas, meningkatkan efektivitas dan      efisiensi dalam melakukan pekerjaan. Sehingga, Aspek-aspek Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan Infrastruktur Teknologi Informasi harus dilindungi melalui perlindungan hukum, dan terdapat penerapan pemberian sanksi baik pidana penjara, denda pidana karena pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual merupakan salah satu perbuatan yang masuk kedalam kategori kejahatan.  

[1] Fitriawati, Mia. “Perkembangan Infrastruktur Teknologi Informasi dari Evolusi Infrastruktur.” Jurnal Teknologi dan Informasi 7.1 (2017): 79-87.

[2] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[3] Khulafa Pinta Winastya, Teknologi Adalah Ilmu Pengetahuan Untuk Mencapai Tujuan Praktis, Simak Jenisnya, ( https://www.merdeka.com/trending/teknologi-adalah-ilmu-pengetahuan-untuk-mencapai-tujuan-praktis-simak-jenisnya-kln.html )

[4] https://kbbi.lektur.id/teknologi-informasi

[5] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[6] https://kbbi.web.id/infrastruktur

[7] https://kbbi.web.id/prasarana

[8] ZathCo, IT Infrastruktur, (https://zathco.com/it-infrastruktur/ )

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Izin.co.id, Definisi dan Panduan Lengkap tentang HAKI, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/ )

[12] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[13] Nafebra, Andika Carsya. “HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi.” Osf. Io (2018).

[14] Ibid.

[15] Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[16] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[17] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[18] Pasal 160 sampai Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[19] Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu

[20] Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

[21] Novita Ayuningtias, Fungsi Motherboard dan Bagian-Bagiannya, Anak IT Wajib Tahu, ( https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/fungsi-motherboard-dan-bagian-bagiannya-anak-it-wajib-tahu#:~:text=Fungsi%20utama%20dari%20motherboard%20sendiri,sistem%20perangkat%20keras%20yang%20tersedia. )

[22] Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Legal basis :  1. Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits  2. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016  3. Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights  4. Law Number 13 of 2016 concerning Patents    REFERENCE :  1. Big Indonesian Dictionary (https://kbbi.web.id/ )  2. Fitriawati, Mia.  “Information Technology Infrastructure Development of Infrastructure Evolution.”  Journal of Technology and Information 7.1 (2017): 79-87.  3. Khulafa Pinta Winastya, Technology Is Science To Achieving Practical Goals, Check Out Its Kinds, (https://www.merdeka.com/trending/technology-is-ilmu-knowledge-to-menreach-aim-praktis-simak-types  -kln.html )  4. ZathCo, IT Infrastructure, (https://zathco.com/it-infraktur/ )  5. Permission.co.id, Definition and Complete Guide to Intellectual Property Rights, (https://izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-dalam/ )  6. Nafebra, Andika Carsya.  “IPR (Intellectual Property Rights) in Information and Communication Technology.”  osf.  Io (2018).  7. Novita Ayuningtias, Motherboard Functions and Its Parts, IT Children Must Know, (https://www.liputan6.com/tekno/read/3912122/function-motherboard-dan-parts-anak-it-dunia-  know#:~:text=Function%20main%20of%20motherboard%20own,system%20device%20hard%20which%20 is available.)
In today’s era of technological development, it requires a system to run a job quickly, effectively, efficiently and accurately, this is necessary because it has direct implications for the productivity of the work done.  Technology is developing rapidly, through creations, innovations, inventions of the technology itself. Developments that occur in information technology are built through a “foundation” in the form of infrastructure.    Information Technology has a basic element in the word “technology”, which according to the Big Indonesian Dictionary, Technology is a scientific method to achieve practical goals or the overall means to provide goods needed for the survival and comfort of human life.   In addition, information in the context of technology is related to information in electronic form, which is explained in Article 1 Number 1 of Law 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended in Law Number 19 of 2016 (UU ITE),  which reads:  “Article 1  1. Electronic Information is one or a set of electronic data, including but not limited to writing, sound, pictures, maps, designs, photographs, electronic data interchange (EDI), electronic mail (electronic mail), telegram, telex, telecopy or the like,  processed letters, signs, numbers, Access Codes, symbols, or perforations that have meaning or can be understood by people who are able to understand them.”   So that in conclusion the definition of Information Technology is the use of technology such as computers, electronics, and telecommunications, to process and distribute information in digital form, and when referring to Article 1 Number 3 of the ITE Law, Information Technology is defined as:    “Information Technology is a technique for collecting, preparing, storing, processing, publishing, analyzing, and/or disseminating information.  “    Apart from discussing Information Technology, Infrastructure is also important, because anything can happen if it is through development.  Infrastructure based on the Big Indonesian Dictionary is defined as infrastructure, where the definition of infrastructure in the Big Indonesian Dictionary is everything that is the main support for the implementation of a process (business, development, project, and so on).   Thus, Information Technology Infrastructure is an infrastructure or supporting thing as well as supporting the implementation of an information technology development process itself.  Information technology infrastructure is defined broadly as a set of information technology (IT) components that form the basis of IT services, usually physical components (computers and hardware and network facilities), but also various software and network components.    In computing, the information technology infrastructure consists of physical and virtual resources that support the flow, storage, processing and analysis of data.  Information technology infrastructure can be centralized in a data center (data center).  An enterprise information technology infrastructure typically refers to the components required for the existence, operation, and management of the enterprise information technology environment.  The information technology infrastructure consists of a set of physical devices and software applications required to operate the entire enterprise.  All hardware, software, networks, facilities necessary to develop, test, deliver, monitor, control or support information technology services.   The purpose of Information Technology Infrastructure management is to achieve the effectiveness of the entire information technology process, policies, data, human resources, equipment and others.  And another goal is to operate Information Technology so that it can be accessed by everyone.  Information Technology Infrastructure cannot be separated from creations, innovations and inventions from new technologies, where these things are closely related to the Intellectual Property Rights owned by the creator of the technology.   Talking about Intellectual Property (IP) we need to understand first about IP itself.  Intellectual Property or we can shorten it with IP is the result of human thought to be able to produce findings, works, products, services, or processes that are useful for society that can be protected by law.  So it can be concluded that Intellectual Property is the right to enjoy economically the result of an intellectual creativity.  Objects that are regulated in intellectual property are works produced by human intellectual abilities.  The main functions and objectives of the protection of Intellectual Property, among others:  As legal protection for creators who are owned by individuals or groups for their efforts in making copyrighted works with the economic value contained therein.  Anticipating and also preventing infringement of other people’s Intellectual Property.  Increase competition, especially in terms of the commercialization of intellectual property.  Because with the recognition of Intellectual Property, it will encourage creators to continue to work and innovate, and can benefit economically.  It can be used as a material for consideration in determining research and industry strategies in Indonesia.   The following are the Intellectual Property Rights contained in an Information Technology Infrastructure, namely:  1. Copyright  Article 1 Number 1 and Number 3 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, explains the definition of Copyright and Works which are objects protected by Copyright, which are:  ” Article 1  (1) Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is manifested in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.    (3) Creation is any copyrighted work in the fields of science, art, and literature which is produced on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill, or expertise which is expressed in a tangible form.”  Thus, Copyright is granted to a work that is produced and expressed in a tangible form based on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill or expertise.   For example, information technology infrastructure can work when using a computer, where a computer cannot be separated from software (software) to apply the intent and purpose of using the computer, the software itself is a set of commands written by a programming language that is understood.  by the computer so that the software is able to instruct certain commands to be carried out by the computer.  Examples of the software itself such as Windows, Microsoft, Antivirus, Internet Explorer.   Creating software is not an easy job because a lot of rules and intellectual abilities are required from a systems analyst (system analyst) and programming.  Therefore, with the enactment of the Copyright Act, the work of a systems analyst and programming can be protected.   One of the copyright violations against information technology infrastructure can be in the form of using the technology without the permission of the creator, piracy, procurement, or hacking that often occurs in the daily application of information technology.    Article 8 jo.  Article 9 jo.  Article 113 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights regulates the violation of the author’s economic rights in relation to the infringed copyright, which reads:  “Article 8”    Economic rights are the exclusive rights of the Author or Copyright Holder to obtain economic benefits from the Works.    Article 9    (1) The Creator or Copyright Holder as referred to in Article 8 has economic rights to:  a.  publication of Works;  b.  Reproduction of Works in all its forms;  c.  translation of Works;  d.  adapting, arranging, or transforming the Works;  e.  distribution of Works or copies thereof;  f.  performances of Creation;  g.  Announcement of Works;  h.  Creative Communications;  and  i.  rental of Works.    (2) Everyone exercising economic rights as referred to in paragraph (1) is required to obtain permission from the Author or Copyright Holder.  (3)  (3) Any person without permission from the Author or Copyright Holder is prohibited from Reproduction and/or Commercial Use of Works.  Article 113  1. Any person who unlawfully violates the economic rights as referred to in Article 9 paragraph (1) letter i for Commercial Use shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year and/or a maximum fine of Rp. 100,000,000 (one hundred  million rupiah).  2. Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter c, letter d, letter f, and/or letter h for Commercial Use  shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).  3. Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use  shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).  4. Any person who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) committed in the form of piracy, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and/or a maximum fine of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah).”   In addition to copyright infringement related to economic rights, hacking is also one of the violations related to accessing information technology without the permission of the creator or owner, which is regulated in Article 30 jo.  Article 46 of the ITE Law, which reads:    “Article 30”  (1) Any person intentionally and without rights or against the law Accessing Computers and/or Electronic Systems belonging to other Persons in any way.  (2) Any person intentionally and without rights or against the law accesses a Computer and/or Electronic System with the aim of obtaining Electronic Information and/or Electronic Documents.  (3) Any person intentionally and without rights or against the law accessing a Computer and/or Electronic System in any way violates, breaks through, exceeds or breaks the security system.    Article 46  (1) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 6 (six) years and/or a maximum fine of Rp. 600,000,000.00 (six hundred million rupiah).  (2) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (2) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 7 (seven) years and/or a maximum fine of Rp. 700,000,000.00 (seven hundred million rupiah). (3) Everyone who fulfills the elements as referred to in Article 30 paragraph (3) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 8 (eight) years and/or a maximum fine of Rp. 800,000,000.00 (eight hundred million rupiahs).”   2. Patents  In addition to Copyright, Patent Rights are also one of the Intellectual Property Rights that must be protected in Information Technology Infrastructure, especially Patents are closely related to an invention of a technology, where the definition of Patent according to Article 1 Number 1 of Law Number 13 of 2016 concerning Patents (  Patent Law), which reads: “Patent is an exclusive right granted by the state to an inventor for his invention in the field of technology for a certain period of time to carry out the invention himself or to give approval to other people to implement it.”   Like Copyright, there are economic benefits granted to the patent holder, and there are actions that are prohibited against other than the patent holder such as making profits for themselves without the permission of the patent holder, which in full is explained in Article 160 of the Patent Law along with the sanctions imposed.  regulated in Article 161 and Article 162 of the Patent Law, which reads as follows:  “Article 160”    Any person without the approval of the patent holder is prohibited:  a.  in the case of a product-Patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the patented product;  and/or  b.  in the case of Process-Patent: using a production process that is granted a Patent to manufacture goods or other actions as referred to in letter a.    Article 161    Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).    Article 162    Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”   3. Integrated Circuit Layout Design (DTLST)  There are 2 things that are incorporated in DTLST, namely Layout Design and Integrated Circuit, this is explained through Article 1 Number 1 and Article 1 Number 3 of Law Number 32 of 2000 concerning Layout Design of Integrated Circuits (UU DTLST), which reads:  ” Article 1  1. Integrated Circuit is a product in finished or semi-finished form, in which there are various elements and at least one of these elements is an active element, which are partially or wholly interconnected and formed in an integrated manner in a semiconductor material intended to  generate electronic functions.  2. Layout Design is a creation in the form of a three-dimensional laying design of various elements, at least one of these elements is an active element, as well as part or all of the interconnections in an Integrated Circuit and the three-dimensional placement is intended to prepare for the manufacture of an Integrated Circuit.”   So it can be concluded that the Integrated Circuit Layout Design is a creation in the form of a three-dimensional laying design of various elements, at least one of these elements is an active element, as well as some or all of the interconnections in an integrated circuit and the three-dimensional placement is intended to prepare the circuit.  integrated.    Furthermore, regarding the Right to Layout Design for Integrated Circuits, the definition of which is explained in Article 1 Point 6 of the DTLST Law, which reads:  “The Right to Layout Design of an Integrated Circuit is an exclusive right granted by the Republic of Indonesia to the designer of his creation, to carry out his own creation for a certain period of time, or to give his approval to another party to exercise that right.”   In contrast to the discussion on Copyright which relates to Software, DTLST is closely related to the hardware components needed in information technology infrastructure, such as the main board or motherboard that functions as a center for connecting devices to other devices, or as an integral part of the device system.  available hardware, where if the motherboard designer wants to apply for the protection of his work, a DTLST rights application can be submitted.   There are two exclusive rights owned by the holder of layout design rights and integrated circuits, namely:  • The right to implement the own design;  • The right to prohibit other parties without their consent from making, using, importing, exporting, and distributing goods related to this matter.    Infringement of DTLST Rights basically has the same criteria as other Intellectual Property Rights, namely related to licensing to the DTLST designer, this is regulated in Article 8 paragraph (1) jo.  Article 42 paragraph (1) of the DTLST Law, which reads:  “Article 8”  (1) The right holder has the exclusive right to exercise his Right to Layout Design of an Integrated Circuit and to prohibit other people without his consent from making, using, selling, importing, exporting and/or distributing goods in which all or part of the Design has been  granted the Right to Layout Design of Integrated Circuit.  Article 42  (1) Anyone who intentionally and without rights commits any of the acts as referred to in Article 8 shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 300,000,000.00 (three hundred million rupiahs).”   Thus, it can be seen that the protection of Intellectual Property Rights in Information Technology Infrastructure is guaranteed both through the ITE Law and the Law governing each Intellectual Property Rights.  This is enforced because the Government knows the importance of Intellectual Property Rights, especially in the field of Information Technology Infrastructure and Information Technology itself.    The importance of respecting the creativity of others, in this case respecting the intellectual property owned by someone on the information technology infrastructure, can be realized by:  • Using the original software or by purchasing a license number.  • Do not duplicate, hijack or copy without the permission of the company or owner  • Do not use for criminal acts or crimes  • Do not modify (change), reduce or add to the work without the permission of the company or owner.  Moreover, the presence of information technology which continues to grow rapidly through infrastructure development from information technology itself has the aim of solving problems, opening up creativity, increasing effectiveness and efficiency in doing work.  Thus, Intellectual Property Aspects related to Information Technology Infrastructure must be protected through legal protection, and there is the application of sanctions, both imprisonment, criminal fines for violating Intellectual Property Rights is one of the acts that fall into the category of crime.
0

Pengaturan Kendaraan Listrik di Indonesia

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Bernando & Andreas Simanjorang

Legal Basis:

  1. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan
  2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

Kendaraan Listrik pada dasarnya adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik, menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai atau tempat penyimpan energi lainnya, berbeda dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang secara langsung berdampak pada peningkatan polusi udara, kendaraan listrik memiliki potensi yang besar untuk mengurangi polusi karena sifat dari pengisian daya yang berbentuk listrik bersifat ramah lingkungan.

Pengertian dari Kendaraan Listrik itu sendiri diatur dalam Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019), dimana Pasal 1 Angka 3 Perpres 55/2019 menyatakan sebagai berikut:

Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.[1]

          Adapun pengertian Motor listrik sebagai mesin penggerak dari kendaraan listrik, serta Baterai sebagai media penyimpanan daya pada kendaraan listrik, dijelaskan melalui Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 2 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Motor Listrik adalah peralatan elektromekanik yang mengonsumsi tenaga listrik untuk menghasilkan energi mekanik sebagai penggerak.
  2. Baterai atau Media Penyimpanan Energi Listrik yang selanjutnya disebut Baterai adalah sumber listrik yang digunakan untuk memberi pasokan energi listrik pada Motor Listrik.[2]

Kendaraan bermotor listrik tersebut merupakan salah satu inovasi dengan tujuan untuk peningkatan industri transportasi yang ramah lingkungan dan untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan peraturan yang mendasari mengenai program kendaraan bermotor listrik di Indonesia. Perpres 55/2019 tersebut menjadi payung hukum terhadap kendaraan bermotor listrik di Indonesia, melihat pada bagian menimbang huruf a Perpres 55/2019, peraturan mengenai kendaraan bermotor listrik ini pada dasarnya dibuat untuk peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, dan terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan, serta komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca, perlu mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.[3]

Selanjutnya, Perpres 55/2019 membahas tentang percepatan pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai yang mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional , dimana hal ini dibahas oleh forum tim koordinasi percepatan program kendaraan bermotor listrik Indonesia.[4]

Kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dilakukan melalui kegiatan industri baik industri kendaraan bermotor listrik itu sendiri, maupun industri komponen dari kendaraan bermotor listrik tersebut, dimana perusahaan industri yang memiliki kegiatan usaha di bidang kendaraan bermotor listrik tersebut harus memiliki izin usaha industri dan fasilitas manufaktur, dimana perusahaan industri tersebut harus membangun fasilitas manufaktur kendaraan bermotor listrik di Indonesia.[5]

Industri Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai di Indonesia merupakan salah satu industri yang baru, sehingga mengenai penelitian, pengembangan, dan inovasi industri mengenai inovasi teknologi pada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia dapat dilakukan oleh Perusahaan Industri, Perguruan Tinggi, dan/atau lembaga penelitian yang dapat bersinergi dengan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah.[6]

Penerapan industri transportasi yang ramah lingkungan diwujudkan melalui dorongan pemerintah untuk menggunakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, dimana pemerintah juga sekaligus melakukan pengendalian terhadap penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil dalam negeri, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 Perpres 55/2019, yang berbunyi:

Pasal 16

  • Dalam rangka percepatan penggunaan KBL Berbasis Baterai, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap.
  • Pengendalian penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak fosil secara bertahap dilakukan berdasarkan peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.[7]

Terkait dengan motor listrik yang energinya digerakan oleh media baterai, pengisian energi listrik untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai juga diatur di dalam Pasal 22 Perpres 55/2019 dimana pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan oleh pengguna Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai pada Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), yang berbunyi:

Pasal 22

  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai meliputi:
  • fasilitas pengisian ulang (charging) paling sedikit terdiri atas:
  • peralatan Catu Daya Listrik;
  • sistem kontrol arus, tegangan, dan komunikasi; dan
  • sistem proteksi dan keamanan; dan/atau
  • fasiiitas penukaran Baterai.
  • Pengisian ulang (charging) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan pada instalasi listrik privat dan/atau SPKLU.
  • Infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyediaan infrastruktrur yang dijelaskan Pasal 22 Perpres 55/2019 tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, dimana pelaksanaan tersebut dilaksanakan bersama dengan penyedia jasa kelistrikan di Indonesia yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN).[9]

          Sehingga, melalui terbitnya Perpres 55/2019 yang menjadi payung hukum kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia, pemerintah memiliki program untuk mewujudkan iklim transportasi di Indonesia yang ramah lingkungan, serta mengurangi bahan bakar fosil secara bertahap, selain itu percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai tersebut juga didukung dengan infrastruktur yakni fasilitas pengisian daya baterai melalui Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Industri Kendaraan Bermotor Listrik di Indonesia harus memiliki izin sebelum melakukan kegiatan usaha dimana harus memiliki fasilitas manufaktur yang didirikan di Indonesia, dan mengenai penelitian, pengembangan mengenai inovasi teknologi terhadap industri kendaraan bermotor listrik yang cenderung baru ini dapat dilakukan oleh berbagai macam pihak seperti Perusahaan, Perguruan Tinggi, serta lembaga penilitian yang bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat polusi udara di Indonesia sekaligus menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan transportasi yang ramah lingkungan.


[1] Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[2] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[3] Bagian menimbang huruf a Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[4] Pasal 4 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[5] Pasal 5 jo. Pasal 6 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[6] Pasal 7 ayat (1) & ayat (2) Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[7] Pasal 16 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[8] Pasal 22 Peraturan Presdien Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan

[9] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai

0

Intellectual Property Protection in Additive Manufacturing

Author: Laura Boen

ADDITIVE MANUFACTURING (AM), also known as 3D printing has developed over time from a plaything to a viable technology for the future of industry. Companies now have the ability to print components in a wide range of materials on-demand when and where they need them. Numerous international brands have begun to offer devices for the additive manufacturing of for example, prototypes or spare parts. Even though the printing process itself is deceptively simple, it is an extreme feat of technological innovation, and it remains quite a costly proposition. But as has always been the case with groundbreaking technologies, time will overcome these growing pains and establish AM as a regular part of the industrial experience.


What can be protected?

Intellectual property protection through the entire chain of AM can be a complex problem.

First, the object’s designer who has created a 3D blueprint of the piece with a specialized software tool. He would be interested in protecting his blueprints from theft and in having some means of tracking how many of his pieces are produced, irrespective of when and where in the world this happens.

Next, the dedicated and sophisticated software packages which translated the 3D design data into a layered model, because the actual printers create the pieces additively, i.e. layer upon layer.

Further, the printing process, which might in turn be affected by the material properties also need to be considered, as they might change over time or with changing temperatures.

Finally, the ability to count the number of printed objects must be included in the printer management itself (system) to ensure meaningful controls over the process.


Additive manufacturing is considered a future market – but the future starts today. Many sectors of industry have already realized its potential for small production runs. This great future potential will, however, be influenced substantially by the fact that the people printing the objects are not necessarily the people who own the rights to them. There are also opportunities for dedicated agencies that can take over 3D printing jobs for other businesses in their vicinity. All of this makes uncompromising Intellectual Property protection and flexible monetization options an absolute must for the technology.

1 2
Translate