Modus Kejahatan Pinjaman Online tanpa Registrasi

Author: Ester Victoria Uliarina

Suatu platform pinjaman online yang menyediakan pinjaman dengan jaringan internet atau online dikenal juga dengan sistemَ berbasisَ peer to peer lending.[1] Penggunaan sistem peer to peer lending ini memberikan manfaat bagi kemajuan usaha masyarakat yang tergolong masih kecil dan berlokasi di daerah pelosok yang belum dapat menjangkau layanan perbankan konvensional.[2] Hal ini dikarenakan bank konvensional belum memiliki kantor cabang pada daerah tersebut. Kehadiran pinjaman online yang semula memberikan kemudahan proses pinjam meminjam uang, kini tidak lagi sepenuhnya aman dari genggaman para pelaku kejahatan.

Kejahatan dalam pinjaman online semakin hari semakin meningkat dan beragam. Sebagaimana kita ketahui permasalahan yang kerap terjadi ketika seseorang yang melakukan suatu pinjaman online mendapatkan ancaman ketika orang tersebut tidak dapat membayarkan utang beserta bunga yang begitu besar. Semakin berkembangnya modus kejahatan saat ini tidak hanya orang yang melakukan pinjaman namun orang yang tidak pernah mengajukan pinjaman online dapat diteror oleh oknum-oknum “nakal” demi keuntungan pribadinya.[3] Salah satu modus kejahatan dengan mengirimkan sejumlah uang kepada seseorang yang tidak pernah mengajukan suatu pinjaman online digunakan pelaku untuk mengancam para korban.

Tidak hanya menyerang korban, pelaku juga sering kali menghubungi kerabat korban dan meminta korban untuk melunasi uang yang diberikan beserta bunga yang sangat besar tersebut. Pelaku mengancam akan menyebarkan data pribadi korban apabila keinginan pelaku tidak terlaksana. Hal ini tentu sangat meresahkan masyarakat, ketika mereka seharusnya tidak terlibat dalam lingkaran teror pelaku pinjaman online.

Kesadaran hukum masyarakat menjadi hal yang amat penting untuk menghadapi modus pinjaman online serupa. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh korban kejahatan pinjaman onlin tersebut. Pertama, cara termudah untuk mengabaikan hal tersebut dengan tidak menjawab panggilan telepon atau membalas pesan yang dikirimkan pelaku kejahatan pinjaman online, serta memberitahukan kerabat terkait hal tersebut. Antisipasi lain yang dapat dilakukan adalah memblokir nomor pelaku kejahatan pinjaman online yang memberikan ancaman kepada korban maupun kerabat korban. Kedua, melaporkan kepada pihak kepolisian terkait ancaman dan akses data pribadi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pinjaman online.

Pencurian data pribadi yang dilakukan oleh pelaku merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pemilik data pribadi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya ada pribadi yang telah tersebar nantinya tidak dapat serta merta dihapus untuk menghilangkan identitas-identitas korban. Indonesia sebagai negara hukum telah memberikan perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya.”.[4]

Sanksi atas perbuatan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang menjabarkan: “Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.00O.OOO.000,00 (lima miliar rupiah).”[5]

Korban dapat melaporkan atas penipuan dengan dasar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun“.[6]

Kemudian Pasal 29 Juncto Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi “.[7]

Pasal 45B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)“.[8]

Apabila korban merasa dirugikan atas penghinaan dan/atau pencemaran nama baik  yang dilakukan oleh pelaku, maka korban akan mendapatkan perlindungan dengan Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 27 ayat (3):

Setiap Orang dengan dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”[9]

Pasal 45 ayat (3):

Setiap Orang Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”[10]

Dasar Hukum:

  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

Referensi:

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
  • Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  • Amalia, Afnan H. 2022. “Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Pada Layanan Pinjaman Online.” Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/99046.
  • Dewi, Dewa A., and Ni K. Darmawan. 2021. “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Pinjaman Online Terkait Bunga Pinjaman Dan Hak-Hak Pribadi Pengguna.” Jurnal Hukum Kenotariatan 6 (2): 262. https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p04.
  • Sari, Berlian H. 2021. “Penegakan Hukum Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Illegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9 (2): 165. https://doi.org/10.20961/hpe.v9i1.52429.

[1] Sari, Berlian H. 2021. “Penegakan Hukum Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Illegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9 (2): 165. https://doi.org/10.20961/hpe.v9i1.52429.

[2] Amalia, Afnan H. 2022. “Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Pada Layanan Pinjaman Online.” Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/99046.

[3] Dewi, Dewa A., and Ni K. Darmawan. 2021. “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Pinjaman Online Terkait Bunga Pinjaman Dan Hak-Hak Pribadi Pengguna.” Jurnal Hukum Kenotariatan 6 (2): 262. https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p04.

[4] Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

[5] Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

[6] Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

[7] Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[8] Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[9] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[10] Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Urgensi Pengaturan Regulasi Khusus Tembakau Alternatif di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Megarini Adila Lubis

          Produksi tembakau menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat besar dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Tembakau Indonesia menjadi salah satu komoditas ekspor yang menghasilkan devisa yang besar bagi Indonesia dengan nilai ekspor mencapai Rp1,06 triliun pada periode Januari-Desember 2021.[1] Industri Hasil Tembakau (IHT) juga memberikan peran penting dalam perekonomian Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai, serta merupakan komoditas penting bagi petani berupa tembakau dan cengkeh.[2] Besarnya produksi tembakau juga sejalan dengan tingginya tingkat konsumsi tembakau oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga yang menjadikan Indonesia peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia.[3] Indonesia termasuk dalam bagian negara yang memiliki jumlah perokok yang tinggi, yaitu di atas 40 persen dengan 65 persen di antaranya adalah pria dewasa.[4]

          Tingginya jumlah perokok di Indonesia juga ditengarai dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup yang sejalan dengan munculnya inovasi baru melalui produk tembakau alternatif. Bahkan penerimaan negara dari cukai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya mencapai Rp 680,36 miliar pada 31 Desember 2021, yang mana sebagian besar disumbang oleh HTPL produk ekstrak dan esens tembakau cair.[5] Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, yang termasuk tembakau alternatif adalah Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HTPL). Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 Angka 4 dan Angka 5, bahwa:

“Pasal 1

4. Rokok Elektrik adalah Hasil Tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran, yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektrik kemudian dihisap.

5. Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya yang selanjutnya disingkat HPTL adalah Hasil Tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, Tembakau Iris, dan Rokok Elektrik yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.”[6]

Selanjutnya pada Pasal 2 Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya menjelaskan yang termasuk kepada Rokok Elektrik adalah Rokok Elektrik Padat, Rokok Elektrik Cair Sistem Terbuka dan Rokok Elektrik Cair Sistem Tertutup. Pasal 3 menjabarkan mengenai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) termasuk kepada Tembakau Molasses, Tembakau Hirup (Snuff Tobacco) dan Tembakau Kunyah (Chewing Tobacco).

Dengan berkembangnya tembakau alternatif di Indonesia, sejumlah asosiasi konsumen di Indonesia mendorong adanya perluasan akses informasi yang komprehensif dan akurat terhadap produk tembakau alternatif.[7] Perluasan informasi mengenai tembakau alternatif ini penting untuk menegaskan kepada konsumen, bahwa tembakau alternatif dan rokok konvensional merupakan produk yang berbeda. Mengacu kepada penelitian produk tembakau alternatif Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings yang dilakukan oleh Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi yang termasuk pada tembakau alternatif tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR, sehingga produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.[8] Penelitian ini diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England pada tahun 2018 dan German Federal Institute for Risk Assessment yang mana dalam publikasi hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, menjelaskan produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran, sehingga hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.[9]

Dengan adanya penelitian ilmiah mengenai tembakau alternatif, diharapkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya melakukan kajian yang lebih serius mengenai hal ini agar dapat merancang regulasi-regulasi yang sesuai dan penggunaan produk tembakau alternatif menjadi tepat sasaran. Di negara lain, seperti Jepang, Inggris dan Selandia Baru, tembakau alternatif sudah memiliki legalitas . Melansir Antaranews.com, Professor Tikki Pangestu, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menjelaskan produk tembakau alternatif di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.[10] Badan Statistik Inggris mencatat angka perokok mengalami penurunan dari 14,4% pada 2018 menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.[11]

Di Indonesia, pengaturan mengenai tembakau alternatif hanya diatur dalam Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan menyeluruh untuk mengatur industri tembakau alternatif. Regulasi tersebut harus memuat hal-hal yang mengatur mengenai perlindungan hak konsumen, klasifikasi risiko tembakau alternatif berdasarkan kajian ilmiah yang melibatkan pemerintah, produsen, konsumen hingga praktisi kesehatan. Perlu juga diatur mengenai akses informasi dan pengaduan konsumen, standar produk dan pengemasan, penjualan, promosi, tempat dimana produk bisa dikonsumsi, serta batasan usia pengguna tembakau alternatif. Regulasi tembakau alternatif juga harus berbeda dengan regulasi rokok konvensional, karena tingkat bahaya kedua produk berbeda sehingga konsumen berhak atas informasi yang akurat.[12]

Dasar Hukum :

  • Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi :

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.

“Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.


[1] Muhammad Ghufron Ariawan. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses 07 Oktober 2022.

[2] Ibid.

[3] “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2/06/2021,https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Accessed 07 Oktober 2022.

[4] “62 Negara Terapkan Peraturan Produk Tembakau Alternatif.” JawaPos.com, 27 November 2018,https://www.jawapos.com/jpg-today/27/11/2018/62-negara-terapkan-peraturan-produk-tembakau-alternatif-2/. Diakses 7 Oktober 2022.

[5] Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021,https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.

[6] Pasal 1 Angka 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

[7] Vania Rossa dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.

[8] “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/.Diakses 8 Oktober 2022.

[9] Ibid.

[10] Ganet Dirgantoro dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Accessed 9 Oktober 2022

[11] Ibid.

[12] Banu Adikara, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.

Dasar Hukum:
Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi:

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.
  • “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.

LEGAL PROTECTION FOR ONLINE STOCK TRADING INVESTORS IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope P. B.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Referensi:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia sebagai negara berkembang dimana masyarakat berorientasi keuangan jangka pendek (saving society) yakni menabung, sedangkan negara maju berorientasi jangka panjang (investing society) yakni investasi. Edukasi masyarakat secara intensif dan berkesinambungan dibutuhkan untuk transisi dari saving society ke investing society. Adanya investasi yang kurang memadai, akan kesulitan mencapai peningkatan perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi negara-negara berkembang.

Tujuan bisnis melakukan proyek perdagangan saham secara online adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakukan penjualan, pembelian, perubahan (amend), pembatalan (withdraw), memantau status pesanan jual beli secara realtime, memverifikasi portofolio, mengirimkan sejarah transaksi dan melacak harga saham secara realtime.
Investasi keuangan di bidang pasar modal semakin berkembang saat ini dan peningkatan teknologi informasi dan komunikasi internet of things mengakibatkan tidak diperlukannya lagi pertemuan secara fisik. Transaksi di perbankan dan pasar modal menjadi lebih mudah dan cepat karena dilakukan secara virtual. Kecepatan pelayanan investasi semakin meningkat karena kehadiran internet of things.

Pasar modal berperan penting bagi sistem ekonomi di Indonesia karena pasar modal melaksanakan peran sebagai sarana pendanaan usaha atau sarana perusahaan untuk memperoleh dana dari investor serta sebagai sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan. Pasar modal atau capital market merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik surat utang, saham, maupun instrumen lainnya.

Situasi yang berkembang pesat saat ini, penggunaan salah satu aplikasi berbasis online sudah tersebar di masyarakat yaitu aplikasi saham online yang digunakan masyarakat sebagai pelaku investor dalam pasar modal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) yang dimana pasar modal mempunyai tempat strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Hal tersebut menarik minat masyarakat dengan kegiatan trading saham online. Sehingga sebelum masyarakat melakukan kegiatan trading saham online, masyarakat perlu mengetahui prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, yaitu prinsip keterbukaan.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 1

25. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut”.

Prinsip keterbukaan dalam pasar modal berlaku umum termasuk dalam ranah internasional menjadi hal yang sangat mutlak untuk dilakukan oleh semua pihak. Berbeda dengan sektor perbankan dimana prinsip kerahasiaan bank merupakan hal yang mutlak untuk ditaati, sektor pasar modal menetapkan hal yang sebaliknya, disclosure atau keterbukaan merupakan hal mutlak. Emiten, perusahaan publik, atau pihak lain yang terkait wajib memberikan informasi penting yang berhubungan dengan tindakan atau efek perusahaan tersebut pada waktu yang tepat kepada masyarakat. Emiten wajib memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Lengkap maksudnya informasi yang diberikan utuh, tidak ada yang tertinggal, disembunyikan, disamarkan, atau tidak memberitahukan fakta material.

Terdapat beberapa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal terhadap investor. Dalam rangka mencapai tujuan menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar, dan efisien Bursa efek wajib menyediakan sarana pendukung dan mengawasi kegiatan anggota bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kemudian demi menjaga tujuan menyelenggarakan perdagangan efek tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juga telah menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan oleh perusahaan efek atau penasihat investasi.

Larangan-larangan yang diatur terhadap perusahaan efek atau penasihat investasi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 35
Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang:
a. menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah;
b. mengungkapkan nama atau kegiatan nasabah, kecuali diberi instruksi secara tertulis oleh nasabah atau diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mengemukakan secara tidak benar atau tidak mengemukakan fakta yang material kepada nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya;
d. merekomendasikan kepada nasabah untuk membeli atau menjual Efek tanpa memberitahukan adanya kepentingan Perusahaan Efek dan Penasihat Investasi dalam Efek tersebut”.

Dalam BAB XI Pasal 90-99 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah diatur mengenai penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Dalam pasal 90 misalnya yang berbunyi:
“Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek”.

Terhadap ketentuan pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur mengenai ketentuan sanksi yang dapat diterapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah dengan tegas mengatur perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan transaksi dipasar modal. Begitupun dengan investor yang melakukan transaksi online meskipun belum ada pengaturan secara khusus namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tetap menjadi acuan apabila terjadi pelanggaran berupa penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam pada saat transaksi online dilaksanakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang bersifat pencegahan dan pemberian sanksi, karena fungsi pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan dipegang oleh OJK. Konsumen yang dimaksud memiliki pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pension, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan OJK, dimana perlindungan ini sifatnya mencegah kerugian, diantaranya:
a. Informasi dan edukasi tentang karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya diberikan pada masyarakat;
b. jika kegiatan yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) merugikan masyarakat maka kegiatan tersebut dapat diminta untuk dihentikan; dan
c. Ketentuan dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan mengatur tentang tindakan lain yang dapat dilakukan apabila dibutuhkan.

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan, bahwa pelayanan pengaduan konsumen dapat dilakukan OJK yang terdiri dari:
a. LJK menyediakan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b. LJK membuat Mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan;
c. LJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.

Sebagai proyeksi lanjutan, jika investor dirugikan oleh kegiatan pemanfaatan jasa keuangan, maka investor berhak untuk mengadukan hal ini kepada layanan konsumen OJK. Sebagai otoritas pengawas tunggal dan terintegrasi bagi jasa keuangan di Indonesia, OJK berkewajiban untuk memperketat pengawasan terhadap sistem remote trading di bursa. Berdasarkan kasus diatas, jika kemudian hari terjadi lagi pengaduan oleh investor maka OJK berkewajiban untuk memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan (dalam kasus ini adalah Bursa Efek Indonesia) untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang merasa dirugikan tersebut.

Pertanggungjawaban pelaku usaha mengacu kepada Undang-Undang Pasar Modal diatur pada Pasal 46 Undang-Undang Pasar Modal dimana dikatakan bahwa kewajiban Kustodian yakni harus menyerahkan ganti kerugian kepada pemegang rekening atas kerugian yang timbul karena kesalahan yang dilakukannya. Namun dalam praktik pengaturan mengenai pelayanan/produk belum optimal memberikan perlindungan yang memadai sejak awal hingga penanganan dan penyelesaian sengketa. Sanksi yang didapatkan oleh pelaku usaha akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Perusahaan Efek dapat bertindak sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan manajer investasi yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberi kepastian hukum terhadap investor. Pertanggungjawaban pelaku usaha/perusahaan sekuritas akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online selain diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal juga diatur dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

Legal Basis:

  1. Law Number 8 of 1995 concerning Capital Market
  2. Law Number 21 of 2011 concerning Financial Services Authority

Reference:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

The business goal of doing stock trading projects online is to provide opportunities for customers to make sales, purchases, changes, cancellations, monitor the status of buying and selling orders in real time, verify portfolios, send transaction history and track stock prices in real time. Financial investment in the capital market sector is growing at this time and the improvement in information technology and internet of things has resulted in no need for physical meetings. Transactions in banking and capital markets have become easier and faster since they are carried out virtually. The speed of investment services is increasing due to the presence internet of things.

The capital market plays an important role in the economic system in Indonesia since the capital market plays a role as a means of business funding or a means for companies to obtain funds from investors and as a means for the public to invest in financial instruments. The capital market is a market for various long-term financial instruments that can be traded, both debt securities, shares, and other instruments.

Currently the use of the online stock application has spread in the community. Based on Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, the capital market has a strategic role in national development as a business funding source and public investment media. This attracts people’s interest towards online stock trading. So that before people trade stocks online, people need to know the principles applicable in the capital market business, namely the disclosure principle.

The disclosure principle is a principle that applies in the capital market business, as regulated in Article 1 number 25 of Law Number 8 of 1996 concerning the Capital Market which states:
“Article 1

  1. The disclosure principle is the general guideline that requires an issuer, a public company and other persons subject to this law, to disclose to the public within a certain time, material information with respect to their business or securities, when such information may influence decisions of investors in such securities and/or the price of the securities”.

The disclosure principle in the capital market is generally accepted, including in the international world, which is obligatory for all parties. In contrast to the banking sector where the principle of bank secrecy is mandatory, the capital market sector stipulates the opposite, disclosure or openness is absolute. Issuers, public companies, or other related parties must provide important information related to the actions or securities of the company in a timely manner to the public. Issuers are required to provide complete and accurate information. Complete means that the information provided is complete, nothing is left behind, hidden, disguised, or does not reveal material facts.

There are several protections provided by Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market to investors. In order to achieve the goal of conducting securities trading in an orderly, fair and efficient manner, the Stock Exchange is required to provide supporting facilities and supervise the activities of securities exchange members as regulated in Article 7 paragraph (1) jo. Paragraph (2) of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market. Then in order to maintain the purpose of holding securities trading, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has also explained activities that are prohibited from being carried out by securities companies or investment advisors.

There are prohibitions regulated against securities companies or investment advisors as regulated in Article 35 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 35
Securities companies or investment advisors are prohibited from:
a. use influence or exert pressure that is contrary to the interests of the customer;
b. disclose the customer’s name or activities, unless given a written instruction by the customer or required by applicable laws and regulations;
c. disclose incorrectly or do not disclose material facts to customers regarding their business capabilities or financial condition;
d. recommend to clients to buy or sell Securities without notifying the existence of the Securities Company and Investment Advisor’s interest in the Securities”.

In Chapter XI Articles 90-99 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, it is already regulated regarding fraud, market manipulation, and insider trading. Article 90, for example, states:
“Article 90
In securities trading activities, each party is prohibited directly or indirectly from:
a. deceive or deceive other Parties by using any means and or means;
b. participate in deceiving or deceiving other Parties; and
c. make untrue statements regarding material facts or do not disclose material facts so that the statements made are not misleading regarding the conditions that occurred at the time the statement was made with the intention of benefiting or avoiding harm to oneself or another Party or with the aim of influencing another Party to buy or sell Securities”.

Against the provisions of that article, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has regulated the provisions of sanctions that can be applied as stipulated in Article 104 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 104
Any Party violating the provisions as referred to in Article 90, Article 91, Article 92, Article 93, Article 95, Article 96, Article 97 paragraph (1), and Article 98 are punishable by a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 15,000,000,000. ,00 (fifteen billion rupiah)”.

Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has clearly regulated legal protection for investors who conduct transactions in the capital market. Likewise with investors who conduct online transactions, although there is no specific regulation, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market remains a reference in the event of violations in the form of fraud, market manipulation and insider trading when online transactions are carried out.

The Financial Services Authority (OJK) provides legal protection for consumers that is preventive in nature and provides sanctions, since the regulatory and supervisory functions of the financial services sector are held by the OJK. Consumers have the meaning as regulated in Article 1 number 15 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority, states consumers are parties who place their funds and/or take advantage of services available at financial service institutions, including customers in banking, investors in the capital market, policyholders in insurance, and participants in pension funds, based on the laws and regulations in the financial services sector. Article 28 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority is a form of legal protection provided by the OJK, where this protection is to prevent losses, including:
a. Information and education concerning the characteristics of the financial services sector, services and products are provided to the public;
b. if the activities carried out by the Financial Services Institutions are detrimental to the community, the activities can be requested to be stopped; and
c. Provisions in the laws and regulations in the financial services sector regulate other actions that can be taken if needed.

Article 29 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority states that consumer complaints services can be carried out by the Financial Services Authority consisting of:
a. Financial Services Institutions provide adequate tools to service consumer complaints that are harmed;
b. Financial Services Institutions establish a mechanism for complaints of consumers who are harmed;
c. Financial Services Institutions facilitate the settlement of consumer complaints that are harmed in accordance with the laws and regulations in the financial services sector.

As a further projection, if investors are harmed by the use of financial services, investors have the right to complain concerning this to the Financial Services Authority’s consumer services. As the sole and integrated supervisory authority for financial services in Indonesia, the Financial Services Authority is obliged to tighten supervision of remote trading systems on the stock exchange. Based on the above case, if in the future there is another complaint by the investor, the Financial Services Authority is obliged to order or take certain actions to the financial service institution (in this case the Indonesia Stock Exchange) to resolve the consumer complaint who feels aggrieved.

The liability of business actors refers to the Capital Market Law as regulated in Article 46 of the Capital Market Law where it is stated that the Custodian’s obligation is to submit compensation to the account holder for losses arising from his/her mistakes. However, in practice the regulation regarding services/products has not been optimal in providing adequate protection from the beginning to handling and resolving disputes. Sanctions obtained by business actors due to losses experienced by online investors are administrative, civil and criminal sanctions. Securities Companies can act as underwriters, securities brokers and investment managers who have roles and responsibilities to provide legal certainty to investors. The liability of business actors/securities companies due to losses experienced by online investors not only regulated in the Capital Market Law apart from regulated in the Financial Services Authority Law.

Implementasi Pengaturan Perlindungan bagi Anak dari Konten Negatif di Media Sosial

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Made Indra Sukma Adnyana

Pengguna internet Indonesia menjadi sorotan setelah 210 juta pengguna internet dalam negeri yang didominasi oleh pengguna media sosial dan pemain game online. Penggunaan media sosial tersebut tidak hanya berasal dari usia dewasa, tetapi juga terdapat dari usia dini, yaitu usia 5 tahunan.[1] Dalam menggunakan media sosial, anak-anak harus dapat menghindari pengaruh konten-konten negatif yang dapat merusak perkembangan diri mereka, misalnya saja konten negatif yang berisikan ujaran kebencian hingga dari pornografi. Hal ini, karena masih banyak anak usia sekolah belum memahami cybercrime dan Undan-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan melihat dari literasi digital anak-anak Indonesia yang masih rendah. Padahal memperhatikan konten yang diakses oleh anak-anak merupakan hal penting, karena mereka adalah yang paling rentan terkena kasus cyber bullying, sexual image, dan sexual meesages dibandingkan orang-orang dewasa dan belum matang secara mental maupun emosional.[2] Indonesia telah memiliki regulasi yang berkait dengan menggunakan internet terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

Sementara itu berdasarkan Pasal 4 UU ITE menyatakan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki beberapa tujuan diantaranya, yaitu (1) Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dab bertanggung jawab; dan (2) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.[3]

UU ITE sebagai Cyber Law dapat menjadi suatu upaya dalam melakukan penanganan tindak pidana maupun pencegahan tindak pidana dengan saranan teknologi digital, terutama konten negatif. Penegakan UU ITE terhadap konten negatif dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Teknologi (“Kominfo”). Pengawasan tersebut dilaksanakan untuk melindungi kepentingan umum dari gangguan yang disebabkan oleh penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Pasal 40

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

            Kominfo dalam melaksanakan pengelolaan penanganan konten negatif akan melakukan klasifikasi, yaitu: (1) Informasi/dokumen elektronik yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan; (2) Informasi/dokumen elektronik yang melanggar norma sosial yang berlaku di masyarakat; dan (3) Informasi elektronik/dokumen elektronik tertentu yang membuat dapat diaksesnya konten negatif yang terblokir.[4] Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (“PPI”), pengawasan yang dilaksanakan oleh Kominfo supaya masyarakat tidak melakukan pelanggaran konten negatif di media digital saat ini, seperti misalnya pornografi, pencemaran nama baik, dan pelanggaran lainnya.[5]  

Berkaitan dengan penggunaan internet adapun peraturan di bawahnya yaitu pada  Pasal 2 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik (“PM Kominfo Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik”) yang tujuannya sebagai berikut:

“Pasal 2

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengklasifikasikan Permainan Interaktif Elektronik yang membantu:

  1. Penyelenggara dalam memasarkan produk Permainan Interaktif Elektronik sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia; dan
  2. masyarakat Pengguna, termasuk orang tua dalam memilih Permainan Interaktif Elektronik yang sesuai dengan usia Pengguna”.

Walaupun telah terdapat pengaturan terhadap penggunaan media sosial dan game online di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa masih belum menghilangkan dampak negatif bagi anak-anak selama dilakukan secara berlebihan, misalnya saja media sosial yang dapat mengganggu kesehatan fisik, menimbulkan gangguan mental, terpapar konten negatif dengan unsur SARA, terpapar hoaks, mengganggu relasi di dunia nyata, dan memicu kejahatan.[6]

Adapun sanksi yang berkaitan dengan konten negatif terdapat dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Pasal 45

  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.

“Pasal 45 A

  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

“Pasal 45 B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Selain terdapat dalam UU ITE yang melindungi hak anak dari kekerasan dan konten negatif lainnya, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut:

“Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

            Perlindungan terhadap hak anak merupakan kewajiban bagi pemerintah dan tanggung jawab lingkungan dari anak tersebut dengan melakukan pengawasan atas konten yang dapat diakses. Sehingga pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Kominfo terhadap akses anak, harus dapat ditingkatkan lagi dengan menghapus dan/atau memblokir situs-situs maupun konten yang tidak sesuai untuk anak-anak usia dini. Terlebih lagi, Indonesia juga telah memiliki undang-undang yang mengatur terkait Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik sehingga permainan-permainan online tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, walaupun dalam praktiknya masih terdapat permainan yang tidak sesuai dengan usia dari pemainnya.  Oleh karena hal itu, pengawasan dari pemerintah juga harus diimbangi dengan keterlibatan orang tua maupun lingkungan dalam mengirimkan aduan kepada Kominfo atau lembaga terkait atas konten-konten negatif yang dapat merusak maupun mempengaruhi anak-anak.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik

Referensi


[1] Tim MNC Portal, “INAYES Goes to School, Kolaborasi INAYES dna Pemprov DKI Jakarta Lawan Kecanduan Social Media dan Game Online,” https://edukasi.sindonews.com/read/866425/212/inayes-goes-to-school-kolaborasi-inayes-dan-pemprov-dki-jakarta-lawan-kecanduan-social-media-dan-game-online-1661418497, diakses pada 27 Agustus 2022.

[2] Pratiwi Agustini, “Yossi: Banyak Anak Belum Paham Cybercrime dan UU ITE,” https://aptika.kominfo.go.id/2020/10/yossi-banyak-anak-belum-paham-cybercrime-dan-uu-ite/, diakses pada 27 Agustus 2022.

[3] Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 19 Tahun 2016, LN.2016/No.251, TLN No.5952, Pasal 4.

[4] Kominfo, “Ragam Konten yang Bisa Diadukan Melalui aduankonten.id,” https://www.kominfo.go.id/content/detail/10331/ragam-konten-yang-bisa-diadukan-melalui-aduankontenid/0/videografis, diakses pada 28 Agustus 2022.

[5] Muhammad Agusta Wijaya, “Pengawasan Konten Media Sosial untuk Hindari Kerugian Publik,” https://mmc.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/pengawasan-konten-media-sosial-untuk-hindari-kerugian-publik, diakses pada 28 Agustus 2022.

[6] Kompas, “6 Dampak Negatif Media Sosial, Siswa Wajib Hati-Hati,” https://edukasi.kompas.com/read/2021/05/28/060700871/6-dampak-negatif-media-sosial-siswa-wajib-hati-hati?page=all, diakses pada 27 Agustus 2022.

1

Pembatasan Hak Imunitas Advokat dalam Menjalankan Tugas Profesi

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Megarini Adila Putri Lubis

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan mengenai jaminan yang diberikan kepada seluruh warga negara atas pengakuan, keadilan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga dikuatkan dengan prinsip atau asas yang berlaku di Indonesia selaku negara hukum, yaitu asas persamaan di hadapan hukum atau dikenal dengan istilah Equality Before the Law. Unsur-unsur asas equality before the law harus adanya persaman di depan hukum seluruh warga Negara Indonesia tanpa adanya prinsip non dikriminasi baik pejabat maupun non pejabat, memberikan jaminan hak asasi manusia guna untuk mendapatkan perlindungan didalam negara berdasarkan Pancasila.[1] Salah satu bentuk persamaan tersebut adalah seluruh warga negara berhak untuk menerima bantuan hukum sebagai bentuk jaminan sama di hadapan hukum atas kepentingan hukum yang sedang dilalui.

Bantuan hukum salah satunya dapat diberikan oleh seorang advokat, yaitu seseorang yang menawarkan jasa dalam bidang hukum dengan persyaratan yang sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Pasal 1 Angka 2 UU Advokat menjelaskan definisi jasa hukum adalah sebagai berikut:

“Pasal 1

2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.[2]

            Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak berusaha dengan kapasitas maksimalnya sebagai advokat yang diberikan kuasa untuk membela hak-hak klien. Sehingga dalam proses pembelaan klien tersebut, advokat memiliki dan dilindungi hak imunitas atau kekebalan hukum. Hak imunitas advokat dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan profesinya dalam membela kepentingan klien.[3] Adanya hak imunitas advokat yang diatur dalam undang-undang karena dalam membela klien tidak dihinggapi rasa takut, merasa aman dan dilindungi negara melalui pemerintah.[4] Hak imunitas advokat ini diatur pada Pasal 16 UU Advokat menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.[5]

Penjelasan Hak imunitas pada Pasal 16 UU Advokat diatas dikuatkan kembali dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa hak imunitas ini berlaku baik didalam maupun diluar persidangan. Namun hak imunitas advokat ini hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas profesinya saat pembelaan klien dengan itikad baik.[6] Dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat dinyatakan bahwa itikad baik adalah advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan untuk membela kepentingan kliennya harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku.[7] Sehingga hak kekebalan hukum atas advokat ini memiliki pengecualian jika seorang advokat dalam profesinya melakukan hal-hal melanggar hukum dengan itikad buruk untuk memenuhi kepentingan klien.

Diketahui bahwa seorang advokat suatu perusahaan swasta menjadi tersangka atas perbuatan Obstruction of Justice yang mana menghalangi, merintangi, mencegah dalam penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Tim Penyidik pada kasus korupsi perusahaan tersebut.[8] Perbuatan Obstruction of Justice ini diatur pada Pasal 221 Ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 221

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat rihu lima ratus rupiah:

2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian”.[9]

Komisi Pemberantasan Korupsi juga meyakinkan bahwa seorang advokat yang ditetapkan sebagai seorang tersangka berdasarkan tuduhan Undang-Undang Tindak pidana korupsi sebagai pihak yang melawan karena perbuatan menghalang-halangi dalam penanganan kasus korupsi jelas ada ancaman pidananya.[10] Mengenai perbuatan yang menghalang-halangi proses penangan kasus korupsi, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi”.[11]

            Berdasarkan perbuatan dengan tidak adanya itikad baik oleh pengacara dalam hal melakukan pembelaan terhadap klien atas tugas profesi inilah yang menggugurkan dan menimbulkan pembatasan atas hak imunitas seorang advokat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hak imunitas bisa hilang manakala advokat yang bersangkutan melakukan perilaku-perilaku sebagai berikut:[12]

  1. Advokat yang bersangkutan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien, baik disengaja maupun tidak;
  2. Advokat yang bersangkutan berbuat atau bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,  atau pengadilan;
  3. Advokat yang bersangkutan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesi;
  4. Advokat yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau melakukan perbuatan tercela;
  5. Advokat yang bersangkutan melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi:

  • Atmaja, Ida Wayan Dharma Punia. “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi.” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, p. 9. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/43617. Diakses 27 Agustus 2022.
  • Sartono, dan Bhekti Suryani. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat. Jakarta, Dunia Cerdas, 2013. Diakses 28 Agustus 2022.
  • Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016)
  • Radityo, Muhammad. “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. Diakses 28 August 2022.
  • Yahman, dan Nurin Tarigan. Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta, Prenada Media, 2019. Diakses 28 August 2022.
  • “Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Mahkamah Konstitusi RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095. Diakses 28 August 2022.

[1] Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016), hal. 27.

[2] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[3] Yahman & Nurin Tarigan, Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Prenada Media, 2019), hlm. 76.

[4] Ibid., hlm. 77

[5] Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[6] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, hlm. 9.

[7] Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” MK RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095.(diakses 28 August 2022).

[8] M. Radityo, “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. (diakses 28 August 2022)

[9] Pasal 221 Ayat (1) Angka 2 KUHP

[10] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, 2018, hlm. 9

[11] Pasal 221 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[12] Sartono & Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat (Jakarta: Dunia Cerdas, 2013), hlm. 90

1 2 3 4
Translate