0

Pembangunan Bandar Udara Tetap Berjalan di Tengah Proses Hukum Sengketa Pengadaan Tanah

Author : Nirma Afianita
Co-author : Ilham M. Rajab

Tahapan pembangunan bandar udara telah dimulai sejak 2016.[1] Namun, pembangunan terus tertunda sampai sekarang. Terlebih lagi, pengadaan tanah untuk pembangunan bandar udara tersebut terlibat dalam persengketaan dan tengah diproses hukum di Mahkamah Agung. Padahal, sertifikat tanah menjadi syarat utama yang dipersyaratkan Kementerian Perhubungan dan Bappenas untuk memulai pembangunan fisik bandar udara baru.[2]

Mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terjamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU Pengadaan Tanah”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).

Pemerintah secara normatif mengatur bidang pertanahan yang mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[3] Yang mana pembangunan bandar udara sejatinya merupakan kepentingan umum. Hal ini juga didasari sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU Pengadaan Tanah yang diubah dengan UU Cipta Kerjayang berbunyi:

Pasal 10

Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

  • pertahanan dan keamanan nasional;
  • jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
  • waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
  • pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  • infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  • pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tenaga listrik;
  • jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
  • tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  • rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • fasilitas keselamatan umum;
  • permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  • cagar alam dan cagar budaya;
  • kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
  • penataan permukiman kumuh perkotaan danfatau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
  • prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • pasar umum dan lapangan parkir umum;
  • kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai danlatau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Fusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan;
  • kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.[4]

Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, serta dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.[5] Hal tersebut juga diafirmasi oleh Pasal 18 UUPA bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian.[6] Pada umumnya, pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak.[7] Akan tetapi, apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Kemudian, putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.[8]

Meskipun pengadaan tanah masih dalam proses hukum, Badan Pertanahan menyebut bahwa pembangunan bandar udara dapat tetap berjalan, termasuk penyiapan dana untuk ganti rugi tanah oleh pemerintah daerah.[9] Akan tetapi, pembayaran ganti rugi tanah baru bisa dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut sebagaimana ketentuan mengenai penitipan ganti kerugian yang tertuang dalam Pasal 42 UU Pengadaan Tanah sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja, yang berbunyi:

Pasal 42

  • Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerrrgian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
  • Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
  • Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau
  • Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
  • sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
  • masih dipersengketakan kepemilikannya;
  • diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
  • menjadi jaminan di Bank.
  • Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat”.

Berdasarkan ketentuan di atas, sepanjang dana ganti rugi telah dititipkan kepada pengadilan, pemerintah daerah dapat meminta pengadilan melakukan eksekusi manakala ada pihak-pihak yang mencoba menghalangi tahapan yang sedang berjalan. Hal ini mengingat pembangunan bandar udara yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan umum yang harus dijunjung tinggi.

Dalam rapat koordinasi Satgas Pengadaan Tanah lokasi bandara, diputuskan Satuan Tugas Pengadaan tanah bandara yang diperkarakan ini dipimpin Kepala Kantor Pertanahan dan diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan pekerjaan.[10] Selanjutnya, tim appraisal atau penilai independen akan menilai berapa nilai ganti rugi tanah juga tanaman tumbuh yang harus dibayarkan pemerintah daerah kepada pemilik tanah. Penilaian tersebut bukan mengacu pada peraturan daerah, peraturan bupati, maupun Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang berlaku di Wondama, melainkan menggunakan Nilai Penggantian Wajar (“NPW”), yakni nilai untuk kepentingan pemilik yang didasarkan kepada kesetaraan dengan nilai atau harga pasar dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian nonfisik yang diakibatkan dari pengambilan hak atas properti yang diambil.[11] Penggantian yang wajar tersebut ditujukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pembangunan di daerah. Sebagai konsekuensi hukumnya, apabila pemberian ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri, maka kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku, serta tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, sebagaimana diatur di dalam Pasal 43 UU Pengadaan Tanah. Pada akhirnya, kesepakatan pelepasan tanah oleh masyarakat pemilik hak ulayat diharapkan menjadi langkah yang progresif dan berimplikasi positif sehingga pembangunan bandar udara yang tertunda dapat segera terealisasi.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Referensi:

Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 26 Juli 2022.


[1] Pikiranrakyat, https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/lokal/pr-1301854989/bandar-udara-domine-i-s-kijne-kabupaten-teluk-wondama-siap-dibangun, diakses 27 Juli 2022.

[2] Ibid

[3] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945.

[4] Pasal 123 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

[5] Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[6] Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

[7] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[8] Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[9] Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 26 Juli 2022.

[10] Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 27 Juli 2022.

[11] Pikiranrakyat, https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/lokal/pr-1301854989/bandar-udara-domine-i-s-kijne-kabupaten-teluk-wondama-siap-dibangun, diakses 27 Juli 2022.


0

DEFAULT IN CONSTRUCTION SERVICES FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT

Author : Nirma Afianita
Co-author : Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

REFERENSI: 

  1. Hendra Andy Mulia Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
    1. Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
    1. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
    1. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
      2007.
    1. Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019.

Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya untuk meningkatkan kesejahteraan secara adil dan merata, hasil-hasil dari pembangunan itu harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut.[1]

Pemerintah telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga dan dana untuk pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. hasil pembangunan dapat dilihat di seluruh wilayah Indonesia meskipun terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antar satu daerah dengan daerah lainnya.[2]

Selain peran pemerintah tentu terdapat peran swasta dalam melakukan pembangunan infrastruktur dimana swasta tidak hanya diserahi sebagai investor dan pembangun, melainkan juga sebagai pengelola.[3] Pihak Pengguna Jasa tentunya menghendaki pihak kontraktor akan bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Begitu juga sebaliknya, pihak kontraktor tentunya menghendaki Pihak Pengguna Jasa bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.[4]

Perjanjian sebagaimana pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

                               “Pasal 1313

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Berkaitan dengan perjanjian itu sendiri dianggap sah jika perjanjian memenuhi syarat sebagaimana Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Pasal 1320

Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu hal tertentu;suatu sebab yang halal”.

Dalam hal perjanjian konstruksi sering juga disebut dengan perjanjian pemborongan, Pasal 1601 b KUHPerdata memberikan pengertian mengenai perjanjian pemborongan yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak pertama, yaitu pemborong, mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain, yaitu bhouweer, dengan harga yang telah ditentukan.[5]

Berkaitan dengan jasa konstruksi pemerintah telah menjamin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, pengertian Jasa Konstruksi itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaa., liorrstruksi”.

Sementara perjanjian konstruksi dengan kontrak kerja konstruksi disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 1

8. Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen
kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna
Jasa dan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi”.

Dalam suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan terdapat salah satu pihak yang tidak memenuhi perjanjian tersebut, atau biasa disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.[6]

Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.[7] Adapun dasar hukum dari wanprestasi sendiri dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Pasal 1243

penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Sengketa konstruksi dapat terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik maupun tepat waktu dan mungkin dapat terjadi karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup. Dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi mungkin timbul karena salah satu pihak melakukan tindakan cidera janji atau wanprestasi.[8]

Sebagaimana diketahui bahwa sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian:[9]

  1. Sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar;
  2. Sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi;
  3. Sengketa pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun.

Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak, dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa kontstruksi, para pengguna jasa dan penyedia jasa lebih banyak memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur nonlitigasi seperti negosiasi, mediasi maupun arbitrase yang harus dicantumkan di perjanjian.[10]

Adapun cara penyelesaian sengketa terjamin pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 88

  • Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk  mencapai kemufakatan.
  • Dalam hal musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menemiuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
  • Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
  • Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:mediasi;konsiliasi; danarbitrase.
  • Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, paa pihak dapat membentuk dewan sengketa.
  • Dalam hal-upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Selain terdapat penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga memberikan sanksi administratif kepada penyelenggara konstruksi, terdapat dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 90

  • setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi tidak memiliki sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  • dendaadministratif;
  • penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
  • pencantuman dalam daftar hitam
  • Setiap asosiasi badan usaha yang tidak melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa:
  • peringatan tertulis;
  • pembekuan akreditasi;
  • dan/atau pencabutan akreditasi”.

Untuk mempercepat pembangunan itu sendiri perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta, yang mana harus berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan perjanjian juga tidak menutup kemungkinan akan memunculkan sengketa, setiap sengketa yang terjadi pada pemberi jasa konstruksi dan penerima jasa konstruksi maka bisa diselesaikan dengan cara litigasi maupun non litigasi sebagaimana isi dari perjanjian yang telah disepakati. Selain berkaitan dengan perjanjian tentu terdapat sanksi bagi penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki sertifikasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya hal tersebut sebagaimana ketentuan Peraturan Perundang-undangan.


[1] Panjaitan, Hendra Andy Mulia, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019, 44.

[2] Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.

[3] Ibid

[4] Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 42.

[5] Ibid

[6] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008, hlm. 180.

[7] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
2007, hlm. 74.

[8] Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 44.

[9] Ibid

[10] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Civil Code;
  2. Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services.

REFERENCE:

  1. Hendra Andy Mulia Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
    1. Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
    1. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
    1. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
      2007.
    1. Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019.

Development is an effort to create prosperity and welfare of the people. Therefore, in order to improve welfare in a fair and equitable manner, the results of the development must be enjoyed by the entire community in accordance with the development objectives.

The government has spent a lot of time, energy and funds for development in all parts of Indonesia. The results of development can be seen in all regions of Indonesia, although there are disparities that indicate differences in the speed of development between one region and another.

In addition to the role of the government, of course, there is a role for the private sector in carrying out infrastructure development where the private sector is not only entrusted as investors and builders, but also as managers. The Service User certainly wants the contractor to be responsible for carrying out his obligations in accordance with the agreement. Vice versa, the contractor certainly wants the Service User to be responsible for carrying out its obligations in accordance with the agreement.

Agreement as referred to in Article 1313 of the Civil Code, which states:

“Article 1313

An agreement is an act in which one or more people bind themselves to one or more other people”.

In relation to the agreement itself, it is considered valid if the agreement meets the requirements as stipulated in Article 1320 of the Civil Code, which states:

“Article 1320

For the validity of the agreement, four conditions are required:

1. agree on those who bind themselves;

2. the ability to make an engagement;

3. a certain thing;

4. a lawful cause”.

In the case of a construction agreement which is often also referred to as a contracting agreement, Article 1601 b of the Civil Code provides an understanding of a contracting agreement, which is an agreement in which the first party, namely the contractor, binds himself to complete a job for another party, namely bhouweer, at a predetermined price.

With regard to construction services, the government has guaranteed in Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, the definition of Construction Services itself is contained in Article 1 number 1 of Law Number 2 of 2017, which states:

“Article 1

1. Construction Services are construction and/or construction consulting services and construction works”.

Meanwhile, the construction agreement with the construction work contract is stated in the provisions of Article 1 point 8 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 1

8.Construction Work Contract is the entire document a contract that regulates the legal relationship between users Services and service providers in the provision of services Construction”.

In an agreement, it is possible that one of the parties does not fulfill the agreement, or commonly referred to as a default. Default is not fulfilling or failing to carry out obligations as specified in the agreement made between the creditor and the debtor.

Default or non-fulfillment of promises can occur either intentionally or unintentionally. The legal basis for the default itself is in Article 1243 of the Civil Code, which states:

“Article 1243

reimbursement of costs, losses and interest due to non-fulfillment of a the engagement, then it begins to be obligated, if the debtor, after is declared negligent in fulfilling its engagement, continues to neglect it, or if something is to be given or made, it can only be given or made, can only be given or made in the elapsed time.”

Construction disputes can occur if service users do not carry out management tasks properly and on time and may occur because they do not have sufficient funding support. It can be said that a construction dispute may arise because one of the parties commits an act of default or default.

As it is known that the construction service dispute consists of 3 (three) sections:

1. Pre-contractual disputes, namely disputes that occur before a contractual agreement exists, and are in the stage of the bargaining process;

2. Contractual disputes, namely disputes that occur during the construction work;

3. Post-contractual disputes, namely disputes that occur after the building has operated or been used for 10 (ten) years.

Construction disputes can arise, among others, due to claims that are not served, such as late payments, late completion of work, differences in the interpretation of contract documents, technical and managerial incompetence of the parties, in resolving disputes in the field of construction services, service users and service providers prefer to resolve disputes through non-litigation channels such as negotiation, mediation or arbitration which must be included in the agreement.

The method of dispute resolution is guaranteed in Article 88 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 88

  •  Disputes that occur in the Construction Work Contract are resolved with the basic principle of deliberation to reach consensus.
    • In the event that the deliberation of the parties as referred to in paragraph (1) cannot reach an agreement, the parties shall go through the stages of dispute resolution efforts as stated in the Construction Work Contract.
    • In the event that the dispute resolution efforts are not listed in the Construction Work Contract as referred to in paragraph (2), the parties to the dispute shall make a written agreement regarding the dispute resolution procedure to be chosen.
    • The stages of dispute resolution efforts as referred to in paragraph (2) include:

   a. mediation;

   b.conciliation;
      and

    c. arbitration.

(5) In addition to the dispute resolution efforts as referred to in paragraph (4) letter a and letter b, the parties may form a dispute council.

(6) In the event that dispute resolution efforts are carried out by establishing a dispute council as referred to in paragraph (5), the election of board membership is carried out based on the principle of professionalism and does not become part of either party.

(7) Further provisions regarding dispute resolution as referred to in paragraph (1) shall be regulated in a Government Regulation”.

In addition to dispute resolution in Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, it also provides administrative sanctions to construction operators, contained in Article 90 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 90

  • every business entity that performs Construction Services does not have a Business Entity certificate as referred to in Article 30 paragraph (1) is subject to administrative sanctions in the form of:
    • administrative fines;
      • temporary suspension of Construction Services activities; and/or
      • blacklisting

(2) Any business entity association that does not perform its obligations in accordance with the provisions of the legislation as referred to in Article 30 paragraph (6) shall be subject to administrative sanctions in the form of:

a. written warning;

b. suspension of accreditation;

c. and/or revocation of accreditation”.

Every dispute that occurs between the provider of construction services and the recipient of construction services can be resolved by litigation or non-litigation according to the contents of the agreed agreement. In addition, there are sanctions for construction service providers who do not have certification in carrying out their business activities as stipulated in the Laws and Regulations.

To accelerate development itself, there is a need for cooperation between the government and the private sector, which must be based on an agreement in an agreement made in accordance with the applicable laws and regulations.

In the implementation of the agreement, it is also possible that a dispute will arise, any dispute that occurs between the construction service provider and the construction service recipient can be resolved by litigation or non-litigation according to the contents of the agreed agreement.

In addition to being related to the agreement, of course there are sanctions for construction service providers who do not have certification in carrying out their business activities as stipulated in the legislation.

0

The Legality of using Cryptocurrency in Indonesia

Author: Fitriyani Wospakrik

Dasar Hukum

  • Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka
  • Hukum Islam

Legal basis

  • Law Number 7 of  2011 concerning Currency
  • Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
  • Regulation of the Commodity Futures Trading Regulatory Agency Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for the Implementation of Crypto Assets Physical Market on the Futures Exchange
  • Islamic Law


LEGALITAS PENGGUNAAN CRYPTOCURRENCY DI INDONESIA

Pemanfaatan teknologi saat ini sudah menjadi kebutuhan utama, dengan kemajuan teknologi muncul istilah yang disebut dengan transaksi digital dengan hanya menggunakan jaringan internet, salah satu transaksi yang menarik perhatian saat ini adalah Cryptocurrency yaitu mata uang digital yang menggunakan teknologi Blockchain

Blockchain dikembangkan dan dibuat untuk mengurangi atau menghilangkan fungsi perantara yang sering disebut orang sebagai “Middleman” yaitu pengelolanya adalah penggunanya sendiri dan bukan pihak ketiga. Blockchain tersebut akan mengatur dan mengelola data transaksi mata uang digital.

Sampai saat ini terdapat 1500 jenis mata uang Cryptocurrency, beberapa yang terkenal di masyarakat adalah ethereum, ripple, litecoin, dogecoin, mrai, dashcoin, dan yang paling terkenal dan populer saat ini adalah bitcoin.

Prinsip kerja Blockchain

1. Folder Data

Setiap pengguna menyimpan data setiap transaksi dalam folder data, folder ini berisi data-data tiap transaksi dalam bentuk kumpulan data

2. Transaksi Data

Ketika ada sebuah transaksi yang akan dilakukan. setiap pengguna dalam rantai akan mencatat dan menyimpannya sebagai record baru begitu selanjutnya jika ada transaksi kembali maka akan ditambahkan record data baru ke dalam folder setiap pengguna di perangkat masing-masing perlu diingat kembali record dilakukan tanpa adanya perantara pihak ketiga.

3. Validasi Data

Untuk memvalidasi data pada blockchain cryptocurrency maka diberlakukan sebuah fungsi hash. Fungsi data hash akan dibentuk saat transaksi dianggap valid. Hash merupakan suatu rangkaian angka dan huruf yang berfungsi untuk memverifikasi validitas informasi, akan tetapi tidak mengungkapkan informasi dari data itu sendiri.

CryptoCurrency

Cryptocurrency adalah Mata uang digital yang dibangun menggunakan teknologi blockchain. Cryptocurrency merupakan Sebutan untuk mata uang digital yang yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset. Cryptocurrency sering kali dipakai sebagai alat investasi layaknya saham dan emas, selain itu digunakan juga sebagai transaksi komersial elektronik.

Berbicara tentang Cryptocurrency maka yang paling banyak diketahui orang-orang adalah Bitcoin yang merupakan salah satu dari jenis mata uang Cryptocurrency,

Bitcoin adalah sebuah mata uang baru atau uang elektronik yang diciptakan tahun 2009 lalu oleh seseorang yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto.

Bitcoin menggunakan sebuah database yang didistribusikan dan menyebar ke node-node dari sebuah jaringan Peer to Peer ke jurnal transaksi, dan menggunakan kriptografi untuk menyediakan fungsi-fungsi keamanan dasar, seperti memastikan bahwa bitcoin-bitcoin hanya dapat dihabiskan oleh orang memilikinya, dan tidak pernah boleh dilakukan lebih dari satu kali.

Kelebihan Cryptocurrency

  • Cryptocurrency dibuat didasari kriptografi yang bersifat terdesentralisasi, tidak terpusat secara langsung atau peer to peer melalui blockchain, yaitu jauh lebih aman dari pada yang sifatnya terpusat sehingga banyak masyarakat saat ini yang menjadikan Cryptocurrency sebagai investasi yang menjanjikan
  • Sistem blockchain tidak berkemungkinan terjadi down pada server dikarenakan  seluruh  jaringan  komputer yang  aktif  merupakan  server  tersendiri.  Sehingga  jika  terjadinya kerusakan  atau  pembobolan hacker pada  server   yang   satunya, maka  hal tersebut  tidak  mengganggu  transaksi  pada  server  yang lainnya.
  • Mempercepat proses transaksi tentang kecepatan dan juga kemudahan. Cryptocurrency sengaja diciptakan sebagai solusi dari rumitnya transaksi keuangan dan perbankan konvensional. Dengan menggunakan Cryptocurrency, kita bisa melakukan transaksi dengan lebih cepat dan praktis. Misalnya untuk melakukan transfer ke rekening luar negeri, kita biasanya harus melakukan transaksi tersebut pada hari dan jam kerja. Sedangkan untuk transaksi menggunakan Cryptocurrency, kita bisa melakukannya kapan saja tanpa harus menunggu jam dan hari kerja.

Kekurangan Cryptocurrency

  • Pemilikan Cryptocurrency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak  ada otoritas  yang  bertanggung  jawab
  • Tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga Cryptocurrency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif, Nilai mata uang bisa tiba-tiba mengalami kenaikan yang drastis. Begitu juga dengan penurunan nilainya yang juga bisa terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
  • Pendanaan  terorisme dan pelanggaran hukum lainnya sehingga   dapat   mempengaruhi   kestabilan   sistem   keuangan   dan  merugikan masyarakat.

Legalitas Penggunaan Cryptocurrency  

  • Alat Pembayaran yang tidak sah merujuk pada Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Mengenai alat pembayar yang sah Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Mata Uang ditentukan bahwa “Uang adalah alat pembayaran yang sah”. UU Mata Uang juga secara tegas menentukan bahwa mata uang yang dikeluarkan oleh Indonesia adalah Rupiah sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Mata Uang.
  • Pada ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Dengan Pesatnya   perkembangan   penggunaan  Cryptocurrency  di   kalangan   masyarakat sehingga Bank  Indonesia  mengeluarkan  pernyataan  nomor  20/4/DKom, yang berisi: “Bank Indonesia menegaskan bahwa Crypto currency termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat  pembayaran  di  Indonesia.  Hal  tersebut  sesuai  dengan  ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata  uang  adalah  uang  yang  dikeluarkan  oleh  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia   dan   setiap   transaksi   yang   mempunyai   tujuan   pembayaran,   atau kewajiban  lain  yang  harus  dipenuhi  dengan  uang,  atau  transaksi  keuangan lainnya  yang  dilakukan  di  Wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib menggunakan Rupiah. Dalam pernyataan tersebut, pihak Bank Indonesia bahkan menegaskan bahwa segala risiko yang timbul atas penggunaan bitcoin dan Cryptocurrency lainnya menjadi tanggung jawab pengguna bitcoin dan Pemerintah Indonesia tidak bertanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi dan dialami oleh pengguna.
  • Perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberikan perlindungan hukum yakni pada pasal 9 yang menentukan bahwa ”setiap pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
  • Criptocureency dalam hukum Islam. Hukum Islam, lembaga fatwa Darul Ifta Al-Azhar Mesir merilis hasil kajian, Status haram itu menurut Darul Ifta muncul karena unsur gharar. Unsur gharar sendiri adalah istilah fikih yang mengindikasikan adanya keraguan, pertaruhan (spekulasi), dan ketidakjelasan yang mengarah merugikan salah satu pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan catatan terhadap Bitcoin. MUI menyebut bahwa bitcoin memiliki dua hukum, yakni mubah dan haram. Mubah berlaku jika bitcoin digunakan hanya sebagai alat tukar bagi dua pihak yang saling menerima. Sementara itu hukum haram jika bitcoin digunakan sebagai investasi.
  • Ketentuan Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Crypto. Diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi investor cryptocurrency, wujud dari perlindungan hukum untuk investor cryptocurrency semua marketplace cryptocurrency harus memenuhi seluruh syarat yang telah diatur dalam aturan Bappebti dengan mengumpulkan semua file yang diminta, mengedepankan prinsip pengelolaan usaha yang benar seperti mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi agar dapat mencegah adanya money laundering (Pencucian Uang) dan pembiayaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal”.

Apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh marketplace crypto, maka bisa diberikan sanksi pembatalan persetujuan. Dengan batalnya persetujuan tersebut, maka marketplace Asset crypto wajib mengembalikan dana ataupun menyerahkan Asset crypto milik Konsumen Asset crypto yang dikelolanya, dan dilarang menerima konsumen Asset crypto yang baru.

LEGALITY OF USING CRYPTOCURRENCY IN INDONESIA

Utilization of technology has now become a major need, with technological advances a term called transaction has emerged. Digital currency using only the internet network, one of the transactions that is attracting attention today is Cryptocurrency, which is a digital currency that uses Blockchain technology

Blockchain was developed and created to reduce or eliminate the function of intermediaries who are often referred to as “Middleman”, namely the manager is the user himself and not a third party. The blockchain will organize and manage digital currency transaction data.

Until now there are 1500 types of Cryptocurrency currencies, some of which are well known in the community are Ethereum, Ripple, Litecoin, Dogecoin, Mrai, Dashcoin, and the most famous and popular today is Bitcoin.

Blockchain working principle

1. Folder Data

Each user stores data for each transaction in a data folder, this folder contains data for each transaction in the form of data sets

2. Transaction Data

When there is a transaction to be made. Each user in the chain will record and save it as a new record so that if there is a re-transaction, a new data record will be added to the folder of each user on each device.

3. Validation Data

To validate data on the cryptocurrency blockchain, a hash function is applied. The hash data function will be created when the transaction is considered valid. Hash is a series of numbers and letters that serves to verify the validity of information, but does not reveal information from the data itself.

CryptoCurrency

Cryptocurrency is a digital currency built using blockchain technology. Cryptocurrency is a term for digital currency designed to work as a medium of exchange that uses strong cryptography to secure financial transactions, control the process of creating additional units, and verifying asset transfers. Cryptocurrency is often used as an investment tool like stocks and gold, but it is also used for electronic commercial transactions.

Talking about Cryptocurrency, what most people know is Bitcoin which is one of the types of Cryptocurrency currency,

Bitcoin is a new currency or electronic money that was created in 2009 by someone using the pseudonym Satoshi Nakamoto.

Bitcoin uses a database that is distributed and propagated to the nodes of a Peer-to-Peer network to a transaction journal and uses cryptography to provide basic security functions, such as ensuring that bitcoins can only be spent by the person who owns them, and is never allowed to spend them. done more than once.

Advantages of Cryptocurrencies

  • Cryptocurrency is made based on cryptography that is decentralized, not centralized directly or peer to peer through blockchain, which is much safer than centralized so that many people today are making Cryptocurrency a promising investment
  • The System is the blockchain not likely to be down on the server because all active computer networks are separate servers. So if there is a damage or break- hacker, on the other server, then it does not interfere with transactions on other servers.
  • Accelerate the transaction process regarding speed and convenience. The cryptocurrency was deliberately created as a solution to the complexity of conventional financial and banking transactions. By using Cryptocurrencies, we can make transactions more quickly and practically. For example, to make a transfer to a foreign account, we usually have to make the transaction on working days and hours. As for transactions using Cryptocurrencies, we can do it at any time without having to wait for hours and working days.

Disadvantages of Cryptocurrency

  • Cryptocurrency ownership is very risky and full of speculation because there is no responsible authority
  • There is no underlying asset that underlies the price of Cryptocurrency and the trading value is very volatile, Currency values ​​can suddenly experience a drastic increase. Likewise with the decline in value which can also occur quickly.
  • The financing of terrorism and other violations of the law can affect the stability of the financial system and harm the public.

The legality of the using Cryptocurrency

  • Illegal Payment Instruments refer to Law No. 7 of 2011 concerning Currency so it is prohibited to be used as a means of payment in Indonesia. Regarding legal tender. Referring to the provisions in Article 1 number 2 of the Currency Law, it is determined that “Money is a legal tender”. The Currency Law also expressly stipulates that the currency issued by Indonesia is the Rupiah as stipulated in the provisions of Article 1 point 1 of the Currency Law.
  • In the provisions of Article 21 paragraph (1) of the Currency Law, Rupiah must be used in every transaction that has the purpose of payment, settlement of other obligations that must be met with money, and/or other financial transactions conducted within the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
  • With the rapid development of the use of Cryptocurrency among the public, Bank Indonesia issued a statement number 20/4/DKom, which reads: “Bank Indonesia confirms that Cryptocurrency including bitcoin is not recognized as legal tender, so it is prohibited to be used as a means of payment in Indonesia. This is in accordance with the provisions in Law Number 7 of 2011 concerning Currency which states that currency is money issued by the Unitary State of the Republic of Indonesia and every transaction that has the purpose of payment, or other obligations that must be met with money, or financial transactions. other activities carried out in the Territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia must use Rupiah. In the statement, Bank Indonesia even emphasized that all risks arising from the use of bitcoin and other cryptocurrencies are the responsibility of bitcoin users and the Indonesian government is not responsible for any risks that may occur and be experienced by users.
  • Protection in Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions also provides legal protection, namely in Article 9 which stipulates that “every business actor who offers products through an electronic system must provide complete and correct information relating to contract terms, manufacturers and products offered”
  • Cryptocurrencies in Islamic law. In Islamic law, the Darul Ifta Al-Azhar Egyptian fatwa institution released the results of the study, Darul Ifta said the haram status arose because of the gharar element. The element of gharar itself is a fiqh term that indicates doubt, bet (speculation), and ambiguity that leads to harming one party.

The Indonesian Ulema Council (MUI) has also issued a note against Bitcoin. MUI states that bitcoin has two laws, namely permissible and haram. Mubah applies if bitcoin is used only as a medium of exchange for two parties who accept each other. Meanwhile, the law is forbidden if bitcoin is used as an investment.

  • Terms of Operation of the Physical Market for Crypto Assets. It is regulated of the Commodity Futures Trading Regulatory Agency Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for the Implementation of Crypto Assets Physical Market on the Futures Exchange, to ensure legal certainty and protection for cryptocurrency investors, a form of legal protection for cryptocurrency investors, all cryptocurrency marketplaces must meet all conditions that have been regulated in the CoFTRA rules by collecting all requested files, prioritizing correct business management principles such as prioritizing the rights of futures exchange members to obtain open values ​​and ensuring that consumers remain protected in order to prevent money laundering and terrorism financing. and the proliferation of weapons of mass destruction”.

If there is a violation committed by the crypto marketplace, then the sanction of cancellation of approval can be given. With the cancellation of the agreement, the crypto Asset marketplace is required to return funds or submit crypto Assets belonging to the Crypto Asset Consumers it manages, and are prohibited from accepting new crypto Asset consumers.

0

Intellectual Property Protection in Additive Manufacturing

Author: Laura Boen

ADDITIVE MANUFACTURING (AM), also known as 3D printing has developed over time from a plaything to a viable technology for the future of industry. Companies now have the ability to print components in a wide range of materials on-demand when and where they need them. Numerous international brands have begun to offer devices for the additive manufacturing of for example, prototypes or spare parts. Even though the printing process itself is deceptively simple, it is an extreme feat of technological innovation, and it remains quite a costly proposition. But as has always been the case with groundbreaking technologies, time will overcome these growing pains and establish AM as a regular part of the industrial experience.


What can be protected?

Intellectual property protection through the entire chain of AM can be a complex problem.

First, the object’s designer who has created a 3D blueprint of the piece with a specialized software tool. He would be interested in protecting his blueprints from theft and in having some means of tracking how many of his pieces are produced, irrespective of when and where in the world this happens.

Next, the dedicated and sophisticated software packages which translated the 3D design data into a layered model, because the actual printers create the pieces additively, i.e. layer upon layer.

Further, the printing process, which might in turn be affected by the material properties also need to be considered, as they might change over time or with changing temperatures.

Finally, the ability to count the number of printed objects must be included in the printer management itself (system) to ensure meaningful controls over the process.


Additive manufacturing is considered a future market – but the future starts today. Many sectors of industry have already realized its potential for small production runs. This great future potential will, however, be influenced substantially by the fact that the people printing the objects are not necessarily the people who own the rights to them. There are also opportunities for dedicated agencies that can take over 3D printing jobs for other businesses in their vicinity. All of this makes uncompromising Intellectual Property protection and flexible monetization options an absolute must for the technology.

0

How to Legally Enclose Batik on a Product

Author: Nirma Afianita, Co: Fitriyani Wospakrik

Berdasarkan Kementerian Industri menjelaskan bahwa Batik adalah hasil karya bangsa Indonesia yang merupakan perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia. Setiap daerah memiliki pola dan ciri khas masing-masing. Batik itu sendiri dapat diimprovisasi dengan menggabungkan beberapa elemen dan menjadikan corak ataupun hasil batik yang baru yang dihasilkan dari penggabungan tersebut. Dan hal tersebutlah yang dapat didaftarkan. Sehingga hal ini akan membagi batik menjadi produk dagang dan batik sebagai warisan budaya.

Karya seni batik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu yang pertama dapat termasuk sebagai karya cipta yang dilindungi menurut pasal 40 ayat (1) huruf j Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta. Yang dimaksud dengan “karya seni batik” adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional. Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna. Karya seni batik yang dimaksud adalah suatu seni batik yang telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan masa saat ini. Selanjutnya[na1]  karya seni batik lainnya termasuk dalam Indikasi geografis yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Goegrafis yaitu hak atas indikasi geografis  yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Batik yang dimaksud dalam Indikasi Geografis adalah batik murni yang merupakan suatu temuan dari leluhur yang diturunkan turun menurun tanpa adanya perubahan dan merupakan batik dengan seni asli yang berkaitan dengan budaya suatu daerah.

Motif batik yang dimiliki setiap daerah memiliki karakteristik berbeda . Inilah yang dinamakan Indikasi Geografis yang memiliki arti suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, batik dapat dikategorikan sebagai Indikasi Geografis dikarenakan setiap daerahh memiliki ciri khas batiknya masing-masing, sehiingga batik daerah tertentu akan menunjukkan suatu ciri khas yang menonjolkan daerah tersebut. Hal itulah yang menjadikan bahwa batik dilindungi oleh Undang-Undang Indikasi Geografis.

According to the Ministry of Indonesia, Batik is the work of the Indonesian nation. It is the combination of ancestorial art and technology. Each region has its own patterns and characteristics. Batik can be improved by combining a few elements and making it a pattern to create a new form of batik. In doing so, it can be registered and covered. Batik can be understood to be a trading product, as well as Indonesia’s cultural heritage.

Batik artworks can be divided into two types: copyrighted works that are protected by article 40 paragraph (1) letter J of Law Number 28 of 2014 regarding copyright, and geographical indications regulated by Article 1 number 7 of Law number 20 of 2016 regarding Marks and Geographical Indications. To be classified as a geographical indication, it has to retain its reputation, quality, and characteristics that form the basis for the geographical indication protection. These kinds of batiks are also known as pure batiks as they are the derivative of their ancestors and cultures.

Batik artworks can be divided into two types: copyrighted works that are protected by article 40 paragraph (1) letter J of Law Number 28 of 2014 regarding copyright, and geographical indications regulated by Article 1 number 7 of Law number 20 of 2016 regarding Marks and Geographical Indications. To be classified as a geographical indication, it has to retain its reputation, quality, and characteristics that form the basis for the geographical indication protection. These kinds of batiks are also known as pure batiks as they are the derivative of their ancestors and cultures.

Batik artwork is a contemporary batik motif that is innovative rather than traditional. It is a protected art form because it contains an artistic value in its images, patterns, and color compositions. These innovative Batik pieces are changed and adjusted time and time again.

The batik motifs owned by each region have has its own batik characteristics, so that certain regional batiks will show a characteristic that accentuates the area. This is what is called a Geographical Indication, the meaning of a sign indicating the area of ​​origin of an item and/or product which due to geographical environmental factors including natural factors, human factors, or a combination of these two factors, gives a certain reputation, quality and characteristics to the goods and/or products. / or the resulting product. This is what makes batik protected by the Geographical Indications Act. 


Ketentuan Indikasi Geografis diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu:

  1. Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis
    didaftar oleh Menteri.
  2. Untuk memperoleh pelindungan Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri.
  3. Pemohon sebagaimana dimaksud merupakan:
  4. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan
    geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:
  5. sumber daya alam;
  6. barang kerajinan tangan; atau
  7. hasil industri;
  8. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota
  9. Ketentuan mengenai pengumuman, keberatan, sanggahan, dan penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis bagi Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.

Lebih lanjut lagi, dikarenakan ciri khas batik yang erat dengan budaya Indonesia menjadikan batik sebagai salah satu budaya seni yang telah mendarah daging dengan Indonesia. Sehingga apabila seorang yang ingin menggunakan desain batik pada produk yang ingin dijual, maka hal tersebut sah-sah saja. Maka dari itu, hal ini memberikan pengertian bahwa selama desain batik dan digunakan merupakan desain batik budaya, maka hal tersebut adalah suatu hal yang wajar dan legal untuk dilakukan. Sepanjang pihak tersebut menggunakan batik sesuai dengan tujuan peraturan dan bijaksana, mereka dapat menggunakan batik dalam produk mereka.

Berbeda dengan desain batik yang diciptakan oleh seseorang dengan kemampuannya sendiri dalam mengembangkan desain batik yang sudah ada dengan mengkombinasikannya dengan hal-hal yang lain sehingga terlihat lebih modern yang bertujuan agar penggemar batik atau produknya dapat meningkat. Hal tersebut akan berbeda dengan batik budaya. Dimana batik yang telah mengalami perubahan dan dikembangkan oleh seseorang dan telah mendapatkan perlindungan dan telah mendaftarkan Mereknya pada Dirjen Hak Kekayaan Intelektual. Maka setiap orang yang ingin menggunakan desain tersebut wajib merujuk kepada pemilik desain.

The provisions of Geographical Indications are regulated in Article 53 of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, namely:

  1. Geographical Indications are protected after Geographical Indications are registered by the Minister
  2. In order to obtain protection, an Applicant for Geographical Indications must submit an application to the Minister. 
  3. The applicant as referred to is: 
    • an institution that represents the community in the area 
    • certain geographical that is working on an item and/or product in the form of: 
      • natural resources; 
      • handicraft items; or 
      • Industrial products; 
    • provincial or district/city governments 
  4. Provisions regarding announcements, objections, and withdrawals as referred to in Article 14 to Article 19 shall apply mutatis mutandis to Applications for registration of Geographical Indications.

Furthermore, because the characteristics of batik are closely related to Indonesian culture, batik is one of the artistic cultures that has been embedded with Indonesia. So if someone wants to use batik designs on the products they want to sell, then that’s fine. Therefore, as long as the batik design and use is a cultural batik design, then it is a natural and legal thing to do. As long as the subject uses batik accordingly and wisely, they can use the batik label on their product.

In contrast to batik designs created by someone with their own ability to develop existing batik designs into a more modern look, this will be different from cultural batik. Where batik has undergone changes, was developed by someone, has obtained a Copyright, and has registered its trademark to the Director-General of Intellectual Property Rights. So everyone who wants to use the design must refer to the owner of the design.


Pengusaha dapat memperoleh izin dagang melalui Online Single Submission Risk-Based Approach sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021. Dimana setiap Pengusaha wajib melakukan pendaftaran terhadap Online Single Submission Risk-Based Approach untuk dapat melakukan dan menyelenggarakan usaha dagangnya.

Pengusaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap Kekayaan Intelektual minimal akan menghadapi 2 (dua) tuntutan yaitu dari pengusaha lain atau kompetitor dan konsumen. Wujud perlindungan terhadap indikasi geografis yaitu sanksi bagi pelaku tindak pidana menyangkut indikasi geografis dan indikasi asal terdapat dalam Pasal 100 – 103 UU No. 20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis.

Terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan mencakup Indikasi geografis  dapat diajukan gugatan yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Menyatakan bahwa:

  1. Pengajuan gugatan terhadap pelanggaran dilakukan sesuai Pasal 57 ayat (1) dan pasal 58 Undang-undang nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.
  2. Gugatan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh:
  3. Setiap produsen yang berhak menggunakan Indikasi geografis
  4. Lembaga yang mewakili masyarakat
  5. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.
  6. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan untuk indikasi geografis berlaku secara mutatis mutandis ketentuan pasal 80 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.

Entrepreneurs can obtain the permit of trading through Online Single Submission Risk-Based Approach as stated in Government Regulation No. 5 of 2021. On the other hand, every single entrepreneur must register and obtain the permit through Online Single Submission Risk-Based Approach to run the business.

Entrepreneurs who have violated Intellectual Property will at least face two demands, namely from other entrepreneurs (competitors) and consumers. The form of protection against geographical indications, namely sanctions for perpetrators of criminal acts concerning geographical indications and indications of origin are contained in Articles 100 – 103 of Law no. 20 of 2016 concerning brands and geographical indications. 

Violations that do include a geographical indication may file a lawsuit under Article 26 of Government Regulation No. 51 of 2007 and declare that: 

  1. The filing of a lawsuit against the infringement is carried out in accordance with Article 57 paragraph (1) and Article 58 of Law Number 15 of 2001 concerning Marks. 
  2. The lawsuit as referred to can be made by: 
    1. Every producer who has the right to use geographic indications 
    2. Institutions that represent the community 
    3. The agency is authorized to do so. 
  3. Provisions regarding the procedure for filing a lawsuit for geographical indications apply mutatis mutandis to the provisions of Article 80 of Law Number 15 of 2001 concerning marks.
1 2
Translate