0

Inventor Creation Patent in Construction Activities

Author: Rizki Haryo Kusumo; Co-Author: Ananta Mahatyanto

Dalam proyek konstruksi, dikenal Teknologi Konstruksi yang merupakan berbagai macam perkembangan yang ada di bidang konstruksi baik itu dari material, komponen konstruksi, dan juga metode konstruksi. Teknologi Konstruksi memiliki peran penting dalam dunia proyek konstruksi, yaitu agar tercapainya target proyek konstruksi dengan waktu dan biaya yang minimal, dan mutu yang maksimal. Teknologi Konstruksi itu sendiri adalah produk dari arsitektur yang merupakan Inventor dalam proyek konstruksi tersebut dimana dapat dipatenkan oleh arsitektur konstruksi dengan melihat ketentuan-ketentuan tentang paten itu sendiri.

Paten

Sebelumnya, perlu dipahami apa itu paten. Paten diatur Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UUP) disebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 butir 2 UUP). Inventor adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi (Pasal 1 butir 3). Rumusan di atas dapat menjelaskan bahwa paten merupakan hasil kreativitas seseorang dalam bidang teknologi. Istilah invensi seseorang dalam bidang teknologi, selain membawa dampak pengembangan dalam ilmu pengetahuan juga ada nilai ekonomisnya.

Ruang lingkup paten dan sederhana (Pasal 2 UUP). Maksud dari paten dan sederhana, dijabarkan dalam Pasal 107 UU cipta kerja perubahan terhadap pasal 3 UUP sebagai berikut:

  1. Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
  2. Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
  3.  Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. produk sederhana;
    2. proses sederhana; atau
    3. metode sederhana.

Pada Pasal 10 UUP disebutkan yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau jika invensi ditemukan secara bersama maka disebut para inventor, dan yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. Pada Pasal 24 UUP disebutkan paten diberikan atas dasar permohonan. Namun perlu diperhatikan, bahwa tidak setiap invensi dapat diberikan Paten. Pasal 9 UUP bahwa Paten tidak diberikan untuk invensi tentang:

  1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  3. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
  4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.

Berdasarkan ketentuan di atas, paten tidak begitu saja diberikan, melainkan inventor harus mengajukan permohonan kepada negara. Jika suatu invensi hendak diajukan ke Kantor Paten, agar permohonan atau tepatnya pendaftaran dikabulkan, harus memenuhi syarat-syarat sesuai pasal 3 ayat 1 UUP yaitu berikut:

  1. Invensi itu harus baru (Novelty)
  2. Mengandung langkah inventif (Inventive step)
  3. Dapat diterapkan dalam industri (Industrial applicability)

Apabila segala persyaratan yang ditentukan sudah dipenuhi, maka kepada pihak yang melakukan pendaftaran paten akan diberikan hak eksklusif. Hak eksklusif tersebut adalah hak kepada pemegang paten untuk merealisasikan penemuan barunya, baik dalam bentuk suatu produk atau mempergunakan suatu proses tertentu. Hak eksklusif yang diberikan paten adalah bersifat teknis, tetapi dampak dari hak eksklusif tersebut merupakan permasalahan hukum.

Masalah tersebut berkaitan dengan apa yang di dalam hukum paten disebut sebagai non obviousness, yaitu disamping persyaratan tentang barunya suatu penemuan (novelty), sebelum paten diberikan ingin diketahui terlebih dahulu, apakah penemuan baru tersebut sudah cukup canggih di dalam bidang bersangkutan sehingga kepada penemu dapat diberikan hak eksklusif selama berlakunya paten bersangkutan. Sebagai upaya untuk membantu mengadakan evaluasi dari diberikan atau tidaknya paten untuk penemuan, hukum paten mengembangkan teori subtest of invention.

Perlindungan Karya Arsitektur

Karya arsitektur mengandung bagian-bagian Kekayaan Intelektual yang dapat dilindungi hukum. Adapun Kekayaan Intelektual yang terkait yaitu Hak Cipta, Desain Industri dan Paten. Hak Cipta karena karya arsitektur merupakan ide dan gagasan yang berasal dari pemikiran (intelektual) seorang arsitek yang mempunyai unsur seni, teknologi, nilai guna. Desain Industri karena karya arsitektur mengandung unsur pola, kesan estetis, dan dapat diproduksi dalam bentuk produk industri secara masal. Paten karena karya arsitektur merupakan invensi yang dihasilkan oleh inventor di bidang teknologi yang memenuhi tiga syarat, yaitu novelty, inventive step dan industrial applicability.

Dalam perlindungan hasil karya arsitektur, apabila disambungkan oleh paten, sistem perlindungan yang diterapkan adalah konstitutif, yaitu setiap hak kekayaan intelektual wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang yang dibuktikan dengan Sertifikat Pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum dan menimbulkan kepastian hukum. Sistem konstitutif dianut oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten.

Secara teoritis, sebenarnya tidak ada masalah apabila hasil invensi tersebut tidak didaftarkan inventor, karena inventor tersebut tetap dapat memiliki hasil invensinya. Inventor berhak menggunakan dan mempertahankannya. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang yuridis, tidak ada perlindungan hukum terhadap inventor tersebut dan tidak ada jaminan hukum bahwa orang lain tidak akan ikut serta menggunakannya. Apabila invensi tersebut digunakan oleh orang lain, maka bagi inventor akan sulit membuktikan kebenaran haknya.

Klausul Kepemilikan Paten Yang Belum Didaftarkan Dalam Kontrak

Dalam pembahasan kontrak pastinya mengacu kepada Kitab Undang-Undang perdata. Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak.

Kontrak memiliki beberapa syarat sah yang harus di penuhi. Syarat sah tersebut di atur pada pasal 1320 KUHper, ada 4 syarat yaitu:

  1. Kecakapan para pihak
  2. Kesepakatan antara pihak
  3. Adanya suatu hal atau objek tertentu
  4. Suatu sebab yang halal ( tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum )

Dalam pembuatan kontrak tersebut ada asa yang dinamakan asas kepatutan dimana di atur pada pasal 1339 KUHper yang berbunyi:

            “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas       dinyatakan       di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat   perjanjian,       diharuskan oleh (1) kepatutan, (2) kebiasaan, (3) undang-undang.”

Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan dan keadilan menurut undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini Inventor melakukan perjanjian kontrak bersama pihak kedua. Dalam kontrak tersebut adanya klausul tentang kepemilikan hak atas objek paten yang dimana merupakan ciptaan inventor. Hal tersebut di perbolehkan dengan adanya kebebasan berkontrak namun perlu di lihat kembali apakah ciptaan inventor tersebut telah didaftarkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten. Apabila ciptaan inventor tersebut belum didaftarkan maka tidak bisa dikatan dalam kontrak tersebut bahwa objek ciptaan merupakan milik inventor.

Hal tersebut dapat dilihat nya bedasarkan dari 1339 KUHper yang dimana pembuatan kontrak harus dibuat dengan memperhatikan kepatutan undang-undang yang berlaku. Terhadap hal tersebut mengacu kepada UU 13/2016 tentang paten. Karena ciptaan tersebut belum didaftarkan oleh inventor maka untuk ciptaan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat umum.

Mitigasi Penyalahgunaan atau Pelanggaran Hak Paten

Menurut Edmon Makarim, langkah untuk mencegah timbulnya sengketa penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten adalah semua pihak yang berkepentingan dapat secara aktif atau memiliki sumber daya untuk memantau informasi dan mencermati publikasi paten yang bisa menimbulkan resiko pada masa yang akan datang. Serta bagi Pemerintah untuk memperbaiki sistem, terkait dengan proses pemeriksaan substantif yang lebih ketat dalam menentukan kelayakan suatu invensi untuk mendapatkan perlindungan paten.

Perbaikan hal-hal tersebut akan berjalan lebih baik apabila disertai dengan pengawasan yang lebih ketat, terutama pada komunikasi antara petugas penerima paten dan pemohon paten, terkait dengan mencegah lolosnya paten yang tidak memenuhi syarat invensi.

Upaya Hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten:

Pasal 19 jo. Pasal 160 jo. Pasal 161 jo. Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Paten, yang menjelaskan bahwa:

“ Pasal 19″

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  • Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  • Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi perlindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.

Pasal 160

Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang:

  1. Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  2. Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 162

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten sederhana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Construction Technology is known for a variety of developments in the construction sector, both in terms of materials, construction components, and construction methods.  Construction technology has an important role in the world of construction projects, namely in order to achieve project targets with minimum time and cost, and with maximum quality.  Construction technology itself is a product of architecture which is an investor in the construction project and can be patented by construction architecture by looking at the provisions of the patent itself.

 Patent

 First, it is necessary to understand what a patent is.  Patents are regulated in Law Number 13 of 2016 concerning Patents (UUP) it is stated that patents are exclusive rights granted by the State to inventors for their inventions in the field of technology, which for a certain period of time carry out the invention themselves or give approval to other parties to carry it out.

 The invention is an inventor’s idea that is poured into a specific problem-solving activity in the field of technology, it can be in the form of a product or process or product or process improvement and development (Article 1 point 2 of the UUP).  An inventor is a person or several people who jointly implement ideas that are poured into activities that produce inventions (Article 1 point 3).  The above formula can explain that patents are the result of someone’s creativity in the field of technology.  The term someone’s invention in the field of technology, in addition to having an impact on the development of science, also has economic value.

The scope of the patent and simple (Article 2 UUP).  The meaning of patent and simple is described in Article 107 of the Copyright Act, amendments to Article 3 of the UUP as follows:

 1. The patent as referred to in Article 2 letter a is granted for an invention that is new, contains inventive steps, and can be applied in industry.

 2. A simple patent as referred to in Article 2 letter b is granted for every new invention, development of an existing product, or process that has practical uses, and can be applied in industry.

 3. Development of existing products or processes as referred to in paragraph (2) includes:

a. simple product;

b. simple process;  or

c. Simple method.

 Article 10 of the UUUP states that those who are entitled to a patent are inventors or if the inventions are found together, they are called inventors, and those who further receive the rights of the investor concerned.  Article 24 of the UUUP states that patents are granted on the basis of an application.  However, it should be noted that not every invention can be granted a patent.  Article 9 UUUP that Patents are not granted for inventions concerning:

 a.  Process or product whose announcement and use or implementation is contrary to applicable laws and regulations, religious morality, public order, or decency;

 b.  Methods of examination, treatment, treatment, and/or surgery applied to humans and/or animals;

 c.  Theories and methods in the fields of science and mathematics;  or

 d.  all living things, except micro-organisms;

 e.  biological processes that are essential for the production of plants or animals, except for non-biological processes or microbiological processes.

 Based on the above provisions, patents are not simply granted, but the inventor must submit an application to the state.  If an invention is to be submitted to the Patent Office, in order for the application or to be precise the registration to be granted, it must meet the requirements in accordance with Article 3 paragraph 1 of the UUP, namely the following:

 1. The invention must be new (Novelty)

 2. Contains inventive steps

 3. Can be applied in the industry (Industrial applicability)

 If all the specified requirements have been met, then the party who registers the patent will be granted exclusive rights.  The exclusive right is the right of the patent holder to realize his new invention, either in the form of a product or using a certain process.  The exclusive rights granted by patents are technical in nature, but the impact of these exclusive rights is a legal matter.

 This problem is related to what is referred to in patent law as non-obviousness, namely in addition to the requirements regarding the newness of an invention (novelty), before the patent is granted, it is necessary to know in advance whether the new invention is sophisticated enough in the relevant field so that the inventor can be given it.  exclusive rights during the validity of the relevant patent.  In an effort to help conduct an evaluation of whether or not a patent is granted for an invention, patent law develops the theory of the subtest of invention.

 Architectural Protection

 Architectural works contain IP parts that can be protected by law.  The related Intellectual Property are Copyrights, Industrial Designs and Patents.  Copyright because architectural works are ideas and ideas that come from the (intellectual) thoughts of an architect who have elements of art, technology, use value.  Industrial Design because architectural works contain elements of patterns, aesthetic impressions, and can be mass produced in the form of industrial products.  Patents because architectural works are inventions produced by inventors in the field of technology meet three requirements, namely novelty, inventive step and industrial applicability.

 In the protection of architectural works, if connected by a patent, the protection system applied is constitutive, i.e. every intellectual property right must be registered.  Registration that meets the requirements of the law is an acknowledgment and justification of a person’s intellectual property rights as evidenced by a Registration Certificate so as to obtain legal protection and create legal certainty.  The constitutive system is adopted by Law Number 13 of 2016 concerning Patents.

 Theoretically, there is actually no problem if the invention is not registered by the inventor, because the inventor can still own the invention.  Inventor has the right to use and maintain it.  However, from a juridical point of view, there is no legal protection for the inventor and there is no legal guarantee that other people will not participate in using it.  If the invention is used by other people, it will be difficult for the inventor to prove the truth of his rights.

 Unregistered Patent Ownership Clause in the Contract

 In the discussion of the contract, of course, it refers to the Civil Code.  According to the translation of the Black’s Law Dictionary, the definition of a contract is an agreement between two or more people that creates an obligation to do or not to do something specific.  Based on the Civil Code (KUHPer), a contract creates an agreement between the parties who bind themselves.  So that from this contract an engagement was born in which the parties who bind themselves have their respective obligations as specified in the contract.

 The contract has several legal conditions that must be met.  The legal requirements are regulated in Article 1320 of the Criminal Code, there are 4 conditions, namely:

 1. Skills of the parties

 2. Agreement between parties

 3. There is a certain thing or object

 4. A lawful cause (not contrary to applicable law, decency and public order)

 In making the contract there is a principle called the principle of propriety which is regulated in Article 1339 of the Criminal Code which reads:

 “An agreement is not only binding for things that are expressly stated in it, but also for everything which according to the nature of the agreement, is required by (1) propriety, (2) custom, (3) law  .”

 Based on this, it can be concluded that the contract must be made with due regard to propriety and fairness according to the applicable law.

 In this case the Inventor enters into a contract agreement with the second party.  In the contract there is a clause regarding the ownership of rights to the patent object which is the inventor’s creation.  This is allowed with the freedom of contract but it is necessary to review whether the inventor’s creation has been registered in accordance with Law Number 13 of 2016 concerning Patents.  If the inventor’s creation has not been registered, it cannot be stated in the contract that the object of creation is the property of the inventor.

 This can be seen based on the 1339 KUHper in which the making of a contract must be made with due regard to the appropriateness of the applicable law.  This refers to Law 13/2016 on patents.  Because the work has not been registered by the inventor, the creation can be used by the general public.

 Mitigation of Patent Abuse or Infringement

 According to Edmon Makarim, the step to prevent disputes over misuse or infringement of patent rights is that all interested parties can actively or have resources to monitor information and observe patent publications that may pose risks in the future.  As well as for the Government to improve the system, related to a more stringent substantive examination process in determining the feasibility of an invention to obtain patent protection.

 Improvements in these matters will run better if accompanied by stricter supervision, especially on communication between patent recipients and patent applicants, related to preventing the passage of patents that do not meet the invention requirements.

Legal remedies that can be taken in the event of misuse or infringement of patent rights as regulated in Law Number 3 of 2016 concerning Patents:

Article 19 jo.  Article 160 jo.  Article 161 jo.  Article 162 of Law Number 3 of 2016 concerning Patents, which explains that:

 “Article 19”

 (1) A Patent Holder has the exclusive right to exercise his/her patent and to prohibit other parties who without his/her consent:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 (2) The prohibition on using a production process that is granted a Patent as referred to in paragraph (1) letter b applies only to imports of products that are solely produced from the use of a process that is protected by a Patent.

 (3) In the case of educational, research, experimental, or analytical purposes, the prohibitions as referred to in paragraphs (1) and (2) may be excluded as long as they do not harm the legitimate interests of the Patent Holder and are not commercial in nature.

 Article 160

 Any person without the approval of the Patent Holder is prohibited from:

 a.  In the case of a product-patent: making, using, selling, importing, renting, delivering, or providing for sale or rental or delivery of the product for which the Patent is granted;

 b.  In the case of process-patent: using a production process that is granted a Patent to make goods or other actions as referred to in letter a.

 Article 161

 Any person who intentionally and without rights commits an act as referred to in Article 160 for a Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).

 Article 162

 Any person who intentionally and without rights commits the act as referred to in Article 160 for a simple Patent, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).”

0

Pengambilalihan Bank Terhadap Bisnis Konsumer bank

Author: Alfredo Joshua Bernando

  Akuisisi merupakan hal yang lazim dilakukan baik oleh Bank maupun oleh Perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan jasa keuangan pada berbagai sektor, terlebih pada Bisnis Konsumer yang dijalankan oleh Bank Konsumer atau Retail Banking, di mana Bank Konsumer adalah jenis bank yang layanannya ditujukan kepada publik, bukan kepada perusahaan ataupun pihak bank lain, yang biasanya disebut sebagai bank komersial, sehingga terhadap Bank yang melakukan bisnis konsumer sering terjadi pengambilalihan atau akuisisi oleh Pihak Bank lain.

Akuisisi merupakan bagian dari aksi korporasi / tindakan korporasi (Corporate Action), di mana aksi korporasi merupakan sebuah langkah atau tindakan yang diambil oleh perusahaan terbuka yang memiliki dampak langsung terhadap kepemilikan saham investor (pemegang saham). Akuisisi juga dikenal sebagai pengambilalihan, aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan membeli sebagian besar atau seluruh saham dari perusahaan lainnya untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tersebut.

Pada Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan menjelaskan bahwa Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank. [1] Dalam hal bentuk hukum Bank Umum berupa Perseroan Terbatas, maka proses akuisisi akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan tentang definisi Pengambilalihan, yang berbunyi:

“ Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. “ [2]

Ketentuan Hukum mengenai Akuisisi atau Pengambilalihan terhadap Perseroan terbatas, diatur secara spesifik dalam Pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana Pada Pasal 125 ayat (1) UU a quo dijelaskan bahwa:

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perusahaan melalui direksi perusahaan atau langsung dari pemegang saham.[3]

          Terkait dengan peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),[4] maka Peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank telah diterbitkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum (yang selanjutnya disebut POJK 41/2019).

Secara khusus, POJK  mendefinisikan akuisisi / pengambilalihan sebagai berikut:

“  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut .”[5]

Akuisisi, sebagaimana merger dan konsolidasi, integrasi dan konversi dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan.[6] Jika hal tersebut terjadi, maka bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menerima izin dari Otoritas Jasa Keuangan.[7] Dan dalam pelaksanaannya, bank pelaksana harus memperhatikan kepentingan bank, masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Akuisisi Bank dilaksanakan melalui cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan/atau akan dikeluarkan oleh Bank, yang karena pengambilalihan tersebut menyebabkan beralihnya pengendalian bank kepada akuisitor.[9] Akuisisi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 PP 28/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuisitor harus memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank, rakyat banyak, dan persaingan sehat. Sebagaimana diketahui, akuisisi menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan, dan karena itu terdapat perubahan kebijakan yang terjadi di dalam bank sebagai akibat dari perubahan kepemilikan tersebut. Perubahan kebijakan tersebut tentunya sangat jelas berdampak bagi pihak yang terkait, yakni kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank dan nasabah.

Secara prinsip, kreditor tidak dapat terkena dampak negatif dari akuisisi pada bank yang diambil alih. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 POJK 41/2019 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan keberatan kepada bank paling lambat 14 hari setelah pengumuman ringkasan rancangan  mengenai akuisisi, dan jika tidak ada keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui akusisi. Jika ada keberatan, maka keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian, dan selama belum ada penyelesaian yang tercapai maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.[10]

POJK 41/2019 memberikan hak khusus kepada pemegang saham minoritas apabila tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai akuisisi[11], Perlindungan hukum terhadap pemegang saham adalah dengan memberikan hak kepada pemegang saham untuk dapat meminta sahamnya dibeli Bank dengan harga wajar[12]. Hal ini juga disebutkan dalam perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam UUPT[13], dan secara khusus dalam UU PT dijelaskan bahwa jika melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan, perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[14]

Karyawan bank merupakan pihak yang selanjutnya terkena dampak dari akuisisi. Pada dasarnya, karena akuisisi sejatinya merupakan pengambilalihan kepemilikan, maka akuisisi tidak mengubah status karyawan. Status karyawan akan berubah apabila pemilik yang baru melakukan restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan, yang mana hal tersebut dapat saja merubah status, hak dan kewajiban dari perusahaan maupun karyawan. Oleh karena itu, Dalam Pasal 26 huruf b Angka 7 POJK 41/2019 dijelaskan mengenai restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan terkait dengan cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah, dan karyawan Bank yang akan diambil alih merupakan bagian dari syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan atau akuisisi.[15]

Bank pada dasarnya merupakan badan usaha yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[16], maka bank dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga tunduk kepada ketentuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UU PK). Sebagai pelaku usaha, bank memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 7 UU PK dan ketentuan yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam UU PK.[17] Oleh karena itu, perubahan kepemilikan bank tidak dapat menyangkal adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bank sebagai pelaku usaha, sehingga siapapun pemilik dari bank tersebut harus melaksanakan kewajiban dan ketentuan lain bagi pelaku usaha sebagaimana termuat dalam UU PK.

          Akuisisi atau pengambilalihan pada dasarnya harus dilakukan melalui Persetujuan RUPS, akibat hukum yang ditimbulkan terkait dengan aksi korporasi yang dilakukan tersebut adalah beralihnya pengendalian terhadap Bank tersebut, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan serta diperhatikan terkait dengan kepentingan Bank, Masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[1] Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan

[2] Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[5] Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[6] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum            

[7] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[8] Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[9] Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[10] Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[11] Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[13] Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[14] Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[15] Pasal 26 huruf b Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[16] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


0

1 DAY TRAINING CLASS: TRADEMARK

Sabtu, 26 Februari 2022

Pelajari tujuan merek dagang, proses pendaftarannya, tujuannya dalam bisnis, dan perselisihan yang mungkin timbul darinya

Kontak: +62 877 7776 1447 (Afina)

Registrasi

Link: https://bit.ly/AfiaandcoTrademarkClass

Tanggal pendaftaran: 14 Januari 2022 – 24 Februari 2022

Biaya pendaftaran kelas & modul:

BCA 2940950832 a/n Aprilia Purwanto

Umum: IDR 1,250,000
Mahasiswa: IDR 650,000

Rundown

(09:00 – 10.30) Ananta Mahatyanto, S.H – Attorney at Afia & Co Attorneys

  • Pelajari tujuan merek dagang
  • Proses pendaftarannya
  • Tujuannya dalam bisnis
  • Perselisihan yang mungkin timbul darinya

(10:30 – 12:00) Raden Ayumas Zisni, S.H – Asisten Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Biokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

  • Pencegahan penolakan merek
  • Lisensi & izin terkait merek
  • Branding merek

(13:00 – 14:30) Rizki Haryo Kusumo, S.H – Partner at Afia & Co Attorneys

  • Merek dalam bisnis
  • Agreement, Kerjasama & Investment merek

(14:30 – 16:00) Nirma Afianita, S.H., CTL – Managing Partner at Afia & Co Attorneys

  • Perselisihan merek
  • Penyelesaian sengketa merek

0

Pencabutan Izin Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Authors: Alfredo Bernando and Andreas Simanjorang

Date: Thursday, 13 January 2022

Pada tanggal 6 Januari 2022, Presiden Republik Indonesia telah mencabut ribuan izin usaha dalam beberapa sektor yang meliputi 2.078 izin perusahaan di sektor penambangan Mineral dan Batubara, 192 izin di sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare dan Penggunaan Kawasan Hutan di sektor perkebunan seluas 34.448 hektare, yang mana pencabutan izin usaha tersebut merupakan salah satu bentuk sanksi administratif yang diberikan oleh Pemerintah.

Dalam sektor minerba, pencabutan izin usaha sebagai salah satu sanksi administratif secara tegas diatur pada Pasal 185 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sedangkan, dalam sektor kehutanan, pencabutan izin dapat dilakukan terhadap Perizinan Berusaha[1] maupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan[2] yang salah satunya disebabkan apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Dampak daripada pencabutan izin ini sendiri tentunya dapat berakibat terhadap kewenangan pengusaha dalam pemanfaatan sebagaimana izin yang diberikan.

Izin usaha pada dasarnya merupakan bentuk dari Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar atas dikeluarkannya izin tersebut. Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Keputusan  Administrasi Pemerintahan atau keputusan tata usaha negara sebagai “ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.[3] yang secara sistematis ditafsirkan bersamaan dengan [1] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;[4], Karena izin berusaha merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum berupa hak untuk melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam izin tersebut, maka apabila izin tersebut dicabut, pemegang izin akan kehilangan haknya dalam pemanfaatan terhadap sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam lingkup daripada izin tersebut.

Dalam hal mempertahankan izinnya, pemegang izin dapat mengupayakan tindakan hukum dengan melakukan upaya hukum ke pengadilan berwenang. Mengingat bahwa pencabutan izin merupakan bentuk sanksi administratif yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, maka pemegang izin dapat melakukan gugatan administratif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (yang kemudian dikenal sebagai sengketa tata usaha Negara).[5] Melalui sengketa tata usaha Negara, pemegang izin dapat menggugat keputusan atau penetapan dari instansi pemerintah terkait keputusan atau penetapan tersebut.

Daftar Isi:

  1. Undang-Undang Dasar Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Risiko
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

[1] Pasal 286 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

[2] Pasal 277 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

[3] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

[4] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

[5] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

0

Legal Protection of Trademark Secrets

Author: Nirma Afianita; Co-Author: Fitriyani Wospakrik

Legal basis:

  1. Law Number 30 of 2000 concerning Trade Secrets

Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

Ruang Lingkup, Diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang bahwa Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum

Faktor yang dapat digunakan untuk menilai Rahasia Dagang

  • Sejauh mana informasi tersebut diketahui oleh kalangan di luar perusahaannya
  • Sejauh mana informasi tersebut diketahui oleh para karyawan di dalam perusahaannya
  • Sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi kerahasiaan informasinya
  • Nilai dari informasi tersebut bagi dirinya dan bagi pesaingnya
  • Derajat kesulitan atau kemudahan untuk mendapatkan atau menduplikasikan informasi yang sama oleh pihak lain

Jangka waktu perlindungan Dalam hal perlindungan rahasia dagang, tidak ada ketentuan yang membatasi tentang jangka waktu berlakunya perlindungan rahasia dagang, yaitu selama pemiliknya tetap merahasiakan dan melakukan usaha-usaha untuk melindungi kerahasiannya maka selama itu pula berlaku perlindungan hukum.

Syarat Rahasia dagang

  1. Bersifat rahasia, Sebuah informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.
  2. Mempunyai nilai ekonomi, sebuah informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi
  3. Dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya, upaya-upaya sebagaimana mestinya adalah semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya, di dalam suatu perusahaan harus ada prosedur baku berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan/atau yang dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Demikian pula dalam ketentuan internal perusahaan dapat ditetapkan bagaimana Rahasia Dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.

Perbedaan Rahasia dagang dengan Kekayaan Intelektual lainnya

  1. Bentuk KI lain tidak bersifat rahasia
  2. KI lainnya yang dilindungi harus dipublikasikan tetapi rahasia dagang dilindungi karena sifatnya yang rahasia;
  3. Rahasia dagang mendapat perlindungan meskipun tidak mengandung nilai kreativitas/penerimaan baru; dan
  4. Berbeda dengan hak cipta atau paten, perlindungan terhadap rahasia dagang tidak memiliki jangka waktu yang terbatas. Oleh karenanya banyak penemu/inventor yang merasa perlindungan yang diberikan oleh rahasia dagang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlindungan hak milik intelektual lainnya.
  5. Rahasia dagang dapat dilakukan secara lebih fleksibel karena tidak terikat syarat – syarat formal seperti halnya yang terjadi dalam sistem hukum paten yang memerlukan pemenuhan formalitas dan proses pemeriksaan dan rahasia dagang memiliki jangka waktu yang tidak terbatas

Ketentuan Rahasia Dagang

  1. Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
  2. Memberikan Lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pengalihan Hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 30/2000 bahwa:

  1. Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan dengan: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. perjanjian tertulis; atau e. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
  2. Pengalihan Hak Rahasia Dagang disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
  3. Segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  4. Pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
  5. Pengalihan Hak Rahasia Dagang diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.

Selain itu Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi , kecuali jika diperjanjikan lain.

  1. Pemegang Hak Rahasia Dagang berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi , kecuali jika diperjanjikan lain.
  2. Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  3. Perjanjian Lisensi Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
  4. Perjanjian Lisensi diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang

Perlindungan Rahasia Dagang dalam Usaha Waralaba

Perlindungan rahasia dagang dalam usaha franchise dilaksanakan berdasarkan perjanjian franchise yang disepakti dimana di dalam perjanjian franchise dinyatakan bahwa kekayaan intelektual yang berasal dari pemberi waralaba merupakan hak dari pemberi waralaba sebagai pemilik rahasia dan penerima waralaba berkewajiban untuk tidak membocorkan atau melanggar hak-hak kekayaan intelektual milik pemberi waralaba yang dilindungi.

Dalam sudut pandang hukum, Pemilik rahasia dagang berhak menggunakan Rahasia Dagangnya, serta dapat memberikan Lisensi Rahasia Dagang untuk melarang pihak lain dalam menggunakan Rahasia Dagang dan tidak mengungkapkan rahasia dagangnya kepada pihak ketiga. Rahasia dagang memiliki sifat tidak mutlak, yang artinya kerahasiaannya dapat diketahui oleh pihak – pihak lain dengan digunakannya suatu izin melalui perjanjian.

Apabila perjanjian franchise dilanggar akan dikenakan sanksi administrative yang terdapat didalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 mengenai waralaba (franchise) yaitu berupa peringatan yang tertulis, pencabutan surat tanda pendaftaran waralaba (franchise) dan berupa denda.

Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang

Sebagai contoh jika suatu resep milik A diduga ditiru oleh B, maka cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

  1. Tentukan terlebih dahulu apakah resep tersebut merupakan rahasia dagang atau bukan. Jika sudah dapat dipastikan bahwa resep tersebut merupakan rahasia dagang, selanjutnya perlu juga dilihat apakah B memiliki izin untuk menggunakannya atau tidak.
  2. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU 30/2000, izin yang dimaksud berupa lisensi. Maka jika B memiliki izin, ini bukanlah pelanggaran rahasia dagang.
  3. Penyelesaian sengketa rahasia dagang dapat Anda temukan pada Pasal 11 UU 30/2000, pemegang hak rahasia dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan rahasia dagang atau memberikan lisensi atau mengungkapkan rahasia dagang ke pihak ketiga untuk kepentingan komersial, berupa: gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri; dan/atau penghentian semua perbuatan yang telah dilakukan.

Selain gugatan ke Pengadilan Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pelanggaran dan Sanksi

  1. Seseorang dianggap melanggar rahasia dagang orang lain apabila ia memperoleh atau menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;  Pencurian, Penyadapan, Spionase industry, Membujuk untuk mengungkapkan atau membocorkan rahasia dagang melalui penyuapan, paksaan dll., Dengan sengaja mengungkapkan atau mengingkari kesepakatan atau kewajiban yang tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan
  2. Ketentuan Pidana Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain, atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, atau Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). 3. Tindak pidana dimaksud termasuk delik aduan.

Trade Secret is information that is not known by the public in the field of technology and/or business, has economic value because it is useful in business activities, and is kept confidential by the owner of the Trade Secret.

Scope, It is regulated in Article 2 of Law No. 30 of 2000 concerning Trade Secrets that the scope of protection of Trade Secrets includes production methods, processing methods, sales methods, or other information in the field of technology and/or business that has economic value and is unknown to the public. general public

Factors that can be used to assess Trade Secrets

  • The extent to which the information is known by people outside the company
  • The extent to which the information is known by employees within the company
  • The extent to which efforts are being made to protect the confidentiality of the information
  • The value of this information for themselves and for competitors
  • Degree of difficulty or ease of obtaining or duplicating the same information by other parties

Period of protection In terms of protection of trade secrets, there are no provisions limiting the validity period of protection of trade secrets, namely as long as the owner keeps it secret and makes efforts to protect its confidentiality, as long as legal protection applies.

Trade secret terms

  1. Confidential in nature, An information is considered confidential if the information is only known by certain parties or is not known in general by the public.
  2. Having economic value, information is considered to have economic value if the confidential nature of the information can be used to carry out commercial activities or businesses or can increase economic profits
  3. Confidentiality is maintained through appropriate efforts, proper efforts are all steps that contain fairness, feasibility, and appropriateness measures that must be carried out. For example, within a company, there must be standard procedures based on general practices that apply in other places and/or which are set forth in the company’s own internal regulations. Likewise, in the company’s internal regulations it can be determined how the Trade Secret is maintained and who is responsible for the confidentiality.

Differences Trade Secrets with other Intellectual Property

  1. Other forms of KI are not confidential
  2. Other IP protected must be made public but trade secrets are protected because they are confidential;
  3. Trade secrets are protected even though they do not contain new creativity/acceptance value; and
  4. Unlike copyrights or patents, the protection of trade secrets does not have a limited period of time. Therefore, many inventors feel that the protection provided by trade secrets is more advantageous than the protection of other intellectual property rights.
  5. Trade secrets can be more flexible because it is not bound to the terms – a formal requirement, as seen in the system of patent law that requires the fulfillment of formalities and inspection processes and trade secrets have unlimited time period

Conditions Trade Secret

  1. Using their own Trade Secrets;
  2. Granting a License to or prohibiting other parties from using the Trade Secret or disclosing the Trade Secret to third parties for commercial purposes.

Transfer of Rights, as regulated in Article 5 of Law 30/2000 that:

  1. Trade Secret Rights can be transferred or transferred by: a. inheritance; b. grant; c. will; d. written agreement; or e. other reasons justified by laws and regulations.
  2. Transfer of Trade Secret Rights is accompanied by documents regarding the transfer of rights.
  3. All forms of transfer of Trade Secret Rights must be registered with the Directorate General by paying a fee as regulated in this Law.
  4. The transfer of rights to trade secrets that are not registered with the Directorate General will not have legal consequences for third parties.
  5. The transfer of Trade Secret Rights is announced in the Trade Secret Official Gazette.

In addition, the Trade Secret Right Holder has the right to grant a license to another party based on a license agreement, unless agreed otherwise.

  1. Trade secret rights holders have the right to grant licenses to other parties based on a license agreement, unless otherwise agreed.
  2. The License Agreement must be registered with the Directorate General for a fee as regulated in this Law.
  3. Trade Secret License Agreements that are not registered with the Directorate General have no legal consequences for third parties.
  4. License Agreement announced in the Official Gazette of Trade Secrets

Protection of Trade Secrets in Franchising

The protection of trade secrets in the franchise business is carried out based on the agreed franchise agreement where in the franchise agreement it is stated that intellectual property originating from the franchisor is the right of the franchisor as the owner of the secret and the franchisee is obliged not to divulge or violate the intellectual property rights of the franchisor. protected franchise.

From a legal point of view, the owner of a trade secret has the right to use his Trade Secret, and can grant a Trade Secret License to prohibit other parties from using the Trade Secret and not revealing his trade secret to third parties . Trade secrets are not absolute, which means that their confidentiality can be known by other parties with the use of a permit through an agreement.

If the franchise agreement is violated, it will be subject to administrative sanctions contained in Article 16 of Government Regulation no. 42 of 2007 concerning franchises, namely in the form of written warnings, revocation of franchise registration certificates (franchise) and in the form of fines.

Trade Secret Dispute Resolution

For example, if a recipe belonging to A is suspected of being copied by B, then the solution is as follows: First

  1. determine whether the recipe is a trade secret or not. If it is certain that the recipe is a trade secret, then it is also necessary to see whether B has permission to use it or not.
  2. Based on Article 1 point 5 of Law 30/2000, the intended permit is inform of a thelicence. So if B has permission, this is not a trade secret violation.
  3. Settlement of trade secret disputes can be found in Article 11 of Law 30/2000, trade secret rights holders or licensees can sue anyone who knowingly and without rights uses trade secrets or grants licenses or discloses trade secrets to third parties for commercial purposes, in the form of : claim for compensation to the District Court; and/or cessation of all actions that have been carried out.

In addition to a lawsuit to the District Court, the parties can resolve the dispute through arbitration or alternative dispute resolution.

 Violations and Sanctions

  1. A person is considered to have violated another person’s trade secret if he or she obtains or controls the trade secret in ways that are contrary to the applicable laws and regulations; • Theft • Wiretapping • Industrial espionage • Persuading to disclose or divulge trade secrets through bribery, coercion etc. • Deliberately disclosing or denying written agreements or obligations to maintain the relevant trade secret
  2. Criminal Provisions Whoever intentionally and without rights uses the Trade Secret of another party, or commits the acts as referred to in Article 13, or Article 14, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 300,000,000, – (three hundred million rupiah). 3. The crime referred to includes a complaint offense.
1 2 3 4 6
Translate