0

DISTRIBUTION PROCESS PERFORMED IN PHARMACEUTICAL BIOTECHNOLOGY

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
  3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi.

Bioteknologi moderen memiliki ptensi yang besar untuk peningkatan kehidupan dan kesejahteraan manusia baik di sektor pertanian, pangan, industri, kesehatan manusia, dan lingkungan hidup. Pengertian bioteknologi moderen sendiri tertulis secara resmi dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yaitu:

“Pasal 1

  • Bioteknologi moderen adalah aplikasi dari teknik perekayasaan genetik yang meliputi teknik Asam Nukleat in-vitro dan fusi sel dari dua jenis atau lebih organismo di luar kekerabatan taksonomis”[1]

Bioteknologi moderen memiliki beberapa jenis atau cabang ilmu salah satunya yaitu Bioteknologi merah. Bioteknologi merah (red biotechnology) adalah cabang ilmu bioteknologi yang mempelajari aplikasi bioteknologi di bidang medis dan farmasi. Hal ini mencakup kepada seluruh objek pengobatan manusia mulai dari preventif, diagnosis, dan pengobatan. Contoh pemanfaatannya terdapat pada obat dan vaksin.[2]

Pada penggunaannya di bidang farmasi, bioteknologi digunakan unutk obat manufaktur, terapi gen, pengujian genetik, dan pharmacogenomics. Bioteknologi farmasi menggunakan teknologi DNA rekombinan yang memerlukan manipulasi genetik sela tau antibodi monoklonal untuk membuat produknya. Formulasi dalam farmasi konvesional merupakan molekul relatif sederhana yang diproduksi, melalui teknik trial and error untuk mengobati berbagai gejala-gejala penyakit.[3]

Dalam pemanfaatannya untuk mengobati gejala-gejala penyakit, maka penyediaan farmasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk pelayanan kesehatan. Sehingga, distribusi sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan penyaluran baik obat maupun bahan obat sesuai dengan persyaratan guna menjaga kualitas dari sediaan farmasi yang didistribusikan tersebut. Distribusi merupakan kegiatan penting yang terintegrasi dengan manajemen rantai pasok sediaan farmasi. Pemerintah sendiri mewajibkan adanya fasilitas distribusi untuk menunjang adanya penyaluran penyediaan kebutuhan farmasi. Penjelasan terkait pendistribusian farmasi dijelaskan pada Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menjelaskan sebagai berikut:

Pasal 1

10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.”[4]

Kegiatan pendistribusian obat-obatan ini dilakukan oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memiliki izin berupa Sertifikat Distribusi Farmasi dari Kementerian Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018.[5] Sedangkan, Instalansi Sediaan Farmasi atau Instalansi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat menyimpan dan menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.

Dalam hal kegiatan pendistribusian dan penyaluran atau menyalurkan sediaan farmasi erat kaitannya dengan pekerjaan kefarmasian sebab menjadi salah satu tugasnya. Definisi Pekerjaan Kefarmasian sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan pelaksanaan pekerjaannya diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 1 angka 1

Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.[6]

“Pasal 5

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:

  1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
  2. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
  3. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
  4. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.”[7]

PBF dan PBF Cabang sebagai sarana fasilitas distribusi dan saluran sediaan farmasi memiliki kewajiban untuk memiliki apoteker sebagai penanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi. Diatur lebih rinci dalam Pasal 14 ayat (2) yang menegaskan bahwa,

“Pasal 14 ayat (2)

Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”[8]

Kewenangan apoteker yang merupakan tenaga kefarmasian terdapat dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 108 ayat (1)

Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”[9]

Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi atau Kegiatan Distribusi Obat, merupakan suatu kegiatan diantara kegiatan produksi dan kegiatan pelayanan sediaan farmasi kepada masyarakat. Kegiatan teknis dalam fasilitas distribusi ini mengacu pada peraturan dan perundang-undangan sebagai berikut :

  1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi

Peraturan yang mengatur Pedagang Besar Farmasi, yaitu perusahaan dengan bentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat;

  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Repulik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2018 tetang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan

Peraturan yang mengatur mengenai penerapan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yang berfungsi untuk percepatan dan peningkatan modal dan berusaha sektor kesehatan;

  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik

Peraturan yang mengatur pedoman teknis cara pendistribusian obat yang baik untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya;

  • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik;

Peraturan yang mengatur mengenai distribusi obat untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar agar pelaksanaan distribusi obat dapat diterapkan dalam setiap aspek dan rangkaiannya.

Secara garis besar peraturan dan perundang-undangan tentang PBF mengatur mengenai perizinan, gudang, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan, kemudian Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memliki ruang lingkup pedoman untuk distribusi obat, bahan obat dan produk biologi termasuk vaksin.

Salah satu cara pemerintah dalam menjamin mutu sediaan pendistribusian farmasi adalah dengan menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.[10] Regulasi CDOB ini dijelaskan Peraturan Kepala BOM No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.

Untuk menerapkan cara distribusi obat yang baik, hal yang harus diperhatikan yaitu pada jalur distribusi sediaan farmasi. Jalur distribusi obat diawali dari Industri Farmasi yang kemudian disalurkan kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan selanjutnya PBF akan menyalurkan dan mendistribusikan obat kepada PBF cabang, apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Balai Pengobatan, dan Gudang Farmasi. Namun, tidak semua jalur distribusi sediaan farmasi sama. Khusus pada penyediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika memiliki jalur distribusi khusus.[11] Narkotika hanya bisa disalurkan dari Industri Farmasi kepada pedagang besar farmasi tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, dan rumah sakit. [12]

Selanjutnya, pada pendistribusian obat-obatan yang baik juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu pada proses pengiriman obat-obatan tersebut, seperti: [13]

  1. Kondisi khusus yang diperlukan produk selama proses pengiriman harus dipantau dan dicatat.
  2. Proses pengiriman tidak boleh memberikan efek negative terhadap integritas dan kualitas dari sediaan farmasi
  3. Prosedur tertulis harus disertai selama proses untuk dilakukan investigasi terhadap segala penyimpangan terkait kondisi penyimpanan, contohnya jika suhu tempat penyimpanan produk saat proses pengiriman tidak sesuai.
  4. Produk yang dikirim harus dapat dilacak selama proses distribusi
  5. Semua produk farmasi harus disimpan dan didistribusikan dalam wadah yang tidak memberikan efek buruk terhadap kualitas produk, dan memberikan perlindungan memadai dari pengaruh eksternal, termasuk kontaminasi mikroba. Label yang ditempelkan di wadah harus jelas, tidak ambigu, secara permanen tertuju pada wadah dan tidak mudah terhapuskan. Informasi tentang label harus sesuai dengan produk. Produk yang mengandung dari bahan aktif dan radioaktif obat dan bahan berbahaya lainnya yang memberikan risiko penyalahgunaan, kebakaran, atau ledakan (misalnya, cairan yang mudah terbakar, padatan dan gas bertekanan) harus disimpan dan diangkut di dalam wadah yang aman.

Rekap data juga diperlukan pada saat melakukan pengiriman produk farmasi yang dalam dokumennya harus memuat informasi sebagai berikut:[14]

  1. Waktu pengiriman
  2. Nama dan alamat yang bertanggung jawab untuk pengiriman
  3. Nama, alamat, status instansi seperti retail farmasi, rumah sakit dan komunitas klinik
  4. Deskripsi produk meliputi nama, bentuk dan kekuatan sediaan
  5. Jumlah produk, seperti jumlah container dan jumlah produk per container
  6. No batch dan tanggal kadaluarsa
  7. Kondisi transportasi dan penyimpanan
  8. Nomor unik untuk memungkinkan identifikasi pesanan pengiriman.

Tidak hanya data-data tersebut yang harus diperlukan, pada sistem dan prosedur tertulis diperlukan untuk mendeteksi secara cepat dan efektif produk farmasi yang diketahui atau diduga cacat, dengan personil yang bertanggung jawab untuk melakukan recall. Pihak manufaktur juga harus diberi tahu jika dilakukan recall. Semua produk farmasi yang ditarik harus disimpan di area terpisah yang aman untuk menunggu tindakan yang tepat. Kondisi penyimpanan yang sesuai untuk produk farmasi yang ditarik kembali harus dipertahankan selama penyimpanan sampai saat keputusan telah dibuat terkait produk tersebut. Dokumentasi harus tersedia untuk personil yang ditunjuk bertanggung jawab atas penarikan kembali. Dokumen harus memuat informasi yang cukup tentang produk farmasi yang diberikan kepada pelanggan (termasuk jika produk diekspor). Proses recall harus dicatat dan laporan akhir dikeluarkan, mencakup rekonsiliasi antara jumlah produk yang dikirim dan yang diperoleh kembali.[15]


[1] Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik

[2] Gramedia, https://www.gramedia.com/literasi/bioteknologi/, diakses pada 28 April 2022

[3] Porosilmu, https://www.porosilmu.com/2016/04/bioteknologi-farmasi-dan-kedokteran.html, diakses pada 28 April 2022

[4] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[5] Fakultas MIPA Universitas Garut, https://fmipa.uniga.ac.id/read/2020/07/mengenal-pekerjaan-kefarmasian-di-bidang-distribusi.html, diakses pada 28 April 2022

[6] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian

[7] Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Kefarmasian

[8] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi

[9] Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan

[10] IHC Rumah Sakit Krakatau Media, https://krakataumedika.com/info-media/artikel/cdob-cara-distribusi-obat-yang-baik, diakses pada 28 April 2022

[11] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[12] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[13] IHC Rumah Sakit Krakatau Media, https://krakataumedika.com/info-media/artikel/cdob-cara-distribusi-obat-yang-baik, diakses pada 28 April 2022

[14] Farmasetika, https://farmasetika.com/2018/01/04/trend-sistem-digitalisasi-distribusi-sediaan-farmasi-di-indonesia-saat-ini/, diakses pada 28 April 2022

[15] Farmasi Industri, https://farmasiindustri.com/cpob/penarikan-kembali-produk-obat.html, diakses pada 28 April 2022

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 36 of 2009 on Health Workers.
  2. Government Regulation No. 51 of 2009 on Pharmaceutical Works.
  3. Regulation of The Minister of Health No. 34 of 2014 concerning Pharmaceutical Wholesalers.

Modern biotechnology has great tension for the improvement of human life and well-being in the agricultural, food, industrial, human health, and environmental sectors. The definition of modern biotechnology itself is officially written in Article 1 number 8 of Government Regulation No. 21 of 2005 concerning Biosafety of Genetically Engineered Products, namely:

“Article 1

  • Modern biotechnology is the application of genetic engineering techniques that include in-vitro Nucleic Acid techniques and cell fusion of two or more types of organisms outside of taxonomic kinship.”

Modern Biotechnology has several types or branches of science, one of which is red biotechnology. Red biotechnology (red biotechnology) is a branch of biotechnology that studies the application of biotechnology in the medical and pharmaceutical fields. This includes all objects of human medicine starting from prevention, diagnosis, and treatment. Examples of its use are found in drugs and vaccines.

In pharmaceutical applications, biotechnology is used for drug manufacturing, gene therapy, genetic testing, and pharmacogenomics. Pharmaceutical biotechnology uses recombinant DNA technology which requires genetic manipulation of monoclonal antibodies to make its products. Formulations in conventional pharmacy are relatively simple molecules that are produced, through trial and error techniques, to treat various symptoms of disease.

In its use to treat the symptoms of disease, the supply of pharmacy is a very important part of health services. Thus, the distribution of pharmaceutical preparations is an activity of distributing both drugs and medicinal ingredients in accordance with the requirements in order to maintain the quality of the pharmaceutical preparations being distributed. Distribution is an important activity that is integrated with pharmaceutical supply chain management. The government itself requires distribution facilities to support the distribution of pharmaceutical needs. The explanation regarding the distribution of pharmaceuticals is explained in Article 1 Number 10 of Government Regulation No. 51 of 2009 on Pharmaceutical Works which explains as follows:

“Article 1

10. Facilities of Distribution or Distribution of Pharmaceutical Supply are facilities used to distribute Pharmaceutical Supply, namely Pharmaceutical Wholesalers and Pharmaceutical Supply Installations.”

The distribution of these drugs is carried out by Pharmaceutical Wholesalers (PBF). PBF is a legal entity company that has a permit for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug ingredients in large quantities in accordance with the provisions of laws and regulations and has a permit in the form of a Pharmacy Distribution Certificate from the Ministry of Health based on the Regulation of the Minister of Health Number 26 of 2018. Meanwhile, Pharmaceutical Supply Installation or Government Pharmaceutical Installation is a facility for storing and distributing pharmaceutical supply and medical devices owned by the Government, both the Central Government and Regional Governments in the context of health services.

In terms of distribution activities or distributing pharmaceutical supply, it is closely related to pharmaceutical works because it is one of their duties. The definition of Pharmaceutical Works itself is regulated in Article 1 number 1 and the implementation of its work is regulated in Article 5 of Government Regulation Number 51 of 2009 on Pharmaceutical Works, which reads as follows:

“Article 1 number 1

Pharmaceutical works is the manufacture including quality control of Pharmaceutical Supply, security, procurement, storage and distribution or distribution of drugs, drug management, drug services based on doctor’s prescriptions, drug information services, as well as drug development, medicinal ingredients and traditional medicines.”

“Article 5

Implementation of Pharmaceutical Works include:

  1. Pharmaceutical Work in the Procurement of Pharmaceutical Supply;
  2. Pharmaceutical Work in the Production of Pharmaceutical Supply;
  3. Pharmaceutical Work in the Distribution of Pharmaceutical Supply; and
  4. Pharmacy Work in the Service of Pharmaceutical Supply.”

Pharmaceutical Wholesaler and Pharmaceutical Wholesaler Branches as distribution facilities and pharmaceutical supply channel have an obligation to have a pharmacist as the person in charge of the implementation of the provisions for the procurement, storage and distribution of drugs and/or drug ingredients as regulated in Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Health Number 34 of 2014 about Pharmaceutical Wholesalers. It is regulated in detail in Article 14 paragraph (2) which confirms that,

“Article 14 paragraph (2)

Pharmacist’s responsible as referred to in paragraph (1) must have a permit in accordance with the provisions of the legislation.”

The authority of pharmacists who are pharmaceutical worker is regulated in Article 108 paragraph (1) of Law Number 36 of 2009 on Health Workers which reads:

“Article 108 paragraph (1)

Pharmaceutical practice which includes manufacture including quality control of pharmaceutical supply, security, procurement, storage and distribution of drugs, drug services based on doctor’s prescriptions, drug information services and development of drugs, medicinal ingredients and traditional medicines must be carried out by health workers who have the expertise and authority in accordance with the provisions of the legislation.”

Pharmaceutical work in the distribution of pharmaceutical supply or drug distribution activities is an activity between production activities and service activities for pharmaceutical supply to the public. Technical activities in this distribution facility refer to the following laws and regulations:

  1. Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;

Regulation governing pharmaceutical wholesalers, namely legal entity company that have permits for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug ingredients.

  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 34 of 2014 on Amendments to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;
  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 30 of 2017 on the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 1148/Menkes/Per/VI/2011 on Pharmaceutical Wholesalers;
  • Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 26 of 2018 on Electronically Integrated Business Licensing Services for the Health Sector;

Regulation governing the application of electronically integrated business licensing services that function to accelerate and increase capital and business in the health sector.

  • Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 9 of 2019 on Technical Guide for Good Method of Drug Distribution;

Regulation governing the technical guide for good method of drug distribution to ensure its quality along the distribution channel according to the requirements and purposes of use.

  • Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 6 of 2020 on Amendments to the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control Number 9 of 2019 on Technical Guidel for Good Method of Drug Distribution.

Regulation governing the distribution of drugs to ensure the safety, efficacy, and quality of circulating drugs so that the implementation of drug distribution can be applied in every aspects and steps.

According to the regulations and laws regarding Pharmaceutical Wholesalers regulate licensing, warehouses, implementation and supervision as well as guidance, then the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control has the scope of guidelines for the distribution of drugs, medicinal ingredients and biological products including vaccines.

One of the government’s ways to ensure the quality of pharmaceutical distribution preparations is to apply Good Method of Drug Distribution. Good Method of Drug Distribution is a method of drug and/or drug ingredients distribution with the aim of ensuring quality along the distribution channel according to the requirements and purposes of their use. This Good Method of Drug Distribution arrangement is explained by the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control No. 6 of 2020 on Amendments to the Regulation of the National Agency of Drug and Food Control No. 9 of 2019 on Technical Guide for Good Method of Drug Distribution.

To apply a good method of drug distribution, the thing that must be considered is the distribution channel of pharmaceutical supply. The drug distribution channel starts from the Pharmaceutical Industry which is then distributed to Pharmaceutical Wholesalers and then Pharmaceutical Wholesalers will distribute drugs to Pharmaceutical branches, pharmacies, Hospital Pharmacy Installations, Medical Centers, and Pharmacy Warehouses. However, not all distribution channels of pharmaceutical preparations are the same. Especially in the supply of pharmaceuticals in the form of narcotics and psychotropics, they have special distribution channels. Narcotics can only be distributed from the Pharmaceutical Industry to certain pharmaceutical wholesalers, pharmacies, certain government pharmaceutical storage facilities, and hospitals.

Furthermore, in the distribution of good drugs, there are also several things that need to be considered, namely in the delivery process of the drugs, such as:

  1. The special conditions that requires during the shipping process should be monitored and recorded;
  2. The delivery process must not have a negative effect on the integrity and quality of pharmaceutical supply;
  3. Written procedures must be followed during the process to investigate any deviations related to storage conditions, for example if the temperature of the product storage area during the shipping process is not appropriate;
  4. Products shipped must be traceable during the distribution process;
  5. All pharmaceutical products must be stored and distributed in containers that do not adversely affect its quality, and provide adequate protection from external effects, including microbial contamination. The label affixed to the container must be clear, unambiguous, permanently fixed on the container and not easily erased. Information on labels must match the product. Products containing active and radioactive drugs and other hazardous materials that present a risk of misuse, fire or explosion (for example, flammable liquids, compressed solids and gases) must be stored and transported in secure containers.

Data recapitulation is also required at the time of delivery of pharmaceutical products which in the document must contain the following information:

  1. Delivery time
  2. Name and address responsible for the delivery
  3. Name, address, status of agencies such as retail pharmacy, hospitals and community clinics
  4. Product description includes name, form and strength of the supply
  5. Number of products, such as number of containers and number of products per container
  6. Batch number and expiration date
  7. Transport and storage conditions
  8. Unique number to allow identification of shipping orders.

Not only those data must be required, written systems and procedures are needed to quickly and effectively detect pharmaceutical products that are known or suspected to be defective, with personnel who are responsible for carrying out recalls. The manufacturer must also be notified if a recall is carried out. All recalled pharmaceutical products should be stored in a separate safe area to await appropriate action. Appropriate storage conditions for recalled pharmaceutical products must be maintained during storage until a decision has been made regarding the product. Documentation shall be made available to the designated personnel responsible for recalls. The document must contain sufficient information about the pharmaceutical product provided to the customer (including if the product is exported). The recall process should be recorded and a final report should be issued, including a reconciliation between the number of products that is shipped and recovered.

0

KERANGKA HUKUM PEMBANGUNAN TEKNOLOGI BINARY UNIT SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

Indonesia kaya akan berbagai macam sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) antara lain air, panas bumi, sinar matahari, angin, dan arus laut. Potensi sumber daya energi panas bumi di Indonesia sendiri sebesar 28,5 Giga Watt Electrical (GWE) yang terdiri dari resource 11.073 MW dan reserves 17.453MW, hal ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia.[1] Pemanfaatan energi panas bumi memberikan implikasi positif untuk menekan emisi karbon dan mengurangi gas rumah kaca. Salah satu perusahaan BUMN mengumumkan rencana untuk meningkatkan kapasitas panas bumi melalui penerapan teknologi binary dengan membangun binary unit untuk menghasilkan potensi tambahan kapasitas listrik hingga 25MW.[2]

Binary unit merupakan fasilitas untuk menghasilkan listrik dengan memanfaatkan brine (cairan/air panas bumi) yang diinjeksi kembali ke dalam perut bumi, sehingga dapat menambah kapasitas listrik yang dihasilkan.[3]  Karena melalui teknologi binary unit ini memanfaatkan uap panas bertemperatur lebih rendah (100-2000C), tidak seperti pada umumnya yang mana fluida bertemperatur 2000C yang dapat  digunakan untuk pembangkit listrik.[4] Melalui teknologi ini uap panas yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) digunakan untuk memanaskan fluida kerja yang menjadi panas dan menghasilkan uap berupa flash. Uap tersebut dihasilkan dari heat exchanger yang digunakan menggerakan sudu-sudu turbin dan menggerakan generator untuk menghasilkan sumber daya listrik.[5] Teknologi binary unit memiliki banyak kelebihan karena tidak perlu adanya eksplorasi sumur baru sehingga lebih cepat dan investasinya lebih rendah. Sementara dari sisi konstruksi, pembangunan lebih cepat karena sistemnya modular, dan mengefisiensi investasi.[6]

Tinjauan Yuridis Pengelolaan EBT

Bertolak dari amanat konstitusi[7] Indonesia yakni dijelaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia, yaitu:

“Pasal 33

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di  dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pasal tersebut menegaskan bahwa perlu adanya pengelolaan energi secara efisien dan terstruktur terutama dalam memenuhi kebutuhan energi domestik. Pengaturan masalah EBT kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Pada Pasal 4 ayat (2) berisi:

“Pasal 4

  • Sumber daya energi baru dan sumber daya energy terbarukan diatur oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

kemudian pada Pasal 4 ayat (3) yang berisikan:

“Pasal 4

  • Penguasaaan dan pengaturan sumber daya energy oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi menginstruksikan pemerintah untuk membuat pedoman Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014. KEN ini menjadi pedoman pengelolaan energi nasional guna mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan untuk mencapai sasaran.[8]

Peraturan terkait Pemanfaatan Panas Bumi

Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber energi fosil menyebabkan banyak kerugian termasuk produksi emisi karbon yang tinggi dan juga menyebabkan perubahan iklim dunia. Energi fosil dalam penggunaannya menghasilkan gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH2) dan nitrous oksida (N2O) yang kemudian membungkus bumi dan menimbulkan pemanasan global.[9] Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan energi panas bumi. Teknologi binary unit yang diasosiasikan oleh salah satu perusahaan BUMN ini nantinya akan memanfaatkan panas bumi untuk meningkatkan kapasitas listrik nasional. 

Pemanfaatan panas bumi diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, dengan muatan materinya mencakup (1) kewenangan penyelenggaran panas bumi; (2) pengusahaan panas bumi; (3) penggunaan lahan; (4) hak dan kewajiban; (5) data dan informasi; (6) pembinaan dan pengawasan; (7) peran serta masyarakat; (8) penyidikan; (9) ketentuan pidana. Terdapat perubahan dari Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi yaitu bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah sejak izin Usaha Pertambangan Panas Bumi disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi.[10] Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diberikan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.[11] Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi juga mengatur bahwa pemegang izin panas bumi wajib memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah yang wilayah administratifnya meliputi Wilayah Kerja yang bersangkutan.[12] Selanjutnya bagi daerah yang terdapat wilayah kerja pertambangan panas bumi, pemerintah daerah dapat menanamkan modalnya melalui mekanisme participating interest sebesar 10% yang ditawarkan oleh kontraktor kepada BUMD setempat.[13]

Penyelenggaran penambangan panas bumi berorientasi untuk mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai tambah secara keseluruhan dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.[14]Dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pengusahaan panas bumi, terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu Survei Pendahuluan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, Eksplorasi dan Eksploitasi Uap, yang dapat dilakukan pemerintah dan/atau badan usaha termasuk pembinaan dan pengawasan, mekanisme penyiapan wilayah kerja, pelelangan wilayah kerja panas bumi, Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, serta data dan informasi.[15]

Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi membagi pelaksanaan pengusahaan panas bumi menjadi dua bentuk, pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10,

“Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi secara langsung tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan non listrik.”

Sedangkan pemanfaatan tidak langsung menurut Pasal 1 angka 11,

“Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan atau fluida menjadi energi listrik.”

Izin tersebut memiliki jangka waktu paling lama 37 (tiga puluh tujuh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun setiap kali perpanjangan.[16] Izin tersebut diberikan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan.[17]Pelaksanaan kegiatan eksplorasi, pemegang izin panas bumi wajib memiliki izin lingkungan. Eksplorasi memiliki jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Izin Panas Bumi diterbitkan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing selama 1 (satu) tahun. Waktu tersebut sudah termasuk untuk melaksanakan kegiatan studi kelayakan.[18]Sebelum melakukan eksplorasi dan eksploitasi pemegang Izin Panas Bumi wajib memiliki izin lingkungan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk menyampaikan studi kelayakan kepada menteri sebelum melakukan kegiatan eksploitasi.[19]

Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi ini juga mengamanatkan beberapa regulasi turunan terkait dengan beberapa isu penting antara lain: (1) izin pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung dan pengaturan harga panas bumi; (2) survei pendahuluan atau eksplorasi dan tata cara penugasan; (3) proses lelang; (4) luasan wilayah kerja; (5) tata cara penetapan harga; (6) sanksi administratif; (8) kewajiban pemegang izin; (9) besaran dan tata cara pemberian bonus produksi; dan (11) pengawasan.[20]

Kesimpulan

Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi panas bumi yang sangat besar merupakan aset yang dapat digunakan untuk menunjang pembangunan nasional. Panas bumi merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan dikelola untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Tanggung jawab negara dalam mewujudkan kemakmuran rakyat tersebut dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan yang dimilikinya. Hal ini tentunya selaras dengan tujuan penyelenggaraan pemanfaatan panas bumi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi bertujuan untuk mengendalikan kegiatan pengusahaan panas bumi untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan berupa panas bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, dan meningkatkan pemanfaatan energi bersih yang ramah lingkungan guna mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dasar Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

Referensi

Agung, F., Terapkan Teknologi Binary, Pertamina Siap Genjot Pemanfaatan Panas Bumi, retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/terapkan-teknologi-binary-pertamina-siap-genjot-pemanfaatan-panas-bumi

Astuti, W., Dari Panas Bumi Lahirlah Listrik, retrieved from https://coaction.id/dari-panas-perut-bumi-lahirlah-listrik/

Azhar, M., Suhartoyo, (2015), Aspek Hukum Kebijakan Geothermal di Indonesia, Jurnal Law Reform,vol.11 (1). Ahluriza, P., Udi Harmoko, (2021), Analisis Pemanfaatan Tidak Langsung Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, Jurnal Energi Baru & Terbarukan,vol.2(1)

Febriananingsih, N., (2019), Tata Kelola Energi Terbarukan di Sektor Ketenagalistrikan dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2

Hariyadi,  (2015) Optimalisasi Peran Panas Bumi dalam Kerangka Undang-Undang Panas Bumi, vol. 20(4)

Kementerian ESDM, Ini Dia Sebaran Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia, retrieved from https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-dia-sebaran-pembangkit-listrik-panas-bumi-di-indonesia#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Sumber%20daya%20 energi%20panas,panas%20bumi%20terbesar%20di%20dunia.

Mumpuni, A., Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://www.alinea.id/bisnis/pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-b2fiz9Dif

Rusmin, D. S., Tesis : Implikasi Yuridis dalam Pengelolaan Panas Bumi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (Studi Kasus Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait Sembilan Wilayah Kerja Panas Bumi di Kawasan Hutan Konservasi, (Jakarta: UI, 2012)

Saputro, W., Skripsi : Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Malang: UB, 2015) Untari, A., Menjadi Showcase di Task Force ESC B20 Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/755645/77/menjadi-showcase-di-task-force-esc-b20-pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-dengan-binary-unit-1651032262/


[1] Kementerian ESDM, Ini Dia Sebaran Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia, retrieved from https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-dia-sebaran-pembangkit-listrik-panas-bumi-di-indonesia#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Sumber%20daya%20 energi%20panas,panas%20bumi%20terbesar%20di%20dunia.

[2] Atik Untari, Menjadi Showcase di Task Force ESC B20 Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/755645/77/menjadi-showcase-di-task-force-esc-b20-pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-dengan-binary-unit-1651032262/

[3] Filemon Agung, Terapkan Teknologi Binary, Pertamina Siap Genjot Pemanfaatan Panas Bumi, retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/terapkan-teknologi-binary-pertamina-siap-genjot-pemanfaatan-panas-bumi

[4]   Pradipta Ahluriza, Udi Harmoko, Analisis Pemanfaatan Tidak Langsung Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, Jurnal Energi Baru & Terbarukan, vol.2(1), 2021, hal 57

[5]  Wiji Astuti, Dari Panas Bumi Lahirlah Listrik, retrieved from https://coaction.id/dari-panas-perut-bumi-lahirlah-listrik/

[6] Ayu Mumpuni, Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://www.alinea.id/bisnis/pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-b2fiz9Dif

[7] Wahyudi  Saputro, Skripsi : Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Malang: UB, 2015), hal. 14

[8] Nunuk Febriananingsih, Tata Kelola Energi Terbarukan di Sektor Ketenagalistrikan dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, 2019, hal. 34-35

[9] Wahyudi  Saputro, Tesis: Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan), hal. 5

[10] Pasal 84 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[11] Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[12]Pasal 53 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[13] Fadhil Saputra, Skripsi: Analisis Yuridis Politik Hukum Pengaturan Izin Pemanfaatan Panas Bumi dalam Pemanfaatan Tidak Langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2017, (Malang: UB, 2019), hal.66

[14] Dimas Saputra Rusmin, Tesis : Implikasi Yuridis dalam Pengelolaan Panas Bumi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (Studi Kasus Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait Sembilan Wilayah Kerja Panas Bumi di Kawasan Hutan Konservasi, (Jakarta: UI, 2012), hal. 58

[15] Ibid, hal. 15

[16] Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[17] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[18] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[19] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[20] Hariyadi, Optimalisasi Peran Panas Bumi dalam Kerangka Undang-Undang Panas Bumi, vol. 20(4), 2015, hal.374

0

KEWENANGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TERKAIT KEGAGALAN PEMENUHAN KEWAJIBAN BANK

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Robby Malaheksa

Salah satu unsur penting dalam memberikan jaminan adalah kecepatan menyelesaikan klaim nasabah atas simpanannya yang ada pada Bank. Cepat lambatnya penyelesaian simpanan tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Apabila Bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha Bank dimaksud tidak dapat di lanjutkan, maka bank tersebut menjadi gagal yang berakibat dicabut izin usahanya. Sistem jaminan tidak langsung seringkali mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat karena tidak tegasnya status simpanan mereka apabila suatu bank terpaksa dicabut izin usahanya oleh pemerintah atau bank pailit dan dilikuidasi. Oleh sebab itu, baik pemilik dan pengelola bank maupun berbagai otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan/atau pengawasan bank, harus bekerja sama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.[1]

Bentuk pemberian jaminan langsung kepada nasabah adalah dengan didirikannya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tujuan pendirian LPS adalah: pertama, menurunkan kemungkinan terjadinya rush; kedua, melindungi nasabah penyimpan kecil yang secara sosial dan politik tidak dapat menanggung beban kerugian akibat kebangkrutan bank; dan ketiga, menyediakan jalan agar biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat diminimalkan[2]

Dengan di bentuknya LPS maka setiap Bank di wilayah Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS, sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 Undang-Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang berbunyi ;

“Pasal 8

Setiap Bank yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah negara republik indonesia wajib menjadi peserta pinjaman.[3]

LPS mempunyai fungsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal  4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, yaitu ;

“Pasal 4

Fungsi LPS adalah ;

  1. Menjamin simpanan nasabah penyimpan
  2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.[4]

Keberadaan LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa salah satu tugas strategis  LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi bank.  Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun  terhadap kelancaran dan kelangsungan roda  perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas.[5]

Tindakan penanganan terhadap suatu Bank gagal berdampak sistemik akan dilakukan oleh LPS setelah adanya penetapan status bank gagal berdampak sistemik dan setelah dilakukannya penyerahan penanganan kepada LPS.[6] Terhadap Bank gagal berdampak sistemik dapat dilakukan dengan memilih satu diantara dua pilihan yakni; 1) tindakan penanganan dengan mengikutsertakan pemegang saham lama (open bank assistance) atau 2) tindakan penanganan tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.[7]

Penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak penyelamatan. Berdasarkan ketentuan pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, terdapat beberapa persyaratan yang harus di penuhi untuk menyelamatkan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, antara lain :

Pasal 24

  1. LPS menetapkan untuk menyelamatkan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik jika dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
  2. perkiraan biaya penyelamatan secara signifikan lebih rendah dari perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank dimaksud;
  3. setelah diselamatkan, bank masih menunjukkan prospek usaha yang baik;
  4. ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang- kurangnya memuat kesediaan untuk:
  5. menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS;
  6. menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS; dan
  7. tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  8. bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai:
  9. penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
  10. data keuangan Nasabah Debitur;
  11. struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan
  12. informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban termasuk permodalan bank, yang dibutuhkan oleh LPS.[8]

Dalam menjalankan fungsi turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 menjelaskan bahwa LPS mempunyai tugas sebagai berikut ;

“Pasal 5 ayat (2)

  1. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan;
  2. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan
  3. melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.[9]

Sejak beroperasi tanggal 22 September 2005, LPS telah melakukan fungsi dan tugas pokoknya yaitu melakukan likuidasi beberapa bank, membayar klaim penjaminan, serta melakukan penyelamatan 1 (satu) bank umum.[10] Dalam menyelamatkan Bank gagal, apabila persyaratan penyelematan bank telah terpenuhi, maka RUPS bank menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. LPS diberikan tugas dan wewenang untuk dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu, yang diatur pada Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2011 tentang Likuidasi Bank, Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai wewenang sebagai berikut:

“Pasal 9

Tim Likuidasi mempunyai tugas sebagai berikut :

  1. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pembuburan badan hukum Bank;
  2. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian gaji terutang, dan pesangon pegawai Bank;
  3. melakukan pemberesan aset dan kewajiban Bank;
  4. menyampaikan laporan kepada LPS;
  5. melakukan pertanggungjawaban pelaksanaan Likuidasi Bank;
  6.  melakukan penyelesaian atas kewajiban dari pihak-pihak yang melakukan kelalaian dan/atau perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha Bank;
  7. melakukan tugas lainnya yang dianggap perlu untuk pelaksanaan Likuidasi Bank; dan
  8. membantu kelancaran pelaksanaan penjamin simpanan.”

“Pasal 10

Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, tim Likuidasi berwenang:

  1. melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan asset dan/atau penagihan piutang terhadap para Debitur termasuk pemberian Potongan Hutang sesuai dengan kewenangan yang diberikam oleh RUPS dan peraturan yang berlaku;
  2. mempekerjakan Tenaga Pendukung Tim Likuidasi;
  3. menunjuk pihak lain untuk membantu pelaksanaan Likuidasi Bank, antara lain perusahaan penilai, konsultan hukum, dan atau/ advokat;
  4. melakukan pemanggilan kepada para Kreditur;
  5. melakukan perundingan dan pembayaran kewajiban kepada Kreditur;
  6. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Likuidasi Bank;
  7. mewakili Bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban Bank tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan;
  8. meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum Bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha Bank kecuali perbuatan hukum Bank yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang.”

Sepanjang Tahun 2021 LPS telah menutup 8 (delapan) Bank Perkreditan Rakyat/Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR/BPRS). Terkait dengan penutupan itu, LPS juga telah membayarkan klaim pinjaman simpanan kepada 16.730 rekening dengan total nominal sebesar Rp. 71,46 miliar. Dengan penutupan itu, sejak berdiri, LPS telah melikuidasi 116 BPR/BPRS, dan menyelamatkan satu bank umum. Hingga 2021 nominal simpanan layak bayar yang di lunasi oleh LPS sebanyak Rp 1,7 triliun atau setara dengan 82,06 persen dari total simpanan pada bank yang di likuidasi.  Di sisi lain, LPS telah menjamin sebanyak 99,9 persen dari rekening simpanan di perbankan nasional atau setara dengan 399.866.365 rekening.[11]

Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya LPS bersama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi, dalam kerangka mekanisme kerja terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahan sektor keuangan Indonesia atau disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN).[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
  2. Peraturan LPS Nomor 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal yang berdampak Sistemik
  3. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2011 tentang Likuidasi Bank

REFRENSI

  1. Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library, Bandung
  2. Penanganan Bank Gagal, https://lps.go.id/artikel/-/asset_publisher/0S8e/content/penanganan-bank-gagal, diakses tanggal 29 April 2022
  3. Halim Alamsyah, “Transformasi Organisasi LPS”, http://lps.go.id/news/-/asset_publisher/Ec5A/content/latar-belakang , diakses tanggal 29 April 2022
  4. LPS tutup 8 BPR dan BPRS sepanjang 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220426191320-78-790036/lps-tutup-8-bpr-dan-bprs-sepanjang-2021, diakses tanggal 29 April 2022

[1] Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library, Bandung, hlm. 312

[2] Ibid.,

[3] Pasal 8 Undang- Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

[4] pasal  4 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS

[5] Penanganan Bank Gagal, https://lps.go.id/artikel/-/asset_publisher/0S8e/content/penanganan-bank-gagal, diakses tanggal 29 April 2022

[6] Pasal 3 Peraturan LPS Nomor 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal yang berdampak Sistemik

[7] Ibid., pasal 4

[8] pasal 24 UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS

[9] pasal 5 ayat (2) UU 24 Tahun 2004 tentang LPS

[10] Halim Alamsyah, “Transformasi Organisasi LPS”, http://lps.go.id/news/-/asset_publisher/Ec5A/content/latar-belakang, diakses tanggal 29 April 2022

[11] LPS tutup 8 BPR dan BPRS sepanjang 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220426191320-78-790036/lps-tutup-8-bpr-dan-bprs-sepanjang-2021, diakses tanggal 29 April 2022

[12] Penjelasan Umum atas UU 24/2004 Tentang LPS

0

Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Shafa Atthiyyah Raihana

Crude Palm Oil (CPO) adalah salah satu jenis minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat di dunia. Penggunaan CPO bisa mencapai sekitar 40% dari seluruh jenis minyak nabati. Pemanfaatan minyak juga beragam, terutama seperti penggunaan bahan pangan pada minyak goreng, industri kosmetik, industri kimia, dan industri pakan ternak. [1]

Terkait dengan produksi CPO di Indonesia, beberapa industri di Indonesia menunjukkan perkembangan secepat industri minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ini tampak dalam jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Didorong oleh permintaan global yang terus meningkat dan keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia (dengan imbas negatif pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi hasil-hasil pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit). Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor.[2]

Walaupun mayoritas minyak kelapa sawit di Indonesia banyak diekspor, namun seiring dengan berkembangnya populasi masyarakat di Indonesia dan dukungan pemerintah untuk program diesel terus meningkat, permintaan minyak sawit domestik di Indonesia juga berkembang. Meningkatnya permintaan minyak sawit dalam negeri sebenarnya bisa berarti bahwa pengiriman minyak sawit mentah dari Indonesia akan berkurang di tahun-tahun mendatang. [3]

Pada saat ini, pemerintah telah melakukan tindakan pelarangan ekspor terhadap CPO di Indonesia ke sejumlah negara. Pelarangan ekspor ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kuota kebutuhan pasar dalam negeri akan minyak goreng. Produksi kelapa sawit dalam negeri seharusnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, apalagi dilihat dari segi volumenya, kebutuhan minyak goreng domestik sangat kecil dibandingkan yang selama ini diekspor keluar negeri. Jika semua pihak mengutamakan stok kebutuhan dalam negeri, maka masyarakat tidak perlu dibuat resah dengan kelangkaan minyak goreng. Namun, kondisi saat ini justru sebaliknya mengingat persediaan minyak goreng saat ini yang semakin langka. Dengan adanya permasalahan tersebut, pemerintah akhirnya mengambil tindakan untuk melarang ekspor CPO dan minyak goreng. Keputusan ini baru akan dicabut jika persediaan minyak goreng di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak ada lagi kelangkaan yang diakibatkan.[4]

Kemudian, pemerintah juga sudah membuat aturan resmi terkait dengan larangan ekspor CPO yang dimuat pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein dan Used Cooking Oil. Pernyataan pelarangan ekspor CPO juga dipertegas dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tersebut yaitu:

“Pasal 2

  • Dengan Peraturan Menteri ini, Menteri mengatur larangan sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized palm olein dan Used Cooking Oil.”[5]

Akibat dari kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor CPO tersebut, sejumlah saham emiten perusahaan kelapa sawit dalam negeri mengalami penurunan. Penurunan pergerakan saham emiten sawit tersebut terjadi setelah pengumuman adanya pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng dimulai.[6] Pengertian dari emiten merupakan pihak yang dapat berbentuk orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok terorganisasi yang melakukan penawaran umum, yaitu penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam peraturan Undang-undang yang berlaku.

Salah satu tata cara dalam penerbitan emiten dijelaskan dalam penjelasan Pasal 40 tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:

“Pasal 40

Pada dasarnya Emiten dapat menerbitkan Efek tanpa menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek. Dalam hal ini penetapan harga dilaksanakan oleh Emiten yang bersangkutan. Pengguna jasa Penjamin Emisi Efek dimaksudkan untuk membantu Emiten memasarkan dan atau menjual Efek yang ditawarkan sehingga ada kepastian perolehan dana hasil penjualan Efek dimaksud. Sedangkan keputusan untuk melakukan investasi terhadap Efek yang ditawarkan sepenuhnya berada di tangan pemodal. Oleh karena itu, penggunaan jasa Penjamin Emisi Efek yang terafiliasi dengan Emiten pada dasarnya dapat dipersamakan dengan penawaran Efek tanpa menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek. Namun, penjaminan tersebut harus benar-benar memperhatikan adanya kemungkinan benturan penting.”[7]

Dengan adanya penjelasan bahwa emiten yang seharusnya melakukan penetapan harga bersangkutan, namun, saat ini malah timbul permasalahan pada saham emiten karena adanya pelarangan ekspor CPO yang menyebabkan beberapa saham emiten dalam negeri berguguran. Salah satunya saham sebuah perusahaan yang memproduksi minyak sawit mentah, karet, kakao, teh, dan biji-bijian tercatat turun 6,94% dari 1.440 menjadi 1.340 per saham. Penurunan tertinggi lainnya tercatat pada perusahaan yang memiliki 24 perkebunan kelapa sawit dan karet di Sumatera dan Jambi yang mengalami penurunan sebanyak 6,92% dari 650 menjadi 605 dan harga saham salah satu perusahaan industri perkebunan yang juga anjlok 6,98% atau 45 poin ke angka Rp 600 dari level harga Rp 645 pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. [8]

Dampak pelarangan ekspor CPO terhadap emiten di sektor minyak sawit juga akan memicu oversupply CPO dan minyak goreng di dalam negeri. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak sawit dalam negeri hanya setara 35% dari gabungan konsumsi domestik dan ekspor, sedangkan jumlah minyak sawit Indonesia yang diekspor mencapai 65%.[9]

Selain berpotensi memicu terjadinya oversupply, larangan ekspor minyak sawit atau CPO juga dapat mempengaruhi hal-hal yang merupakan bagian dari pelaksanaan aktivitas ekspor tersebut, seperti bentuk-bentuk dari kerjasama antar pihak yang terjalin terkait aktivitas ekspor dan distributor, sebut saja salah satunya perjanjian kontrak dengan pihak lain yang telah terjalin sebelumnya berkenaan dengan aktivitas ekspor dan bisnis minyak sawit tersebut. Dengan adanya larangan ekspor pada sektor tertentu, dalam hal ini minyak sawit, dapat menyebabkan berakhirnya kerjasama eksportir dengan pihak terkait lainnya secara force majeure atau tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak yang telah disepakati sebelumnya.  Force majeure sendiri terdapat dalam Pasal 1245 KUH Perdata, sebagai berikut :

“Pasal 1245 KUH Perdata

Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”[10]

Pelarangan ekspor sementara minyak goreng ini merupakan komitmen kuat pemerintah untuk memprioritaskan masyarakat, dalam hal dianggap perlu, akan dilakukan penyesuaian kebijakan dengan situasi yang ada.[11] Dengan adanya pelarangan terkait ekspor CPO hal ini akan sejalan dengan peluang adanya transisi aturan baru terkait suplai CPO untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Nantinya perubahan tersebut akan membuat tingkat penjualan CPO di pasar dalam negeri bisa lebih besar. Pelarangan ekspor tersebut diharapkan berdampak terhadap peningkatan suplai minyak goreng domestik, sehingga harga jual produk ini bisa ditekan dan akhirnya inflasi bisa diredam. Berdasarkan hasil analisa, setiap penurunan harga minyak goreng mencapai 1%, inflasi diprediksi bisa turun hingga 0,15%. [12]Para pengusaha kelapa sawit juga menyatakan akan mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit dan berharap penurunan saham emiten sektor minyak sawit ini juga tidak akan berlangsung secara lama walaupun akan terjadinya penurunan untuk beberapa waktu kedepan.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
  2. Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein dan Used Cooking Oil;
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Referensi:

Mutu Institute, https://mutuinstitute.com/post/crude-palm-oil/, diakses pada 28 April 2022

Indonesia Investments, https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 April 2022

Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4950557/jokowi-soal-larangan-ekspor-cpo-negara-perlu-devisa-tapi-kebutuhan-rakyat-prioritas, diakses pada 28 April 2022

Bisnis Tempo, https://bisnis.tempo.co/read/1585171/analis-larangan-ekspor-cpo-berdampak-negatif-ke-saham-emiten-kelapa-sawit, diakses pada 28 April 2022

KataData, https://www.katadata.co.id/lavinda/finansial/62664fabb901a/jokowi-larang-ekspor-cpo-harga-saham-perusahaan-sawit-kompak-anjlok, diakses pada 28 April 2022

Investasi Kontan, https://investasi.kontan.co.id/news/ekspor-cpo-dilarang-saham-emiten-sawit-diramal-terdampak-dalam-jangka-pendek, diakses pada 28 April 2022

Investor. ID, https://investor.id/market-and-corporate/291821/saham-cpo-berguguran-dampak-negatif-larangan-ekspor-bersifat-sementara, diakses pada 28 April 2022

CNBC. https://www.cnbcindonesia.com/news/20220428020301-4-335532/review-ekspor-cpo-resmi-dilarang-per-28-april-2022 diakses pada 28 April 2022


[1] Mutu Institute, https://mutuinstitute.com/post/crude-palm-oil/, diakses pada 28 April 2022

[2] Indonesia Investment. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 April 2022

[3] Indonesia Investments, https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 April 2022

[4] Liputan 6, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4950557/jokowi-soal-larangan-ekspor-cpo-negara-perlu-devisa-tapi-kebutuhan-rakyat-prioritas, diakses pada 28 April 2022

[5] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized palm olein dan Used Cooking Oil.

[6] Bisnis Tempo, https://bisnis.tempo.co/read/1585171/analis-larangan-ekspor-cpo-berdampak-negatif-ke-saham-emiten-kelapa-sawit, diakses pada 28 April 2022

[7] Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

[8] KataData, https://www.katadata.co.id/lavinda/finansial/62664fabb901a/jokowi-larang-ekspor-cpo-harga-saham-perusahaan-sawit-kompak-anjlok, diakses pada 28 April 2022

[9] Investasi Kontan, https://investasi.kontan.co.id/news/ekspor-cpo-dilarang-saham-emiten-sawit-diramal-terdampak-dalam-jangka-pendek, diakses pada 28 April 2022

[10] Pasal 1245 KUH Perdata

[11] CNBC. https://www.cnbcindonesia.com/news/20220428020301-4-335532/review-ekspor-cpo-resmi-dilarang-per-28-april-2022 diakses pada 28 April 2022

[12] Investor. ID, https://investor.id/market-and-corporate/291821/saham-cpo-berguguran-dampak-negatif-larangan-ekspor-bersifat-sementara, diakses pada 28 April 2022

0

ANALYZING THE ARRANGEMENT OF A LIMITED LIABILITY COMPANY FROM LAW PERSPECTIVE

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal dan didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Di Indonesia, dasar hukum dari PT sendiri sudah ditetapkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada penjelasan pengertiannya PT sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 1

  1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”[1]

Dalam mendirikan sebuah PT, terdapat ketentuan yang sudah diatur dalam Bab II Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Salah satu penjelasan terkait pendirian PT dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut:

“Pasal 7

Perseroan didirikan oleh (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.”

Kemudian, dalam ketentuan membuat akta di hadapan notaris, akta tersebut diwajibkan untuk memuat keterangan dan anggaran dasar terkait dengan pendirian PT. Keterangan yang tercantum dalam akta pendirian tersebut antara lain:

  1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraannya.
  2. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat.
  3. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.

Terkait dengan anggaran dasar yang tercantum pada Dalam pendirian PT, anggaran dasar yang dimaksud harus memuat sekurang-kurangnya sebagai berikut:

  1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan.
  2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.
  3. Jangka waktu berdirinya Perseroan.
  4. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
  5. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham.
  6. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  7. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS.
  8. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  9. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen

Akan tetapi, ketentuan pemegang saham minimal dua orang atau lebih tidak berlaku lagi bagi perseroan yang sahamnya sudah dibeli oleh negara dan perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lainnya berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yaitu:

“Pasal 7

  • Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku lagi:
  • Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara; atau
  • Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal”

Ketentuan didirikannya PT tidak hanya berdasarkan pendirian akta di hadapan notaris dan ketentuan dalam pemegang saham, tetapi terdapat ketentuan lainnya yang harus diperhatikan diantaranya sebagai berikut:  

  1. Setiap pendiri wajib mengambil bagian sahamnya pada saat perseroan didirikan. Kecuali dalam peleburan.
  2. Perusahaan memperoleh status badan pada saat diterbitkannya keputusan menteri.
  3. Apabila perseroan yang telah berstatus badan hukum memiliki pemegang saham kurang dari 2 orang maka dalam waktu 6 bulan wajib mengeluarkan saham perseroan kepada orang lain. Jika dilanggar maka tanggung jawab perseroan menjadi tanggung jawab pribadi. Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk perusahaan yang sahamnya dimiliki seluruhnya oleh negara dan lembaga lain yang diatur dalam undang-undang pasar modal.

Kemudian, berdasarkan ketentuan struktur modal, struktur modal pada PT terdiri dari tiga yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Terkait dengan modal dasar PT, terdapat perubahan dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan yang paling sedikit sebesar 50.0000.000 (lima puluh juta rupiah). Saat ini, perubahan tersebut tercantum dalam Pasal 109 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan penjelasan bahwa besaran modal dasar PT ditentukan pada keputusan pendiri PT dan pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil menjelaskan bahwa modal dasar Perseroan harus disetor penuh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

Sedangkan, pada modal ditempatkan menjelaskan bahwa modal tersebut merupakan modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya atau saham telah diserahkan untuk pemiliknya. Kewaiban pada penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. Pada modal disetor memberikan penjelasan yaitu modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar oleh pemegang atau pemiliknya.

Selain itu, Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur tentang struktur atau organ-organ yang ada dalam sebuah PT. Struktur tersebut terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan. Penjelasan RUPS tercantum pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yaitu:

“Pasal 1

  •  Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”

Sedangkan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atau pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Berdasarkan tugas dan tanggung jawab direksi, yaitu tercantum dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (2), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101 ayat (1), dan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

“Pasal 92

  • Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”

“Pasal 97

  • Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat.”

“Pasal 98

  • Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

“Pasal 100

  • Direksi wajib membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS; risalah rapat Direksi; membuat laporan tahunan; dan memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan perseroan.”

“Pasal 101

  • Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.”

“Pasal 102

  1. Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan; atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih. Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.”

Pada Dewan Komisaris yang merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum/dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 108 ayat (1), Pasal 114 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 116 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 108

  1. Dewan Komisaris yang melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.”

“Pasal 114

  • Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi
  • Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.”

“Pasal 116

Dewan komisaris wajib:

  1. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
  2. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
  3. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.”

Pada tanggung jawab sosial dan lingkungan, tercantum di dalam Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 74

Perseroan Terbatas yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan hukum yang diantaranya penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan, yang dalam pelaksanaannya, perbuatan tersebut wajib memperhatikan kepentingan-kepentingan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 126, yaitu:

  1. Perseroran, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Menurut Pasal 1 angka 9, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sementara menurut Pasal 1 angka 10, peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Dalam hal penggabungan dan peleburan diatur dalam Pasal 122 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 122

  • Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
  • Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  • Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
  • Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
  • Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.”

Perbuatan hukum yang ketiga, yaitu pengambilalihan, menurut Pasal 1 angka 11, pengambilalihan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Ketentuan pengambilalihan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (1), (2), dan (3) ialah sebagai berikut:

Pasal 125

  • Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham.
  • Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
  • Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.”

Perbuatan hukum yang terakhir yaitu pemisahan, menurut Pasal 1 angka 12, Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara pemisahan murni atau pemisahan tidak murni sebagaimana diatur dalam Pasal 135 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 135

  • Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
  • Pemisahan murni; atau
  • Pemisahan tidak murni.
  • Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
  • Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.”

Dalam hal pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur dalam Pasal 142 sampai Pasal 152. Diatur dalam Pasal 142 ayat (1), bahwa pembubaran perseroan terjadi akibat:[na1] 

  1. berdasarkan keputusan RUPS;
  2. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
  3. berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  6. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak hanya mengatur mengenai syarat pendirian dan ketentuan perseroan melainkan juga berkaitan dengan pembubaran dimana perseroan tidak lagi mampu mengoperasionalkan kegiatan usahanya.

Selain itu, dijelaskan lebih rinci terkait status badan hukum pembubaran perseroan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 143 yang berbunyi:

“Pasal 143

  • Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
  • Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.”

[1] Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.
  2. Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation.
  3. Government Regulation No. 8 of 2021 concerning The Company’s Authorized Capital and Registration of Establishment, and Dissolution of Companies That Meet the Criteria for Micro and Small Businesses.

A Limited Liability Company (PT) is a legal entity that is a capital alliance and is established based on an agreement to conduct business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in accordance with applicable Laws. In Indonesia, the legal basis of pt itself has been specifically stipulated in Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and in the explanation of its understanding PT itself is explained in Article 1 number 1 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

 “Article 1

  1. The Limited Liability Company, hereinafter referred to as the Company, is a legal entity that is a capital alliance, established under the agreement, conducts business activities with authorized capital that is entirely divided into shares and meets the requirements set out in this Law and its implementation regulations”

In establishing a PT, there are provisions that have been regulated in Chapter II of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. One of the explanations related to the establishment of PT is explained in Article 7 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies as follows:

“Article 7

The Company is established by (two) or more persons with notary deed made in Indonesian.”

Then, in the provisions of making a deed before a notary, the deed is required to contain information and articles of associations related to the establishment of PT. The information listed in the deed of establishment includes:

  1. His full name, place and date of birth, occupation, place of residence and nationality.
  2. Members of the Board of Directors and the Board of Commissioners are the first to be appointed.
  3. The name of the shareholder who has taken a share of the shares, details the number of shares, and the face value of the shares that have been placed and paid.

Related to the articles of association listed in the establishment of PT, the articles of association in question must contain at least the following:

  1. Name and place of position of the Company.
  2. The purpose and purpose and business activities of the Company.
  3. The period of establishment of the Company.
  4. The amount of authorized capital, issued capital, and paid-up capital.
  5. Number of shares, classification of shares if there are the following number of shares for each classification, the rights attached to each share, and the face value of each share.
  6. The name of the position and the number of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  7. Determination of venues and procedures for holding GMS.
  8. Procedures for appointment, replacement, dismissal of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners.
  9. Procedures for the use of profits and dividend distribution

However, the provisions of shareholders of at least two or more people no longer apply to companies whose shares have been purchased by the state and companies that manage stock exchanges, clearing and underwriting institutions, depository and settlement institutions, and other institutions under the Investment Law. This provision is stated in Article 7 paragraph (7) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 7

  •  Provisions requiring the Company to be established by 2 (two) or more persons as intended in paragraph (1), and the provisions in paragraph (5), and paragraph (6) no longer apply:
  • The Company whose entire shares are owned by the state; or
  • The Company manages stock exchanges, clearing and underwriting institutions, storage and settlement institutions, and other institutions as stipulated in the Law on Capital Markets”

The provisions of the establishment of PT are not only based on the establishment of deed before the notary and the provisions in shareholders, but there are other provisions that must be considered, including the following:

  1. Each founder is obliged to take a share of his shares at the time the company is established. Except in smelting.
  2. The company obtains entity status at the time of issuance of the ministerial decree.
  3.  If the company that has the status of a legal entity has less than 2 shareholders, within 6 months it is mandatory to issue the company’s shares to others. If violated then the responsibility of the company becomes a personal responsibility. The provision does not apply to companies whose shares are wholly owned by the state and other institutions regulated in capital market law.

Then, based on the provisions of the capital structure, the capital structure in PT consists of three, namely authorized capital, issued capital, and paid-up capital. Related to the authorized capital of PT, there is a change in Article 32 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which explains that the Company’s authorized capital is at least 50,0000,000 (fifty million rupiah). Currently, the change is listed in Article 109 number 3 of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation which provides an explanation that the amount of pt’s authorized capital is determined by the decision of the founder of PT.

Meanwhile, the issued capital explains that the capital is the capital supported by the founder or shareholders to be repaid or the shares have been handed over to the owner. The sacrifice on depositing the issued capital must be full. On the paid-up capital provides an explanation that is the capital that has been entered by shareholders as repayment of the payment of shares that he took as capital issued from the company’s authorized capital. So, paid-up capital is shares that have been paid by the holder or owner.

In addition, the Limited Liability Company Law also regulates the structure or organs in a PT. The structure consists of GMS (General Meeting of Shareholders), Board of Directors, and Board of Commissioners. GMS is an organ that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the specified limits. The explanation of the GMS is contained in Article 1 number 4 of Law No. 40 of 2007, namely:

“Article 1

  • The General Meeting of Shareholders, hereinafter referred to as the GMS is an Organ of the Company that has authority that is not given to the Board of Directors or the Board of Commissioners within the limits specified in this Law and/or the articles of association”

While the Board of Directors is the company’s authorized and fully responsible organ or the management of the Company for the benefit of the Company, in accordance with the company’s intentions and objectives, both inside and outside the court in accordance with the provisions of the articles of association. Based on the duties and responsibilities of the board of directors, namely contained in Article 92 paragraph (1), Article 97 paragraph (2), Article 98 paragraph (1), Article 100 paragraph (1), Article 101 paragraph (1), and Article 102 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 92

  • The Board of Directors carries out the Management of the Company for the benefit of the Company and in accordance with the Company’s purpose and purpose”

“Article 97

  • The Board of Directors is authorized to carry out the management as intended in paragraph (1) in accordance with the policy that is considered appropriate.”

“Article 98

  • The Board of Directors represents the Company both inside and outside the court.”

“Article 100

  • The Board of Directors is obliged to make a list of shareholders, a solemn list, minutes of the GMS; minutes of the Board of Directors meeting; make an annual report; and maintain the company’s entire list, minutes, and financial documents.”

“Article 101

  • Members of the Board of Directors shall report to the Company regarding the shares owned by the members of the Board of Directors concerned and/or their families in the Company and other Companies to be further recorded in the special list.”

“Article 102

  1. The Board of Directors is obliged to request the approval of the GMS to transfer the Company’s wealth; or make a guarantee of the Company’s wealth debt; which is more than 50% (fifty percent) of total net worth. The Company in 1 (one) transaction or more, whether related to each other or not.”

On the Board of Commissioners which is the Company’s Organ in charge of conducting supervision in general / and or specifically in accordance with the articles of association and advise the Board of Directors. Its duties and authorities are regulated in Article 108 paragraph (1), Article 114 paragraph (2) and paragraph (3), and Article 116 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:

“Article 108

  1. The Board of Commissioners who supervises management policy, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.”

“Article 114

  • The Board of Commissioners supervises management policies, the course of management in general, both regarding the Company and the Company’s business, and advises the Board of Directors.
  • Each member of the Board of Commissioners is personally responsible for the Company’s losses if the person concerned is guilty or negligent in carrying out his duties.”

“Article 116

The board of commissioners is obliged to:

  1. Make minutes of meetings of the Board of Commissioners and keep copies of them;
  2. Report to the Company about its and/or family’s shareholdings in the Company and other Companies; and
  3. Provide a report on the supervisory duties that have been carried out during the past financial year to the GMS.”

In terms of social and environmental responsibility, it is stated in Article 74 of the Limited Liability Company Law which explains as follows:

“Article 74

  • The Company having its business activities in the field of and/or related to natural resources, shall be obliged to perform its Social and Environmental Responsibility.
  • Social and Environmental Responsibility as referred to in paragraph (1) shall constitutes the obligation of the Company which is budgeted and calculated as the cost of the Company, implementation of which shall be performed with due observance to the appropriateness and fairness.
  • The Company which fails to perform its obligation as referred to in paragraph (1) shall be imposed with sanction in accordance with the provision of regulation.
  • Provision regarding Social and Environmental Responsibility shall be further regulated with a Government Regulation.”

A Limited Liability Company may take legal actions including merger, consolidation, acquisition, and separation, which in its implementation, such actions must take into account the interests as regulated in Article 126, namely:

  1. The Company, minority shareholders, employees of the Company;
  2. Creditors, other business partners of the Company; and
  3. Community and fair competition in performing business.

According to Article 1 paragraph 9, merger is a legal action taken by one or more Companies in order to merge with another existing Company, which causes the transfer of assets and liabilities of the merging Companies by operation of law, to the surviving Company and thereafter the legal entity status of the merging Company ceases by operation of law.

While according to Article 1 paragraph 10, consolidation is a legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. In the case of merger and consolidation, it is regulated in Article 122 which reads as follows:

“Article 122

  • Merger and Consolidation shall cause the merging or consolidating Company to legally dissolve.
  • The dissolution of the Company as referred to in paragraph (1) may occur without any prior liquidation performed.
  • In the event of the Company dissolution as referred to in paragraph (2),
  • assets and liabilities of the merging or consolidating Company shall be legally transferred to the surviving Company, and the Company resulting from the Consolidation;
  • the shareholders of the merging and consolidating Company shall, by law, be the shareholders of the Company receiving the Merger or the Company resulting from the Consolidating as well; and
  • the Merging or the Consolidating Company shall be legally dissolved as of the effective date of such Merger or Consolidation.”

The third legal action, namely acquisition, according to Article 1 paragraph 11, acquisition is a legal action conducted by a legal entity or an individual to acquire the shares of the Company, resulting in the transfer of control of such Company. Acquisition as regulated in Article 125 paragraphs (1), (2), and (3) are as follows:

“Article 125”

  • The Acquisition shall be conducted by way of acquiring the shares issued or to be issued by the Company from the Board of Directors of the Company or directly from the shareholders.
  • The Acquisition may be conducted by a legal entity or an individual.
  • The Acquisition as referred to in paragraph (1) constitutes.”

The last legal action is separation, according to Article 1 Paragraph 12, Separation is a legal legal action taken by two or more Companies to consolidate themselves by establishing a new Company, which by operation of law obtains the assets and liabilities from the consolidating Companies, and the legal entity status of the consolidating Companies ceases by operation of law. Separation can be carried out by means of pure separation or impure separation as regulated in Article 135 which reads as follows:

“Article 135

  • The separation can be conducted by ways of :
  • Pure Separation; or
  • Non-pure Separation.
  • Pure Separation as referred to in paragraph (1) letter a shall cause all of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 2 (two) other Companies or more which receiving such transfer, and the Company that performs the Separation shall be, by law, dissolved.
  • Non-pure Separation as referred to in paragraph (1) letter b shall cause the part of the Company’s assets and liabilities to be legally transferred to 1 (one) Company or more which receiving the transfer, and the Company performing the Separation shall remain exist.”

Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies not only regulates the terms of establishment and provisions of the company but also matters relating to dissolution where the company is no longer able to operate its business activities. In the terms of dissolution, liquidation, and expiration of the legal entity status of the company, that is regulated in Article 142 to Article 152. It is regulated in Article 142 paragraph (1), that the dissolution of the company occurs as a result of:

  1. Based on the resolution of GMS;
  2. Due to the termination of the Company’s duration as stipulated in the articles of association. c. based on the court order; d. Due to the revoked bankruptcy statement based on binding order of the commercial court, and the bankrupt assets of the Company is not sufficient to pay the bankruptcy cost; e. Due to the condition that the bankrupt assets of the Company has been declared in the condition of insolvency as regulated in the Law regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment; or f. Due to the revocation of the Company’s business permit, so that the Company is obliged to conduct liquidation in accordance with prevailing regulation.

Then, it is explained in more detail regarding the legal entity status of the company’s dissolution as stipulated in Article 143 which reads:

“Article 143

  • The Company’s dissolution shall not cause the Company to lose its status as legal entity until the completion of liquidation and the report of the liquidator is accepted by the GMS or by the court.
  • As of the dissolution, the title “in liquidation” shall be attached on each outgoing letter of the Company.”

1 8 9 10 11
Translate