0

PENYADAPAN DATA OLEH PETINGGI LEMBAGA PEMERINTAH DI LUAR KEWENANGAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri

Tindakan peretasan merupakan salah satu bagian dari cybercrimeatau kejahatan mayantara yang ditimbulkan karena adanya kemajuan teknologi. Peretasan mengacu pada aktivitas ilegal yaitu mengakses perangkat digital. Meskipun dengan hadirnya teknologi membawa keuntungan atau nilai-nilai positif, namun teknologi juga dapat mengakibatkan hal-hal yang dapat merugikan kehidupan bangsa.[1] Tentunya tindakan peretasan menimbulkan banyak kerugian secara materiil maupun non-materiil kepada korbannya. Tidak hanya dilakukan pada situs web, peretasan juga dapat dilakukan pada akun media sosial milik seseorang.[2] Tindakan tersebut tidak hanya dilakukan untuk mencari keuntungan melainkan menemukan titik lemah dari target peretasan. Seperti hal nya yang terjadi di Spanyol, yaitu direktur Pusat Intelijen Negara (CNI) yang memata-matai separatis Catalan dengan melakukan dugaan peretasan telepon terhadap lebih dari 60 aktivis, pengacara, dan aktivis Catalan.[3] Separatisme ini sendiri dipicu karena adanya faktor ekonomi, yaitu permasalahan defisit fiskal Catalan dengan pemerintah pusat.[4] Merujuk pada kasus tersebut, akan dikaji pengaturannya berdasarkan hukum Indonesia.

Di Indonesia, tindakan peretasan atau yang dalam definisi setara merupakan penyadapan “…adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.[5]

Tindakan penyadapan ini dapat dinyatakan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 30

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik miliki Orang lain dengan cara apa pun.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.[6]

Tindak pidana peretasan yang diatur dalam pasal 30 ayat (1), (2),dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung unsur sebagaimana berikut:

  1. Unsur setiap orang

Maksudnya ialah Orang sebagai subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan cakap secara hukum berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

  • Unsur dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum

Maksudnya ialah tindakan yang dilakukan didasari atas niat atau kesengajaan yang penuh dengan kesadaaran diri dari orang yang melakukan tindak peretasan.

  • Unsur mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain

Maksudnya ialah unsur ini memberi gambaran bahwa sistem elektronik milik orang lain itu ialah hal yang bersifat pribadi milik orang lain dan bukan bersifat untuk umum. Sehingga untuk melakukan akses terhadap data tersebut diperlukan izin dari pemilik data tersebut.

  • Unsur dengan cara apapun

Maksudnya ialah orang yang melakukan tindak peretasan melakukan berbagai cara untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik korban.[7]

Kemudian ancaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 46

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).[8]

Apabila yang melakukan tindak penyadapan adalah petinggi dari suatu lembaga resmi, negara, dan/atau  pemerintahan, maka hal itu dapat juga dirujuk kepada kode etik masing-masing dari setiap lembaga. Merujuk pada kasus peretasan yang terjadi di Spanyol baru-baru ini yang dilakukan oleh Pejabat Badan Intelejen Negara, di Indonesia sendiri diterapkan beberapa pengaturan dari kewenangan Badan Intelejen Negara dalam hal melakukan penyadapan yang mana kewenangan tersebut diatur pada Peraturan Perundang-undang, sebagaimana berikut:

“Pasal 31”

Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap Sasaran yang terkait dengan:

a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau

b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan penyadapan sebagaimana wewenangnya yang diatur pada pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, penyadapan tersebut diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan selama untuk dan guna penyelenggaran fungsi intelejen sebagaimana diaatur dalam pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, sebagaimana berikut:

Pasal 32

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundangan- undangan.

(2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:

a. untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;

b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan

c. jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

(3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri.

Namun, dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan penyadapan di luar fungsi penyelenggaran Intelejen sebagaimana dimaksud pada pasal 31 dan pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara,  personel yang melanggar dengan melakukan penyadapan diluar fungsi dan wewenanyanya sebagaimana diatur pada pasal 31 jo. pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara dimaksud dapat dikenakan sangsi pidana sebagai dituangkan pada pasal 47 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara sebagaimana berikut:

“Pasal 47

Setiap Personel Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”

Berdasakan hal sebagaimana pengaturan di atas, selain sanksi atas penyalahgunaan kewenangan tugas dan fungsi dari seorang pejabat negara , sanksi daripada penyadapan atau peretasan juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dasar Hukum

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Referensi

Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada

I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020

Ineu Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017

Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat


[1] Ineu Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017

[2] Ibid.

[3] Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat

[4] Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada, hal. vi

[5] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

[6] Pasal 30 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[7] I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020, hal. 337

[8] Pasal 46 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0

KEBIJAKAN INVESTASI DAN ASET BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Robby Malaheksa

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang di bentuk dengan Undan-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai sejak 1 Januari 2014.[1] Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program-program berupa: jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian[2].

Dalam melaksanakan program-program yang telah di tentukan berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang berbunyi:

Pasal 10

  1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta
  2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja
  3. Menerima bantuan iuran dari pemerintah
  4. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta
  5. Mengumpulkan data dan mengelola peserta program jaminan sosial
  6. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial
  7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat.[3]

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan program-program, BPJS juga di berikan kewenangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbunyi:

“Pasal 20

  1. menagih pembayaran iuran;
  2. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
  3. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
  4. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
  5. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
  6. mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya
  7. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  8. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan sosial.[4]

Selain memiliki wewenang dalam menjalakan program-program jaminan sosial, BPJS juga berhak mengelola aset yang mana tercantum dalam pasal 40 dan pasal 41 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbunyi :

Pasal 40

  • BPJS mengelola :
  • aset BPJS; dan
  • aset Dana Jaminan Sosial
  • BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial;
  • Aset dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS;
  • BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jamainan Sosial pada bank custodian yang merupakan badan usaha milik Negara.

“Pasal 41

  • Aset BPJS bersumber dari :
  • modal awal dari pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
  • hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
  • hasil pengembangan aset BPJS;
  • dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
  • sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Aset BPJS dapat digunakan untuk :
  • biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial;
  • biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial;
  • biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan
  • investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Terdapat peraturan pemerintah yang menegaskan bahwa BPJS juga berwenang dalam pengembangaan aset yang dilakukan dalam bentuk investasi sebagaimana dijamin dalam pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelola Aset Jaminan Sosial Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 23

(2)Instrumen investasi dalam negeri sebagaimana
                                                                          dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Deposito berjangka termasuk deposi on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat di perdagangkan/non negotiable certificate deposit pada bank (paling tinggi 15 % dari jumlah investasi untuk setiap Bank);

a1. Giro;

  • Surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;
  • Surat berharga yang diterbitkan oleh oleh Bank Indonesia;
  • Surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek Indonesia;
  • Saham yang tercatat dalam Bursa Efek Indonesia;
  • Reksadana;
  • Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolekti efek beragun aset;
  • Dana Investasi real estate;
  • Tanah, Bangunan, atau tanah dengan bangunan (seluruhnya paling tinggi 5% dari jumlah investasi).[5]

Pelaksanaan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan meliputi 6 (enam) bagian yaitu: sumber aset, liabilitas, penggunaan, pengembangan, kesehatan keuangan, dan pertanggungjawaban.[6], sedangkan untuk penggunaan aset BPJS terdiri dari 2 (dua) yaitu: Penggunaan Aset BPJS Kesehatan dan Penggunaan aset dana jaminan sosial kesehatan[7].

Keuangan BPJS dibagi dua yang harus dipisahkan, yaitu aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial (DJS). Dalam hal terjadi kesulitan likuiditas, BPJS Kesehatan dapat memberikan dana talangan kepada aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan, dengan ketentuan paling banyak 35% (tiga puluh lima persen) dari aset BPJS Kesehatan yang tercatat dalam laporan keuangan bulan sebelumnya.[8]

Melihat Laporan keuangan tahun 2021, BPJS menyatakan total aset Dana Jaminan Sosial (DJS) yang di kelola meningkat 26 % menjadi Rp 551, 78 triliun. Hal itu juga terjadi pada jumlah klaim DJS yang meningkat 17 persen. Namun DJS tetap tumbuh karena di topang oleh Dana Investasi Aset DJS yang naik 14 persen serta hasil investasi yang turut membukukan kenaikan 10 persen di bandingkan tahun 2020.[9]

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas wewenang yang di berikan, BPJS wajib menyampaikan atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Semua laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.[10]

Pengawasan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan dilakukan melalui pengawasan internal dan eksternal.[11] Pengawasan Internal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan dilakukan oleh Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan Satuan Pengawas Internal. Sedangkan Pengawasan Eksternal dilakukan Dewan Jaminan sosial Nasional (DJSN), serta Lembaga Independen, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengawasan Eksternal oleh DJSN, dilakukan terhadap kinerja BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan Kesehatan, sedangkan pengawasan Eksternal oleh OJK dan BPK dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS
  2. PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan
  3. PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

REFRENSI

  1. Peta Jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, disusun oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012.
  2. Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam SJSN
  3. Total Aset Dana Jaminan Sosial BPJamsostek Rp551,78 T di 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220428144621-78-791013/total-aset-dana-jaminan-sosial-bpjamsostek-rp55178-t-di-2021.

[1] Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam SJSN, Latar Belakang , Hlm. 10

[2] Pasal 6 UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[3] Pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[4] Pasal 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[5] Pasal 23 PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[6] Pasal 10 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[7] Pasal 19 – 21 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[8] Psal 39 ayat (3) PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[9] Total Aset Dana Jaminan Sosial BPJamsostek Rp551,78 T di 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220428144621-78-791013/total-aset-dana-jaminan-sosial-bpjamsostek-rp55178-t-di-2021.

[10] Pasal 37 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[11] Pasal 44 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[12] Peta Jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, disusun oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012.

0

INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS: PROTECTION AND COMMERCIALIZATION OF BUSINESS

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

REFERENSI:

  1. Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
  3. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
  4. Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual , (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Waralaba, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Komersialisasi HKI melalui Lisensi.

Kekayaan Intelektual adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR) dan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai Intellectual Eigendom.[1] Kekayaan Intelektual (KI) atau yang sering disebut “Intellectual Property” adalah Hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan-penemuan penting di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda yang tidak berwujud (Benda Immateriil) benda dalam hukum perdata dapat di klasifikasikan kedalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu ialah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat di lihat batasan benda yang terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi[2] :

“Pasal 499 KUHPerdata

Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.[3]

Rumusan lain dari pasal tersebut dapat diturunkan kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang di maksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503 KUHPerdata yaitu[4]:

“Pasal 503 KUHPerdata

Ada barang yang bertubuh (berwujud) dan ada barang yang tak bertubuh (tidak berwujud).[5]

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan kekayaan intelektual adalah terpisahnya antara haknya sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Suatu contoh dapat di kemukakan misalnya hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa kekayaan intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang di lindungi dalam kerangka kekayaan intelktual adalah Haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh Hukum Benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).[6]

Penggolongan Kekayaan Intelektual dapat digolongkan dalam dua lingkup[7]:

  1. Hak Cipta (Copy Rights)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).

Adapun dalam lingkup Hak Kekayaan Idnustri mencakup :

  1. Merek Dagang
  2. Paten
  3. Rahasia Dagang
  4. Desain Industri
  5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  6. Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap Pencipta. Dalam perkembangannya kemudian menjadi pranata hukum yang di kenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19. Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).[8]

TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs adalah tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO. Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs.[9]

Pengaturan Paten terhadap Material Biologis:

                Di Australia, gen manusia dan proses biologis dilarang untuk dijadikan objek paten. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Paten tersebut menyatakan bahwa

bahan biologis termasuk komponen dan turunannya, baik diisolasi atau dimurnikan atau tidak dan bagaimanapun dibuat, yang identic atau secara substansial indentik dengan bahan seperti yang ada di alam”

bukan merupakan bentuk penemuan yang dapat dipatenkan. Kemudian di ayat (3) disebutkan bahwa

tanaman dan hewan, dan proses biologis untuk menghasilkan tumbuhan dan hewan juga dikecualikan untuk dilindungi paten”.

Namun menurut Pasal 18 ayat (4) pengecualian tidak berlaku jika invensi tersebut merupakan proses mikrobiologis atau produk dari proses tersebut. Selanjutnya, di Pasal 18 ayat (5) mendefinisikan “material biologis” adalah DNA, RNA, protein, cell, cairan, namun tidak mendeskripsikan kata “komponen dan turunannya” dan “identik substansial”.[10] Sementara di Indonesia sendiri pengaturan terkait paten terhadap mikrobiologi dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disebutkan,

invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi: (d) makhluk hidup, kecuali jasad renik; (e) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis”

                Lain halnya di Malaysia, paten dapat diberikan terhadap invensi baru, memiliki langkah inventif, dapat diterapkan di industri, dan inovasi tersebut dalam bentuk produk dan proses. Sementara di Pasal 13 ayat 1(b) Undang-Undang Paten 1983 menyatakan bahwa mikroorganisme buatan manusia, proses mikrobiologis, dan produk dari proses tersebut dapat dipatenkan. Tidak ada pengaturan untuk pengecualian, namun pada pasal 3 ayat 1(a), suatu “discovery” tidak dapat dipatenkan.[11]

Terdapat Empat Teori yang menjadi landasan atas perlindungan HaKI, antara lain :

  1. Teori Hak Alami

Teori Hak Alami bersumber dari Teori hukum Alam. Penganut Teori hukum alam antara lain lain Thomas Aquinas, Jhon Locke, Hugo Grotius. Menurut Jhon Locke menyatakan bahwa: “secara alami manusia adalah agenda moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan”.[12]

  • Teori Karya

Teori karya merupakan kelanjutan dar teori hak alami. Jika pada teori hak alami titik tekannya pada kebebasan manusia bertindak dan melakukan sesuatu, pada teori karya titik tekannya pada aspek proses menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang dihasilkan. Semua orang memiliki otak, namun tidak semua orang mampu mendayagunakan fungsi otaknya (intellectual) untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Teori Motivasi yang di kemukakan oleh David Mc Clelland menyatakan bahwa :“seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi”.[13]

  • Teori Pertukaran Sosial

Penganut Teori ini antara lain George C. Hotman dan Peter Blau. Teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomi yang elementer. Orang yang menyediakan barang dan jasa tentu akan mengharapkan balasan berupa barang atau jasa yang di inginkannya. Hal yang penting dicatat, tidak semua transaksi sosial dapat di ukur secara nyata misalnya dengan uang, barang atau jasa, adakalanya justru yang lebih berharga adalah hal yang tidak nyata, seperti penghormatan dan persahabatan.[14]

  • Teori Fungsional

Penganut teori ini antara lain Talcot Parsons dan Robert K. Merton. Kajian Teori fungsional atau fungsionalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa seluruh struktur sosial atau yang diprioritaskan mengarah kepada suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang sudah ada di jelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang penting dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Para fungsionalis berusaha menunjukkan suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang vital untuk menjelaskan eksistensi pola tersebut, obyek kajiannya adalah masyarakat.[15]


[1] Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956, hlm. 87.

[2] H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hal. 34

[3] Pasal 499 KUHPerdata

[4] Ibid., 35

[5] Pasal 503 KUHPerdata

[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, hal 134.

[7] Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004), hal. 11-12.

[8] Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 7.

[9] Ibid., hlm. 25

[10] Sharifa Sayma Rahman, Patens and Genetic Engineering Technologies : A Review of Judicial Decisions, IIUM Law Journal, no.29(2), 2021, hal 150-151

[11] Ibid, hal 152

[12] Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 49

[13] Ibid., hlm. 50

[14] Ibid.,

[15] Ibid., hlm. 51

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 28 of 2014 of Copyrights
  2. Civil Code

REFERENCE :

  1. Sophar Maru Hutagalung, Copyright Position and Its Role in Development, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspects of Intellectual Property Rights Law
  3. Munir Fuady, Introduction to Business Law
  4. Pipin Syarifin, Intellectual Property Rights Regulations in Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Protection of Intellectual Property Rights in ASEAN Countries, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Getting to know Intellectual Property Rights, Copyrights, Patents, Brands and their ins and outs, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Commercialization of Intellectual Assets, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Indonesian Intellectual Property Rights Law, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Franchise, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Commercialization of intellectual property rights through licensing.

Intellectual Property Rights is the official translation of Intellectual Property Rights (IPR) and in Dutch is referred to as Intellectual Eigendom. Property Rights (PR) or often called “Intellectual Property” is a right related to wealth arising or born because of human intellectual abilities in the form of important discoveries in the fields of technology, science, art, and literature. Intellectual Property Rights are part of intangible objects (Immaterial Objects) objects in civil law can be classified into various categories, one of which is the grouping of objects into the classification of tangible objects and intangible objects. For this, you can see the limits of objects contained in article 499 of the Civil Code which reads :

“Article 499 of the Civil Code

According to the Law, goods are every object and every right that can be the object of property rights

Another formulation of the article can be derived from sentences, namely: what can be the object of property rights is an object and the object consists of goods and rights. The goods referred to by Article 499 of the Civil Code are material objects (stoffelijk voorwerp), while rights are immaterial objects. This description is in line with the classification of objects based on Article 503 of the Civil Code, namely :

“Article 503 of the Civil Code

Some items are bodied (tangible) and there are goods that are not diligent (intangible).

A further consequence of the limitation of intellectual property rights is the separation between that intellectual property rights and the material results that become their incarnation. An example can be put forward as copyright in the field of cinematographic work (in the form of intellectual property rights) and material results that become the form of film. So what is protected within the framework of intellectual property rights is the Right is not the incarnation of the right. The incarnation of this right is protected by the Law of Objects in the category of material objects (tangible objects).

Classification of Intellectual Property Rights can be classified in two scopes:

  1. Copyright (Copy Rights)

Based on Article 1 paragraph (1) of Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. That Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after work is realized in real form without prejudice to restrictions following the provisions of laws and regulations.

  • Industrial Property Rights.

The scope of Industri’s Wealth Rights includes:

  1. Trademark
  2. Patents
  3. Trade Secrets
  4. Industrial Design
  5. Integrated Circuit Layout Design (Layout Design Topographics of Integration Circuits)
  6. Plant Variety Protection

The legal protection of IPR is in principle a reflection of the Creator. In its development later became a legal institution known as Intellectual Property Rights (IPR). The attention of the state to establish cooperation on the issue of IPR has been in place since the late 19th century. These agreements quantitatively largely govern the protection of Industrial Property Rights and others govern copyright. The organization that handles this is WIPO (World Intellectual Property Organization).

TRIPs are only a part of the entire WTO-regulated trading system, and Indonesia’s membership of the WTO implies that Indonesia is automatically linked to TRIPs it is impossible to simply become a participant of TRIPs without being a member of the WTO. The rights and obligations of TRIPs only arise when a country is a member of the WTO. On the contrary, it is impossible to become a member of the WTO without being a participant in TRIPs.

Patent Regulations Regarding Biological Materials :

In Australia, the Australian Patent Act 1990 expressly prohibits human genes and biological processes from standard patents. Section 18(2) of the  Patents  Act  1990 states 

“biological  materials  including  their components  and  derivatives,  whether  isolated  or  purified  or  not  and however  made,  which  are identical  or  substantially  identical  to  such materials as they exist in nature

are not patentable inventions. Furthermore, under section 18(3)

plants and animals, and the biological processes for the generation  of  plants  and  animals  are  also  excluded  from  innovation patents”

However, according to section 18(4) exclusion does not apply if the invention is a microbiological process or the product of such a process.  Additionally,  section  18(5)  defines  the  term  ‘biological materials’ to include ‘DNA, RNA, proteins, cells, and fluids,’ but it does not  describe  the  words  “components  and  their  derivatives”  and “substantially identical.” Meanwhile in Indonesia Article 9 of Patent Act stated that,

Inventions which cannot be granted Patent include: (d) all living organisms, except microorganism; (e) any biological process which is essential to produce plant or animal, except non-biological process or microbiological process”

In Malaysia, based on section 13 (1) (b) of the Patent Act 1983 simply  states  that  man-made  living  microorganisms,  microbiological processes,  and the  product of such  processes are  patentable.  There is no clear mention of the exclusion of nature’s handiwork, nevertheless in section 3 (l) (a) of the Act, ‘discoveries’ is a bar to patentability.

Four theories are the basis for the protection of IPR, including:

  1. Natural Right Theory

The Theory of Natural Rights comes from the theory of natural law. Adherents of natural law theory include Thomas Aquinas, Jhon Locke, and Hugo Grotius. According to Jhon Locke stated that: “naturally man is a moral agenda. Man is a mental substance and a right, the human body itself is the wealth of the human being concerned.”

  • Labor Theory

The theory of work is a continuation of the theory of natural rights. If in the theory of natural rights the point of pressure on the freedom of man to act and do something, in the theory of work his press point on the aspect of the process produces something and something is produced. Everyone has a brain, but not everyone can use their brain (intellectual) function to produce something. According to The Theory of Motivation, put forward by David Mc Clelland stated that “a person produces something because he has the motivation to achieve”. 

  • Social Exchange Theory

Proponents of this theory include George C. Hotman and Peter Blau. The theory of social exchange is based on the principle of elementary economic transactions. People who provide goods and services will certainly expect a reply in the form of goods or services that they want. The important thing is to note, that not all social transactions can be measured in real terms for example with money, goods, or services, sometimes even more valuable things are not real, such as respect and friendship.

  • Functional Theory

Adherents of this theory include Talcott Parsons and Robert K. Merton. The functional theory of functionalism departs from the basic assumption that the entire social structure or prioritized leads to integration and adaptation of the prevailing system. The existence or continuity of existing structures or patterns is explained through consequences or effects that are important and useful in overcoming various problems that arise and develop in people’s lives. Functionalists try to show that an existing pattern has met the needs of a vital system to explain the existence of the pattern, the object of study in society.

0

INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH BERBASIS ONE VILLAGE ONE PRODUCT: PERKEMBANGAN DAN ATURAN HUKUMNYA

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

One Village One Product (OVOP) merupakan salah satu gerakan terintegrasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dan kekayaan komoditas lokal atau daerahnya. Adapun beberapa negara telah menerapkan konsep OVOP, seperti Thailand yang menggunakan terminologi OTOP (One Tambon One Product), di Taiwan menggunakan istilah One Town One Product, sementara di Kamboja dan Jepang mengenal istilah One Village One Product. [1]Melalui konsep OVOP ini akan membantu mengeksplorasi dan mempromosikan produk unggulan daerah yang memiliki potensi pemasaran lokal dan global. Jika komoditas unggulan daerah yang bersangkutan mendapat dukungan oleh pemerintah tentunya meningkatkan daya saing untuk berkembang.[2]        

Kemudian konsep ini diadopsi ke Indonesia pada tahun 2007 sebagaimana diamanatkan pada Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Saat ini pengaturan terbaru yang berkenaan dengan konsep OVOP adalah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 14 tahun 2021 tentang Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Sentra IKM One Village One Product.[3] Tujuan adanya pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) melalui OVOP adalah untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai potensi ekonomi dari kekayaan daerah yang dimiliki, mengembangkan motivasi, kreativitas dan inovasi masyarakat lokal untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi yang bercirikan kearifan lokal, dan meningkatkan kemandirian masyarakat lokal dalam membangun ekonomi daerah sehingga mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat.[4]

Adapun strategi yang dilakukan untuk pengembangan IKM melalui OVOPdilakukan dengan berkolaborasi antara pemangku kepentingan, mengutamakan perbaikan mutu dan penampilan produk, melakukan pembinaan secara berkesinambungan, dan meningkatkan promosi dan pemasaran pada tingkat domestik baik regional maupun nasional serta tingkat global.[5]Persyaratan IKM yang dapat dikembangkan melalui OVOP adalah menghasilkan produk yang memenuhi kriteria komoditi IKM OVOP, merupakan penghela di Sentra IKM yang memberikan dampak yang besar terhadap ekonomi daerah, memiliki aspek legalitas di bidang industri, dan diusulkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota.[6]

Kriteria yang dapat dijadikan komoditi IKM OVOP harus merupakan unggulan daerah yang memiliki keunikan baik motif, desain produk, teknik pembuatan, keterampilan dan/bahan baku, yang berbasis pada kearifan lokal, memiliki pasar domestik di tingkat regional, nasional serta global, dan memiliki kualitas dan diproduksi berkesinambungan.[7] Jenis komoditinya sendiri dapat berupa makanan dan minuman, kain tenun, kain batik, anyaman, gerabah, dan komoditi IKM OVOP lain yang ditetapkan oleh Menteri.[8] Terkhusus komoditi makanan dan minuman harus memiliki izin edar produk pangan dan sertifikat halal.[9]

Klasifikasi Industri Kecil Menengah

Kegiatan usaha industri diklasifikasikan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasinya sebagaimana dimuat dalam Permenperin Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi untuk Klasifikasi Usaha Industri[10] :

  1. Industri Kecil

Industri yang mempekerjakan paling banyak 19 orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi kurang dari 1milliar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

  • Industri Menengah

Industri yang mempekerjakan paling banyak 19 orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi paling sedikit 1milliar rupiah; atau mempekerjakan paling sedikit 20 orang tenaga kerja dengan nilai investasi paling banyak 15 milliar rupiah.

  • Industri Besar

Industri yang mempekerjakan paling sedikit 20 orang tenaga kerja dan memiliki investasi lebih dari 15 milliar rupiah.

Adapun perbedaan antara IKM dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dari sisi kegiatan operasionalnya adalah UKM bersifat umum meliputi distribusi, produksi, konsumsi, atau berfokus pada industri dagang dan jasa. Sementara, IKM berfokus pada bidang produksi dan sektor industri. Lebih lanjut dari sisi legalitasnya terkait perizinan usaha, UKM mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk kartu Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK) serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-Dag/Per/9/2009 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Di sisi lain, perizinan IKM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 107 tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri.[11]

Kesimpulan

Pengembangan IKM berbasis One Village One Product adalah upaya bersama baik dari pihak UMKM, pemerintah, masyarakat dan seluruh stakeholder dalam rangka meningkatkan added value serta kemandirian pelaku usaha lokal yang mendasarkan pada potensi khas daerah yang dimiliki. Indonesia sudah menerapkan program OVOP sejak tahun 2007 berdasarkan Peraturan Kementerian Perindustrian Nomor 78/M-IND/9/2007. Penerapan program ini bukan hanya semata dalam rangka kepentingan ekonomi tetapi juga mampu mendorong meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Jika dibandingkan dengan UKM, IKM sendiri memiliki perbedaan yang signifikan baik dari sisi kegiatan operasionalnya dan juga regulasi yang mengaturnya.

Dasar Hukum

  • Peraturan Pemerintah Nomor 107 tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri;
  • Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk kartu Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK);
  • Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-Dag/Per/9/2009 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan;
  • Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 tahun 2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah melalui Pendekatan Satu Desa Satu Produk (One Village One Product) di Sentra;
  • Peraturan Menteri Perindustrian 14 tahun 2021 tentang Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Sentra IKM One Village One Product.

Referensi

Biztech, Sering Dengar Istilah IKM dan UKM?, retrieved from https://biztech.proxsisgroup.com/istilah-ikm-dan-ukm/#:~:text=UMKM%20lebih%20bersifat%20umum%20pada,bidang%20produksi%20atau%20sektor%20industri.

Disperindag, Pengembangan Industri Kecil dan Industri Menengah di Sentra IKM Melalui One Village One Product (OVOP), retrieved from https://disperindag.sumbarprov.go.id/details/news/9190

Harmony, Mengenal IKM dan Perbedaannya dengan UKM, retrieved from https://www.harmony.co.id/blog/mengenal-ikm-dan-perbedaannya-dengan-ukm

Miagina, A., dkk. Sustainable Development Through the One Village Product Approach for Local Commodities, IOP Conference Series : Earth and Environmental Science, 2021, doi:10.1088/1755-1315/755/1/012071


[1] Aveanty Miagina, dkk. Sustainable Development Through the One Village Product Approach for Local Commodities, IOP Conference Series : Earth and Environmental Science, 2021, doi:10.1088/1755-1315/755/1/012071, hal. 1

[2] Ibid, hal.2

[3] Disperindag, Pengembangan Industri Kecil dan Industri Menengah di Sentra IKM Melalui One Village One Product (OVOP), retrieved from https://disperindag.sumbarprov.go.id/details/news/9190

[4] Pasal 3 Permenperin 14 tahun 2021

[5] Pasal 4 Permenperin 14 tahun 2021

[6] Pasal 10  ayat (1) Permenperin 14 tahun 2021

[7] Pasal 10 ayat (2) Permenperin 14 tahun 2021

[8] Pasal 10 ayat (3) Permenperin 14 tahun 2021

[9] Pasal 10 ayat (4) Permenperin 14 tahun 2021

[10]Biztech, Sering Dengar Istilah IKM dan UKM?, retrieved from https://biztech.proxsisgroup.com/istilah-ikm-dan-ukm/#:~:text=UMKM%20lebih%20bersifat%20umum%20pada,bidang%20produksi%20atau%20sektor%20industri.

[11] Harmony, Mengenal IKM dan Perbedaannya dengan UKM, retrieved from https://www.harmony.co.id/blog/mengenal-ikm-dan-perbedaannya-dengan-ukm

0

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT PEMESANAN KENDARAAN (SPK) DAN KWITANSI

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri

Suatu negara tidak lepas akan adanya suatu isu permasalahan hukum. Permasalahan yang sering terjadi di Indonesia salah satunya ialah pemalsuan. Pemalsuan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menggunakan cara yang melawan hukum. Salah satu contohnya adalah kasus penipuan yang dilakukan oleh Sales dealer atas pembelian mobil oleh konsumen. Penipuan dilakukan oleh sales resmi yang melakukan rangkaian kebohongan terhadap korban. Setelah korban memutuskan untuk membeli barang tersebut, Ia diminta untuk mengirimkan sejumlah uang yang kemudian diterima kepada Ia Surat Pemesanan Kendaraan. Kemudian korban dimintai uang dengan diiming-imingi pesanannya cepat dikirim ke rumah. Lalu, sales mengirimkan kwitansi DP kepada korban. Padahal uang tersebut dikirim ke rekening pribadi sales dan bukti-bukti surat berupa Surat Pemesanan Kendaraa bukti kwitansi beserta cap adalah palsu.[1] Akibatnya, konsumen mengalami kerugian materil sebesar Rp. 37.000.000 (tiga puluh tujuh juta rupiah).[2] Atas kasus ini, perlu kita ketahui bagaimana pengaturan hukum pelaku tindak pidana pemalsuan surat serta implikasinya terhadap korban yang menggunakan surat palsu.

SPK merupakan suatu surat yang menjadi bukti pelunasan booking fee yang juga menjadi tanda dimulainya pembayaran sejumlah tagihan atas pembelian suatu kendaraan, sementara kwitansi merupakan salah satu bentuk surat yang umum digunakan sebagai tanda bukti transaksi penerimaan sejumlah uang yang dilengkapi dengan rincian lain seperti tujuan transaksi, jumlah transaksi, serta tempat dan tanggal terjadinya transaksi.[3] Surat Pemesanan Kendaraan dan Kwitansi merupakan akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat di hadapan pejabat hukum atau notaris. Surat yang berisi suatu perikatan akan melahirkan suatu hal. Sama halnya dengan kwitansi dan Surat Pemesanan Kendaraan yang berisikan penyerahan sejumlah uang dalam hal dan dalam hubungannya terkait jual-beli. Dalam kasus ini, surat-surat tersebut berkaitan dengan jual-beli, maka melahirkan hak penjual untuk menerima uang pembayaran, dan melahirkan hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya. [4]

Sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang tindak pemalsuan surat:

Pasal 263 ayat (1)

Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”[5]

Bahwa unsur-unsur pasal di atas meliputi:[6]

  1. Barang siapa, orang atau badan hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakannya;
  2. Suatu surat tersebut dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan;
  3. Memalsukan surat yaitu mengubah dengan sedemikian mungkin sama seperti yang asli;
  4. Surat yang dapat menimbulkan suatu hak, periikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal;
  5. Perbuatan pemalsuan surat tersebut menimbulkan kerugian.

Pemalsuan surat juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan. Perbuatan memalsukan surat masuk ke dalam golongan tindak pidana penipuan apabila seseorang memberikan gambaran mengenai suatu keadaan atas suatu barang seakan-akan itu asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran tersebut, orang lain menjadi terperdaya dan mempercayai bahwa barang tersebut adalah benar atau asli.[7] Dalam kasus ini, dealar resmi ini berpakaian lengkap dengan seragamnya dan id card, selain itu juga transaksi tersebut dilakukan di dealer resmi yang diketahui bahwa atribut tersebut adalah palsu. Alat penggerak penipuan ini ialah tipu muslihat yang digunakan untuk menghilangkan rasa ragu dan tidak terpikirkan oleh korban bahwa Surat Pemesanan Kendaraan dan Kwitansi yang diberikannya tersebut adalah palsu Perbuatan tersebut dilakukan yang maksud dan tujuan pemalsuan suratnya tersebut untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 378

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[8]

Sebab apabila dikaji unsur-unsur tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dapat dilihat bahwa dalam kasus ini memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Unsur Objektif:
  2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;
  3. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu/keadaan palsu, tipu mulihat dan rangkaian kebohongan);
  4. Menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau menghapus utang.
  5. Unsur Subjektif
  6. Dengan maksud (met het oogmerk);
  7. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
  8. Dengan melawan hukum.[9]

Berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku tindak pidana penipuan dapat dikenakan hukuman dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Bagaimana hukumnya kepada orang yang menggunakan atau diserahkan kepada mereka ialah surat palsu? Sebab diatur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa:

“Pasal 263 ayat (2)

Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.”[10]

Berdasarkan pasal di atas, meskipun seseorang tidak memalsukan dan hanya menggunakan dengan sepengetahuan, kesengajaan, dan kehendaknya, maka bagi pelaku tersebut diancam dengan pidana yang sama dengan orang yang memalsukan surat tersebut yaitu dengan pidana penjara paling lama enam tahun.[11]

Sehingga, yang dihukum tidak hanya yang melakukan pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ayat (1), tetapi juga yang dengan sengaja menggunakan surat palsu sebagaimana diatur dalam ayat (2). Sengaja artinya bahwa orang tersebut harus benar-benar mengetahui bahwa surat yang digunakannya itu palsu. Apabila tidak, maka tidak dapat dihukum. Sebab dianggap menggunakan ialah apabila menyerahkan surat tersebut kepada orang lain yang harus mempergunakkan lebih lanjut atau menyerahkannya di tempat dimana surat tersebut dibutuhkan. Kemudian, penggunaan surat palsu pun harus dibuktikan bahwa orang tersebut bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, yang atas hal tersebut mendatangkan kerugian.[12]

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi

Bustomi, M. I., Sales Diler Honda MT Haryono Gunakan Ulang Hasil Tipu Konsumen buat Buka Bengkel di Jakut, retrieved from https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/26/16264661/sales-diler-honda-mt-haryono-gunakan-uang-hasil-tipu-konsumen-buat-buka

Ferdian, dan Harun Rasyid, Konsumen Ketipu Sales Abal-abal di Dealer Resmi, SPK Brio Palsu, Ratusan Juta Lenyap, retrieved from https://otomotifnet.gridoto.com/amp/read/233178070/konsumen-ketipu-sales-abal-abal-di-dealer-resmi-spk-brio-palsu-ratusam-juta-lenyap?page=2

Hasanudin, Konsultasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, retrieved from https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=2534

Eko Adi Susanto, Gunarto, dan Maryanto, Pertanggungjawaban Pidana yang Memakai Surat Palsu ditinjau dari Pasal 263 ayat (2) KUHP, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018

Dudung Mulyadi, Unsur-Unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP dikaitkan dengan Jual Beli Tanah, Jurnal Online Universitas Galuh, Vol. 5, No. 2, 2017

Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung: Alumni, 1980

Wayan Sentosa, Interpretasi Kerugian dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Udayana Master Law Journal, Vol. 5, No. 1


[1] Ferdian, dan Harun Rasyid, Konsumen Ketipu Sales Abal-abal di Dealer Resmi, SPK Brio Palsu, Ratusan Juta Lenyap, retrieved from https://otomotifnet.gridoto.com/amp/read/233178070/konsumen-ketipu-sales-abal-abal-di-dealer-resmi-spk-brio-palsu-ratusam-juta-lenyap?page=2

[2] Muhammad Isa Bustomi, Sales Diler Honda MT Haryono Gunakan Ulang Hasil Tipu Konsumen buat Buka Bengkel di Jakut, retrieved from https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/26/16264661/sales-diler-honda-mt-haryono-gunakan-uang-hasil-tipu-konsumen-buat-buka

[3] Hasanudin, Konsultasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, retrieved from https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=2534

[4] Eko Adi Susanto, Gunarto, dan Maryanto, Pertanggungjawaban Pidana yang Memakai Surat Palsu ditinjau dari Pasal 263 ayat (2) KUHP, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018, p. 6

[5] Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[6] Wayan Sentosa, Interpretasi Kerugian dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Udayana Master Law Journal, Vol. 5, No. 1, p. 5

[7] Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung: Alumni, 1980, p. 23

[8] Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[9] Dudung Mulyadi, Unsur-Unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP dikaitkan dengan Jual Beli Tanah, Jurnal Online Universitas Galuh, Vol. 5, No. 2, 2017, p. 214

[10] Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[11] Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[12] Eko Adi Susanto, Gunarto, dan Maryanto, Op. Cit., p. 9

1 7 8 9 10 11
Translate