0

Kebijakan Moneter Bank Indonesia terkait Peningkatan Suku Bunga

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

Kebijakan moneter adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang aktivitas ekonomi melalui berbagai hal yang berkaitan dengan penetapan jumlah peredaran uang di masyarakat. Kebijakan moneter mulai dinormalisasikan oleh Bank Indonesia sebagai upaya antisipasi menekan inflasi di tengah kenaikan harga. Salah satu Bank swasta menyebutkan langkah Bank Indonesia yaitu menetapkan kenaikan bertahap rasio Giro Wajib Minimum untuk mulai memperketat likuiditas. Selain itu, inflasi dipengaruhi oleh meningkatnya Input Cost dan harga-harga komoditas secara eksternal. Bank Indonesia sudah menunjukkan indikasi untuk melakukan normalisasi kebijakan moneter. Sejak bulan Maret sampai September, Bank Indonesia sudah mulai menaikkan Giro Wajib Minimum secara perlahan. Selain itu, Bank Indonesia juga berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator, Kementerian Keuangan, dan melakukan pemantauan harga di pasar yang diikuti dengan langkah antisipasi.[1]

Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan dana atau simpanan minimum yang wajib dijaga oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di Bank Indonesia. Penetapan besarnya GWM ditentukan oleh Bank Indonesia berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan. GWM merupakan instrumen moneter atau makroprudensial sebagai pengatur uang yang beredar di masyarakat yang memberikan pengaruh secara langsung terhadap indeks inflasi. Kebijakan GWM dibuat sebagai tujuan mempengaruhi likuiditas agar dapat mempengaruhi suku bunga maupun kapasitas penyaluran kredit bank.[2]

Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan inflasi yang rendah dan stabil ialah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi agar mengacu kepada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mewujudkan upaya tersebut telah ditetapkan melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Setelah adanya Undang-Undang tersebut, sebagai upaya meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia, maka sasaran inflasi mulai ditetapkan oleh Pemerintah.[3]

Untuk mengatasi inflasi tindakan yang harus diambil oleh Bank Indonesia adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga, yang kemudian kebijakan moneter akan mengurangi investasi dan pengeluaran rumah tangga.[4] Tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia ialah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 7

  • Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
  • Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian”

Tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia ialah antara lain mengendalikan jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektivitas pelaksanaannya diperlukan adanya dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal, yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi Bank. Kemudian, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan melalui sistem perbankan.[5]

Penetapan target atau sasaran inflasi merupakan hal yang harus Bank Indonesia capai, yang berkoordinasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10

  •  Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a Bank Indonesia berwenang:
  • Menetapkan sasaran-sasaran dan moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya;
  • Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
  • Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
  • Penetapan tingkat diskonto;
  • Penetapan cadangan wajib minimum;
  • Pengaturan kredit atau pembiayaan”.[6]

Sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan dijamin melalui Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/2021 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2022, Tahun 2023, dan Tahun 2024 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 2

  • tingkat dan periode Sasaran Inflasi IHK ditetapkan sebagai berikut :
  • 3,0% (tiga persen) untuk Tahun 2022;
  • 3,0% (tiga persen) untuk Tahun 2023;
  • dan 2,5% (dua koma lima persen) untuk Tahun 2024, dengan deviasi sebesar 1,0%.”

Kenaikan suku bunga merupakan salah satu upaya untuk menekan inflasi sebab apabila suku bunga naik, maka perilaku konsumtif akan berkurang, begitu juga dengan investasi. Melemahnya konsumsi dan investasi akan memberikan dampak pada pengurangan permintaan agregat. Namun di sisi lain, dengan suku bunga yang tinggi, Bank Indonesia ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dollar AS sebab akan banyak pemilik dollar AS yang melakukan konversi ke rupiah yang kemudian akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Selain itu, berdasarkan sejarah, Bank Indonesia kerap menggunakan suku bunga tinggi untuk menyurutkan krisis ekonomi.[7] Kenaikan suku bunga memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah uang beredar di Bank begitu pun sebaliknya penurunan suku bunga bank akan mendorong peningkatan jumlah uang beredar.[8]

Instrumen Kebijakan Moneter

  1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Bank Indonesia dapat memengaruhi sasaran operasionalnya dengan Operasi Pasar Terbuka, yaitu suku bunga atau jumlah uang beredar secara lebih efektif sebab arah kebijakan moneter dapat disampaikan dari pasar terbuka dan membentuk suku bunga berdasarkan mekanisme pasar. Selain itu, Operasi Pasar Terbuka juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif Bank Indonesia sesuai dengan frekuensi dan kuantitas yang diinginkan. Bentuk kegiatan Operasi Pasar Terbuka antara lain, kegiatan jual beli surat berharga (Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang) oleh Bank Indonesia di pasar primer maupun pasar sekunder.

  • Fasilitas Diskonto (Discount Policy)

Fasilitas Diskonto merupakan fasilitas kredit yang diberikan kepada bank dengan jaminan surat berharga dan tingkat diskonto sesuai dengan arah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia menaikkan tingkat diskonto fasilitas, maka disitu Bank Indonesia menginginkan terjadinya kenaikan suku bunga. Fasilitas Diskonto berguna untuk alat pengaman dalam menjaga stabilitas di pasar uang, sehingga bank diharapkan untuk tidak sering menggunakan fasilitas ini.

  • Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement)

Cadangan Wajib Minimum dibagi menjadi 2 yang sebagai berikut:

  1. Cadangan Primer

Cadangan primer merupakan ketentuan Bank Indonesia yang memberikan kewajiban kepada bank-bank memelihara sejumlah likuid sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya alat likuid tersebut yang berupa rekening gito dan uang kas di bank sentral.

  • Cadangan Sekunder

Cadangan sekunder merupakan fasilitas kredit yang diberikan kepada bank-bank dengan jaminan surat berharga dan tingkat diskonto yang diberikan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan arah kebijakan moneter.

  • Imbauan (Moral Suasion)

Imbauan untuk melakukan kebijakan tertentu kepada bank-bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Imbauan tersebut tidak bersifat mengikat tetapi memiliki dampak yang efektif dalam kebijakan moneter.[9]

Dalam hal ini Bank Indonesia juga melakukan upaya optimalisasi strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi dengan langkah-langkah berikut:

  1. Memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah;
  2. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK);
  3. Memastikan kecukupan dalam kebutuhan uang, layanan kas, dan distribusi uang dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 2022;
  4. Mendorong kesiapan Penyedia Jasa Pembayaran dalam mengimplementasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP);
  5. Memperkuat kebijakan internasional dengan melakukan perluasan kerja sama dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya.[10]

Wewenang Bank Indonesia juga sebagai upaya menanggulangi krisis ekonomi dalam waktu yang singkat dengan sasaran terkendalinya nilai kurs rupiah pada tingkat yang wajar. Hal ini sesuai sebagaimana diatur dalam BAB IV huruf A butir 1a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter ditanggungkan keharusan untuk membangun sistem kelembagaan yang kuat dan independen dalam mengelola dan mendayagunakan devisa. Dalam hal pengelolaan keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia harus mandiri dalam artian bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain, yang kinerjanya juga perlu diawasi dan dipertanggungjawabkan.[11]

Sebab pada hakikatnya, tujuan kebijakan moneter adalah menjaga kestabilan jumlah uang yang beredar, sementara jumlah uang yang beredar tersebut berkaitan dengan tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan menaiknya tingkat suku bunga, jumlah uang beredar akan menurun begitu juga sebaliknya, sementara itu peningkatan harga-harga umum juga akan menaikan jumlah uang beredar, demikian juga kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan memberi dampak pada kenaikan jumlah uang yang beredar, sedangkan krisis finansial, politik, dan militer merupakan gangguan terhadap kinerja ekonomi nasional yang memberi dampak kepada kenaikan jumlah uang yang beredar.[12]

Kesimpulan

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satu caranya dengan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kestabilan nilai rupiah berkaitan dengan jumlah uang beredar, sementara jumlah uang beredar tersebut berkaitan dengan tingkat suku bunga. Dengan melakukan penaikan suku bunga, maka perilaku konsumtif akan berkurang, sehingga memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah uang beredar. Hal ini akan mewujudkan kestabilan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga kemudian menguatkan nilai tukar rupiah.

Dasar Hukum

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998;

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/2021 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2022, Tahun 2023, dan Tahun 2024.

Referensi

Bank Indonesia. (2022). Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2022.

CNBC Indonesia, Harga & Inflasi Mulai Menanjak, Kapan BI Naikkan Suku Bunga?, retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411142542-19-330618/harga-inflasi-mulai-menanjak-kapan-bi-naikkan-suku-bunga.

Maria, J. A., Sedana, I B. P., dan Artini, L. G. S. (2017). Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Pertumbuhan Gross Domestic Product terhadap Jumlah Uang Beredar di Timor-Leste, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana No. 10(6).

Sikapi Uangmu OJK, Giro Wajib Minimum: Instrumen Moneter untuk Atur Uang Beredar, retrieved from https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/333

Safuridar. (2018). Peranan Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, Jurnal Samudra Ekonomika No. 1(2).

Silangit, P. K. H., Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia, retrieved from https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-bunga-bank-indonesia/

Triwahyuni. (2021). Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6).


[1] CNBC Indonesia, Harga & Inflasi Mulai Menanjak, Kapan BI Naikkan Suku Bunga?, retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411142542-19-330618/harga-inflasi-mulai-menanjak-kapan-bi-naikkan-suku-bunga

[2] Sikapi Uangmu OJK, Giro Wajib Minimum: Instrumen Moneter untuk Atur Uang Beredar, retrieved from https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/333

[3] Triwahyuni, Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6). 2021. page 202

[4] Triwahyuni, Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6). 2021. page 203

[5] Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[6] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[7] Patrick Kuntara Harpranata Silangit, Analisis Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia, retrieved from https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-bunga-bank-indonesia/

[8] José Augusto Maria, I B. Panji Sedana, dan Luh Gede Sri Artini, Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Pertumbuhan Gross Domestic Product terhadap Jumlah Uang Beredar di Timor-Leste, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana No. 10(6). 2017. page 3490

[9] Safuridar, Peranan Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, Jurnal Samudra Ekonomika No. 1(2). 2018. page 45

[10] Bank Indonesia, Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2022. 2022. page 5

[11] Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[12] José Augusto Maria, I B. Panji Sedana, dan Luh Gede Sri Artini, Op. Cit., page 3494

0

DASAR HUKUM DAN MEKANISME INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO) DI INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Robby Malaheksa

Baik  perusahaan besar maupun perusahaan kecil, pendanaan pada suatu perusahaan sangatlah penting untuk dapat menunjang kemajuan suatu usaha. Pendanaan perusahaan dari dalam pada umumnya menggunakan laba ditahan yang dihimpun sedemikian rupa sehingga dapat menambah modal usaha perusahaan tersebut. Sementara pendanaan dari luar perusahaan dapat berupa pinjaman kepada pihak ketiga/hutang, maupun penyertaan dalam bentuk saham. Salah satu alternatif pendanaan dari luar perusahaan yang dirasa cukup baik dalam meningkatkan skala perusahaan adalah dengan mekanisme penyertaan modal melalui proses go public atau penawaran umum perdana (Initial Public Offering).[1]

Dalam penggunaannya seringkali istilah penawaran umum perdana (IPO) disamakan maknanya dengan istilah go public. Istilah go public sendiri sebenarnya mempunyai arti perusahaan menjual saham biasa atau saham preferen, atau obligasi yang merupakan modal perusahaan (ekuitas dan utang jangka panjang) untuk “pertama kalinya” kepada masyarakat luas.[2] IPO atau penawaran umum perdana hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah perusahaan yang melakukan go public, sedangkan go public bisa dilakukan berkali-kali. Misalnya, setelah satu tahun emiten go public dengan IPO, emiten kembali menjual saham dalam bentuk right issue. Kemudian, setelah berjalan dua tahun, emiten kembali go public dengan menerbitkan obligasi.[3]

Mengenai ketentuan untuk melakukan go public sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) yang menjelaskan bahwa go public/Initial Public Offering adalah :

“Pasal 1 Angka 15

Kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat yang diatur dalam tata cara yang diatur dalam undang-undang ini dan aturan pelaksanaannya.[4]

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), menjelaskan :

“Pasal 1 angka 8

Perseroan Publik adalah perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Pasar Modal.[5]

Sementara itu untuk menjadi perusahaan Publik, Pasal 1 Angka 22 Undang Undang 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa :

“Pasal 1 Angka 22

Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp.3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.[6]

Pada prinsipnya, semua perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh sebuah lembaga independen yang mempunyai tugas untuk mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyidik sektor jasa keuangan di Indonesia ini, bisa menerbitkan saham, obligasi dan turunannya kemudian dijual kepada masyarakat. Dengan kata lain, semua perusahaan berpotensi untuk menjadi emiten.[7] Dengan adanya penawaran umum perdana ini, maka emiten yang berhasil go public akan diuntungkan karena selain bisa menjadi besar akibat adanya suntikan modal dari masyarakat juga namanya tentu akan semakin dikenal masyarakat. Bahkan masyarakat yang memiliki saham perusahaan yang bersangkutan bisa menjadi pelanggan yang loyal.[8]

Suatu Perusahaan yang hendak melakukan go public harus melalui beberapa mekanisme yang harus dipenuhi dan dipersiapkan agar proses go public menjadi perusahaan terbuka dapat terealisasikan dengan baik. Pusat informasi go public pada pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek menerangkan adanya 5 (lima) tahapan yang harus dilakukan agar suatu perusahaan dapat menjadi Perusahaan Terbuka, yaitu :[9]

  1. Penunjukan Underwriter dan Persiapan Dokumen

Pada tahap awal, perusahaan perlu membentuk tim internal, menunjuk underwriter dan lembaga serta profesi penunjang pasar modal yang akan membantu perusahaan melakukan persiapan go public, meminta persetujuan RUPS dan merubah Anggaran Dasar, serta mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk disampaikan kepada pihak penyelenggara dan penyedia sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek dan lembaga resmi yang mengatur sektor jasa keuangan di Indonesia.

  • Penyampaian Permohonan Pencatatan Saham

Untuk menjadi perusahaan publik yang sahamnya dicatatkan dan diperdagangkan di pihak penyelenggara dan penyedia sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek di Indonesia, perusahaan perlu mengajukan permohonan untuk mencatatkan saham, dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, antara lain profil perusahaan, laporan keuangan, opini hukum, proyeksi keuangan, dan lain-lain. Perusahaan juga perlu menyampaikan permohonan pendaftaran saham untuk dititipkan secara kolektif (scripless) di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Pihak tersebut nantinya akan melakukan penelaahan atas permohonan yang diajukan perusahaan dan akan mengundang perusahaan beserta underwriter dan profesi penunjang untuk mempresentasikan profil perusahaan, rencana bisnis dan rencana penawaran umum yang akan dilakukan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatan usaha perusahaan, pihak penyedia jual beli efek ini juga akan melakukan kunjungan ke perusahaan serta meminta penjelasan lainnya yang relevan dengan rencana IPO perusahaan. Apabila perusahaan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dalam waktu maksimal 10 Hari Bursa setelah dokumen lengkap, maka pihak penyedia jual beli efek di Indonesia tersebut akan memberikan persetujuan prinsip berupa Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Saham kepada perusahaan

  • Penyampaian Pernyataan Pendaftaran

Setelah mendapatkan Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Saham, perusahaan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya kepada lembaga resmi yang mengatur sektor jasa keuangan untuk melakukan penawaran umum saham. Dokumen pendukung yang diperlukan antara lain adalah prospektus. Dalam melakukan penelaahan, lembaga tersebut dapat meminta perubahan atau tambahan informasi kepada perusahaan untuk memastikan bahwa semua fakta material tentang penawaran saham, kondisi keuangan dan kegiatan usaha perusahaan diungkapkan kepada publik melalui prospektus. Sebelum mempublikasikan prospektus ringkas di surat kabar atau melakukan penawaran awal (bookbuilding), perusahaan harus menunggu ijin dari lembaga resmi tersebut. Perusahaan juga dapat melakukan public expose jika ijin publikasi telah dikeluarkan oleh lembaga resmi yang mengatur sektor jasa keuangan di Indonesia tersebut yang kemudian akan memberikan pernyataan efektif setelah perusahaan menyampaikan informasi mengenai harga penawaran umum saham dan keterbukaan informasi lainnya. Apabila Pernyataan Pendaftaran perusahaan telah dinyatakan efektif oleh lembaga resmi pengawas sektor keuangan tersebut,  perusahaan mempublikasikan perbaikan/tambahan informasi prospektus ringkas di surat kabar serta menyediakan prospektus bagi publik atau calon pembeli saham, serta melakukan penawaran umum.

  • Penawaran Umum Saham kepada Publik

Masa penawaran umum saham kepada publik dapat dilakukan selama 1-5 hari kerja. Dalam hal permintaan saham dari investor melebihi jumlah saham yang ditawarkan (over-subscribe), maka perlu dilakukan penjatahan. Uang pesanan investor yang pesanan sahamnya tidak dipenuhi harus dikembalikan (refund) kepada investor setelah penjatahan. Distribusi saham akan dilakukan kepada investor pembeli saham secara elektronik melalui KSEI (tidak dalam bentuk sertifikat).

  • Pencatatan dan Perdagangan Saham Perusahaan

Perusahaan menyampaikan permohonan pencatatan saham kepada Bursa disertai dengan bukti surat bahwa Pernyataan Pendaftaran telah dinyatakan efektif oleh lembaga resmi yang mengawasi sektor keuangan, dokumen prospektus, dan laporan komposisi pemegang saham perusahaan. Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem juga sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek ini nantinya akan memberikan persetujuan dan mengumumkan pencatatan saham perusahaan dan kode saham (ticker code) perusahaan untuk keperluan perdagangan saham di Bursa. Kode saham ini akan dikenal investor secara luas dalam melakukan transaksi saham perusahaan penyedia sarana penawaran jual beli Efek. Setelah saham tercatat di Bursa, investor akan dapat memperjualbelikan saham perusahaan kepada investor lain melaui broker atau Perusahaan Efek yang menjadi Anggota Bursa terdaftar di pihak penyedia jual beli efek tersebut.

Setelah mekanisme diatas terpenuhi dan Perusahaan telah resmi menjadi perusahaan Terbuka, maka Perusahaan dapat mencatatkan sahamnya di Papan Utama atau Papan Pengembangan. Persyaratan untuk dapat mencatatkan saham di penyedia jual beli efek di Indonesia di Papan Utama dan Papan Pengembangan adalah sebagai berikut:

Tabel Persyaratan Listing di Papan Utama dan Papan Pengembangan pada Penyedia Jual Beli Efek di Indonesia [10]

Papan Utama Papan Pengembangan
Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki: Komisaris Independen minimal 30% dari jajaran Dewan Komisaris;Direktur Independen minimal 1 orang dari jajaran anggota Direksi;Komite Audit;Unit Audit Internal;Sekretaris Perusahaan.
Operasional pada core business yang sama > 36 bulan Operasional pada core business yang sama > 12 bulan
Membukukan laba usaha pada 1 tahun buku terakhir Tidak harus membukukan laba, namun jika belum membukukan keuntungan, berdasarkan proyeksi keuangan pada akhir tahun ke-2 telah memperoleh laba (khusus sektor tertentu : pada akhir tahun ke-6)
Laporan Keuangan Auditan> 3 tahun Laporan Keuangan Auditan >12 Bulan
Opini Laporan Keuangan: Wajar Tanpa Pengecualian (2 tahun terakhir) Opini Laporan Keuangan: Wajar Tanpa Pengeceualian
Aset Berwujud Bersih > Rp100 miliar Aset Berwujud Bersih >Rp5 miliar
Saham yang ditawarkan kepada publik*) : Min. 300 juta saham20% dari total saham, untuk ekuitas < Rp500 miliar15% dari total saham, untuk ekuitas Rp500 miliar – Rp2 triliun10% dari total saham, untuk ekuitas > Rp2 triliun   *) Termasuk yang dimiliki publik sebelum perusahaan go-public Saham yang ditawarkan kepada publik*): Min. 150 juta saham20% dari total saham, untuk ekuitas < Rp500 miliar15% dari total saham, untuk ekuitas Rp500 miliar – Rp2 triliun10% dari total saham, untuk ekuitas > Rp2 triliun   *)Termasuk yang dimiliki publik sebelum perusahaan go-public
Jumlah Pemegang Saham > 1000 pihak Jumlah Pemegang Saham > 500 pihak

Menghimpun dana masyarakat melalui pasar modal merupakan pilihan yang semakin banyak ditempuh perusahaan dalam rangka pendanaan usaha. Ratusan perusahaan telah meraih dana publik baik dengan menerbitkan saham maupun obligasi. Sepanjang tahun 2007, tercatat sebanyak 22 perusahaan menjual saham ke publik dengan nilai perolehan dana sebesar Rp. 18,11 triliun meningkat sekitar 503,66% dibanding nilai perolehan tahun 2006 yang hanya sebesar Rp. 3,01 triliun. Tahun 2007 juga merupakan tahun yang baik untuk penerbitan obligasi dengan nilai perolehan sebesar Rp. 30,075 triliun atau meningkat 162,67% dibanding nilai perolehan tahun 2006 sebesar Rp. 11,45 triliun. Bentuk lain pendanaan publik yang dilakukan emiten sepanjang tahu 2007 adalah right issue, dimana tercatat 23 emiten melakukan right issue dengan total perolehan dana sebanyak Rp. 28,56 triliun, meningkat 127,02% dibanding tahun 2006 dengan nilai right issue Rp. 12,58 triliun.[11]

Di Indonesia dalam perkembangannya saat ini tidak hanya perusahaan skala besar saja yang mulai menapaki langkah IPO sebagai bentuk peningkatan nilai perusahaannya. Perusahaan rintisan (startup) berbasis digital dan daring yang belakangan ini mulai menjamur di kalangan masyarakat Indonesia bahkan ada yang sudah mulai mengembangkan usahanya melalui lantai bursa, salah satu contohnya yaitu adanya sebuah perusahaan ekosistem digital berbasis teknologi di Indonesia yang memberikan kombinasi layanan e-commercer, on-demand, serta layanan keuangan dan pembayaran pertama di Asia yang telah mencatatkan saham (listing) perdananya pada tanggal 11 April 2022.[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM)
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

REFRENSI

  1. Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017
  2. Widioatmojo, Sawidji. (2015). Pengetahuan Pasar Modal Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo
  3. Proses Go Public (Go Public Process) (n.d.). Diakses tanggal 21 April 2022, https://gopublic.idx.co.id/2016/06/22/.proses-go-public/
  4. Hendy M. Fakhruddin. (2008). Go Public: Strategi Pendanaan dan Peningkatan Nilai Perusahaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
  5. Beli Saham GoTo Saat IPO, Auto Dapat THR Saat Listing Nih!, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411150801-17-330645/beli-saham-goto-saat-ipo-auto-dapat-thr-saat-listing-nih

[1] Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm 2

[2] Widioatmojo, Sawidji. (2015). Pengetahuan Pasar Modal Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, hlm. 76.

[3] Ibid., hlm. 77.

[4] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM)

[5] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

[6] Pasal 1 Angka 22 Undang Undang 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

[7] Widioatmojo, Sawidji. (2015). Pengetahuan Pasar Modal Untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, hlm. 75.

[8] Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm. 11

[9] Proses Go Public (Go Public Process) (n.d.). Diakses tanggal 21 April 2022, https://gopublic.idx.co.id/2016/06/22/.proses-go-public/

[10] Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm 7

[11] Hendy M. Fakhruddin. (2008). Go Public: Strategi Pendanaan dan Peningkatan Nilai Perusahaan. Jakarta: PT

Elex Media Komputindo, hlm. 5.

[12] Beli Saham GoTo Saat IPO, Auto Dapat THR Saat Listing Nih!, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411150801-17-330645/beli-saham-goto-saat-ipo-auto-dapat-thr-saat-listing-nih

0

MERGERS AND ACQUISITIONS IN A FRANCHISE SYSTEM COMPANY

Author : Nirma Afianita, Co-Author : Robby Mahaleksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
  3. Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

REFERENSI :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022
  2. Pengadaan, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, diakses pada 22 Maret 2022
  3. Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, diakses pada 22 Maret 2022
  4. Hukum Perseroan Terbatas, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, diakses pada 22 Maret 2022
  5. Santos Lolowang, www.santoslolowang.com , diakses tanggal 30 Maret 2022

Merger dan akuisisi merupakan dua istilah di dunia bisnis yang paling sering disebut, sehingga terkadang kedua istilah tersebut dianggap memiliki arti yang sama. Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut aksi korporasi berupa penggabungan dua perusahaan, Namun, ternyata pengartian dari istilah merger dan akuisisi ternyata berbeda dan harus dipahami. Beberapa perusahaan biasanya lebih memilih menggunakan istilah merger dibandingkan dengan akuisisi ketika membeli sebagian besar saham perusahaan yang lebih kecil.

Merger adalah proses menggabungkan dua perusahaan atau lebih yang kemudian menjadi satu perusahaan saja, dimana perusahaan tersebut mengambil dengan cara menyatukan saham berupa aset dan non aset perusahaan yang di merger. Perusahaan yang melakukan merger dengan perusahaan lainnya harus memiliki setidaknya 50% saham dan sisanya bisa di miliki oleh investor dari luar perusahaan. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya, perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain dimana membeli sebagian besar atau seluruh saham perusahaan lain dengan tujuan untuk mengambil kendali. Tujuan utama sebuah perusahaan bergabung dengan perusahaan lain atau melakukan akuisisi karena perusahaan akan mencapai pertumbuhan lebih cepat daripada harus membangun unit usaha sendiri selain untuk mendapatkan keuntungan. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar. [1]

Pengertian tentang merger juga dijelaskan pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada Pasal 1 ayat (9) yang berisikan:

“Pasal 1

  • Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum[2]

Sedangkan, pengertian dari akuisisi dijelaskan pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)  yaitu:

“Pasal 1

  1. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseroangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan terjadinya peralihan pengendalian atas Perseroan Tersebut.”[3]

Setiap perusahaan memiliki beberapa tujuan dalam melakukan merger dan akuisisi. Terdapat dua tujuan utama yaitu tujuan ekonomi dan non ekonomi. Tujuan ekonomi dari perusahaan yaitu untuk memaksimalkan nilai perusahaan sehingga mencapai posisi yang strategis di pasar. Selain itu, kemakmuran/kesejahteraan para karyawannya dan pemegang saham juga menjadi salah satu bagian dari tujuan merger dan akuisisi ini. Sedangkan pada tujuan non-ekonomi dari kegiatan merger dan akuisisi ini didasarkan pada keinginan subyektif dari pemilik atau manajemen perusahaan. Seperti karena adanya kepentingan pribadi (personal interest motive) dari pemilik perusahaan maupun manajemen perusahaan maupun karena prestige[4]

Perbedaan dari merger dan akuisis dapat dilihat dari prosesnya. Untuk dapat melakukan merger atau penggabungan, setidaknya terdapat lima tahapan yang harus dilakukan yaitu pertama, memenuhi persyaratan penggabungan. Perlu diperhatikan bahwa penggabungan untuk mencegah monopoli atau monopsoni yang dapat merugikan masyarakat. Dalam melakukan penggabungan, perseroan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari instansi terkait. Kedua, menyusun rancangan penggabungan. Setelah rancangan penggabungan tersebut dibuat, kemudian rancangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris setiap perseroan yang akan menggabungkan diri. Ketiga, persetujuan rancangan penggabungan. Setelah rancangan disetujui oleh Dewan Komisaris di setiap PT, selanjutnya harus diajukan pada RUPS yang berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 87

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, yang artinya hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili RUPS” [5]

Keempat membuat akta penggabungan. Jika penggabungan PT tidak disertai dengan anggaran dasar, salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar PT. Kelima, pengumuman hasil penggabungan. Direksi PT yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan maksimal tiga puluh hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri. Pengumuman dimaksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan penggabungan. [6]

Sedangkan pada akuisisi memiliki dua jenis proses pada pengambilalihannya, yaitu proses pengambilalihan melalui direksi perseroan dan proses pengambilalihan langsung dari pemegang saham. Pada Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan,  dijelaskan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu:

“Pasal 125

  1. Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan saham yang dimaksud adalah Pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan” [7]

Terdapat tujuh proses pengambilalihan atau akuisisi melalui direksi perseroan. Pertama keputusan RUPS. Pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi ketentuan dan persyaratan  tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 yaitu:

“Pasal 89

Terdapat paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau RUPS yang lebih besar” [8]

Kedua, Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan. Ketiga, penyusunan rancangan pengambilalihan. Keempat, pengambilalihan ringkasan rancangan. Kelima, pengajuan keberatan kreditor. Keenam, pembuatan akta pengambilalihan di hadapan notaris. Ketujuh, pemberitahuan kepada Menteri, dan yang terakhir pengumuman hasil pengambilalihan.

Sedangkan, pada proses pengambil alihan secara langsung dari pemegang saham memiliki prosedur yang lebih sederhana yaitu wajib tunduk dengan ketentuan akuisisi saham sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa Akuisisi saham wajib memperhatikan ketentuan pemindahan hak atas saham dalam Anggaran Dasar, serta mendapat persetujuan rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengumuman, Direksi perseroan yang akan melakukan akuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan dalam waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan dalam waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai akuisisi sesuai dengan rancangan dimaksud. Apabila kreditor tidak mengajukan keberatan dlm jangka waktu tersebut maka kreditor dianggap menyetujui. Dalam hal keberatan dari kreditor sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi perseroan maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. Sebelum keberatan ini diselesaikan maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan. Akta pemindahan hak atas saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia. Salinan dari kata pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang perubahan Struktur Pemegang Saham Perseroan. Direksi perseroan wajib mengumumkan hasil akuisisi dalam 1 surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau sejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. [9]

Franchise atau Waralaba dalam praktek dunia bisnis telah cukup lama di kenal secara Internasional. Meskipun secara yuridis baru di atus di Indonesia pada tahun 17 dengan di keluarkannya PP RI No. 16 Tahun 17 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 17 tentnag Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan kemudian telah dirubaj dengan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007, serta Peraturan Mentri Perdagangan RI No: 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Menurut Pasal 1 ayat (1) PP No 42 Tahun 2007 Tetang Waralaba. Waralaba (Franchise) diartikan sebagai: hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba

Waralaba daam dunia perdagangan merupakan salah satu sistem yang dianggap sangat menguntungkan ini telah di buktikan oleh berbagai  perusahaan nasional maupun perusahaan berkaliber Internasioinal. Di Indonesia aturan hukum mengenai Waralaba (Franchise) belum lengkap. Indikator ini dapat kita cermati dari ketentuan hukum yang mengatur bisnis Waralaba yang sampai saat ini baru di atur dalm satu (1) Peraturan Pemerintah dan satu 1) Peraturan sebagimana di sebutkan di atas. Pengaturan melalui Undang-undang belum tersentuh oleh Pemerintah. Memang ada Peratura dari Departemen Teknis yang bersangkutan, namun pengaturan ini sama seklai belum memadai mengingat bisnis melalui sistem waralaba ini selalu berkembang secara dinamis sesuai perkembangan dunia usaha, dan membentuk model-model baru dalam prakteknya.[10]

Pengenbangan usaha melalui waralaba pada dasarnya mengembangkan usaha secara cepat memakai modal pihak lain, tentu saja risikonya juga ditanggung oleh penerima waralaba. Penerima Waralaba akan mendapatkan pelatihan, sistem, hak kekayaan intelektual, bahkan peraatan maupun bahan baku, tanpa harus memiliki pengalaman usaha lebih dahulu. Adapaun Pemberi Waralaba mempunyai hak untuk mendapatkan franchise fee atas penggunaan merek dan sistem, yang diterimakan pada awal perjanjian untuk suatu jangka waktutertentu biasanya sekurang-kurangnya lima tahun. Selain itu juga mendaatkan royalty dari penerima waralaba, yang berupa persentase dari nilai penjualan setiap bulannya.

Pada dasarnya waralaba terbentuk ketika pemberi waralaba menjalin hubungan hukum untuk melakukan kontrak kerjasama secara terpadu terhadap merek, desaintata letak dan lain sebagainya yang berkenaan dengan hak kekayaan intelektual serta metode bisnis secara kontinyu dalam suatu periode tertentu dengan penerima waralaba.

Merger pada Perusahaan yang bergerak di bidang Waralaba, sejauh ini belum ada peraturan yang melarangnya, Waralaba adalah jenis Usaha/Kegiatan yang di lakukan suatu perseroan, sedangkan Perseroan nya sendiri adalah suatu Subyek hukum yang mempunyai hak untuk dapat melakukan pengembangan Usaha dengan perseroan lain salah satunya dengan cara Merger. Dalam pengertian Merger sendiri sebagaimana yang disebutkan sebelumnya ialah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan selanjutnya status badan hukum kepada Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum

Merujuk pada penjelasan Merger yang di sebutkan dalam Pasal 1 ayat (9) maka Perusahaan yang bergerak dalam bidang apapun termasuk Waralaba dapat melakukan Merger dengan Perusahaan lain sesuai jenis merger yang di ingingkan seperti yang telah di jelaskan diatas serta dengan syarat dan ketentuan berlaku sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 123 Undang-Undang No 40 Tahun 2007  Tentang Perseroan Terbatas yakni :

“Pasal 123

  1. Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.
  2. Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
  3. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  4. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
  5. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
  6. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
  7. laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Persroan yang akan melakukan Penggabungan;
  8. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  9. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akutansi yang berlaku umum di Indonesia
  10. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;
  11. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
  12. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
  13. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewa Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
  14. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
  15. laporan mengenai keadaan perkembangan, dan hasil yang akan dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan penggabungan;
  16. kegiatan utama setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabugan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang danng berjalan; dan
  17.  rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan
  18. Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing unduk mendapatkan persetujuan
  19. Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain beraku ketentuan dalam Undang-Undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  20. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal” [11]

Dengan adanya penjelasan berikut dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai merger, akuisisi dan waralaba kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.

Jika dilihat dari hukum persaingan usaha di Indonesia, merger dan akuisisi dilarang jika kedua tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 28

Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”[12]

Merger dan Akusisi yang dilakukan oleh pelaku usaha harus memiliki nilai aset hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 2,5 triliun atau nilai penjualan hasil Merger dan Akusisi melebihi Rp 5 triliun wajib diberitahukan secara tertulis kepada KPPU paling lama 30 hari kerja sejak tanggal telah berlaku efektif secara yuridis merger dan akuisisi tersebut diatur berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:

“Pasal 29

Penggabungan atau peleburan badan usaha atau pelgambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut” [13]

Jika pelaku usaha melakukan keterlambatan dalam melapor setiap transaksi merger atau akuisisi, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 menjelaskan bahwa dikenakan sanksi yaitu:

“Pasal 6

Sanksi hukum yang akan dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban ini dikenakan sanksi berupa denda adninistratif sebesat Rp1.000.000.000,00 (satu miliar) setiap hari keterlambatan dengan ketentuan denda administratef secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar)” [14] Sehingga dihimbau kepada pelaku usaha untuk tidak ragu melakukan konsultasi mengenai akuisisi, merger dan konsolidasi kepada lembaga resmi yang berwenang terkait dengan aturan dalam penggabungan atau peleburan badan usaha. Konsultasi tersebut diharapkan dapat mencegah pelanggaran aturan dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi.


[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses pada 22 Maret 2022

[2] Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pengadaan, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, diakses pada 22 Maret 2022

[5] Pasal 87 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[6] Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, diakses pada 22 Maret 2022

[7] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[8] Pasal 89 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[9] Hukum Perseroan Terbatas, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, diakses pada 22 Maret 2022

[10] www.santoslolowang.com, di akses tanggal 30 Maret 2022

[11] Pasal 123 Undang-Undang No 40 Tahun 2007  Tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[13] Pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[14] Pasal Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  2. Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition.
  3. Government Regulation No. 57 of 2010 concerning Merger or Merger of Business Entities and Takeover of Company Shares that Can Result in Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.

REFERENCE :

  1. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, accessed March 22, 2022
  2. Procurement, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, accessed on March 22, 2022
  3. Online Law, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, accessed March 22, 2022
  4. Limited Liability Company Law, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, accessed on March 22, 2022
  5. Santos Lolowang, www.santoslolowang.com, accessed on March 30, 2022
Mergers and acquisitions are two terms in the business world that are most often discussed, so sometimes both terms are  considered to have the same meaning.  Both terms are used to refer to corporate action in the form of the merger of two companies, however, it turns out that the  meaning of the  terms merger and acquisition turns out to be different and must be understood.  Some companies usually prefer to use the term merger as opposed to  acquisition when buying most of the shares of smaller companies.   Merger is the process of combining two or more companies that then become one company only, where the company takes by uniting shares in the form of assets and non-assets of the merged company. Companies that merge with other companies must own at least 50% of the shares and the rest can be owned by investors from outside the company. In this case the buying company will continue its name and identity, the buyer’s company will also take both the assets and liabilities of the purchased company.  An acquisition is the purchase of a company by another company where it buys most or all of the shares of another company with the aim of taking control. The main goal of a company is to join another company or make acquisitions because the company will achieve faster growth than having to build its own business unit in addition to making a profit.  Acquisitions are often used to maintain the availability of raw material supplies or guarantee that products will be absorbed by the market.[1]   The understanding of mergers is also explained in Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT) in Article 1 paragraph (9) which contains: “Article 1 Merger is a legal action carried out by one other existing Company that results in assets and pasiva of the Company that merge themselves switched because of the law to the Company that received the subsequent incorporation of legal entity status to the Company that merged itself ends because of the law[2]   Meanwhile, the understanding of the acquisition is explained in Article 1 paragraph (11) of Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  (UUPT)  namely: “Article 1 Takeover is a legal act carried out by a legal entity or company to take over the Company’s shares which results in a transfer of control over the Company.”[3] Every company has several objectives in making mergers and acquisitions.  There are two main objectives: economic and non-economic goals.   The economic objective of the company is to maximize the value of the company so as to achieve a strategic position in the market. In addition, the prosperity /well-being of its employees and shareholders is also one part of the purpose of this merger and acquisition.  While on the non-economic purpose of merger and acquisition activities it is based on the subjective wishes of the owner or management of the company. Such as because of the personal interest motive of the company owner and company management and because of prestige. [4]   The difference between mergers and acquisitions can be seen from the process.  To be able to merge or merge,  there are at least five stages that must be done, namely first, meeting the requirements of incorporation.  It should be noted that incorporation to prevent monopolies or monopsonies that can harm society.  In  merging,  the company must obtain approval from the relevant agencies.  Second, draw up a merger plan. After   the merger plan  is made, then the  design must get approval from the Board  of Commissioners of  each company that will merge.  Third, the approval of the merger plan. After the draft is approved by the Board of Commissioners at each PT,  it must then be submitted at the GMS  based on Article 87 paragraph (1) of Law No. 40 of 2008 concerning the Company. Limited explains as follows:   Article 87 The decision of the GMS is taken based on deliberations for consensus, which means the results of the agreement approved by the shareholders present or represented by the GMS”[5]   The fourth made a joining deed. If the incorporation of THE PT  is not accompanied by the articles of association, a copy of the  merger deed  must be submitted to the Minister to be recorded in the list of PT.  Fifth, the announcement of the results of the merger.  The Board of Directors of PT who receive the merger must announce the results of the merger a maximum of  thirty days from the date of  approval of the  Minister.  The announcement is intended so that   interested  third parties  know that a  merger has been made. [6]   While the acquisition has two types of processes on its takeover, namely the takeover process  through the company’s board of directors and the takeover process  directly from  shareholders.  In the Takeover Process through the Board of Directors of the Company, explained based on Article 125 paragraph (1) of Undang-Law No. 40  of  2007 concerning Limited Liability Companies  , namely: “Article 125 The takeover is carried out by means of a takeover of shares that have been issued by the Company through the Company’s Board of Directors or directly from shareholders. This is done by a legal entity or individual person. The takeover of the shares in question is a takeover that results in a change of control of the Company”[7]   There are seven takeover or acquisition processes  through the company’s directors.  First the decision of the GMS.  The election must be based on the GMS that meets the provisions and requirements on the requirements for gms decision making as intended in Article 89 Undang-Law No. 40  of  2007, namely:   “Article 89 There are at least 3/4 (three-quarters) part of the total number of shares with voting rights present or represented at the GMS and the decision is valid if approved at least 3/4 (three quarters) part of the number of votes issued, unless the articles of association determine the quorum of attendance and/or a larger GMS”[8]   Second, Notice to the Board of Directors of the Company.  Third, the preparation of the takeover plan.  Fourth, the takeover of the draft summary.  Fifth, the submission of creditor objections.   Sixth, the creation of a  takeover deed in front of a notary.  Seventh, notice to the Minister, and finally the  announcement of the results of the takeover.   Meanwhile, in the process   of taking over directly  from  shareholders has a simpler procedure that  is  obliged to be subject to the provisions of  stock acquisition in accordance with Law No. 40 of 2007.  about the Limited Liability Company  which explains that the acquisition of shares must pay attention to the provisions of the transfer of rights to shares in the Articles of Association, as well as obtaining approval from the General Meeting of Shareholders (GMS). Gms must be carried out no later than 30 (thirty) days after the announcement, the Board of Directors of the company who will make the acquisition must announce a summary of the draft in at least 1 (one) newspaper and announce in writing to the employees of the company within 30 days before the summons of the GMS. Creditors may object to the company within 14 days after the announcement of the acquisition in accordance with the draft. If the creditor does not raise objections within that period of time then the creditor is considered to agree.  In the case of the validity of the creditors until the date of the GMS cannot be completed by the Board of Directors of the company, the objection must be submitted at the GMS to get a settlement. Before these objections are resolved, the acquisition cannot be implemented. The deed of transfer of rights to shares must be declared by notary deed and in Indonesian.  A copy of the word transfer of the right to shares must be attached to the submission of notification to the Minister of Law and Human Rights about changes to the Company’s Shareholder Structure.  The Board of Directors of the Company shall announce the results of the acquisition in 1 or more newspapers within a period of no later than 30 days from the date of notification to the Minister of Law and Human Rights or from the date of approval of changes to the Articles of Association by the Minister of Law and Human Rights. [9]  
Franchise or Franchise in the practice of the business world has long been known internationally. Although juridically new in atus in Indonesia in 17 years with the issuance of PP RI No. 16 Of 17 concerning Franchising with the Decree of the Minister of Industry and Trade of the Republic of Indonesia  No. 259 / MPP / Kep / 7/1997 dated July 30, 17, 17, 17, 17,  2007,  and The Minister  of Trade  Regulation No: 31/MDAG/PER/8/2008 concerning The Implementation of Franchises.   According to Pasal 1 paragraph (1) PP No. 42 of 2007 Tetang Waralaba.  Franchising (Franchise) is defined as: special rights owned by individuals or business entities to business systems with business characteristics in order to market goods and / or services that have been proven successful and can be utilized and / or used by other parties based on franchise agreements.   Franchising in the trading world is one of the systems that are considered very profitable has been proven by various national companies and companies of international caliber.  In Indonesia, the rule of law regarding Waralaba (Franchise) is not complete. This indicator can be observed from the legal provisions governing franchise business which until now has only been regulated in one (1) Government Regulation and one 1) Regulation as mentioned above. Arrangements through the Law have not been touched by the Government. Indeed, there is a Regulation from the Technical Department concerned, but this arrangement is the same as  inadequate considering that business through this franchise system is always developing dynamically according to the development of the business world, and forming new models in practice.[10]   Business development through franchising basically develops the business quickly using the capital of other parties, of course the risk is also borne by the franchisee.  Franchisees will get training, systems, intellectual property rights, even cultivation and raw materials, without having to have business experience first.  There is a Franchisee has the right to obtain a franchise fee for the use of the brand and system, which is accepted at the beginning of the agreement for a period of time usually at least five years.  In addition, it also raises royalties  from franchisees, which is a percentage of the sales value every month.   Basically, a franchise is formed when the franchisor establishes a legal relationship to enter into an integrated cooperation contract with the brand, layout design and so on with regard to intellectual property rights and business methods continuously in a certain period with the franchisee.   Merger in companies engaged in franchising, so far there is no regulation that prohibits it, Franchising is a type of Business / Activity carried out by a company, while the Company  itself is a legal subject that has the right to be able to develop a business with other companies, one of which is by way of merger. Dalam understanding merger itself as a mentioned earlier is a legal action carried out by one other existing Company that results in assets and pasiva of the Company that merges itself switched because of the law to the Company that received the subsequent merger of legal entity status to the Company that joined itself ended because of the law.   Referring to the explanation of the Merger mentioned in Article 1 paragraph (9) then companies engaged in any field including Franchises can merge with other companies in accordance with the type of merger  that has been described above and with the terms and conditions apply as described in Article 123 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, namely:   “Article 23: The Board of Directors of the Company who will merge and accept the Merger drafts a merger.The Merger Plan as intended in paragraph (1) contains at least: the name and place of position of each Company that will merge; reasons and explanations of the Board of Directors of the Company who will merge and merge requirements;procedures for the assessment and conversion of the Company’s shares that combine themselves against the Shares of the Company that received the Merger;plan changes to the Articles of Association of the Company that accept mergers if any;financial statements covering the last 3 (three) financial years of each Persroan that will merge; plan for the continuation or termination of business activities of the Company that will merge; balance sheet proforma of the Company that accepts incorporation in accordance with the principles of accounting that is generally accepted in Indonesia ;how to resolve the status, rights and obligations of members of the Board of Directors, Board of Commissioners, and employees of the Company who will merge themselves; how to resolve the rights and obligations of the Company that will merge with third parties; how to resolve the rights of shareholders who do not agree to the Merger of the Company; names of members of the Board of Directors and the Board of Commissioners as well as salaries, honorariums and benefits for members of the Board of Directors and Dewa Commissioners of the Company who receive mergers; estimated period of implementation of the Merger; reports on the state of development, and the results to be achieved from each Company that will merge; the main activities of each Company that will carry out the Incursion and changes that occur during the current financial year; and details of issues arising during the current financial year affecting the Activities of the Company that will merge The Merger Draft as intended in paragraph (2) after obtaining the approval of the Board of Commissioners of each Company submitted to the GMS respectively to get approval For certain Companies that will merge in addition to the provisions in this Law, it is necessary to get prior approval from the relevant agencies in accordance with the provisions of the laws and regulations. The provisions as intended in paragraph (1) to paragraph (4) apply also to open companies as long as they are not regulated in other laws and regulations in the field of capital markets” [11]   With the following explanation, it is advisable for business actors not to hesitate to consult on mergers, acquisitions and franchises to authorized institutions related to the rules in the merger or fusion of business entities. The consultation is expected to prevent rule violations in monopoly practices and unfair business competition and avoid mistakes that will occur.

When viewed from  the   competition law  in Indonesia, mergers and acquisitions are prohibited if both actions can result in monopolistic practices and unfair business competition. This is  stipulated in Article 28 of Law No. 5  of  1999 concerning Prohibition of  Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:   “Article 28 Business actors are prohibited from combining or smelting business entities that can lead to monopolistic practices and/or unfair business competition” [12] Mergers and Acquisitions carried out by business actors must have the value of assets resulting from mergers and acquisitions exceeding Rp 2.5 trillion or the value of sales of mergers and acquisitions exceeding Rp 5 trillion must be notified in writing to the KPPU no later than 30 working days from the date it has been effective juridically the merger and the acquisition is regulated under Article 29 of Law No. 5 years.  1999  on Prohibition of Monopoly Practices and Unfair  Business Competition, namely:   “Article 29 The merger or merger of a business entity, or the takeover od shares an intended in Artcile 28 which results in the value of the asset and or the value of its sale exceeding a certain amount, must be notified to the Commission, no later than 30 (thirty) days from the date of incorporation, smelting or takeover.” [13] If  business actors make a delay in reporting any merger or acquisition transactions, based on Article 6  of Government Regulation No. 57 of 2010 explains that sanctions are subject to:   “Article 6 Legal sanctions that will be imposed on business actors who do not perfrom this obligation are subject to sancton in the fomr of administrative fines of Rp 1,0000,000,000.00 (one billion every day) delay with the provision of administrative fines as a whole as high as Rp25,000,000,000.00 (two recover five billion)” [14]   So it is appealed to business actors not to hesitate to consult on acquisitions, mergers and consolidations to authorized official institutions related to the rules in the merger or fusion of business entities. The consultation is expected to prevent rule violations in monopoly practices and unfair business competition and  avoid mistakes that will occur.                                  

[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, Accessed at 22 March 2022

[2] Article 1 paragraph (9) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[3] Article 1 paragraph (11) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[4] Procurement, https://www.pengadaan.web.id/2021/03/merger-dan-akuisisi.html, Accessed at 22 March 2022

[5] Article 87 of Law No.40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.

[6] Online Law, https://www.hukumonline.com/klinik/a/simak-ini-5-langkah-merger-pt-lt4d1358d8a0a80, Accessed at 22 March 2022

[7]Article 125 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[8] Article 89 of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[9] The Company’s Law Limited, https://www.hukumperseroanterbatas.com/akusisi-perusahaan/prosedur-hukum-pengambilalihan-perseroan-terbatas/, Accessed at 22 March 2022

[10] www.santoslolowang.com, accessed march 30 2022

[11] Article 123 Law No 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

[12] Article 28 Law No. 5 year 1999 about Prohibition Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy.

[13] Article 29 Law No. 5 year 1999 about Prohibition Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy

[14] Article 6 Regulation Government No. 57 year 2010 about Merging or Smelting Business Entities and Takeover Shares of the Company Get Cause Occurrence Practice Monopoly and Competition Effort Not Healthy.

0

TINJAUAN STRUKTUR PASAR OLIGOPOLI PADA MINYAK GORENG NASIONAL MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA

Author: Alfredo Joshua Bernando; Co-author: Natasya Oktavia & Shafa Atthiyyah Raihanna

Minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, minyak goreng memiliki kontribusi yang sangat besar karena minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok.[1]Belakangan ini terjadi kenaikan harga minyak goreng dan kelangkaan di seluruh wilayah Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan minyak goreng dan jika terdapat stoknya dijual dengan harga yang tinggi.[2] Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan Harga Eceran Maksimum (HET) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 untuk minyak goreng kemasan sederhana sebesar 13.500 dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter .[3] Namun pada tanggal 16 Maret 2022 kebiajakan Harga Eceran Maksimum (HET) tersebut dicabut dan pemerintah mengembalikan harga minyak goreng pada mekanisme pasar. Sehingga, saat ini harga minyak goreng melonjak hingga Rp 26.250 per liter, naik 87,5%. [4]

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Indonesia (KPPU) menduga ada beberapa pihak yang mempengaruhi pasar minyak goreng.  Ketua KPPU menyatakan ada kenaikan harga yang kompak pada awal Januari 2022 meskipun masing-masing prosedur tersebut memperoleh bahan bakunya, sehingga KPPU mengindikasi adanya praktik kartel.[5]

Struktur Pasar Oligopoli

Pasar oligopoly adalah pasar yang terdiri dari sedikit produsen, sehingga memiliki kekuatan melakukan kontrol harga. Para pelaku usaha tersebut untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bekerja sama antar satu dengan pelaku usaha lain untuk mengurangi pasokan dan menaikkan harga jual.[6]Oleh karena itu, produsen bertindak sebagai penentu harga. Berikut penjelasan mengenai ciri- ciri pasar oligopolistik :[7]

  • Jumlah produsen yang sedikit

Dalam hal struktur pasar oligopoli, hanya ada sedikit produsen, meskipun jumlah pasti perusahaan tidak ditentukan, sebagian besar diasumsikan kurang dari sepuluh. Setiap perusahaan memiliki kekuasaan mengatur jumlah produksi barang dan atau jasa sehingga berpengaruh pada harga yang harus dibayarkan konsumen.

  • Saling ketergantungan

Keputusan satu perusahaan untuk menentukan harga dan kuantitas akan mempengaruhi perusahaan lain, baik perusahaan yang sudah ada maupun yang akan datang. Hal ini tentunya menciptakan suatu hambatan (barrier) bagi perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri tersebut. Berdasarkan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Seha Indonesia, praktek oligopoli dibuat melalui suatu kesepakatan. Perusahaan-perusahaan tersebut sepakat untuk menetapkan harga pokok penjualan dan kuantitas produk.

  • Kompetisi Non-harga

Adapun bentuk kompetisi non-harga dapat berupa pelayanan purna jual serta iklan untuk memberikan informasi, membentuk citra yang baik terhadap perusahaan dan mempengaruhi perilaku konsumen. Tidak tertutup kemungkinan perusahaan melakukan kegiatan intelijen industri untuk memperoleh informasi (mengetahui) keadaan, kekuatan dan kelemahan pesaing nyata maupun potensial. Informasi-informasi ini sangat penting agar perusahaan dapat memprediksi reaksi pesaing terhadap setiap keputusan yang diambil.[8]

Perjanjian Oligopoli

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat,  menyatakan untuk memberikan larangan bahwa:

“ Pasal 4

Badan usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan badan usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.” [9]

Sedangkan, pengertian dari perjanjian sendiri dijelaskan menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, menyatakan bahwa :

“ Pasal 1

  • Perjanjian adalah perbuatan seorang atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” [10]

Hal ini mengandung pengertian perjanjian persaingan usaha tidak hanya secara tertulis tetapi juga tidak secara tertulis.

Perjanjian Penetapan Harga yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdiri atas Perjanjian Penetapan Harga yang diatur dalam Pasal 5, Diskriminasi Harga yang diatur dalam Pasal 6, Perjanjian Predatory Pricing yang diatur dalam Pasal 7, dan Pemeliharaan Harga Jual Kembali yang diatur dalam Pasal 8, Selaku usaha melakukan praktik Monopoli untuk menentukan harga, kualitas, dan kuantitas suatu produk yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya kartel. Secara umum, praktek ini dilakukan oleh beberapa produsen/pedagang dengan bekerjasama dengan tujuan mengendalikan dan menentukan harga, system pemasaran, dan atau produksi. Dalam hal pelaku usaha mengurangi jumlah yang diproduksi, maka permintaan barang tersebut akan meningkat, sehingga secara langsung menyebabkan kenaikan harga barang tersebut.[11]

Temuan KPPU

KPPU menemukan bukti adanya kecurangan di balik isu perminyakan yang diduga melanggar Pasal 5 dan Pasal 11, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia.[12] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa,

“Pasal 5

  1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”

Tingginya harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi disebabkan permainan oknum-oknum terlibat. Dugaan pelanggaran pasal diatas, bermula dari sidak yang dilakukan oleh Satgas Pangan Provinsi Sumatera dengan Polda Sumatera Utara dengan ditemukan 1,1 juta kilogram minyak goreng siap edar dengan 3 merek berbeda. Barang bukti tersebut ditemukan di 3 (tiga) gudang berbeda di daerah Deli, Serdang.[13]  Dengan adanya tindakan oknum-oknum tersebut, hal ini merupakan termasuk ke dalam pelanggaran di mana dijelaskan menurut Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa :

“Pasal 11

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dana tau pemasaran suatu barang dana tau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dana tau persaingan usaha tidak sehat.”

Dugaan pelanggaran pasal ini didasarkan pada fakta di lapangan, yang mana KPPU melihat terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng yang ada di Indonesia.[14]  

Berdasarkan temuan KPPU yang telah dijabarkan di atas jelas terdapat indikasi adanya praktik kartel karena pasar dominasi oleh sejumlah produsen dalam jumlah yang sedikit. Serta, permainan harga karena adanya pembatasan jumlah minyak goreng baik yang diproduksi maupun yang dijual ke pasar oleh oknum-oknum produsen tersebut.

Akibat Hukum bagi Pelaku Usaha yang Melanggar Ketentuan Persaingan Usaha

Sebagai konsekuensi bagi perusahaan yang melakukan praktek kartel, KPPU dapat mengenakan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Undang-Undang No. 5 1999, antara lain membatalkan ketentuan perjanjian diantara produsen yang bersepakat, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat hingga dapat mengenakan sanksi administratif berupa uang.[15]Berdasarkan pasal 47 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, denda administrasi berkisar antara Rp 1 miliar sampai Rp 25 miliar.

Namun, dalam Omnibus Law ketentuan tersebut diamandemen, denda administrasi maksimum kini dinaikkan menjadi 50 persen dari laba bersih atau 10 persen dari total omzet di pasar bersangkutan selama masa pelanggaran. Dalam beberapa hal, KPPU juga dapat memerintahkan penghentian kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.[16]Pada tahun 2021, KPPU mengumumkan Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif untuk melaksanakan regulasi teknis denda administratif. Peraturan No. 2/2021 lebih lanjut merumuskan laba bersih sebagai laba kotor dikurangi jumlah biaya tetap, pajak, dan retribusi, bukan dikurangi total biaya (biaya tetap dan variabel) dari laba kotor. Keuntungan bersih ditunjukkan berdasarkan data dukung laporan keuangan yang sah dan meyakinkan, dan dilengkapi dengan rekapitulasi dan bukti penjualan; rekapitulasi, rincian, dan bukti biaya tetap yang dibebankan; rekapitulasi dan bukti pembayaran pajak; dan rekapitulasi dan bukti pembayaran atas pungutan negara lainnya selain pajak.[17]

Ketentuan dari sanksi administratif lainnya yang dilakukan terhadap pelanggaran terkait dengan persaingan usaha dijelaskan berdasarkan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa,

“Pasal 48

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 hingga Pasal 14, Pasal 16 hingga Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5, Pasal 8 hingga Pasal 15, Pasal 20 hingga Pasal 24, Pasal 26 Undang-Undang ini diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000,00, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41, Undang-Undang ini diancam dengan pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.”

Namun, Omnibus law mengamandemen pasal 48 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sehingga diatur hanya pelanggaran Pasal 41 yang diancam dengan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar atau kurungan selama satu tahun.[18]

Kesimpulan

Melalui Pemeriksaan KPPU ditemukan adanya dugaan praktik kartel, khususnya pelanggaran pasal-pasal perjanjian oligopoli, praktik kartel, dan pengendalian harga. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama melonjaknya harga minyak goreng dan kelangkaan di pasaran. KPPU sebagai organ pelengkap negara berwenang menjatuhkan sanksi administratif. Di lain sisi, jika terbukti terdapat pelanggaran pada Pasal 48 Omnibus Law, para penegak hukum yang berwenang dapat memproses secara pidana pelaku usaha tersebut. Pada akhirnya, pelaku usaha harus bersaing secara sehat agar tidak melanggar ketentuan persaingan usaha. Karena, praktik

kartel cenderung merugikan baik negara (dan pembangunan ekonominya), khususnya konsumen.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Hukum Persaingan Usaha Indonesia.
  2. Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Harga Eceran Maksimal Minyak Goreng

REFERENSI

  1. Catur Agus Saptono, Economic Analysis of Law dalam Merger, retrived from https://repository.uai.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/Economic-Anlysisi-Of-Law_Hukum-Persaingan-Usaha_Editor.pdf
  2. CNBC Indonesia, Senjata KPPU Bongkar Dugaan Kartel minyak Goreng , retrived from https://www.youtube.com/watch?v=d57CxYLFAwE
  3. CNN Indonesia, Pasar Oligopoli: Pengertian, Ciri-ciri, dan Contoh, retrived from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220120090010-97-748912/pasar-oligopoli-pengertian-ciri-ciri-dan-contoh
  4. Emeria, D. C., Jreng! KPPU Panggil 19 Perusahaan Soal Dugaan Kartel Migor,retrived from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220411161946-4-330689/jreng-kppu-panggil-19-perusahaan-soal-dugaan-kartel-migor
  5. Jawani, L., (2022) Prinsip Rule of Reason Terhadap Praktik Dugaan Kartel di Indonesia, Lex Renaissance No.1(7), 31-41
  6. Kompas, Berawal dari Sidak, Ini Kronologi Penemuan 1,1 Juta kg Minyak Goreng di Deli Serdang, retrived fromhttps://regional.kompas.com/read/2022/02/20/083500878/berawal-dari-sidak-ini-kronologi-penemuan-1-1-juta-kg-minyak-goreng-di-deli?page=all
  7. Kusumawardhani, A., HET Minyak Goreng Curah Rp 14.000 per liter, Kemendag: Ada Potensi Kelangkaan, retrived fromhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20220325/12/1515014/het-minyak-goreng-curah-rp14000-per-liter-kemendag-ada-potensi-kelangkaan
  8. Nicholas, H., For Indonesians, Palm Oil is Everywhere but on Supermarket Shelves, retrived from https://news.mongabay.com/2022/04/for-indonesians-palm-oil-is-everywhere-but-on-supermarket-shelves/
  9. Oswaldo, I. G.,  Harga Minyak Goreng 12 April di Alfamart&Indomaret : Bimoli, Filma, Sania, SunCo,retrived from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6028488/harga-minyak-goreng-12-april-di-alfamart–indomaret-bimoli-filma-sania-sunco
  10. Putra, R. I. (2012). Indikasi Perjanjian Oligopoli aan Perjanjian Tertutup PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) TBK (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2001) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
  11. Sandi, F., Blak-Blakan KPPU Soal Dugaan Kartel Minyak Gorengretrived from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220222081106-4-317176/blak-blakan-kppu-soal-dugaan-kartel-minyak-goreng
  12. Sariamas, Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia Menurut Pakar Ekonomi,retrived from https://sarimas.com/id/post/detail/3-causes-of-scarcity-of-cooking-oil-in-indonesia-according-to-economists
  13. Susanto, V. Y., Soal Minyak Goreng, KPPU dalami Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha Tidak Sehat, retrived from https://nasional.kontan.co.id/news/soal-minyak-goreng-kppu-dalami-dugaan-pelanggaran-persaingan-usaha-tidak-sehat

[1]Sarimas, Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia Menurut Pakar Ekonomi, retrived from https://sarimas.com/id/post/detail/3-causes-of-scarcity-of-cooking-oil-in-indonesia-according-to-economists

[2] Hans Nicholas, For Indonesians, Palm Oil is Everywhere but on Supermarket Shelves, retrived from https://news.mongabay.com/2022/04/for-indonesians-palm-oil-is-everywhere-but-on-supermarket-shelves/

[3] Amanda Kusumawardhani, HET Minyak Goreng Curah Rp 14.000 per liter, Kemendag: Ada Potensi Kelangkaan, retrived from https://ekonomi.bisnis.com/read/20220325/12/1515014/het-minyak-goreng-curah-rp14000-per-liter-kemendag-ada-potensi-kelangkaan

[4] Ignacio Geordi Oswaldo, Harga Minyak Goreng 12 April di Alfamart&Indomaret : Bimoli, Filma, Sania, SunCo, retrived from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6028488/harga-minyak-goreng-12-april-di-alfamart–indomaret-bimoli-filma-sania-sunco

[5]CNBC Indonesia, Senjata KPPU Bongkar Dugaan Kartel Minyak Goreng, retrived from https://www.youtube.com/watch?v=d57CxYLFAwE

[6]CNN Indonesia, Pasar Oligopoli: Pengertian, Ciri-ciri, dan Contoh”, retrived from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220120090010-97-748912/pasar-oligopoli-pengertian-ciri-ciri-dan-contoh

[7] Catur Agus Saptono, Economic Analysis of Law dalam Merger, retrived from https://repository.uai.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/Economic-Anlysisi-Of-Law_Hukum-Persaingan-Usaha_Editor.pdf

[8] Rizky Ichwansyah Putra, Dissertasi : “Indikasi Perjanjian Oligopoli dan Perjanjian Tertutup PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) TBK (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2001)” (Surabaya: UNAIR, 2012),  hal.22

[9] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat

[11] Lunita Jawani, Prinsip Rule of Reason Terhadap Praktik Dugaan Kartel di Indonesia, Lex Renaissance No.1(7). 2022. page 35

[12] Damiana Cut Emeria, Jreng! KPPU Panggil 19 Perusahaan Soal Dugaan Kartel Migor, retrived from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220411161946-4-330689/jreng-kppu-panggil-19-perusahaan-soal-dugaan-kartel-migor

[13] Kompas, Berawal dari Sidak, Ini Kronologi Penemuan 1,1 Juta kg Minyak Goreng di Deli Serdang, retrived fromhttps://regional.kompas.com/read/2022/02/20/083500878/berawal-dari-sidak-ini-kronologi-penemuan-1-1-juta-kg-minyak-goreng-di-deli?page=all

[14] Vendy Yhulia Susanto, Soal Minyak Goreng, KPPU dalami Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha Tidak Sehat, retrived from https://nasional.kontan.co.id/news/soal-minyak-goreng-kppu-dalami-dugaan-pelanggaran-persaingan-usaha-tidak-sehat

[15] Pasal 47 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[16] Pasal 49 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[17] Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Denda Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[18] Fitri Novia Heriani, 4 Poin Penting Terkait Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam UU Cipta Kerja, retrived from  https://www.hukumonline.com/berita/a/4-poin-penting-terkait-penegakan-hukum-persaingan-usaha-dalam-uu-cipta-kerja-lt5fa38acac9fab/?page=all

0

Intellectual Property Copyright Related to State Event Mascot

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua Bernando

Maskot adalah bentuk atau benda yang dapat berbentuk seseorang, binatang, atau objek lainnya yang dianggap dapat membawa keberuntungan dan untuk menyemarakkan suasana acara yang diadakan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Maskot adalah orang, binatang, atau benda yang diperlakukan oleh suatu kelompok sebagai lambang pembawa keberuntungan atau keselamatan. [1] Maskot pada umumnya merepresentasikan kepada masyarakat luas dari sekolah, universitas, klub olahraga, ataupun pengembangan atas suatu produk komersial. Setiap maskot yang dibuat akan diberikan nama panggilan yang sesuai dengan karakter dari maskot itu sendiri.[2]

Penggunaan atas maskot sekarang telah semakin meluas dengan selalu digunakan dalam setiap acara olahraga di dunia ini, seperti Piala Dunia maupun Olimpiade sebagai bagian dari promosi dari acara olahraga saat ini. Pemilihan atas maskot akan disesuaikan dengan karakter dari acara yang akan dibuat ataupun dari organisasi, klub, maupun lembaga yang akan menggunakan maskot sebagai alat untuk berpromosi.[3]

Setiap maskot seperti yang mempresentasikan suatu negara dapat disebut maskot acara negara, maskot tersebut biasa dimunculkan pada suatu ajang antar negara seperti acara olahraga dunia, seperti contoh SEA Games, Piala Dunia dan sebagainya. Maskot tersebut diciptakan oleh masing-masing negara, dimana dalam hal ini memiliki pencipta baik ia perseorangan maupun kelompok, dan dalam hal ciptaan berupa maskot tersebut, tentunya memiliki hak cipta yang menimbulkan hak eksklusif pada penciptanya.

Terkait dengan karya cipta berupa maskot yang memiliki pencipta, maka maskot tersebut dapat dikategorikan sebagai objek kekayaan intelektual yang mendapat perlindungan hak cipta, dan apabila maskot tersebut didaftarkan melalui suatu merek tertentu, maka dapat dilindungi dengan hak atas merek. Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menjelaskan tentang definisi Hak Cipta dan Ciptaan yang merupakan objek yang dilindungi oleh Hak Cipta, yang merupakan:

Pasal 1

  • Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[4]

Dalam penggunaan maskot tersebut, tidak jarang terdapat pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta maupun hak atas merek, melalui memproduksi kostum, boneka, baju ataupun membuat gambar yang memuat maskot tersebut tanpa persetujuan dari pencipta atau pemilik merek, dan hal tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan dan hal ini melanggar hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta berdasarkan hak kekayaan intelektual yang dimilikinya.

Dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak ekonomi milik pencipta berkaitan dengan hak cipta yang dilanggar , yang berbunyi:

Pasal 8

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.

Pasal 9

  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
    • penerbitan Ciptaan;
    • Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
    • penerjemahan Ciptaan;
    • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
    • pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
    • pertunjukan Ciptaan;
    • Pengumuman Ciptaan;
    • Komunikasi Ciptaan; dan
    • penyewaan Ciptaan.
  • Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3)
  • Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”  [5]

Pengaturan mengenai pelanggaran Hak Ekonomi Pencipta terhadap Objek Ciptaan tersebut diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi:

“ Pasal 113

  1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
  2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[6]

Selain perlindungan sebagai objek hak cipta, apabila suatu maskot telah didaftarkan oleh suatu merek, dapat dilindungi dengan hak atas merek apabila terjadi pembajakan merek terhadap suatu produksi maskot yang menggunakan merek dagang tersebut. Hak atas merek dijelaskan dalam Pasal 1 Ankga 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi:

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.[7]

Pembajakan merek atau penggunaan merek tanpa hak atau tanpa izin dari pemilik merek diatur dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi :

Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

  1. gugatan ganti rugi; dan/atau
    1. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.[8]

Sanksi atas Pembajakan Merek itu sendiri diatur dalam Pasal 100 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi :

Pasal 100

  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).[9]

Sehingga, perlindungan hukum terhadap maskot acara negara, dikarenakan maskot acara negara tersebut merupakan suatu objek perlindungan hak cipta , dimana apabila terjadi pembajakan terhadap hak cipta yang dimiliki oleh pencipta maskot tersebut, terdapat perlindungan hukum terhadap hak ekonomi pencipta yang diatur dalam Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang memiliki sanksi pidana serta denda.

Hal tersebut juga diatur apabila maskot acara negara tersebut dilindungi melalui merek terdaftar yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dimana terdapat perlindungan hak atas merek terkait dengan pembajakan merek yang memiliki sanksi pidana serta denda, serta pelanggar hak atas merek tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian atas pembajakan merek tersebut.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Referensi :

  1. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Wikipedia


[1] https://kbbi.web.id/maskot

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Maskot

[3] Ibid.

[4] Pasal 1 Angka 1 dan Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[5] Pasal 8 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[6] Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[7] Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[8] Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[9] Pasal 100 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

1 9 10 11
Translate