0

KERANGKA HUKUM PEMBANGUNAN TEKNOLOGI BINARY UNIT SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

Indonesia kaya akan berbagai macam sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) antara lain air, panas bumi, sinar matahari, angin, dan arus laut. Potensi sumber daya energi panas bumi di Indonesia sendiri sebesar 28,5 Giga Watt Electrical (GWE) yang terdiri dari resource 11.073 MW dan reserves 17.453MW, hal ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia.[1] Pemanfaatan energi panas bumi memberikan implikasi positif untuk menekan emisi karbon dan mengurangi gas rumah kaca. Salah satu perusahaan BUMN mengumumkan rencana untuk meningkatkan kapasitas panas bumi melalui penerapan teknologi binary dengan membangun binary unit untuk menghasilkan potensi tambahan kapasitas listrik hingga 25MW.[2]

Binary unit merupakan fasilitas untuk menghasilkan listrik dengan memanfaatkan brine (cairan/air panas bumi) yang diinjeksi kembali ke dalam perut bumi, sehingga dapat menambah kapasitas listrik yang dihasilkan.[3]  Karena melalui teknologi binary unit ini memanfaatkan uap panas bertemperatur lebih rendah (100-2000C), tidak seperti pada umumnya yang mana fluida bertemperatur 2000C yang dapat  digunakan untuk pembangkit listrik.[4] Melalui teknologi ini uap panas yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) digunakan untuk memanaskan fluida kerja yang menjadi panas dan menghasilkan uap berupa flash. Uap tersebut dihasilkan dari heat exchanger yang digunakan menggerakan sudu-sudu turbin dan menggerakan generator untuk menghasilkan sumber daya listrik.[5] Teknologi binary unit memiliki banyak kelebihan karena tidak perlu adanya eksplorasi sumur baru sehingga lebih cepat dan investasinya lebih rendah. Sementara dari sisi konstruksi, pembangunan lebih cepat karena sistemnya modular, dan mengefisiensi investasi.[6]

Tinjauan Yuridis Pengelolaan EBT

Bertolak dari amanat konstitusi[7] Indonesia yakni dijelaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia, yaitu:

“Pasal 33

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di  dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pasal tersebut menegaskan bahwa perlu adanya pengelolaan energi secara efisien dan terstruktur terutama dalam memenuhi kebutuhan energi domestik. Pengaturan masalah EBT kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Pada Pasal 4 ayat (2) berisi:

“Pasal 4

  • Sumber daya energi baru dan sumber daya energy terbarukan diatur oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

kemudian pada Pasal 4 ayat (3) yang berisikan:

“Pasal 4

  • Penguasaaan dan pengaturan sumber daya energy oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi menginstruksikan pemerintah untuk membuat pedoman Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014. KEN ini menjadi pedoman pengelolaan energi nasional guna mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan untuk mencapai sasaran.[8]

Peraturan terkait Pemanfaatan Panas Bumi

Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber energi fosil menyebabkan banyak kerugian termasuk produksi emisi karbon yang tinggi dan juga menyebabkan perubahan iklim dunia. Energi fosil dalam penggunaannya menghasilkan gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH2) dan nitrous oksida (N2O) yang kemudian membungkus bumi dan menimbulkan pemanasan global.[9] Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan energi panas bumi. Teknologi binary unit yang diasosiasikan oleh salah satu perusahaan BUMN ini nantinya akan memanfaatkan panas bumi untuk meningkatkan kapasitas listrik nasional. 

Pemanfaatan panas bumi diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, dengan muatan materinya mencakup (1) kewenangan penyelenggaran panas bumi; (2) pengusahaan panas bumi; (3) penggunaan lahan; (4) hak dan kewajiban; (5) data dan informasi; (6) pembinaan dan pengawasan; (7) peran serta masyarakat; (8) penyidikan; (9) ketentuan pidana. Terdapat perubahan dari Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi yaitu bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah sejak izin Usaha Pertambangan Panas Bumi disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi.[10] Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diberikan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.[11] Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi juga mengatur bahwa pemegang izin panas bumi wajib memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah yang wilayah administratifnya meliputi Wilayah Kerja yang bersangkutan.[12] Selanjutnya bagi daerah yang terdapat wilayah kerja pertambangan panas bumi, pemerintah daerah dapat menanamkan modalnya melalui mekanisme participating interest sebesar 10% yang ditawarkan oleh kontraktor kepada BUMD setempat.[13]

Penyelenggaran penambangan panas bumi berorientasi untuk mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai tambah secara keseluruhan dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.[14]Dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pengusahaan panas bumi, terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu Survei Pendahuluan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, Eksplorasi dan Eksploitasi Uap, yang dapat dilakukan pemerintah dan/atau badan usaha termasuk pembinaan dan pengawasan, mekanisme penyiapan wilayah kerja, pelelangan wilayah kerja panas bumi, Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, serta data dan informasi.[15]

Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi membagi pelaksanaan pengusahaan panas bumi menjadi dua bentuk, pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10,

“Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi secara langsung tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan non listrik.”

Sedangkan pemanfaatan tidak langsung menurut Pasal 1 angka 11,

“Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan atau fluida menjadi energi listrik.”

Izin tersebut memiliki jangka waktu paling lama 37 (tiga puluh tujuh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun setiap kali perpanjangan.[16] Izin tersebut diberikan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan.[17]Pelaksanaan kegiatan eksplorasi, pemegang izin panas bumi wajib memiliki izin lingkungan. Eksplorasi memiliki jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Izin Panas Bumi diterbitkan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing selama 1 (satu) tahun. Waktu tersebut sudah termasuk untuk melaksanakan kegiatan studi kelayakan.[18]Sebelum melakukan eksplorasi dan eksploitasi pemegang Izin Panas Bumi wajib memiliki izin lingkungan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk menyampaikan studi kelayakan kepada menteri sebelum melakukan kegiatan eksploitasi.[19]

Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi ini juga mengamanatkan beberapa regulasi turunan terkait dengan beberapa isu penting antara lain: (1) izin pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung dan pengaturan harga panas bumi; (2) survei pendahuluan atau eksplorasi dan tata cara penugasan; (3) proses lelang; (4) luasan wilayah kerja; (5) tata cara penetapan harga; (6) sanksi administratif; (8) kewajiban pemegang izin; (9) besaran dan tata cara pemberian bonus produksi; dan (11) pengawasan.[20]

Kesimpulan

Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi panas bumi yang sangat besar merupakan aset yang dapat digunakan untuk menunjang pembangunan nasional. Panas bumi merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan dikelola untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Tanggung jawab negara dalam mewujudkan kemakmuran rakyat tersebut dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan yang dimilikinya. Hal ini tentunya selaras dengan tujuan penyelenggaraan pemanfaatan panas bumi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi bertujuan untuk mengendalikan kegiatan pengusahaan panas bumi untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan berupa panas bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, dan meningkatkan pemanfaatan energi bersih yang ramah lingkungan guna mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dasar Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

Referensi

Agung, F., Terapkan Teknologi Binary, Pertamina Siap Genjot Pemanfaatan Panas Bumi, retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/terapkan-teknologi-binary-pertamina-siap-genjot-pemanfaatan-panas-bumi

Astuti, W., Dari Panas Bumi Lahirlah Listrik, retrieved from https://coaction.id/dari-panas-perut-bumi-lahirlah-listrik/

Azhar, M., Suhartoyo, (2015), Aspek Hukum Kebijakan Geothermal di Indonesia, Jurnal Law Reform,vol.11 (1). Ahluriza, P., Udi Harmoko, (2021), Analisis Pemanfaatan Tidak Langsung Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, Jurnal Energi Baru & Terbarukan,vol.2(1)

Febriananingsih, N., (2019), Tata Kelola Energi Terbarukan di Sektor Ketenagalistrikan dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2

Hariyadi,  (2015) Optimalisasi Peran Panas Bumi dalam Kerangka Undang-Undang Panas Bumi, vol. 20(4)

Kementerian ESDM, Ini Dia Sebaran Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia, retrieved from https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-dia-sebaran-pembangkit-listrik-panas-bumi-di-indonesia#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Sumber%20daya%20 energi%20panas,panas%20bumi%20terbesar%20di%20dunia.

Mumpuni, A., Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://www.alinea.id/bisnis/pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-b2fiz9Dif

Rusmin, D. S., Tesis : Implikasi Yuridis dalam Pengelolaan Panas Bumi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (Studi Kasus Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait Sembilan Wilayah Kerja Panas Bumi di Kawasan Hutan Konservasi, (Jakarta: UI, 2012)

Saputro, W., Skripsi : Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Malang: UB, 2015) Untari, A., Menjadi Showcase di Task Force ESC B20 Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/755645/77/menjadi-showcase-di-task-force-esc-b20-pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-dengan-binary-unit-1651032262/


[1] Kementerian ESDM, Ini Dia Sebaran Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia, retrieved from https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-dia-sebaran-pembangkit-listrik-panas-bumi-di-indonesia#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Sumber%20daya%20 energi%20panas,panas%20bumi%20terbesar%20di%20dunia.

[2] Atik Untari, Menjadi Showcase di Task Force ESC B20 Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/755645/77/menjadi-showcase-di-task-force-esc-b20-pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-dengan-binary-unit-1651032262/

[3] Filemon Agung, Terapkan Teknologi Binary, Pertamina Siap Genjot Pemanfaatan Panas Bumi, retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/terapkan-teknologi-binary-pertamina-siap-genjot-pemanfaatan-panas-bumi

[4]   Pradipta Ahluriza, Udi Harmoko, Analisis Pemanfaatan Tidak Langsung Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, Jurnal Energi Baru & Terbarukan, vol.2(1), 2021, hal 57

[5]  Wiji Astuti, Dari Panas Bumi Lahirlah Listrik, retrieved from https://coaction.id/dari-panas-perut-bumi-lahirlah-listrik/

[6] Ayu Mumpuni, Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://www.alinea.id/bisnis/pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-b2fiz9Dif

[7] Wahyudi  Saputro, Skripsi : Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Malang: UB, 2015), hal. 14

[8] Nunuk Febriananingsih, Tata Kelola Energi Terbarukan di Sektor Ketenagalistrikan dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, 2019, hal. 34-35

[9] Wahyudi  Saputro, Tesis: Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan), hal. 5

[10] Pasal 84 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[11] Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[12]Pasal 53 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[13] Fadhil Saputra, Skripsi: Analisis Yuridis Politik Hukum Pengaturan Izin Pemanfaatan Panas Bumi dalam Pemanfaatan Tidak Langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2017, (Malang: UB, 2019), hal.66

[14] Dimas Saputra Rusmin, Tesis : Implikasi Yuridis dalam Pengelolaan Panas Bumi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (Studi Kasus Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait Sembilan Wilayah Kerja Panas Bumi di Kawasan Hutan Konservasi, (Jakarta: UI, 2012), hal. 58

[15] Ibid, hal. 15

[16] Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[17] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[18] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[19] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[20] Hariyadi, Optimalisasi Peran Panas Bumi dalam Kerangka Undang-Undang Panas Bumi, vol. 20(4), 2015, hal.374

0

Sanksi Terhadap Pelanggaran Paten Perusahaan Telefon Genggam

Author: Ananta Mahatyanto ; Co-author: Alfredo Joshua Bernando & Andreas Kevin Simanjorang

Legal Basis:

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Sebuah perusahaan telefon genggam akan selalu memiliki kaitan dengan teknologi, sebuah teknologi yang diciptakan oleh perusahaan telefon genggam tersebut yang berbentuk  komponen atau fitur apabila ingin digunakan oleh perusahaan telefon genggam lainnya, maka harus melalui persetujuan pemilik hak paten tersebut, dan harus disetujui melalui suatu perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak.

         Apabila terdapat teknologi yang telah menjadi hak paten dari sebuah perusahaan telefon genggam yang dipakai oleh perusahaan lainnya dengan sengaja dan tanpa hak serta tanpa melalui persetujuan pemilik hak paten teknologi tersebut atau penggunaan paten tanpa lisensi, maka terdapat perlindungan hukum bagi pemilik hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten).

         Hak-hak pemegang paten diatur dalam Pasal 19 UU Paten ,yaitu:

Pasal 19

  • Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
    • Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
    • dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
  • Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi pelindungan Paten.
  • Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten dan tidak bersifat komersial.”[1]

         Selain hak-hak yang diatur dalam Pasal 19 UU Paten, pemegang Paten juga memiliki hak untuk memberikan lisensi kepada Pihak ketiga. Hal ini diatur dalam Pasal 76 UU Paten yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 76

  • Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
  •  Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup semua atau sebagian perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”[2]

Dalam hal penyelesaian sengketa terkait dengan penggunaan teknologi tanpa hak pemilik paten, mengacu kepada Pasal 143 UU Paten yang berbunyi:

Pasal 143

(1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).

(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima jika produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi paten. “[3]

Undang-Undang Paten secara khusus mengatur lebih untuk melindungi hak-hak pemegang paten, yakni dengan mengatur perbuatan yang dilarang. Pasal 160 UU Paten mengatur perbuatan yang dilarang sebagai berikut:

Pasal 160

Setiap orang tanpa persetujuan pemegang Paten dilarang :

  1. Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten; dan/atau
  2. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”[4]

Sehingga jika terdapat Pihak yang membuat barang berdasarkan suatu invensi yang telah dipatenkan tanpa sepersetujuan pemegang Paten, maka Pihak tersebut dikategorikan telah melakukan perbuatan yang dilarang. Terhadap Pihak yang melakukan hal tersebut dapat dikenakan sanksi berupa sanksi pidana. Ketentuan mengenai sanksi ini termuat dalam Pasal 161 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 161

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]

         Sehingga, sanksi perdata berupa denda atau ganti rugi dapat diterapkan kepada pihak yang memakai/menggunakan invensi atau suatu teknologi tanpa persetujuan pemegang paten, selain itu pemegang paten dapat menuntut sanksi pidana berupa pidana penjara atau pidana denda kepada pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak serta tanpa persetujuan menggunakan suatu teknologi paten milik perusahaan telefon genggam pemegang paten.


[1] Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[2] Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[3] Pasal 143 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[4] Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

[5] Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Translate