0

KEBIJAKAN INVESTASI DAN ASET BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Robby Malaheksa

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang di bentuk dengan Undan-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai sejak 1 Januari 2014.[1] Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program-program berupa: jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian[2].

Dalam melaksanakan program-program yang telah di tentukan berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang berbunyi:

Pasal 10

  1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta
  2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja
  3. Menerima bantuan iuran dari pemerintah
  4. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta
  5. Mengumpulkan data dan mengelola peserta program jaminan sosial
  6. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial
  7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat.[3]

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan program-program, BPJS juga di berikan kewenangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbunyi:

“Pasal 20

  1. menagih pembayaran iuran;
  2. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
  3. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
  4. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
  5. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
  6. mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya
  7. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  8. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan sosial.[4]

Selain memiliki wewenang dalam menjalakan program-program jaminan sosial, BPJS juga berhak mengelola aset yang mana tercantum dalam pasal 40 dan pasal 41 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbunyi :

Pasal 40

  • BPJS mengelola :
  • aset BPJS; dan
  • aset Dana Jaminan Sosial
  • BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial;
  • Aset dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS;
  • BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jamainan Sosial pada bank custodian yang merupakan badan usaha milik Negara.

“Pasal 41

  • Aset BPJS bersumber dari :
  • modal awal dari pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
  • hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
  • hasil pengembangan aset BPJS;
  • dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
  • sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Aset BPJS dapat digunakan untuk :
  • biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial;
  • biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial;
  • biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan
  • investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Terdapat peraturan pemerintah yang menegaskan bahwa BPJS juga berwenang dalam pengembangaan aset yang dilakukan dalam bentuk investasi sebagaimana dijamin dalam pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelola Aset Jaminan Sosial Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 23

(2)Instrumen investasi dalam negeri sebagaimana
                                                                          dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Deposito berjangka termasuk deposi on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat di perdagangkan/non negotiable certificate deposit pada bank (paling tinggi 15 % dari jumlah investasi untuk setiap Bank);

a1. Giro;

  • Surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;
  • Surat berharga yang diterbitkan oleh oleh Bank Indonesia;
  • Surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek Indonesia;
  • Saham yang tercatat dalam Bursa Efek Indonesia;
  • Reksadana;
  • Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolekti efek beragun aset;
  • Dana Investasi real estate;
  • Tanah, Bangunan, atau tanah dengan bangunan (seluruhnya paling tinggi 5% dari jumlah investasi).[5]

Pelaksanaan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan meliputi 6 (enam) bagian yaitu: sumber aset, liabilitas, penggunaan, pengembangan, kesehatan keuangan, dan pertanggungjawaban.[6], sedangkan untuk penggunaan aset BPJS terdiri dari 2 (dua) yaitu: Penggunaan Aset BPJS Kesehatan dan Penggunaan aset dana jaminan sosial kesehatan[7].

Keuangan BPJS dibagi dua yang harus dipisahkan, yaitu aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial (DJS). Dalam hal terjadi kesulitan likuiditas, BPJS Kesehatan dapat memberikan dana talangan kepada aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan, dengan ketentuan paling banyak 35% (tiga puluh lima persen) dari aset BPJS Kesehatan yang tercatat dalam laporan keuangan bulan sebelumnya.[8]

Melihat Laporan keuangan tahun 2021, BPJS menyatakan total aset Dana Jaminan Sosial (DJS) yang di kelola meningkat 26 % menjadi Rp 551, 78 triliun. Hal itu juga terjadi pada jumlah klaim DJS yang meningkat 17 persen. Namun DJS tetap tumbuh karena di topang oleh Dana Investasi Aset DJS yang naik 14 persen serta hasil investasi yang turut membukukan kenaikan 10 persen di bandingkan tahun 2020.[9]

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas wewenang yang di berikan, BPJS wajib menyampaikan atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Semua laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.[10]

Pengawasan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan dilakukan melalui pengawasan internal dan eksternal.[11] Pengawasan Internal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan dilakukan oleh Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan Satuan Pengawas Internal. Sedangkan Pengawasan Eksternal dilakukan Dewan Jaminan sosial Nasional (DJSN), serta Lembaga Independen, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengawasan Eksternal oleh DJSN, dilakukan terhadap kinerja BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan Kesehatan, sedangkan pengawasan Eksternal oleh OJK dan BPK dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS
  2. PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan
  3. PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

REFRENSI

  1. Peta Jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, disusun oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012.
  2. Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam SJSN
  3. Total Aset Dana Jaminan Sosial BPJamsostek Rp551,78 T di 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220428144621-78-791013/total-aset-dana-jaminan-sosial-bpjamsostek-rp55178-t-di-2021.

[1] Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam SJSN, Latar Belakang , Hlm. 10

[2] Pasal 6 UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[3] Pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[4] Pasal 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[5] Pasal 23 PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[6] Pasal 10 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[7] Pasal 19 – 21 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[8] Psal 39 ayat (3) PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[9] Total Aset Dana Jaminan Sosial BPJamsostek Rp551,78 T di 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220428144621-78-791013/total-aset-dana-jaminan-sosial-bpjamsostek-rp55178-t-di-2021.

[10] Pasal 37 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[11] Pasal 44 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[12] Peta Jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, disusun oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012.

0

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH TERHADAP KEGAGALAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-Author : Robby Malaheksa

Asuransi adalah suatu perjanjian yang mengikat antara penanggung kepada tertanggung dengan menerima premi yang nantinya akan di berikan timbal balik berupa penggantian karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang mungkin terjadi kapan saja, hal ini di atur dalam Pasal 246 KUHD yang berbunyi:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.[1]

Namun pada pasal tersebut hanya mendefinisikan asuransi kerugian (Schadeverzekeing : Loss Insurance) yang obyeknya adalah harta kekayaan. Sedangkan di pasal 246 KUHD tidak termasuk tentang asuransi jiwa, karena jiwa manusia bukanlah harta yang bisa dinilai dengan uang. [2]

Pengertian Asuransi yang mencakup tentang kedua jenis asuransi tersebut terdapat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang mengatakan bahwa :

Pasal 1

  1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
  2. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  3. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.[3]

Perusahaan asuransi sangat mengandalkan kepercayaan untuk melindungi dan memastikan bahwa masyarakat sebagai pemegang polis sebagaimana di jelaskan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi:

Pasal 53

  • Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program pemegang polis. [4]

Melihat kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan akhir ini menyebabkan beberapa perusahaan asuransi tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengembalikan dana nasabah dan/atau membayar ganti kerugian akibat terjadinya kelalaian perusahaan asuransi dalam pengelolaan dana nasabah, apalagi jika perusahaan asuransi mengalami pailit maka akan lebih bermasalah terhadap dana yang dimiliki nasabah karena kemungkinan tidak dapat kembali.[5]

Persoalan lainnya juga terkait jangka waktu perlindungan asuransi yang disepakati adalah dengan tenggat waktu yang relatif cukup lama. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi terhadap perusahaan asuransi pada jangka waktu lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun ke depan, suatu perusahaan asuransi di kemudian hari dapat dinyatakan pailit, atau dilikuidasi. Putusan pengadilan yang menyatakan suatu perusahaan asuransi pailit akan sangat berdampak kepada seluruh nasabah. Premi nasabah baik yang belum jatuh tempo maupun yang telah jatuh tempo saat perusahaan asuransi dinyatakan pailit harus dilindungi oleh hukum. Sehubungan dengan itu pula diperlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah dalam rangka pengamanan kepentingan nasabah.[6]

Perjanjian asuransi mempunyai tujuan bahwa pihak yang mempunyai kemungkinan menderita risiko kerugian (pihak tertanggung) melimpahkan kemungkinan dari risiko kerugian yang terjadi kepada pihak lain yang bersedia membayar ganti rugi (pihak penanggung), dan perjanjian tersebut berguna sebagai pembuktian. Dalam perjanjian asuransi jiwa para pihak yaitu pemegang polis, penanggung dan tertunjuk (penikmat asuransi) mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang bersifat timbal balik dimana hak dan kewajiban pemegang polis sebaliknya juga merupakan hak dan kewajiban perusahaan asuransi sebagai penanggung. Adapun hak dan kewajiban yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

  1. Hak-hak dari pemegang polis antara lain:
  2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian apabila terjadi  Evenemen.[7] Menurut Pasal 1 ayat (1) huruf a & huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan :

Pasal 1

  • Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan Asuransi sebagai imbala untuk :
  • memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  • memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” [8]
  • Hak untuk mendapatkan jumlah pertanggungan apabila tidak terjadi Evenemen dalam masa asuransi. Pada masa asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen, pemegang polis atau tertunjuk berhak mendapatkan pengembalian sejumlah uang tertentu dari penanggung sesuai dengan perjanjian dalam polis.[9]
  • Hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan dana nasabah , dimana jaminan perlindungan dana nasabah adalah yang paling utama dan wajib didahulukan penyerahannya apabila perusahaan asuransi mengalamai pailit atau dilikuidasi, hal tersebut telah di atur secara tegas dalam Pasal 52 ayat (1) & (2) Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang berbunyi :

Pasal 52

  • Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.
  • Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.[10]
  • Kewajiban Pemegang polis antara lain:
  • Kewajiban membayar premi kepada penanggung sebagai kontraprestasi dari ganti kerugian atau uang santunan yang akan penanggung berikan padanya, premi merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi.
  • Kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan yang di perlukan oleh penanggung dengan i’tikad baik.[11]

Terhadap perusahaan asuransi yang gagal bayar atau tidak mau membayar polis jatuh tempo nasabahnya, maka nasabah dapat mengadukannya kepada pihak yang memeriksa pada sektor jasa keuangan sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan sehingga lembaga pemeriksa tersebut dapat mengambil langkah tegas untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang berbunyi :

Pasal 30

  • Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi:
  • memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
  • mengajukan gugatan:
  • untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau
  • untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[12]

Sehingga, hak dan kewajiban nasabah maupun pihak asuransi tertera dalam perjanjian premi dan polis-polis yang diatur dalam perjanjian nasabah, akan tetapi hak dan kewajibannya secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai titik yang menjadi panduan.

Mekanisme Perlindungan hukum bagi nasabah sangatlah penting mengingat tidak adanya jaminan perusahaan asuransi akan selalu berada dalam kondisi ekonomi yang baik, nasabah yang berpotensi mengalami kerugian harus di perhatikan kedudukannya dalam upaya memberikan perlindungan hukum yang adil.

DASAR HUKUM

  1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang
  2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
  3. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

REFRENSI

  1. Mulhadi, Dasar-dasar Hukum Asuransi, Rajawali Pers, Depok, 2017
  2. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980),
  3. Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[1] Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[2] Mulhadi, Dasar-dasar Hukum Asuransi, Rajawali Pers, Depok, 2017. Hlm.5

[3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

[4] Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[5] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm 75.

[6] Ibid., hlm 76

[7] Evenemen adalah semua peristiwa yang dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan/musnahnya barang yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak pasti terjadinya seperti tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir dari jalan termasuk juga dari kesalahan material, kontruksi, cacat sendiri, perbuatan jahat orang lain, pencurian termasuk pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan atau ancaman, kebakaran atau sebab sebab lainnya

[8] Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[9] Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[10] Pasal 52 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

[11] Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[12] pasal 30 ayat 1) UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK

Translate